PERKEMBANGAN FILSAFAT BARAT DAN ILMU PEN

PERKEMBANGAN FILSAFAT BARAT DAN ILMU PENGETAHUAN
SERTA HUBUNGAN KEDUANYA
oleh
Danang S, Heda W.R, Fajarini L, Zainal A
A. Filsafat Ilmu dan Sejarah Pemikiran Filsuf Barat
Kata filsafat berasal dari kata Yunani filosofia yang diturunkan dari kata kerja
filosofein, yang berarti: mencintai kebijaksanaan (Hadiwijono, 1980). Dalam hal ini
pengertian tersebut merujuk pada usaha untuk mencari sebuah kebijaksanaan atau
kebenaran. Sehingga dapat dirumuskan definisi dari filsafat menurut Hadiwijono
(1980) adalah usaha manusia dengan akalnya untuk memperoleh suatu pandangan
dunia dan hidup yang dapat memuaskan hati. Filsafat juga dapat didefinisikan sebagai
sekumpulan pengetahuan manusia yang diperoleh melalui proses berpikir yang sangat
logis.
Dalam mencari sebuah kebenaran tentunya orang saling mengoreksi agar
diperoleh kebenaran sejati. Terdapat tiga jenis kebenaran yang menjadi tolak ukur
untuk mengetahui kebenaran pengetahuan manusia, yaitu koherensi, korespondensi,
dan pragmatis. Koherensi merupakan pengetahuan dinyatakan benar jika terdapat
pernyataan-pernyataan

sebelumnya


yang

mendukung

kebenaran

tersebut.

Korespondensi merupakan pengetahuan dinyatakan benar jika sesuai denga fakta yang
ada. Sedangkan kebenaran pragmatis merupakan jenis kebenaran yang dapat diukur
kegunaan dari pengetahuan itu (Abidin, 2012).
Pemikiran filsafat yang sekarang ini diterapkan tentu saja tidak langsung
muncul dengan sendirinya, ada tokoh-tokoh yang mempelopori adanya suatu
pemikiran filsafat. Awalnya pemikiran filsafati berasal dari pemikiran orang-orang
Barat yang tentunya pada masa itu sudah memiliki peradaban yang maju, seperti
peradaban Yunani Kuno. Berikut adalah pembabakan lahirnya pemikiran filsafati
Barat:

Periode Pra-Socrates
Pemikiran filsafati Barat bermula pada zaman pra-Socrates, filsafat karena

kemenangan akal atas dongeng-dongen atau mite-mite yang diterima dari
kepercayaan, yang memberitahukan tentang asal-muasal segala sesuatu, baik dunia

maupun manusia. Pada masyarakat Yunani kuno awal percaya akan mite-mite yang
sedang berkembang pada saat itu, mite-mite tersebut berfungsi sebagai jawaban
terhadap pertanyaan-pertanyaan mengenai teka-teki atau misteri alam semesta dan
kejidupan yang dialami langsung oleh masyarakat Yunani pada saat itu (Abidin, 2012).
Hingga akhirnya diyakini dan dipercaya bahwa alam dengan gejala-gejalanya itu ada
yang mengatur, sehingga terciptanya kepercayaan terhadap dewa-dewa. Dalam
mempertanyakan mengenai asal-usul alam ini juga melahirkan filsafat alam, yang
dipelopori oleh Thales (624-546 SM), Anaximandros (610-564 SM), Anaximenes
(585-528 SM), dan filsuf-filsuf lainnya.
Periode Socrates, Plato, dan Aristoteles
Kemudian pemikiran masyarakat Yunani Kuno berkembang lagi dengan
munculnya tokoh Socrates (470-399 SM), Plato (427-347 SM), dan Aristoteles (384322SM). Tokoh-tokoh ini lahir pada zaman para sofis hidup dan dibesarkan diantara
mereka. Kaum sofis ini adalah suatu kaum intelek Yunani pada masa itu. Ajaran kaum
sofis ini berbeda dengan para filsuf sebelumnya, mereka tidak terlalu tertarik pada
filsafat alam, mereka lebih tertarik pada hal-hal yang lebih konkret seperti makna
hidup manusia, moral, norma, dan politik. Hal-hal inilah yang dianggap perlu
diajarkan paa generasi muda dan dikembangkan untuk kelangsungan negara. Sehingga

dapat disimpulkan bahwa fokus pemikiran mereka terarah pada manusia, yaitu mereka
yakin bahwa manusia adalah ukuran segala-galanya. Cara mengajarkan ajarannya para
sofis berkeliling dari kota ke kota dengan menarik upah kepada yang diajarkan, dan
memberikan penjelasan yang harus dipercaya. Kebenaran dan moralitas yang dibuat
oleh mereka bersifat relatif dan hanya subjektif.
Kemudian hal ini dikritik oleh Socrates, karena cara kaum sofis dalam
menyampaikan ajarannya dengan retorika membuat pengetahuan menjadi dangkal
sebab apabila orang banyak sudah setuju, maka dianggap sudah benar maka kebenaran
tidak dibantah lagi. menurutnya, kebenaran bukan bersifat subjektif dan relatif akan
tetapi bersifat objektif. Untuk membuktikan kebenaran bersifat objektif, Socrates
menggunakan metodenya dialektika yakni dengan bercakap-cakap atau berdialog,
bukan dengan eksperimen maupun penyelidikan. Dengan berdialektika mengenai
pendapat-pendapat atau pertanyaan-pertanyaan yang diucapkan oleh orang atau oleh

negarawan. Jika seorang berbicara tentang kebaikan dan keadilan, maka ia kemudian
bertanya apa adil dan baik itu? Dengan itu ia mengaku tidak menyampaikan
pengetahuan, melainkan dengan memunculkan pertanyaan-pertanyaannya ia dapat
melahirkan pengetahuan yang terdapat dalam jiwa orang lain agar keluar dalam bentuk
ide-ide (Abidin, 2012).
Model mencari kebenaran dengan cara berdialog atau tanya jawab tersebut,

