KESIAPAN DESA PAKIS DALAM MEWUJUDKAN OTO

KESIAPAN DESA PAKIS DALAM MEWUJUDKAN OTONOMI DESA
(SUATU PENELITIAN DI DESA PAKIS KEC. TROWULAN KAB.
MOJOKERTO)
Muhammad Syaroful Umam
Muhammad Bagir Idrus Alatas

Abstract
Although Indonesia recently made radical changes in autonomy laws—which focused on
village self-development, autonomy implementation process, and decentralisation—in
2014, little progress has been made and expected positive impact yet to be fulfilled. This
paper explains culturally-heterogeneous Pakis’ villagers in term of participation and/or
political contribution in order to establish autonomous village. Inter-dusun (admistrative
division form below ‘Desa’ or Village) cultural barrier—moreover, lacking of cultural
tolerance—normally causing disunification of the village itself. With that obvious
challenge, Pakis villagers’ participation still relevant towards their goal; achieving
collective welfare through village autonomy.
Keyword: Village Autonomy, Village Politics, Villagers’ Participation

1. Latar Belakang Masalah
Desa merupakan awal lahirnya suatu kawasan dengan pembagian wilayah yang
sudah ditentukan dan lama-kelamaan hampir semua tempat yang dulunya

merupakan desa dijadikan kota. Sebelum kemerdekaan Indonesia berlangsung
tepatnya ketika jaman kerajaan, desa disebut sebagai komunitas lokal yang
mendiami suatu tempat dengan luas wilayah tertentu. Namun dikarenakan
masuknya kolonial ke negeri kita membuat desa semakin kedepan semakin tidak
mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk berkembang ke arah yang lebih
baik. Bahkan ketika orde baru memimpin desa hanya menjadi suatu kawasan kecil
yang tidak mempunyai harapan sedikitpun untuk berkembang karena kepala desa
cenderung menjadi penguasa di desanya sendiri sehingga masyarakat tidak bisa
melakukan banyak hal karena ketentuan utamanya dari kepala desa.
Desa Pakis merupakan desa yang memiliki tiga dusun, masing-masing memiliki
perbedaan budaya yang nyata. Perbedaan tersebut adalah tantangan yang
menghambat terjadinya otonomi, namun masyarakat desa Pakis mampu
mengenyampingkan perasaannya untuk desa yang lebih baik. Hambatanhambatan lain berupa administrasi desa maupun pengetahuan masyarakat tentang
otonomi itu sendiri juga menjadi tantangan dalam menyambut otonomi itu sendiri.
Desa ini terletak di kabupaten Trowulan Mojokerto, yang dikelilingi oleh tanah
pertanian dan hutan. Terdapat tiga dusun di desa Pakis yaitu Wetan, Kulon, dan
Bancang. Desa Pakis Wetan dan Kulon tempatnya tidak berjauhan (bersebelahan),
sementara desa Pakis Bancang terletak di tengah hutan dengan kehidupan yang
cenderung tertutup. Seluruh masyarakat desa Pakis sangat antusias jika ada suatu
kegiatan untuk bisa membantu kegiatan tersebut dengan apa yang bisa dilakukan1,

karena memang kehidupan desa lebih ke gotong royong (hidup bersama-sama)
dari pada lebih memikirkan dirinya sendiri.
Penelitian ini difokuskan untuk melihat partisipasi masyarakat dalam menjalankan
desa. Dengan teknik wawancara, data yang diperoleh cukup mendalam, sehingga

1

Biasanya cenderung berpartisipasi dengan menyumbangkan tenaga dan keahlian

mampu mengupas kondisi nyata masyarakat dan aparatur desa Pakis dalam
menjalankan tata kelola desa.
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul
KESIAPAN DESA PAKIS DALAM MEWUJUDKAN OTONOMI DESA
2. Rumusan Masalah
Mengapa masyarakat Desa Pakis yang mempunyai budaya berbeda-beda pada
setiap dusunnya siap mewujudkan otonomi desa?
3. Kerangka Teori
A. Partisipasi Masyarakat
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia partisipasi adalah perihal turut berperan
serta dalam suatu kegiatan (keikutsertaan). 2 Definisi lain menyebutkan partisipasi

