KEADILAN SOSIAL TITIK TENGAH Belajar dar (1)

I.

Latar Belakang
Selama ini, keadilan seperti apakah yang dituntut?
Benarkah setelah keadilan itu terpenuhi, relasi menjadi
setara dan banalitas1 hilang? Atau jangan-jangan, ia
hanya mewujud dalam bentuk yang lain?

Ketika membahas keadilan sosial, biasanya kita megacu pada
perbincangan yang sangat filosofis dan pengalaman orang di masa lalu yang
hidup di negeri yang sangat jauh. Perbincangan tentang hal itu berangkat dari
dunia ideal, dari abstraksi filosofis, bukan dari realita yang kita hadapi dalam
keseharian kehidupan. Rujukan yang utama, tentunya pengalaman imperium
Romawi, yang lambang keadilannya masih digunakan di negara kita, Iustitia,
sang dewi keadilan. Dan konsep-konsep keadilan para pemikir Barat, mulai
dari Rawls sampai Habermas, dari yang libertarian, komunitarian sampai yang
diskursif. Keadilannya, ditekuni sebagai idealitas, bukan sebagai realita.
Di Indonesia, keadilan sosial secara formal menjadi aspirasi dominan
dalam konstitusi bangsa Indonesia. Dari 7 (tujuh) kata adil yang tercantum
dalam UUD 1945, terdapat dua kata adil dibatang tubuh, yaitu dalam sumpah
jabatan presiden dan wakilnya. Lima kata adil selebihnya: perikeadilan, seadiladilnya, adil dan makmur, keadilan sosial, adil dan beradab justru tercantum

dalam pembukaan. Penjelasan konstitusi juga secara eksplisit menyebutkan
tujuan negara “hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.”
Sehingga dapat diartikan bahwa keadilan didudukkan sebagai sebuah

keutamaan yang menjadi fundamen terpenting yang mendasari seluruh relasi1

Konsep banalitas disini merujuk pada apa yang dikemukakan oleh Hannah Arendt mengenai
banalitas kejahatan. Lihat, Arendt, Hannah, Eichmann in Jerusalem, Macmillan Company, New
York, 1963.

1

relasi yang bersifat sosial politis, yang datang dari negara untuk masyarakat
(top-down).
Pewacanaan yang terlalu asyik dalam refleksi teoritis idealiastik, yang
diakses secara top-down, ternyata sering lalai untuk menangkap dinamika
perubahan zaman yang dihadapi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Mengingat bahwa keadilan sosial bukanlah sesuatu yang taken for granted,
terus menerus dalam proses pembentukan2 bersama dengan masyarakat yang
menyimpan pengetahuannya sendiri dengan negara,3 maka karya ini

dipersiapkan untuk mencari alternatif keadilan sosial yang kontekstual dan
berangkat dari jalur induktif. Agar dapat digunakan untuk mengatasi
pewacanaan keadilan sosial yang ternyata hanyalah sebatas pemusatan
kekuasaan, yang memunculkan represi kepada pihak lain yang dianggap kalah,
upaya pencariannya selanjutnya dilakukan

dengan

kesadaran

untuk

menelusuri jalur keadilan dari pinggir, yakni kedilan yang tumbuh dalam
tatanan suatu masyarakat yang sering ditenggelamkan dalam narasi besar
keadilan ala penguasa. Maka karya ini disiapkan untuk melihat reproduksi
keadilan sosial pada masyarakat agraris, dalam konteks penelitian ini dipilih
masyarakat Tengger.
II.

Rumusan Masalah

Pertanyaan besar yang hendak dijawab kemudian adalah: Apa dan
bagaimana konstruksi keadilan Sosial (dari dan untuk) sebuah masyarakat

2

Lihat Filsafat Keadilan dalam Rasuanto, Bur, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan
Habermas, Dua Teori Filsafat Politik Modern, Gramedia, Jakarta, 2005.
3

Lihat Tafsir Sosial dalam Berger, Peter dan Thomas Lucmann, Tafsir Sosial Atas Kenyataan,
LP3ES, Jakarta, 1990.

2

terwujud? Untuk itu, secara teknis pertanyaan penelitian yang diajukan
adalah:
1.

