PENDEKATAN ANTROPOLOGI DALAM KAJIAN ISLA

PENDEKATAN ANTROPOLOGI DALAM KAJIAN ISLAM
A. PENDAHULUAN
Studi Agama tidak cukup dipahami menggunakan pendekatan teologis normatif, tapi
perlu menggunakan pendekatan-pendekatan baru yang sesuai dengan perkembangan
pemikiran, dinamika sosial bahkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Studi
agama kontemporer perlu memperhatikan dua spek yaitu aspek normative dan aspek historis.
Aspek normative adalah apa yang terkandung dalam ajaran agama yang terdapat dalam teksteks (Al-Quran dan hadis), belief, dan dogma. Sementara aspek historitas adalah prkatik
konkrit dari suatu masyarakat dalam menjalankan teks-teks, belief, dan dogma-dogma.
Pendek kata, kita harus mengamati agama dari dua sudut pandang yaitu ajaran dan praktek
ajaran itu sendiri. Hal ini dibutuhkan karena dalam menjalankan praktek-praktek ajaran
agama antara satu masyarakat dengan mayrakat lainnya terdapat perbedaan. Prakteknya
berbeda padahal sumber dari ajaran tersebut sama. Perbedaan itu pun mencakup ruang dan
waktu. Artinya perbedaan tidak hanya terjadi pada lanskap antar wilayah yang membawahi
budaya, tetapi juga antar waktu yang mana praktek-praktek agama dalam dunia tradisional
(lampau) dan kekinian (modern) juga berbeda.
Dalam

upayanya

dalam


pengaktualisasian

studi-studi

agama

Islam

maka

diperlukanlah alat-alat analisis atau metode-metode kontemporer. Hal itu lah yang
melatarbelakangi digunakannya metode-metode barat untuk mengamati fenomena umat
Islam, salah satunya adalah antropologi. Dengan pendekatan antropologi dalam studi Islam
dapat memahami agama Islam secara lebih kontemporer atau dengan kata lain tidak hanya
sebagai doktrin yang bersifat monolitik1, tetapi sekaligus juga dapat memahami Islam yang
bersifat pluralistik2. Dengan ini maka agama Islam mampu dipelajari secara lebih universal,
artinya apapun agamanya seseorang akan mampu melihat fenomena-fenomena yang ada
dalam praktek-praktek ajaran Islam.
Memahami Islam dengan menggunakan berbagai pendekatan atau cara pandang
disiplin suatu keilmuan adalah amat mungkin dilakukan, bahkan harus dilakukan karena

Islam dengan sumber ajaran utamanya yangt erdapat dalam Al Qur’an dan Sunnah memang
bukan hanya berbicara masalah akidah, ibadah, akhlak dan kehidupan akhirat saja, melainkan

1 Mempunyai sifat seperti kesatuan terorganisasi yang membentuk kekuatan tunggal dan berpengaruh.
(http://glosarium.org/arti/?k=monolitik)
2 M. Amin Abdullah, Studi agama: normativitas atau historisitas?, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hlm. 104

1

berbicara tentang ilmu pengetahuan, teknologi, sejarah, sosial, pendidikan, politik, ekonomi,
kebudayaan, seni dan lain sebagainya.
B. PEMBAHASAN
a. Pengertian Antropologi
Antropologi adalah cabang ilmu yang usia perkembangannya relatif lebih muda
dari cabang ilmu lainnya. Ilmu ini sebenarnya mulai berkembang bersamaan dengan abad
pelayaran dunia.3 Sebagai sebuah ilmu, Antropologi banyak bersinggungan dengan ilmuilmu sosial lainnya, bahkan ilmu Sains, seperti Biologi maupun kedokteran. Antropologi
seringkali mendapat pengaruh dari berbagai ilmu ini, baik dalam bentuk teori, metode,
bahkan hasil penelitian.
Antropologi adalah kajian tentang sistem-sistem yang berkaitan dengan manusia
dan cara-cara hidup mereka, baik dari segi budaya, perilaku, keanekaragaman, dan lain

sebagainya. Antropologi berasal dari Bahasa Yunani “anthropos” yang artinya manusia
dan “logy” atau “logos” yang berarti ilmu, jadi Antropologi adalah ilmu

yang

mempelajari tentang manusia.4 Sedangkan pengertian secara harfiah adalah studi ilmu
yang membahas tentang manusia dari segi keanekaragaman fisik, serta kebudayaannya
baik itu tradisi, cara berperilaku, dan nilai moral.5
Antropologi adalah salah satu cabang ilmu sosial yang mempelajari tentang
budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari
ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang
berbeda dari apa yang dikenal di Eropa.
Sedangkan definisi Antropologi menurut para ahli dipaparkan sebagai berikut:
Ralfh L Beals dan Harry Hoijen
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dan semua apa yang
dikerjakannya.6

