REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM LIRIK LAGU

REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM LIRIK LAGU DANGDUT
(Analisis Wacana Kritis terhadap Lirik Lagu Dangdut yang Diciptakan oleh LakiLaki)
Laras Shinta Amelia
Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Brawijaya

Abstract
In Indonesia, dangdut music is also present to provide entertainment to the
public. However, the lyrics also contain a hidden message to marginalize the position of
women. This leads to the question’s research that is how the hidden meaning behind the
lyrics ofthe songthatwas created by men in relation with therepresentationof women
who want to be appeared. This research uses Sara Mills’s critical discourse analysis.
This research’s focus is the use of language (connection with ideology) was selected to
be displayed in the text and also see the dominant discourse intertextuality.
Through the analysis on 5 dangdut songs (Jamu Gendong, Simpanan, Darling,
Coblos Hatiku, and Digoyang Akang) included in the research criteria (created by man,
describe or tell the female figure), the researchers found a trend song that represents
women as not good women.
The overall results of research shows that women are still placed at a
disadvantage and low. In fact, until now the hegemony of men over women have been
pervasive in all aspects of life, including the song lyrics. Men will continue to maintain
their dominance by making the discourse about superiority and one of them in the form

of song lyrics to create the compliance of a society dominated so that they can maintain
their structure has been formed.
Keywords: Representation of Woman, Sara Mills, Dangdut’s Lyric, Male Superiority
Abstrak
Di Indonesia, musik dangdut juga hadir untuk memberikan hiburan kepada
masyarakat. Namun, dalam lirik lagu dangdut juga terdapat pesan tersembunyi untuk
meminggirkan posisi kaum perempuan. Hal ini mengantarkan pada rumusan masalah
yakni ingin membongkar makna apa yang tersembunyi di balik lirik lagu dangdut yang
diciptakan oleh laki-laki dalam kaitannya dengan representasi perempuan yang ingin
ditampilkan. Penelitian ini menggunakan metode analisis wacana kritis Sara Mills.
Fokus penelitian ini adalah penggunaan bahasa (kaitannya dengan ideologi) yang dipilih
untuk ditampilkan dalam teks serta melihat wacana dominan pula (intertekstual).
Melalui analisis pada 5 lagu dangdut (Jamu Gendong, Simpanan, Darling,
Coblos Aku, dan Digoyang Akang) yang masuk dalam kriteria penelitian (diciptakan
oleh laki-laki, menggambarkan atau menceritakan sosok perempuan), peneliti
menemukan adanya kecenderungan lirik lagu yang merepresentasikan sosok perempuan
sebagai perempuan tidak baik.

 


1

Hasil keseluruhan penelitian menunjukkan bahwa perempuan masih
ditempatkan pada posisi yang dirugikan dan rendah. Kenyataannya, hingga kini
hegemoni laki-laki atas perempuan telah merasuk dalam berbagai aspek kehidupan,
termasuk dalam lirik lagu. Laki-laki pun akan terus mempertahankan dominasinya
dengan membuat wacana mengenai superioritasnya dan salah satunya dalam bentuk
lirik lagu agar tercipta kepatuhan dari masyarakat yang didominasi sehingga mereka
tetap dapat menjaga struktur yang telah dibentuk.
Kata Kunci: Representasi Perempuan, Sara Mills, Lirik Lagu Dangdut, Superioritas
Laki-Laki
Pendahuluan
Di Indonesia, musik dangdut juga hadir untuk memberikan hiburan kepada
masyarakat. Namun, peneliti melihat bahwa dalam lirik lagu dangdut juga terdapat
pesan tersembunyi untuk meminggirkan posisi kaum perempuan. Kecenderungan lirik
lagu dangdut yang seringkali meminggirkan posisi perempuan juga tampak dari hasil
penelitian yang dilakukan oleh Anggriana (2012). Dalam hasil penelitian tersebut
diketahui bahwa di dalam kehidupan sosial ini terdapat ketimpangan dan
ketidaksetaraan gender yang lebih diterima oleh perempuan dan hal ini begitu
tergambarkan dalam media, termasuk dalam lirik lagu dangdut. Perempuan masih

menjadi pihak yang terpinggirkan dan tereksploitasi dalam budaya patriarki. Hal ini
dapat dilihat pada bagaimana perempuan masih menjadi objek kesenangan laki-laki dan
menjadi sosok yang lemah yang direpresentasikan dalam lirik lagu dangdut.
Lagu-lagu dangdut yang menggambarkan perempuan sebagai sosok yang
terkesan negatif tersebut, mayoritas diciptakan oleh laki-laki. Peneliti telah melakukan
penelitian awal terkait seberapa banyak lagu dangdut yang diciptakan laki-laki. Dari
sepuluh lagu 1 terpopuler tahun 2014, terdapat sepuluh lagu dangdut pula yang
diciptakan oleh laki-laki. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa dalam sebuah
masyarakat, sebuah mitos, sebuah stereotype, sebuah wacana hadir untuk kepentingan
suatu golongan yang kemudian golongan tersebut disebut sebagai golongan dominan.
Di Indonesia dengan budaya patriarkisnya, kaum laki-laki selalu memiliki keutamaan
dibandingkan kaum perempuan. “Patriarkisme adalah suatu pandangan yang
menempatkan kaum pria lebih berkuasa dibanding kaum wanita atau kekuasaan pria
atas wanita” (Bhasin dalam Bungin, 2008, h.38).
Patriarkisme terbentuk karena adanya kepentingan seluruh dunia untuk
menguasai seluruh aset di bawah kendali laki-laki. Di Indonesia juga menganut sistem
ini karena adanya kesamaan tujuan yaitu menguasai seluruh aset negara maupun dunia
(Sekar, 2008). Masalahnya, kondisi ketimpangan ini telah berlangsung lama di
Indonesia dan sudah menjadi common sense karena terus diproduksi dan dipelihara.
Jadi, kondisi patriarki di Indonesia adalah bagian dari dominasi laki-laki yang selama

ini dipelihara dan terus menerus diturunkan dan termanifestasikan dalam seluruh aspek
kehidupan (Herwanto, 2012).
Pemaparan sebelumnya berkaitan erat dengan teori strukturasi dari Giddens,
bahwa untuk mempertahankan dominasi yang merupakan cerminan dari ideologi
                                                            

1

Peneliti mengambil daftar lagu baru tahun 2014 yang ada di blog Dangdut Indonesia dengan memilih 10
lagu terpopuler (dangdutlengkap.blogspot.com).