tercapai pula tujuan yang lain, yaitu membentuk karakter. Oleh karena itu Socrates
mengatakan bahwa budi adalah tahu, maksudnya budi-baik timbul dengan
pengetahuan. Budi ialah tahu, adalah inti sari dari ajaran etika Socrates. Orang yang
berpengetahuan dengan sendirinya berbuat baik. Paham etikanya ini merupakan
kelanjutan dari metodenya. Siapa yang mengetahui hukum, mestilah bertindak sesuai
dengan pengetahuannya. Apa yang pada hakekatnya baik, adalah juga baik untuk siapa
pun. Oleh karena itu, menuju kebaikan adalah yang sebaik-baiknya untuk mencapai
kesenangan hidup.
Tokoh selanjutnya adalah Plato (427-347 SM), ia merupakan murid Socrates.
Intisari pemikiran filsafat Plato adalah pendapatnya tentang Idea. Konsep ‘pengertian’
yang dikemukakan Sokrates diperdalam oleh Plato menjadi idea. Idea itu berbeda
sekali dengan ‘pendapat orang-orang’. Berlakunya idea itu tidak bergantung kepada
pandangan dan pendapat orang banyak. Idea timbul semata-mata dari kecerdasan
berpikir.’Pengertian’ yang dicari dengan pikiran adalah idea. Idea pada hakekatnya
sudah ada.
Plato juga menyatakan konsep Negara Ideal. Negara yang ideal harus berdasar
pada keadilan. Keadilan adalah hubungan antara orang-orang yang bergantung pada
suatu organisasi sosial’. Sebab itu masalah keadilan dapat dipelajari dari struktur
masyarakat. Oleh karena struktur masyarakat bergantung kepada kelakuan manusia,
maka kelakuan manusia itulah yang harus dibangun dan dibentuk melalui pendidikan.

Negara, menurut Plato adalah manusia dalam ukuran besar. Kita tidak dapat
mengharapkan negara menjadi baik, apabila kelakuan warga negara tidak bertambah
baik.
Plato, membagi warga negara ke dalam tiga golongan. (1) Golongan rakyat
jelata, yang meliputi petani, pekerja, tukang, dan saudagar. Mereka merupakan dasar
ekonomi bagi masyarakat dan memiliki hak milik dan berumah tangga. (2) Golongan

penjaga atau pembantu dalam urusan negara. Golongan ini bertugas untuk
mempertahankan negara dari serangan musuh, dan menjamin peraturan dapat berlaku
dalam kehidupan masyarakat. (3) Golongan pemerintah atau filosof. Mereka terpilih
dari yang paling cakap dan terbaik dari kelas penjaga, setelah menempuh pendidikan
dan latihan special untuk tugas tertentu. Tugas mereka adalah membuat undangundang dan mengawasi pelaksanaannya.
Tokoh berikutnya adalah Aristoteles, yang merupakan murid kesayangan
Plato. Aritoteles di kenal dengan bapak Logika. Logika merupakan cara berpikir secara
teratur menurut urutan yang tepat atau berdasarkan hubungan sebab dan akibat. Intisari
dari ajaran logikanya adalah silogistik, yang berarti menarik kesimpulan dari
pernyataan yang umum atas hal yang khusus. Aristoteles membagi logika dalam tiga
bagian, yaitu mempertimbangkan, menarik kesimpulan, dan membuktikan atau
menerangkan. Suatu pertimbangan itu ‘benar’, apabila isi pertimbangan itu sepadan
dengan keadaan yang nyata. Pandangan ini sepadan dengan pendapat Sokrates yang

menyatakan bahwa ‘buah pikiran yang dikeluarkan itu adalah gambaran dari keadaan
yang objektif. Melalui cara berpikir inilah Aristoteles mengembangkan sejumlah
kajian yang menjadi cikal-bakal sejumlah ilmu pengetahuan modern.
Aristoteles juga menyatakan tiga bentuk negara. Pertama, monarki atau
basilea. Kedua, aristokrasi, yaitu pemerintahan oleh orang-orang yang sedikit
jumlahnya. Ketiga, Politea atau timokrasi, yaitu pemerintahan berdasarkan kekuasaan
keseluruhan rakyat. Dalam istilah sekarang disebut demokrasi. Dari tiga bentuk negara
tersebut, yang terbaik menurutnya adalah kombinasi antara aristokrasi dan demokrasi.

Periode Abad Pertengahan
Filsafat pada Abad Pertengahan merupakan zaman dimana filsafat berfungsi
sebagai alat untuk pembenaran ajaran agama. Pada zaman ini juga merupakan Abad
Kegelapan Filsafat, karena banyak buku-buku filsafat zaman Yunani Kuno di
hanguskan

karena

dinilai

pemikiran


orang

kafir,

sehingga

terhambatnya

perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan. Contohnya saja Teori Copernicus yang
mengemukakan bahwa matahari sebagai pusat dari alam semesta dan semua planet
yang bertentangan dengan ajaran gereja yang pada saat itu percaya bahwa bumi lah
yang menjadi pusat semesta alam dan semua planetnya termasuk matahari (Abidin,

2012). Sehingga Copernicus menahan dirinya untuk tidak memublikasikan temuannya
tersebut.
Periode Modern
Filsafat Modern (1600-1900 M) berawal dari gerakan Renaissance dan
Humanisme di Eropa Barat yang terjadi pada pertengahan abad 14-17 M. Gerakan ini
merupakan reaksi atas kekuasaan gereja. Menurut gerakan ini, manusia pada

