EARLY DETECTION DALAM UPAYA PREVENTIF KE (2)

EARLY DETECTION DALAM UPAYA PREVENTIF
KESEHATAN JIWA MASYARAKAT
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Keperawatan Jiwa
Masyarakat (Community Mental Health Nursing)
(Suryani S.Kp., MHSc., PhD)

Di Susun oleh:
Rifki Sakinah N
220120140046
Bambang Eryanto
220120140015
Tantan Hadiansyah 220120140022
Wigyo Susanto
220120140002

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2015

KATA PENGANTAR


1

Assalamu’alaikum wr.wb.
Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya atas diselesaikannya tugas makalah tentang “Early
Detection Dalam Upaya Preventif Kesehatan Jiwa Masyarakat” ini.
Makalah ini berisi konsep dan teori, masalah, kebijakan, pelaksanaan, dan
kendala serta cara mengatasinya. Makalah ini diharapkan mampu menjadikan
sebuah masukan dan informasi bagi dunia keperawatan terutama keperawatan jiwa.
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan
laporan ini. Saran dan kritik diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Wassalamu’alaikum wr.wb.

Bandung, 12 November 2015
Penulis

DAFTAR ISI

2


KATA PENGANTAR ..................................................................................................
iii
DAFTAR ISI ................................................................................................................
iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
...............................................................................................................................
...............................................................................................................................
1
1.2 Tujuan
...............................................................................................................................
...............................................................................................................................
3
BAB II ISI
2.1 Konsep dan Teori
.........................................................................................................................
.........................................................................................................................
4
2.2 Masalah

.........................................................................................................................
.........................................................................................................................
8
2.3 Kebijakan
.........................................................................................................................
.........................................................................................................................
8
2.4 Pelaksanaan
.........................................................................................................................
.........................................................................................................................
10
2.5 Kendala dan Cara mengatasi
.........................................................................................................................
.........................................................................................................................
13
BAB III PENUTUP

3

3.1 Kesimpulan

.........................................................................................................................
.........................................................................................................................
15
3.2 Saran
.........................................................................................................................
.........................................................................................................................
16
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................
17

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam World Health Organization (2002) mendefinisikan bahwa
kesehatan merupakan keadaan utuh secara fisik, mental, dan kesejahteraan
sosial serta bukan hanya bebas dari penyakit atau ketidak berdayaan.
Kemudian dalam Undang-Undang No: 36 tahun 2009 tentang kesehatan
jiwa, menyatakan bahwa upaya kesehatan jiwa ditujukan untuk menjamin

4


setiap orang dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari
ketakutan, tekanan dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa.
Upaya tersebut terdiri atas preventif, promotif, kuratif, rehabilitatif pasien
gangguan jiwa dan masalah psikososial. Setiap warga negara berhak
mendapatkan hak dalam upaya kesehatan jiwa yang meliputi persamaan
perlakuan dalam setiap aspek kehidupan di berbagai tatanan di masyarakat.
Menurut U.S. Department of Health (1999, dalam Varcarolis, 2006),
kesehatan jiwa didefinisikan sebagai suatu keberhasilan pencapaian fungsi
mental, mampu untuk beraktivitas secara produktif, menikmati hubungan
dengan orang lain dan menerima perubahan atau mampu mengatasi hal yang
tidak menyenangkan. Individu dengan mental yang sehat memiliki kapasitas
berpikir rasional, ketrampilan berkomunikasi, belajar, pertumbuhan emosional,
kemampuan bertahan dan harga diri. Sehingga kesehatan jiwa sangat
menunjang seseorang dalam menjalani kehidupan secara optimal karena
mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.
Gangguan jiwa menurut Townsend (2009) merupakan respon
maladaptif terhadap stresor dari dalam dan luar lingkungan yang berhubungan
dengan perasaan dan perilaku yang tidak sejalan dengan kebiasaan atau norma
setempat, mempengaruhi interaksi sosial individu, kegiatan dan fungsi tubuh.