3 Sare, Yuni dan Citra, Petrus, Antropologi SMA/MA Kls XI, Grasindo, Jakarta, 2006, hlm. 4
4 Tedi Sutardi, Antropologi: Mengungkap Keragaman Budaya, PT. Setia Putra Inves, Bandung, 2007, hlm. 4
5 M. Ilham Akbar H, Definisi, Tujuan dan Ruang Lingkup Antropologi, Kompasiana, diakses dari

http://m.kompasiana.com/post/read/648444/1/definisi-tujuan-dan-ruang-lingkup-antropologi.html
tanggal
26
Oktober 2014 pukul 15.00
6
Rini
Indryawati,
PENGANTAR
ANTROPOLOGI,
Kompasiana,
diakses
dari
http://indryawati.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/28362/PENGANTAR.ppt. tanggal 26 Oktober 2014 pukul
15.39

2

William A. Haviland
Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang
bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang

lengkap tentang keanekaragaman manusia.7
David Hunter
Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang
umat manusia.8
Koentjaraningrat
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan
mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.9
a) Cabang-cabang Ilmu Antropologi
Secara garis besar Antropologi dibagi menjadi Antropologi Fisik dan
Antropologi Sosial Budaya, pengertiaannya adalah sebagai berikut:
1. Antropologi Fisik
Antropologi fisik adalah bagian dari ilmu antropologi yang mencoba
mencapai suatu pengertian tentang sejarah terjadinya manusia dipandang dari
sudut ciri-ciri tubuhnya,10 yang memakai ciri-ciri tubuh sebagai bahan
penelitiannya, baik ciri-ciri lahir seperti bentuk tubuh, maupun ciri-ciri dalam,
seperti frekuensi golongan darah dan sebagainya. Antropologi fisik dibagi
menjadi dua bagian yaitu:
a. Paleoantropologi, ilmu yang mempelajari asal usul manusia dan evolusi
manusia dengan meneliti fosil-fosil.
b. Somatologi, ilmu yang mempelajari keberagaman ras manusia dengan

mengamati ciri-ciri fisik.
2. Antropologi Sosial dan Budaya
7 Antropologi, Wikipedia, diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Antropologi. tanggal 26 Oktober 2014 pukul
16.10
8 Ibid
9 ibid
10 Abu Ahmadi, Antropologi budaya: mengenal kebudayaan dan suku-suku bangsa di Indonesia, Penerbit Pelangi,
Surabaya, 1986, hlm. 3

3

Antropologi budaya melihat atau mempelajari manusia yang berkaitan
dengan materi-materi kebudayaan seperti misalnya, alat-alat hidup, perumahan,
kesenian, norma, perilaku dan lain sebagainya yang ada dalam masyarakat.
Antropologi Sosial Budaya dibagi menjadi empat bagian yaitu:
a. Prehistori, ilmu yang mempelajari sejarah penyebaran dan perkembangan
semua kebudayaan manusia di bumi sebelum manusia mengenal tulisan.
b. Etnolinguistik antropologi, ilmu yang mempelajari pelukisan tentang ciri dan
tata bahasa dan beratus-ratus bahasa suku-suku bangsa yang ada di dunia /
bumi.