Dalam kesehariannya,bagaimana perilaku masyarakat Tengger memaknai


keadilan?
2.

Bagaimana keadilan tersebut

mengejawantah dalam kehidupan

bernegara?
III.

Tujuan Penelitian
Kajian ini dilakukan untuk dapat menawarkan pelacakan aktualisasi dan
reproduksi nilai keadilan sosial dalam keseharian masyarakat. Sehingga nanti
dapat ditemukan pola alternatif dalam mempraktekkan keadilan.

IV.

Metodologi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan dengan metodologi kualitatif dengan teknik
feneomonelogi-hermeneutika yang dikembangkan oleh Heidegger, dimana

pengalaman

terkenali

oleh

kesadaran

karena

ada

intensionalitas

(keterarahan) dan selanjutnya diperlakukan sebagai rajutan objek-objek yang
terbuka

untuk

diinterpretasi


bahkan

didekonstruksi

untuk

menuju

pemahaman bagaimana hal-hal itu tampak.4
Lokasi penelitian dipilih di dua desa Tengger yang sama-sama berada
didalam wilayah enclave Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS)
tetapi memiliki corak relasi yang berbeda antara masyarakatnya dengan aktor
representasi negara disana. Kedua desa tersebut adalah: Ngadas (Kabupaten
Malang) dan Ranu Pani (Kabupaten Lumajang). Fokus penelitian diarahkan
kepada fenomena keadilan sosial yang dalam konteks penelitian ini adalah
4

Lihat Heidegger, Martin, Phenomenology of Intuition and Expression, Continuum, London, 2010


3

tatanan nilai yang dipegang teguh dalam kehidupan sehari-hari orang Tengger
dalam proses pembentukan komunitasnya.
Proses pengumpulan data dilakukan dengan cara menggali pengalaman
kehidupan sehari-hari masyarakat Tengger melalui wawancara, studi pustaka
dan refleksi pengalaman penulis dalam membersamai dan merasakan
kehidupan masyarakat setempat dalam observasi terlibat. Selanjutnya,
dilakukan interpretasi terhadap data untuk menuju pemahaman terhadap
perspektif masyarakat Tengger mengenai keadilan sosial. Dengan kesadaran
akan luas dan simultannya perspektif masyarakat Tengger akan keadilan
sosial

maka

proses

interpretasi

dipersempit


dengan

memfokuskan

pengamatan hanya di ladang dan dapur orang Tengger, dua ruang yang paling
sering dikunjungi dan didatangi sehari-hari.
Untuk menjaga sensitifitas terhadap situasi kontekstual, maka analisis
data akan dikerangkai dengan pendekatan Contextual Political Analysis yang
dikembangkan oleh Charles Tilly dan Robert Goddin yang memberikan
proposisi teoritik tentang konteks yang membentuk fakta-fakta politik,
proses politik sampai pemahaman analis politik itu sendiri does matter.
Dalam analisis politik penting untuk memperhatikan konteks kultural,
historogical, linguistik dan spatial yang membentuk dan juga sekaligus
dibentuk. 5Analasisnya mengakui karakter multidimensional politik, sehingga
dalam penelitian ini alur narasi yang disiapkan dimulai dari telusur sejarah
relasi masyarakat Tengger dengan negara dalam berbagai kurun waktu dan

5


Lihat Goddin, Robert E. dan Charles Tilly (ed.), Contextual Political Analysis, Oxford University
Press, United States, 2006

4

tempat tertentu, sehingga berhasil ditunjukkan konteks umum yang
membentuk dan dibentuk oleh keadilan sosial lokalnya.
Penyingkapan selanjutnya akan diarahkan untuk memahami alam
pikir masyarakat Tengger yang menjadi konteks khusus yang membentuk
dan dibentuk oleh nilai keadilan sosialnya. Dengan kesadaran berlapisnya
abstraksi