Secara umum gangguan jiwa dikarakteristikkan dengan adanya gangguan
pikiran, perasaan, dan perilaku.
Depkes (2008) hasil data Riset Kesehatan Dasar (RisKesDas, 2007),
menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional seperti gangguan
kecemasan dan depresi sebesar 11,6% dari populasi orang dewasa dengan
prevalensi tertinggi di Kota Bogor 24,2 % dan disusul oleh Jawa Barat yaitu
20,0%. Sedangkan gangguan jiwa berat di Indonesia sebesar 0,46% dengan
prevalensi tertinggi di DKI Jakarta yaitu 2,03%, kota bogor 0,40% dan Jawa
Barat 0,20%. Angka ini lebih tinggi dari data prevalensi gangguan jiwa WHO
yaitu 1-3% (WHO, 2003).
Strategi

Departemen

kesehatan

ialah

”Menggerakkan


dan

Memberdayakan Masyarakat Untuk Hidup Sehat” dalam mencapai visi

5

”Masyarakat yang Mandiri untuk Hidup Sehat”. Sejalan dengan hal tersebut,
paradigma kesehatan di Indonesia berfokus pada peningkatan kesehatan
individu, keluarga dan masyarakat. Kemandirian masyarakat dalam menangani
masalah kesehatannya menjadi tujuan utama perawatan kesehatan di
komunitas, yang sejalan pula dengan tema hari kesehatan sedunia ”Bekerja
bersama untuk kesehatan” (”Working together for health”). Pemberdayaan
keluarga dan komunitas adalah salah satu metode yang digunakan untuk
meningkatkan kemandirian masyarakat dalam menjaga kesehatannya (Depkes
RI, 2008).
Pada

langkah

lebih


lanjut

dalam

meningkatkan

kemandirian

masyarakat, Departemen Kesehatan telah merumuskan suatu visi dalam rangka
mencapai tujuan tersebut. Visinya adalah “Departemen Kesehatan Itu Adalah
Masyarakat Yang Mandiri Untuk Hidup Sehat”, dengan Misi “Membuat
Masyarakat Sehat”. Strateginya antara lain menggerakkan dan memberdayakan
masyarakat untuk hidup sehat, meningkatkan akses masyarakat terhadap
pelayanan yang berkualitas, meningkatkan sistem surveilans, monitoring dan
informasi kesehatan, serta meningkatkan pembiayaan kesehatan. Sehingga
sasaran terpenting adalah “Pada Akhir Tahun 2015, Seluruh Desa Telah
Menjadi Desa Siaga” (Depkes RI, 2008).
Desa Siaga merupakan gambaran masyarakat yang sadar, mau dan
mampu mencegah dan mengatasi berbagai ancaman terhadap kesehatan

masyarakat, seperti kurang gizi, kejadian bencana, termasuk didalamnya
gangguan jiwa, dengan memanfaatkan potensi setempat secara gotong royong,
menuju Desa Siaga. Desa Siaga Sehat Jiwa merupakan satu bentuk
pengembangan dari pencanangan Desa Siaga yang bertujuan agar masyarakat
ikut berperan serta dalam mendeteksi pasien gangguan jiwa yang belum
terdeteksi, dan membantu pemulihan pasien yang telah dirawat di rumah sakit,
serta siaga terhadap munculnya masalah kesehatan jiwa di masyarakat (Dinkes
Prov. Jawa Timur, 2008; CMHN, 2005).
1.2 Tujuan

6

Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk:
a. Mengetahui konsep dan teori tentang early detection dalam upaya
pencegahan
b. Mengetahui masalah terkait early detection
c. Mengetahui kebijakan terkait early detection
d. Mengetahui pelaksanaan early detection
e. Mengetahui kendala serta cara mengatasi terkait early detection


BAB II
TIJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep dan Teori
Menurut Power (2007) deteksi dini merupakan salah satu pilar dari
intervensi awal dalam menetapkan gejala awal gangguan.
Sedangkan menurut Wilson (2006) deteksi dini, promosi kesehatan,
dan intervensi yang efektif merupakan tindakan yang dilakukan oleh individu
dan kelompok dalam mengurangi prevalensi, dengan memperpendek durasi
penyakit atau gangguan yang diderita.

