PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN KARAKTER . pdf
Pendidikan Kewarganegaraan dan Karakter (PKnK)1
Oleh Made Pramono2
I. Pendahuluan
Umat manusia perlu memahami bahwa mereka berbagai kemanusiaan
bersama
dan pemahaman ini harus meluas
dari subjek partikular ke
masyarakat secara umum (Youniss & Yates, 1999: 369).
Masyarakat yang
benar-benar maju, warga negaranya perlu memahami siapa mereka secara
intrinsik, dan aktif pro-sosial. Masyarakat manusia memerlukan pendidikan demi
pengembangan pro-sosial ini. Di antara sekian banyak pendekatan untuk
mendidik pengembangan generasi muda yang positif (pro-sosial) ini, ada dua
pendekatan dominan, yakni pendidikan moral dan pendidikan karakter.
Meskipun sering dipertukarkan, sesungguhnya kedua jenis pendidikan ini
berbeda, salah satunya adalah bahwa pendidikan karakter lebih komprehensif
dan lebih luas dibandingkan (dan mencakup) pendidikan moral, sebagaimana
istilah citizenship education yang lebih luas dari pada (dan mencakup) civic
education (Althof & Berkowitz, 2006: 499-500, 504), untuk terjemahan
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dalam Bahasa Inggris.
Tulisan ini bermuara pada citizenship education yang dilihat dalam
perspektif kemungkinan perkembangannya di masa depan dihubungkan dengan
Pancasila. Pancasila bagi penulis merupakan sumber utama pendidikan karakter
di Indonesia. Oleh sebab itu, membangun pribadi Pancasilais terkait erat secara
konseptual salah satunya dengan membahas sistem pendidikan integratif yang
bermuatan karakter. Istilah Pendidikan Kewarganegaraan dan Karakter (PKnK)
diintrodusir penulis untuk menunjuk pada kelekatan orientatif-koherensif dua
1
2
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Himpunan Mahasiswa Nasional PPKn 2014,
Membangun Pribadi Pancasilais Melalui Pendidikan Kewarganegaraan , Gedung Gema
Unesa, 27 November 2014.
Dr. Made Pramono, M.Hum., dosen Filsafat di Universitas Negeri Surabaya.
Email: made.pramono@gmail.com.
disiplin (Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Karakter), selain dari
mengadopsi istilah CCE (Character and Citizenship Education) Singapura yang
diringkas di bagian II. (Sebagai catatan, istilah PKnK tidak diambisikan penulis
untuk menambah daftar nama dalam sejarah peristilahan dari apa yang sekarang
disebut PKn. Pada tahun 2015, sesuai amanat kurikulum terbaru, PKn
rencananya
kembali lagi
Kewarganegaraan).
menjadi PPKn
Pendidikan
Pancasila
dan
Sistem pendidikan Indonesia mengatur bahwa kurikulum pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi wajib memuat Pendidikan
Kewarganegaraan yang dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi
manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air sesuai dengan
Pancasila dan UUD 1945. (Pasal 37 ayat (1) dan (2) UU No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional). Ketentuan ini sesungguhnya menunjukkan
bahwa PKn menempati kedudukan yang strategis dalam upaya pembentukan
watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan menjadikan manusia sebagai warga negara yang
demokratis dan bertanggung jawab (Dikdik, 2012: 92).
Pengajaran PKn sekedar dengan teori PKn adalah tidak efektif, seyogyanya
institusi pendidikan merefleksikan praktek demokratis dengan memberi
keleluasaan terhadap subjek didik untuk ikut mengelola pengambilan keputusan.
Proses internalisasi komitmen dan kepercayaan nilai-nilai demokratis, sulit
tumbuh di institusi-institusi pendidikan yang tidak demokratis.