prinsipnya merupakan pusat dari alam semesta, sehingga memiliki kebebasan untuk
mencari kebenarannya sendiri, bukan bersandar pada ajaran yang telah diberikan oleh
gereja dan agama (Abidin, 2012). Pemikiran-pemikiran filosofi Yunani kuno, yang
selama ini “disembunyikan” dan dimonopoli oleh kalangan elit gereja, kembali
dipelajari. Kemunculan era renaisans, tidak terlepas dari sumbangan para filosof
Islam, yang menerjemahkan pemikiran Yunani kuno ke dalam bahasa Arab. Dan
terjemahan inilah yang dipelajari oleh filosof barat yang akhirnya melahirkan gerakan
reformasi, era renaisans. Tokoh yang melopori filsafat modern ini sangat banyak,
diantaranya ada Hegel dan Marx.
Aliran-aliran filsafat yang muncul pada zaman modern yaitu sebagai berikut:
a. Humanisme
Humanisme adalah paham filsafat yang mengajarkan bahwa manusia mampu
mengatur dirinya dan alam. Humanisme telah muncul pada masa Yunani kuno. Sejak
zaman dahulu manusia telah menginginkan adanya aturan untuk mengatur manusia.
Tujuanya ialah agar manusia itu hidup teratur. Hidup teratur itu sudah menjadi
kebutuhan manusia sejak dahulu. Untuk menjamin tegaknya kehidupan yang tertur itu
diperlukan aturan. Manusia juga perlu aturan untuk mengatur alam. Pengalaman
manusia menunjukan bila alam tidak diatur maka alam itu akan menyulitkan
kehidupan manusia. Sementara itu manusia tidak mau dipersulit oleh alam. Bahkan
sebailiknya kalau dapat manusia ingin alam itu mempermudah kehidupannya. Karena

itu harus ada aturan untuk mengatur alam.
Bagaimana membuat aturan untuk mengatur manusia dan alam? Siapa yang
dapt membuat aturan itu ? jawaban dari pertanyaan tersebut sudah di temukan oleh
orang yunani kuno yaitu manusialah yang membuat aturan itu. Humanisme
mengatakan bahwa manusia mampu mengatur dirinya dan alam. Jadi, manusia itulah
yang harus membuat aturan untuk mengatur manusia dan alam. Bila aturan itu dibuat

berdasarkan agama atau mitos, maka akan sulit sekali mengahasilkan aturan yang
disepakati. Sumarna (2008) mengatakan bahwa ‘Penyebab yang pertama mitos itu
tidak mencakupi untuk dijadikan sumber membuat aturan untuk mengatur manusia,
dan yang kedua, mitos itu amat tidak mencukupi untuk dijadikan sumber membuat
aturan untuk mengatur alam”. Kalau berdasarkan agama semua agama menyatakan
bahwa dirinya benar, yang lain salah.
Jadi, seandainya aturan itu dibuat berdasarkan agama banyak orang yang
menolaknya padahal aturan itu seharusnya di sepakati oleh semua orang. Menurut
mereka aturan itu harus dibuat berdasarkan dan bersumber pada suatu yang ada pada
manusia. Alat itu ialah akal. Akala di anggap mampu dan akal pada setiap orang
bekerja berdasarkan aturan yang sama. Aturan itu ialah logika alami yang ada pada
akal setiap manusia. Akal itulah alat dan sumber yang paling dapat disepakati. Maka
humanisme melahirkan rasionalisme.

b. Rasionalisme
Rasionalisme ialah paham yang mengatakan bahwa akal itulah alat pecari dan
pengukur pengetahuan. Surjasumantri (2009) mengatakan bahwa
adalah proses memahami

“Rasionalisme

sebagai jalan menuju kebenaran”. Pengetahuan dicari

dengan akal, temuannya diukur dengan akal pula. Dicari dengan akal ialah dicari
dengan berpikir logis. Diukur dengan akal artinya di uji apakah temuan itu logis atau
tidak. Bila logis benar; bila tidak, salah. Dengan akal itulah aturan untuk mengatur
manusia dan alam itu dibuat. Ini juga berarti bahwa kebenaran itu bersember pada akal.
Dalam proses pembuatan aturan itu ternyata temuan akal sering kali bertentangan.
Kata seorang ini logis, tapi kata orang lain itu logis juga padahal ini dan itu tidak sama
dan kadang-kadang bertentangan. Berpikir logis tidak menjamin diperolehnya
kebenaran yang di sepakati, dengan demikian perlu di perlukan alat bantu. Alat bantu
tersebut adalah empirisme.
c. Empirisme
Empirisne adalah paham filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar ialah

yang logis dan ada bukti empiris. Dengan empirisme nilah aturan untuk mengatur
manusia dalam alam di buat. Empiris ini juga mempunyai kekurangan karena belum
terukur . Empirisme ini hanya sampai pada konsep-konsep yang umum, karena konsep

ini belum operasional dan belum terukur sehingga memperlukan alat lain. Alat lain
yang digunakan adalah Positivisme.
Empirisme merupakan aliran yang di anut oleh pemikir Inggris yang mengikuti
jejak Francis Bacon. Tokoh pertama Inggris yang mengikuti aliran empirisme adalah
Thomas Hobbes (1588-1679) yang mempunyi perbedaan dengan Francis Bacon. Pada
Fancis Bacon terletak pada bidang metode penelitian, bukan pada doktrin atau ajaran.
Dalam bukunya Hadiwijono (1980) “Hobbes menyusun sesuatu sistem yang lengkap
yang berdasarkan pada empirisme secara konsekuen akan tetapi dipersatukan dengan
rasionalisme matematis dalam bentuk suatu filsafat materialistis dengan konsekuen
terhadap zaman modern”. Menurut Hobbes ini filsafat merupakan ilmu pengetahuan
yang bersifat umum yang dikarenakan filsafat yaitu ilmu pengetahuan tentang efekefek atau akibat-akibat atau penampakan-penampakan yang demikian dengan
diperoleh melalui merasionalkan pengetahuan yang semula kita miliki dari sebabsebabnya. Sasaran dari filsafat adalah fakta-fakta yang diamati sedangkan maksudnya
yaitu mencari penyababnya, dengan alat yang berupa pengertian yang di ungkapkan
melalui kata-kata yang meggambaranfakta tersebut.
Dalam pengamatan fakta dipaparkan dalam bentuk pengertian yang terdapat
dalam kesadaran manusia, yang dihasilkan melalui perantara pengertian ruang, waktu,
bilangan serta gerak dengan mengamati benda-benda yang bergerak. Dalam bukunya
Hadiwijono (1980) Hobbes menyatakan, “tidak semua yang di amati pada benda itu
nyata kareana yang danggab benar-benar nyata adalah gerak dari bagian-bagian kecil
bend a itu sendiri.Sehingga segala yang ada ditentukan oleh sebab dengan hukum yang
sesui dengan ilmu pasti dan ilmu alam”. Dunia merupakan keseluruhan seban-akibat
termasuk juga situasi kesadaran manusia yang ada didalamnya.
Hobbes mewujudkan suatu sistem yang lengkap dengan keterangan “yang ada”
secara mekanis, Hobbes adalah seorang materialistis yang pertama pada filsafat
modern yang dapat dikatakan bahwa materialis dalam bidang ajaran tentang “yang
ada” serta seorang naturalis pada bidang ajaran antropologi dan seorang absolutis pada
ajaran negara. Pada ajaran materialis Hobbes menganut ajaran segala sesuatu bersifat
bendawi dengan penjelasan bahwa segala sesuatu utidak tergantung pada ide atau
gagasan manusia, selain itu juga semua kejadian merupakan gerak yang berlangsung