 

2

patriarki, laki-laki merupakan pihak yang berkuasa untuk melakukan konstruksi wacana
yang terus diproduksi dan dipelihara dalam kehidupan sosial dan upaya tersebut disebut
dengan strukturasi (Giddens, 2003). Laki-laki sebagai kelompok dominan akan terus
mempertahankan dominasinya dengan membuat wacana mengenai superioritasnya,
menjaga struktur akan subordinasi perempuan dan salah satunya dalam bentuk lirik

lagu.
Pemaparan di atas mengarahkan peneliti untuk fokus melakukan penelitian pada
lirik lagu dangdut yang diciptakan laki-laki dengan tujuan melihat bahwa lirik lagu
masih digunakan sebagai salah satu upaya untuk memelihara kekuasaan laki-laki
dengan membentuk pemikiran masyarakat tentang sosok perempuan. Hal tersebut
adalah wujud dari praktik kekuasaan laki-laki karena kekuasaan dan struktur yang telah
dibangun tersebut harus selalu dipelihara. Maka dari itu, lirik lagu dangdut yang
mayoritas meminggirkan posisi perempuan adalah upaya mempertahankan kekuasaan
laki-laki lewat produksi wacana yang ditransfer melalui pengetahuan tersembunyi yaitu
lirik lagu.
Pemaparan di atas menjadi landasan peneliti pula untuk membongkar bagaimana
perempuan direpresentasikan dalam lirik lagu dangdut. Menurut Barker (2004),
pertanyaan besar dalam cultural studies yang berkaitan erat dengan penelitian ini adalah
bagaimana dunia ini dikonstruksi dan setelah itu direpresentasikan secara sosial kepada
dan oleh kita. Representasi berkaitan dengan bagaimana makna tekstual dibentuk karena
keduanya dibentuk, ditampilkan, digunakan dan dipahami oleh masyarakat dalam
konteks sosial tertentu.
Metode analisis wacana kritis Sara Mills dianggap tepat untuk menganalisis dan
melihat bagaimana posisi aktor dalam teks lirik lagu dangdut sehingga akan tampak
siapa pihak yang menjadi subjek (pencerita) dan yang menjadi objek (diceritakan)

(Mills, 2007). Mills menempatkan representasi sebagai bagian penting dari analisis
wacananya dan titik perhatiannya yaitu pada wacana feminisme, bagaimana perempuan
ditampilkan dalam teks (Eriyanto, 2006). Karena itu, Mills disebut menggunakan
perpekstif feminis. Titik perhatian dari perspektif wacana feminis adalah menunjukkan
bagaimana teks (lirik lagu dangdut) yang masih keliru atau tidak lengkap dalam
merepresentasikan sosok perempuan.
Dalam penelitian ini, peneliti mengambil lirik lagu dangdut yang diciptakan
laki-laki dari hit list (tangga lagu terpopuler) lagu dangdut yang dikompilasi oleh radio
Kota Fm pada bulan Agustus 2014. Alasan peneliti memilih radio ini yaitu, pertama,
Kota FM 88,1 Mhz merupakan satu-satunya stasiun radio dangdut yang memposisikan
diri sebagai radio dangdut yang berpusat di Surabaya. Kedua, top hit listnya selalu
diperbarui tiap minggunya bahkan dijadikan program khusus pula. Berdasarkan hasil
wawancara pra penelitian, kriteria yang menjadi top hit list (20 teratas) dalam radio ini
yaitu umum diputar pula pada radio lain, banyak di request untuk diputar oleh
pendengar, dinilai dari sisi kualitas musiknya pula yang bagus, dan juga
mempertimbangkan hit list radio lainnya. Ketiga, karena mempertimbangkan hit list
radio lain di daerah Surabaya dan beberapa radio lain di Jawa Timur, maka menjadikan
patokan bahwa lagu-lagu tersebut juga didengar oleh masyarakat khususnya daerah
Jawa Timur. Keempat, pemancar jangkaun radio yang luas yaitu Surabaya dan
sekitarnya, dapat di streaming (radio online) pula.

Alasan peneliti mengambil lagu dari top hit list karena peneliti melihat bahwa
semakin lagu tersebut populer, semakin sering diputar, semakin besar pula peluang lagu
tersebut untuk memberi efek atau mempengaruhi pikiran pendengarnya. Nantinya, data

 

3

yang ada di lapangan akan mengarahkan peneliti untuk menemukan beberapa lirik lagu
yang sesuai dengan kriteria penelitian.
Dengan populernya musik dangut di Jawa Timur 2 dan dipilihnya lagu yang
menjadi hit list, maka lirik lagu yang ada di dalamnya memiliki peluang untuk dapat
mengkonstruksi realitas mengenai sosok perempuan dalam pikiran penggemar ataupun
pendengarnya melalui pesan yang disampaikan dalam lirik lagunya. Apalagi didukung
dengan musik dangdut yang enak didengar, bisa untuk berjoget turut memainkan emosi
dalam rangkaian liriknya serta penyanyi dalam membawakan lagu-lagunya seakan
betul-betul mengalami kisah dalam lagu yang dibawakannya (Riyanto, 1992, h.1).
Pemaparan di atas pada akhirnya akan membuat pendengar dangdut lebih mudah
menerima pesan yang ada dalam lirik lagu tersebut, khususnya bagi pendengar
perempuan, tanpa proses penyaringan karena sifat lagu dangdut yang menghibur hingga

menjadikan pesan-pesan yang dibawa pada lagu tersebut menjadi sebuah hal yang biasa.
Dengan kata lain, hegemoni yang dilakukan kelompok penguasa pada akhirnya dapat
diterima kelompok yang didominasi dengan cara yang wajar dan seolah menjadi
common sense. Kelompok yang didominasi pada dasarnya telah dijajah pemikirannya
namun mereka tidak merasa dijajah (Gramsci dalam Eriyanto, 2006).
Seluruh pemaparan yang telah dijelaskan mendasari peneliti untuk meneliti
bagaimana makna yang tersembunyi di balik lirik lagu dangdut yang diciptakan oleh
laki-laki dalam kaitannya dengan representasi perempuan yang ingin ditampilkan.
Tinjauan Pustaka
Konstruksi Realitas Perempuan dalam Budaya Patriarki
Realitas tidak tercipta dengan sendirinya, tetapi terdapat sebuah pertarungan dari
kelompok tertentu yang berusaha memperebutkan makna (Eriyanto, 2006). Sesuai
dengan pemikiran Foucalt pula bahwa realitas sosial merupakan arena diskusif (aturan
makna) yang diperebutkan oleh berbagai kelompok sosial. “Diskursif adalah praktek
sosial dan kekuasaan yang berkaitan dengan produksi pengetahuan lewat konstruksi
makna” (Barker, 2000, h.81). Pertarungan dalam memperebutkan makna terjadi ketika
sebuah kelompok sosial maupun individu menguasai suatu diskursif sehingga mereka
dapat menguasai pemikiran masyarakat kepada aturan makna yang mengarahkan
kepada kepentingan kelompok mereka. Akhirnya, muncul kebenaran umum atau
universal truth yang dipercayai masyarakat karena aturan makna telah dibentuk oleh

