KINERJA GURU DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI
KINERJA GURU DALAM
PERSPEKTIF PSIKOLOGI ORGANISASI
Fattah Hidayat
Universitas Negeri Malang
fattah68@gmail.com
Abstrak
Teacher performance assessment can be categorized in accordance with the
interests of the application of psychology. This include; personal
development, training, examination organization, teacher selection,
measurement, research and development. Teacher certification regarding the
competence focuses on psychological function associated with teacher
performance, but has not been associated with the organization, group.
Therefore, use of the instrument used should be attributed to the interest
groups and organizations, purpose of the use of instruments of psychology is
the ease in improving perceptions of themselves, to facilitate a better
understanding of themselves, and to improve self-concept and performance in
the organization.
Kata kunci : assessment, performance, organizational psychology
A. Pendahuluan
Organisasi sekolah di Indonesia mempunyai struktur dan deskripsi
jabatan sebagai tuntutan organisasi pendidikan massal. Struktur dan
deskripsi jabatan di sekolah membantu individu mengerjakan tugas sesuai
dengan fungsi pokok dalam mendidik subjek didik. Potensi dan kemampuan
subjek didik diberi rangkaian stimulus dan respon berulang-kali dan hasil
respon dinilai sebagai prestasi subjek didik dan keberhasilan organisasi
sekolah bersangkutan.
Organisasi sekolah didisain untuk mendukung pendidikan klasikal
sebagai konsekuensi orientasi massal subjek didik. Salah satu komponen
yang dianggap penting dan menjadi tumpuan pendidikan adalah guru. Guru
sebagai individu yang bertanggung jawab atas pemberian rangkaian stimulus
respon sudah mulai memperhatikan subjek didik sebagai individu yang unik.
Subjek didik mengembangkan perilaku respon tergantung pada pengalaman
dan karakteristik kepribadian sebagai respon tidak selalu tunggal dan sama
Fattah Hidayat
pada individu. Organisasi sekolah mendukung hubungan stimulus respon
yang sehat dengan mengembangkan penilaian atas kemampuan prestasi dan
sikap guru yang tepat. Guru akan mengembangkan hubungan stimulus
respon berdasarkan karakteristik subjek didik kalau didukung penilaian
prestasi dan sikap yang menguatkan perilaku positif dan prestatif guru.
Pengembangan organisasi sekolah dengan menggunakan manajemen
mutu tapi tidak dibarengi dengan pengembangan sistem penilaian perilaku
akan menghasilkan pengendalian jasa pendidikan yang tidak sesuai dengan
standar. Banyak sekolah menerapkan manajemen mutu tidak memperhatikan
filosofi dan prinsip manajemen mutu yang mulanya untuk organisasi militer
kemudian diterapkan di organisasi bisnis. Ada perbedaan yang sangat
signifikan antara penerapan manajemen mutu untuk bisnis dan pendidikan
yang harus diperhatikan oleh organisasi sekolah. Manajemen mutu tidak
selalu identik dengan mutu tinggi, karena manajemen mutu hanya menjaga
agar manajemen berlangsung sesuai dengan standar tidak peduli mutu tinggi
atau rendah yang telah ditetapkan. Organisasi pendidikan tidak dapat
mengendalikan subjek didik dalam homogenitas sama seperti organisasi
bisnis produk bahkan jasa sekalipun.
Dengan demikian standar operating prosedur untuk organisasi
pendidikan mempunyai banyak ragam dibanding organisasi produk dan jasa
karena pengendalian masukan subjek didik harus dipisahkan dengan prinsip
keluhan pengguna jasa dan produk di organisasi bisnis. Organisasi
pendidikan harus dapat memilahkan antara mutu produk yang diwakili oleh
kurikulum dan Proses Belajar Mengajar (PBM) dengan keluhan subjek didik
yang ingin agar komponen stimulus atau PBM di permudah sehingga
merugikan pencapaian kinerja guru maupun subjek didik. Guru akan merasa
dinilai berdasar keluhan bukan berdasarkan kinerja prestatif ataupun dari
sikap yang ditunjukkan sebagai bagian
dari
penilaian
keseluruhan
kompetensi guru. Dalam organisasi bisnis, basis manajemen mutu
berdasarkan keluhan sehingga dapat ditelusuri secara manajerial komponen
dan tahap apa penyebab produk cacat atau tidak sesuai standar, sedangkan
faktor geng atau kelompok tertentu diluar sekolah dapat menyebabkan subjek
didik menjadi tidak standar, atau tuntutan luar sekolah terhadap guru
40
Jurnal Ulumuddin Volume 5, Nomor 1, Juni 2015
INSTRUMENTASI PENILAIAN KINERJA GURU
menyebabkan guru melakukan PBM tidak sesuai tuntutan siswa. Untuk
mengurangi bisa dan menyesuaikan jenis organisasi pendidikan yang berbeda
dengan organisasi bisnis jasa dan barang maka pendekatan pengukuran
menjadi penting. Kalibrasi kemampuan dan sikap guru dapat menggunakan
instrumen penilaian guru berdasar jenis jenis instrumen psikologis.
