BAJAK LAUT DALAM PERSPEKTIF ETIKA KONFUS

BAJAK LAUT DALAM PERSPEKTIF ETIKA KONFUSIAN:
Kisah Bajak Laut dalam Masyarakat Maritim China Selatan pada
Masa Modern Awal
Slamet Subekti
Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro

Pendahuluan
Perbincangan akademis tentang bajak laut dalam konteks Indonesia telah
berlangsung selama dua dasawarsa ini dipelopori oleh sejarawan tersohor Prof.
AB Lapian. Beliau dianugerahi gelar sebagai “Nakhoda Pertama Maritim di Asia
Tenggara” yang disematkan oleh Shaharil Talib, sejarawan dan guru besar
Universitas Malaya sebagai bukti dedikasinya di bidang ilmu yang digelutinya
(http://www.hariankomentar.com/arsip_2008/sep_11/L1006.html,

diunduh

17

Februari 2010). Sementara di tempat lain, Prof. Djuliati Suroyo sejak menjelang
milenium kedua telah menjadi lokomotif yang mengusung gerbong jurusan
sejarah Universitas Diponegoro dengan visi kemaritiman, dan tulisan ini

dipersembahkan kepada beliau.
Saya tertarik untuk menulis kisah bajak laut di China Selatan pada masa
modern awal, karena terinspirasi artikel Robert Antony –beliau profesor sejarah
pada Western Kentucky University USA—yang dimuat di IIAS Newsletter # 36,
Maret 2005 (http://www.iias.nl/36/IIAS_NL36_07.pdf, diunduh 17 Februari
2010). Tulisan ini sekaligus merespon kekecewaan saudara Akhriyadi Sofian,
seorang antropolog dan anggota forum komunikasi pekerja sosial masyarakat kota
Singkawang sebagaimana diungkapkan dalam resensi buku Prof. AB Lapian,
Orang Laut Bajak Laut Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX
dimuat di harian Kompas, edisi Sabtu 12 Desember 2009. Peresensi merasa
kecewa ketika tidak menemukan aktivitas maritim dari orang-orang China dalam

1

buku tersebut. (http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/12/05493259/sejarahoran..., diunduh 20 Februari 2010).
Sehubungan dengan minat saya mempelajari filsafat China, keberadaan
bajak laut akan dikaitkan dengan etika Konfusian dalam artian sebagai ajaran
moral, bukan mengacu pada Konfusianisme sebagai ideologi politik. Penulisan
makalah ini dimaksudkan untuk mengungkapkan aktivitas sekelompok orang
yang lekat dengan tindakan kekerasan dan kejahatan di lautan. Betapa pun bajak

laut China menurut ideal etika Konfusian telah melakukan pelanggaran, tetapi
secara eksistensial pilihan jalan hidup mereka tidak lepas dari kondisi sosial
ekonomi pada waktu itu.
Gambaran umum yang berkembang tentang bajak laut adalah sosok
petualang pemberani, pemberontak heroik maupun penjahat yang haus darah.
Kiranya fakta dan fiksi tentang bajak laut senantiasa mempesona orang dari segala
usia, tetapi keberadaan bajak laut tetap menyisakan pertanyaan yang menggelitik.
Apa arti penting bajak laut bagi kemaslahatan dan signifikansi kajian perompakan
bagi pengembangan penulisan dan pembelajaran sejarah?
Bajak Laut dan Sejarah Maritim
Konsep bajak laut baru dikenal setelah kemunculan negara atau
pemerintahan yang sah, berhubung hanya negara yang boleh melakukan tekanan
dan kekerasan. Menurut AB Lapian yang melakukan kajian tentang orang laut,
bajak laut, dan raja laut, khususnya di kawasan Laut Sulawesi abad 19,
menegaskan bahwa wilayah kepulauan Indonesia tidak seluruhnya dikuasai oleh
Hindia Belanda, masih ada pulau yang dikuasai kerajaan. Istilah bajak laut
dimunculkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk memberangus
kekuatan kerajaan yang merongrong kekuasaannya. Orang-orang laut yang dicap
penguasa Hindia Belanda sebagai bajak laut itu sama dengan raja laut yang sah
dan memiliki kekuasaan, sehingga bajak laut merupakan kekuatan tandingan dari

negara Hindia Belanda yang sah. Ironisnya, perkembangan sejarah maritim di
Indonesia seperti diasingkan dari masyarakat disebabkan adanya penilaian negatif
pada