adalah kerja antara rakyat dan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan,
melestarikan, dan mengembangkan hasil pembangunan.3 Masyarakat harus aktif
dalam

suatu

kegiatan

yang

diadakan

di

desa

maupun

kota


dengan

menyumbangkan tenaga dan pikirannya agar tercipta masyarakat yang cerdas
seperti masyarakat yang berkontribusi terhadap sekitarnya memperhatikan kinerja
pemerintah (pusat dan lokal), bisa mengatur sumber daya alam yang ada dalam
suatu wilayah masyarakat tertentu,

memberikan aspirasi-aspirasi yang

membangun terhadap kegiatan yang diadakan di wilayah tertentu serta berperan
dalam organisasi-organisasi sosial/lembaga. Menurut Davis, seperti yang dikutip
oleh Sastropoetro dalam bukunya yang berjudul "Partisipasi, komunikasi,
persuasi dan disiplin dalam pembangunan nasional”, mengemukakan jenis-jenis
partisipasi masyarakat, yaitu sebagai berikut: (1) Pikiran (Psychological
participation); (2) Tenaga (Physical participation); (3) Pikiran dan tenaga
(Psychological dan Physical participation); (4) Keahlian (Participation with skill);
(5) Barang (Material participation); (6) Uang (Money participation). 4 Setiap
individu dalam masyarakat sebisa mungkin membantu dengan hal yang bisa
2


Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005),
hal. 831
3
Loekman Soetrisno, Menuju Masyarakat Partisipatif (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hal. 207
4
Sastropoetro, A. Santoso, Partisipasi, komunikasi, persuasi dan disiplin dalam pembangunan
nasional (Bandung: Alumni, 1988), hal. 16

dilakukan seperti yang sudah dikatakan oleh Davis agar, pelayanan publik seperti
pembuatan/perbaikan jalan, kesehatan, pendidikan, dan juga lapangan pekerjaan,
pembangunan infrastruktur, berjalan dengan lancar karena masyarakat berandil
besar dalam proses kearah yang lebih baik.
Partisipasi masyarakat merupakan peran paling penting untuk pembangunan
khususnya di desa5 yang cenderung tidak memperdulikan permasalahan yang ada
di sekitar. Masyarakat harus bisa mengembangkan kemampuannya masingmasing membangun desanya sendiri supaya tidak menjadi daerah yang tertinggal.
Namun tidak semua masyarakat mempunyai keinginan yang kuat untuk turut serta
berpartisipasi di desanya, karena itu sebisa mungkin pemerintah desa berupaya
untuk membangkitkan keikutsertaan masyarakat dalam membangun desanya.
Kusnaedi mengatakan bahwa ada enam cara untuk membangkitkan partisipasi
masyarakat, yaitu: (1) Menggunakan prinsip pertukaran dasar, yaitu melalui

pendekatan timbal balik manfaat yang diterima langsung oleh masyarakat; (2)
Memberikan bimbingan dan kepercayaan kepada masyarakat melalui lembaga
kemasyarakatan dengan memperhatikan kondisi sosial sehingga motivasi
masyarakat semakin kuat untuk berpartisipasi; (3) Kegiatan pembangunan harus
bersifat dan berfungsi sebagai stimulan yang mampu meningkatkan partisipasi
dan swadaya masyarakat untuk melibatkan diri; (4) Rancangan pembangunan
harus sederhana dan mudah dipahami oleh masyarakat untuk melibatkan diri; (5)
Menyelaraskan

program-program

pembangunan

dengan

aspirasi

yang

berkembang di masyarakat; dan (6) Melibatkan masyarakat dalam membuat suatu

rencana dan keputusan.6
B. Otonomi Desa
Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 dalam pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa
Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya
disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah
yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
5