B. Kinerja Guru
Untuk menjadi profesional, seorang pekerja termasuk pendidik harus
bisa menunjukkan kinerjanya secara optimal berdasarkan kriteria dan
standar komptnsi yang ada. Kinerja adalah performance atau unjuk kerja
diukur oleh Mitchell (dalam Toto Toharudin, 2002) dari empat hal, yaitu:
a.
Quality of work
b. Promptness
c. Initiative
d. Capability
kualitas hasil kerja
ketepatan waktu menyelesaikan pekerjaan
prakarsa dalam menyelesaikan pekerjaan
kemampuan menyelesaikan pekerjaan
e. Comunication
kemampuan kerjasama dengan pihak lain.1
Ukuran standar itu bisa diidentifikasi sebagai kinerja ideal seorang
guru dalam melaksanakan peran dan tugasnya. Kemampuan/kompetensi
guru merupakan ukuran/standart bagi guru dalam melaksanakan tugasnya
sebagai guru yang disertai dengan keahlian (expert), tanggung jawab
(responsibility) baik moral maupun intelektual, dan rasa kesejawatan untuk
mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Ada tiga dimensi
kemampuan yang secara tunjang-menunjang membentuk profil guru sebagai
tenaga kependidikan, yaitu; (1) kompetensi personal, (2) kompetensi sosial,
(3) kompetensi profesional.
California Council on Teacher Education (dalam Piet A. Sahertian,
1994) menyebut ada 6 (enam) kompetensi guru:
1. Mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan belajar siswa.
2. Membimbing siswa agar mereka dapat mengerti diri mereka sendiri.
3. Menolong siswa mengerti dan mewujudkan nilai-nilai budaya bangsa
sendiri.
Toto Toharuddin. Kinerja Profesional Guru. (Bandung: Universitas Pendidikan
Indonesia,2002) hlm.66
1
Jurnal Ulumuddin Volume 5, Nomor 1, Juni 2015
41
Fattah Hidayat
4. Berpartisipasi secara efektif dalam segala kegiatan sekolah.
5. Membantu memelihara hubungan antara sekolah dan masyarakat.
6. Bekerja atas dasar tingkat profesional.
Kompetensi guru di Indonesia telah pula dikembangkan oleh Proyek
Pembinaan Pendidikan Guru (P3G) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
(dalam Suryo Subroto, 1996). P3G merumuskan lebih banyak standar bagi
guru dibanding yang ditetapkan oleh sejawatnya dari California, bahkan
senderung berbeda. Kemampuan Guru dalam versi California Council on
Teacher Education telah mencakup ketiga kompetensi guru, yaitu,
kepribadian, sosial dan profesi. Adapun 10 (sepuluh) kompetensi guru
Indonesia dari P3G meliputi:
1. Menguasai bahan
2. Mengelola program belajar mengajar
3. Mengelola kelas
4. Penggunaan media atau sumber
5. Menguasai landasan-landasan pendidikan
6. Mengelola interaksi belajar mengajar
7. Menilai prestasi siswa untuk kepentingan pelajaran
8. Mengenal fungsi layanan bimbingan dan penyuluhan di sekolah
9. Mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah
10. Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan
guna keperluan pengajaran.
Kemampuan Guru versi P3G masih merujuk pada kompetensi
profesional yang merupakan profil kemampuan dasar yang harus dimiliki
guru. Kemampuan ini tidak berbeda dengan yang dimunculkan oleh Edman
yang menegaskan kemampuan profesional guru adalah sebagai berikut:
1. Seorang guru yang diharapkan menguasai pengetahuan sehingga ia dapat
memberi kegiatan kepada siswa dengan berhasil baik.
2. Seorang pengajar menguasai psikologi tentang anak.
3. Seorang penanggungjawab dalam membina disiplin
4. Seorang penilai dan konselor terhadap kegiatan siswa
42
Jurnal Ulumuddin Volume 5, Nomor 1, Juni 2015
INSTRUMENTASI PENILAIAN KINERJA GURU
5. Seorang pengemban kurikulum yang sedang dilaksanakan
6. Seorang penghubung antara sekolah dengan masyarakat dan orangtua.
7. Seorang pengajar yang terus menerus mencari pengetahuan yang baru
dan ide-ide yang baru untuk memperlengkapi informasinya.
Kemampuan tersebut dikembangkan berdasar pada analisis tugas-
tugas yang harus dilakukan oleh guru saat ia sedang menjalankan tugas
utama menjalankan transformasi ilmu pengetahuan kepada para siswa.
