KEARIFAN TRADISIONAL DALAM PENGELOLAAN S (1)

KEARIFAN TRADISIONAL DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA
PERIKANAN DI ACEH PADA ERA OTONOMI KHUSUS
Sulaiman
Fakult as Hukum Universit as Syiah Kuala
E-mail: st _aceh@yahoo. co. id

Abst ract
Ref or mat ion i n Indonesi a gi ve i mpl i cat ion f or Aceh, whi ch i s t he aut hori t y i n t he f or m of
i mpl ement at ion of f i sher ies management based on t r adit ional wi sdom. Those st at ement above are
t ryi ng t o answer t he quest ion of t his t r adit ional wi sdom i n t he er a of speci al aut onomy. The
i mpor t ant f i ndi ng i s cr it i cal condi t i on of f isher i es r esour ces whi ch i s caused by a di sr egar d pat t er n of
t r adit ional management wi sdom. It i s recommended t hat pol i cy maker s doing hol i st i c approach t o
f i sher ies management .
Keywor ds: Fi shi ng, Tr adit i onal Wi sdom, Aceh
Abstrak
Ref ormasi di Indonesia t urut berimplikasi bagi Aceh, yakni kewenangan pelaksanaan pengelolaan
perikanan berdasarkan kearif an t radisional. Paparan ini menj awab persoalan kearif an t radisional pada
era ot onomi khusus. Temuan pent ingnya adalah kondisi krit is sumberdaya perikanan, t urut disebabkan
pola pengelolaan yang mengenyampingkan kearif an t radisional. Direkomendasikan agar pengambil
kebij akan melakukan pendekat an holist ik dalam pengelolaan perikanan.
Kat a Kunci: Perikanan, Kearif an Tradisional, Aceh


Pendahuluan
Proses ref ormasi yang berlangsung di Indonesia t ahun 1998, menj adi moment um pent ing bagi lahirnya ot onomi daerah di Indonesia.
Terj adinya ref ormasi menyebabkan t erbukanya
kran demokrat isasi dalam masyarakat . Dengan
adanya ref ormasi yang memungkinkan lahirnya
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 t ent ang
Pemerint ahan di Daerah. Undang-undang t ersebut yang memungkinkan berbagai kearif an
t radisional memungkinkan unt uk dilaksanakan.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
t elah memberikan kewenangan yang lebih luas
bagi daerah dalam pengelolaan perikanan dalam wilayah Negara Kesat uan Republik Indonesia. 1

1

Sul ai man, 2010, Konsep Pengel ol aan Sumber daya
Per i kanan Ber basi s Kear i f an Lokal Di Aceh Pada Masa
Ot onomi Daer ah, Makal ah Lokakarya 8 Tahun Ot onomi
Daer ah, Mal ang: Universit as Brawi j aya, hl m. 2.


Kewenangan daerah yang lebih luas yang
diat ur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999, adalah bent uk t erbukanya kran dari desent ralisasi yang mulai berlangsung di Indonesia. Hal ini t ercermin dari f ilosof i lahirnya
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, yakni:
pert ama, sist em pemerint ahan Negara Kesat uan Republik Indonesia menurut Undang-Undang
Dasar 1945 memberikan keleluasaan kepada
Daerah unt uk menyelenggarakan Ot onomi Daerah; kedua, penyelenggaraan Ot onomi Daerah
t idak bisa dipisahkan prinsip-prinsip demokrasi,
peran sert a masyarakat , pemerat aan dan keadilan, sert a pot ensi dan keanekaragaman Daerah; ket i ga, Ot onomi Daerah t idak bisa dipisahkan dari perkembangan keadaan, baik di dalam
maupun di luar negeri, sert a t ant angan persaingan global.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 j uga t elah masuk dalam hal kondisi keberagaman
yang ada di daerah-daerah. Bagi Aceh, kenyat a-

Kear if an Tr adisional Dal am Pengel ol aan Sumber Daya Per ikanan … 297

an ini dikonkrit kan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 t ent ang Penyelenggaraan Keist imewaan Aceh. Dalam Undang-Undang t ersebut dit egaskan mengenai kewenangan daerah dalam mengat ur dan mengembangkan penyelenggaraan keist imewaan yang meliput i agama, adat , pendidikan, dan peran ulama
dalam pengambilan kebij akan.
Dua undang-undang t ersebut , menj adi
dasar kewenangan yang cukup pent ing dalam


1998 menurun menj adi 13, kemudian t erus menurun menj adi 9 j enis. 2
Secara umum, gej ala t ersebut j uga t ampak mengglobal. Uni t ed Nat i on f or Food and
Agri cul t ur e menyebut kan kondisi perikanan
dunia saat ini t erbagi dalam t iga kondisi, yakni
set engah dari persediaan ikan laut t elah sepenuhnya dieksploit asi, seperempat bagian t elah dieksploit asi secara berlebihan, dan sekarang ini hanya seperempat bagian saj a yang

hal pengelolaan perikanan berbasis kearif an
t radisional. Dengan demikian, kearif an t radisional yang dalam masyarakat t ert ent u menj adi
bagian pent ing dalam pengelolaan perikanan,
adalah bagian t ak t erpisahkan dari semangat
pelimpahan kewenangan pengelolaan perikanan
it u sendiri.
Bagi Aceh sendiri lahir Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2001 t ent ang Ot onomi Khusus
Nanggroe Aceh Darussalam, kemudian UndangUndang Nomor 11 Tahun 2006 t ent ang Pemerint ahan Aceh. Undang-Undang Pemerint ahan
Aceh mempert egas kewenangan Aceh dalam hal
pengelolaan perikanan. Pert ama, kewenangan
mengelola sumberdaya alam yang hidup di laut
Aceh. Kedua, secara eksplisit menyebut kewenangan pemeliharaan hukum adat laut , sebagai
bagian pent ing dari konsep kearif an lokal yang