7

Selain itu Detels et al (2002) menyatakan bahwa upaya untuk
pemberdayaan masyarakat terhadap kesehatan jiwa dapat dicapai dengan suatu
manajemen pelayanan kesehatan khususnya pelayanan kesehatan jiwa berbasis
komunitas. Bentuk pendekatan manajemen pelayanan kesehatan jiwa
komunitas ini salah satunya dengan pengenalan deteksi dini gangguan jiwa
yang dapat dilakukan sendiri oleh masyarakat (kader). Hal ini dapat
mempermudah penanganan gangguan jiwa yang ada di masyarakat.
Dengan pelayanan keperawatan komprehensif pencegahan primer,

sekunder, dan tersier menjadi landasan utama. Peningkatan kesehatan dan
pencegahan terjadinya gangguan jiwa salah satunya adalah dengan melakukan
deteksi dini, agar mengetahui adanya masalah psikososial dan gangguan jiwa
peningkatan fungsi dan sosialisasi serta pencegahan kekambuhan, mencegah
gangguan jiwa, mempertahankan dan meningkatkan kesehatan jiwa, serta
menurunkan kejadian gangguan jiwa, mengurangi kecacatan atau ketidak
mampuan akibat gangguan jiwa (Detels et al, 2002).
Gangguan jiwa umumnya dapat dicegah apabila ditangani secara dini.
Upaya pencegahan umumnya ada tiga yaitu pencegahan secara primer ini
dilakukan saat rekrutmen, secara sekunder dengan deteksi dini, dan
penanganan awal dari diagnose gangguan yang ditemukan oleh orang dekat
atau kader, dan pencegahan tersier dilakukan oleh professional di Rumah Sakit
berupa menurunkan gangguan selama proses rehabilitasi, dan mencegah
kekambuhan penyakit (Saxena, 2005).
Dalam hal ini deteksi dini merupakan salah satu cara mencegah
gangguan jiwa di masyarakat, dan hal ini sangat perlu dilakukan, serta adanya
koordinasi yang baik antara perawat jiwa komunitas dengan para kader (pionir
kesehatan masyarakat desa), aparat desa, dan kesadaran warga akan pentingnya
sehat jiwa.
2.2 Masalah Terkait Early Detection
Masalah penyakit kejiwaan di Negara Indonesia sekarang, harus
menjadi perhatian serius bagi seluruh sektor pemerintahan. Karena menurut
burden of disease atau beban penyakit kejiwaan di Indonesia prevalensinya
selalu meningkat dan cukup mengkhawatirkan. Hasil Riset Kesehatan Dasar

8

(Riskesdas, 2013) menunjukkan angka 6% (14 juta orang) untuk gangguan
mental emosional dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan, dan 1,7 per
1000 penduduk (400.000 orang) untuk gangguan jiwa berat (Kemenkes RI,
2014).
Selain prevalensi yang terus meningkat, berdasarkan observasi
lapangan, tidak adanya rencana tindak lanjut setelah dilakukan deteksi dini baik
itu dari puskesmas, maupun kerja sama antara Rumah Sakit Umum atau
Rumah Sakit Jiwa guna menjadi rujukan yang jelas jika ada warga yang
memiliki gangguan psikotis berat. Kemudian tidak adanya alur/ aturan yang
pasti mengenai upaya pencegahan dimasyarakat menjadi saling tuding atau
menuduh siapa yang seharusnya bertindak jika ada kejadian gangguan jiwa di
suatu desa atau masyarakat.
2.3 Kebijakan Terkait Early Detection
Secara garis besar, sebenarnya Negara Indonesia sudah mengatur
pemberdayaan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) dengan Undang-Undang
no. 36 bab IX pasal 144 tahun 2009 tentang kesehatan jiwa, Undang-Undang
tersebut ditujukan untuk menjamin setiap warga negara yang menjadi ODGJ
agar ditolong, diobati, difasilitasi, dan dilindungi dari tindakan kekerasan.
Namun fakta berkata lain, ternyata masih ada 14,3% (57.000) Orang Dengan
Gangguan Jiwa yang mendapatkan perlakukan kurang manusiawi (pasung).
Sehingga pemerintah berinisiatif untuk membuat Undang-Undang baru khusus
kesehatan jiwa (UU no. 18 tahun 2014), dengan harapan pemberdayaan ODGJ
di Negara Indonesia bisa terlaksana dan lebih termonitoring dengan baik
(Kemenkes RI, 2014).
2.4 Pelaksanaan Early Detection
Dalam pelaksanaan deteksi dini perawat jiwa komunitas perlu
mengadakan pemberdayaan masyarakat sebagai proses pengembangan potensi,
baik pengetahuan maupun keterampilan masyarakat sehingga mereka mampu
mengontrol diri dan terlibat dalam memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
Kader merupakan sumberdaya masyarakat yang perlu di kembangkan dalam
pengembangan Desa Siaga Sehat Jiwa. Pemberdayaan kader kesehatan jiwa
sebagai tenaga potensial yang ada di masyarakat diharapkan mampu