Secara implisit, P3G berharap melalui pengembangan kompetensi profesi
secara terpisah dari kompetensi pribadi dan kemasyarakatan, diusahakan
agar guru berfokus pada penguasaan akademis dapat terpadu secara serasi
dengan kemampuan mengajar. Hal ini perlu karena seorang guru diharapkan
mampu mengambil keputusan yang mengandung wibawa akademis dan
praktis.
dua
Selain kompetensi profesional, seorang guru juga dituntut memiliki
kompetensi
lain
yaitu
kompetensi
pribadi
dan
kompetensi
kemasyarakatan (sosial). Menurut Sutan Zanbi Arbi (dalam Suryo Subroto,
1996) kompetensi pribadi adalah sikap pribadi yang dijiwai dengan karakter
bangsa, yang akan mengagungkan budaya bangsanya, yang rela berkorban
bagi kelestarian bangsa dan negaranya. Sedang kompetensi kemasyarakatan
(sosial) adalah kemampuan guru dalam membina dan mengembangkan
interaksi sosial baik sebagai tenaga profesional maupun sebagai warga
masyarakat. Guru berkompetensi sosial mampu menciptakan suasana yang
serasi, selaras dan seimbang dalam aspek kehidupan di masyarakat.
Dewasa ini, setelah ada perundang-undangan yang mengatur tentang
profesi guru dan dosen di Indonesia,
diterbitkan aturan turunan yang
mengatur kompetensinya. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar
Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Dijelaskan bahwa Standar
Kompetensi Guru dikembangkan secara utuh dari 4 kompetensi utama, yaitu:
(1) kompetensi pedagogik, (2) kepribadian, (3) sosial, dan (4) profesional.
Keempat kompetensi tersebut terintegrasi dalam kinerja/unjuk kerja guru.
C. Instrumentasi Penilaian Guru
Jurnal Ulumuddin Volume 5, Nomor 1, Juni 2015
43
Fattah Hidayat
Pengukuran atribut psikologis guru sulit diukur langsung karena
atribut
psikologis
bersifat
tidak
tampak
(latent).
Ketidakmudahan
pengukuran atribut psikologis terletak pada proses perilaku yang dipotret
(Pfeiffer,1988). Pengukuran atribut psikologis adalah pengukuran terhadap
performansi berkarakteristik tertentu yaitu penampilan yang merupakan
karakter individu yang akan muncul dalam bentuk respons terhadap stimulus
tertentu yang berupa situasi (Cronbach, 1970). Atribut-atribut psikologis
tidak mempunyai eksistensi nyata sehingga tidak dapat dikaji atau diketahui
secara langsung melalui gejala (Sumadi S., 2000). Dalam proses pengukuran
atribut psikologis, kemampuan guru kegiatan yang
dilakukan adalah
merumuskan eksistensi atau struktur atribut tersebut secara teoritis
(theoritical construct). Konstrak teoritis dilakukan dengan digunakan untuk
merumuskan karakteristik gejala-gejala atau tampilan tertentu berkaitan
dengan atribut psikologis guru yang diukur (Azwar,2011). Prosedur dilampaui
untuk isi yang diukur baru kemudian disusun dalam instrument yang terdiri
dari beberapa jenis instrument.
Instrumen
guru dapat diadaptasi dari beberapa metode penilaian
karyawan dengan modifikasi disesuaikan dengan posisi guru terhadap subjek
didik, sekolah dan profesi guru. Telah dikemukakan bahwa tingkatan
kemampuan guru dalam aspek afektif dapat dikelompokkan ke dalam
kemampuan menerima (receiving), merespons (responding), menilai
(valuing),
mengorganisasi
(organization),
dan
karakterisasi
(characterization). Ada tiga kategori umum ; prosedur subyektif, pengukuran
langsung dan tes kemampuan (As ad,2002). Prosedur subyektif adalah
penilaian kemampuan guru berdasar atasan, bawahan, kelompok guru, teman
guru, pengamat dari luar dan diri sendiri. Prosedur ini sangat dipengaruhi
oleh faktor manusia yang sangat subyektif. Instrumen yang digunakan dalam
prosedur subyektif beragam antara lain, skala rating, daftar centang,
perbandingan guru, peristiwa penting, penilaian kelompok, dan evaluasi esai.
Kesalahan yang harus diperhatikan untuk menggunakan instrument adalah
hallo effect dan bias pribadi.
Untuk melaksanakan penilaian atas kinerja guru maka diperlukan
sebuah indikator atau alat untuk mengukur kinerja agar didapatkan hasil
44
Jurnal Ulumuddin Volume 5, Nomor 1, Juni 2015
INSTRUMENTASI PENILAIAN KINERJA GURU
penilaian kinerja secara objektif. Menurut Direktorat Peningkatan Mutu
Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional tahun
2008 bahwa indikator penilaian terhadap kinerja guru dilakukan terhadap
tiga kegiatan pembelajaran di kelas yaitu:
1. Perencanaan Program Kegiatan Pembelajaran
Tahap perencanaan dalam kegiatan pembelajaran adalah tahap yang ber-
hubungan dengan kemampuan guru menguasai bahan ajar. Kemampuan
guru dapat dilihat dari cara atau proses penyusunan program kegiatan
pembelajaran yang dilakukan oleh guru, yaitu mengembangkan silabus dan
rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).