Kalimat desa digunakan karena permasalahan partisipasi masyarakat dalam penelitian ini di
fokuskan kepada masyarakat yang ada di desa Pakis kecamatan Trowulan kabupaten Mojokerto.
6
Kusnaedi, Membangun Desa (Pedoman untuk Pengerak Program IDT, Mahasiswa KKN, dan Kader
Pembangunan Desa). (Jakarta: Penebar Swadaya, 1995), hal.48

masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau
hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
C. Politik Desa
Pada saat Soeharto masih berkuasa, kepala desa bisa berbuat apapun kepada
masyarakatnya. Kekerasan bisa dilakukan untuk memeras masyarakat, membunuh

merupakan hal yang biasa, korupsi dengan mudah dilakukan karena tidak
pedulinya masyarakat desa terhadap kepala desanya yang seharusnya memberikan
pelayanan publik/sudah hilangnya harapan masyarakat desa untuk membenahi
desanya. Damasus Ebot, Kepala Desa Bangka Ara, Kecamatan Cibal, Kabupaten
Manggarai, Provinsi NTT, pernah bercerita tentang pengalamannya 7 yang pernah
menjadi Penguasa ketika menjadi sesosok penguasa yang ditakuti dan dipatuhi
oleh masyarakat desanya dengan menghalalkan segala cara seperti kekerasan, dsb.
Ketika orde baru runtuh pada tahun 1998, baru kemudian adanya kebebasan bagi
masyarakat desa untuk mengatur “rumah tangganya” sendiri untuk membangun,
memperbaiki desanya yang sebelumnya tidak ada kesempatan untuk berbuat
banyak dalam pembangunan desa.
Namun desa belum sepenuhnya pulih, politik uang dan politik dinasti 8 yang sudah
berlangsung lama begitu banyak terjadi di berbagai desa di Indonesia. Politik uang
dapat diartikan sebagai seni untuk memenangkan posisi yang menguntungkan
bersaranakan uang dalam rangka upaya merebutkan kekuasaan dalam kehidupan
bernegara9. Selain itu politik uang dapat diartikan sebagai uapaya mempengaruhi
perilaku orang lain dengan menggunakan imbalan tertentu. Ada yang mengartikan
politik uang sebagai tindakan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan.
Tindakan itu bisa terjadi dalam jangkauan (range) yang lebar, dari pemilihan
7


http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/sites/37/2014/11/Demokrasi_LokalSarjana.pdf
8
Contoh paling menonjol adalah kekerabatan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Dia adalah
kakak kandung Wakil Bupati Serang Ratu Tatu Chasanah, kakak tiri Wali Kota Serang Tb Haerul
Jaman, kakak ipar Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany, dan anak tiri Wakil Bupati
Pandeglang Heryani. Diambil dari http://www.pewarta-indonesia.com/inspirasi/opini/11239negeri-dinasti-politik-praktis.pdf
9
Sumartini, L. Money Politik Dalam Pemilu. (Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2004), hal. 123

kepala desa sampai pemilhan umum suatu Negara. 10 Money Politic tidak hanya
terjadi di tingkat kota, namun desa pun masih banyak kepala desa yang
menginginkan jabatan kemudian melakukan “serangan fajar” agar terpilih menjadi
penguasa di desa tertentu.
4. Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan teknik wawancara mendalam untuk mendapatkan
data dan informasi. Penggunaan metode ini digunakan untuk menggali/mencari
tahu apa yang dialami/diketahui responden yang diwawancarai mengenai
kehidupannya di desa Pakis. Kedua, teknik wawancara mendalam bisa leluasa

untuk menanyakan sesuatu kepada responden tanpa terikat apapun dan tanpa
urutan

pertanyaan.

Teknik

wawancara

mendalam

adalah

teknik

untuk

mendekatkan diri kepada responden yang ditanyakan agar bisa lebih terbuka dan
mendapatkan informasi-informasi baru yang belum diketahui. Diawali dengan
pengantar kemudian mempekenalkan diri kepada respoden dan memberi tahu

tujuan dalam wawancara ini, kemudian menanyakan kepada respoden dengan
pertanyaan yang bersifat luas. Peneliti juga menggunakan alat bantu rekam untuk
memudahkan

proses

pengolahan

data.