masih t ersisa. Seperempat bagian yang t ersisa
t ersebut j uga ada di Aceh. 3 Dengan pola pemanf aat an sumber daya perikanan di Aceh
sebagaimana disebut kan di at as, maka di Aceh
sekalipun sudah t ampak kondisi krit is yang seyogianya mest i segera dicarikan solusinya. Hal
ini sangat pent ing bagi masa depan perikanan
Aceh it u sendiri. 4
Kondisi krit is t ersebut , t idak t erj adi dengan sendirinya. Kondisi krit is t ersebut t erkait
dengan pola pengelolaan perikanan yang dit erapkan. Indonesia t ermasuk dalam salah sat u
negara yang di awal t ahun 1970-an menggunakan pola memosisikan pembangunan semat amat a diorient asikan unt uk meraih pert umbuhan
ekonomi. 5 Pola ini dominan digunakan negara di
dunia yang penguasaan dan pengelolaan sumberdaya didominasi oleh negara hanya menge-

hidup dan berkembang dalam masyarakat pesisir Aceh. Dalam hal ini, kemudian dit egaskan
dalam Qanun Nomor 7 Tahun 2010 t ent ang Perikanan, yang menyebut kan bahwa dalam pengelolaan perikanan di Aceh memperhat ikan hukum adat laut .
Namun demikian dalam era ot onomi khusus t ersebut , dunia dihant ui oleh kondisi perikanan Aceh yang krit is. Dengan pot ensi perikanan t angkap 127 ribu t on pert ahun, sekarang
ini Samudra Hindia (pant ai Barat ) menunj ukkan
t anda-t anda over f i shing, sedangkan Selat Malaka (pant ai Timur) t elah over f i shi ng sej ak t ahun
2001. Kondisi ini dapat menurunkan produkt ivit as ikan dan hasil t angkapan laut , sert a perilaku dest ukt if sert a i l l egal f i shi ng mengancam
populasi ikan sehingga j umlah dan ukuran ikan


j ar pert umbuhan ekonomi semat a. Di sisi lain,
dalam masyarakat lokal umumnya memiliki kearif an lingkungan. Eugen Ehrligh – pelopor soci ol ogi cal j ur i spr udence – menyebut nya sebagai
hukum yang hidup dalam masyarakat ( l i vi ng
l aw ).
Tarik-menarik ant ara kepent ingan ekonomi dan sosial budaya di negara ini, kent ara t erj adi. Di sat u pihak daerah memiliki kewenangan
mengelola sumberdaya sekaligus kewenangan

hasil t angkapan menurun. Sebagai perbandingan, 15 j enis ikan dominan pada 1989, pada

2

3

4

5

Razal i AR, 2009, Pr of i l Per i kanan Tangkap Aceh, Banda
Aceh: Dinas Kel aut an dan Perikanan Aceh, hl m. 5.

John Kurien, 2009, Suar a Pangl i ma Laot , Banda Aceh:
FAO, hl m. 4.
Sul ai man, “ Model Pengel ol aan Per ikanan Ber basi s
Hukum Adat Laot Di Lhok Rigaih Kabupat en Aceh Jaya” ,
Jur nal Masal ah-masal ah Hukum Undip No. 71 Maret
2011, hl m. 79.
I. Nyoman Nurj aya, “ Kear if an Lokal dan Pengel ol aan
Sumberdaya Al am” , Jur nal Il mi ah VIII (40) t ahun 2007,
ht t p: / / www. akhirnyat erbit j uga. com, diakses t anggal
30 November 2010.

298 Jurnal Dinamika Hukum
Vol . 11 No. 2 Mei 2011

menj alankan hukum adat laut , di sisi lain konsep kearif an lokal yang disebut dengan hukum
adat laut selalu t idak bisa berdaya di t engah
konsep pemanf aat an sumberdaya daya yang
hanya berorient asi pada ekonomi semat a. 7 Padahal pola kearif an lokal umumnya menempat kan kapasit as budaya, sist em penget ahuan dan
t eknologi, religi, t radisi, dan modal sosial (et ika dan kearif an lingkungan, norma-norma dan
inst it usi hukum) sebagai sesuat u yang pent ing


memberi warna sert a mempengaruhi cit ra lingkungannya dalam wuj ud sikap dan perilaku
t erhadaap lingkungannya. Hakikat yang t erkandung di dalamnya adalah memberi t unt unan
kepada manusia unt uk berperilaku yang serasi
dan selaras dengan irama alam semest a, sehingga t ercipt a keseimbangan hubungan ant ara
manusia dengan alam lingkungannya.
Kearif an t radisional dit emui dalam masyarakat hukom adat laot di Aceh. Tat anan ini

dalam rangka memanf aat kan sumberdaya. 8
Kapasit as budaya t ersebut yang digunakan unt uk menyeimbangkan ant ara pemanf aat kan dan
penangkapan dan pot ensi yang diperkirakan.
Konsep t ersebut sebenarnya t uj uan keberlanj ut an dan kelest arian sebagai pert imbangan
pent ing masyarakat lokal dalam memanf aat kan
sumberdaya. Konsep dimana pembangunan t idak boleh hanya diorient asikan unt uk sekedar
mengej ar t arget / r at e/ kuant it as pert umbuhan
ekonomi, dengan mengabaikan dimensi prosesnya. 10 Berdasarkan lat ar belakang t ersebut , t ulisan ini ingin menelusuri pola kearif an lokal
dalam pengelolaan perikanan di Aceh, perkembangan pelaksanaannya, sert a konsep kearif an
t radisional dalam pengelolaan perikanan yang
bisa digunakan sebagai konsep bagi masyarakat
lainnya


dit emui dalam 147 Lhok di seluruh Aceh. Dalam
kait an ini, lhok adalah sebuah bat asan wilayah
kuala at au t eluk. Jumlah 147 Lhok t ersebut t erlet ak di 17 Kabupat en/ Kot a dari 22 Kabupat en/ kot a di Aceh. Kearif an t ersebut sudah t erbagi ke dalam ket ent uan adat yang umum, dan
yang berlaku secara spesif ik. Ket ent uan adat
yang umum disepakat i di seluruh kawasan. Sedangkan yang berlaku spesif ik, t ergant ung dari
daerah masing-masing yang memiliki karakt erist ik t ersendiri.
Secara umum, sist em at uran t erbagi dalam lima lingkup sist em t at anan t radisional
yang mengat ur pengelolaan perikanan, yakni
pant ang laot , adat laot , adat pemeliharaan
lingkungan, adat kenduri laot , dan adat barang
hanyut . Dalam kehidupan masyarakat hukom
adat laot , dikenal hari-hari yang menj adi pan-