2. Pelaksanaan Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran di kelas adalah inti penyelenggaraan pendidikan
yang ditandai oleh adanya kegiatan pengelolaan kelas, penggunaan media
dan sumber belajar, dan penggunaan metode serta strategi pembejaran.
Semua tu-gas tersebut merupakan tugas dan tanggung jawab guru yang
secara optimal dalam pelaksanaanya menuntut kemampuan guru.
3. Evaluasi/Penilaian Pembelajaran
Penilaian hasil belajar adalah kegiatan atau cara yang ditujukan untuk
mengetahui tercapai atau tidaknya tujuan pembelajaran dan juga proses
pembelajaran yang telah dilakukan. Pada tahap ini seorang guru dituntut
memiliki kemampuan dalam menentukan pendekatan dan cara-cara
evaluasi, penyusunan alat-alat evaluasi, pengolahan, dan penggunaan hasil
evaluasi.
Salim (2012) menjabarkan instrumen yang dapat digunakan dalam
melakukan penilaian terhadap semua aktivitas yang digambarkan di atas
dapat dilakukan dengan
skala penilaian dan (lembar) observasi. Skala
penilaian mengukur penampilan atau perilaku orang lain (individu) melalui
pernyataan perilaku dalam suatu kontinum atau kategori yang memiliki
makna atau nilai. Kategori dibuat dalam bentuk rentangan mulai dari yang
tertinggi sampai terrendah. Rentangan ini dapat disimbolkan melalui huruf
(A, B, C, D) atau angka (4, 3, 2, 1), atau berupa kata-kata, mulai dari tinggi,
sedang, kurang, rendah, dan sebagainya.
Jurnal Ulumuddin Volume 5, Nomor 1, Juni 2015
45
Fattah Hidayat
Observasi adalah cara kedua yang bisa digunakan. pengumpulan data
mlalui cara itu biasa digunakan untuk mengukur tingkah laku individu
ataupun proses terjadinya suatu kegiatan yang dapat diamati. Pengamatan itu
bisa dilakukan dalam situasi yang alami (sebenarnya) maupun situasi buatan.
instrumen terakhir inilah yang paling banyak digunakan dan disarankan
dalam menilai kinerja guru. Penilaian dilakukan secara langsung ataupun
tidak langsung tergantung kepada kondisi penilai dan ternilai. Sebelum
melaksanakan penilaian atas kompetensi yang dilakukan oleh guru maka
disusun pedoman observasi untuk mengarahkan proses penilaian.
D. Penutup
Penilaian kinerja guru harus dilaksanakan secara menyeluruh
menyangkut dengan semua aspek yang terkait, yaitu aspek kualifikasi,
kualitas, pembinaan, training profesi, perlindungan profesi, organisasi
manajemen, kesejahteraan guru, dan tersedianya fasilitas yang memadai.
tugas guru memang menjadi berat dalam konskewensinya, tetapi perlu ada
perhatian yang serius kepada para guru, yaitu mereka harus selalu
mendapatkan pelatihan dalam bidang pengetahuan dan keterampilan baru
yang diperlukan sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi.
Sistem peningkatan pengetahuan bagi guru secara tersistem dan
berkelanjutan atau ada inservice training yang baik bagi para guru amat
dibutuhkan. Para guru harus siap untuk memperbaiki dan meningkatkan
mutu kinerjanya agar memiliki kompetensi yang optimal dalam usaha
membimbing siswa agar siap menghadapi masyarakat dan bahkan mampu
memberikan contoh tauladan bagi siswanya. Memiliki pribadi dan
penampilan yang menarik, mengesankan dan menjadi dambaan setiap orang.
Dengan tuntutan dan perhatian sedemikian rupa, instrumen penilaian kinerja
guru tidak perlu dipandang sebagai momok melainkan salah satu jalan
memajukan mutu pendidikan yang manusiawi bagi semua pihak.
Daftar Pustaka
As ad, M. 2002. Psikologi Industri, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta.
Azwar, S. 2011.Penyusunan Skala Psikologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Ballew, A, Pfeiffer, J. O.1988.Using Instrumen In Human Resource
Development University Associates, San Diego California
46
Jurnal Ulumuddin Volume 5, Nomor 1, Juni 2015
INSTRUMENTASI PENILAIAN KINERJA GURU
Cronbach L.J. 1970. Esentials of Psychology Testing (3rd ed.) New York :
Harper & Row
Sahertian, Piet A. 1994, Profil Pendidik Profesional, Yogyakarta: Andi Offset
Salim, Ahmad. Peran Kepala Madrasah Dalam Penilaian Kinerja Guru
Menuju Guru Profesional, Proceedings Seminar Pendidikan Nasional
Penilaian Kinerja Guru Dalam Era Sertifikasi. UCY, 4 Juni 2012.
H.33-40
Subroto, B. Suryo. 1984, Dimensi-dimensi Administrasi Pendidikan di
Sekolah, Yogyakarta: Bina Aksara
Sumadi, S. 2005. Psikologi Pendidikan, Rajawali Press, Jakarta.