9

mendukung program kesehatan jiwa di komunitas yang diterapkan di
masyarakat. Seorang kader akan mampu melakukan kegiatan apabila kader
tersebut sejak awal diberikan pembekalan. Metoda dalam mengembangkan
kader kesehatan jiwa sebaiknya teratur, sistematis, rasional, yang digunakan
untuk menentukan jumlah kader. Menurut Keliat (2011) adapun tahapannya
adalah proses rekruitmen kader, proses orientasi kader, dan pelaksanaan deteksi
dini.
2.4.1 Proses Rekruitmen Kader
Menurut Keliat (2011) rekruitmen kader adalah suatu proses pencarian
dan pemikatan para calon kader yang mempunyai kemampuan dalam
mengembangkan Desa Siaga Sehat Jiwa. Proses awal dalam merekruit kader
adalah dengan melakukan sosialisasi tentang pembentukan Desa Siaga Sehat
Jiwa disertai dengan kriteria kader yang dibutuhkan. Adapun kriteria kader
sebagai berikut:
1. Sehat jasmani dan rohani;
2. Mampu membaca dan menulis dengan lancar menggunakan Bahasa
Indonesia;
3. Bersedia menjadi kader kesehatan jiwa sebagai tenaga sukarela;
4. Mempunyai komitmen untuk melaksanakan program kesehatan jiwa
masyarakat;
5. Meluangkan waktu untuk kegiatan keperawatan jiwa di komunitas dan;
6. Mendapat ijin dari suami atau istri atau keluarga.
Kemudian menurut Keliat (2011) Proses rekruitmen kader dilakukan
dengan cara :
1. Perawat jiwa di komunitas mengadakan pertemuan dengan kepala desa
dan tokoh masyarakat setempat dengan menjelaskan tentang pembentukan
Desa Siaga Sehat Jiwa dan kebutuhan kader kesehatan jiwa;
2. Perawat jiwa di komunitas menjelaskan tentang kriteria kader dan jumlah
kader yang dibutuhkan untuk tiap desa dan dusun;
3. Tokoh masyarakat melakukan pencarían calon kader berdasarkan kriteria
yang telah ditetapkan;

10

4. Kader yang telah direkruit mengisi biodata dalam formulir yang telah
disediakan untuk proses seleksi selanjutnya.
Selanjutnya menurut Keliat (2011) Proses seleksi calon kader di Desa
Siaga Sehat Jiwa adalah:
1. Perawat CMHN melakukan koordinasi dengan tokoh masyarakat atau
tokoh agama atau organisasi masyarakat yang ada di masyarakat dalam
menentukan calon kader yang memenuhi syarat
2. Kader terpilih mengisi surat pernyataan bersedia sebagai kader kesehatan
jiwa dan bersedia menjalankan program kesehatan jiwa di komunitas
3. Kader terpilih diwajibkan mengikuti pelatihan kader kesehatan jiwa.
2.4.2 Proses Orientasi Kader
Setiap kader yang akan melaksanakan program kesehatan jiwa akan
melalui masa orientasi yaitu mengikuti sosialisasi programkesehatan jiwa di
komunitas dan pelatihan kader kesehatan jiwa. Orientasi yang dilakukan juga
mencakup informasi budaya kerja Desa Siaga Sehat Jiwa dan informasi
umum tentang visi, misi, program, kebijakan dan peraturan. Kegiatan
orientasi menggunakan metode klasikal selama 2 hari, praktik lapangan
selama 3 hari, dan praktik kerja (implementasi Desa Siaga Sehat Jiwa ).
Menurut Keliat (2011) materi pelatihan kader mencakup:
1. Program Desa Siaga Sehat Jiwa
2. Deteksi dini kasus di masyarakat (kelompok keluarga sehat, kelompok
keluarga