yang disebabkan oleh keharusan. Segala sesuatu yang terjadi peda manusia dapat
diterangkan dengan cara yang sama seperti menerangkan kejadian-kejadia alamiah.
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa pengenalan atau pengetahuan
diperoleh dari pengalaman. Pengalaman merupakan awal dari pengetahuan juga
tentang pengetahuan asas-asas yang di peroleh yang di kuatkan oleh pengalaman.
Segala ilmu pengetahuan di turunkan dari pengalaman, sehingga hanya pengalaman
yang memberi jaminan kepastian.

Pengenalan dengan menggunakan akal dapat

mewujudkan suatu proses penjumlahan dan pengurangan. Pengenalan dengan akal
ini dimulai dengan menggunakan kata (pengertian-pengertian). Yang di katakan
dengan pengalaman adalah keseluruhan atau totalitas segala pengamatan, yang
disimpan dalam ingatan serta digabungkan dengan suatu pengharapan terhadap masa
depan. Pengamatan inderawi terjadi karena adanya gerak benda, sedankan sarana yang
di amatai yaitu sifat-sifat inderawi. Pengindraan ini terjadi karena tekanan obyek atau
sarana.
Ajaran Hobbes tentang negara lebih modern dibandingkan dengan teori tentang
negara yang telah ada terlebih dahulu. Menurut Hobbes semua perilaku manusia itu
sama, setiap manusia ingin mempertahakan dirinya sendiri. Thomas hobbes
merupakan seorang empiris yang kagum terhadap metode matematika, yang berupa
matematika murni beserta penerapannya.
Abidin (2012) mengatakan bahwa “ dalam karya utama Hobbes menuliskan
bahwa tingkah laku manusia pada dasarnya sejalan dengan hukum alam”. Selain itu
dalam bukunya Abidin (2012) Hobbes juga menjelaskan bahwa “ manusia pada
dasarnya adalah serigala bagi serigala lainnya kareana selalu mempunyai
kecenderungan untuk menerkam, bersaing dan berperang”. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa manusia selama hidupnya di penuhi dengan persaingan , Hobbes
juga menjamin teori dari Newton yang menjelaskan tentang hukum gerak pertama.
Hukum gerak ini menyatakan bahwa benda-benda akan bergerak secara tetap kecuali
memperoleh gaya dari luar. Dengan demikian pemikiran Hobbes mengenai ilmu
pengetahuan bersal dari pengalaman yang diturunkan.
d. Positivisme
Dalam positivisme ini mengajarkan bahwa kebenaran ialah yang logis, terdapat
bukti empirisnya, serta terukur. Kata terukur inilah yang menjadi sumbangan penting

positivisme. Ukuran-ukuran yang operasional, dan kuantitatif tidak memungkinkan
adanya perbedaan pendapat, karena aturan untuk mengatur manusia serta turan untuk
mengattur alam yang kita miliki sekarang bersifat pasti dan rinci atau dapat dikatakan
telah operasional. Sehingga positivisme telah dapat disetujui untuk usaha membuat
aturan yang mengatur manusia dan mengatur alam. Akan tetapi untuk mengetahui
caranya diperlukan alat lain yang di sebut dengan metode ilmiah, sedangkan pada
metode ilmiah ini hanya mengulang ajaran positivisme yang sudah ada, akan tetapi
lebih operasional. Dengan menggunakan rumus logico-hypothetico-verificartif seperti
yan terdapat dalam

Tafsir (2007) yang mengatakan bahwa “metode Ilmiah

mengatakan, untuk memperoleh pengetahuan pengetahuan yang benar lakukan
langkah sebagai berikut: Logico-hypothetico-verificartif”. Sehingga lankah awal yang
harus di lakukan adalah pertama dengan membuktikan bahwa itu logis, kemudian
membuat hipotesis yang didasarkn pada logika, setelah itu dilakukan pembuktian
hipotesis secara empiris.
Filsafat yang disebut dengan positivisme berasal dari apa yang diketahui,
faktual, dan positif. Positivisme membatasi filsafat serta ilmu pengetahuan terhadap
bidang gejala-gejala. Manusia harus berusaha menentukan syarat-syarat agar sebuah
fakta-fakta tertentu dapat tampil, selain itu juga menghubungkan fakta-fakta menurut
persamaannya serta urutannya. Menurut Hadiwijono (1980) “hubungan yang tetap
yang tampak dalam persamaan itu disebut ‘pengertian’; sedangkan hubunganhubungan yang tetap yang tampak pada urutannya disebut hukum-hukum”. Sehingga
hubugan dalam fakta-fakta jika dikatkan maka akan mempunyai perbedaan dalam
makna.

Persamaan

anatara

positivisme

dan

empirisme

yaitu

sama-sama

mengutamakan pengalaman, hal ini tamak seperti yang terjadi di Inggris. Sedangkan
pada perbedaannya positivisme dibatasi pada pengalaman-pengalaman obyektif,
sedangkan empirisme juga menerima pengalaman-pengalaman yang subyektif.
Salah satu tokoh positivisme yaitu August Comte (1798-1857), yang lahir di
Montpellier dan beragama katolik. Menurut Comte, pada bukunya Hadiwijono (1980)
dituliskan bahwa “pemikiran manusia berlangsung dalam 3 tahap atau zaman yaitu :
zaman Teologis, zaman metafisis dan zaman ilmiah atau zaman positif ,pada zaman
pertama orang mempercayai adanya pengetahuan yang mutlak. Sedangkan pada
zaman kedua yaitu zaman metafisika yang mewujudkan suatu perubahan seperti

perubahan dewa dengan kkeuatan yang abstrak. Pada zaman ke tiga yaitu zaman
positif dengan manusia yang berusaha untuk menemukan kesamaan serta urutan yang
terdapat dalam fakta-fakta yang telah dikenal, yang diamati menggunakan akal.
Pada ilmu pengetahuan menurut Hadiwijono (1980) bahwa “pengaturan ilmu
pengetahuan yang berarti harus disesuaikan dengan pembagian gejala-gejala atau
penampakan-penampakan

yang

dipelajari

oleh

ilmu

tersebut”.