Pembahasan
Kearifan Tradisional di Laut Aceh
Kearif an lokal dalam konsepnya merupakan semua bent uk penget ahuan, keyakinan, pemahaman at au wawasan sert a adat kebiasaan
at au et ika yang menunt un perilaku manusia
dalam kehidupan di dalam komunit as ekologisnya. Menurut Nurj aya, kearif an t radisional berpangkal pada sist em nilai dan religi yang dianut
dalam komunit asnya. 12 Aj aran agama dan kepercayaan masyarakat lokal menj iwai dan

6

7
8

11

Sul ai man, “ Pel aksanaan Hukom Adat Laot dal am
Pengel ol aan Per ikanan di Aceh” , Jur nal Mondi al Il muIl mu Sosi al Dan Kemasyar akat an 11 (19) Januar i-Juni
2009, Universit as Syi ah Kual a Aceh, hl m. 46.
I. Nyoman Nurj aya, VIII (40) t ahun 2007, op. ci t .
I Nyoman Nurj aya, “ Pembangunan Hukum Negar a dal am
Masyarakat Mul t ikul t ur al , Per spekt i f Hukum Pr ogr esi f ” ,
Jur nal Hukum Pr ogr esi f 3 (2) Okt ober 2007, PDIH
UNDIP, hl m. 13.
I. Nyoman Nurj aya, op. ci t .

t ang melaut , ant ara lain: hari kenduri laot (3
hari), hari Jumat (1 hari), hari raya Idul Fit ri (3
hari), hari raya Idul Adha (3 hari), hari kemerdekaan 17 Agust us (1 hari), dan 26 Desember

sebagai peringat an t sunami (1 hari). Ket ika suat u kapal nelayan t erj adi kerusakan di laut ,
maka kapal lainnya yang berada di sekit arnya
harus dat ang dan menolong. Demikian j uga bila
t erj adi kecelakaan di laut , seluruh kapal akan
membant u dan mencari nelayan bila ada yang
hilang.
Hukom adat laot melarang segala j enis
alat yang bisa merusak lingkungan, sepert i
pemboman, peracunan, pembiusan, penyet ruman, dan sebagainya. Di samping it u, larangan
j uga berlaku t erhadap penebangan berbagai
pohon di pinggir pant ai sepert i arun (cemara),
pandan, ket apang, bakau, dan pengambilan t erumbu karang. Hukom adat laot j uga melarang

Kear if an Tr adisional Dal am Pengel ol aan Sumber Daya Per ikanan … 299

pengambilan berbagai hewan dan t umbuhan
yang dilindungi at au yang t ermasuk dalam
pengawasan penelit i lingkungan. Mengenai t emuan barang hanyut di laut , nelayan yang menemukan harus menyerahkan kepada Panglima
Laot set empat unt uk mengurus at au menyerahkan ke lembaga yang berwenang.
Terhadap berbagai kearif an t ersebut , j uga disusun sej umlah sanksi yang umumnya

diput uskan oleh lembaga peradilan adat , yakni

kuat , ant ara lain t eori l ivi ng l aw dari Eugene
Ehrlich, yait u at uran-at uran hukum yang hidup
dari t at anan normat if , yang dikont raskan dengan hukum negara. 19
Indonesia sendiri t idak bisa mengingkari
kebhinnekaan sosial dan budaya sert a kemaj emukan normat if yang secara nyat a hidup, dianut , dan dioperasikan masyarakat lokal di berbagai kawasan di Indonesia, t erut ama komunit as-komunit as masyarakat adat yang memiliki

menyit a seluruh hasil t angkapan dan diserahkan
ke lembaga keagamaan, sert a larangan melaut
selama 3 hingga 7 hari. Berdasarkan ket ent uan
awal yang sudah disebut kan di bagian sebelumnya, maka kearif an t ersebut adalah legal
secara yuridis-f ormal. Dalam kaj ian ant ropologi
hukum, kondisi sepert i ini sesungguhnya bisa
digolongkan ke dalam bent uk apa yang disebut kan Grif f it h sebagai pluralisme hukum yang
lemah. Grif f it h membedakan pluralisme hukum
yang lemah dengan yang kuat . Pluralisme hukum yang lemah ( weak l egal pl ur al i sm) adalah
bent uk lain dari sent ralisme hukum. Dalam hal
ini hukum negara t et ap dipandang sebagai
superior, sedangkan hukum yang lain disat ukan
dalam hirarki di bawah hukum negara. 18 Tak
pelak, apa yang diat ur dalam ola kearif an t radisional perikanan di Aceh adalah bagian dari

sist em hukum sendiri ( sel f r egul at i on ) yang
dikenal sebagai hukum adat . 1920 Dengan kat a
lain, bangsa Indonesia sendiri t idak bisa dipisahkan dari nilai-nilai t radisional. Pancasila
sendiri menunj ukkan bahwa nilai-nilai yang
hendak dij adikan dasar unt uk mengat ur kehidupan berbangsa dan bernegara adalah nilainilai yang t erdapat , t umbuh dan berkembang
pada rakyat dan masyarakat Indonesia, sepert i
musyawarah, got ong royong, komunalis, dan
magis religius, sert a menghargai kebhinnekaan
(pluralisme).
Pluralisme hukum inilah yang memungkinkan adanya penghargaan t erhadap hukum
lokal ( l ocal l aw )–yang dalam ist ilah Simarmat a—
bisa disamakan dengan hukum rakyat ( f ol k
l aw ). Ist ilah hukum lokal sekaligus mengandung
hukum adat , kebiasaan, dan hukum agama. Ada

pluralisme hukum yang lemah ini. Sement ara
pluralisme hukum yang kuat ( st r ong l egal pl ur al i sm) memandang f akt a adanya kemaj emukan
t at anan hukum yang t erdapat di semua (kelompok) masyarakat . Semua sist em hukum yang
dipandang sama kedudukannya dalam masyarakat , t idak t erdapat hierarki yang menunj ukkan
sist em hukum yang sat u lebih t inggi dari yang
lain. Grif f it hs sendiri memasukkan pandangan
beberapa ahli ke dalam pluralisme hukum yang

banyak ist ilah hukum lokal: hukum t radisional,
hukum adat ( cust omar y l aw ), hukum asli ( i ndi genous l aw ), hukum rakyat . Masalah yang
muncul dengan ist ilah sepert i ” adat ” dan ” t radisional” adalah, bahwa ist ilah it u lebih menunj uk masa lalu yang seolah t idak berubah, meskipun pada kenyat aannya segala j enis hukum
senant iasa berubah. Bahkan di beberapa t empat perubahan sangat cepat . 23