dengan

masalah

psikososial,

dan

kelompok

keluarga

dengan gangguan jiwa)
3. Peran serta dalam mengerakkan masyarakat (Pendidikan kesehatan
kelompok keluarga sehat jiwa, risiko masalah psikososial, kelompok
dengan gangguan jiwa, dan Terapi aktivitas kelompok pasien gangguan
jiwa)
4. Supervisi keluarga dan pasien yang telah mandiri
5. Rujukan kasus
6. Pelaporan kegiatan kader kesehatan jiwa
Selama masa orientasi, dilakukan evaluasi atau penilaian terhadap
kinerja kader dalam melaksanakan program kesehatan jiwa di Desa Siaga

11

Sehat Jiwa. Penilaian kader meliputi penilaian selama pelatihan di kelas (pre
dan post test) serta penilaian penampilan di lapangan
2.4.3 Pelaksanaan early detection
1. Persiapan
a. Kader mempelajari buku pedoman deteksi dini
b. Kader mempelajari tanda – tanda orang / keluarga yang berisiko
mengalami masalah psikososial atau orang / keluarga yang mengalami
gangguan jiwa
c. Kader mengidentifikasi orang / keluarga yang diduga mengalami
masalah psikososial atau gangguan jiwa
d. Melakukan kontrak / janji untuk bertemu dengan pasien dan keluarga.
2. Pelaksanaan
a. Setiap RT memiliki 1-2 orang kader (30 - 40 keluarga / kader)
b. Setiap kader mengelola setengah dari jumlah keluarga di dusun
c. Kader menilai kesehatan jiwa warga dan keluarga dengan cara
wawancara dan pengamatan sesuai buku pedoman deteksi dini
d. Kader perlu mengetahui tanda – tanda / perilaku yang menunjukkan
individu tersebut mengalami masalah pikososial atau gangguan jiwa
e. Berdasarkan penilaian dibagi 3 kelompok, yakni 1) Kelompok
keluarga sehat adalah tidak menunjukkan perilaku menyimpang; 2)
Kelompok keluarga yang berisiko mengalami masalah psikososial
mempunyai anggota keluarga yang mengalami masalah psikososial; 3)
Kelompok keluarga yang anggota keluarganya mengalami gangguan
jiwa mempunyai anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
3. Pelaporan
a. Kader mencatat nama seluruh keluarga yang tinggal di wilayahnya
b. Kader mencatat data – data keluarga yang mempunyai masalah
psikososial pada format khusus
c. Kader mencatat data – data keluarga yang mengalami gangguan jiwa
pada format khusus
d. Hasil penghitungan jumlah keluarga untuk masing-masing kelompok
dicatat format khusus
e. Hasil pencatatan disampaikan
bertanggungjawab di puskesmas

2.5 Kendala dan Cara Mengatasi

12

pada

perawat

jiwa

yang

Beberapa kepustakaan menyebutkan sekitar 50% kasus gangguan
jiwa yang lazim, luput dari perhatian petugas kesehatan di layanan primer
(Steven et al., 2001; Hickie and Davenport, 2001; Kessler et al., 2002).
Rendahnya kasus gangguan jiwa yang terdeteksi, diduga karena adanya
hambatan dalam proses deteksi tersebut. Beberapa hambatan dalam deteksi dini
gangguan jiwa pada pusat pelayanan primer dapat dikelompokkan menjadi:
2.5.1 Hambatan yang berasal dari pihak tenaga dokter/kesehatan.
Sebagian besar dokter hanya mendapatkan sedikit pelatihan psikiatrik
formal. Pendidikan kedokteran umum hanya memberikan sedikit kurikulum
psikiatri, kurang dari 5% dari total pendidikan kedokteran. Selain itu, pada
masa pendidikan tersebut para mahasiswa lebih banyak berhadapan dengan
pasien psikotik yang dirawat inap dibanding pasien-pasien rawat jalan. Hal
ini menyebabkan kurangnya kemampuan untuk mendiagnosis gangguan jiwa
yang ada di masyarakat (Patel, 2003).
Survei yang menilai kebutuhan