yang

akan

dilakukan,

maka


secara

operasional

upaya

penyingkapannya akan dilakukan dengan teknik konstruksi sosial yang
dikembangkan oleh Peter Berger dan Thomas Luckmann, yang mencoba
mengadakan sintesa antara fenomen-fenomen sosial yang tersirat dalam tiga
momen sinergis dan memunculkan suatu konstruksi kenyataan sosial yang
dilihat dari segi asal-muasalnya merupakan hasil ciptaan manusia, buatan
interaksi intersubjektif. Ketiga momen itu adalah: internalisasi, obyektivasi
dan eksternalisasi. Ketiga momen ini selanjutnya digunakan sebagai pisau
analisis yang dikontekstualisasikan untuk menguliti pengetahuan keadilan
sosial lokal, yang dibentuk oleh masyarakat bersama-sama dengan negara.
Kontekstualisasi dari ketiga momen itu menghasilkan ketiga momen:
kontekstualisasi, rekonstruksi dan negosiasi yang disingkat dalam akronim
KEREN. Ketiga momen ini mengantarkan pembentukan corak keadilan sosial
sebagai pilihan-pilihan sulit dalam menghadapi dinamika perubahan sosial
masyarakatnya. Keadilan sosialnya tidak akan pernah menjadi sesuatu yang

idealistik. Selanjutnya, ia mensyaratkan kondisi-kondisi dimana pemusatan
kekuasaan dapat dihindari dan penyebaran kekuasaan dapat terjadi. Dalam
konsep matematis kondisi ini dikenal sebagai titik tengah. Dimana titik
tengah dari suatu ruas garis terletak ditengah-tengah ruas garis sedemikian

5

sehingga membagi ruas garis tersebut menjadi dua bagian yang sama
panjang. Dalam konteks penelitian ini, membagi kekuasaan yang sama besar,
antara masyarakat Tengger dan Negara, yang menjadi tujuan dari penelitian
ini. Sehingga dalam kerangka pikir KEREN, titik tengah menjadi suatu
keniscayaan.
Gambar 1
Keniscayaan Titik Tengah

Gambar 2
Analisis KEREN: Menuju Titik Tengah

REKONSTRUKSI
Pemeliharaan Sehari-hari dan
kondisi krisis
a. pola komunikasi kedua
belah pihak
b. aparat legitimasi (sanksi,
denda, advokasi)

KONTEKSTUALISASI
1. sosialisasi primer
a. kebijakan negara
b. pengetahuan lokal
2. sosialisasi sekunder
a. kebijakan aktor lain
b. respon masyarakat
Tengger

titik
tengah
6

NEGOSIASI
1. pola perilaku berulang
2. corak pengetahuan
lokal

V.

Hasil
Berbeda dengan konsep keadilan sosial yang ditekuni sebagai sebuah
idealitas, Keadilan Sosial yang ditekuni dari pengalaman masyarakat Tengger
adalah bentuk sistem pengetahuan yang berangkat dari pilihan-pilihan sulit
untuk menuju titik tengah antara pengetahuan idealistik dalam kesadaran
subjek dan konteks fragile dinamika sosialnya.
Titik Tengah membagi kekuasaan sedemikan menjadi bagian-bagian
yang sama besar. Sehingga tidak perlu mengandaikan sebuah konsensus seperti
apa yang disyaratkan oleh Rawls dan para libertian lain. Titik Tengah mengakui
adanya bentuk-bentuk resistensi maupun kompromi didalamnya. Titik tengah
Tengger sendiri berusaha mengatasi fundamentalisme solidaritas kaum
komunitarian,

yang

mengabaikan

kepentingan

individu,

sebab

dalam

pertemuannya dengan komunitas, relasi intersubjektifitas individu diakui yang
keberadaannya tidak hanya ditentukan oleh sebuah komunitas tertentu,
melainkan ia bergerak dari satu komunitas kekomunitas lainnya. Titik tengah
juga sekaligus berbeda dengan keadilan sosial diskursif Habermas yang
menekankan pada diskursus praksis komunikatif deliberatif melainkan
diskursus praksisnya lebih diwarnai wajah filsafat Timur, yang intuitif dan
reflektif.
Meski dekat dengan konsep filsafat Timur, titik tengah berbeda dengan
equilibrium yang menjadi struktur dasar filsafat Jawa yang banyak bersumber
dari filsafat Timur, Hindu-India sentris. Dari telusur sejarahnya pun dapat
ditunjukkan bahwa kebudayaan Tengger menolak untuk disamakan dengan
kebudayaan Jawa pada umumnya yang mengacu pada budaya Majapahit-an,

7

yang Hindu-India sentris. Jika universum equilibrium mengandaikan manusia
harus hidup selaras dengan alam dan makhluk hidup lain, titik tengah Tengger
tidak mengandaikan kondisi dalam mencapainya sehingga bukan hanya
keselarasan dalam perbedaan melainkan konflik dalam perbedaan juga
ditampung dan tidak dinafikan. Dalam kondisi ini relasi alam dan manusia
dilihat

sebagai

sebuah

partikularitas

yang

komplementer.