Sehingga

pengelompokan terjadi dalam ilmu pengetahuan, pengelomkokan ini atas dasar pada
tingkatan sifat tunggal atau tingkat sifat umum yaitu gejala yang paling sederhana,
karena tidak mempunyai kehususan hal-hal yang tersendiri. Comte dalam bukunya
Hadiwijono (1980) “membagi-bagikan segala gejala pertama dalam gejala yang
terdapat dalam dengan semua organis”. Semua yang organis dapat di pelajari, jika
telah diketahui sebab pada makhluk hidup terdapat proses mekanis serta kimiawi yang
berasal dari alam anorganis, selain itu juga terdapat hal-hal lain yang lebih. Pada ajaran
ini di bagi menjadi dua bagian yaitu astronomi dan fisika serta kimia.
Sedangkan pada ajaran organis juga di bagi menjadi dua yaitu proses yang
berlangsung pada individu dan proses yang berlangsung dalam jenisnya yang lebih
rumit. Comte kemudian menyusun ilmu pengetahuanyang berupa ilmu sosial atau
sosiologi yang kemudian menjadi puncak dari bangunan ilmu pengetahuan. Dalam
bukunya Harun (1980) comte mengatakan bahwa “ilmu pasti adalah dasar segala
filsafat”. Sehinga Comte setuju dengan Descrates serta Newton yang dikarenakan
ilmu pasti mempunyai dalil-dalil yang bersifat umum yang paling sederhana serta
abstrak, dn ilmu yang paling bebas. Sehingga dalam sistem Comete ini Psikologi tidak
mempunyai tempat. Sehingga dengan adany apertimbangan-pertimbangan tersebut
ilmu pengetahuan yaitu: ilmu pasti, astronomi, fisika, kimia, biologi dan sosiologi.

B. Ilmu pengetahuan dan Dasar-dasarnya
Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu pengetahuan merupakan hal yang sangat
penting dalam kehidupan manusia. Hampir sebagian besar dalam setiap aspek
kehidupan manusia membutuhkan apa yang disebut ilmu itu. Karena begitu dekatnya
dengan setiap aspek kehidupan manusia ini, menjadikan ilmu sebagai hal yang sangat
dekat dengan kehidupan manusia. Seperti halnya yang dikatakan oleh Melsen (1985)

bahwa “semakin lama kita berinteraksi tentang ilmu pengetahuan makin sadarlah kita
tentang tempat sentral ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia.”
Ilmu pengetahuan ini muncul karena terjadinya gejala-gejala yang ingin
diketahui oleh manusia, ilmu pengetahuan ini bersifat metodis, sistematis dan logis.
Metodis merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan menggunakan cara yang
terperinci, yang telah di tentukan sebelumnya. Sedangkan sistematis merupakan suatau
keseluruhan yang mandiri dan berasal dari hal-hal yang saling berkaitan atau
berhubungan untuk dapat sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Logis yaitu antara
pernytaan-pernyataan yang satu dengan yang lainnya memiliki hubungan yang
rasional sehingga dapat di tarik kesimpulan yang rasional.
Ilmu pengetahuan di dalam bahasa Inggris disebut dengan science, dalam
bahasa Yunani disebut dengan episteme (Akhadiah & Listyasari, 2011) sejalan dengan
pernyataan berikut, Brubacher (dalam Syam, 2006) mengatakan bahwa ilmu
pengetahuan adalah science. Selain Brubacher, Syam (2006) juga menyebutkan
banyak pengertian mengenai ilmu pengetahuan ini. Adapun pengertian dari ilmu
pengetahuan ini adalah sebagai berikut:
1. Semua yang telah diamati ataupun dimengerti oleh jiwa lewat belajar sehingga
menjadi jelas (Webster’s New World Dictionary);
2. Suatu kesadaran penuh dan terbukti dari suatu kebenaran mengenai sesuatu:
bersifat praktis, sesuatu kenyataan yang teratur, tersusun tentang apapun yang
secara

definitif

dapat

diterima

sebagai

realita

(American

Peoples

Encyclopedia).
Sehingga berdasarkan hal tersebut ilmu pengetahuan merupakan semua hal-hal yang
telah diamati dengan kesadaran penuh serta kebenarannya terbukti atau bisa
dibuktikan secara empiris yang telah diterapkan oleh manusia.
Akhadiah dan Listyasari (2011) mengatakan, “ilmu pengetahuan diperoleh
secara sahih dan andal dengan suatu penyelidikan ilmiah, yaitu penelitian.” Maka dari
hal tersebut menjelaskan bahwasanya ilmu merupakan sebuah hal yang muncul
dengan wujud kesimpulan, di mana kesimpulan ini di dapat melalui sebuah proses
yang terkontrol dan sistematis yaitu penelitian. Di mana dalam penelitian ini jika
dilakukan dengan metode yang sama maka hasilnya juga akan sama.

Ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia menurut kodratnya mempunyai
tugas untuk memberikan manusia sebanyak mungkin kejelasan tentang dirinya
(Melsen, 1985). Tentu saja untuk mencapai kejelasan dari ilmu pengetahuan ini
manusia diharuskan melalui sebuah proses. Proses ini berkaitan dengan hal-hal yang
ilmiah di mana menurut Berling, Kwee, dan Peursen (1990) merupakan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan mengapa suatu hal itu bisa terjadi ataupun berlangsung. Serta
proses yang lainnya adalah empiris, sehingga tidak semua yang kita ketahui bisa di
sebut dengan ilmu pengetahuan.
Supaya suatu hal tersebut bisa disebut sebagai ilmu pengetahuan, maka hal
tersebut memerlukan syarat supaya bisa dikatakan sebagai ilmu pengetahuan.
Sehingga di sini suatu pengetahuan bisa di sebut sebagai ilmu pengetahuan jika telah
memenuhi syarat-syarat dari ilmu pengetahuan ini. Adapun menurut Semiawan &
Listyasari (2011) syarat-syarat dari ilmu pengetahuan ini adalah dasar pembenaran,
sifat sistematik, dan sifat intersubjektif.
1. Dasar pembenaran
Ilmu pengetahuan ini benar asalkan rasional dan empiris (Tafsir, 2007). Dasar
pembenaran mengharuskan seluruh cara kerja ilmiah diarahkan untuk memperoleh
derajat kepastian yang setinggi mungkin pada pengetahuan yang dihasilkan
(Semiawan & Listyasari (2011). Ada tahapan ataupun tingkatan dari pengetahuan
tersebut sebelum menjadi ilmu pengetahuan. Pertama, pemahaman mengenai
pembenaran yang akan diuji harus dapat dibenarkan secara a priori, di mana hal
tersebut berasal dari pengalaman empirik. Kedua cara pengujian tersebut harus
memiliki dasar pembenaran yang sudah teruji, sehingga hal tersebut bersifat ilmiah.
Ketiga, setelah hal tersebut teruji secara ilmiah dan rasional maka bisa disebut sebagai
a posteriori.
2. Sifat sistematik
Sistematik merupakan salah satu sifat dari ilmu pengetahuan. Menurut
Semiawan & Listyasari (2011), terdapat susunan sistem di dalam susunan ilmu
pengetahuan, yaitu dalam ilmu pengetahuan itu sendiri yang sebagai produknya dan
juga di dalam cara untuk memperoleh ilmu pengetahuan itu atau yang sering disebut
dengan proses.

3. Sifat intersubjektif
Seperti halnya yang dikatakan oleh Akhadiah & Listyasari (2011) bahwa
sebuah ilmu menghendaki validasi dan verifikasi atas semua keyakinan subjektif
seseorang. Intersubjektif dalam ilmu pengetahuan ini berarti ilmu pengetahuan yang
telah diperoleh seorang subjek harus mengalami verifikasi oleh subjek-subjek yang
lain supaya terjamin keabsahannya (Semiawan & Listyasari, 2011). Supaya
pengetahuan yang telah diperoleh seorang subjek tersebut menjadi “intersubjektif”
maka verifikasi itu diperlukan, yaitu dengan cara penelitian oleh subjek-subjek yang
lain secara berulang-ulang. Pada verifikasi ini cara penelitian harus sama, baik dalam
metode maupun hasil harus dari penelitian tersebut. Jika metode dan juga hasil
menunjukkan hal yang sama (tidak berubah-ubah) maka ilmu pengetahuan tersebut
sudah terverifikasi maka intersubjektif dari ilmu pengetahuan tersebut bisa tercapai,
sehingga hal tersebut menjadi bersifat universal, dapat dikomunikasikan, dan
progresif.
Dalam ilmu pengetahuan terdapat dasar-dasar dari pengetahuan yang bersifat
keilmuan yaitu sebagai berikut:
a. Pengalaman
Semua bentuk penyelidikan kearah ilmu pengetahuan di mulai dengan
pengalaman maka, hal pertama dan utama yang mendasari dan memungkinkan adanya
pengetahuan adalah pengalaman. Pengalaman adalah keseluruhan peristiwa
perjumpaan dan apa yang terjadi pada manusia dalam interaksinya dengan alam, diri
sendiri, lingkungan sosial sekitarnya dan dengan seluruh kenyataan termasuk yang
ilahi paling kurang ada tiga pokok pengalaman manusia (Sudarminta, 2002): pertama,
pengalaman manusia itu beranekaragam. Ciri ini paling mudah kita sadari. Kita
melihat sesuatu, mendengar, mengucap, menyentuh mencecap dan membau sesuatu,
kedua, pengalaman manusia selalu berkaitan dengan objek tertentu di luar diri kita
sebagai subjek, ciri yang ketiga ialah bahwa pengalaman manusia terus bertambah dan
bertumbuh seiring berjalannya umur, kesempatan, dan tingkat kedewasaan manusia.
Dengan mengalami aneka ragam hal dalam hidupnya, pengalaman manusia jelas
bertambah.

Contoh riil dari pengalaman ini adalah di saat kita merasakan gula, dan rasanya
tersebut manis. Maka hal inilah yang menjadikan pengalaman kita bahwa kita akan
memiliki pengalaman kalau rasa dari gula itu manis, dan ketika kita mencoba lagi
maka kita akan merasakan manis. Pada saat kita mencoba mencoba sesuatu hal dan
rasanya tidak manis maka berdasarkan pengalaman yang kita peroleh akan
menyimpulkan bahwa apa yang baru dirasakan tersebut bukan gula. Maka dari itulah
ilmu pengetahuan salah satu dasarnya adalah pengalaman yang telah terbangun di
dalam ingatan kita.

b. Ingatan
Selain pengalaman, pengetahuan juga didasari dengan ingatan. Dalam
kedudukannya dalam ilmu pengetahuan, baik pengalaman indrawi maupun ingatan
saling mengandaikan, tanpa ingatan pengalaman indrawi tidak akan berkembang
menjadi pengetahuan (Sudarminta, 2002). Namun ingatan tidak selalu benar, dan
karenanya tidak selalu merupakan suatu bentuk pengetahuan.
Contoh dari ingatan ini tidak jauh berbeda dengan kasus gula yang telah
disebutkan di atas. Pada saat kita mencoba gula maka rasanya akan manis, dan itu akan
mengendap pada pengalaman kita. Sehingga pada saat kita dihadapkan oleh dua buah
benda (gula dan larutan garam misalkan) dengan mata tertutup, maka kita akan bisa
mengetahui mana yang larutan gula dan mana yang termasuk larutan garam.
c. Kesaksian
Dengan kesaksian disini dimaksudkan penegasan sesuatu sebagai benar oleh
seorang saksi kejadian atau peristiwa, dan diajukan kepada orang lain untuk dipercaya.
Pengalaman indrawi dan ingatan pribadi mengenai suatu peristiwa atau fakta tertentu
tidak selalu kita miliki akan tetapi pengetahuan dapat kita peroleh dari kesasian orang
lain yang kita percayai, namun pendapat dari Descartes, beberapa pemikir menolak
bahwa kesaksian adalah sumber dari ilmu pengetahuan dikarenakan bisa bersifat
menipu dan keliru, kendati kesaksian tidak dapat memberi kepastian mutlak mengenai
kebenaran isi kesaksian namun sebagai dasar dan sumber pengetahuan cara ini banyak
ditempuh ilmu pengetahuan seperti sejarah, hukum, dan agama yang banyak secara
metodologis banyak bersandar pada kesaksian orang (Sudarminta, 2002).