(Needs

assesment

survey)

menunjukkan bahwa sebagian besar orang dengan masalah emosional yang
serius tidak mencari bantuan profesional. Tetapi hal tersebut berubah saat
orang semakin menerima pandangan bahwa masalah profesional harus
diobati oleh profesional kesehatan mental. Namun demikian, penolong
internal masih paling sering dicari pada saat terjadinya kekacauan emosional.
Selain itu, seseorang yang mencari bantuan profesional lebih mungkin ke
dokter pelayanan primer dibanding ke dokter psikiatrik di beberapa daerah
dan juga keterlibatan variabel yang lain (Kaplan and Sadock, 1996).
Determinan-determinan yang mempengaruhi seseorang mencari
bantuan psikiatrik adalah kelas sosial, pendidikan, budaya, dan jenis kelamin.
Kelas sosial dan tingkat pendidikan yang tinggi cenderung lebih mudah
mencari bantuan psikiatrik pada saat mengalami kekacauan emosional.
Faktor budaya, sikap dan perilaku yang terbuka mempermudah seseorang
mencari bantuan psikiatrik. Demikian juga, wanita lebih mungkin mencari
bantuan psikiatrik dibandingkan dengan laki-laki. Penelitian sosiobiologi
telah menemukan bahwa wanita lebih mungkin mengenali masalahnya
dibanding laki-laki dan pengenalan adalah hal utama dalam proses

13

pengambilan keputusan yang membedakan laki-laki dan wanita (Kaplan and
Sadock, 1996).
Penelitian awal menunjukkan, ketika pasien datang dengan keluhan
psikiatrik, dokter pada pelayanan primer dengan mudah mengenali gejala
psikiatriknya serta menanggapi dengan baik. Tetapi, keluhan psikiatrik
sedikit sekali, hanya sekitar 17 % dari pasien. Berlawanan dengan keluhan
somatik yang sering muncul, kira-kira 83 %, namun mereka jarang
mengetahui dan sering kali mendapat obat yang tidak sesuai dari dokter pada
pelayanan primer (Culpepper, 2003). Para dokter di pelayanan primer lebih
terpaku pada gejala fisik yang ditampilkan oleh pasien saat berobat, sehingga
sering terjadi salah diagnosis dan pemberian terapi yang tidak adekuat
(Steven et al, 2001; Maramis dkk, 2003).
Penyebab yang lain adalah adanya persepsi negatif mengenai
gangguan jiwa, di mana dokter khawatir pasien akan merasa dirinya aneh dan
akan dikucilkan oleh masyarakat sekitar apabila ia didiagnosis menderita
gangguan jiwa. Persepsi negatif yang salah tentang terapi juga dapat
mengarah pada pesimisme dalam mendiagnosis gangguan jiwa, karena
menganggap bahwa pasien-pasien dengan gangguan jiwa tidak dapat sembuh
dan tidak responsive terhadap terapi.
Di samping itu, masalah pribadi dari dokter itu sendiri yang
menghambat proses pengenalan gangguan, yaitu adanya perasaan tidak
nyaman ketika harus menghadapi masalah yang berhubungan dengan emosi
dan adanya masalah interpersonal dari diri dokter tersebut yang berhubungan
dengan kecemasan atau depresi (Maramis dkk, 2003).
2.5.2 Hambatan yang berasal dari pihak pasien.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pasien-pasien dengan
gangguan depresi atau kecemasan pada awalnya menunjukkan keluhan
somatik, dan hal itu yang membawa mereka berobat. Kebanyakan dari
mereka tidak menyadari dasar emosional dari gejalagejala yang mereka
alami. Mereka umumnya takut akan stigmatisasi atau takut menjadi “gila”
sehingga cenderung menolak apabila diberi label menderita gangguan jiwa,
apalagi bila harus dirujuk ke psikiater. Pasien seperti ini sering menolak atau

14

tidak kooperatif dengan terapi yang diberikan (Eisenberg, 1992; Steven et al,
2001).
Banyak pasien yang tidak memahami konsekuensi negatif dari
penyakitnya apabila tidak ditangani secara tuntas, dan hal ini ikut
mempengaruhi kepatuhan berobat (Maramis dkk, 2003).