Dimana

kesempurnaan dan kecacatan tidak hanya dimiliki oleh satu subjek melainkan
proses yang dibentuk secara terus menerus dalam relasi intersubjektif.
Dengan menggunakan kacamata analisis KEREN (Kontekstualisasi,
Rekonstruksi dan Negosiasi) maka proses reproduksi dan aktualisasi nilai
keadilan sosial Titik Tengah, berdasarkan pengalaman kehidupan sehari-hari
masyarakat Tengger dapat dijabarkan, sebagai berikut:
A. Proses Kontekstualisasi
Proses kontekstualisasi merupakan proses penciptaan makna yang
sama sekali tidak otonom, dimulai dengan individu mengambil alih dunia
dimana sudah ada orang lain. Dalam konteks penelitian ini adalah keadilan
sosial masyarakat Tengger bersama dengan negara. Didalamnya terdapat
proses sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder.
Tengger, dalam hal ini merujuk kepada suatu tempat dan dinamika
kebudayaan didalamnya, berhasil menunjukkan bahwa ada cara selain
tekstual dalam menafsir dan merawat sebuah diskursus: kontekstual melalui
alur induktif. Proses kontekstualisasi nya dilakukan dengan mengamati
pengalaman hidup sehari-hari dalam relasi intersubjektif (reflektif) dan
menghindari terjadinya pemusatan kekuasaan, dalam konteks penelitian ini

8

antara masyarakat Tengger dan Negara. Dalam telusur sejarahnya pun
berhasil ditunjukkan bahwa masyarakat Tengger tidak selamanya tertindas
oleh Negara seperti apa yang umumnya terjadi dengan masyarakat adat yang
diminoritaskan. Masyarakat Tengger justru berhasil memanfaatkan Negara
sebagai bentuk adaptasinya terhadap proses perkembangan zaman.
Jejak dari proses ini terlihat jelas sejak dari kisah walandit, desa tertua
Tengger yang berhasil mendapatkan status otonom pada masa pemerintahan
Majapahit dan menolak pajak kerajaan yang mencekik. Selanjutnya setelah
masa kolonial dan pendudukan Jepang tanah-tanahnya berhasil ditandai
kedalam wilayah adat dan meredam kebijakan alih fungsi lahan perkebunan.
Pasca kemerdekaan, tanah adat tersebut juga terbebaskan dari nasionalisasi
yang dilalukan pemerintah Indonesia. Ketika wajah pembentukan negara
semakin massif hadir di Tengger dengan dibentuknya Taman Nasional
Bromo Tengger Semeru (TNBTS) pada tanggal 14 Oktober 1982, pemasangan
pal batas zonasi konservasi justru didukung dan dibantu oleh masyarakat
setempat sambil mengatur kemungkinan perluasan pemanfaatan hutan
konservasi. Meskipun sempat tercatat beberapa konflik antara beberapa
orang Tengger dengan petugas Taman Nasional tetapi mereka tetap berhasil
meneguhkan dirinya untuk memperjuangkan hak zona pemanfaatan
tradisional atas tanah-tanahnya.
Proses sosialisasi primernya dilakukan dalam percakapan sehari-hari
yang sifatnya informal dan bersatir, banyak dilakukan di ruang-ruang dapur
dan ladang dimana keluarga menjadi satu entitas penting yang menekankan
pemaknaan-pemaknaan ini. Selanjutnya sosialisasi sekundernya banyak