pihak yang memiliki kuasa (Giddens, 2003).
Salah satu hasil dari konstruksi sosial yaitu gender. Gender adalah konstruksi
dan tatanan sosial mengenai berbagai perbedaan antara jenis kelamin yang mengatur
hubungan antara perempuan dan laki-laki atau suatu sifat yang telah ditetapkan secara
sosial maupun budaya (Eviota, 1992, h.7). Konstruksi realitas perempuan juga terbentuk
dari ideologi patriarki yang dianut oleh Indonesia. Menurut Capra (1998, h.16),
“Budaya atau sistem patriarki adalah budaya yang didasarkan atas sistem filsafat, sosial
dan politik dimana ‘pria’ - dengan kekuatan, tekanan langsung atau melalui ritual,
tradisi, hukum dan bahasa, adat kebiasaan, etiket, pembagian kerja - menentukan peran
                                                            
2

Di Indonesia, musik dangdut merupakan jenis musik yang disukai publik (Januari 2014-Skala Survei
Indonesia). Di Jawa Timur, musik dangdut semakin populer sekitar tahun 2000an hingga kini, dibuktikan
dengan grup musik lokal yang terus bermunculan dan hadirnya penyanyi dangdut yang mayoritas lahir
dari radio lokal Jawa Timur yang lagunya juga menjadi terkenal dalam skala nasional pula (didapatkan
dari beberapa artikel yang peneliti baca beserta hasil wawancara dengan pengelola radio Kota FM).

 


4

apa yang boleh dan tidak boleh dimainkan oleh perempuan dan perempuan dianggap
lebih rendah daripada pria”. Pendapat tersebut juga dipertegas oleh Beauvoir (dalam
Lie, 2005), “Dalam budaya patriarki, perempuan diposisikan sebagai individu nomor
dua dan laki-laki ditempatkan sebagai individu nomor satu. Perempuan hadir untuk
mengabdi kepada laki-laki. Perempuan tidak memiliki kekuatan tanpa laki-laki karena
jika dia menjauh dari laki-laki, maka eksistensinya tidak akan bermakna”.
Stereotype Perempuan dalam Masyarakat
Stereotype merupakan praktek representasi yang menggambarkan sesuatu yang
umumnya penuh dengan prasangka negatif dan memiliki sifat subjektif (Eriyanto, 2006,
h.128). Fakih memaparkan lebih rinci mengenai stereotype perempuan dalam
masyarakat sebagai berikut.
Stereotype merupakan suatu bentuk penindasan ideologi dan kultural, yakni
pemberian label yang memojokkan kaum perempuan sehingga berakibat kepada
posisi dan kondisi kaum perempuan. Misalnya saja, perempuan sebagai “ibu
rumah tangga” sangat merugikan mereka. Akibatnya jika mereka hendak aktif
dalam kegiatan yang dianggapnya sebagai bidang kegiatan laki-laki seperti
kegiatan politik, bisnis ataupun di pemerintahan, maka dianggap bertentangan
atau tidak sesuai dengan kodrat perempuan (Fakih, 2008, h.156).

Tubuh dan Seksualitas Perempuan
Kebudayaan Indonesia secara keseluruhan membangun citra tubuh dan
seksualitas sebagai wacana yang seharusnya sangat personal, yang tidak semestinya
dibuka atau dibicarakan di depan umum. Meskipun demikian, wacana seks dan
seksualitas selalu dapat melepaskan diri dari kungkungan itu dan menjadi berbagai
produk budaya, baik dalam apa yang disebut sebagai kebudayaan tinggi maupun
kebudayaan massa atau populer (Priyatna, 2006, h.291). Tubuh perempuan merupakan
bagian utama yang selalu menjadi perhatian dalam budaya patriarki. Seperti yang
diungkapkan Beauvoir dalam Priyatna berikut.
Perempuan adalah semata-mata objek laki-laki. Tubuh merupakan bagian dari
proyek untuk ‘menjadi perempuan’. Perempuan lebih dari bicara tentang
tubuhnya saja, melainkan juga mengandung makna bagaimana seseorang dengan
tubuh perempuan itu menggunakan, memaknai dan atau melakukan sesuatu
melalui tubuhnya serta terus menerus berhubungan dengan dunia melalui
tubuhnya dan sebaliknya. Artinya, ada interaksi antara tubuhnya dengan konteks
sosisal historis yang berhubungan dengannya (Beauvoir dalam Priyatna, 2006,
h.65).
Representasi dan identitas sebagai bagian dari kebudayaan
Kebudayaan menyangkut berbagai makna yang sama dalam suatu kelompok.
Makna tersebut diproduksi dan dipertukarkan dalam suatu kelompok masyarakat
melalui bahasa yang dapat dimaknai dan direpresentasikan. Dalam proses produksi
makna, reprentasi merupakan hal yang utama. Representasi menjadi hal yang penting
dalam menghubungkan makna dan bahasa dengan budaya. Representasi berarti
menyatukan sesuatu atau menggambarkan dunia yang penuh arti kepada orang lain
(Barker, 2004). Barker (2004, h.34) memaparkan, representasi berkaitan dengan
bagaimana makna tekstual dibentuk karena keduanya dibentuk, ditampilkan, digunakan
dan dipahami oleh masyarakat dalam konteks sosial tertentu dalam sebuah kebudayaan.