Jurnal Ulumuddin Volume 5, Nomor 1, Juni 2015
47
PERSPEKTIF PSIKOLOGI ORGANISASI
Fattah Hidayat
Universitas Negeri Malang
fattah68@gmail.com
Abstrak
Teacher performance assessment can be categorized in accordance with the
interests of the application of psychology. This include; personal
development, training, examination organization, teacher selection,
measurement, research and development. Teacher certification regarding the
competence focuses on psychological function associated with teacher
performance, but has not been associated with the organization, group.
Therefore, use of the instrument used should be attributed to the interest
groups and organizations, purpose of the use of instruments of psychology is
the ease in improving perceptions of themselves, to facilitate a better
understanding of themselves, and to improve self-concept and performance in
the organization.
Kata kunci : assessment, performance, organizational psychology
A. Pendahuluan
Organisasi sekolah di Indonesia mempunyai struktur dan deskripsi
jabatan sebagai tuntutan organisasi pendidikan massal. Struktur dan
deskripsi jabatan di sekolah membantu individu mengerjakan tugas sesuai
dengan fungsi pokok dalam mendidik subjek didik. Potensi dan kemampuan
subjek didik diberi rangkaian stimulus dan respon berulang-kali dan hasil
respon dinilai sebagai prestasi subjek didik dan keberhasilan organisasi
sekolah bersangkutan.
Organisasi sekolah didisain untuk mendukung pendidikan klasikal
sebagai konsekuensi orientasi massal subjek didik. Salah satu komponen
yang dianggap penting dan menjadi tumpuan pendidikan adalah guru. Guru
sebagai individu yang bertanggung jawab atas pemberian rangkaian stimulus
respon sudah mulai memperhatikan subjek didik sebagai individu yang unik.
Subjek didik mengembangkan perilaku respon tergantung pada pengalaman
dan karakteristik kepribadian sebagai respon tidak selalu tunggal dan sama
Fattah Hidayat
pada individu. Organisasi sekolah mendukung hubungan stimulus respon
yang sehat dengan mengembangkan penilaian atas kemampuan prestasi dan
sikap guru yang tepat. Guru akan mengembangkan hubungan stimulus
respon berdasarkan karakteristik subjek didik kalau didukung penilaian
prestasi dan sikap yang menguatkan perilaku positif dan prestatif guru.
Pengembangan organisasi sekolah dengan menggunakan manajemen
mutu tapi tidak dibarengi dengan pengembangan sistem penilaian perilaku
akan menghasilkan pengendalian jasa pendidikan yang tidak sesuai dengan
standar. Banyak sekolah menerapkan manajemen mutu tidak memperhatikan
filosofi dan prinsip manajemen mutu yang mulanya untuk organisasi militer
kemudian diterapkan di organisasi bisnis. Ada perbedaan yang sangat
signifikan antara penerapan manajemen mutu untuk bisnis dan pendidikan
yang harus diperhatikan oleh organisasi sekolah. Manajemen mutu tidak
selalu identik dengan mutu tinggi, karena manajemen mutu hanya menjaga
agar manajemen berlangsung sesuai dengan standar tidak peduli mutu tinggi
atau rendah yang telah ditetapkan. Organisasi pendidikan tidak dapat
mengendalikan subjek didik dalam homogenitas sama seperti organisasi
bisnis produk bahkan jasa sekalipun.
Dengan demikian standar operating prosedur untuk organisasi
pendidikan mempunyai banyak ragam dibanding organisasi produk dan jasa
karena pengendalian masukan subjek didik harus dipisahkan dengan prinsip
keluhan pengguna jasa dan produk di organisasi bisnis. Organisasi
pendidikan harus dapat memilahkan antara mutu produk yang diwakili oleh
kurikulum dan Proses Belajar Mengajar (PBM) dengan keluhan subjek didik
yang ingin agar komponen stimulus atau PBM di permudah sehingga
merugikan pencapaian kinerja guru maupun subjek didik. Guru akan merasa
dinilai berdasar keluhan bukan berdasarkan kinerja prestatif ataupun dari
sikap yang ditunjukkan sebagai bagian
dari
penilaian
keseluruhan
kompetensi guru. Dalam organisasi bisnis, basis manajemen mutu
berdasarkan keluhan sehingga dapat ditelusuri secara manajerial komponen
dan tahap apa penyebab produk cacat atau tidak sesuai standar, sedangkan
faktor geng atau kelompok tertentu diluar sekolah dapat menyebabkan subjek
didik menjadi tidak standar, atau tuntutan luar sekolah terhadap guru
40
Jurnal Ulumuddin Volume 5, Nomor 1, Juni 2015
INSTRUMENTASI PENILAIAN KINERJA GURU
menyebabkan guru melakukan PBM tidak sesuai tuntutan siswa. Untuk
mengurangi bisa dan menyesuaikan jenis organisasi pendidikan yang berbeda
dengan organisasi bisnis jasa dan barang maka pendekatan pengukuran
menjadi penting. Kalibrasi kemampuan dan sikap guru dapat menggunakan
instrumen penilaian guru berdasar jenis jenis instrumen psikologis.