2.5.3 Hambatan pada proses konsultasi
Salah satu alat paling penting yang dimiliki oleh dokter adalah
kemampuan untuk melakukan wawancara secara efektif. Wawancara yang
dilakukan secara terampil mampu untuk menggali data yang diperlukan
untuk mengerti dan mengobati pasien dan dalam proses untuk meningkatkan
pengertian dan kepatuhan pasien terhadap saran dokter (Kaplan and Sadock,
1996).
Faktor-faktor yang mempengaruhi isi maupun proses wawancara di
antaranya kepribadian dan gaya karakter dokter sangat mempengaruhi reaksi
dan kontak emosional di mana wawancara dikembangkan; berbagai situasi
klinis (ruang gawat darurat, pasien rawat jalan, bangsal umum, atau bangsal
psikiatrik) jenis pertanyaan yang ditanyakan dan anjuran-anjuran yang
ditawarkan; faktor teknis, seperti interupsi telepon, membuat catatan, fisik
ruang, dan kenyamanan ruang; pemilihan waktu melakukan wawancara
terhadap penyakit pasien, isi dan proses wawancara; dan gaya, orientasi, serta
pengalamam pewawancara. Bahkan pemilihan waktu kata seru dapat
mempengaruhi apa yang dikatakan atau yang tidak dikatakan oleh pasien
(Kaplan and Sadock, 1996).
Di Puskesmas, banyak pasien yang perlu dilayani pada satu waktu,
sehingga menyebabkan sempitnya waktu untuk pemeriksaan setiap pasien. Di
samping itu, tempat pemeriksaan tidak memungkinkan untuk melakukan
pemeriksaan yang lebih pribadi, sehingga hubungan petugas kesehatan
(tenaga dokter /perawat) dengan pasien kurang terbina dengan baik (Achmad
Haryadi, 2001).
Lama konsultasi pada sebagian besar dokter umum berkisar antara 3–
30 menit dengan rata-rata sekitar 6-7 menit. Para dokter dipelayanan primer

15

menganggap bahwa untuk dapat mengevaluasi seseorang dengan masalah
psikiatri membutuhkan waktu yang lama. Hal ini membuat dokter cenderung
untuk mernggunakan pertanyaan tertutup dalam mewawancarai pasien untuk
mencegah agar pasien tersebut tidak bercerita panjang lebar dan
menghabiskan waktu yang lama (Steven et al, 2001; Patel, 2003).
Mendengarkan dengan penuh perhatian merupakan kunci untuk
menegakkan diagnosis dan memberi terapi, pasien perlu diberi penjelasan
mengenai penyakitnya dan pilihan terapi yang tersedia, efek apa yang
diharapkan terjadi dan efek samping apa saja yang mungkin terjadi. Selain
terapi medikamentosa, dalam menangani pasien dengan masalah psikiatrik
juga dibutuhkan konseling psikologis sederhana untuk membantu pasien
dalam mengatasi masalah yang dihadapinya (Bower and Rowland, 2003).
Dengan berbagai hambatan tersebut, maka pasien dengan gangguan jiwa
yang berobat di puskesmas manjadi kurang / tidak terdeteksi oleh petugas
pelayanan kesehatan.

16

BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Strategi

DEPKES

ialah

menggerakkan

dan

Memberdayakan

masyarakat untuk hidup sehat guna mencapai visi sebagai masyarakat yang
mandiri untuk hidup sehat. Sehingga perlu adanya fondasi kesehatan Indonesia
yang berfokus pada peningkatan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat.
Kemandirian masyarakat dalam menangani masalah kesehatannya
menjadi

tujuan

utama

perawatan

kesehatan

di

komunitas.