Penelitian

itu

juga

mempunyai

dokumentasi berupa foto untuk pengumpulan data dengan menggunakan alat
bantu camera.
5. Pembahasan
A. Desa Pakis dan Perbedaan Budaya Dusunnya
Desa Pakis terdiri dari tiga dusun; Pakis Wetan, Pakis Kulon, dan Bancang.
Mayoritas masyarakat Desa Pakis beragama Islam. Dalam prakteknya, setiap
dusun memiliki pandangan yang berbeda tentang agama, sehingga mengakibatkan
masyarakat antar dusun tidak akur pada masa lampau. Secara historis, ada
berbagai fakta menarik yang melatarbelakangi pembagian teritorial masingmasing dusun.
Masyarakat Pakis Wetan memegang teguh agama islam. Menurut masyarakat
dusun Pakis Kulon (dusun sebelahnya), hal tersebut disebabkan oleh pondok
10

Ismawan, indra. Money Politik (pengaruh Uang Dalam Pemilu). (Yogyakarta : Media Pressindo,
1999), hal.5

pesantren yang terletak di tengah-tengah dusun. Walaupun pesantren tersebut
tidak begitu terjun langsung/berdakwah secara intens kepada masyarakat,
pesantren tersebut sangatlah mempengaruhi kondisi psikologis dan agama
masyarakat. Selain itu hanya ada satu organisasi keagamaan yang mendominasi
masyarakat sekitar, yaitu Nahdlatul Ulama’. Berdasarkan fakta-fakta dan data
yang diperoleh, bisa disimpulkan bahwa Pakis Wetan mempunyai Kultur yang
homogen.
Berbeda dengan masyakarat Pakis Wetan, menurut bapak bandi (tokoh
masyarakat), Pakis Kulon memiliki budaya yang heterogen. Masyarakat sekitar
mengklaim bahwa Pakis Kulon lebih nasionalis 11, mereka tidak begitu
memperdulikan agama ataupun moralitas tetangga, yang penting tidak
mengganggu hak individu lain. Perilaku menyimpang sudah menjadi hal yang
biasa—bahkan telah menjadi budaya bagi masyarakat—seperti berjudi dan minum
alkohol. Walaupun mayoritas masyarakat Pakis Kulon beragama islam,
masyarakat Pakis Kulon menganggap agama sebagai hak pribadi.
Bancang memiliki budaya yang menarik, yaitu kawin muda, tawuran dengan desa
tetangga (bagi pemudanya), dan pemujaan terhadap hal-hal gaib. Masyarakat
Bancang didominasi oleh pendatang, sehingga hubungan antar tetangga kurang
harmonis, bahkan beberapa ada yang bermusuhan satu sama lain, tidak seperti
masyarakat desa pada umumnya.
Dahulu sering terjadi perselisihan antar dusun, apalagi pada saat-saat pemilihan
kepala desa. Baik dari tokoh masyarakat, kepala desa, mahasiswa, dan masyarakat
itu sendiri sepakat bahwa masyarakat sangat antusias dalam menyambut
pemilihan kepala desa, bahkan antusiasme yang berlebih tersebut menimbulkan
perselisihan yang panjang dan berimbas pada pelantikan kepala desa dan
aparaturnya. Perselisihan akibat pemilihan umum sudah berhenti semenjak calon
incumbent berhasil memenangkan pemilihan kepala desa untuk kedua kalinya,
sebab pemilihan tersebut berakhir dengan kemenangan mutlak calon incumbent.
B. Partisipasi Politik Masyarakat Desa Pakis
11

Nasionalis secara terminologis menurut bapak bandi adalah lebih mementingkan kehidupan
sosial daripada agama.

Masyarakat mempunyai preferensi tersendiri terkait kepala desa yang diusung.
Pengawalan pemilihan kepala desa pilihan tersebut membuktikan tingkat
partisipasi politik masyarakat desa Pakis cukup tinggi. Ketika dihadapkan dengan
pemilihan kepala desa, masyarakat mampu menilai calon mana yang layak untuk
dijadikan kepala desa.
Kinerja aparatur desa yang dinilai warga baik menyebabkan partisipasi politik
masyarakat desa Pakis meningkat. Masyarakat yang sebelumnya tidak peduli
dengan