B. Kinerja Guru
Untuk menjadi profesional, seorang pekerja termasuk pendidik harus
bisa menunjukkan kinerjanya secara optimal berdasarkan kriteria dan
standar komptnsi yang ada. Kinerja adalah performance atau unjuk kerja
diukur oleh Mitchell (dalam Toto Toharudin, 2002) dari empat hal, yaitu:
a.
Quality of work
b. Promptness
c. Initiative
d. Capability
kualitas hasil kerja
ketepatan waktu menyelesaikan pekerjaan
prakarsa dalam menyelesaikan pekerjaan
kemampuan menyelesaikan pekerjaan
e. Comunication
kemampuan kerjasama dengan pihak lain.1
Ukuran standar itu bisa diidentifikasi sebagai kinerja ideal seorang
guru dalam melaksanakan peran dan tugasnya. Kemampuan/kompetensi
guru merupakan ukuran/standart bagi guru dalam melaksanakan tugasnya
sebagai guru yang disertai dengan keahlian (expert), tanggung jawab
(responsibility) baik moral maupun intelektual, dan rasa kesejawatan untuk
mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Ada tiga dimensi
kemampuan yang secara tunjang-menunjang membentuk profil guru sebagai
tenaga kependidikan, yaitu; (1) kompetensi personal, (2) kompetensi sosial,
(3) kompetensi profesional.
California Council on Teacher Education (dalam Piet A. Sahertian,
1994) menyebut ada 6 (enam) kompetensi guru:
1. Mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan belajar siswa.
2. Membimbing siswa agar mereka dapat mengerti diri mereka sendiri.
3. Menolong siswa mengerti dan mewujudkan nilai-nilai budaya bangsa
sendiri.
Toto Toharuddin. Kinerja Profesional Guru. (Bandung: Universitas Pendidikan
Indonesia,2002) hlm.66
1
Jurnal Ulumuddin Volume 5, Nomor 1, Juni 2015
41
Fattah Hidayat
4. Berpartisipasi secara efektif dalam segala kegiatan sekolah.
5. Membantu memelihara hubungan antara sekolah dan masyarakat.
6. Bekerja atas dasar tingkat profesional.
Kompetensi guru di Indonesia telah pula dikembangkan oleh Proyek
Pembinaan Pendidikan Guru (P3G) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
(dalam Suryo Subroto, 1996). P3G merumuskan lebih banyak standar bagi
guru dibanding yang ditetapkan oleh sejawatnya dari California, bahkan
senderung berbeda. Kemampuan Guru dalam versi California Council on
Teacher Education telah mencakup ketiga kompetensi guru, yaitu,
kepribadian, sosial dan profesi. Adapun 10 (sepuluh) kompetensi guru
Indonesia dari P3G meliputi:
1. Menguasai bahan
2. Mengelola program belajar mengajar
3. Mengelola kelas
4. Penggunaan media atau sumber
5. Menguasai landasan-landasan pendidikan
6. Mengelola interaksi belajar mengajar
7. Menilai prestasi siswa untuk kepentingan pelajaran
8. Mengenal fungsi layanan bimbingan dan penyuluhan di sekolah
9. Mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah
10. Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan
guna keperluan pengajaran.
Kemampuan Guru versi P3G masih merujuk pada kompetensi
profesional yang merupakan profil kemampuan dasar yang harus dimiliki
guru. Kemampuan ini tidak berbeda dengan yang dimunculkan oleh Edman
yang menegaskan kemampuan profesional guru adalah sebagai berikut:
1. Seorang guru yang diharapkan menguasai pengetahuan sehingga ia dapat
memberi kegiatan kepada siswa dengan berhasil baik.
2. Seorang pengajar menguasai psikologi tentang anak.
3. Seorang penanggungjawab dalam membina disiplin
4. Seorang penilai dan konselor terhadap kegiatan siswa
42
Jurnal Ulumuddin Volume 5, Nomor 1, Juni 2015
INSTRUMENTASI PENILAIAN KINERJA GURU
5. Seorang pengemban kurikulum yang sedang dilaksanakan
6. Seorang penghubung antara sekolah dengan masyarakat dan orangtua.
7. Seorang pengajar yang terus menerus mencari pengetahuan yang baru
dan ide-ide yang baru untuk memperlengkapi informasinya.
Kemampuan tersebut dikembangkan berdasar pada analisis tugas-
tugas yang harus dilakukan oleh guru saat ia sedang menjalankan tugas
utama menjalankan transformasi ilmu pengetahuan kepada para siswa.