Kewarganegaraan mencakup tindakan warga yang secara bersama-sama
memahami
persoalan-persoalan
umum
untuk
mengembangkan
budaya
demokratis dan memajukan masyarakat. Untuk menuju hal tsb, PKn
mengajarkan pengetahuan, pemahaman tentang politik, hukum, dan ekonomi
dan kecakapan berpartisipasi secara efektif dan bertanggung jawab dalam
kehidupan umum dan demokratik. Ini bukan berarti menyesuaikan seseorang
agar sama cetakannya , atau menciptakan warga yang baik atau jadi model .
Kata kunci PKn, bukan sekedar mengajar, tetapi mendemonstrasikan.
Melalui PKn, subjek didik:
•
Mengeksplorasi persoalan-persoalan demokrasi, keadilan, ketidaksetaraan,
bagaimana memerintah dan mengorganisir.
•
Belajar bekerja bersama untuk menciptakan solusi yang mencoba
memetakan tantangan-tantangan menghadapi komunitas lain atau yang
lebih luas.
•
Mengembangkan melek politik untuk membuat kontribusi positif ke
masyarakat sebagai warga yang berpengetahuan dan bertanggung jawab.
Idealitas di atas sebenarnya sudah disistematisasikan dan diproyeksikan
oleh Kementerian Pendidikan Nasional (misalnya publikasinya tahun 2010),
namun kerentanan moralitas dan keruntuhan karakter bangsa selalu menghantui
bangsa ini (dan juga mayoritas bangsa-bangsa lain), setidaknya yang bisa
direfleksikan dari berbagai fenomena dan pemberitaan di tanah air. Tulisan ini
salah satu upaya meretas sistem pendidikan kewarganegaraan dan karakter yang
integratif.
II. Belajar dari Character and Citizenship Education3
Di Singapura, Character and Citizenship Education (CCE) menjadi jantung
sistem pendidikan. Melalui CCE, siswa belajar bertanggung jawab terhadap
keluarga dan lingkungannya, dan paham peran mereka dalam membentuk masa
depan bangsa. Trend baru dan perkembangan global yang mempengaruhi
masyarakat (spt perubahan sosial, globalisasi, dan kemajuan teknologi) penting
dalam mempertimbangkan kurikulum PKnK.
CCE merupakan sentral kerangka kompetensi dan luaran subjek didik abad
ke-21 (Gambar 1), yang menekankan pada kesalingterjalinan antara nilai-nilai
3
Khusus bagian II ini penulis sarikan dari Student Development Curriculum Division
Education, Singapore, 2014, Character and Citizenship Education: Primary.
Ministry of
inti, kompetensi emosioal dan sosial, serta melek kewarganegaraan, kesadaran
global, kecakapan lintas-budaya.
Gambar 1. Kerangka kompetensi dan luaran subjek didik abad ke-21
A. Nilai-nilai inti
Nilai-nilai inti (respect, responsibility, resilience, integrity, care, dan
harmony) adalah nilai-nilai fundamental untuk menjadi seseorang yang
berkarakter baik dan menjadi warga negara yg berguna.
Gambar 2. Nilai-nilai inti
B. Kompetensi sosial dan emosional
Pembelajaran sosial dan emosional merupakan perolehan berbagai
kecakapan yang diperlukan untuk mengenali dan mengatur emosi2, membangun
kepedulian dan perhatian terhadap sesama, membuat keputusan yg
bertanggung jawab, membentuk kesalinghubungan yg positif dan menangani
situasi2 yg menantang secara efektif.
Kompetensi2 sosial dan emosional dapat dikategorisasikan ke dalam 5
bidang yang saling terhubung: self-awareness, self-management, social
awareness, relationship management, dan responsible decision making. Bidang
kesadaran diri dan manajemen diri berhubungan dengan pemahaman diri yang
membantu mengatur emosi dan perilaku seseorang. Bidang kesadaran sosial dan
manajemen kesalinghubungan berhubungan dengan interaksi sosial seseorang.