 

5

Dalam sebuah representasi yang dikonstruksi bukan hanya makna saja tetapi
juga identitas. Menurut Hall (1997, h.51), identitas adalah sebuah produksi yang
berlangsung secara terus menerus dan tidak pernah selesai dan bahwa identitas “always
constituted within, not outside, representation”. Oleh sebab itu, identitas memiliki
hubungan yang erat dengan representasi. Representasi melibatkan sistem simbol dalam
bentuk bahasa dan citra visual akan menghasilkan makna tertentu.
Representasi Perempuan dalam Teks (Lirik Lagu)
Representasi sendiri merujuk pada seseorang maupun sekelompok orang,
gagasan maupun pendapat tertentu ditampilkan dalam teks media. Jadi, persoalan utama
dalam representasi adalah bagaimana realitas atau objek tertentu ditampilkan dan
apakah objek tersebut sudah ditampilkan sebagaimana mestinya, artinya ditampilkan
apa adanya atau justru diburukkan (Eriyanto, 2006). Dalam penelitian ini, melihat
bagaimana perempuan ditampilkan dalam lirik lagu dan adanya dugaan bahwa
perempuan masih ditampilkan negatif. Hal tersebut dapat terlihat dari penggunaan
bahasa yang digunakan dalam lirik lagu. Sesuai yang dikatakan Eriyanto (2006, h 116),
sesuatu bisa ditampilkan sebagaimana mestinya atau tidak terjadi dengan menggunakan
bahasa.
Wacana tentang Perempuan dalam Feminisme
Ketimpangan dan ketidakadilan yang diterima perempuan pada akhirnya harus
diperjuangkan demi terciptanya kesamaan hak antaranya dengan laki-laki. Seperti yang
diungkapkan Fakih (2008, h.71) berikut, “Gerakan kaum feminis merupakan bentuk
perjuangan dalam rangka mengubah sistem dari struktur yang tidak adil menjadi sistem
dan struktur yang adil bagi perempuan maupun laki-laki.” Struktur yang tidak adil
tersebut terjadi karena pada dasarnya posisi perempuan masih tersubordinasi dibawah
laki-laki. Secara keseluruhan, feminisme merupakan gerakan yang berangkat dari
pandangan dan kesadaran bahwa kaum perempuan pada dasarnya masih ditindas dan
dieksploitasi, sehingga harus ada upaya untuk mengakhirinya (Fakih, 2008, h.71).
Teori Strukturasi dalam Wacana
Laki-laki akan secara aktif memproduksi dan mereproduksi konstruksi dalam
sistem sosial yang berlaku di masyarakat. Struktur yang dibentuk oleh agen laki-laki
inilah yang membuat laki-laki berkuasa dan perempuan akan selalu hidup dalam realitas
yang diciptakan laki-laki (Giddens, 2003). Sehingga kaitannya dengan penelitian ini
bahwa wacana superioritas laki-laki akan digunakan sebagai alat untuk terus menjaga
struktur yang telah dibangun.
Analisis Wacana Kritis Sara Mills
Eriyanto (2006, h.199) memaparkan, Mills menempatkan representasi sebagai
bagian penting dari analisis wacananya dan titik perhatiannya yaitu pada wacana
feminisme, bagaimana perempuan ditampilkan dalam teks. Karena itu, Mills disebut
menggunakan perpekstif feminis. Titik perhatian dari perspektif wacana feminis adalah
menunjukkan bagaimana teks yang masih keliru atau tidak lengkap dalam menampilkan
sosok perempuan. “Wanita cenderung ditampilkan dalam teks sebagai pihak yang salah,
marjinal dibandingkan dengan pihak laki-laki” (Eriyanto, 2006, h.199). Berikut
merupakan kerangka analisis wacana kritis Mills.

 

6

Tingkat
Posisi
Subjek-Objek

Posisi
Penulis-Pembaca

Yang Ingin Dilihat
Bagaimana peristiwa dilihat, dari kacamata siapa peristiwa
itu dilihat, siapa yang diposisikan sebagai pencerita
(subjek) dan siapa yang menjadi objek yang diceritakan.
Apakah masing-masing aktor dan kelompok sosial
mempunyai kesempatan untuk menampilkan dirinya
sendiri, gagasannya ditampilkan oleh kelompok/orang lain
Bagaimana posisi pembaca ditampilkan dalam teks.
Bagaimana pembaca memposisikan dirinya dalam teks
yang ditampilkan. Kepada kelompok manakah pembaca
mengidentifikasikan dirinya.
Sumber: Eriyanto, 2006, h.211

Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian ini merupakan
bentuk penelitian yang melibatkan peneliti secara aktif untuk mengumpulkan dan
menggunakan data-data empiris dengan berbagai cara dan metode (Denzin & Lincoln,
2003, h.4). Penelitian ini menggunakan pendekatan kritis dengan teknik analisis wacana
kritis Sara Mills. Objek penelitian dalam penelitian ini adalah lirik lagu dangdut, dengan
kriteria diciptakan oleh laki-laki, menggambarkan atau menceritakan sosok perempuan,
dan menjadi Hits List di Kota FM Surabaya pada bulan Agustus 2014.
Unit analisis dalam penelitian ini yaitu penggunaan bahasa yang dipilih untuk
ditampilkan dalam lirik lagu dangdut yang diciptakan oleh laki-laki yang terdiri dari
kata, kalimat, koherensi antar kalimat yang mencerminkan apa yang diteliti dalam
konteks dan wacana tertentu. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan
dengan mengumpulkan data primer (transkrip lirik lagu dangdut) dan data sekunder
(filolog atau ahli naskah).
Hasil dan Pembahasan
Posisi Subjek-Objek
Biarpun aku janda tapi ku masih bisa
Membuat abang tergoda hingga lupa dunia
Jangan takut, jangan ragu (Lagu Jamu Gendong)
Rangkaian kalimat di atas merupakan bentuk koherensi antar kalimat yang
saling berkaitan. Janda yang masih muda, diperkuat lagi dengan pernyataan ‘bisa atau
mampu’ yang lebih mengarah pada aktivitas fisik. Hal ini diperkuat lagi dengan
pernyataan selanjutnya yaitu ‘membuat abang tergoda hingga lupa dunia’. Koherensi
antar kalimat tersebut saling mendukung bahwa walaupun perempuan tersebut janda
namun dirinya masih berusia muda dan dirinya juga masih bisa membuat abang tergoda
bahkan hingga lupa dunia. Abang merupakan panggilan kakak laki-laki atau saudara
laki-laki yang lebih tua atau juga bisa kepada orang yang tidak dikenal atau mungkin
pula panggilan istri kepada suami (KBBI, 2014). Penggunaan kata sapaan Abang
banyak digunakan dalam mayoritas lirik lagu dangdut, selain sapaan Mas, dan biasanya
digunakan untuk menarik perhatian laki-laki karena dari hasil pengamatan, peneliti
melihat adanya kecenderungan lagu dangdut yang menggunakan panggilan Abang.