Secara implisit, P3G berharap melalui pengembangan kompetensi profesi
secara terpisah dari kompetensi pribadi dan kemasyarakatan, diusahakan
agar guru berfokus pada penguasaan akademis dapat terpadu secara serasi
dengan kemampuan mengajar. Hal ini perlu karena seorang guru diharapkan
mampu mengambil keputusan yang mengandung wibawa akademis dan
praktis.
dua
Selain kompetensi profesional, seorang guru juga dituntut memiliki
kompetensi
lain
yaitu
kompetensi
pribadi
dan
kompetensi
kemasyarakatan (sosial). Menurut Sutan Zanbi Arbi (dalam Suryo Subroto,
1996) kompetensi pribadi adalah sikap pribadi yang dijiwai dengan karakter
bangsa, yang akan mengagungkan budaya bangsanya, yang rela berkorban
bagi kelestarian bangsa dan negaranya. Sedang kompetensi kemasyarakatan
(sosial) adalah kemampuan guru dalam membina dan mengembangkan
interaksi sosial baik sebagai tenaga profesional maupun sebagai warga
masyarakat. Guru berkompetensi sosial mampu menciptakan suasana yang
serasi, selaras dan seimbang dalam aspek kehidupan di masyarakat.
Dewasa ini, setelah ada perundang-undangan yang mengatur tentang
profesi guru dan dosen di Indonesia,
diterbitkan aturan turunan yang
mengatur kompetensinya. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar
Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Dijelaskan bahwa Standar
Kompetensi Guru dikembangkan secara utuh dari 4 kompetensi utama, yaitu:
(1) kompetensi pedagogik, (2) kepribadian, (3) sosial, dan (4) profesional.
Keempat kompetensi tersebut terintegrasi dalam kinerja/unjuk kerja guru.
C. Instrumentasi Penilaian Guru
Jurnal Ulumuddin Volume 5, Nomor 1, Juni 2015
43
Fattah Hidayat
Pengukuran atribut psikologis guru sulit diukur langsung karena
atribut
psikologis
bersifat
tidak
tampak
(latent).
Ketidakmudahan
pengukuran atribut psikologis terletak pada proses perilaku yang dipotret
(Pfeiffer,1988). Pengukuran atribut psikologis adalah pengukuran terhadap
performansi berkarakteristik tertentu yaitu penampilan yang merupakan
karakter individu yang akan muncul dalam bentuk respons terhadap stimulus
tertentu yang berupa situasi (Cronbach, 1970). Atribut-atribut psikologis
tidak mempunyai eksistensi nyata sehingga tidak dapat dikaji atau diketahui
secara langsung melalui gejala (Sumadi S., 2000). Dalam proses pengukuran
atribut psikologis, kemampuan guru kegiatan yang
dilakukan adalah
merumuskan eksistensi atau struktur atribut tersebut secara teoritis
(theoritical construct). Konstrak teoritis dilakukan dengan digunakan untuk
merumuskan karakteristik gejala-gejala atau tampilan tertentu berkaitan
dengan atribut psikologis guru yang diukur (Azwar,2011). Prosedur dilampaui
untuk isi yang diukur baru kemudian disusun dalam instrument yang terdiri
dari beberapa jenis instrument.
Instrumen
guru dapat diadaptasi dari beberapa metode penilaian
karyawan dengan modifikasi disesuaikan dengan posisi guru terhadap subjek
didik, sekolah dan profesi guru. Telah dikemukakan bahwa tingkatan
kemampuan guru dalam aspek afektif dapat dikelompokkan ke dalam
kemampuan menerima (receiving), merespons (responding), menilai
(valuing),
mengorganisasi
(organization),
dan
karakterisasi
(characterization). Ada tiga kategori umum ; prosedur subyektif, pengukuran
langsung dan tes kemampuan (As ad,2002). Prosedur subyektif adalah
penilaian kemampuan guru berdasar atasan, bawahan, kelompok guru, teman
guru, pengamat dari luar dan diri sendiri. Prosedur ini sangat dipengaruhi
oleh faktor manusia yang sangat subyektif. Instrumen yang digunakan dalam
prosedur subyektif beragam antara lain, skala rating, daftar centang,
perbandingan guru, peristiwa penting, penilaian kelompok, dan evaluasi esai.
Kesalahan yang harus diperhatikan untuk menggunakan instrument adalah
hallo effect dan bias pribadi.
Untuk melaksanakan penilaian atas kinerja guru maka diperlukan
sebuah indikator atau alat untuk mengukur kinerja agar didapatkan hasil
44
Jurnal Ulumuddin Volume 5, Nomor 1, Juni 2015
INSTRUMENTASI PENILAIAN KINERJA GURU
penilaian kinerja secara objektif. Menurut Direktorat Peningkatan Mutu
Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional tahun
2008 bahwa indikator penilaian terhadap kinerja guru dilakukan terhadap
tiga kegiatan pembelajaran di kelas yaitu:
1. Perencanaan Program Kegiatan Pembelajaran
Tahap perencanaan dalam kegiatan pembelajaran adalah tahap yang ber-
hubungan dengan kemampuan guru menguasai bahan ajar. Kemampuan
guru dapat dilihat dari cara atau proses penyusunan program kegiatan
pembelajaran yang dilakukan oleh guru, yaitu mengembangkan silabus dan
rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).