19
18

Pl ural i sme hukum merupakan konsep t andi ng t erhadap
sent r al isme hukum yang menganggap hukum Negar a
adal ah sat u-sat unya. Dal am konst al asi Indonesi a pada
masa kol onial , hukum bumi put r a hanya bi sa berl aku
berdasarkan ket ent uan kol oni al . Art i nya Negar a
memil iki ot orit as penuh unt uk menent ukan ukuran yang
di sebut
hukum dan memil iki kekuasaan unt uk
memast ikan bahw a kebi asaan maupun hukum adat
dapat menj adi hukum. Bernar d St eny, “ Pl ural isme
Hukum: Ant ara Perda Pengakuan Masyarakat Adat dan
Ot onomi Hukum Lokal ” , Jur nal Pembar uan Desa dan
Agr ar i a, III (III) 2006, hl m. 84-85

20

23

Brian Tamanaha, 1993, “ The Fol l y of t he Concept of
Legal Pl ur al ism” , Paper The XIt h Int ernat ional Congress
of Commi ssion on Fol k Law and Legal Pl ur al i sm, New
Zeal and: Law Facul t y, Vi ct ori a Uni versit y of Wel l i ngt on,
p. 24-25.
Lihat Far ida Pat it t ingi, “ Peranan Hukum Adat Dal am
Pembi naan Hukum Nasional Dal am Era Gl obal i sasi ” ,
Maj al ah Il mu Hukum Amanna Gappa XI (13) Januar iMaret 2003, Fakul t as Hukum Univer sit as Hasanudi n,
hl m. 411
Keebet von Benda-Beckmann, 2005, Pl ur al i sme Hukum,
Sebuah Sket sa Geneal ogi s dan Per debat an Teor i t i s,
Jakart a: HuMa dan Ford Foundat ion, hl m. 24.

300 Jurnal Dinamika Hukum
Vol . 11 No. 2 Mei 2011

Suasana pluralisme hukum (bila kemudian
kit a gunakan konsep Hooker) adalah sit uasi
khusus ket ika hukum negara “ mengakui” beberapa bent uk “ hukum adat ” . 24 Hal demikian t erlihat dalam konst it usi negara Indonesia. Dalam
Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 diat ur bahwa:
“ Negara mengakui dan menghormat i kesat uankesat uan masyarakat hukum adat besert a hakhak t radisionalnya sepanj ang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan

Perkembangan Pelaksanaan Kearifan Tradisional
Era ot onomi khusus adalah bat asan dari
suat u durasi wakt u, dimana negara sudah
menempat kan daerah pada posisi pent ing
dalam kebangunan Negara Kesat uan Republik
Indonesia. Dalam era t ersebut , kewenangan
unt uk menj alankan pola kearif an lokal sudah
t erbuka lebar.
Sebelumnya, bila kit a melihat perubahan

prinsip Negara Kesat uan Republik Indonesia
yang diat ur dalam undang-undang” . Kalimat
dalam Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 menunj ukkan bet apa negara merasa memiliki sekalian
kekuasaan dan kekuat an unt uk menemukan apa
yang t erj adi di NKRI ini, t ermasuk apakah hukum adat masih berlaku at au t idak. Hukum
adat it u beranyaman dan berkelindan kuat dengan budaya set empat . 25
Berbagai macam norma yang hidup dalam
komunit as, t erut ama sekali yang berhubungan
dengan hak dan kewaj iban sumberdaya alam
yang mengelilingi mereka. Mereka mewarisi
hal-hal t ersebut dari leluhur mereka. Menurut
Tit ahelu, mereka menganggap sumberdaya
alam t idak semat a-mat a unt uk memenuhi manf aat ekonomi at aupun sekedar memenuhi kebut uhan sehari-hari, t et api pada saat t ert ent u

konsep ot onomi sebelumnya, dapat dilihat dalam beberapa Undang-Undang sebagai berikut .
Per t ama. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945,
yang mengat ur mengenai pembent ukan badan
perwakilan rakyat daerah yang dipilih dan bersama-sama kepala daerah bert ugas menj alankan pemerint ahan daerah; kedua, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 menent ukan bat asbat as wewenang daerah, dimana dit egaskan
mengenai kewenangan daerah unt uk memaj ukan daerahnya. Dalam era ini dikenal daerah
ist imewa; ket i ga, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, daerah diberi keleluasaan unt uk mengat ur rumah t angganya sendiri dan daerah
ist imewa.
Keempat , Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, memberi harapan mengenai konsep
ot onomi daerah yang lebih nyat a; kel i ma,

j uga mempunyai nilai budaya, sprit ual, sosial,
polit ik, dan ekologis. 26 Hal ini dimungkinkan
karena masyarakat adat memandang dirinya
sebagai bagian int egral dari komunit as ekologis,
sarat dengan moralit as ekologis. 27 Konsep inilah
yang kemudian membawa pengaruh t erhadap
konsepsi kesej aht eraan, sebagaimana diamanahkan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945, bahwa
bumi, air, dan kekayaan alam yang t erkandung
di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan unt uk sebesar-besar kemakmuran rakyat .