c. Etnologi, ilmu yang mempelajari asas kebudayaan manusia di dalam
kehidupan masyarakat suku bangsa di seluruh dunia.
d. Etnopsikologi, ilmu yang mempelajari kepribadian bangsa serta peranan
individu pada bangsa dalam proses perubahan adat istiadat dan nilai universal
dengan berpegang pada konsep psikologi.
b) Fase Perkembangan Antropologi
Antropologi sebagai ilmu tidak muncul begitu saja, namun berkembang
melalui fase-fase yang ada. Dalam antropologi terdapat 4 fase yang terjadi dalam
perkembangan antropologi sebagai ilmu,11 yaitu:
1. Fase Pertama (sebelum 1800)
Sekitar abad ke-15-16, bangsa-bangsa di Eropa mulai berlomba-lomba
untuk menjelajahi dunia. Mulai dari Afrika, Amerika, Asia, hingga ke Australia.
Dalam penjelajahannya mereka banyak menemukan hal-hal baru. Mereka juga
banyak menjumpai suku-suku yang asing bagi mereka. Kisah-kisah petualangan
dan penemuan mereka kemudian mereka catat di buku harian ataupun jurnal
perjalanan. Bahan-bahan yang berisi tentang deskripsi suku asing tersebut
kemudian dikenal dengan bahan etnogragfi atau deskripsi tentang bangsa-bangsa.
2. Fase Kedua (tahun 1800-an)
Pada fase ini, bahan-bahan etnografi tersebut telah disusun menjadi
karangan-karangan berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat pada saat itu.

masyarakat dan kebudayaan berevolusi secara perlahan-lahan dan dalam jangka
waktu yang lama. Mereka menganggap bangsa-bangsa selain Eropa sebagai
11 Tedi Sutardi, op. cit. hlm. 3

4

bangsa-bangsa primitif yang tertinggal, dan menganggap Eropa sebagai bangsa
yang tinggi kebudayaannya.
3. Fase Ketiga (awal abad ke-20)
Pada fase ini, negara-negara di Eropa berlomba-lomba membangun koloni
di benua lain seperti Asia, Amerika, Australia dan Afrika. Dalam rangka
membangun koloni-koloni tersebut, muncul berbagai kendala seperti serangan
dari bangsa asli, pemberontakan-pemberontakan, cuaca yang kurang cocok bagi
bangsa

Eropa

serta

hambatan-hambatan


lain.

Dalam

menghadapinya,

pemerintahan kolonial negara Eropa berusaha mencari-cari kelemahan suku asli
untuk kemudian menaklukannya. Untuk itulah mereka mulai mempelajari bahanbahan etnografi tentang suku-suku bangsa di luar Eropa, mempelajari kebudayaan
dan kebiasaannya, untuk kepentingan pemerintah kolonial.
4. Fase Keempat (setelah tahun 1930-an)
Pada masa ini perkembangan antropologi bertambah pesat dan luas.
Bertambahnya pengetahuan yang lebih teliti dan ketajaman dalam metode
ilmiahnya sangat mengesankan. Adanya perkembangan yang pesat ini
mengakibatkan hilangnya sedikit demi sedikit masyarakat primitif dan
kebudayaan-kebudayan kuno. Antropologi dimasa ini berperan dalam dua hal
yakni, dalam bidang akademik dan juga tujuan praktis. Tujuan dalam bidang
akademiknya berusaha untuk mencapai pengertian manusia dengan mempelajari
keragaman bentuk fisik, masyarakat dan kebudayaannya. Sedangkan tujuan
praktisnya adalah mempelajari, memahami dan membangun masayarakat suku

bangsa.
b. Antropologi Agama
Antropologi berusaha untuk mengkaji sistem-sistem yang berkaitan dengan
kehidupan manusia, masyarakat, serta budayanya. Mengkaji agama dengan menggunakan
pendekatan antropologi membuahkan ilmu yang dikenal dengan istilah antropologi
agama.12 Kajian agama melalui tinjauan antropologi dapat diartikan sebagai salah satu
upaya untuk memahami agama dengan melihat wujud praktik keagamaan (tindakan,
perilaku) yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Kajian ini diperlukan sebab
12 Feryani Umi Rosidah, PENDEKATAN ANTROPOLOGI DALAM STUDI AGAMA, Jurnal Religio Volume 02
Nomor 01 Tahun 2011, hlm. 1

5

elemen-elemen agama bisa dijelaskan dengan tuntas melalui pendekatan antropologi dan
juga ilmu sosial lainnya. Sehingga dalam memahami ajaran agama manusia dapat
dijelaskan melalui bantuan antropologi, dengan menggunakan (bantuan) teori-teori di
dalamnya. Hal ini bertujuan untuk mendeskripsikan bahwa agama mempunyai fungsi,
melalui simbol-simbol atau nilai-nilai yang dikandungnya dan “hadir di mana-mana”.
Antropologi Agama adalah ilmu pengetahuan yang berusaha mempelajari tentang
manusia yang menyangkut agama dengan pendekatan budaya, atau disebut juga

