MENUJU INDONESIA HIJAU DAN MENGELOLA BEN

MENUJU INDONESIA HIJAU
DAN MENGELOLA BENCANA SECARA
KOMPREHENSIF DENGAN SI-TIGA

DISUSUN OLEH:
NAMA

: LILIANA

NIM

: 114214031

PRODI SASTRA INGGRIS
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2014

MENUJU INDONESIA HIJAU
DAN MENGELOLA BENCANA SECARA
KOMPREHENSIF DENGAN SI-TIGA


DISUSUN OLEH:
NAMA

: LILIANA

NIM

: 114214031

PRODI SASTRA INGGRIS
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2014

i

Karya Tulis Ilmiah
MENUJU INDONESIA HIJAU
DAN MENGELOLA BENCANA SECARA

KOMPREHENSIF DENGAN SI-TIGA

Disusun Oleh
Nama

: Liliana

NIM

: 114214031

Disetujui oleh:

Harris Hermansyah Setiajid, S.S., M.Hum.

7 April 2014

0509037101
Pembimbing


ii

KATA PENGANTAR
Karya tulis ilmiah berjudul “Menuju Indonesia Hujau dan Mengelola Bencana
Secara Komprehensif dengan Si-Tiga” ini membahas penanggulangan deforestasi
ruang hijau dan pengelolaan penanggulangan bencana yang komprehensif. Karya
tulis ilmiah ini dibuat sebagai salah satu persyaratan dalam mengikuti pemilihan
mahasiswa berprestasi 2014.
Menyadari bahwa selesainya penulisan karya tuli sini tidak lepas dari campur
tangan Tuhan Yang Maha Esa, maka penulis memanjatkan puji dan syukur
kepada-Nya. Karya tulis ilmiah ini dapat diselesaikan tepat waktu juga karena
adanya bantuan dan petunjuk dari beberapa pihak.
Ucapan terimakasih yang besar penulis haturkan kepada bapak Harris
Hermansyah Setiajid S.S., M.Hum., selaku dosen pembimbing yang telah bersedia
membantu penulis selama proses penulisan karya tulis ini dan yang telah
memberikan semangat serta motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan karya
tulis ini.
Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang tidak dapat
penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan bantuan yang sangat berarti
berupa dukungan moril dan materi sehingga penulis dapat menyelesaikan

penulisan karya tulis ilmiah ini.
Akhirnya, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai
pihak terhadap karya tulis ilmiah ini karena masih banyak kekurangan di berbagai
tempat dalam karya tulis ilmiah ini. Dengan demikian, diharapkan karya tulis ini
dapat menjadi karya tulis yang layak dikonsumsi khalayak ramai.
Yogyakarta, 6 April 2014

Penulis

iii

Daftar Isi
Halaman Judul........................................................................................ i
Lembar Pengesahan .............................................................................. ii
Kata Pengantar ..................................................................................... iii
Daftar Isi............................................................................................... iv
BAB I Pendahuluan............................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................ 1
Langkah Belum Genap ............................................................ 1
B. Solusi Keatif ............................................................................ 2

Mewujudkan Indonesia Hijau ................................................. 2
Mewujudkan Indonesia yang Memiliki Peengelolaan
Penanggulangan Bencana yang Komprehensif ....................... 3
C. Tujuan ..................................................................................... 3
D. Manfaat ................................................................................... 4
BAB II Telaah Pustaka.......................................................................... 5
A. Indonesia di Atas Peta .............................................................. 5
B. Konsep Bencana ....................................................................... 5
BAB III Analisis dan Sintesis ............................................................... 7
A. Indonesia Sejauh Mata Memandang ......................................... 7
B. Kerusakan Lingkungan Memperparah Potensi Bencana .......... 7
C. Indonesia Rawan Bencana ...................................................... 11
Bencana Alam ......................................................................... 12
Bencana Akibat Ulah Manusia................................................ 12
D. Mengelola Bencana Secara Komprehensif ............................. 13
Si-Pertama: Antisipasi ....................................................... 13
Si-Kedua: Mitigasi ............................................................. 16
Si-Ketiga: Rekonstruksi ...................................................... 19
BAB IV Simpulan dan Rekomendasi
A. Mewujudkan Indonesia Hijau, Meminumalkan Bencana ....... 20

B. Siap Bencana dengan Si-Tiga.................................................. 20
Daftar Pustaka ..................................................................................... 21

iv

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Langkah yang Belum Genap
Ketika pohon besar penghasil oksigen digantikan dengan pohon beton penghasil
rupiah, kualitas kehidupan manusia di Indonesia dipertaruhkan. Paru-paru yang
seharusnya hanya menerima oksigen, kini mendapat asupan gas-gas yang tidak
selayaknya dihirup oleh manusia. Predikat Indonesia sebagai paru-paru dunia kini
berubah menjadi Indonesia sebagai negara perusak hutan terbesar dunia. Peta
hutan dunia tidak lagi menampakkan Indonesia dengan warna hijau.
Kini ruang hijau telah berganti dengan ruang penuh warna-warni gedung-gedung
bertingkat. Pembangunan di sektor industri dan ekonomi menjadi prioritas
Indonesia yang sedang berjalan meuju pintu gerbang negara maju. Alih fungsi
hutan pun kini marak terjadi. Pohon-pohon besar berusia puluhan tahun kini

menjadi tanaman dengan tinggi tidak lebih dari 2 meter. Kualitas udara di
Indonesia berada pada tingkat yang memprihatinkan. Ketersediaan ruang hijau
tidak seimbang dengan kebutuhan manusia, sehingga membuat manusia Indonesia
hidup dalam lingkungan yang tidak sepenuhnya sehat.
Di sisi lain, ada hal yang selalu menghantui kehidupan manusia di bumi ini;
bencana. Bencana dapat datang kapan saja dan dalam bentuk yang beragam.
Namun, secara garis besar, bencana dapat dikategorikan kedalam dua jenis yaitu:
bencana alam dan bencana akibat ulah manusia. Bencana alam terjadi karena
fenomena alam seperti gempa bumi, gunung meletus dan tsunami. Sedangkan
bencana akibat ulah manusia terjadi akibat dari perbuatan manusia seperti banjir,
tanah longsor dan kebakaran. Dua dampak dari bencana yaitu korban jiwa dan