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, mulai di
kenal mengenai konsep ot onomi yang nyat a dan
bert anggung j awab; keenam , Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 yang merupakan pint u
bagi konsep desent ralisasi yang sebenarnya
yang mulai dij alankan di Indonesia; ket uj uh,
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, memperbaiki beberapa konsep yang dianggap t idak
sesuai dengan semangat ot onomi daerah, yang
dikait kan dengan kesej aht eraan rakyat ; dan kedel apan, Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2008, menambahi kekurangan yang ada dalam
Undang-Undang sebelumnya, t erut ama berkait an dengan perubahan-perubahan baru dalam
bidang hukum dan polit ik yang t erkait dengan
pemerint ahan daerah. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 merupakan bagian pent ing

24

25

26
27

John Grif f it hs, 2005, Memahami Pl ur al i sme Hukum,
Sebuah Deskr i psi Konsept ual , Jakar t a: HuMa dan For d
Foundat ion, hl m. 81.
Sat j i pt o Rahardj o,
2006,
Negar a Hukum yang
Membahagi akan Rakyat nya, Yogyakart a: Gent a Press,
hl m. 111.
Rikar do Si mar mat a, 2005, hl m. 198.
A. Sonny Ker af , 2002, hl m. 284.

yang sangat berpengaruh dalam ot onomi daerah it u sendiri. Da-lam masa t erakhir, konsep

Kear if an Tr adisional Dal am Pengel ol aan Sumber Daya Per ikanan … 301

kearif an lokal dalam pengelolaan perikanan benar-benar t erbuka lebar.
Hukom adat laot di Aceh mendapat pengakuan dalam perat uran perundang-undangan.
Masyarakat hukum adat laot diakui dalam
perundang-undangan di Indonesia. Pasal 18B
ayat (2) UUD 1945 menyebut kan bahwa “ negara
mengakui dan menghormat i kesat uan-kesat uan
masyarakat hukum adat besert a hak-hak t radisionalnya sepanj ang masih hidup dan sesuai

adat di Aceh. Kemudian dalam Pasal 11 ayat (2)
Qanun Nomor 16 Tahun 2002 t ent ang Pengelolaan Sumberdaya Kelaut an dan Perikanan j uga
disebut kan bahwa dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, Pemerint ah Provinsi mengakui
keberadaan Lembaga Panglima Laot dan hukum
adat laot yang t elah ada dan eksis dalam kehidupan masyarakat nelayan di Provinsi.
Pascat sunami yang melanda Aceh dan
perdamaian ant ara Pemerint ah dan Gerakan

dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
negara kesat uan Republik Indonesia yang diat ur
dengan undang-undang” . Di Aceh, pengakuan
ini ant ara lain bisa dilihat dalam Perat uran
Daerah Nomor 2 Tahun 1990 t ent ang Pembinaan dan Pengembangan Adat -ist iadat , Kebiasaan Masyarakat besert a Lembaga Adat Provinsi
Daerah Ist imewa Aceh. Perat uran Daerah menempat hukom adat laot pada posisi adat yang
dikenal dan diat ur di Provinsi Daerah Ist imewa
Aceh.
Aceh, dalam era ref ormasi mendapat st at us khusus dengan Undang-Undang Nomor 44
Tahun 1999 t ent ang Penyelenggaraan Keist imewaan Aceh. Dalam undang-undang j uga mengat ur mengenai penyelenggaraan kehidupan
adat . Sebagai t indak lanj ut dari undang-undang
t ersebut , dibent uk Perat uran Daerah Nomor 7

Aceh Merdeka, lahir Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2006 t ent ang Pemerint ahan Aceh. Dengan undang-undang t ersebut memberikan
landasan hukum baru yang makin menguat kan
kedudukan kearif an lokal dalam hukum
nasional. Sebenarnya bila kit a melihat konsep
hukum t erhadap kearif an lokal, dengan j elas
disebut kan bahwa kenyat aan kearif an lokal harus menj adi bagian at au pert imbangan dalam
dalam kegiat an penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan (Pasal 6 Undang-Undang Nomor
45 Tahun 2009 t ent ang Perubahan at as UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 t ent ang Perikanan; Pasal 162 ayat (2) huruf e Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 t ent ang Pemerint ahan
Aceh).
Berdasarkan undang-undang t erakhir, kemudian secara lebih konkret dit egaskan dalam

Tahun 2000 t ent ang Penyelenggaraan Kehidupan Adat . Pada t ahun 2000, Gubernur Aceh menerbit kan Surat Keput usan Nomor: 523/ 315/
2000 t ent ang Pengukuhan Panglima Laot Aceh,
sebagai lembaga yang melaksanakan hukom
adat laot . Keput usan t ersebut kemudian diperbarui dengan Keput usan Gubernur Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam Nomor: 523. 11/ 012/
2005 (t ert anggal 8 Maret 2005) t ent ang Pengukuhan Panglima Laot Aceh. Dalam keput usan t ersebut disebut kan bahwa Panglima Laot
merupakan bagian pent ing dalam rangka menyukseskan pembangunan perikanan.
Ot onomi yang lebih luas kembali diberikan Pemerint ah melalui Undang-undang Nomor
18 Tahun 2001 t ent ang Ot onomi Khusus bagi
Aceh dengan nama Provinsi Nanggroe Aceh Da-

Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 t ent ang
Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat -Ist iadat .
Dalam Pasal 10 ayat (1) huruf (f ) dij elaskan
bahwa pembinaan dan pengembangan kehidupan adat dan adat ist iadat dapat dilakukan
dengan “ perlindungan hak masyarakat adat ,
yang meliput i t anah, rawa, hut an, laut , sungai,
danau, dan hak-hak masyarakat lainnya” .
Semua pengat uran dan pert imbangan
yang t ersebut di at as, oleh ket ent uan lainnya
j uga diperj elas sedemikian rupa. Dalam pengat urannya, hukum adat dan/ at au kearif an lokal
yang dij adikan pert imbangan dalam pengelolaan perikanan adalah yang t idak bert ent angan dengan hukum nasional. Bunyi penj elasan
ini kurang lebih sama dengan pengat uran dalam
Pasal 3 UU Nomor 5 Tahun 1960 t ent ang Ket en-

russalam. Dalam undang-undang ini j uga mengakui keberadaan hukum adat dan lembaga

t uan Pokok Agraria. Dalam kont eks hukom adat

302 Jurnal Dinamika Hukum
Vol . 11 No. 2 Mei 2011

laot , j elas t idak bert ent angan dengan hukum
nasional.
Pola semacam ini sudah t epat , karena dalam sej arahnya, pengelolaan perikanan di Aceh
dimulai dengan inisiat if yang muncul dari
masyarakat lokal dengan menggunakan pemahaman yang mereka punya (penget ahuan lokal)
dan kemudian dilembagakan dengan menggunakan sist em hukum adat , salah sat unya adalah
adat laot . 28 Konsep t ersebut merupakan konsep