Antropologi Religi.13 Meskipun ada yang berpendapat ada perbadaan pengertian antara
Antropologi Agama dengan Antropologi Religi, namun keduanya mengandung arti
adanya hubungan antara manusia dengan kekuasaan yang ghaib. Keduanya juga
menyangkut adanya buah pikiran sikap dan perilaku manusia dalam hubungannya dengan
kekuasaan yang tidak nyata.
Dalam hubungannya dengan Antropologi, agama ikut mempengaruhi, bahkan
membentuk stuktur sosial, budaya, ekonomi, politik dan kebijakan umum. Dengan
pendekatan ini kajian studi agama dapat dikaji secara komprehensif melalui pemahaman
atas makna terdalam dalam kehidupan beragama di masyarakat. Kemudian dapat terlihat
bahwa

ada

korelasi

antara

agama

dengan

berbagai

elemen

kehidupan

manusia/masyarakat.
a) Pendekatan Antropologis dalam Memahami Agama
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai
salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan
yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.14 Melalui pendekatan ini agama
tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan
berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan kata lain bahwa caracara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologis dalam melihat suatu masalah
digunakan pula untuk memahami agama.
Antropologi dalam kaitan ini sebagaimana dikatakan Dawam Rahardjo, lebih
mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif.15 Dari sini timbul
13 Hilman Hadikusuma, Antropologi agama: pendekatan budaya terhadap Aliran Kepercayaan, Agama Hindu,
Budha, Kong Hu Cu, di Indonesia. Bagian I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 9
14 Iqbal Suma, Muhammad dan Syafi'i, Muhammad, Dinamika Wacana Islam, Penerbit Eurabia, Jakarta Timur,
2014, hlm. 8
15 M. Dawam Rahardjo, Intelektual, inteligensia dan perilaku politik bangsa: risalah cendekiawan Muslim,
Penerbit Mizan, Bandung, 1993, hlm. 149

6

kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya induktif yang mengimbangi pendekatan
deduktif sebagaimana digunakan dalam pengamatan sosiologis.
Sejalan dengan pendekatan tersebut, maka dalam berbagai penelitian
antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan positif antara kepercayaan
agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Karl Marx (1818-1883), sebagai contoh,
melihat agama sebagai opium atau candu masyarakat tertentu sehingga
mendorongnya untuk memperkenalkan teori konflik atau yang biasa disebut dengan
teori pertentangan kelas.16 Menurutnya, agama bisa disalahfungsikan oleh kalangan
tertentu untuk melestarikan status quo peran tokoh-tokoh agama yang mendukung
sisten kapitalisme di Eropa yang beragama Kristen. Lain halnya dengan Max Weber
(1964-1920). Dia melihat adanya korelasi positif antara ajaran Protestan dengan
munculnya semangat kapitalisme modern.17 Etika Protestan dilihatnya sebagai cikal
bakal etos kerja masyarakat industri modern yang kapitalistik.
Melalui pendekatan antropologis fenomenologis kita juga dapat melihat
hubungan antara agama dan negara (state and religion). Contohnya seperti Vatikan
dalam bandingannya dengan negara-negara sekuler di sekelilingnya di Eropa Barat.
Juga melihat kenyataan negara Turki modern yang mayoritas penduduknya beragama
Islam, tetapi konstitusi negaranya menyebut sekularisme sebagai prinsip dasar
kenegaraan yang tidak dapat ditawar-tawar. Belum lagi meneliti dan membandingkan
Kerajaan Saudi Arabia dan negara Republik Iran yang berdasarkan Islam.
b) Metode dalam Mempelajari Antropologi Agama
Yang menjadi titik studi Antropologi Agama adalah bukan kebenaran
ideologis melainkan kenyataan yang nampak yang berlaku, yang empiris, atau juga
bagaimana hubungan pikiran sikap dan perilaku manusia dalam hubungannya
dengan yang ghaib.
Beberapa cara dalam studi Antropologi Agama, yaitu dengan mempelajari
dari sudut sejarah, ajarannya yang bersifat normatif, atau dengan cara deskriptif atau
dan dengan cara yang bersifat empiris antara lain:18
1. Metode Historis
16 M. Amin Abdullah, op. cit. hlm. 31
17 Abdurrahman, Ali, A. Mukti, Daya, Burhanuddin, dan Djamʹannuri, Agama dan masyarakat: 70 tahun H.A.
Mukti Ali, IAIN Sunan Kalijaga Press, Yogyakarta, 1993, hlm.516
18 Hilman Hadikusuma, op. cit. hlm. 12