9

dilakukan diruang-ruang ritual adat Tengger yang ritusnya sangat banyak
sekali dan semuanya selalu mensyaratkan adanya sesajian/ makanan , yang
terdiri dari unsur tumbuhan dan hewan dan dilakukan secara komunal oleh
semua penduduk desa.
B. Proses Rekonstruksi
Proses ini adalah upaya memelihara dan mentransformasikan
kenyataan subjektif, yang didalamnya terdapat upaya pemeliharaan rutin
dan dalam keadaan krisis. Proses rekonstruksinya dilakukan dengan mereka
ulang identitas-identitas ke Tenggerannya dalam relasinya dengan Negara
sehingga alih-alih tertundukkan, masyarakat Tengger berhasil menjadi
subjek yang tak kehilangan kuasa, yang berhasil beradaptasi dengan konteks
perubahan zamannya.
Dalam telusur sejarahnya, ketika masa pemerintahan kerajaan
Majapahit dan terjadi sengketa atas status desa otonom Walandit, desa tertua
Tengger, masyarakat Tengger meneguhkan dirinya sebagai ulun hyang, abdi
dewata, Dimana saat itu, para abdi dewata menempati posisi yang tinggi dan
dihormati sebagai kaum intelektual dan filusuf untuk dimintai nasehat oleh
para raja. Selanjutnya, pada masa kolonial untuk mempertahankan tanahtanahnya mereka mengidentifikasi diri sebagai sebagai wong nggunung
(orang dataran tinggi) yang memiliki keutamaan-keutamaan etis, untuk
membedakannya dengan wong ngare (orang dataran rendah) yang mulai
mengalami

krisis

identitas

akibat

gempuran

modernisasi.

Mereka

mengembangkan sikap-sikap ketradisionalannya dan menarik simpati para
pejabat kolonial, seperti Sir Thomas Stanford Raffles yang mengagumi orang

10

Tengger dalam catatan hariannya, History of Java.

Pasca kemerdekaan

sampai sekarang mereka meneguhkan dirinya sebagai masyarakat adat yang
tinggal didesa adat, dimana mereka mengakui struktur pemerintahan
modern desa untuk menampung ciri khas struktur pemerintahan adat dan
merawat ritus serta situs pengetahuan leluhurnya.
Dari sana dapat ditarik benang merah bahwa pemeliharaan rutin yang
dilakukan adalah melalui kompromi terbatas. Dan dalam keadaan krisis,
orang Tengger mengembangkan mekanisme daur-ulang, kebudayaan lama
menjadi kebudayaan baru yang telah dikontekstualisasikan dengan
perkembangan zaman.
C. Proses Negosiasi
Proses ini adalah keberhasilan yang maksimal dalam sosialisasi yang
dalam kasus Tengger adalah pengetahuan akan keadilan sosial itu sendiri.
Sebab, keadilan sosial disini didudukkan sebagai pilihan-pilihan sulit untuk
menuju titik tengah antara pengetahuan idealistik dalam kesadaran subjek dan
konteks fragile dinamika sosialnya. Maka beberapa pola pengetahuan lokal
orang Tengger yang selalu muncul secara berulang untuk menuju kesana,
antara lain:
1. Niteni
Orang Tengger, sebagaimana masyarakat petani agraris lainnya,
dikenal sebagai orang yang cermat dalam mengamati kondisi sekitarnya baik
itu perubahan alam, perubahan perilaku sampai perubahan zaman.
Kecermatan ini dalam terminologi Tengger dikenal dengan perilaku niteni
(mencermati dengan teliti). Pengetahuan yang sangat mungkin lahir

11

dikalangan masyarakat petani atau masyarakat agraris atau masyarakat yang
sangat menggantungkan kehidupannya dengan alam. Alam yang terbiasa
memberi tanda diluar struktur bahasa verbal hanya dapat dipahami polapolanya dengan diamati dan dirasakan. Sehingga jalan berpengetahuan orang
Tengger adalah refleksi pengalaman tubuhnya (reflektif).
2. Laku
Meski kebudayaan Tengger dekat dengan kebudayaan Jawa, hal
mencolok yang membedakan orang Tengger dengan orang Jawa adalah tidak
adanya stratifikasi dalam bahasa. Komunikasi antar generasi terjadi dengan
cair tanpa memandang umur maupun status sosial, seperti bahasa jawa pada
umumnya. Tidak adanya strata ini juga akhirnya menunjukkan kepada saya
bahwa sebuah pengetahuan atau kearifan tidak diajarkan dengan cara-cara
menggurui satu sama lain melalui beragam konsepsi. Kodifikasi dari sistem
pengetahuannya bukanlah secara tekstual melainkan berupa peri-laku. Oleh
sebab itu di Tengger, bentuk pendisiplinannya adalah berupa laku, yaitu
memberi pengalaman kepada tubuh untuk me-laku-kan bukan hanya sekedar
membaca dan mendengar tetapi juga merasakan.
Laku-laku ini didapat dari pengalaman tubuhnya dalam interaksi
sosial mereka. ini lah yang kemudian menjelaskan mengapa sistem
penghukuman di Tengger tidak terlalu populer jika dibanding dengan sistem
penyadaran. Sebab tubuh mereka dibiasakan untuk merasakan suatu
pengalaman bukan cuman mengkonsep diawang-awang. Sehingga dalam
perawatan segala pranata sosialnya pun tidak bersifat normatif melainkan
kausalitas.