 

7

Dalam petikan lirik ‘membuat abang tergoda hingga lupa dunia’, semakin
memperkuat bahwa perempuan digambarkan sebagai sosok penggoda dan terus
menegaskan bahwa fisiknya masih berstamina tinggi untuk memberikan kepuasan
jasmaniah. Ardyanti (2014) 3 memaparkan.
Petikan membuat abang tergoda hingga lupa dunia menimbulkan arti bahwa
perempuan akan memberikan segala yang ia miliki untuk membahagiakan
pasangannya. Sedangkan perempuan dalam teks ini mendapat timbal balik
berupa kepuasan dalam hubungannya dengan lelaki yang lebih muda.
Aku butuh belaianmu
Aku butuh pelukanmu di setiap waktu
Aku butuh ciumanmu
Aku butuh dekapanmu di setiap waktu (Lirik Lagu Simpanan)
Bait di atas, sesungguhnya menggambarkan bahwa tidak ada yang salah jika
perempuan menginginkan ‘dipeluk, dicium, dibelai, didekap’. Namun jika dia meminta
kepada suami sahnya. Sedangkan dalam lagu ini, aktivitas jasmaniah tersebut ingin
didapatkan oleh perempuan yang statusnya masih kekasih, ditambah lagi dengan
statusnya sebagai perempuan simpanan, maka posisi perempuan akan semakin dinilai
rendah.
Selain itu, melalui penggunaan kata ‘butuh’ yang selalu ditekankan berulang kali
dengan diiringi kata penjelas berikutnya yang memiliki makna relasi (sangat dekat
hubungannya), yaitu belaian, pelukan, ciuman dan dekapan, perempuan digambarkan
sebagai sosok yang direndahkan sehingga akan merugikan perempuan (berkaitan
dengan status simpanannya pula). Perempuan seolah digambarkan kesepian sehingga
kata ‘butuh’ juga terus ditekankan. Kata butuh dalam KBBI berarti sangat perlu
menggunakan sesuatu. Jika dikaitkan dengan konteks lagu ini, maka perempuan seolah
digambarkan sangat perlu untuk mendapatkan segala aktivitas jasmaniah tersebut
bahkan disetiap waktu. Perempuan dengan statusnya sebagai simpanan digambarkan
begitu rendahan. Seakan-akan memang perempuan sangat tinggi hasrat seks serta sangat
penggoda dan artinya memang perempuan lah yang menjadi penyebab mengapa lakilaki mudah tergoda untuk memiliki simpanan.
Jangan biarkan cintaku tumbuh jamuran
sekarang juga aku butuh sentuhan (Lirik Lagu Darling)
Sentuhan dalam KBBI berarti hasil menyentuh, singgungan, senggolan. Artinya,
terdapat kontak fisik jika dilakukan aktivitas sentuh tersebut. Sehingga perempuan
seolah digambarkan rendah dengan hanya membutuhkan sentuhan fisik atau jasmaniah
dari kekasihnya. Selanjutnya, perempuan kembali menegaskan bahwa dia juga tidak
ingin diacuhkan karena hal tersebut terkait dengan perasaan cintanya. Dia tidak ingin
rasa cintanya menjadi jamuran. Jamuran merupakan makna konotatif yang berarti
keadaan yang menyebabkan suatu hal menjadi basi atau tidak enak (Ardyanti, 2014).
Namun di kalimat selanjutnya seolah menggambarkan perempuan menjadi rendah,
                                                            

3

Dini Ardyanti, S.Hum. merupakan ahli naskah atau filolog. Ahli naskah ini membantu untuk
memberikan penafsiran terhadap penggunaan bahasa yang digunakan dalam lirik lagu dangdut (berupa
personal interview).

 

8

dibuktikan dengan kalimat ‘butuh sentuhan’. Sentuhan ditegaskan pula oleh Ardyanti
(2014), di mana dalam hal ini bermakna konotatif, yaitu sesuatu yang lebih kepada
aktivitas fisik.
Selanjutnya, dalam kalimat ‘Sekarang juga aku butuh sentuhan’, kata ‘butuh’
dalam KBBI berarti sangat perlu menggunakan sesuatu. Jika dikaitkan dengan konteks
lagu ini, maka sekali lagi, perempuan selalu digambarkan sebagai sosok yang sangat
perlu untuk mendapatkan segala aktivitas jasmaniah atau fisik (sentuhan) dan berjanji
akan memberikan kepuasan terhadap laki-laki pula. Seperti yang diungkapkan Priyatna
(2006, h.80) berikut, “Dalam budaya patriarkal perempuan yaitu sebagai objek, tubuh
perempuan ‘dikonsumsi’ sebagai objek pandangan, objek sentuhan, objek seksual,
sebagai objek hasrat laki-laki, objek ideologi. Secara umum, perempuan dikonsumsi dan
dipersepsi sebagai objek, dan objek dalam arti harfiahnya adalah penerima tindakan atau
lakuan”.
Coblos aku, coblos sekuatmu
Coblos sesukamu, coblos semaumu (Lirik Lagu Coblos Hatiku)
Kata ‘coblos’ dalam bait reff memberikan pemaknaan berbeda. Pada awal sudah
dipaparkan bahwa coblos tersebut memang merupakan makna yang lain dari makna
utama. Namun dalam teks ini juga menimbulkan pengertian yang berbeda ketika
perempuan mengatakan ‘coblos aku, coblos sekuatmu’. Dari bait tersebut yang diminta
untuk dicoblos yaitu dikenakan kepada ‘aku’. Aku merupakan perempuan. Artinya
perempuan ingin ‘dicoblos’ oleh laki-laki tersebut, bahkan dia meminta untuk
melakukan aktivitas ‘mencoblos’ dengan sekuat tenaga. Jika dikaji lebih mendalam,
maka maknanya lebih mengarah pada hal yang berbau sensualitas karena melibatkan hal
fisik atau jasmaniah karena menggunakan pilihan kata ‘sekuat tenaga’.
Digoyang akang, mari digoyang
Goyang kiri, goyang kanan, ikuti irama
Ayo tancap yo goyang-goyang joss
Ayo tarik yo goyang-goyang joss
Merem melek angguk-anggukkan, mantep mantep akang (Lirik Lagu Digoyang
Akang)
Sesuai pula dengan judulnya, kata digoyang akang dan mantep-mantep akang
memperjelas untuk siapa lagu ini ditujukan yaitu untuk mengajak bergoyang laki-laki.
Selanjutnya kata ajakan juga nampak dari penggunaan kata ‘ayo’. Dalam hal ini,
perempuan semakin aktif menjadi subjek yang ‘mengajak’, namun tetap ‘mengajak’
pada aktivitas negatif.
Aktivitas negatif tersebut dibuktikan pula melalui penggunaan kata ‘tancap’ dan
‘tarik’. Secara denotatif, kata tancap dalam KBBI berarti menginjak pedal (gas) mobil
dengan sekencang-kencangnya. Secara konotatif dalam konteks teks ini, tancap berarti
berarti sang perempuan ingin mengajak laki-laki untuk berancang-ancang melakukan
goyangan (goyang kiri..goyang kanan) dengan sekencang-kencangnya dan hanyut
menikmati bersamanya.

 

9

Selanjutnya, kata ‘tarik’ secara denotatif dalam KBBI berarti menghela (supaya
dekat, maju, ke atas, ke luar, dsb). Namun, secara konotatif, artinya kata ‘tarik’ ini
merupakan lanjutan dari aktivitas ‘tancap’ sebelumnya, yaitu mengajak laki-laki untuk
semakin mendekat kepada perempuan setelah melakukan aktivitas bergoyang dengan
sekencang-kencangnya (Ardyanti, 2014). Bahkan, selanjutnya dipertegas lagi dengan
penggunaan kata merem melek yang diucapkan perempuan kepada sang laki-laki.
Posisi Penulis-Pembaca
Dalam kaitannya dengan memperhitungkan posi pembbaca, maka peneliti telah
melakukan intertekstual 4 terhadap beberapa fenomena yang membahas fenomena
serupa dengan teks lagu ini, yaitu mengenai sosok janda muda. Didapatkan hasil
pencarian kata kunci ‘janda muda’ (Google, 2014) pada google search, sebagai berikut.

Gambar 1: Screen capture kata kunci Janda Muda
Sumber: Google Search

Hasil pencarian kata kunci ‘janda muda’ di atas menunjukkan bahwa gambaran
janda muda seolah nampak buruk, dibuktikan dengan hasil penelusuran terbanyak, yaitu
menampilkan gambar janda muda yang beberapa tampak sensual (berpakaian mini
dengan menunjukkan bagian fisik dada atau paha) dan kisah-kisah serta akun media
sosial janda muda yang tampak binal pula. ‘Penelusuran terkait’ seperti yang
ditampilkan di atas, juga menampilkan hasil yang merendahkan status janda, terbukti
dari kata kunci janda muda murah dan harga janda muda.
                                                            
4

Interktekstual adalah kondisi tempat bergantungnya peristiwa komunikatif pada peristiwa sejenis yang
juga atau telah terjadi (Jorgensen & Phillips, 2007). Interktekstual digunakan untuk memahami sebuah
teks sebagai sisipan dari teks-teks lain.

 

10

Pemaparan di atas merupakan salah satu contoh hasil intertekstual dari lagu
Jamu Gendong, yang selanjutnya juga dilakukan pada teks lagu lainnya yang mana
menunjukkan kecenderungan hasil yang sama, yaitu pencipta lagu mencoba membentuk
suatu ‘kebenaran umum’. Kebenaran umum tersebut merupakan penyamaan identifikasi
yang sama atas sosok perempuan melalui penguatan teks yang ada dalam masyarakat.
Sehingga, pencipta lagu dan pembaca memiliki identifikasi yang sama atas sosok
perempuan yang mana masih berkonotasi negatif.
Sintesa: Perempuan Merupakan Objek yang Selalu Didekatkan dengan Tubuh
dan Seksualitasnya
Secara umum, hasil analisis keseluruhan teks menunjukkan bahwa perempuan
masih didekatkan dengan tubuh dan seksualitas yang dibawanya. Perempuan
digambarkan menjadi sosok yang aktif secara seksual padahal sosok perempuan yang
demikian dianggap tabu oleh masyarakat, bahwa perempuan harus menyimpan hasrat
seksualnya agar tidak dianggap sebagai perempuan ‘nakal’ atau ‘tidak baik’. Seperti
ungkapan Melliana (2006, h.136) berikut, “Pengenalan perempuan terhadap dirinya
sendiri sebagai makhluk seksual dibatasi dalam banyak cara terkait dengan pengaruh
budaya. Salah satunya adalah jika kebutuhan seksnya muncul lebih dulu, dia harus
menahannya, jika tidak, maka dia akan dianggap ‘nakal’”.
Namun sebaliknya, dalam mayoritas teks lagu yang telah dianalisis, selalu
ditonjolkan perempuan yang sangat tinggi hasrat seksnya sehingga dapat dikatakan dia
telah melanggar batas tabu dan dianggap sebagai perempuan tidak baik. Apalagi
perempuan dalam mayoritas teks tersebut masih belum menyandang status istri atau
masih dalam menjalin hubungan asmara (pacaran). Misalnya terdapat dalam teks
Darling berikut ‘Sekarang juga aku butuh sentuhan’. Atau dalam teks Simpanan berikut
‘Aku butuh belaianmu, pelukanmu, ciumanmu, dekapanmu’.
Dalam teks lagu tersebut, gambaran perempuan juga mulai berubah karena
dalam konteks budaya patriarki, perempuan yang dianggap ideal adalah yang penurut
(pasif). Dikutip dari Barker (2004, h.265) yang berpedoman pada pembahasan
representasi perempuan dalam media dan konstruksi gender yang mengiringinya, bahwa
yang termasuk perempuan ideal adalah perempuan yang pasif. Artinya, gambaran
perempuan dalam teks lirik ini memang telah mengalami perubahan menjadi sosok yang
aktif. Namun, keaktifan perempuan merupakan keaktifan yang negatif. Keaktifan
tersebut mengarahkan pembaca untuk menilai perempuan menjadi sosok yang tidak
baik. Salah satu diantaranya adalah sosok perempuan yang digambarkan begitu aktif
untuk menawarkan seksualitas tubuhnya agar dinikmati oleh laki-laki. Misalnya saja
terdapat dalam teks lirik lagu Coblos Hatiku berikut ‘Coblos aku, coblos sekuatmu,
sesukamu, semaumu’.
Perempuan pada masa sekarang telah mengalami perubahan menjadi lebih aktif,
melihat bahwa gambaran perempuan dahulu yang penurut. Hal tersebut dipaparkan
Murniati (2004, h.34), bahwa gambaran perempuan Jawa khususnya, lebih pada sosok

 