orang-orang

laut

yang

diidentikkan

dengan

bajak

laut

2


(http://dutamasyarakat.com/artikel-24616-cerita-lapian-soal-bajak-laut.html,
diunduh 17 Februari 2010).
Kajian tentang bajak laut penting karena dapat menginformasikan tentang
kehidupan orang. Sebagian besar bajak laut berasal dari pekerja kelas bawah yang
tidak puas, demikian halnya dengan pelaut dan nelayan terpaksa terjun ke dunia
perompakan karena kemiskinan. Mereka biasanya orang yang tidak memiliki
pekerjaan tetap dan terjerat hutang, rentang usia bajak laut berkisar antara dua
puluhan hingga empat puluhan tahun. Pekerjaan mereka di lautan memerlukan
kecepatan bergerak dari satu pelabuhan ke lain pelabuhan, dan dari satu kapal ke
lain kapal untuk melakukan penyerangan dan perampasan barang muatan
(http://www.iias.nl/36/IIAS_NL36_07.pdf, diunduh 17 Februari 2010).
Pada masa sulit dan langka pekerjaan, banyak pelaut yang bekerja di
kapal-kapal bajak laut. Perompakan dianggap sebagai tindakan rasional dan
pekerjaan alternatif meskipun menghasilkan upah rendah. Bagi sebagian besar
profesional bajak laut menggangap pekerjaan mereka tetap, sementara sebagian
kecil lainnya sebagai pekerjaan sambilan. Oleh karena itu, perompakan
mempunyai fungsi penting dalam menyediakan pekerjaan bagi mereka yang tidak
terserap dalam pasar tenaga kerja.
Fenomena bajak laut bukan hanya menarik, tetapi signifikan dalam rangka
menginformasikan sejarah suatu bangsa. Dalam konteks China antara 1520 hingga

1810 telah terjadi kebangkitan dalam perompakan di sepanjang pantai selatan,
mulai dari provinsi Zhejiang hingga ke pulau Hainan. Kurun waktu itu merupakan
masa keemasan perompakan di China, yang terdiri dari tiga periode: pertama,
perompak-pedagang masa dinasti Ming pertengahan 1520 sampai 1575; kedua,
perompak-pemberontak masa transisi dinasti Ming ke Qing antara 1620 dan 1684;
dan ketiga, perompak-umum masa pertengahan dinasti Qing dari 1780-1810.
Belum pernah terjadi dalam sejarah bahwa perompak sedemikian kuat dan
mampu bertahan selama 290 tahun mendominasi wilayah lautan China Selatan.
Sementara itu, di Barat pada awal abad 19 masa kejayaan perompakan mengalami
kemunduran dari puncak populasi bajak laut tidak lebih dari 5.500 orang,
sedangkan jumlah bajak laut di China mencapai puncak populasi tidak kurang dari

3

70.000 orang. Pada satu sisi, bajak laut membawa malapetaka bagi banyak
masyarakat setempat dan mengganggu ekonomi; di lain sisi, mereka berkontribusi
terhadap perkembangan ekonomi, sosial dan budaya China pada masa modern
awal.
Pada puncak kekuasaan bajak laut telah mencengkeram desa-desa pesisir
dan kota-kota pelabuhan, baik terhadap usaha perkapalan maupun perikanan

melalui penggunaan teror yang sistematis, penyuapan, dan pemerasan. Selama
masa tertentu semua kapal yang beroperasi di sepanjang pantai China menghadapi
serangan bajak laut, kecuali mereka membeli surat ijin melewati. Untuk
menghindari serangan, para pedagang dan nelayan jung membayar biaya
perlindungan kepada para perompak yang menerbitkan paspor, dan pada
gilirannya menjamin impunitas bagi pembelinya.
Pada awal abad ke-19 bajak laut China telah mengontrol secara virtual
terhadap perdagangan garam yang dimonopoli oleh negara, dan bahkan pedagang
Barat membayar 'upeti' kepada para perompak untuk melindungi kapal-kapal
mereka. Sistem pemerasan dilembagakan dengan sertifikat pendaftaran, buku
rekening, pembukuan, dan biro pemungutan. Pemerasan bagi bajak laut bukan
bertujuan jangka pendek untuk memperoleh pendapatan, tetapi dalam jangka
panjang dijadikan dasar untuk mendominasi daerah. Bajak laut mampu menembus
struktur masyarakat lokal melalui pembentukan skema perlindungan yang tidak
sah. Pemerasan merupakan cara langsung dan efektif bagi bajak laut untuk
menerapkan hegemoni terhadap suatu daerah. Bajak laut sebenarnya membentuk
tingkat kontrol terhadap masyarakat maritim dengan beroperasi secara
independen, dan bahkan kemampuan kontrol mereka lebih besar daripada
pemerintah dan elit lokal. Oleh karena itu, perompakan menjadi signifikan dan
kekuatannya meresap dalam masyarakat pesisir China Selatan.