2

kerusakan material, seperti kerusakan rumah-rumah penduduk maupun fasilitasfasilitas umum seperti rumah sakit. Bencana alam seperti gunung gempa bumi
tidak dapat dihindari, namun dapat di antisipasi untuk meminimalkan korban dan
kerugian material. Akan tetapi, bencana akibat ulah manusia seperti banjir pada
dasarnya dapat dihindari.
Berangkat dari kenyataan bahwa ruang hijau di Indonesia semakin berkurang
padahal sejatinya itu merupakan kebutuhan untuk menciptakan keseimbangan

hidup dan kenyataan bahwa berkurangnya ruang hijau mengakibatkan Indonesia
memiliki hubungan yang semakin dekat dengan bencana maka penting untuk
mencari jalan keluar dari masalah ini. Selama masalah lingkungan hijau dan
pengelolaan bencana ini belum terselesaikan dengan baik, maka langkah kaki
Indonesia belum genap untuk menjadi Indonesia yang mandiri.

B. Solusi Kreatif
Mewujudkan Indonesia Hijau
Untuk mewujudkan ketersediaan ruang hijau di Indonesia, ada beberapa langkah
yang harus dilakukan oleh pemerintah bersama peran aktif semua warga negara.
Langkah-langkah tersebut adalah melakukan peninjauan kembali mengenai
peraturan pembangunan bangunan ataupun pembukaan lahan perkebunan yang
menggunakan ruang hijau (dalam hal ini hutan) sebagai area pembangunannya;
menumbuhkan kesadaran di semua lapisan masyarakat mengenai pentingnya
ketersediaan ruang hijau di Indonesia;

dan memperhitungkan kembali

ketersediaan ruang hijau serta cara merestorasinya.
Harus disadari bahwa pada dasarnya, menjaga ketersediaan ruang hijau bukanlah

tanggung jawab pemerintah saja, melainkan tanggung jawab semua warga negara
tanpa kecuali. Jika premis yang berlaku adalah pemerintah sebagai penanggung
jawab tunggal akan ketersediaan ruang hijau di Indonesia, maka itu sama dengan
prinsip satu lawan banyak. Untuk mewujudkan Indonesia hijau, prinsip yang

3

harus digunakan adalah prinsip gotong-royong di mana semua orang bekerja
untuk mencapai satu tujuan demi kepentingan orang banyak.
Mewujudkan Indonesia yang Memiliki Pengelolaan Penanggulangan
Bencana yang Komprehensif
Prinsip pengelolaan penanggulangan bencana yang komprehensif mengacu adalah
prinsip mitigasi. Mengacu pada pengertian mitigasi dalam PP No 21 Tahun 2008
pasal 1 ayat (6) yang menyatakan bahwa “mitigasi bencana adalah serangkaian
upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun
penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana, ” maka
mitigasi dalam karya tulis ini dibagi menjadi tiga tahap yang disingkat menjadi SiTiga ( antisipasi, mitigasi dan rekonstruksi). Antisipasi adalah bentuk mitigasi
sebelum bencana terjadi. Antisipasi berarti memperhitungkan segala kemungkinan
yang berhubungan dengan bencana sebelum bencana itu terjadi. Perhitungan
tesebut meliputi perkiraan waktu kejadian, skala bencana, akibat yang

ditimbulkan, kebutuhan saat bencana terjadi. Mitigasi berarti bertindak saat
bencana terjadi. Mitigasi meliputi evakuasi, penyaluran kebutuhan pokok dan
penyediaan MCK yang memadai untuk para korban bencana, penyediaan layanan
kesehatan dan informasi bagi para korban dan evaluasi. Rekonstruksi adalah
mitigasi yang dilakukan setelah bencana terjadi. Rekonstruksi berarti perbaikan
yang dilakukan untuk mempersiapkan para korban dalam melanjutkan kehidupan
mereka dengan mempersiapkan mereka secara fisiologis dan psikologis.

C. Tujuan
Adapun tujuan dari tulisan ini adalah sebagai sarana refleksi untuk pihak
pemerintah sebagai pemegang kekuasaan di Negeri ini dan semua masyarakat
sebagai pelaku aktif dari kegiatan menghijaukan Indonesia dan penanggulangan
bencana yang komprehensif. Secara rinci, tujuannya adalah:

4

1. Menumbuhkan kesadaran pada semua warga negara terkait pentingnya
menjaga keseimbangan antara ketersediaan ruang hijau dan kebutuhan untuk
itu.
2. Meningkatkan kesadaran bahwa bencana alam begitu dekat dengan kehidupan

manusia sehingga perlu adanya kesiapan baik secara fisiologi dan psikologis
untuk menghadapinya.
3. Menciptakan kesadaran bahwa ada beberapa bencana yang sebenarnya dapat
dicegah dengan memperbanyak ruang hijau di Indonesia.

D. Manfaat
Ada dua manfaat yang diharapkan dari tulisan ini, yaitu:
1. Terciptanya tindakan nyata penyelamatan dan rekonstruksi ruang hijau di
Indonesia oleh pihak pemerintah bekerja sama dengan seluruh anggota
masyarakat.
2. Terciptanya tindakan pengelolaan bencana yang komprehensif dengan
berpegang pada prinsip antisipasi, mitigasi dan rekonstruksi.