apapun

yang

terjadi

dengan

desa

berpartisipasi

aktif

dalam

mengembangkan desa. Dalam pengelolaan desa sendiri, masyarakat luas memang
kurang bisa memberikan sumbangan tenaga untuk mencapai otonomi desa, karena
masyarakat cenderung bekerja pada pagi hari dan istirahat di malam hari.
Masyarakat cenderung memberikan sumbangan pemikiran.
Kepala desa mengakui bahwa tidak ada demonstrasi semenjak kepemimpinannya.
Dia mengklaim bahwa tidak perlu memberikan perincian pertanggung jawaban
anggaran desa, karena sebelum mendapatkan dana bantuan dari pihak manapun,
dia sudah memberitahu masyarakat tentang darimana dana tersebut berasal dan
akan digunakan untuk apa. Kepemimpinan kepala desa tersebut diakui baik oleh
mayoritas masyarakat desa Pakis maupun masyarakat luar desa Pakis. Dengan
kinerja yang baik pada periode selanjutnya, masyarakat memilih untuk
melanjutkan pemerintahan sebelumnya tanpa ada imbalan apapun.
C. Politik Desa Pakis
Kami melihat bahwa masyarakat desa Pakis mulai peduli dengan politik, hal
tersebut bisa dibuktikan dengan rendahnya tingkat apatisme dalam pemilihan
umum (tidak termasuk pemilihan legislatif) dan pemilihan kepala desa. Selain itu,
desa Pakis tidak seperti desa lainnya ketika menghadapi pemilihan kepala desa,
dimana pemilihan kepala desa di Kabupaten Mojokerto merupakan ajang taruhan
besar. Fenomena tersebut memancing adanya politik uang dalam bursa pemilihan
kepala desa. Penjudi tersebut memiliki tim pemenangan bagi masing-masing
calon, tak jarang pejudi tersebut bekerjasama dengan calon kepala desa guna
mendapatkan bantuan finansial untuk judinya; mengingat kesepakatan tersebut
saling menguntungkan. Dibalik fenomena yang ada di sebagian besar desa di

Mojokerto, pemilihan kepala desa Pakis pada tahun 2013 tidak terjadi politik uang
oleh ‘pihak luar’. Mungkin hal tersebut disebabkan oleh kalkulasi politik yang
menunjukkan bahwa pemilihan kepala desa akan berakhir dengan kemenangan
mutlak.
Kesadaran politik yang mulai terbangun dalam diri masyarakat desa Pakis tidak
diimbangi dengan pengetahuan politik—yang masih seputar pemilihan umum saja
—dan belum mencapai titik dimana politik merupakan distribusi keadilan dan
kekuasaan yang fair dengan regulasi dan etika yang sudah ditentukan. Masyarakat
masih harus berproses agar tidak bias tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh
aparatur desa, kewenangannya, dan tanggungjawabnya. Disamping pengetahuan
politik yang kurang, masyarakat menganggap bahwa tata kelola desa oleh aparatur
desa sangat memuaskan berdasarkan output yang diberikan, tanpa melihat
bagaimana proses tata kelolanya. Bagi masyarakat, yang penting adalah
pembagian subsidi yang merata dan

pembangunan infrastuktur desa yang

memadai. Harun, mahasiswa dari Universitas x, mengakui bahwa hal tersebut
benar adanya dan masyarakat sekitar masih butuh sosialisasi tentang pengawasan
desa oleh masyarakat.
D. Kesiapan Pakis Menuju Desa Otonom
Pada masa lampau, masyarakat masih mempunyai rasa primordialisme dusun,
sehingga dusun yang kalah dalam pemilihan kepala desa kurang kooperatif dalam
menjalankan desa. Kepala desa juga lebih mementingkan dusun asalnya dan
kurang bisa adil dalam membangun dusun tetangganya. Seiring dengan
berjalannya waktu, masyarakat desa Pakis sudah dapat mengatasi kendala budaya
dengan tidak menyertakannya dalam pembangunan desa. Hal tersebut merupakan
progress baik dalam menyambut otonomi desa.
Bantuan 1 milliar untuk setiap desa tanpa ada pengelolaan yang baik berarti siasia. Tanpa kesadaran dan partisipasi masyarakat, sangat mustahil anggaran yang
besar tersebut dimanfaatkan dengan baik. Berdasarkan wawancara yang kami
lakukan, masyarakat desa Pakis rata-rata masih belum mengetahui bantuan 1
milliar tersebut. Masyarakat Pakis yang biasa bekerja keras sulit mengalokasikan
waktunya untuk berpartisipasi aktif dan membangun otonomi desa Pakis,