Lebih lanjut, bajak laut membangun benteng bukan hanya di pulau-pulau
terpencil, tetapi di dalam dan sekitar wilayah pusat perdagangan dan politik,
seperti Kanton, Macao, Chaozhou, Amoy, dan Fuzhou. Di wilayah tersebut, para
bajak laut melakukan pemberontakan, dan mereka mendirikan 'biro pajak' untuk
mengumpulkan upeti dan pembayaran tebusan. Mereka juga melakukan

4

konspirasi dengan tentara, pegawai bawahan kantor pemerintah, dan pejabat lokal.
Kedekatan posisi sarang bajak laut dengan pusat-pusat ekonomi dan politik
menjadi indikasi yang jelas betapa perompakan telah merasuk dalam masyarakat
maritim China.
Perompakan dalam Perspektif Etika Konfusian
Pemikiran Konfusian berorientasi humanistik dan mengajarkan pandangan
hidup yang humanis. Pemikiran ini berkaitan dengan Konfusius (Kung Tzu, 551476 SM), seorang filsuf China kuna yang menggambarkan dirinya sebagai
transmiter budaya, bukan pencipta budaya. Konfusius adalah pendiri mazhab
Cendekiawan (Ju), yang di Barat dikenal sebagai mazhab Konfusianisme. Mazhab
ini gemar mempelajari Kitab Klasik Nan Enam (Liu Yi), yaitu: Yi, Shih, Shu, Li,
Yueh, dan Ch’un Ch’iu (Fung Yu-lan, Sejarah Ringkas Filsafat China, 1990: 49).
Pengembangan diri –bukan hanya mengacu pada satu dimensi—agar lebih

bermakna perlu melibatkan pengalaman dan refleksi terhadap banyak hal yang
berkaitan dengan kehidupan manusia. Sebagai diri yang didefinisikan sebagai
transmiter, Konfusius menemukan lima bidang pengalaman dan perhatian
manusia dalam budaya yang diwarisinya. Menurut beliau, kelima bidang
pengajaran di bawah ini sangat penting bagi proses pembelajaran untuk menjadi
manusia seutuhnya (Tu Wei-ming, Etika Konfusianisme, 2005: 9-11).
Bidang pengajaran pertama adalah puisi, dalam arti seni dan musik.
Manusia bukanlah semata orang yang mendapatkan sesuatu seketika dan praktis.
Manusia terlibat dalam sebuah konteks budaya yang lebih luas. Dimensi
pengalaman ini diwujudkan dalam Buku Puisi (Shih), salah satu tradisi klasik
Konfusius. Melalui ekspresi seni muncul dalam resonansi internal seseorang –
semacam getaran—yang timbul dari interaksi dirinya dengan alam sekitar. Lebih
jauh lagi, puisi menggambarkan emosi dan perasaan seseorang dalam bentuk
ekspresi seni yang berkemanusiaan.
Bidang kedua adalah pengajaran perilaku baik kepada anak-anak:
bagaimana berjalan, duduk, menggunakan tangan, dan berperilaku baik. Latihan
semacam itu disebut dengan ritualisasi raga. Sebagai satu seni pendidikan