2. Pelaksanaan Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran di kelas adalah inti penyelenggaraan pendidikan
yang ditandai oleh adanya kegiatan pengelolaan kelas, penggunaan media
dan sumber belajar, dan penggunaan metode serta strategi pembejaran.
Semua tu-gas tersebut merupakan tugas dan tanggung jawab guru yang
secara optimal dalam pelaksanaanya menuntut kemampuan guru.
3. Evaluasi/Penilaian Pembelajaran
Penilaian hasil belajar adalah kegiatan atau cara yang ditujukan untuk
mengetahui tercapai atau tidaknya tujuan pembelajaran dan juga proses
pembelajaran yang telah dilakukan. Pada tahap ini seorang guru dituntut
memiliki kemampuan dalam menentukan pendekatan dan cara-cara
evaluasi, penyusunan alat-alat evaluasi, pengolahan, dan penggunaan hasil
evaluasi.
Salim (2012) menjabarkan instrumen yang dapat digunakan dalam
melakukan penilaian terhadap semua aktivitas yang digambarkan di atas
dapat dilakukan dengan
skala penilaian dan (lembar) observasi. Skala
penilaian mengukur penampilan atau perilaku orang lain (individu) melalui
pernyataan perilaku dalam suatu kontinum atau kategori yang memiliki
makna atau nilai. Kategori dibuat dalam bentuk rentangan mulai dari yang
tertinggi sampai terrendah. Rentangan ini dapat disimbolkan melalui huruf
(A, B, C, D) atau angka (4, 3, 2, 1), atau berupa kata-kata, mulai dari tinggi,
sedang, kurang, rendah, dan sebagainya.
Jurnal Ulumuddin Volume 5, Nomor 1, Juni 2015
45
Fattah Hidayat
Observasi adalah cara kedua yang bisa digunakan. pengumpulan data
mlalui cara itu biasa digunakan untuk mengukur tingkah laku individu
ataupun proses terjadinya suatu kegiatan yang dapat diamati. Pengamatan itu
bisa dilakukan dalam situasi yang alami (sebenarnya) maupun situasi buatan.
instrumen terakhir inilah yang paling banyak digunakan dan disarankan
dalam menilai kinerja guru. Penilaian dilakukan secara langsung ataupun
tidak langsung tergantung kepada kondisi penilai dan ternilai. Sebelum
melaksanakan penilaian atas kompetensi yang dilakukan oleh guru maka
disusun pedoman observasi untuk mengarahkan proses penilaian.
D. Penutup
Penilaian kinerja guru harus dilaksanakan secara menyeluruh
menyangkut dengan semua aspek yang terkait, yaitu aspek kualifikasi,
kualitas, pembinaan, training profesi, perlindungan profesi, organisasi
manajemen, kesejahteraan guru, dan tersedianya fasilitas yang memadai.
tugas guru memang menjadi berat dalam konskewensinya, tetapi perlu ada
perhatian yang serius kepada para guru, yaitu mereka harus selalu
mendapatkan pelatihan dalam bidang pengetahuan dan keterampilan baru
yang diperlukan sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi.
Sistem peningkatan pengetahuan bagi guru secara tersistem dan
berkelanjutan atau ada inservice training yang baik bagi para guru amat
dibutuhkan. Para guru harus siap untuk memperbaiki dan meningkatkan
mutu kinerjanya agar memiliki kompetensi yang optimal dalam usaha
membimbing siswa agar siap menghadapi masyarakat dan bahkan mampu
memberikan contoh tauladan bagi siswanya. Memiliki pribadi dan
penampilan yang menarik, mengesankan dan menjadi dambaan setiap orang.
Dengan tuntutan dan perhatian sedemikian rupa, instrumen penilaian kinerja
guru tidak perlu dipandang sebagai momok melainkan salah satu jalan
memajukan mutu pendidikan yang manusiawi bagi semua pihak.
Daftar Pustaka
As ad, M. 2002. Psikologi Industri, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta.
Azwar, S. 2011.Penyusunan Skala Psikologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Ballew, A, Pfeiffer, J. O.1988.Using Instrumen In Human Resource
Development University Associates, San Diego California
46
Jurnal Ulumuddin Volume 5, Nomor 1, Juni 2015
INSTRUMENTASI PENILAIAN KINERJA GURU
Cronbach L.J. 1970. Esentials of Psychology Testing (3rd ed.) New York :
Harper & Row
Sahertian, Piet A. 1994, Profil Pendidik Profesional, Yogyakarta: Andi Offset
Salim, Ahmad. Peran Kepala Madrasah Dalam Penilaian Kinerja Guru
Menuju Guru Profesional, Proceedings Seminar Pendidikan Nasional
Penilaian Kinerja Guru Dalam Era Sertifikasi. UCY, 4 Juni 2012.
H.33-40
Subroto, B. Suryo. 1984, Dimensi-dimensi Administrasi Pendidikan di
Sekolah, Yogyakarta: Bina Aksara
Sumadi, S. 2005. Psikologi Pendidikan, Rajawali Press, Jakarta.
Jurnal Ulumuddin Volume 5, Nomor 1, Juni 2015
47