BAB II
TELAAH PUSTAKA

A. Indonesia di Atas Peta
Indonesia terletak di 6’ LU dan 11’ LS, 95’ BT – 141’ BT. Indonesia memiliki
luas

wilayah

seluas

1.904.569

km2

(menurut

www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/id.html)
Sedangkan keadaan hutan di Indonesia dari tahun 2009-2011 tergambar berikut
ini. Hutan di Indonesia mengalami deforestisasi. Pada tahun 2009, total hutan di
Indonesia mencapai 52,5% dari luas wilayah Indonesia. Pada tahun 2010, hutan di
Indonesia tersisa 52,1% dari total wilayah Indonesia. Seangkan pada 2011,
penurunan yang cukup drastis terjadi sehingga mengakibatkan total hutan di
Indonesia tersisa 51,7%. Dalam hal ini, yang disebut hutan adalah lahan dengan
pohon baik itu yang tumbuh secara alami maupun yang ditanam dengan sengaja
setidaknya 5 meter tidak perduli apakah itu produktif maupun tidak; tanamantanaman perkebuanan seperti sawit tidak dimasukkan dalam kategori hutan.
(http://data.worldbank.org/indicator/AG.LND.FRST.ZS)
Dengan data seperti itu hingga 2011, maka dapat dikatakan bahwa Indonesia
benar-benar mengalami degradasi hutan atau yang lebih dikenal dengan istilah
deforestisasi. Kerusakan hutan yang juga merupakan kerusakan lingkungan
kemudian memperparah pada potensi bencana yang terjadi di Indonesia.

B. Konsep Bencana
Dalam UU Repiblik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, terdapat beberapa definisi seperti
“Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan,

6

baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.”
“Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa
gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan,
dan tanah longsor.”
“Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal
modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.”

“Rawan bencana adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis,
hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan
teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang
mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan
mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya
tertentu.”
“Gempa bumi adalah getaran atau guncangan yang terjadi di permukaan
bumi yang disebabkan oleh tumbukan antar lempeng bumi, patahan aktif,
akitivitas gunung api atau runtuhan batuan.”
“Letusan gunung api merupakan bagian dari aktivitas vulkanik yang
dikenal dengan istilah ?erupsi?. Bahaya letusan gunung api dapat berupa
awan panas, lontaran material (pijar), hujan abu lebat, lava, gas racun,
tsunami dan banjir lahar.”
“Tsunami berasal dari bahasa Jepang yang berarti gelombang ombak
lautan (“tsu” berarti lautan, “name” berarti gelombang ombak). Tsunami
adalah serangkaian gelombang ombak laut raksasa yang timbul karena
adanya pergeseran di dasar laut akibat gempa bumi.”

BAB III
ANALISIS DAN SINTESIS

A. Indonesia Sejauh Mata Memandang
Lembar fakta dari WWF (World Wide Fund for Nature) menyebutkan bahwa
hutan di Indonesia mengalami degradasi dari tahun ke tahun. Pada tahun 19972000, 2,8 juta hektar/tahun lenyap. Lebih lanjut, artikel tersebut menyebutkan
bahwa pada tahun 2000-2005, laju degradasi hutan di Indonesia setara dengan
364 lapangan bola/jam. Sehubungan dengan terdegradasinya hutan-hutan di
Indonesia, dituliskan pula bahwa 300 ton emisi karbon telah dilepaskan Indonesia
demi lahan perkebunan yang dibuka untuk setiap satu hektarnya.
Sumber lain menyatakan bahwa menurut peta resolusi tinggi yang diluncurkan
oleh Google Earth Indonesia tercatat sebagai pemegang peringkat satu Negara
dengan deforestasi terbesar dunia dengan kehilangan hutan sebesar 20.000
kilometer persegi selama 2011-2012. Dari sumber yang sama, disebutkan pula
bahwa Sematra dan Kalimantan adalah pulau yang paling banyak kehilangan
hutan.
(http://sains.kompas.com/read/2013/11/15/1128350/Wajah.Menyedihkan.Hutan.I
ndonesia.dalam.Peta.Google.Earth)
B. Kerusakan Lingkungan Memperparah Potensi Bencana
Ketika kerusakan lingkungan semakin parah, maka keseimbangan alam menjadi
sangat terganggu. Terganggunya keseimbangan alam berujung pada bencana.
Bencana khususnya bencana alam memang sangat dekat dengan kehidupan
manusia. Kehidupan manusia selalu dihantui oleh ketakutan akan datangnya
bencana yang pada akhirnya mengganggu kegiatan sehari-hari manusia.

8

Bencana alam memang sangat tidak bisa dihindari. Namun, pada kenyataannya,
entah secara sadar atau tidak, sesungguhnya manusia sendirilah yang telah
membuat bencana itu mendatangi mereka, yaitu ketika mereka merusak
lingkungan. Kerusakan lingkungan ini mencakup rusaknya ruang hijau, rusaknya
struktur tanah dan rusaknya sistem kebersihan sungai.
Rusaknya ruang hijau di bumi Indonesia ini semakin memperbesar potensi
bencana seperti banjir dan tanah longsor. Selain dua bencana tersebut, ancaman
emisi karbon juga merupakan bencana yang mengancam setiap saat.
Banjir didefinisikan sebagai “peristiwa atau keadaan dimana terendamnya suatu
daerah atau daratan karena volume air yang meningkat.” Dari definisi ini, dapat
ditarik kesimpulan bahwa volume air yang meningkat menjadi sumber utama
terjadinya banjir. Volume air yang meningkat ini dapat berasal dari beberapa hal
seperti curah hujan yang tinggi pada satu periode tertentu di suatu area tertentu.
(http://bnpb.go.id/page/read/5/definisi-dan-jenis-bencana)
Namun demikian, curah hujan yang tinggi bukan satu-satunya penyebab banjir
yang terjadi di Indonesia. Salah satu penyebab banjir adalah kerusakan
lingkungan. Kerusakan lingkungan di sini dapat diartikan sebagai hilangnya ruang
hijau atau hutan-hutan di Indonesia. Hutan-hutan yang dialihfungsikan oleh
berbagai pihak untuk kepentingan finansial membuka jalan akan datangnya banjir.
Hutan-hutan yang seharusnya berfungsi sebagai sarana daya serap air untuk
meminimalisir terjadinya banjir dan bahkan menyediakan cadangan air pada
musim kemarau kini telah beralih fungsi menjadi perkebunan dan perkotaan.
Hutan-hutan yang telah berubah fungsi tersebut tentu tidak mempunyai fungsi
sebagaimana hutan hijau. Perkebunan sawit adalah contoh hasil deforestasi yang
sangat merusak dan memperparah potensi bencana. Sawit yang adalah tanaman
monokotil dimana akarnya tidak dapat menyerap air yang turun dalam jumlah
besar di musim penghujan dan akarnya yang masuk jauh ke dalam tanah yang
kemudian menyerap kandungan air tanah membuat tanaman ini sama sekali tidak
berfungsi sebagai penahan air dan pencegah banjir. Lebih lanjut, akibat air hujan

9

yang tidak terserap oleh akar tanaman ini, maka air tersebut mengalir langsung ke
sungai ataupun laut dengan membawa zat-zat hara dari permukaan tanah sehingga
membuat sungai dan laut menjadi semakin dangkal. Dangkalnya sungai dan laut
memperbesar potensi banjir karena air hujan yang mengalir langsung ke sungai
yang telah dangkal dalam waktu singkat akan mengalir ke area-area lain termasuk
ke pemukiman penduduk.
Selain perkebunan sawit, alih fungsi hutan menjadi pemukiman dan perkotaan
juga memperbesar potensi banjir. Secara jelas dapat dilihat bahwa pemukiman dan
perkotaan yang penuh dengan perumahan dan bangunan tentu saja tidak memiliki
daya serap terhadap air. Walaupun telah dibuat lubang-lubang resapan air di
beberapa pemukiman dan perkotaan, hal itu tidak sebanding dengan angka
kemungkinan banjir yang mungkin terjadi. Lubang-lubang resapan biopori yang
tidak seberapa jumlahnya dan tidak dapat dibuat di sembarang tempat menjadi
tidak efektif menghalangi terjadinya banjir. Sebagai analisis sederhana, sebuah
pemukiman dan perkotaan ditutupi oleh beberapa meter persegi bangunan yang
sudah pasti menutup akses resapan air hujan ke dalam tanah. Di sebuah
pemukiman atau perkotaan juga akan sulit ditemukan lahan yang sesuai untuk
dibuat lubang-lubang resapan biopori karena sebagian besar area pemukiman dan
perkotaan pasti ditutupi oleh konblok dan aspal. Dengan demikian, kemungkinan
terjadinya banjir tetap tinggi.
Selain banjir, tanah longsor juga ancaman bencana yang sering kali menghantui
kehidupan manusia. Tanah longsor adalah “salah satu jenis gerakan massa tanah
atau batuan, ataupun percampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat
terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng.” Dari definisi
tersebut, dapat digambarkan bagaimana proses terjadinya tanah longsor. “Akibat
terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng” berarti tanah longsor
terjadi disaat tanah mengalami ketidakstabilan. Ketidakstabilan ini dapat
digambarkan sebagai keadaan tanah yang terkejut. Frekuensi terjadinya tanah
longsor terbesar adalah pada musim penghujan. Secara teori, tanah longsor terjadi
setelah tanah yang retak akibat kekeringan dimusim kemarau menerima curah

10

hujan dalam jumlah besar. (http://bnpb.go.id/page/read/5/definisi-dan-jenisbencana)
Ancaman tanah longsor biasanya dimulai pada bulan November seiring
meningkatnya intensitas hujan. Musim kering yang panjang akan
menyebabkan terjadinya penguapan air di permukaan tanah dalam jumlah
besar. Muncul-lah pori-pori atau rongga tanah, kemudian terjadi retakan
dan rekahan tanah di permukaan. Pada saat hujan, air akan menyusup ke
bagian yang retak. Tanah pun dengan cepat mengembang kembali. Pada
awal musim hujan, kandungan air pada tanah menjadi jenuh dalam waktu
singkat. Hujan lebat pada awal musim dapat menimbulkan longsor karena
melalui tanah yang merekah itulah, air akan masuk dan terakumulasi di
bagian dasar lereng, sehingga menimbulkan gerakan lateral. Apabila ada
pepohonan di permukaan, pelongsoran dapat dicegah karena air akan
diserap oleh tumbuhan. Akar tumbuhan juga berfungsi sebagai pengikat
tanah.
(http://www.ksdasulsel.org/artikel/karhut/248-faktor-penyebabtanah-longsor)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa pada dasarnya, lingkungan hijau yang sehat
dapat mengurangi potensi tanah longsor. Oleh karena itu, dapat disimpulkan
bahwa kerusakan hutan dapat memperbesar potensi terjadinya tanah longsor.
Adapun faktor lain penyebab longsor adalah beratnya beban yang ditanggung
tanah di sekitar lereng.
Adanya beban tambahan seperti beban bangunan pada lereng, dan
kendaraan akan memperbesar gaya pendorong terjadinya longsor, terutama
di sekitar tikungan jalan pada daerah lembah. Akibatnya adalah sering
terjadinya penurunan tanah dan retakan yang arahnya ke arah lembah.
(http://www.ksdasulsel.org/artikel/karhut/248-faktor-penyebab-tanahlongsor)
Dari kitipan di atas, dapat diketahui bahwa penyebab terjadinya tanah longsor
adalah akibat kerusakan lingkunan dalam hal ini adalah ketidakseimbangan antara
kondisi tanah dan beban yang harus ditahan oleh tanah dalam waktu yang lama.
Dengan demikian, kerusakan lingkungan kembali menjadi pintu gerbang
terjadinya bencana di Indonesia.
Bencana yang selanjutnya adalah emisi karbon. Emisi karbon adalah buangan
karbon dalam jumlah besar dari gas pabrik maupun kendaraan bermotor. Emisi
karbon ini berhubungan dengan efek rumah kaca yang sangat berbahaya bagi