5


Konfusian, hal itu dapat ditemukan dalam Buku Ritual (Li). Dalam hal ini, ritual
bukanlah satu bingkai isyarat yang kosong dan tanpa makna yang diterapkan
kepada anak-anak agar berada dalam kontrol dogmatis dalam berperilaku. Juga
bukan sebagai ritual kaku yang mengajarkan perilaku benar dalam bentuk tertentu
saja, melainkan sarana berbagi dalam komunikasi verbal maupun nonverbal.
Bidang ketiga adalah sejarah. Sejarah merupakan memori kolektif,
pengetahuan tantang asal-muasal keberadaan kita. Memiliki perhatian pada
sejarah berarti kita harus mengetahui dan peduli terhadap norma-norma dan ideide utama yang dianut oleh masyarakat banyak di mana kita menjadi bagian
daripadanya. Sebaliknya, tidak peduli dengan sejarah tidak berbeda dengan orang
yang tidak memiliki memori. Pemahaman tersebut dituangkan Konfusius dalam
Buku Catatan Musim Semi dan Musim Gugur (Ch’un Ch’iu).
Bidang keempat adalah pandangan politik. Seseorang bukan hanya sebagai
makhluk seni, atau makhluk sosial dan makhluk sejarah; tetapi ia juga harus
menjadi

makhluk

politik

yang


berpartisipasi

secara

responsif

dan

bertanggungjawab dalam perpolitikan masyarakat. Pandangan partisipasi politik
ini diartikulasikan dalam Buku Sejarah atau Buku Dokumen (Shu).
Bidang kelima yang harus dipelajari manusia untuk menjadi manusia
disimbolkan dalam salah satu buku klasik yang sangat sulit dipahami yaitu Buku
Perubahan

(I

Ching).

Dalam


terminologi

modern,

Buku

Perubahan

merepresentasikan masalah ekologi, dalam arti lingkungan maupun spiritual.
Manusia bukan hanya berada dalam dunia orang lain secara antropologis,
melainkan di sebaliknya terdapat dunia yang lebih luas lagi. Oleh karena itu,
seseorang membutuhkan pandangan kosmos secara ekologis.
Intisari dari tradisi Konfusian coba diungkapkan oleh Mencius dengan
mengacu pada karakterisasi cara menjadi manusia sejati, meliputi empat kualitas
moral dasar (Tu Wei-ming, Etika Konfusianisme, 2005: 14-15). Pertama, setiap
manusia dianugerahi perasaan simpati, yaitu kemampuan untuk merasakan belas
kasih terhadap penderitaan orang lain. Kedua, setiap manusia diberikan perasaan
malu; terlepas dari apakah ia kembangkan perasaan itu maupun tidak. Manusia
mengetahui cara untuk menghindari perbuatan yang dapat menimbulkan rasa

6

malu, jadi rasa malu memberikan semacam rangsangan untuk memiliki rasa
bermoral. Ketiga, setiap manusia memiliki rasa hormat dan kerelaan sebagai dasar
bagi kebenaran dan sebagai sistem ritual yang memungkinkan seseorang
berkomunikasi dengan yang lain, baik verbal maupun nonverbal. Keempat, setiap
manusia dibekali kemampuan untuk membedakan antara yang benar dan salah,
dan lebih mengutamakan yang benar. Menurut Mencius, karakteristika ini
merupakan sifat bawaan setiap manusia. Berbagai sifat tersebut menjadi dasar
bagi manusia untuk hidup bermasyarakat dan berkomunikasi dengan mereka.
Banyak sarjana bersepaham bahwa Konfusianisme merupakan inti budaya
China. Pemikiran filsafat tentang kode keluarga hingga sistem pemerintahan pada
dasarnya banyak dikembangkan oleh para sarjana Konfusian. Sebagai akibatnya,
baik kebijakan publik maupun hubungan antarpribadi didasarkan pada etika
Konfusian. Konfusianisme telah berkembang menjadi sistem yang kompleks
tentang moral, sosial, politik, filsafat, dan quasi-religi yang memiliki pengaruh
besar pada budaya dan sejarah Asia Timur. Boleh jadi dianggap sebagai agama
negara di China, Korea, Taiwan, Vietnam dan Singapura, karena pemerintah
mempromosikan filsafat Konfusianisme. Ajaran-ajaran dasar Konfusianisme
menekankan arti penting perkembangan moral individu, sehingga negara dapat
diatur oleh kebajikan moral daripada dengan menggunakan hukum yang bersifat
memaksa (http://en.wikipedia.org/wiki/Confucianism, diunduh 17 Februari 2010).
Konfusianisme dengan demikian bercorak Homopiety, yaitu perhatian dan
penghormatan kepada laki-laki dan perempuan sebagai pribadi. Akan tetapi,
terdapat juga kritikan bahwa Konfusianisme tidak feminis (lihat Kristeva, Julia
About Chinese Woman, New York: Urizen Books, 1977). Secara tradisional,
model klasik ajarannya mengacu pada “filial piety” (hsiao)—artinya kesetiaan
seorang anak laki-laki kepada ayah atau orang tuanya. Homopiety mengacu pada
ide manusia secara spesifik. Homopiety menolak baik antroposentrisme maupun
naturalisme, karena keduanya berat sebelah dan tidak bijaksana dalam mengenali
eksentrisitas manusia. Antroposentrisme di satu sisi terlalu menjunjung tinggi
manusia, sementara naturalisme di lain sisi terlalu merendahkan manusia.