7

Dengan metode yang bersifat sejarah yang dimaksud ialah menelusuri pikiran dan
perilaku manusia tentang agamanya yang berlatar belakang sejarah, yaitu sejarah
perkembangan budaya agama sejak masyarakat manusia masih sederhana
budayanya sampai budaya agamanya yang sudah maju.
2. Metode Normatif
Dengan metode normatif dalam studi Antropologi Agama dimaksudkan
mempelajari norma-norma (kaidah-kaidah, patokan-patokan atau sastra-asatra
suci agama) maupun yang merupakan perilaku adat kebiasaan yang tradisional
yang tetap berlaku, baik dalam hubungan manusia dengan alam ghaib maupun
dalam hubungan antara sesama manusia yang bersumber dan berdasarkan ajaranajaran agama masing-maisng.
3. Metode Deskriptif
Dengan metode ini dalam Antropologi Agama dimaksudkan ialah berusaha
mencatat, melukiskan, menguraikan, melaporkan tentang buah pikiran sikap
tindak dan perilaku manusia yang menyangkut agama dalam kenyataan yang
implisit.
4. Metode Empiris
Metode ini mempelajari pikiran sikap dan perilaku agama manusia yang
diketemukan dari pengalaman dan kenyataan di lapangan. Artinya yang berlaku
sesungguhnya dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, dengan menitikberatkan
perhatian terhadap kasus-kasus kejadian tertentu (metode kasus).
c. Pendekatan Antropologi dalam Kajian Islam
Posisi penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya
persoalan utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia,
karena persoalan-persoalan yang dialami manusia sebenarnya adalah persoalan agama. 19
Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan
keagamaannya. Para antropolog menjelaskan keberadaan agama dalam kehidupan
manusia dengan membedakan apa yang mereka sebut sebagai common sense dan
19 Jamhari Ma'ruf, PENDEKATAN ANTROPOLOGI DALAM KAJIAN ISLAM, Direktorat Perguruan Tinggi Agama
Islam Departement Agama, diakses dari http://www.ditpertais.net/artikel/jamhari01.asp, tanggal 26 Oktober 2014
pukul 17.00

8

religious atau mystical event.20 Dalam satu sisi common sense21 mencerminkan kegiatan
sehari-hari yang biasa diselesaikan dengan pertimbangan rasional ataupun dengan
bantuan teknologi, sementera itu religious sense adalah kegiatan atau kejadian yang
terjadi di luar jangkauan kemampuan nalar maupun teknologi.
Dengan demikian memahami Islam yang telah berproses dalam sejarah dan
budaya tidak akan lengkap tanpa memahami manusia. Karena realitas keagamaan
sesungguhnya adalah realitas kemanusiaan yang mengejawantah dalam dunia nyata.
Terlebih dari itu, makna hakiki dari keberagamaan adalah terletak pada interpretasi dan
pengamalan agama. Oleh karena itu, antropologi sangat diperlukan untuk memahami
Islam, sebagai alat untuk memahami realitas kemanusiaan dan memahami Islam yang
telah dipraktikkan atau dalam bahasa lainnya Islam yang menjadi gambaran
sesungguhnya dari keberagamaan manusia.
Kemudian sebagai akibat dari pentingnya kajian manusia, maka mengkaji budaya
dan masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia juga menjadi sangat penting.
Kebudayaan, sebagai system of meaning yang memberikan arti bagi kehidupan dan
perilaku manusia, adalah aspek esensial manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam
memahami manusia. Oleh karena itu analisis tentang kebudayaan dan manusia dalam
tradisi antropologi tidaklah berupaya menemukan hukum-hukum seperti di ilmu-ilmu
alam, melainkan kajian interpretatif untuk mencari makna (meaning).
Dalam Islam manusia digambarkan sebagai khalifah (wakil) Tuhan di muka bumi.
Secara antropologis ungkapan ini berarti bahwa sesungguhnya realitas manusia adalah
realitas ketuhanan. Tanpa memahami realitas manusia-termasuk di dalamnya adalah
realitas sosial budayanya-pemahaman terhadap ketuhanan tidak akan sempurna, karena
separuh dari realitas ketuhanan tidak dimengerti. Di sini terlihat betapa kajian tentang
manusia, yang itu menjadi pusat perhatian antropologi, menjadi sangat penting.
Pentingnya mempelajari realitas manusia ini juga terlihat dari pesan Al-Qur’an
ketika membicarakan konsep-konsep keagamaan. Al-Qur’an seringkali menggunakan
“orang” untuk menjelaskan konsep kesalehan. Misalnya, untuk menjelaskan tentang
konsep takwa, Al-Qur’an menunjuk pada konsep “muttaqien”, untuk menjelaskan konsep
20 ibid
21 suatu kemampuan yang dimiliki manusia dalam kedudukannya sebagai subjek yang ingin mengetahui dalam
rangka suatu perbuatan mengetahui selain kemampuan-kemampuan manusia yang telah melembaga yakni indera,
rasio,
intuisi,
dan
keyakinan,
otoritas,
atau
keyakinan
(Hospers,
1953:122-140)
(http://1duy.wordpress.com/2010/01/25/makna-common-sense/)

9

sabar, Al-Qur’an menggunakan kata “orang sabar” dan seterusnya. Kalau kita merujuk
pada pesan Qur’an yang demikian itu sesungguhnya, konsep-konsep keagamaan itu
termanifestasikan dalam perilaku manusia. Oleh karena itu pemahaman konsep agama
terletak pada pemahaman realitas kemanusiaan.
d. Aplikasi Pendekatan Antropologi Dalam Mengkaji Islam
Pengaplikasian

antropologi

dalam

mengkaji

Islam

dan

ummat

Islam

menggunakan pendekatan antropologi budaya dan antropologi sosial, dan juga di
dalamnya mengkaji fenomena keberagaman umat Islam. Pendekatan dan pemahaman
terhadap fenomena keagamaan lewat antropologi seperti halnya mendekati dan
memahami “objek” agama dari berbagai sudut pengamatan yang berbeda-beda.
Melalui pendekatan antropologi sebagaimana disebut Abuddin Nata, sosok agama
yang berada pada dataran emperik akan dapat dilihat serat-seratnya dan latar belakang
mengapa ajaran agama tersebut muncul dan dirumuskan. 22 Antropologi berusaha
mengkaji hubungan agama dengan pranata sosial yang terjadi dalam masyarakat,
mengkaji hubungan agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Dengan menggunakan
pendekatan antropologi dapat diketahui bahwa doktrin-doktrin dan fenomena-fenomena
keagamaan ternyata tidak berdiri sendiri dan tidak pernah terlepas dari jaringan institusi
atau kelembagaan sosial kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya. Inilah makna
pendekatan antropologi dalam memahami fenomena-fenomena keagamaan.
Penerapan pendekatan antropologi dalam mengkaji Islam dan umat Islam
sebagaimana yang telah dilakukan oleh Clifford Greezt dalam karyanya The Religion of
Java. Dalam karyanya tersebut, Greezt melihat adanya klasifikasi sosial dalam
masyarakat muslim di Jawa, antara santri, priyayi dan abangan.23
Karya Geertz ini disebut untuk sekedar memberikan ilustrasi bahwa kajian
antropologi di Indonesia telah berhasil membentuk wacana tersendiri tentang hubungan
agama dan masyarakat secara luas. Antropologi yang melihat langsung secara detil
hubungan antara agama dan masarakat dalam tataran grassroot memberikan informasi
yang sebenarnya yang terjadi dalam masyarakat. Melihat agama di masyarakat, bagi
antropologi adalah melihat bagaimana agama dipraktikkan, diinterpretasi, dan diyakini
22
Abu
Faiq,
PENDEKATAN
ANTROPOLOGI
DALAM
STUDI
ISLAM,
diakses
dari
hhttp://abufaiq798.blogspot.com/2013/02/pendekatan-antropologi-dalam-studi.html, tanggal 26 Oktober 2014 pukul
13.00
23 Moeslim Abdurrahman, Bersujud di Baitullah: ibadah haji, mencari kesalehan hidup, PT Kompas Media
Nusantara, Jakarta, 2009, hlm.xi

10

oleh penganutnya. Jadi pembahasan tentang bagaimana hubungan agama dan budaya
sangat penting untuk melihat agama yang dipraktikkan.
Praktek lain dalam penggunaan antropologi dalam pengkajian Islam adalah
praktek tradisi Islam lokal di pesisir24. Buku Islam pesisir mencoba mendengarkan suara
masyarakat pesisir dalam mengkonstruksi tradisi islam lokal (upacara lingkungan hidup),
ritual ekonomi, ritual hari-hari penting) dalam bingkai penggolongan sosio-religi-kultural
yang ada dalam kalangan mereka sendiri. Tarik ulur antara budaya lokal dan ajaran Islam
ini menghasilkan dinamika budaya masyarakat setempat 25. Kemudian yang terjadi adalah
sinkretisme dan atau akulturasi budaya seperti: praktek meyakini iman di dalam ajaran
Islam akan tetapi masih mempercayai berbagai keyakinan lokal.
Di masyarakat pesisir didapati serangkaian upacara lingkungan hidup, yaitu dari
upacara kehamilan sampai kematian. Upacara kehamilan (neloni, mitoni atau tingkeban),
kelahiran (procotan), mudun lemah dan perkawinan diungkapkan dengan konsep
brokohan atau bancaan. Sedangkan untuk upcara kematian (geblake, neloni, mitoni,
metang puluh, nyatus, mendak, nyewu) dikonsepsikan dengan istilah slametan atau
nylameti. Brokohan secara etimologis berasa dari kata Arab barakah atau berkah di dalam
kata Indonesia. Bancaan berasal dari kata Jawa (bancah) yang berarti ada sesuatu yang
dibaca yaitu doa-doa dan ijab kabul. Slametan berasal dari kata Arab (keta kerja: salama)
yang dalam kata Indonesia selamat.
Dilihat dari pengaplikasiannya dapat dipahami bahwa pendekatan antropologi
bisa dijadikan untuk mendukung penjelasan bagaimana fenomena-fenomena keagamaan
dapat terjadi dan bagaimana keterkaitannya dengan jaringan institusi dan kelembagaan
sosial yang mendukung keberadaannya.
e. Dalil-dalil Al-Quran yang Berkaitan dengan Pendekatan Antropologi
Surat Ath-Thoriq ayat 5 - 7
(5) Maka hendaklah manusia memperhatikan dari Apakah Dia diciptakan? (6) Dia
diciptakan dari air yang dipancarkan (7) yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki
dan tulang dada perempuan.
24 Syam, Nur, Islam Pesisir, LkiS Yogyakarta, Yogyakarta, 2005.
25 Dalam penelitian ini Nur Syam ingin menilai ulang konsep konsepsi Geertz, khusunya abangan dan santri sebagai
varian budaya jawa, dengan mencoba untuk mengkaji bahwa abangan dan santri adalah varian Islam. Selain itu
juga untuk melihat ulang bagaiman Islam sinkretik, sebagaimana pandangan Geertz yang melihat bahwa Islam Jawa
adalah agama sinkretik yang merupakan paduan antara ajaran Islam, Hindu Budha, dan agama lokal (animisme).
Lebih lengkap bisa dilihat pada rumusan masalah halaman 11.

11

Surat Ar-Ruum ayat 20
(20) dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah,
kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak.
C. KESIMPULAN
Dari berbagai cabang ilmu dan metode-metode yang ada untuk memahami agama
(terutama Islam), tidak akan lengkap tanpa memahami realitas manusia yang tercermin dalam
budayanya. Posisi penting manusia dalam Islam seperti digambarkan dalam proses
penciptaannya yang ruhnya merupakan tiupan dari ruh Tuhan, memberikan indikasi bahwa
manusia menempati posisi penting dalam mengetahui tentang Tuhan. Dengan demikian
pemahaman agama secara keseluruhan tidak akan tercapai tanpa memahami manusia. Di
sinilah letak pentingnya kajian antropologi dalam mengkaji Islam. Sebagai ilmu yang
mengkhususkan diri mempelajari manusia-yang merupakan realitas empiris agama, maka
antropologi juga merupakan separuh dari ilmu agama itu sendiri.
Dengan pendekatan antropologi, semua kepercayaan agama terbuka untuk dikaji
secara kritis dan ditransformasikan ke arah yang lebih baik (humanis). Hasil kajian
antropologi terhadap realitas kehidupan masyarakat dapat menumbuhkan pemahaman
terhadap keragaman keberagaman masyarakat Islam di segala tingkatnya.