mendukung t erakt ualisasinya berbagai ket ent uan perundang-undangan yang mengat ur pengelolaan berbasis kearif an t radisional. Komponen
subst ansi merupakan ket ent uan yang dibuat
dan digunakan unt uk megat ur perilaku manusia. Komponen kult ur menyangkut dengan nilainilai, sikap, dan pola perilaku warga. Budaya
hukum berhubungan dengan sikap dan perilaku.
Makanya dalam sist em hukum, budaya hukum
menj adi f akt or penent u yang pent ing. Cit a-cit a

pengelolaan berbasis penget ahuan t radisional. 29
Prakt ek sepert i ini, bisa dit andai salah sat unya
adalah sudah berlangsung t urun-t emurun. 30. Paradigma sepert i ini bert ransf ormasi, t erut ama
dari l egal cent r al i sm ke l egal pl ur al i sm . 31 Bent uk pengelolaan t ersebut di at as, menempat kan
posisi pemerint ah pent ing. 32 Posisi t ersebut kemudian diimplement asikan dalam pengelolaan
perikanan di Aceh dengan berusaha me; libat kan
masyarakat dan lembaga adat dalam pelaksanaannya. 33

hukum, t uj uan pembangunan hukum, t idak dapat dicapai dengan mengabaikan peranan dan
sumbangan budaya hukum.
Gambaran di at as, dalam kont eks yang lebih luas, bisa dipersandingkan dengan t eori
pembangunan hukum Mocht ar Kusumaat maj a
yang t erbangun dari t eori orient asi kebij aksanaan Mc. Dougal dan Laswell dan t eori hukum
pragmat is Pound. 35 Menurut t eori t ersebut , hukum t urut dit ent ukan oleh proses, 36 yang dalam
kont eks t eori t ersebut , hukum dapat didayagunakan sebagai alat pembaruan dan pembangunan masyarakat . 37 Namun demikian t ingkat keberhasilannya belum diuj i padahal perubahan
sist em sent ralisasi ke ot onomi t elah menimbulkan dampak mendasar t erhadap perkembangan
sist em hukum. 38
Perubahan sist em t ersebut kemudian di-

Kearifan Tradisional dalam Pengelolaan Perikanan
Perat uran yang mengat ur t ent ang keharusan kearif an lokal dalam pengelolaan perikanan Aceh, pada kenyat aannya t idak bisa
dij alankan sert a-mert a. Harus ada ket erpaduan
dengan berbagai pihak lain yang t erlibat dalam
pengelolaan perikanan. Dalam sist em hukum,
dikenal t iga komponen yang saling t erkait , yakni st rukt ur, subst ansi, dan kult ur. 34 komponen
st rukt ur berupa kelembagaan dalam rangka
28
29

30
31

32

33

34

M. Adl i Abdul l ah, dkk, 2006, op. ci t , hl m. 18.
Lucky Adri ant o dkk, “ Adopsi Penget ahuan Lokal Dal am
Pengel ol aan Perikanan Di Indonesi a” Paper Wor kshop on
Cust omar y Knowl edge, Mat ar am, Indonesi a, 2-4
Agust us 2009.
A. Sonny Ker af , 2002, hl m. 289.
Rahmat Saf a’ at , “ Transf ormasi Par adigma Hukum
Pengel ol aan Sumberdaya Al am dal am Per spekt if Gl obal :
dar i Legal Cent ral i sm ke Legal Pl ural ism” , Jur nal
Hukum Pr ogr esi f , Vol . 3 No. 2/ Okt ober 2007, hl m. 122.
Vi ct or PH Nikij ul uw, 2002, Rezi m Pengel ol aan
Sumber daya Per i kanan, Pust aka Ci desindo, Jakart a.
Mel l a Ismel i na FR, “ Pengel ol aan Sumberdaya Pesisir
dan Kel aut an menuj u Sust ainabl e Devel opment ” ,
Jur nal Syi ar Madani (FH Uni sba), Vol . VII No. 3
November 2005, hl m. 327.
Lawrence M. Friedman, The Legal Syst em; A Soci al
Sci ence Per spect i ve, Russel Sage Foundat ion, New
York, 1975, pp. 16.

implement asikan dalam konsep pengelolaan
bersama perikanan sebagai model pengelolaan
yang memadukan ant ara manaj emen (modern)
dari Pemerint ah dengan manaj emen t radisional
dari masyarakat lokal. Proses pembent ukan manaj emen t erpadu dapat dit empuh melalui dua
langkah, yakni: per t ama, pemerint ah secara
f ormal mengakui perat uran inf ormal yang hidup
di t engah masyarakat , baik secara t radisional
sudah ada maupun yang baru dibent uk oleh

35

36

37

38

Mocht ar Kusumaat madj a, 1986, Hukum, Masyar akat ,
dan Pembi naan Hukum Nasi onal , Bandung: Binaci pt a,
hl m. 5 – 10.
Mocht ar Kusumaat madj a, 1986, Pembi naan Hukum
Dal am Rangka Pembangunan Nasi onal , Bandung:
Binaci pt a, hl m. 11.
Mocht ar Kusumaat madj a2000, Konsep-Konsep Hukum
dal am Pembangunan , Bandung: Al umni, hl m 13 dan hl m.
74.
Roml i At masasmi t a, 2003, Menat a Kembal i Masa Depan
Pembangunan Hukum Nasi onal ,
Maj al ah Hukum
Nasional No 1/ 2003, Jakart a: BPHN, hl m 1.