12

3. Rewang
Orang Tengger sangat menjunjung tinggi semangat kebersamaan dan
saling membantu. Tidak hanya terlihat dalam setiap hajatan dan upacara adat
yang biasanya dapat dengan mudah ditemukan tenaga-tenaga tetangga yang
siap

membantu,

tetapi

juga

dalam

kehidupan

sehari-hari.Rewang

mensyaratkan pelibatan diri dalam kepentingan orang lain dalam suatu
kelompok. Rewang juga menjadi sistem pertukaran benda-benda dan tenaga
dalam kelompok masyarakat Tengger, yang lebih mengutamakan semangat
kekeluargaan bukan bayaran. Sehingga dalam rewang, keberadaan dan aksi
lah yang menjadi bentuk-bentuk perilakunya. Pertukarannya pun bukan
menggunakan standar nilai yang seragam seperti bayaran uang. Rewang
tidak dibayar tetapi rewang menjadi suatu kebutuhan dan sekaligus
kewajiban utama jika kita menjadi orang Tengger. Disini, mereka berusaha
menunjukkan bahwa ada relasi lain diluar relasi yang kompetitif, yakni relasi
komplementer. Sehingga bukan pertarungan yang menjadi ruang dalam
berinteraksi melainkan kekeluargaan. Jika pertarungan mengandaikan
adanya musuh, kekeluargaan mengandaikan adanya keluarga.

VI.

Kesimpulan
Pengetahuan keadilan sosial titik tengah dipegang teguh oleh orang
Tengger dalam menghadapi dinamika sosialnya. Pengetahuan ini adalah
strategi yang diam-diam selalu dilakukan meskipun tak dikatakan untuk
merespon kehadiran aktor/subjek/pengetahuan baru. Dengan mengamati
pengalaman hidup sehari-hari dalam relasi intersubjektif dan menghindari

13

terjadinya pemusatan kekuasaan, masyarakat Tengger terus mendaur-ulang
identitas-identitas ke Tenggerannya dalam relasinya dengan Negara sehingga
alih-alih tertundukkan, masyarakat Tengger berhasil menjadi subjek yang tak
kehilangan kuasa yang berhasil diaktualisasikan dalam pola-pola niteni, laku
dan rewang. Proses-proses tersebut berlangsung secara sinergis dan simultan
dalam mereproduksi corak pengetahuan yang reflektif dan dialektis, yang
terus menerus dikembangkan dalam bentuk-bentuk kompromi terbatas,
dalam pola relasi komplementer. Dalam corak pengetahuan yang reflektif dan
dialektis dan pola-pola kompromi terbatas dalam relasi keomplementer,
menuju titik tengah untuk membagi kekuasaan menjadi sama besar adalah
suatu keniscayaan. Sehingga pemusatan kekuasaan dapat diatasi dan
penyebaran kekuasaan dapat terjadi.