d. Minat dan rasa ingin tahu
Tidak semua pengalaman dapat berkembang menjadi pengetahuan, subjek
mengalami sesuatu perlu memiliki minat dan rasa ingi tahu tentang apa yang
dialaminya. Maka, hal lai yang mendasari adanya pengetahuan adalah adanya minat
dan rasa ingin tahu manusia.
Minat mengarahkan perhatian terhadap hal-hal yang dialami dan dianggap
penting untuk diperhatikan. Sedangkan Rasa ingin tahu mendorong orang untuk
bertanya dan melakukan penyelidikan atas apa yang dialami dan menarik
minatnya(Sudarminta, 2002).
e. Pikiran dan Penalaran
Untuk dapat memahami dan menjelaskan apa yang dialami, manusia perlu
melakukan kegiatan berpikir mengandaikan adanya pikiran. Pengalaman dan rasa
ingin tahu manusia sendiri sebenarnya sudah mengandaikan pikiran. Tetapi kegiatan
pokok pikiran dalam mencari pengetahuan adalah penalaran. Maka, pikiran dan
penalaran merupakan hal yang mendasari dan memungkinkan pengetahuan
(Sudarminta, 2002). Penalaran sendiri merupakan proses bagaimana pikiran menarik
kesimpulan dari hal-hal yang sebelumnya telah di ketahui. Penalaran bisa berbentuk
induksi, deduksi maupun abduksi (Sudarminta, 2002).
f. Logika
Kegiatan penalaran tidak dapat dilakukan lepas dari logika. Tidak sembarang
kegiatan berpikir disebut dengan penalran. Penalaran adalah kegiatan berpikir seturut
asas kelurusan berpikir atau sesuai dengan hokum logika. Penalaran sebagai kegiatan
berpikir logis memang belum menjamin bahwa kesimpulan yang ditarik atau
pengetahuan yang dihasilkan pasti benar (Sudarminta, 2002).
g. Bahasa
Selain logika penalaran juga mengandaikan bahasa, maka bahasa juga
merupakan salah satu yang mendasari dan memungkinkan pengetahuan pada manusia,
seluruh kegiatan berpikir sendiri erat terkait dengan kemampuanya sebagai mahluk
yang berbahasa. Pengetahuan manusia diungkapkan dan dikomunikasikan dalam
bentuk bahasa, karena ada hubungan saling ketergantungan antara pikiran dan kata
(Sudarminta, 2002).

h. Kebutuhan Hidup Manusia
Dalam interaksinya dengan dunia dan linkungan sosial sekitarnya manusia
membutuhkan pengetahuan. Maka, kebutuhan hidup manusia dapat dikatan juga
merupakan factor yang mendasari dan mendorong berkembangnya pengetahuan
manusia. Dalam artian ini kegiatan mengetahui merupakan bagian hakiki dari cara
berada manusia. Buak hanya cara instingtif, tetapi juga cara kreatif sebagai sara yang
dibutuhkan untuk hidup, bagi manusia pengetahuan juga merupakan suatu alat,
strategi, dan kebijaksanaan manusia dalam beriteraksi dengan dunia dan lingkungan
sosial sekitarnya (Sudarminta, 2002).

C. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
2.3.1. Hubungan Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
Gerard Beekman dalam

bukunya (1973) filsafat, para filsuf, berfilsafat

menyatakan bahwa filsafat memainkan peranan dalam hubungannya dengan semua
ilmu pengetahuan. Filsafat tidak harus mengirim informasi dari sisi ilmu pengetahuan,
tapi harus memberikan ilmu pengetahuan. Sebelum Ilmu Pengetahuan lahir, filsafat
telah mendasarinya. Sejarah ilmu pengetahuan berasal dan berkembang dari
filsafat.Dalam hal ini ilmu pengetahuan dapat diartikan sebagai keseluruhan lanjutan
sistem pengetahuan manusia yang telah dihasilkan oleh hasil kerja filsafat kemudian
dibukukan secara sistematis dalam bentuk ilmu yang terteoritisasi. Aktivitas ilmu
digerakkan oleh pertanyaan bagaimana menjawab pelukisan fakta. Sedangkan filsafat
menjawab atas pertanyaan lanjutan bagaimana sesungguhnya fakta itu, dari mana
awalnya dan akan kemana akhirnya. Berbagai gambaran di atas memperlihatkan
bahwa filsafat di satu sisi dapat menjadi pembuka bagi lahirnya ilmu pengetahuan,
namun di sisi yang lainnya ia juga dapat berfungsi sebagai cara kerja akhir ilmuwan.
Filsafat yang sering disebut sebagai induk ilmu pengetahuan (mother of science)
dapat menjadi pembuka dan sekaligus ilmu pamungkas keilmuan yang tidak dapat
diselesaikan oleh ilmu. Hal ini dikarenakan filsafat dapat merangsang lahirnya
sejumlah keinginan dari temuan filosofis melalui berbagai observasi dan eksperimen
yang melahirkan berbagai pencabangan ilmu.
Realitas juga menunjukan bahwa hampir tidak ada satu cabang ilmu yang lepas
dari filsafat atau serendahnya tidak terkait dengan persoalan filsafat. Bahkan untuk

kepentingan perkembangan ilmu itu sendiri, lahir suatu disiplin filsafat untuk mengkaji
ilmu pengetahuan, pada apa yang disebut sebagai filsafat pengetahuan, yang kemudian
berkembang lagi yang melahirkan salah satu cabang yang disebut sebagai filsafat ilmu.