7

Konfusianisme lazim dikarakteristikan sebagai “humanisme praktis”,
karena kepeduliannya pada seni praktis tentang kehidupan manusia dengan
sesama dalam kehidupan dunia sehari-hari. Sebagai humanisme praktis,
Konfusianisme memfokuskan perhatiannya pada manusia dan apa yang
dilakukannya. Premis berikut ini bersifat radikal bahwa akar dari manusia adalah
dirinya sendiri. Konfusianisme mulai dan berakhir pada manusia, karena bagi
Konfusius tidak ada yang “di seberang humanisme”. Humanitas bertumpu pada
manusia (jen) –humanitas mengacu pada dua-serangkai arti manusia sebagai
kolektivitas, dan kausalitas asali manusia. Demikianlah jen merupakan pilar
humanisme praktis Konfusius. Tanpa jen, apalagi tanpa mempraktikkannya,
manusia tidak akan menjadi manusia seutuhnya.
Menjadi seorang manusia (jen) adalah menjadi insani (jen). Menurut
Konfusius dalam Analect of Confusius, jen adalah mencintai semua manusia, dan
chih (pengetahuan) adalah mengenal semua manusia. Inovasi Konfusius terletak
dalam menjadikan jen sebagai “keutamaan universal” yang menjadi tolok ukur
bagi “keutamaan” lain dalam relasi antar manusia. Jen juga disebut “keutamaan
yang sempurna” dari segala keutamaan, seperti kebenaran (i), kesopanan (li),
kebijaksanaan (chih) dan kepercayaan (hsin). Manusia yang mempraktikkan jen
juga mempraktikkan chung –kaidah emas positif: ”perlakukan orang lain
sebagaimana engkau ingin diperlakukan”, dan shu –kaidah emas negatif: ”jangan
perlakukan orang lain sebagaimana engkau tidak ingin diperlakukan”.
Perasaan para bajak laut dan pelaut pada umumnya risau, karena
keberadaannya berseberangan dengan gambaran masyarakat ideal Konfusian
tersebut. Mereka secara sosial dan budaya telah melanggar batas, yang ditandai
dengan penyimpangan nilai-nilai ortodoks dan standar perilaku. Diterpa kesulitan,
prasangka dan kemiskinan, bajak laut menciptakan budaya hidup berdasarkan
kekerasan, kejahatan dan perilaku buruk, yang dicirikan perilaku kelewat profan,
mabuk, berjudi, berkelahi, dan melacur. Pelaut yang mobile telah membawa ide
dan nilai yang mereka dapatkan dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain dan antar
kapal. Mobilitas awak-kapal ikut membantu membentuk keseragaman sosial dan
budaya umum di kalangan bajak laut dan pelaut lainnya.