Gambar 3
Pola Orang Tengger Mengkses Keadilan Sosial

laku

rewang

niteni

14

Gambar 4
Jalur Akses Keadilan Sosial Titik Tengah

rewang
kompromi terbatas

relasi komplementer

(N)egosiasi

laku

titik

(R)ekonstruksi

tengah

pilihan-pilihan sulit antara
pengetahuan idealistik dan
konteks fragile dinamika
sosialnya

niteni
(K)ontekstualisasi
15

reflektif dan dialektis

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, B. 2002. Imagined Societies: Komunitas komunitas Terbayang. Yogyakarta:
Insist Press.
——and Skocpol, T. (eds.) 1996. States, Social Knowledge, and the Origins of Modern
Social Policy. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Arifin, HN. 1952. Ichtisar-Sedjarah Kebudajaan Indonesia. Djakarta: Pustaka Antara.
Baudrillard, J. 1981. For A Critique of The Political Economy of the Sign. St.Louis: Telos
Press.
Bishop, M & Michael Green. 2008. Philanthrocapitalism: How Giving Can Save the World.
London : A & C Black.
Bourchier, David. 1996.The Lineages of Organistic Thought in Indonesia, PhD Thesis,
Melbourne: Monash University.
Bourdieu, P. 1977. Outline of a Theory of Practice. Cambridge: Cambridge University
Press.
Budiawan (ed.). 2010. Ambivalensi. Yogyakarta: Jalasutra.
Charles A. Moore. 1946. Philosophy-East and West. New Jersey: Princeton University
Press.
Commins, Saxe. 1980. The World’s Great Thinkers: Man and The State- The Political
Philosophers. New York: Random House.
Dahl, RA. 1985. Dilema Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol. Jakarta:
Rajawali.
Duncan, HD. 1997. Sosiologi Uang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Eagleton, T. 2009. The Illusions of Postmodernism. Malden-Oxford-Victoria: Blackwell
Publishing.
Eka Darmaputra.1997 Pancasila Identitas dan Modernitas: Tinjauan Etis dan Budaya.
Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
Feith, H. dan Castles, L. 1988. Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. Jakarta: LP3ES
Foucault, M. 1972. The Archeology of Knowledge. New York: Pantheon.
Fukuyama, F. 2006. The End of History and The Last Man. New York: Free Press.
Gauthier, David. 1997. The Social Contract as Ideologyin Contemporery Political
Philosophy: An Anthology. Oxford: Blackwell.

16

Geertz, Clifford.1973. The Interpretation of Culture: Selected Essays. New York:Basic
Books.
Giddens, A. 1979. Central Problems in Social Theory. Berkeley: University of California
Press
Giddens, Anthony. 1998. The Third Way: The Renewal of Social Democracy. Cambridge:
London School of Economic Press.
Hacking, I. 1999. Social Construction of What? Cambridge, Mass.:Harvard University
Press
Hajer, M. A. 1995. The Politics of Environmental Discourse. Oxford: Clarendon Press.
Hatta, M. 1966. Demokrasi Kita. Djakarta: Pustaka Antara.
Hay, C. 2002. Political Analysis. Basingstoke: Palgrave.
Heidegger, Martin. 2010. Phenomenology of Intuition and Expression. London:
Continuum.
Held, D. 2006. Models of Democracy. Cambridge – Malden: Polity.
Husserl, Edmund.

1970.The Crises of European Sciences and Transcendental

Phenomenology. USA:Northwestern University Press.
Ismawan, R. 2011. Quo Vadis Demokrasi Indonesia. Yogyakarta: Research Center for
Politics and Government.
Klinken, V. Gary. 2007. Perang Kota Kecil. Yogyakarta : YOI-KITLV
Kymlicka, Will. 1990. Contemporary Political Philosophy, An Introduction. Oxford:
Clarendon Press.
Merleau-Ponty, Maurice. 2004. The World of Perception. New York: Routledge.
Mohamad, Goenawan. 2001. Setelah Revolusi Tak Ada Lagi. Jakarta: AlvaBet.
Onghokham, “Pancasila sebagai Kontrak Sosial”, Kompas, 6 Desember 2001

Paula M. L. Moya. 2001. Reclaiming Identity. India: Orient Longman Private Limited.
Robert E. Goddin&Charles Tilly (ed.). 2006. Contextual Political Analysis. United States:
Oxford University Press.
Rueschemeyer, D. 1986. Power and the Division of Labour. Stanford, Calif.: Stanford
——and Rueschemeyer, M. 1990. Progress in the distribution of power: gender relations
and women’s movements as a source of change. Pp. 106–22 in Rethinking

Progress:Movements: Forces and Ideas at the End of the Twentieth Century, ed. J.
C. Alexanderand P. Sztompka. Boston: Unwin Hyman.

17