11

penurut, lemah lembut, tidak banyak bertingkah atau melawan suami. Namun tetap saja,
perubahan keaktifan perempuan pada masa kini masih dalam dominasi laki-laki.
Bahkan dalam gambaran lirik lagu di atas, keaktifan perempuan bersifat negatif.
Muniarti (2004, H.59) juga menyimpukan, bahwa aktivitas aktif yang dimainkan oleh
kaum perempuan tetap dalam dominasi kaum laki-laki (di bawah laki-laki), sehingga
pada dasarnya posisi perempuan tidak berubah”.
Perempuan selalu dihubungkan dengan tubuh dan sensualitas yang dibawanya.
Seperti yang diungkapkan Beauvoir (dalam Priyatna, 2006, h.65) berikut.
Perempuan adalah semata-mata objek laki-laki. Tubuh merupakan bagian dari
proyek untuk ‘menjadi perempuan’. Perempuan lebih dari bicara tentang
tubuhnya saja, melainkan juga mengandung makna bagaimana seseorang dengan
tubuh perempuan itu menggunakan, memaknai dan atau melakukan sesuatu
melalui tubuhnya serta terus menerus berhubungan dengan dunia melalui
tubuhnya dan sebaliknya. Artinya, ada interaksi antara tubuhnya dengan konteks
sosisal historis yang berhubungan dengannya.
Pendidikan semenjak kecil yang menjadi salah satu penyebab perempuan untuk
menjadi sosok perempuan dewasa yang sesuai dengan ‘kodratnya’. Murniati (2004,
h.96) menegaskan, “Melalui pendidikan keluarga, anak laki-laki dididik untuk agresif,
pergi ke luar, bermain di luar rumah. Sementara anak perempuan dididik untuk
memasak, betah dirumah, mengerjakan pekerjaan rumah, melayani ayah dan saudara
laki-laki. Pendidikan ini akan berakibat laki-laki dilayani dan perempuan melayani”.
Konsep dilayani dan melayani tersebut yang menjadi hasil analisis keseluruhan
teks yang telah peneliti lakukan, bahwa laki-laki dilayani dan perempuan yang
melayani. Dengan kata lain, perempuan digambarkan sebagai objek yang tugasnya
memberikan pelayanan dan kepuasan kepada laki-laki. Misalnya dalam teks lagu Jamu
Gendong berikut ‘Biarpun aku janda tapi ku masih muda dan bisa membuat abang
tergoda hingga lupa dunia’. Dalam teks yang lain pun juga nampak kecenderungan hasil
yang sama, misalnya dalam lirik Coblos Hatiku berikut ‘Coblos aku, sekuatmu,
sesukamu, semaumu’.
Konsep dilayani melayani pada dasarnya dilakukan ketika perempuan dan lakilaki menjalin sebuah hubungan. Menjalin hubungan adalah sesuatu yang selalu ingin
dicapai oleh perempuan dalam mayoritas teks lirik lagu dangdut yang telah dianalisis.
Beauvoir (dalam Lie, 2005, h.31) memaparkan, sejak kecil perempuan sudah diberitahu
oleh orang tua dan gurunya di sekolah bahwa dia akan mendapatkan kemuliaan hidup
hanya dalam pernikahan. Lie juga menegaskan (2005, h.32), “Didalam budaya patriarki,
untuk menjadi ‘perempuan’, setiap anak perempuan harus melepaskan identitasnya
sebagai subjek. Ketika beranjak dewasa, anak perempuan justru disibukkan dengan
‘kursus-kursus’ untuk menjadi sosok perempuan ideal, seperti cara berjalan, duduk,
makan dan cara memikat lelaki, serta menjadi ibu rumah tangga yang baik”.
Perempuan dipandang masih melalui keindahan tubuhnya sebagai daya tarik
tersendiri. Murniati (2004, h. 183) memaparkan, “Perempuan selalu dipotensikan

 

12

sebagai sosok ‘daya tarik’, sebab perempuan dituntut dan disorot masyarakat agar
memiliki atribut terpuji melalui keindahan. Atas dasar keindahan itulah, perempuan
dituntut untuk sadar bahwa keindahan tubuhnya merupakan daya tarik utamanya dan
merupakan pembedanya dengan laki-laki”. Artinya, perempuan dikondisikan untuk
selalu tampil indah atau cantik. Hal tersebut merupakan mitos bahwa perempuan adalah
identik dengan keindahan. Mitos adalah bagian dari tuturan, dikendalikan secara sosial
sebab mitos dapat membalik sesuatu yang kultural atau historis menjadi alamiah
(Barthes dalam Priyatna, 2006, h.45).
Mitos bahwa perempuan merupakan sosok yang diidentikkan dengan tubuh yang
indah akan berdampak pada pemahaman bahwa tubuhnya hadir untuk menjadi objek
yang dinikmati secara visual oleh laki-laki. Seperti yang diungkapkan Murniati (2004,
h.183) bahwa, mitos perempuan yang identik dengan keindahan disosialisasikan dan
dikembangkan sehingga manusia sudah dikuasai oleh pemahaman bahwa: laki-laki
melihat perempuan dan perempuan harus menyadari bahwa ia menjadi objek yang
dilihat (laki-laki).
Dalam budaya patriarki, perempuan masih digambarkan sebagai objek saja.
Seperti yang diungkapkan Priyatna (2006, h.80) berikut, “Dalam budaya patriarkal
perempuan yaitu sebagai objek, tubuh perempuan ‘dikonsumsi’ sebagai objek
pandangan, objek sentuhan, objek seksual, sebagai objek hasrat laki-laki, objek
ideologi. Secara umum, perempuan dikonsumsi dan dipersepsi sebagai objek, dan objek
dalam arti harfiahnya adalah penerima tindakan atau lakuan”.
Pemaparan diatas memberikan pengertian bahwa perempuan tidak lebih dari
pemuas laki-laki dan menjadi pasif dengan memberikan tubuhnya demi kebahagiaan
laki-laki. Hal ini pula yang ditakutkan jika teks semacam ini terus diproduksi maka
peran-peran yang demikian akan melanggeng menjadi sesuatu yang wajar bagi
perempuan. Melliana (2006, h.146) memparkan lebih rinci sebagai berikut.
Walaupun zaman telah berubah, dimana perempuan mengalami perkembangan
yang cukup pesat pada masa sekarang, perempuan masih cenderung diletakkan
sebagai pemuas nafsu seksual laki-laki. Terlebih kita hidup dalam budaya
masyarakat yang patriarkis, dimana apapun yang dilakukan laki-laki terhadap
perempuan terlanjur bersifat hegemonik, perempuan menerima secara sadar dan
tanpa merasa dipaksa.
Pada akhirnya, ketimpangan yang didapat perempuan harus ditanggapi dengan
cepat, bahwa dibutuhkan upaya untuk menyeimbangkan keadaan yang telah terjadi
dengan semangat feminisme.

Simpulan
1. Perempuan direpresentasikan sebagai objek berfokus pada eksplorasi tubuh dan
seksualitas yang dibawanya, yaitu sebagai objek sentuhan, objek pandangan, objek

 

13

seksual atau dengan kata lain perempuan adalah objek untuk memuaskan hasrat
laki-laki. Dengan demikian, perempuan masih cenderung diposisikan sebagai
pemuas nafsu seksual laki-laki dan posisinya adalah yang melayani. Hal ini juga
ditunjang dengan pencipta lagu yang merupakan laki-laki sehingga kehadiran
perempuan dalam teks dapat ditampilkan sesuai dengan bagaimana pemaknaan
komunikator, termasuk bagaimana nilai-nilai masyarakat yang juga satu tempat
(konteks dan latar belakang) di mana komunikator berada, terhadap perempuan.
2. Pencipta lagu mampu memperkuat pelabelan negatif atas sosok perempuan dengan
memanfaatkan wacana dominan dalam masyarakat. Mereka berupaya membangun
kesadaran pembaca atas sosok perempuan yang diletakkan pada posisi yang negatif,
menjadi sesuatu yang ‘benar dan wajar’ dalam hubungan kekuasaan. Dengan
demikian, antara pencipta lagu, pembaca teks atau masyarakat pada umumnya
memiliki identifikasi yang sama atas sosok perempuan (kebenaran umum).
3. Dalam keseluruhan teks yang dianalisis, perempuan digambarkan keluar dari
‘aturan’ budaya patriarki yang mengharuskannya menjadi perempuan yang pasif.
Artinya, gambaran perempuan dalam keseluruhan teks lirik memang telah
mengalami perubahan menjadi sosok yang aktif. Namun, representasi keaktifan
perempuan merupakan keaktifan yang berkonotasi negatif.
4. Kenyataannya, hingga kini hegemoni laki-laki atas perempuan telah merasuk dalam
berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam lirik lagu.Laki-laki pun akan terus
mempertahankan dominasinya dengan membuat wacana mengenai superioritasnya
dan salah satunya dalam bentuk lirik lagu agar tercipta kepatuhan dari masyarakat
yang didominasi sehingga mereka tetap dapat menjaga struktur yang telah dibentuk.
Saran
Peneliti menyarankan agar khalayak menjadi cerdas dan kritis terhadap teks
yang hadir dalam kehidupan, khususnya lirik lagu dangdut. Jika tidak dikritisi secara
mendalam, ditakutkan pesan yang dibawa akan dianggap natural, wajar, dan begitulah
adanya. Khususnya juga untuk perempuan di Indonesia, termasuk juga dalam hal ini
penyanyi dangdut yang juga merupakan seorang perempuan, agar tidak menerima
begitu saja teks media dan wacana yang ada dibaliknya. Karena jika tidak demikian,
sama saja mereka menyepakati bahwa kaumnya diidentikkan sebagai sosok yang
rendah, tidak baik dan dikontrol laki-laki.

Daftar Pustaka
Anggriana G. (2012). Representasi perempuan dalam lirik lagu kontemporer. Diakses
pada 6 Mei 2014 dari http://eprints.undip.ac.id/36 815/1/SUMMARY_ Gina_A
_D2C607018.pdf.
Barker, C. (2004). Cultural studies teori & praktik. (Nurhadi dan A. S. Millah,
Terjemahan). Yogyakarta: Kreasi Wacana.

 

14

Bungin, B. (2008). Konstruksi sosial media massa. Jakarta: Prenada Media.
Capra, F. (1998). Titik balik peradaban: Sains, masyarakat dan kebangkitan
kebudayaan. (M. Thoyibi, Terjemahan). Yogyakarta: Bentang Budaya.
Denzin, N.K. & Lincoln, Y.S. (2009). Handbook of qualitative research. (B. S. Fata,
Abi, dan J. Rinaldi , Terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Eriyanto. (2006). Analisis wacana: Pengantar teks media. Yogyakarta: Lkis Pelangi
Aksara.
Eviota, E. (1992). The political economy of gender. London: Zed Books Ltd.
Fakih, M. (2008). Analisis gender dan transformasi sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Giddens, A. (2003). The constitution of theory: Teori strukturasi untuk analisis sosial.
(A. L. Sujono, Terjemahan). Pasuruan: Pedati.
Google. (2014). Google search. Diakses dari https://www.google.co.id/search.
Hall, S. (1997). Cultural identity and diaspora: Cultural representations and signifiying
practices. London: Sage Publication Ltd.
Herwanto, A.M. (2012). Diskriminasi gender dan hegemoni patriarkhi. Diakses pada 2
Juli
2014
dari
http://herwanto-adfisip.web.unair.ac.id/artikel_
detail68475UmumDiskriminasi%20Gender%20dan%20Hegemoni%20patriark
hi.html.
KBBI. (2014). KBBI online. Diakses dari http://kbbi.web.id/.
Lie, S. (2005). Pembebasan tubuh perempuan: Gugatan etis simone de beauvior
terhadap budaya patriarkat. (K. Supelli, Terjemahan). Jakarta: Grasindo.
Melliana, A.S. (2006). Menjelajah tubuh: Perempuan dan mitos kecantikan.
Yogyakarta: Lkis Pelangi Aksara.
Mills, S. (2007). Diskursus: Sebuah piranti analisis dalam kajian ilmu sosial. (A. N.
Zaman, Terjemahan). Jakarta:Penerbit Qalam.
Murniati, A.N.P. (2004). Getar gender buku kedua. Magelang: Indonesia Tera.
Priyatna, A.P. (2006). Kajian budaya feminis: Tubuh, sastra dan budaya pop.
Yogyakarta: Jalasutra.
Riyanto. (1992). Pasar yang menentukan: Sehari seni orkes melayu jawa. Jakarta:
Prenada Group.
Sekar, A. (2008). Ideologi patriarki dan dampaknya dalam kehidupan perempuan di
kalimantan
tengah.
Diakses
pada
28
September
2014
dari
http://agnessekar.wordpress.com/2008/12/20/ideologi-patriakhidampakn
yadalamkehidupan-perempuan-di-kalimantan-tengah/.

 

15