8

Budaya bajak laut dan pelaut tersebut tidak selaras dengan kode etika
Konfusian yang dominan berupa: kejujuran, berhemat, menahan diri, dan kerja
keras; tetapi lebih menjurus pada penipuan, ambisi, kesembronoan, dan
menghalalkan segala cara. Dalam masyarakat yang semakin terpolarisasi - gelisah
dan suka bertengkar, pelaut dan nelayan miskin harus memikirkan gaya hidup,
kebiasaan, dan standar perilaku mereka sendiri untuk bertahan hidup. Bagi
sebagian besar pelaut, perompakan merupakan sarana yang normal, rasional, dan
bahkan sah karena berarti mempertahankan standar hidup minimal, jalan keluar
yang mungkin dari kemiskinan. Dunia sosial-budaya bajak laut itu signifikan,
karena menantang arus utama model Konfusian dan menawarkan alternatif yang
dapat dilakukan bagi warga China yang miskin dan terdiskriminasi.
Peranan Perempuan dalam Perompakan
Di antara bajak laut China, terdapat sejumlah perempuan yang signifikan.
Karena banyak perempuan yang bermukim di kapal dan bekerja bersama laki-laki,
maka bukan hal yang aneh untuk menemukan perempuan di antara bajak laut.
Banyak perempuan menikah terjun ke profesi bajak laut dan akan hidup dan mati
sebagai penjahat. Beberapa bajak laut perempuan bahkan menjadi pemimpin yang
berkuasa, seperti Zheng Yi Sao dan Cai Qian Ma, keduanya memerintah armada
bajak laut hebat. Bajak laut perempuan itu mampu bertahan hidup di dunia lakilaki dengan membuktikan kemampuannya seperti laki-laki dalam pertempuran
dan dalam tugas sebagai pelaut. Perempuan bukan hanya ditoleransi oleh awak
kapal laki-laki, tetapi benar-benar mampu berperan sebagai pemimpin di atas
kapal (http://www.iias.nl/36/IIAS_NL36_07.pdf, diunduh 17 Februari 2010).
Bajak laut perempuan merupakan representasi paling radikal bertolak
belakang dengan masyarakat dan adat istiadat yang dominan, menantang
pengertian awam tentang keperempuanan, melanggar kode yang mapan tentang
perempuan yang bersifat sopan, bijak, dan pasif. Berbeda dengan rekan sejawat
mereka yang bekerja di atas kapal-kapal Barat, bajak laut perempuan China tidak
perlu menyembunyikan diri. Mereka tinggal dan bekerja secara terbuka sebagai
perempuan di atas kapal.

9

Berdasarkan perspektif negara China, perempuan yang berperilaku seperti
laki-laki berarti menyelewengkan tatanan sosial dan hubungan jender normal, dan
telah menanggalkan alam pikiran Konfusian ortodoks. Mereka menantang hirarkis
patriarkal yang diberlakukan oleh negara dan masyarakatnya. Bagi pelaut
perempuan, perompakan telah memberikan kesempatan untuk melarikan diri dari
kemiskinan dan pengekangan yang ditujukan kepada perempuan. Pada
kenyataannya, perompakan telah memberi kesempatan untuk petualangan dan
kebebasan yang belum pernah terdengar bagi sebagian besar perempuan di darat.
Simpulan
Kemunculan bajak laut China disebabkan oleh faktor sosio-ekonomi, yaitu
himpitan kemiskinan dan perlakuan diskriminasi. Dalam perkembangannya,
aktivitas perompakan dalam skala besar selama masa keemasan, baik dalam
jumlah dan cakupan serta lamanya waktu, telah menjadi faktor signifikan dalam
perkembangan sejarah China modern. Sangat fantastik jumlah puluhan ribu pelaut
dan nelayan pernah menjadi bajak laut, bahkan banyak orang di pantai
mendapatkan bantuannya, sehingga mempunyai pengaruh besar di kalangan
penduduk pantai.
Tampaknya bajak laut China termotivasi untuk melakukan perompakan
dengan orientasi ekonomi. Buah hasil prestasi perompak, baik secara langsung
maupun tidak langsung, telah memberikan dampak besar pada pembangunan
ekonomi China Selatan pada masa modern awal. Bajak laut berkontribusi
membuka pelabuhan dagang dan pasar baru di daerah yang sebelumnya sedikit
tersentuh sistem pemasaran yang berlaku, sehingga meningkatkan ekonomi lokal
dengan barang-barang dan uang.
Pada gilirannya, motivasi ekonomi tersebut membawa serta aspek politik.
Perompakan skala besar telah bertindak sebagai negara di dalam negara. Bajak
laut membangun rezim sendiri dengan kekuatan militer, biro pajak, dan birokrasi,
yang eksis berdampingan, tetapi mereka independen dari negara kekaisaran China
dan elit lokal. Bajak laut dan pelaut telah menciptakan sub-budaya yang diwarnai
dengan kekerasan, kejahatan, dan perilaku buruk. Sub-budaya tersebut merupakan

10

budaya bertahan hidup yang signifikan, karena dapat dibedakan dengan budaya
dominan yang berintikan etika Konfusian. Bagi kaum laki-laki dan terutama
perempuan, perompakan telah menawarkan cara hidup alternatif. Sementara ini
tidak jelas apakah terdapat motivasi agama maupun psiko-sosial (avonturisme)
dalam aktivitas bajak laut di kawasan China Selatan pada masa modern awal?

11