walaupun ada keinginan untuk berpartisipasi. Kekurangan tersebut ditutupi
dengan koordinasi karang taruna yang baik.
Jika Pakis mampu mampu menjaga komunikasi dengan karang taruna secara
efektif, maka otonomi desa akan lebih mudah dilakukan, mengingat komunikasi
masyarakat dengan kepala desa kurang intens. Masyarakat Pakis perlu
mendapatkan sosialisasi lebih tentang otonomi desa, sehingga celah terjadinya
penyalahgunaan anggaran dapat ditekan.
Berdasarkan data yang kami dapatkan, pengelolaan anggaran desa Pakis
bermasalah. Penyalahgunaan anggaran yang dilakukan baik oleh aparatur desa
maupun masyarakat desa Pakis merupakan bentuk ketidaksiapan dalam
penyelenggaraan otonomi desa. Perlu ada pengawalan yang ketat terkait
penggunaan anggaran desa. Jika tidak ada, maka akan dijadikan pesta.
Berdasarkan pengakuan kepala desa Pakis, desa menerima dana sebesar 250 juta
rupiah dalam rangka “pencairan bertahap” bantuan 1 milliar. Dana tersebut tidak
diketahui masyarakat luas dan hal tersebut merupakan pencideraan terhadap
prinsip otonomi. Walaupun masyarakat akan lebih baik jika menerima dukungan
dana yang besar, sosialisasi kepada masyarakat desa tidak dilaksanakan dengan
baik.
Masyarakat Pakis akan siap menyambut otonomi desa apabila setiap komponen
desa bersinergi dengan baik. Apatisme masyarakat tentang pengelolaan anggaran
perlu diperhatikan. Dibalik itu semua, Pakis memiliki potensi dalam menjalankan
otonomi desa, hanya kurang pada perencanaan anggaran dan pengawasannya.

6. Penutup
A. Kesimpulan
Di samping kendala latar belakang budaya masing-masing dusun yang berbeda
yang menimbulkan primordialisme dusun, masyarakat sudah tidak mencampurkan
sentimen primordialisme dengan urusan desa. Partisipasi politik masyarakat Pakis
sudah cukup baik dan pengetahuan politik masih kurang. Masyarakat desa Pakis
hanya kurang dalam proses perencanaan dan pengawasan anggaran.
B. Saran
Perlu adanya sosialisasi tentang otonomi desa secara intens. Hal tersebut juga
berlaku kepada desa lainnya. Masyarakat desa Pakis harus menyadari seberapa
pentingnya anggaran desa, bukan menganggap bahwa dana desa sekedar untuk
membangun

infrastruktur

dan

memberikan

bantuan

material

kepada

masyarakatnya. Pembangunan sumber daya manusia juga harus ditingkatkan.

Bibliography
Departemen Pendidikan Nasional, 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Ismawan, indra, 1995. Money Politik (pengaruh Uang Dalam Pemilu).
(Yogyakarta : Media Pressindo.
Kusnaedi, 1995. Membangun Desa (Pedoman untuk Penggerak Program IDT,
Mahasiswa KKN, dan Kader Pembangunan Desa). Jakarta: Penebar Swadaya
Landis, P. H., 1948. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama
L., S., 2004. Money Politik Dalam Pemilu. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI.
Sastropoetro & Santoso, A., 1988. Partisipasi, komunikasi, persuasi dan disiplin
dalam pembangunan nasional. Bandung: Alumni.
Soetrisno, L., 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. Yogyakarta: Kanisius.
content/uploads/sites/37/2014/11/Demokrasi_Lokal-Sarjana.pdf
http://www.pewarta-indonesia.com/inspirasi/opini/11239-negeri-dinasti-politikpraktis.pdf