12

D. DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin, 1996, Studi agama: normativitas atau historisitas?, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar
Abdurrahman, Ali, A. Mukti, Daya, Burhanuddin, dan Djamʹannuri, 1993, Agama dan
masyarakat: 70 tahun H.A. Mukti Ali, Yogyakarta, IAIN Sunan Kalijaga Press
Abdurrahman, Moeslim, 2009, Bersujud di Baitullah: ibadah haji, mencari kesalehan hidup,
Jakarta, PT Kompas Media Nusantara
Ahmadi, Abu, 1986, Antropologi budaya: mengenal kebudayaan dan suku-suku bangsa di
Indonesia, Surabaya, Penerbit Pelangi
Akbar H, M. Ilham, Definisi, Tujuan dan Ruang Lingkup Antropologi, Kompasiana, diakses
dari http://m.kompasiana.com/post/read/648444/1/definisi-tujuan-dan-ruang-lingkupantropologi.html tanggal 26 Oktober 2014 pukul 15.00
Antropologi, Wikipedia, diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Antropologi. tanggal 26
Oktober 2014 pukul 16.10
Faiq, Abu, PENDEKATAN ANTROPOLOGI DALAM STUDI ISLAM, diakses dari
hhttp://abufaiq798.blogspot.com/2013/02/pendekatan-antropologi-dalam-studi.html,
tanggal 26 Oktober 2014 pukul 13.00
Hadikusuma, Hilman, 1993, Antropologi agama: pendekatan budaya terhadap Aliran
Kepercayaan, Agama Hindu, Budha, Kong Hu Cu, di Indonesia. Bagian I, Bandung ,
PT. Citra Aditya Bakti
http://1duy.wordpress.com/2010/01/25/makna-common-sense/
http://glosarium.org/arti/?k=monolitik
Indryawati,

Rini,

PENGANTAR

ANTROPOLOGI,

Kompasiana,

diakses

dari

http://indryawati.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/28362/PENGANTAR.ppt.
tanggal 26 Oktober 2014 pukul 15.39
Ma'ruf, Jamhari, PENDEKATAN ANTROPOLOGI DALAM KAJIAN ISLAM, Direktorat
Perguruan

Tinggi

Agama

Islam

Departement

Agama,

diakses

dari

http://www.ditpertais.net/artikel/jamhari01.asp, tanggal 26 Oktober 2014 pukul 17.00
13

Rahardjo, M. Dawam, 1993, Intelektual, inteligensia dan perilaku politik bangsa: risalah
cendekiawan Muslim, Bandung, Penerbit Mizan
Rohma, Yolanda Nur, ASAS ASAS DAN RUANG LINGKUP ILMU ANTROPOLOGI,
academia.edu,

diakses

dari

http://www.academia.edu/4523502/ASAS_ASAS_DAN_RUANG_LINGKUP_ILMU
_ANTROPOLOGI, tanggal 26 Oktober 2014 pukul 17.00
Rosidah, Feryani Umi, PENDEKATAN ANTROPOLOGI DALAM STUDI AGAMA, Jurnal
Religio Volume 02 Nomor 01 Tahun 2011
Sare, Yuni dan Citra, Petrus, 2006, Antropologi SMA/MA Kls XI, Jakarta, Grasindo
Suma, Iqbal, Muhammad dan Syafi'i, Muhammad, 2014, Dinamika Wacana Islam, Jakarta
Timur, Penerbit Eurabia
Sutardi, Tedi, 2007, Antropologi: Mengungkap Keragaman Budaya, Bandung, PT. Setia Putra
Inves
Syam, Nur, Islam Pesisir, LkiS Yogyakarta, Yogyakarta, 2005

14