Kear if an Tr adisional Dal am Pengel ol aan Sumber Daya Per ikanan … 303

masyarakat (neo-t radisional); kedua, pemerint ah menyerahkan sebagian wewenangnya kepada masyarakat dalam penegakan at uran yang
dibuat oleh Pemerint ah. 39
Pengelolaan bersama perikanan t ersebut ,
pada akhirnya bert uj uan unt uk menghindari
lahirnya ” t ragedi bersama” . “ Tragedi bersama”
( t r agedy of commons) adalah ist ilah yang muncul dari sebuah art ikel yang dimuat di Jounal
Sci ences, Edisi 162: 1243-48 t ahun 1968, “ The

bat asi j umlah t angkapan bagi set iap pelaku
berdasarkan kuot a. Salah sat u f ormulasi dari
pembat as input it u adalah t err i t or i al use r i ght
yang menekankan penggunaan f i shing r i ght
(hak memanf aat kan sumberdaya perikanan)
dalam suat u wilayah t ert ent u dalam yurisdiksi
yang j elas. Pola f i shi ng r i ght syst em ini menempat kan f i shi ng r i ght yang berhak melakukan kegiat an perikanan di suat u wilayah,
sement ara yang t idak memiliki f i shing r i ght

Tr agedy of t he Commons” . Teori ini dimulai dari peringat an seorang pakar biologi pada t ahun
1968, Garret Hardin, t ent ang ” akan t erj adinya
dalam pemanf aat an sumberdaya alam yang
dimanf aat kan bersama – common-pool r esour ces (CPRs) , sepert i f i shing gr ound , ekosist em
t erumbu karang, t eluk, danau, hut an, air t anah, dan sebagainya. ” Oleh Ost rom kemudian
dikemukakan dua persoalan pent ing CPRs, Per t ama, pengambilan seseorang at as r esour ce
uni t (RU) dari CPRs bersif at mengurangi peluang orang lain unt uk mengambil RU yang
sama. Kedua, kesulit an mengont rol akses at as
CPRs t ersebut . Art inya, seseorang mengalami
kesulit an unt uk membat asi akses orang lain
at as CPRs it u. 40
Sebenarnya dalam pengelolaan perikanan
dikenal dua bent uk regulasi. Pert ama, open
access adalah regulasi yang membiarkan nelayan menangkap ikan dan mengeksploit asi sumberdaya hayat i lainnya kapan saj a, di mana
saj a, berapa pun j umlahnya, dan dengan alat
apa saj a. Regulasi ini mirip “ hukum rimba” dan
“ pasar bebas” . Regulasi inilah yang berpot ensi
t r agedy of commons baik berupa kerusakan
sumberdaya kelaut an dan perikanan maupun
konf lik ant arnelayan. Kedua, cont r ol l ed access
r egul at i on adalah regulasi t erkont rol yang dapat berupa (1) pembat asan input ( i nput rest ri ct i on) , yakni membat asi j umlah pelaku, j umlah
j enis kapal, dan j enis alat t angkap, (2) pembat asan out put (out put rest r i ct i on ), yakni mem-

t idak diizinkan beroperasi di wilayah it u. Selain
diat ur siapa yang berhak melakukan kegiat an
perikanan, j uga diat ur kapan dan dengan alat
apa kegiat an perikanan dilakukan. Sist em yang
menj urus pada bent uk pengkaplingan laut ini
menempat kan perlindungan kepent ingan nelayan kecil yang beroperasi di wilayah pant aipesisir sert a kepent ingan kelest arian f ungsi
sumberdaya sebagai f okus perhat ian. 41
Berdasarkan ref erensi t ersebut , kemudian
pengelolaan bersama perikanan berusaha
mengkombinasi t ipe rej im kepemilikan sumberdaya oleh pemerint ah dan masyarakat . Bagaimana pun, manaj emen pengelolaan bersama
dibut uhkan. Konsep sebagaimana disebut kan di
at as, pada kenyat aannya sudah berj alan di
empat kabupat en pesisir pant ai barat , yait u
yait u Aceh Besar (Kawasan Bina Bahari di Lam-

39

40

Sudir man Saad, “ Pl ur al isme Hukum dan Masal ah
Lingkungan: Kasus Penangkapan Ikan di Danau Tempe,
Sul awesi Sel at an” , dal am EKM Masi nambow, 2003,
Hukum dan Kemaj emukan Budaya, Jakart a: Yayasan
Obor Indonesi a, hl m. 195.
Aceng
Hidayat ,
“ Tragedi
Ber sama
Per ikanan
Indonesi a” , Si nar Har apan , 16 Februari 2008).

puuk), Aceh Jaya (Kawasan Ramah Lingkungan
di Lhok Rigaih dan Kawasan Peudhiet Laot di
Meureuhom Daya), Aceh Barat (Kawasan Peuj roh Laot di Meureubo dan Langgong), dan Nagan Raya (Kawasan Beuj roh Laot di Lhok Kuala
Trang, lhok Kuala Tadu, Lhok Kuala Tripa, lhok
Babah Lueng dan lhok Kuala Seumanyam). Hingga saat ini, komponen ini t elah bekerj a dalam
meningkat kan pemahaman t ent ang pelest arian
perikanan melalui pengelolaan bersama kepada
para st akehol der s yang t erdiri dari masyarakat
pesisir, panglima laot , dan pemerint ah.
Namun demikian ada sat u hal yang harus
diingat kan, bahwa model pengelolaan bersama
perikanan bukan sebagai ruang unt uk menghancurkan kehidupan adat . Proses ini t idak boleh
41

Anoni mious,
2007, Dokumen Anal i si s Kebi j akan
Pengel ol aan Sumber daya Kel aut an dan Per i kanan
Pr ovi nsi Nanggr oe Aceh Dar ussal am , Banda Aceh: WI,
WWF, Bot h Ends, IUCN, dan Oxf am, hl m. 7.

304 Jurnal Dinamika Hukum
Vol . 11 No. 2 Mei 2011

menghancurkan berbagai akivit as adat laot
yang berlangsung, misalnya pemberian sanksi
dalam pengelolaan bersama, t idak boleh menisbikan ada kearif an dalam peradilan adat di laot
di wilayah pesisir.

Penutup
Simpulan
Berdasarkan bahasan t ersebut di at as,
ada beberapa simpulan pent ing. Pert ama, dalam masyarakat Aceh, pola kearif an t radisional
dalam pengelolaan perikanan dikenal dengan
ist ilah hukom adat laot , yang berlaku dalam
masyarakat yang mendiami 147 Lhok di seluruh
Aceh. Masyarakat hukom adat laot memiliki kearif an dalam lima lingkup t at anan t radisional,
yakni pant ang laot , adat laot , adat pemeliharaan lingkungan, adat kenduri laot , dan adat
barang hanyut . Kedua, konsep masyarakat hukum adat laot merupaan konsep t randisional
yang dalam negara dengan pengert ian modern
j uga diakui dengan perat uran perundang-undangan. Dalam hal ini, negara mengakui dan
menghormat i kesat uan masyarakat hukum adat
laot dan hak t radisionalnya karena masih hidup
dan berkembang dalam masyarakat . Ket i ga,
konsep kearif an lokal, dalam era ot onomi daerah mendapat mendapat posisi pent ing dalam
pengelolaan perikanan di Indonesia. Namun demikian, t arik-menarik kepent ingan t et ap t erj adi, ant ara lain dengan membedakan konsep
kearif an dengan pembangunan pada umumnya.