Dengan

memberdayakan keluarga dan masyarakat menjadi salah satu metode yang
digunakan untuk meningkatkan kemandirian masyarakat dalam menjaga
kesehatan komunitas desanya. Dimana nantinya desa ini akan menjadi Desa
Siaga Sehat Jiwa.
Dengan landasan utama pelayanan keperawatan komprehensif dalam
melakukan pencegahan primer, sekunder, dan tersier. Meningkatkan kesehatan
dan pencegahan terjadinya gangguan jiwa salah satunya adalah dengan
melakukan deteksi dini, agar mengetahui adanya masalah psikososial dan
gangguan jiwa peningkatan fungsi dan sosialisasi serta pencegahan
kekambuhan, mencegah gangguan jiwa, mempertahankan dan meningkatkan
kesehatan jiwa, serta menurunkan kejadian gangguan jiwa, mengurangi
kecacatan atau ketidak mampuan akibat gangguan jiwa. Walau masih banyak
masalah dan hambatan dalam proses pelaksanaannya, bukan berarti upaya
pencegahan gangguan jiwa dihentikan.
3.2 Saran
Perlunya peningkatan komunikasi dan koordinasi antara pihak desa dan
puskesmas dalam melatih dan memberdayakan masyarakat desa agar sadar

17

bahwa pentingnya kesehatan jiwa. Karena didalam jiwa yang sehat terdapat
tubuh yang kuat.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Haryadi, 2001. Buku Penuntun Praktis Pelayanan Kesehatan Jiwa.
Dirjen. pelayanan Medik RSJ Pusat Jakarta.
Budi Anna Keliat. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas CMHN.
EGC :Jakarta.
Culpeper L, 2003 Use of Algoritme to treat Anxiety in Primary care J
ClinPsychiatory.
Dadds MR et al. (1997). Prevention and early intervention for anxiety disorders: A
controlled trial. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 65(4):627635.
Detels R et al., eds (2002). Oxford textbook of public health. 3rd ed. Oxford,
Oxford University Press.
Eisenberg L, 1992. Treating Depression and Anxiety in Primary care setting, in
Health Afairs.
Kaplan and Sadock, 1996. Synopsis of Psychiatry. Williams & Wilkin,
Philadelphia
Kemenkes RI. (2014). Stop stigma dan diskriminasi terhadap Orang Dengan
Gangguan Jiwa (ODGJ). Dipublikasikan pada: Jumat, 10 Oktober 2014
07:40:00. Diunduh Pada : http://www.depkes.go.id.
Kessler D., Bennewith O., Lewis G, et al, 2002, Detection of Depression and
Anxiety in Primary Care Follow Up Study, in: BMJ, vol.325.
Maramis A, Dharmono, dan Maramis M, 2003, Penanganan Depresi dan
Ansietasdi Pelayanan Primer, Indopsy, Surabaya.

18

Power, P., Iacoponi, E., Reynolds, N., Fisher, H., Russell, M., Garety, P. A., et al.
(2007). The lambeth early onset crisis assessment team study: General
practitioner education and access to an early detection teamin first-episode
psychosis. British Journal Of P Sychiatry. DOI: 10.1192/bjp.191.51.s133.
Saxena, S. (2005). Prevention of Mental Disorders: Effective Interventions and
Policy Options. Oxford, Oxford University Press.
Steven RE, Trevor R, Norman and Graham D. Burrows, Assesing Anxiety and
Depression In Primary Healt Care, In xajA Practice Essensials, http:
//www.com.au. / public / Mental Healt / articles / ellen. Html.
Townsend, M. C. (2009). Nursing diagnoses in psychiatric nursing: Care plans
and psychotropic medications (7th ed.). Philadelphia: F.A. Davis Company.
Varcarolis M. E., & Halter J. M. (2006). Foundation of psychiatric mental health
nursing: a clinical approach (5th ed.). Canada: Saunders Elsevier & E Volve
Learning Sistem.
World Health Organization, & International Council of Nurses. (2007). Atlas:
nurses in mental health 2007. World Health Organization.

19