11

kehidupan manuisa. Emisi karbon ini terjadi karena ketidakseimbangan
ketersediaan ruang hijau yang adalah hutan dengan jumlah karbon yang harus
diserap.
C. Indonesia Rawan Bencana
Indonesia adalah Negara yang cukup dekat dengan bencana. Dari data BNPB,
dapat dilihat bahwa Indonesia adalah negara yang cukup besar frekuensi kejadian
bencananya. Dalam satu bulan terakhir, ada beberapa bencana yang masuk dalam
rekam data BNPB Indonesia seperti abrasi, banjir, dan tanah longsor. Rekam
abrasi terakhir yang masuk ke BNPB adalah abrasi yang terjadi di Ds. Ujung
Pandaran Kec. Teluk sampit Kab. Kota Waringin Timur Prov. Kalteng pada
tanggal 25 Maret 2014. Rekam banjir terakhir adalah banjir yang terjadi di Ds.
Laman Mumbung Kec. Menukung Kab. Melawi Prov. Kalimantan Barat pada
tanggal 3 April 2014. Rekam tanah longsor yang terakhir adalah yang terjadi di
Ds. Panaan Kec. Bintang Arak Kab. Tabalong Prov. Kalimantan Selatan pada
tanggal 1 April 2014. (http://geospasial.bnpb.go.id/pantauanbencana/data/)
Dari contoh data bencana yang terjadi di atas, semakin jelas bahwa di Indonesia
bancana terjadi bahkan dalam kurun waktu yang relatif dekat. Data tersebut
menunjukkan betapa Indonesia adalah negara yang rawan bencana. Masih lekat di
ingatan warga negara Indonesia bagaimana tahun 2014 dimulai dengan
pertunjukan bencana di berbagai daerah. Di ibukota Indonesia, banjir terjadi
selama berminggu-minggu di pinggiran kali dan bahkan di pusat kota. Di Sumatra
Utara, gunung Sinabung menunjukkan keperkasaannya dengan menciptakan
letusan dahsyat yang menghancurkan daerah-daerah sekitar dan mengakhiri
perjalanan hidup para korban tewas. Di Jawa Timur, Gunung Kelud seakan tidak
mau kalah dengan Gunung Sinabung sehingga lutusan luar biasa di tengah malam
pun menjadi layaknya pertunjukan kembang api di malam pergantian tahun.

12

Bencana Alam
Mengacu pada pengertian di bagian telaah pustaka, bencana alam adalah bencana
yang terjadi karena pengaruh alam. Bencana alam tidak dapat dibatalkan, ataupun
dicegah. Contoh bencana alam adalah gunung meletus, gempa bumi, puting
beliung, dan tsunami. Secara umum, bencana alam dapat dikaitkan langsung
dengan unsur alam. Gunung meletus memiliki hubungan dengan gunung berapi,
gempa bumi berkaitan dengan lempengan bumi, puting beliung berkaitan dengan
angin, dan tsunami berkaitan dengan lempengan dan pergerakan air laut.
Walaupun tidak dapat dicegah, namun bencana alam dapat diprediksi waktu
terjadinya dengan adanya kemajuan teknologi pada jaman ini. Seperti halnya
gunung meletus yang dapat dipredikasi waktu meletusnya dengan alat pemantau
aktivitas gunung api mapun dengan menghitung siklus letusan gunung.
Bencana Akibat Ulah Manusia
Fakta membuktikan bahwa semakin maju teknologi, semakin banyak ruang hijau
yang terdegradasi. Semakin banyak investasi, semakin berkurang ruang hijau di
Indonesia. Hal-hal seperti ini seharusnya dapat dihindari. Jika manusia memiliki
kesadaran yang cukup mengenai pentingnya menjaga kelestarian ruang hijau di
negeri ini, maka bencana seperti banjir sangat dapat dihindari. Apabila ada
perencanaan yang matang dan pertimbangan yang baik, maka fenomena turunnya
lapisan tanah di Jakarta tidak perlu terjadi.
Banjir adalah salah satu bencana yan terjadi akibat ulah manusia. Seperti yang
telah dijelaskan pada bagian “Kerusakan Lingkungan Memperparah Potensi
Bencana” (hal.9), bahwa salah satu penyebab utama banjir adalah tingkat
deforestasi yang tinggi diIndonesia. Deforestasi terjadi karena ulah manusia
dimana manusia dengan pertimbangan yang berat sebelah yaitu lebih
mementingkan keuntungan finansial daripada keuntungan kelestarian ruang hijau.
Seandainya manusia bisa memaksimalkan rasionalitas mereka dalam berpikir
guna menjaga kehidupan sampai ratusan tahun mendatang, maka hal-hal seperti
ini tidak perlu terjadi. Kurangnya penghargaan manusia akan nilai hidup yang

13

tidak dapat hanya diukur dari sudut pandang finansial membuat manusia lupa
bahwa apa yang mereka lakukan akan berdampak besar pada kehidupan mereka.
Dalam hal ini, agaknya peribahasa “yang menbur angin akan menuai badai”
cukup tepat untuk menggambarkan bencana akibat ulah manusia ini. Banjir adalah
contoh pengaplikasiannya. Ketika orang-orang dengan pertimbangan finansialnya
menabur angin dengan mempercepat laju deforstasi dan menggantinya dengan
pohon-pohon sawit dan beton, maka badai yang akan datang setelahnya adalah
banjir yang pada akhirnya merugikan banyak pihak termasuk mereka yang tidak
ambil bagian dalam deforestasi tersebut.
D. Mengelola Bencana Secara Komprehensif
Menyadari fakta bahwa Indonesia adalah negara rawan bencana, maka menjadi
hal yang sangat penting untuk memiliki penanganan yang komprehensif terhadap
bencana yang dapat terjadi kapan saja. Mengelola bencana berarti mempersiapkan
diri untuk menghadapi bencana yang datang. Pengelolaan bencana yang
komprehensif dibagi menjadi tiga bagian yaitu antisipasi, mitigasi dan
rekonstruksi (Si Tiga).
Si Pertama: Antisipasi

Pribahasa lama “sedia payung sebelum hujan” sangat relevan untuk menyuarakan
semangat antisipasi. Membuat bencana tidak terjadi, terutama bencana alam
tampaknya tidak mungkin. Hal yang dapat dilakukan dalam sehubungan dengan
bencana alam adalah mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya dalam
menghadapi bencana yang datang.
Dalam bagian antisipasi ini, pihak pemerintah sebagai pengayom masyarakat
memegang peranan penting dalam memprediksi waktu, skala dan akibat
terjadinya suatu bencana. Dengan mengetahui perkiraan waktu terjadinya suatu
bencana, diharapkan korban jiwa dapat dikurangi. Kemudian, dalam tahap
antisipasi ini, yang harus dilakukan adalah mempersiapkan segala kebutuhan
selama bencana terjadi untuk tetap menjaga kesehatan dan keselamatan korban
bencana alam di pengungsian. Dalam hal antisipasi, penyediaan dana menjadi hal