Beda Filsafat dengan Ilmu Pengetahuan
Seperti yang telah dijelaskan diatas, filsafat bukanlah sebuah ilmu
pengetahuan. Menurut Abidin (2012), filsafat memiliki perbedaan dengan ilmu
pengetahuan, diantaranya adalah sebagai berikut:
Pembeda
Pertanyaan Inti

Ruang Lingkup

Metode
Fokus Kajian
Hasil (Teori)

Filsafat

Ilmu Pengetahuan

 Apa? (hakikat)
 Bagaimana? (dinamika)
 Mengapa? (sebab-akibat yang  Mengapa? (sebab-akibat)
bersifat pokok)
 Berapa banyak? (kuantifikasi,
 Dari mana? (asal-usul)
persentase, frekuensi)
 Dan kemana (apa yang terjadi
selanjutnya)?
Luas, mencakup semua hal yang
Terbatas pada gejala atau
memungkinkan untuk dipikirkan
aspek-aspek tertentu, sejauh
yang dapat diukur
Logis-rasional
Ilmiah, mencakup rasional,
empiris, dan terukur
Fakta (das Sein) dan nilai (das
Fakta , terutama dalam pure
Sollen)
science.
Khusunya dalam IPS: terbatas
 Intensif (dalam),
pada populasi dan “kelas”
 Ekstensif (luas),
objek yang diteliti
 Kritis (karena berkaitan dengan
nilai)

Antara Benar dan Tepat dalam Ilmu Pengetahuan
Banyak orang yang menganggap bahwa benar dan tepat itu sama, akan tetapi
di dalam ilmu pengetahuan kedua hal yang mirip tersebut dibedakan. Kedua hal
tersebut adalah dua hal yang berbeda. Karena di dalam ilmu pengetahuan tidak ada
yang tepat, karena jika ada “tepat” tersebut maka trial and error tidak akan ada, dan
otomatis ilmu pengetahuan tersebut tidak akan berkembang, padahal menurut
Semiawan & Listyasari (2011) sifat dari ilmu pengetahuan tersebut adalah progresif
atau berkembang.
Pranarka (1987) menyatakan kepada kebenaran dan kepastian itu lalu lazim
diberikan nilai mutlak, sehingga kepastian dan kebenaran tersebut adalah sesuatu hal
yang sudah pasti. Di dalam bukunya Akhadiah & Listyasari (2011) menyatakan

bahwa sebuah ilmu menghendaki validasi dan verifikasi atas semua keyakinan
subjektif seseorang. Sehingga inilah yang disebutkan sebagai sebuah kebenaran,
bahwa kebenaran tersebut merupakan hasil dari validasi atau kesepakatan dari para
ilmuwan (intersubjektif ).
Sementara itu di dalam ilmu pengetahuan sesuatu yang tepat itu belum ada.
Karena apa yang disebut tepat tersebut berada di dalam langkah-langkah dari
penemuan ilmu tersebut. Di sinilah perhatian dari seorang peneliti harus di fokuskan,
karena menurut Hegel (1956) “tiada sesuatu yang dapat dicapai tanpa perhatian dari
pihak pelaku”. Maka di sini dari si pelaku (peneliti) harus bisa meluangkan
perhatiannya atas apa yang dia teliti, dan bukan hal yang tidak mungkin ketika pelaku
tersebut lengah sedikit saja maka langkah dari peneliti tersebut akan tidak tepat (karena
pelaku adalah manusia, dan kesalahan pada manusia itu adalah hal yang pasti). Di
sinilah maka akan muncul trial and error.
Sebuah trial and error itu pasti, karena di dalam sebuah ilmu pengetahuan
berupaya untuk mencari langkah yang tepat di dalam melakukan percobaanpercobaan. Sehingga dapat dilihat berdasarkan pemaparan di atas maka benar akan
dianggap benar setelah dia melewati proses verifikasi dari pihak lain, sementara tepat
berada di dalam proses yang kita lalui untuk memperoleh kebenaran tersebut.
Walaupun ketepatan tersebut berada di dalam proses dalam mencapai kebenaran akan
tetapi bukan berarti proses mencari kebenaran tersebut merupakan sebuah ketepatan,
karena di dalam proses tersebut pasti mengandung trial and error.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 2012. Pengantar Filsafat Barat. Jakarta: Rajawali Pers.
Akhadiah, S, Listyasari, W.D. 2011. Filsafat Ilmu Lanjutan. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group
Beekman, G dan Rivai, RA.. 1973. Filsafat, Para Filsuf, Berfilsafat. Jakarta:
Erlangga.
Berling, Kwee, Peursen, M. 1990. Pengantar Filsafat Ilmu. Terjemahan oleh
Soejono Soemagono. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya
Hadiwijono, H. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta: Kanisius.
_____________.1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius
Hegel, G.W.F. 1956. Filsafat Sejarah G.W.F Hegel. Diterjemahkan oleh Cuk Ananta
Wijaya. 2012. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset
Melsen, A.G.M. 1985. Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita. Terjemahan
oleh Dr. K. Bertens. Jakarta: PT Gramedia
Pranaka, A.M.W. 1987. Epistemologi Dasar : Suatu Pengantar. Jakarta: Yayasan
Proklamasi CSIS
Semiawan, C.R, Listyasari, W.D. 2011. Spirit Inovasi Dalam Filsafat Ilmu. Jakarta:
PT Indeks
Sudarminta, J. 2002. Epistemologi Dasar Pengantar Ilmu Pengetahuan. Jogjakarta:
Kanisius.
Sumarna, C. 2008. Filsafat Ilmu. Bandung:CV. Mulia Press
Surjasumantri. J.S. 2009. Filsafat Ilmu Sebagai Pengantar Populer. Jakarta:Pustaka
Sinar Harapan
Syam, N.M. 2006. Filsafat Ilmu. Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas
Negeri Malang
Tafsir, A. 2007. Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi
Pengetahuan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya