Gambaran Kejadian Sindrom Cushing pada Anak di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUPHAM) Medan Tahun 2012 hingga 2015

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Metabolisme Hormon Glukokortikoid
Metabolisme kortisol terjadi di hati, yang merupakan tempat katabolisme
glukokortikoid, hormon kortisol direduksi menjadi dihidrokortisol kemudian menjadi
tetrahidrokortisol, yang dikonjugasikan dengan asam glukoronat. Glokorinil
transferase merupakan enzim yang bertanggung jawab pada konversi ini, juga
mengkatalisis pembentukan glukoronida dari bilirubin. Hati dan jaringan lain
mengandung enzim 11β-hidroksikortikosteroid dehidrogenase. Terdapat paling
sedikit dua bentuk dari enzim ini. Jenis pertama mengkatalisis perubahan kortisol
menjadi kortison dan reaksi sebaliknya, fungsi primer tersebut sebagai enzim
reduktase. Tipe kedua mengkatalisis hampir secara eksklusif konversi satu arah
kortisol menjadi kortison (Barret, Barman, Boitano, dan Brooks, 2012).
Kortison adalah glukokortikoid aktif karena kortison mengkonversikannya
menjadi kortisol, dan telah populer karena penggunaannya telah banyak digunakan
pada praktik dokter sehari-hari. Kortison tidak disekresikan dalam jumlah banyak
pada kelenjar adrenal. Kortison disintesis di hati dan memasuki sirkulasi, kemudiaan
kortison dengan cepat di reduksi dan dikonjugasikan untuk


membentuk

tetrahidrokortison glukoronida yang tidak berikatan dengan protein, sehingga cepat di
ekskresikan melalui urin (Barret, Barman, Boitano, dan Brooks, 2012)
Corticotropin Releasing Hormon (CRH) merupakan regulator hipotalamus utama

dalam pelepasan ACTH (Adrenocorticotropic releasing hormone). CRH terutama
disintesis di parvoselular hipotalamus tetapi juga disintesis di dalam neuron
magnoseluler dari nukleus paraventrikuler (NPV). Neuron CRH dari NPV menerima
jaras aferen adrenergik dari nukleus traktus solitarius, locus coeruleus, dan medula

6

ventrolateral. CRH disekresikan kedalam sirkulasi portal hipofisis dan mengikat diri
pada ikatan reseptor CRH tipe 1 (CRH-R1) di hipofisis anterior untuk menstimulasi
transkripsi pro-opiomelanocortin (POMC) melalui proses yang melibatkan aktivasi
adenilatsiklase (Bronstein, 2011).
Adapun fungsi CRH adalah menstimulasi transkripsi gen POMC secara invivo
dan invitro sebagai respon dari stres dan adrenalektomi. ACTH yang disintesis

didalam hipofisis anterior sebagai bagian besar dari prekursor POMC241-aminoacid
adalah hormon utama dalam memproses biosintesis dan sekresi glukokortikoid
adrenal. Angiotensin-II, aktivin, inhibin, dan sitokin (TNF-β dan leptin) bersinergi
dengan menghambat ACTH dari korteks adrenal (Bronstein, 2011).
Aksis hipotalamus-hipofisis adrenal juga diatur oleh irama biologis yang
dihasilkan oleh interaksi kompleks genetik dari pemicu sirkardian endogen dan
lingkungan. ACTH disekresi secara pulsatil dengan irama sirkardian yang
menyebabkan kadar tertinggi saat bangun pagi dan menurun sepanjang hari, sehingga
mencapai titik terendah pada saat malam hari. Pengatur Aksis HPA lainnya adalah
stres, merupakan komponen utama dari CRH dan sistem autonom locus coeruleusnorepinephrine yang merupakan pemicu bagi aksis tersebut (Bronstein, 2011).

Stres yang menginduksi aktivitas aksis HPA dihambat oleh umpan balik negatif
dari glukokortikoid. Glukokortikoid dan katekolamin mempengaruhi fungsi utama
dari sel penyaji antigen, proliferasi dan migrasi leukosit, sekresi sitokin dan antibodi,
dan melakukan seleksi dari T helper-1 terhadap T helper-2. Sitokin proinflamatori
khususnya interleukin-1, interleukin-6, tumor necrosis factor- β, dan Leukemia
inhibitory factor , juga meningkatkan sekresi ACTH secara langsung atau juga dengan

menambah efek dari CRF (Bronstein, 2011).
Glukokortikoid melakukan umpan balik regulasi imunitas oleh beberapa

mekanisme, seperti hambatan aktivasi leukosit, IL-1, IL-2, interferon, TNF, dan
prostaglandin (Bronstein, 2011).

7

Aspek penting lainnya dari regulasi aksis HPA adalah kontrol umpan balik
negatif yang dilakukan oleh glukokortikoid yang menghambat ekspresi basal dari
CRH dan sintesis dan sekresi AVP mRNA di hipotalamus dan juga menghambat
transkripsi gen POMC di hipofisis anterior. Efek glukokortikoid diperoleh dengan
mengaktivasi

reseptor sitosol yang termasuk kelompok reseptor nuklear

kortikosteroid tipe 1 atau mineralokortikoid dan glukokortikoid tipe 2. Beberapa
mekanisme lainnya paling banyak melibatkan regulasi secara transkripsi ekspresi
gen (Bronstein, 2011).
Salah satu faktor terpenting pengaturan akses dari glukokortikoid endogen ke
reseptornya adalah melalui metabolisme lokal dari steroid didalam sel target oleh
enzim 11β-hidroksikortikosteroid dehidrogenase (11 β-HSD), sebuah fenomena yang
kadang-kadang ditentukan oleh metabolisme prereseptor. Kortisol/kortikosteron

bertanggung jawab untuk memelihara homeostasis garam dan air, kontrol tekanan
darah, dan mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, lemak, dan tulang.
Kortisol juga pengatur utama dari sistem pertahanan tubuh dan proses inflamasi yang
memerlukan banyak proses yang berkaitan dengan pertahanan host. Disisi lain terapi
glukokortikoid jangka panjang dan lama menimbulkan kerusakan besar bagi tubuh
(Bronstein, 2011).
Aktivasi aksis HPA oleh stres merupakan regulasi penting pada kebanyakan
mamalia untuk mempertahankan homeostasis dari beberapa jenis ancaman terhadap
dirinya. Pada keadaan stres, aksis HPA dikendalikan oleh CRH, pensekresi utama
ACTH, juga AVP dan oksitosin tetapi

merupakan pensekresi lemah ACTH.

Neuropeptida tersebut menginduksi pelepasan ACTH dari hipofisis anterior, sehingga
memicu pelepasan glukokortikoid dari kelenjar adrenal (Bronstein, 2011).

8

Gambar 2.1. Biosintesis hormon kortisol (Barret, 2012)


9

2.2. Fisiologi Hormon Glukokortikoid
2.2.1. Efek hormon glukokortikoid pada metabolisme
2.2.1.1. Perangsangan Glukoneogenesis
Sejauh ini metababolisme yang paling terkenal dari kortisol dan
glukokortikoid lainnya terhadap metabolisme adalah kemampuan kedua hormon ini
untuk merangsang proses glukoneogenesis (pembentukan karbohidrat oleh protein
dan beberapa zat lain) oleh hati, meningkatkan kecepatan glukoneogenesis sebesar 6
sampai 10 kali lipat. Keadaan ini terutama disebabkan oleh dua efek kortisol (Guyton
dan Hall, 2006).
Pertama kortisol meningkatkan semua enzim yang dibutuhkan untuk
mengubah asam-asam amino menjadi glukosa dalam sel-sel hati. Hal ini dihasilkan
dari efek glukokortikoid untuk mengaktifkan transkripsi DNA didalam inti sel hati
dalam cara yang sama dengan fungsi aldosteron didalam sel-sel tubulus ginjal,
disertai dengan pembentukan RNA messenger yang selanjutnya dapat dipakai untuk
menyusun enzim-enzim yang dibutuhkan dalam proses glukoneogenesis (Guyton dan
Hall, 2006).
Kedua kortisol menyebabkan pengangkutan asam-asam amino dari jaringan
ekstrahepatik, terutama dari otot akibatnya, semakin banyak asam amino tersedia

dalam plasma untuk masuk proses glukoneogenesis dalam hati dan oleh karena itu
akan

meningkatkan

pembentukan

glukosa.

Salah

satu

efek

peningkatan

glukoneogenesis adalah peningkatan jumlah penyimpanan glikogen dalam sel-sel hati
(Guyton dan Hall, 2006).


10

2.2.1.2. Penurunan pemakaian glukosa oleh sel
Kortisol juga menyebabkan penurunan kecepatan pemakaian glukosa oleh
sel-sel tubuh. Walaupun penyebab penurunan ini tidak diketahui, sebagian ahli
fisiologi percaya bahwa pada suatu tempat yang terletak diantara tempat masuknya
glukosa kedalam sel dan tempat pecahnya kortisol yang terakhir, secara langsung
memperlambat kecepatan pemakaian glukosa. Dugaan mekanisme ini didasari pada
pengamatan yang menunjukkan bahwa glukokortikoid menekan proses oksidasi
nikotinamid-adenin dinukleotida (NADH) untuk membentuk NAD+ . Oleh karena
NADH harus dioksidasi agar menimbulkan glikolisis, efek ini dapat berperan dalam
mengurangi pemakaian glukosa oleh sel (Guyton dan Hall, 2006).
2.2.1.3. Efek kortisol terhadap metabolisme protein
Salah satu efek utama dari kortisol terhadap sistem metabolisme tubuh adalah
kemampuannya untuk mengurangi penyimpanan protein diseluruh tubuh kecuali
protein dalam hati. Keadaan ini disebabkan oleh berkurangnya sintesis protein dan
meningkatnya katabolisme protein yang sudah ada didalam sel. Penelitian terakhir
yng diisolasi bahwa kortisol menekan efek pengangkutan asam-asam amino ke sel-sel
otot dan mungkin juga ke sel-sel ekstrahepatik lainnya (Guyton dan Hall, 2006).
Berkurangnya asam amino yang diangkut ke sel-sel ekstrahepatik akan

mengurangi konsentrasi asam amino intraseluler dan akibatnya akan mengurangi
sintesis protein. Namun proses katabolisme protein yang terjadi didalam sel terus
melepaskan asam amino dari protein yang sudah ada, dan asam amino ini akan
berdifusi keluar dari sel-sel tubuh untuk meningkatkan konsentrasi asam amino
dalam plasma (Guyton dan Hall, 2006).
Konsentrasi asam amino yang meningkat dalam plasma, ditambah juga efek
kortisol yang meningkatkan pengangkutan asam amino ke dalam sel-sel hati, dapat
juga berperan dalam meningkatkan pemakaian asam amino oleh hati yang

11

menyebabkan timbulnya pengaruh seperti (1) peningkatan kecepatan deaminasi asam
amino oleh hati, (2) peningkatan sintesis asam amino oleh hati, (3) peningkatan
pembentukan protein plasma oleh hati, dan (4) peningkatan perubahan asam amino
menjadi glukosa-yaitu meningkatkan glukoneogenesis (Guyton dan Hall, 2006).
2.2.1.4. Efek pada metabolisme lemak.
Pada kelenjar adiposa terlihat efek yang dominan berupa peningkatan
lipolisis dengan melepaskan gliserol dan asam lemak bebas. Efek tersebut merupakan
stimulasi lipolisis secara langsung oleh glukokortikoid, tetapi hal ini juga diakibatkan
oleh penurunanan ambilan glukosa oleh efek glukokortikoid yang bertindak sebagai

hormon lipolisis (Greenspan dan Gardner, 2001).
Walaupun hormon glukokortikoid bertindak sebagai hormon lipolisis, tetapi
dapat bertindak juga sebagai deposisi lemak yang merupakan manifestasi klasik
sebagai kelebihan hormon glukokortikoid. Kejadian yang berlawanan ini mungkin
disebabkan oleh peningkatan nafsu makan yang disebabkan oleh kelebihan kadar
steroid dan juga oleh efek lipogenik akibat hiperinsulinemia yang terjadi pada
keadaan tersebut (Guyton dan Hall, 2006).
2.2.1.5. Peran adaptasi terhadap stres
Kortisol berperan kunci dalam adaptasi terhadap stres. Segala jenis stres
merupaksan rangsangan utama bagi peningkatan sekresi kortisol. Meskipun peran
persis kortisol dalam adaptasi stres belum diketahui namun penjelasan spekulatif dan
masuk akal adalah sebagai berikut. Manusia primitif atau hewan yang terluka atau
menghadapi situasi yang mengancam nyawa harus bertahan tanpa makan.Pergeseran
dari penyimpanan protein dan lemak ke peningkatan simpanan karbohidrat dan
ketersediaan glukosa darah yang ditimbulkan oleh kortisol akan membantu
melindungi otak dari malnutrisi selama periode puasa terpaksa tersebut. Juga asamasam amino yang dibebaskan oleh peguraian protein akan menjadi pasokan yang siap

12

digunakan untuk memperbaiki jaringan jika terjadi cedera fisik. Karena itu terjadi

peningkatan cadangan glukosa, asam amino, dan asam lemak yang dapat digunakan
sesuai kebutuhan (Sherwood, 2009)
2.2.1.6. Efek glukokortikoid sebagai anti-inflamasi dan anti-alergi
Glukokortikoid menghambat respon inflamasi pada jaringan yang rusak.
Glukokortikoid juga menekan terjadinya manifestasi alergi karena pelepasan histamin
dari sel mast dan basofil. Kedua efek tersebut mememerlukan kadar glukokortikoid
disirkulasi yang tinggi. Pengurangan inflamasi lokal terjadi akibat penurunan
pelepasan enzim fosfolipase A2 oleh hormon tersebut. Hal ini mengakibatkan
pengurangan pelepasan asam arakidonat dari jaringan fosfolipid dan sebagai
konsekuensinya adalah penurunan pembentukan leukosit, tromboksan, prostaglandin,
dan prostasiklin (Barret, Barman, Boitano, dan Brooks, 2012).
2.2.2. Pengaturan sekresi glukokortikoid
Sekresi kortisol oleh korteks adrenal diatur oleh sistem umpan balik negatif
yang melibatkan hipotalamus dan hipofisis anterior. ACTH dari hipofisis anterior
merangsang korteks aadrenal untuk mengeluarkan kortisol. ACTH berasal dari
sebuah molekul prekursor besar, propriomelanokortin, yang diproduksi oleh
reticulum endoplasma sel-sel penghasil ACTH hipofisis anterior. Sebelum sekresi,
prekursor besar ini dipotong menjadi ACTH dan dan beberapa peptida lain yang aktif
secara biologis, yaitu, melanocyte-stimulating hormone (MSH) dan suatu bahan
mirip-morfin, β-endorfin (Sherwood, 2009).

Karena bersifat tropik bagi zona fasikulata dan zona retikularis, maka ACTH
merangsang pertumbuhan dan sekresi kedua lapisan dalam korteks ini. Jika ACTH
tidak terdapat dalam jumlah memadai maka lapisan-lapisan ini akan menciut dan
sekresi kortisol merosot drastis. Sel penghasil ACTH selanjutnya, hanya
mengeluarkan produknya atas perintah corticotropin-releasing hormone (CRH) dari
hipotalamus. Lengkung kontrol umpan balik menjadi lengkap oleh efek inhibisi

13

kortisol pada sekresi CRH dan ACTH masing-masing oleh hipotalamus dan hipofisis
anterior (Sherwood, 2009).
Sistem umpan balik negatif untuk kortisol mempertahankan kadar sekresi
hormon ini relatif konstan disekitar titik patokan. Pada kontrol umpan balik dasar ini
terdapat dua faktor tambahan yang mempengaruhi konsentrasi plasma dengan
mengubah titik patokan: irama diurnal dan stres, dimana keduanya bekerja pada
hipotalamus untuk mengubah tingkat sekresi CRH (Sherwood, 2009).
2.2.3. Ritme sirkardian dari sekresi glukokortikoid
Kecepatan sekresi CRH, ACTH, kortisol semuanya tinggi pada awal pagi hari,
tetapi rendah pada akhir sore hari, kadar kortisol plasma berkisar antara kadar paling
tinggi kira-kira 20 �g/dL, satu jam sebelum matahari terbit dipagi hari dan paling
rendah kira-kira 5 �g/dL, sekitar tengah malam. Efek ini dihasilkan dari perubahan

siklus sinyal dari hipotalamus selama 24 jam yang menimbulkan sekresi kortisol. Bila
seseorang mengubah kebiasaan tidur sehari-harinya, maka akan timbul perubahan
siklus ini juga ( Guyton dan Hall, 2006).

Gambar 2.2. Mekanisme kontrol umpan balik negatif kortisol (Barret, 2012)

14

2.3. Sindrom Cushing
2.3.1. Pengertian
Sindrom Cushing adalah sindroma klinik yang disebabkan oleh kelebihan
glukokortikoid secara kronik sebagai hasil dari paparan jangka lama organisme dari
glukokortikoid eksogen atau ACTH, atau secara endogen karena hipersekresi dari
kortisol, ACTH atau CRH. Hipersekresi ACTH endogen yang berasal dari hipofisis
dinamakan Cushing’s desease (penyakit Cushing) (Linos dan Heerden, 2005).
2.3.2. Klasifikasi dan Etiologi
2.3.2.1. Sindrom Cushing tergantung ACTH
Pada tipe ini hipersekresi glukokortikoid disebabkan oleh hipersekresi
ACTH. Hipersekresi kronik ACTH menyebabkan hiperplasia zona fasikulata dan
zona retikularis korteks adrenal. Hiperplasia ini menyebabkan hipersekresi hormon
adrenokortikal yaitu glukokortikoid dan androgen, sehingga pada tipe ini ditemukan
peningkatan kadar hormon adrenokortikotropik dan kadar glukokortikoid dalam
darah. Yang termasuk sindrom ini adalah adenoma hipofisis dan sindrom ACTH
ektopik (Batubara, Tridjaja, dan Pulungan, 2010).
2.3.2.2. Sindrom Cushing tidak tergantung ACTH
Pada tipe ini tidak ditemukan adanya pengaruh sekresi ACTH terhadap
hipersekresi glukokortikoid, atau hipersekresi glukokortikoid tidak berada dibawah
pengaruh jaras hipotalamus-hipofisis (Batubara, Tridjaja, dan Pulungan, 2010).
Pada tipe ini ditemukan peningkatan kadar glukokortikoid dalam darah,
sedangkan kadar ACTH menurun karena mengalami penekanan. Yang termasuk
dalam sindrom ini adalah tumor adrenokortikal, hiperplasia adrenal nodular, dan
iatrogenik (Batubara, Tridjaja, dan Pulungan, 2010).

15

1. Tumor adrenokortikal
Tumor adrenokortikal primer seperti adenoma ataupun karsinoma yang mensekresi
glukokortikoid secara berlebihan, menyebabkan kadar glukokorikoid plasma
meningkat (Batubara, Tridjaja, dan Pulungan, 2010).
2. Hiperplasia adrenal nodular
Yang dapat menyebabkan keadaan ini antara lain, primary pigmented nodular
adreokortikal disease dan sindrom McCune Albright (Batubara, Tridjaja, dan
Pulungan, 2010).
3. Iatrogenik
Pemberian obat-obatan glukokortikoid dalam jangka lama dapat menyebabkan
meningkatnya kadar glukokortikoid dalam darah (Batubara, Tridjaja, dan Pulungan,
2010).
Tabel 2.1. Klasifikasi sindrom Cushing
Sindrom

Cushing

tergantung Sindrom Cushing tidak tergantung

ACTH
Penyakit

ACTH
Cushing

(Adenoma Administrasi glukokortikoid eksogen

hipofisis penyekresi ACTH)
Sindrom ACTH ektopik
Iatrogenik

(Pengobatan

Tumor adrenonkortikal
dengan Hiperplasia adrenokortikal primer

ACTH )
Primary

pigmented

nodular

adrenocortical disease (PPNAD)

Hiperplasia adrenal makronodular
McCune-Albright syndrome (MAS)
Sumber: Elzouki, 2012

16

2.4. Patofisiologi
Keadaan hiperglukokortikoid pada sindrom Cushing menyebabkan katabolisme
protein yang berlebihan sehingga tubuh kekurangan protein. Kulit dan jaringan
subkutan menjadi tipis, pembuluh darah menjadi rapuh sehingga tampak sebagai
striae berwarna ungu di daerah abdomen, paha, bokong, dan lengan atas. Otot-otot
menjadi lemah dan sukar berkembang, mudah memar, luka sukar sembuh, serta
rambut tipis dan kering (Batubara, Tridjaja, dan Pulungan, 2010).
Sindrom Cushing atau disebut juga kelebihan glukokortikoid telah lama
diketahui

sebagai

penyebab

hipertensi,

tetapi

mekanisme

terperinci

yang

menghasilkan peningkatan tekanan darah masih belum diketahui. Peningkatan
sensitivitas pembuluh darah perifer terhadap agonis adrenergik mungkin mempunyai
peranan penting pada hipertensi vaskular (Avner, Harmon, dan Niaudet, 2009).
Pada sindrom Cushing terjadi pengaktifan sintesis angiotensinogen oleh hati
yang menstimulus sistem renin-angiotensinogen, sedangkan fosfolipase A2 yang
melepaskan asam arakidonat dari fosfolipid yang berperan penting dalam sintesis
vasodilator prostaglandin menjadi terhambat. Glukokortikoid juga mengurangi
aktivitas dari depresor sistem kalikrein-kinin sehingga meningkatkan sensitivitas
vasokonstriktor endogen (epinefrin dan angiotensin-II) dan meningkatkan masuknya
natrium kedalam sel-sel otot polos vaskular (Avner, Harmon, dan Niaudet, 2009).
Hipertensi dapat disebabkan oleh peningkatan sekresi angiotensinogen akibat
kerja langsung glukokortikoid pada arteriol atau akibat kerja glukokortikoid yang
mirip mineralokortikoid sehingga menyebabkan peningkatan retensi air dan natrium,
serta sekresi kalium. Retensi air ini juga menyebabkan wajah yang bulat menjadi
tampak pletorik (Batubara, Tridjaja, dan Pulungan, 2010).
Keadaan hiperkortisolisme juga mempunyai banyak efek pada tulang dan
metabolisme kalsium. Terdapat supresi dari aktivitas osteoblastik dan peningkatkan

17

reabsorbsi matriks protein tulang. Selain itu terdapat peningkatan ekskresi kalsium
dan penurunan absorbsi kalsium pada lumen usus. Terjadinya hipokalsemia ini
dikompensasi dengan peningkatan ringan sekresi PTH. Pada waktu yang sama PTH
meningkatkan aktivitas osteoklas. Sehingga, efek keseluruhannya adalah osteopenia
yang nyata (Lifshitz, 2007).
Pada sindrom Cushing terdapat peningkatan kadar trigliserida dan kolestrol total,
sedangkan HDL dapat bervariasi. Sindrom Cushing yang nyata dan subklinis
memberikan banyak gambaran dengan sindrom metabolik termasuk resistensi insulin,
kadar gula darah puasa yang abnormal, hipertensi, obesitas, dan dislipidemia.
Patogenesisnya melibatkan banyak faktor, termasuk aktivitas kortisol secara langsung
dan tidak langsung pada lipolisis, pergantian dan produksi asam lemak bebas, sintesis
very-low-density lipoprotein (VLDL), dan akumulasi lemak di hati. Protein kinase

yang diaktivasi oleh AMP memperantarai perubahan metabolik yang diinduksi oleh
glukokortikoid (Acton, 2012).
Resistensi insulin memiliki peran kunci yang menentukan abnormalitas lemak.
Perubahan hormonal lainnya melibatkan growth hormone, testosteron pada laki-laki,
estrogen pada perempuan, katekolamin, dan sitokin. Pada studi invitro, kortisol
meningkatkan lipoprotein lipase didalam jaringan lemak dan terutama di lemak
viseral, dimana lipolisis diaktivasi, menghasilkan pelepasan asam lemak bebas ke
dalam sirkulasi (Acton, 2012).
2.5. Diagnosis
2.5.1. Manifestasi Klinis
Perjalanan sindrom Cushing bevariasi. Awitan sindrom ini ada yang timbul secara
tiba tiba dan ada yang perlahan-lahan. Gejala dan tanda klinis ada yang segera
tampak jelas dan ada yang samar. Gejala dan tanda klinis pada bayi tampak lebih

18

berat dan lebih jelas dibandingkan pada anak (Batubara, Tridjaja, dan Pulungan,2010).
Hampir semua dokter mengenal gambaran klinis sindrom Cushing. Obesitas
sentral, “moon face”, hirsutisme, dan kemerahan pada wajah dijumpai pada lebih dari
80% orang dewasa penderita sindrom Cushing. Striae, hipertensi, kelemahan otot,
nyeri punggung, distribusi lemak “buffalo hump”, gangguan psikologis, jerawat, dan
mudah memar merupakan gambaran yang sangat lazim (35-80%). Namun ini
merupakan tanda dan tampilan penyakit Cushing yang sudah lanjut (Rudolph dan
Hoffman, 2007).
Tinggi badan anak memberikan kesan perawakan pendek yang menunjukkan
adanya retardasi pertumbuhan. Tanda ini terjadi lebih dahulu daripada gejala obesitas.
Pada sindrom Cushing yang disebabkan oleh tumor adrenokortikal, pertumbuhan
tinggi badan anak bisa normal atau lebih cepat akibat pelepasan androgen yang
meningkat. Kulit tipis disertai adanya striae ungu pada abdomen, paha, bokong, dan
lengan atas. Kulit mudah memar dan terinfeksi jamur. Hipertensi merupakan gejala
umum yang menyebabkan gagal jantung. Pada masa bayi dan anak dapat ditemukan
urolitiasis. Dapat ditemui gangguan psikologis, antara lain gangguan emosi,
insomnia, dan euforia (Batubara, Tridjaja, dan Pulungan, 2010).

19

Tabel 2.2. Temuan klinis 39 pasien anak penderita sindrom Cushing
Tanda/gejala

Jumlah

%

pasien
berat 36/39

92

Gagal tumbuh

31/37

84

Osteopenia

14/19

74

Kelelahan

26/39

67

Hipertensi

22/35

63

Terlambat pubertas

21/35

60

Pletora

18/39

46

Jerawat

18/39

46

Hirsutisme

18/39

46

Perilaku kompulsif

17/39

44

Striae

14/39

36

Memar

11/39

28

Buffalo hump

11/39

28

Sakit kepala

10/39

26

Kelebihan
badan

Pertumbuhan

tulang 2/23

13

terlambat
Nokturia
Sumber: Sperling, 2014

3/39

8

20

2.5.2. Pemeriksaan Laboratorium
2.5.2.1. Pemeriksaan Kadar Kortisol Plasma
Kadar kortisol dalam darah normalnya meningkat pada pukul 8 pagi dan
menurun sampai kurang dari 50% pada pukul 8 malam, kecuali pada anak yang
belum berusia 3 tahun karena irama diurnal mereka tidak selalu ada. Pada pederita
sindrom Cushing, irama diurnal ini hilang dan kadar kortisol pada pukul 8 malam
biasanya meningkat (Kliegman, Behrman, Stanton, dan Jenson, 2007).
2.5.2.2. Kadar kortisol bebas urin 24 jam
Ekskresi kortisol bebas urin 24 jam (berdasarkan luas permukaan tubuh)
adalah tes langkah awal yang penting. Dengan nilai yang konsisten lebih dari 300�g/
hari merupakan diagnostik yang sebenarnya pada sindrom Cushing. Kadar kortisol
bebas dalam urin tetap konstan sepanjang hidup sesuai dengan indeks masa tubuh.
Nilai yang normal terletak kurang dari 70�g/m2/hari atau kurang dari 80�g/m2/hari
berdasarkan dari sumber yang berbeda (Linos dan Heerden, 2005).
2.5.2.3. Tes Supresi Deksametason Dosis Tunggal
Pada anak diberikan deksametason dengan dosis 15��/kg berat badan (dosis
maksimal 1mg) diberikan pada tengah malam dan penentuan kadar kortisol darah
dilakukan esok harinya pada pukul 08.00 pagi. Kadar kortisol plasma pada pagi hari
yang lebih besar dari 5mg/dL setelah pemberian deksametason pada tengah malam
berarti terdapat hiperkortisolime (Linos dan Heerden, 2005).
2.5.2.4. Pemeriksaan kadar ACTH plasma
Pemeriksaan ini menggunakan alat yang dikenal sebagai immunoradiometric
assay (IRMA). Pemeriksaan ini ditujukan untuk membedakan sindrom Cushing yang

tergantung ACTH dengan yang tidak tergantung ACTH. Bila kadar ACTH plasma
kurang dari 5�g/mL maka peyebabnya adalah tipe tidak tergantung ACTH. Bila

21

kadar plasma lebih dari 10 pg/mL, maka penyebabnya adalah tipe tergantung ACTH
(Batubara, Tridjaja, dan Pulungan, 2010).
Pada kelainan hipofisis, diperlukan pemeriksaan lanjutan menggunakan
Magnetic Resonance imaging (MRI) dan CT scan kepala. Bila masih dicurigai

adenoma hipofisis tetapi belum ditemukan pada pemeriksaan, maka perlu dilakukan
evauasi secara periodik. Pada sindrom ACTH ektopik dilakukan pemeriksaan
lanjutan berupa CT scan toraks dan abdomen untuk menemukan lokasi tumor
nonendokrin yang menyebabkan peningkatan kadar ACTH plasma. Sedangkan pada
kelainan adrenokortikal dilakukan pemeriksaan CT scan adrenal (Batubara, Tridjaja,
dan Pulungan, 2010).
2.6. Diagnosis banding
Sindrom Cushing sering dicurigai pada anak dengan obesitas, terutama jika
terdapat striae dan hipertensi. Diagnosis banding dipersulit oleh kenyataan bahwa
peningkatan kadar kortikosteroid urin sering kali akibat obesitas itu sendiri. Anak
dengan obesitas sederhana biasanya berperawakan tinggi, tetapi mereka yang dengan
sindrom Cushing berperawakan pendek atau angka pertumbuhannya melambat
eksresi kortikosteroid urin dengan cepat tertekan dengan pemberian oral
deksametason dosis rendah pada orang obesitas tidak terkomplikasi (Behrman,
Kliegman dan Arvin, 2000).
Peningkatan kadar ACTH dan kortisol tanpa bukti klinis adanya sindrom
Cushing terjadi pada penderita dengan resistensi glukokortikoid total. Penderita yang
terkena mungkin tidak bergejala atau menunjukkan hipertensi, hipokalemia, dan
pseudopubertas

prekoks;

manifestasi

ini

disebabkan

oleh

peningkatan

mineralokortikoid dan androgen adrenal sebagai respon terhadap peningkatan kadar
ACTH. Beberapa mutasi reseptor glukokortikoid telah dilaporkan (Behrman,
Kliegman dan Arvin, 2000).

22

Kecurigaan terhadap sindrom Cushing pada anak biasanya muncul bila terdapat
kenaikan berat badan, pertumbuhan yang terlambat, perubahan suasana hati, dan
perubahan tampilan wajah (pletora, jerawat, hirsutisme). Diagnosis penyakit ini
seringkali dibuat pada tahap yang relatif dini dari perjalanan alamiahnya sehingga
diagnosis penyakit Cushing mungkin kurang jelas dan sulit. Peningkatan absolut
diatas “batas yang dianggap normal” untuk konsentrasi ACTH dan kortisol plasma
sering kali tidak ada (Rudolph dan Hoffman, 2007).
Dibandingkan menemukan konsentrasi kortisol pagi hari >20�g/dL atau ACTH
>100pg/mL, akan lebih khas untuk mendapatkan peningkatan kadar kortisol siang
dan malam hari yang ringan tetapi sering kali kurang jelas. Hilangnya irama diurnal
ini dibuktikan oleh sekresi ACTH dan kortisol yang berkesinambungan sepanjang
siang, sore dan malam hari, yang biasanya indeks laboratorium yang paling dini yang
dapat dipercaya untuk penyakit Cushing (Brook, Clayton, dan Brown, 2005).
Sebaliknya nilai untuk ACTH dan kortisol biasanya sangat tinggi pada sindrom
ACTH ektopik, sedangkan pada tumor adrenal dan hiperplasia adrenal multinodular
kadar kortisol meningkat, tetapi ACTH menurun (Rudolph dan Hoffman, 2007).
2.7. Penatalaksanaan
Pada sindrom Cushing iatrogenik harus dilakukan penghentian dari terapi steroid
atau menggunakan dosis efektif minimal atau juga dengan mengganti regimen jika
terapi penghentian steroid tidak memungkinkan (Goel dan Gupta, 2012).
Manajemen pengobatan untuk penyakit sindrom Cushing yang disebabkan oleh
hiperkortisolisme eksogen meliputi optimalisasi dosis dan rute dari glukokortikoid,
dan penggunaan dari agen yang mirip glukokortikoid untuk meminimalisasikan dosis
glukokortikoid. Terapi tambahan tersebut juga bertujuan untuk mengurangi efek
samping penggunaan glukokortikoid sebagai terapi. Sebagai tambahan, pastikan
pasien cara pemakaian glukokortikoid yang paling tepat. Hindari pemakaian secara

23

injeksi ataupun secara topikal. Lebih baik, pilihlah glukokortikoid dengan waktu
paruh yang pendek atau menengah. Ketika keadaan penyakit memungkinkan, berikan
dosis minimal yang diperlukan untuk mengontrol penyakit (Chrousos, 2014).
Pada pasien yang diterapi dengan glukokortikoid jangka panjang, pertimbangkan
untuk mengubah dosis harian. Ketika penyakit dasar tidak memungkinkan untuk
melakukan penurunan dosis, maka pertimbangkan untuk menambah agen pengganti
glukokortikoid misalnya, siklofospamid pada sindom nefrotik yang resisten terhadap
steroid, metotreksat dan agen imunosupresi lainnya pada artritis rematoid juvenile
(Chrousos, 2014).
Ketika pengobatan glukokortikoid jangka panjang diperlukan, pastikan efek
samping seminimal mungkin, termasuk memastikan asupan kalsium dengan
suplemen jika diperlukan dan suplementasi vitamin D pada bentuk tablet
multivitamin. Lakukan pemantauan ekskresi kalsium urin untuk memastikan bahwa
pasien tidak dalam keadaan hiperkalsiuria yang merupakan predisposisi timbulnya
batu saluran kemih. Pada kasus-kasus yang berkomplikasi menjadi osteoporosis
(dengan kepadatan mineral tulang yang rendah), atau juga terjadinya fraktur,
pertimbangkan untuk memberikan bisfosfonat. Hindari juga pengobatan yang
menyebabkan iritasi lambung, termasuk anti inflamasi nonsteroid, dan oral
bisfosfonat. Ketika obat-obatan tersebut tidak dapat terhindarkan, berikan terapi
profilaksis dengan antagonis histamine 2 (H2) atau proton pump inhibitor (Chrousos,
2014).
Lakukan juga pemantauan pola pertumbuhan anak setiap tiga bulan sampai usia
lima tahun dan setiap enam bulan hingga pertumbuhannnya berhenti. Pada setiap
kunjungan lakukan pengukuran berat badan, tinggi badan (atau panjang badan pada
anak yang lebih muda), tekanan darah, funduskopi pada katarak, dan pemeriksaan
pasien yang berkomplikasi pada tulang. Periksa bone age dan kepadatan tulang
dilakukan setiap tahun (Chrousos, 2014).

24

Pada anak yang yang menerima terapi steroid dosis tinggi lakukan pengukuran
glukosa darah puasa dan posprandial (terutama dengan riwayat

keluarga yang

menderita diabetes tipe 2), dan elektrolit serum. Karena glukokortikoid merupakan
bersifat imunosupresif, lihat kemungkinan terdapatnya infeksi yang ada sebelum dan
sesudah glukokortikoid diberikan (Chrousos, 2014).