14

yang sangat penting. Hal ini tentu saja harus dimasukkan kedalam anggran
pemerintah.
Pada bagian ini, perencanaan yang panjang dan matang sangat diperlukan karena
yang dipertaruhkan adalah nyawa manusia. Seperti yang telah disebutkan pada
bagian “Bencana Alam” (ha. 13) kemajuan teknologi dapat dimanfaatkan untuk
memprediksi waktu terjadinya bencana alam. Dengan mengetahui predikasi waktu
terjadinya bencana, pemerintah dapat dengan cepat membuat agenda evakuasi dini
guna mengurangi jatuhnya korban jiwa. Prediksi waktu kejadian juga berguna
bagi pemerintah untuk dengan cepat memilih titik-titik yang dapat dijadikan
tempat pengungsian pasca bencana. Masyarakat sekitar tempat kejadian juga
dapat mengurangi kerugian materi dengan adanya prediksi ini. Mereka dapat
menyelamatkan surat-surat dan barang-barang berharganya.
Prediksi skala bencana juga diperlukan untuk mengurangi kepanikan warga yang
berada di daerah sumber bencana. Sering kali isu mengenai besarnya area bencana
yang tersebar dari mulut ke mulut yang hanya merupakan asumsi menyebar
dengan cepat di kalangan masyarakat sehingga menimbulkan kepanikan yang
akan berdampak pada jatuhnya korban yang seharusnya dapat dihindari.
Prediksi akibat dari suatu bencana akan sangat membantu untuk mempersiapkan
pemerintah dan juga masyarakat dalam merespon bencana alam yang akan terjadi
sehingga keperluan selama bencana dapat dipersiapkan. Contohnya adalah erupsi
Gunung Kelud pada Maret 2014 lalu. Tidak adanya prediksi akibat yang
dipublikasikan sebelumnya yang berupa hujan abu di beberapa daerah seperti
Yogyakarta dan Klaten mengakibatkan ketidaksiapan masyarakat akan masker
yang pada hari ketiga di beberapa daerah menjadi barang langka. Seandainya
prediksi akibat yang berupa hujan abu di beberapa titik itu ada dan dipublikasikan
secara resmi, maka pemasok masker untuk titik-titik tertentu akan menaikkan
jumlah pasokan mereka sehingga kejadian masker langka tidak akan terjadi.
Selain pemerintah, masyarakat sekitar tempat perkiraan bencana juga harus
berperan aktif guna meminimalisir korban jiwa dan kerusakan materi. Dalam

15

banyak kejadian, masyarakat yang tidak kooperatif membuat usaha pemerintah
terkesan sia-sia. Masyarakat sekitar yang cenderung percaya dengan keyakinan
yang diturunkan secara turun temurun membuat usaha pemerintah dalam
melakukan antisipasi seperti komunikasi satu arah tanpa ada reaksi positif.
Menumbuhkan kesadaran akan pentingnya penyelamatan dini dalam pikiran
masyarakat memang tidak mudah. Penanaman nilai itu harus dilakukan sedini
mungkin dan dilakukan oleh orang terdekat. Orang terdekat dapat berarti kepala
desa atau ketua RT setempat atas intsruksi dari pemerintah. Mempersiapkan
masyarakat dalam hal ini dapat berarti memberikan pendidikan bencana kepada
masyarakat. Hal ini diharapkan akan meningkatkan kesiapan masyarakat dalam
mengadapi bencana. Pendidikan bencana alam ini tentu harus dilakukan jauh ahri
sebelum bencana terjadi. Pemerintah dapat mengagendakan pendidikan bencana
ini di beberapa titik. Pendidikan bencana ini menjadi penting karena banyak
masyarakat tidak mengetahui tindakan pertama yang harus mereka ambil saat
bencana terjadi.
Sebagai contoh nyata adalah bencana gempa bumi. Untuk masyarakat yang
berdomisili di sekitar pulau Jawa, gempa bumi adalah hal yang biasa. Namun
berbeda dengan mereka yang berada di pulau Kalimantan di mana gempa bumi
tidak pernah terjadi. Masalah muncul saat masyarakat luar pulau Jawa seperti
Kalimantan datang ke Pulau Jawa seperti Yogyakarta. Contoh sederhana adalah
para pelajar dan mahasiswa yang sebagian besar berasal dari luar pulau Jawa di
mana gempa bumi bukan hal yang biasa dialami. Akibat ketidaktahuan yang
berasal dari tidak adanya pendidikan bencana adalah kepanikan dan kesalahan
pengambilan tindakan penyelamatan diri. Yang lebih parah adalah saat mereka
tidak sadar bahwa gempa bumi sednag terjadi.
Mempersiapkan tempat tinggal di tempat lain juga dirasa perlu sebagai bagian dari
antisipasi. Memiliki tempat tinggal di tempat lain akan memudahkan masyarakat
untuk mencari tempat berlindung segera setelah prediksi waktu, skala dan akibat
bencan diumumkan secar resmi oleh pihak pemerintah dalam hal ini adalah BNPB

16

(Badan Nasional penanggulangan Bencana). Dengan demikian, diharapkan korban
jiwa dan keruskan material benar-benar dapat diminimalisir.
Si Kedua: Mitigasi