Adriant o, Lucky dkk. Adopsi Penget ahuan Lokal
Dal am Pengel ol aan Per i kanan Di Indonesi a. Paper Workshop on Cust omary
Knowledge, Mat aram, Indonesia, 2-4
Agust us 2009;
Anonimious. 2007. Dokumen Anal i si s Kebi j akan
Pengel ol aan Sumber daya Kel aut an dan
Per i kanan
Provi nsi
Nanggroe
Aceh
Dar ussal am . Banda Aceh: WI, WWF, Bot h
Ends, IUCN, dan Oxf am;
AR, Razali. 2009. Prof i l Per i kanan Tangkap
Aceh. Banda Aceh: Dinas Kelaut an dan
Perikanan Aceh;
At masasmit a, Romli. 2003. “ Menat a Kembali
Masa Depan Pembangunan Hukum Nasional” . Maj alah Hukum Nasional No 1/
2003. Jakart a: BPHN;
Benda-Beckmann, Keebet von. 2005. Pl ur al i sme
Hukum, Sebuah Sket sa Genealogi s dan
Per debat an Teor it i s. Jakart a: HuMa dan
Ford Foundat ion;
FR, Mella Ismelina. “ Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir dan Kelaut an menuj u Sust ainable
Development ” . Jur nal Syi ar Madani , Vol.
VII No. 3 November 2005;
Friedman, Lawrence M. 1975. The Legal Syst em; A Soci al Sci ence Per spect ive. New
York: Russel Sage Foundat ion;
Grif f it hs, John. 2005. Memahami Pl ur al i sme
Hukum, Sebuah Deskr i psi Konsept ual .
Jakart a: HuMa dan Ford Foundat ion;
Hidayat , Aceng. “ Tragedi Bersama Perikanan
Indonesia” , Si nar Har apan, 16 Februari
2008;
Kurien, John. 2009. Suar a Pangl ima Laot . Banda Aceh: FAO;

Rekomendasi
Pengambil kebij akan dalam rangka pelaksanaan kearif an t radisional, t idak hanya t erpaku pada landasan yuridis-f ormal semat a.
Pengambil kebij akan yang mement ingkan landasan yuridis-f ormal, seyogianya menj adikan
kearif an t radisional sebagai bahan baku yang
pent ing dalam rangka penyusunan berbagai
perat uran perundang-undangan yang t erkait . Di
samping it u, sudah seyogianya pola pemecahan
masalah t ert ent u melalui pendekat an yang
holist ik.

Kusumaat madj a, Mocht ar. 1986. Hukum, Masyar akat , dan Pembinaan Hukum Nasi onal . Bandung: Binacipt a;

Daftar Pustaka

Nurj aya, I Nyoman. “ Kearif an Lokal dan Pengelolaan Sumberdaya Alam” . Jur nal Il mi ah

-------. 1986. Pembi naan Hukum Dal am Rangka
Pembangunan Nasi onal . Bandung: Binacipt a;
-------. 2000. Konsep-Konsep Hukum
Pembangunan. Bandung: Alumni;

dal am

Masinambow, EKM. 2003. Hukum dan Kemaj emukan Budaya. Jakart a: Yayasan Obor
Indonesia;
Nikij uluw, Vict or PH. 2002. Rezi m Pengel ol aan
Sumber daya Per i kanan. Jakart a: Pust aka
Cidesindo;

Kear if an Tr adisional Dal am Pengel ol aan Sumber Daya Per ikanan … 305

Vol. VIII No. 40 2007, ht t p: / / www. akhirnyat erbit j uga. com, diakses t anggal 30
November 2010;
-------. “ Pembangunan Hukum Negara dalam
Masyarakat Mult ikult ural, Per spekt if Hukum Progr esi f ” . Jurnal Hukum Progr esi f
Vol. 3 No. 2 Okt ober 2007;
Pat it t ingi, Farida. “ Peranan Hukum Adat Dalam
Pembinaan Hukum Nasional Dalam Era
Globalisasi” . Maj al ah Il mu Hukum Amanna Gappa Vol. XI No. 13 Januari-Maret
2003, FH UNHAS;
Rahardj o, Sat j ipt o. 2006. Negar a Hukum yang
Membahagiakan Rakyat nya. Yogyakart a:
Gent a Press;
Saf a’ at , Rahmat . “ Transf ormasi Paradigma Hukum Pengelolaan Sumberdaya Alam dalam Perspekt if Global: dari Legal Cent ralism ke Legal Pluralism” . Jur nal Hukum
Progresif , Vol. 3 No. 2/ Okt ober 2007;
St eny, Bernard. “ Pluralisme Hukum: Ant ara
Perda Pengakuan Masyarakat Adat dan
Ot onomi Hukum Lokal” . Jur nal Pem-

bar uan Desa dan Agrar i a, Vol. 3 No. 3
2006;
Sulaiman, “ Pelaksanaan Hukom Adat Laot dalam Pengelolaan Perikanan di Aceh” , Jur nal Mondi al Il mu-Il mu Sosi al dan Kemasyar akat an Vol. 11 No. 19 Januari-Juni
2009, Universit as Syiah Kuala Aceh;
-------. “ Model Pengelolaan Perikanan Berbasis
Hukum Adat Laot Di Lhok Rigaih Kabupat en Aceh Jaya” . Jur nal Masal ah-masal ah Hukum No. 71 Maret 2011;
-------. 2010. Konsep Pengel ol aan Sumber daya
Per i kanan Ber basi s Kear if an Lokal Di
Aceh Pada Masa Ot onomi Daer ah . Makalah Lokakarya 8 Tahun Ot onomi Daerah, Malang: Universit as Brawij aya;
Tamanaha, Brian. 1993. The Fol l y of t he Concept of Legal Pl ur al i sm . Paper The XIt h
Int ernat ional Congress of Commission on
Folk Law and Legal Pluralism, New
Zealand: Law Facult y, Vict oria Universit y
of Wellingt on.