Mitigasi berarti pengelolaan pada saat bencana alam terjadi. Mitigasi meliputi
evakuasi, penyaluran bantuan berupa kebutuhan pokok manusia beserta
penyediaan MCK dan penyediaan layanan kesehatan dan informasi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, evakuasi berarti pengungsian atau
pemindahan penduduk dari daerah-daerah yang berbahaya, seperti bahaya perang,
bahaya banjir, dan meletusnya gunung api ke daerah yang aman. Evakuasi
bertujuan memindahkan korban-korban yang belum sempat mengamankan diri
setelah pengumuman prediksi dilakukan oleh BNPB sehingga sampai pada waktu
terjadi bencana alam, mereka masih terperangkap di area berbahaya. Evakuasi
dilakukan dengan menyisir lokasi-lokasi pemukiman di zona bahaya dengan
perlengkapan yang memadai. Dalam bagian evakuasi ini, perlu adanya
keikutsertaan petugas kesehatan untuk memberikan pertolongan cepat dan tepat
bagi korban yang karena kondisi tertentu memerlukan pertolongan segera.
Hidup di tengah pengungsian bukanlah hal yang mudah. Hidup di suatu gedung
atau bahkan tenda dengan puluhan bahkan ratusan orang untuk jangka waktu
tertentu bukanlah perkara yang dapat dilihat sebelah mata. Kehidupan yang sangat
berbeda dengan kehidupan sehari-hari ditambah dengan keadaan yang sangat
tidak kondisif memperparah kehidupan para korban bencana alam di pengungsian.
Oleh karena itu, penyediaan semua kebutuhan korban di pengungsian menjadi
sangat penting.
Penyediaan kebutuhan pokok yang meliputi penyediaan tempat tinggal, makanan,
dan pakaian untuk para korban bencana alam adalah prioritas utama. Dalam hal
penyediaan kebutuhan pokok ini, kelayakan tempat pengungsian sering kali
menjadi sorotan. Banyak kritik bermunculan apabila suatu tempat pengungsian
masih terkena akses bencana. Dalam kasus erupsi gunung Kelud pada 13 Maret
2014 lalu misalnya, di tenda-tenda pengungsian terdapat banyak partikel abu

17

vulkanik yang seharusnya dihindari kontaknya baik dengan kulit dan mata.
Namun, para pengngsi harus hidup di dalam tenda berdesak-desakan dengan
orang lain dan berdampigan dengan abu vulkanik.
Selain itu, MCK suatu tempat pengungsian juga menjadi penting. Karena hidup di
lingkungan pengungsian, para korban bencan alam ini seharusnya mendapat
fasilitas MCK yang memadai. Mereka adalah korban, pihak yang telah menderita
banyak kerugian secara materi dan mental. MCK menjadi salah satu bagian
pentingkehidupan manusia, bahkan menentukan kualitas kesehatan manusia.
Ketika kualitas MCK di pengungsian berada pada level buruk, kehidupan mereka
bagaikan pribahasa “sudah jatuh tertima tangga.” MCK seharusnya menjadi
kompensasi yang diberikan kepada para koban bencana alam. MCK yang baik
adalah MCK dengan saluran pembuangan yang baik dan dengan ketersediaan air
yang cukup setara dengan jumlah pengungsi.
Hal berikutnya adalah makanan. Makanan menjadi sangat penting karena jelas
bahwa para pengungsi tidak dapat mengolah makanan mereka sendiri karena
mereka tidak punya apa-apa. Sejauh ini, penyaluran makanan telah cukup baik.
Namun, ada satu masalah mengenai makanan yang selama ini disalurkan kepada
para korban bencana alam. Sangat jelas bahwa hidup di lingkungan pengungsian
dengan berbagai tekanan yang ada tentu membuat sistem imun para pengungsi
menurun. Makanan lalu memegang peranan penting untuk menjaga kestabilan
asupan gizi mereka. Namun sayangnya, prinsip penyaluran makanan adalah
prinsip “agar mereka tidak kelaparan” bukan “agar mereka tetap sehat.” Hal itu
dapat dilihat dari betapa banyaknya mie instan yang dikirim ke pengungsian dan
dikonsumsi oleh para pengungsi. Mie instan bukanlah makanan sehat yang dapat
menjaga keseimbangan gizi para pengungsi. Yang seharusya mereka terima
adalah makanan dengan minimal rumus empat sehat. Empat sehat berarti
kebutuhan akan karbohidrat, vitamin, dan protein terpenuhi.

18

Penyediaan makanan dan susu bayi juga penting. Sering kali, kebutuhan bayi akan
asupan makanan dan susu menjadi tidak terpenuhi. Masalahnya dapat berasal dari
pendataan yang kurang baik terhadap para pengungsi.
Penyediaan layanan kesehatan juga menjadi bagian penting dalam mitigasi
bencana ini. Menjaga kesehatan atau memperbaiki kualitas kesehatan para korban
haruslah mendapat perhatian serius dari pemerintah. Ketika tahap antisipasi telah
berhasil mengurangi korban jiwa pasca bencana, bukan berarti benar-benar tidak
akan ada korban jiwa. Jika kesehatan para pengungsi memburuk, lalu pelayanan
kesehatan juga tidak memadai, maka itu sama artinya dengan menggagalkan
upaya penyelamatan korban jiwa pada tahap antisipasi.
Informasi dan konsultasi psikologis juga menjadi kebutuhan utama selain
sandang, papan, pakaian di pengungsian. Saat seorang terjebak dalam lingkungan
pengungsian, ia akan merasa sangat tertekan. Ia akan mulai mengkhawatirkan halhal yang ia tinggalkan di rumahnya. Pertanyaan mengenai kapan waktunya untuk
kembali ke rumah selalu ada di kepala mereka. Informasi yang tidak jelas akan
mengakibatkan pertanyaan-pertanyaan itu berkembang jadi rasa penasaran yang
tinggi dan bahkan dapat mengakibatkan mereka secara diam-diam kembali ke
rumah mereka untuk memastikan bahwa barang-barang yang mereka tinggalkan
masih dapam keadaan baik-baik saja. Itulah mengapa informasi menjadi sangat
penting.
Rekonstruksi
Dampak dari suatu bencana alam mencakup berbagai aspek. Mulai dari aspek
material, aspek perekonomian sampai aspek psikologis. Setelah terjadi bencana,
kehidupan di suatu daerah tidak akan sama seperti saat sebelum bencana itu
terjadi. Oleh karena itu diperlukanlah rekonstruksi. Rekonstruksi berarti
memperbaiki segala bentuk kerusakan akibat bencana alam guna menormalkan
kehidupan manusia pasca bencana alam.
Rekonstruksi meliputi rekonstruksi atas fasilitas umum seperti rumah sakit,
sekolah, pasar; rekonstruksi atas aspek finansial dan rekonstruksi psikologis.

19

Rekonstruksi atas fasilitas umum menjadi penting karena fasilitas umum tersebut
merupakan fasilitas penunjang kualitas kehidupan para korban bencana.
Rekonstruksi atas aspek finansial berarti membantu para korban bencana untuk
hidup kembali. Rekonstruksi finansial ini dapat dilakukan dengan pemberian
modal usaha kepada para korban bencana alam yang sifatnya pinjaman. Itu berarti
para pengungsi berkewajiban untuk mengembalikan modal itu kepada pihak
pemerintah. Pengembalian dapat dilakukan dengan cara mengangsur setiap
bulannya. Dengan demikian, ada satu rekonstruksi lagi yang secara tidak sadar
terjadi di sini, yaitu rekonstruksi mental. Dengan memiliki tanggung jawab untuk
mengangsur, para korban merasa bertanggung jawab untuk bekerja lebih giat
supaya dapat mencukupi kebutuhannya sendiri dan membayar pinjaman modal
dari pemerintah.
Rekonstrusi psikologis dilakukan guna mempersiapkan para korban dari segi
psikologis. Trauma akibat bencana akan berdampak buruk apabila tidak ditangani
secara cepat dan tepat. Maka pemerintah diharapkan memfasilitasi para korban
untuk mendapatkan layanan konsultasi gratis secara berkala hingga para korban
benar-benar siap untuk melanjutkan hidup mereka pasca terjadinya bencana.
Sehingga apabila suatu saat terjadi bencana serupa, tidak aka nada ketakutan yang

Evakuasi
Penyediaan kebutuhan
dasar
•pangan, sandang
•MCK
Penyediaan layanan
kesehatan
•pengobatan
Penyediaan layanan
informasi

Rekonstruksi

Prediksi
•Waktu
•Skala
•Akibat
Penyediaan titi-titik
pengungsian
Pendidikan Bencana

Mitigasi

Antisipasi

berlebihan. Secara sistematis, proses Si-Tiga digambarkan sebagai berikut:
Fasilitas umum
•Rumah sakit
•Sekolah
•Pasar
Finansial
•Peminjaman modal
usaha - rekonstruksi
mental
Psikologis

BAB IV
SIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Mewujudkan Indonesia Hijau, Meminimalkan Bencana
Menjaga ruang hijau untuk tetap ada merupakan langkah tepat meminimalisir
bencana. Hal itu dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti membiarkan hutan
berfungsi sebagimana mestinya. Hal ini berarti tidak boleh ada pengalihan fungsi
hutan kebentuk lainnya seperti perkebunan Selain itu, menjaga ruang hijau dari
ancaman beton-beton berwarna menjadi sangat perlu. Sangatlah penting untuk
mempertimbangkan pentingnya ketersediaan ruang hijau demi keseimbangan
kehidupan. Pribahasa orang Indian, “hanya bila pohon terakhir telah tumbang
ditebang, tetes air sungai terakhir sudah tercemai dan ikan ikan terakhir sudah
ditangkap, kita akan sadar bahwa kita tidak bisa makan uang” sangat tepat untuk
melukiskan bagaimana lingkungan harus dijaga.
B. Siap Bencana dengan Si-Tiga
Berangkat dari fakta bahwa frekuensi keajadian bencana alam di Indonesia cukup
tinggi, maka pengelolaan penanggulangan bencana yang komprehensif sangat
diperlukan untuk menekan kerugian dalam bentuk korban jiwa maupun materi.
Penanggulangan yang komprehensif dapat dilakukan dengan 3-si (Antisipasi,
Mitigasi, dan Rekonstruksi). Antisipasi yang dilakukan sebelum bencana dapat
meminimalisir korban jiwa; mitigasi yang dijalankan saat bencana terjadi dapat
memfasilitasi

kehidupan

para

korban

bencana;

dan

rekonstruksi

yang

dilaksanakan setetlah bencan terjadi dapat membantu para korban untuk
mempersiapkan kehidupan mereka.

21

DAFTAR PUSTAKA
Balai Besar KSDA Sulawesi Selatan, “Faktor Penyebab Tanah Longsor”
http://www.ksdasulsel.org/artikel/karhut/248-faktor-penyebab-tanah-longsor
(diakses tanggal 4 April 2014)
BNPB, “Data Pantauan Bencana”
http://geospasial.bnpb.go.id/pantauanbencana/data/ (diakses tanggal 4 April 2014)
BNPB, “Definisi Dan Jenis Bencana” http://bnpb.go.id/page/read/5/definisi-danjenis-bencana (diakes tanggal 4 April 2014)
CIA, “The World Factbook” www.cia.gov/library/publications/the-worldfactbook/geos/id.html (diakses tanggal 4 April 2014)
KBBI daring http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/ (diakses tanggal 4 April
2014)
Presiden Republik Indonesua, UU Repiblik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana
Presiden Republik Indonesia, PP No 21 Tahun 2008 pasal 1 ayat (6) tentang
Penanggulangan Bencanas
The World Bank, “Forest area (% of land area)”
http://data.worldbank.org/indicator/AG.LND.FRST.ZS (diakses tanggal 4 April
2014)
Utomo, Yunanto, Wiji. “Wajah Menydihkan Hutan Indonesia dalam Peta Google
Earth”
http://sains.kompas.com/read/2013/11/15/1128350/Wajah.Menyedihkan.Hutan.In
donesia.dalam.Peta.Google.Earth (diakes tanggal 4 April 2014)
World Wide Fund for Nature, 2009, Lembar Fakta “Hutan Indonesia: Penyerap
atau Pelepas Emisi Gas Rumah Kaca” tersedia di
http://www.wwf.or.id/tentang_wwf/upaya_kami/forest_spesies/resources/lembar_
fakta/?10741/Deforestasi.