Dalam pengambilan keputusan yang bertanggung jawab, pilihan moral dan etis
harus dibuat dalam rangka bagaimana seseorang menangani dirinya sendiri,
berhubungan dengan sesama, dan berhadapan dengan situasi-situasi yang
menantang.
Gambar 3. Kompetensi-kompetensi sosial dan emosional
C. Kecakapan yang berhubungan dengan kompetensi kewarganegaraan
Kecakapan-kecakapan
ini
berhubungan
dengan
kompetensi
kewarganegaraan yang diartikulasikan di dalam komponen bidang melek
kewarganegaraan, kesadaran global, kecakapan lintas-budaya dalam Kerangka
kompetensi dan luaran subjek didik abad ke-21.
Gambar 4. Kompetensi-kompetensi melek kewarganegaraan, kesadaran global,
kecakapan lintas-budaya
D. Prinsip-Prinsip Pemanduan Pengajaran dan Pembelajaran
1. Setiap guru adalah guru PKnK
Guru adalah posisi terbaik untuk memimpin dan menguatkan nilai-nilai inti.
Guru memerankan model dan menciptakan peluang belajar untuk
membentuk dan menanamkan nilai-nilai inti. Guru mengembangkan ke setiap
siswa makna harga diri dan percaya diri, semangat resiliensi, kepedulian dan
kasih terhadap sesama. Guru menggunakan perkembangan profesionalnya
sendiri untuk memperlengkapi siswa-siswanya dengan keahlian dan
kompetensi untuk mengasah, asih, dan asuh mereka agar menjadi warga
negara aktif yang berkarakter baik.
2. Nilai-nilai bisa diajarkan dan ditangkap
Nilai-nilai diajarkan ketika nilai-nilai itu secara eksplisit diekspresikan melalui
pengetahuan dan kecakapan sebagaimana tergambar dalam luaran
pembelajaran PKnK. Nilai-nilai ditangkap ketika siswa melihat nilai-nilai itu
dihidupkan dalam pengalaman-pengalaman belajar yang berbeda-beda,
pertama dalam peran model dan orang-orang yang penting bagi mereka, dan
lalu dalam kehidupan mereka sendiri. Kualitas kesalinghubungan guru-murid
dan lingkungan kepedulian menjadi esensial bagi pengembangan karakter
para siswa.
3. Pelibatan siswa melalui beragam mode pengantaran
Siswa belajar nilai-nilai melalui instruksi, praktek keahlian, pemodelan peran
oleh guru atau sejawat, dan penguatan positif selama strukturisasi waktu ajar
dan
momen-momen
pengajaran.
Guru
pengalaman pembelajaran yang beragam.
menghadirkan
pengalaman-
4. Orang tua sebagai partner kunci
Orang tua merupakan navigator kunci pertumbuhan anak-anak mereka. Siswa
sangat beruntung jika lingkungan rumah dan sekolah sesuai satu sama lain.
Diupayakan, siswa terkoneksi kolaborasi rumah-sekolah untuk pembelajaran
yang lebih baik, harga diri yang sehat, sikap dan perilaku yang lebih positif
dalam hidupnya. Dengan demikian, sekolah melibatkan dan berkolaborasi
dengan orang tua untuk menghadirkan kepedulian, dukungan, dan penguatan
keluarga yang penting di rumah. Komunikasi efektif program-program PKnK di
sekolah dan pembekalan platform bagi pelibatan aktif orang tua di sekolah
akan sangat membantu orang tua menjadi partner yang terpaut.
E. Tiga Ide Besar
Tiga ide besar yang mencakup identitas, kesalinghubungan, dan pilihan,
adalah konsep-konsep penting di PKnK agar siswa mampu mengembangkan
pemahaman-pemahaman kunci.
1. Identitas
Pemahaman tentang identitas memuat seperangkat nilai dan ide. Identitas
yang terbangun-baik memberikan makna kekuatan, kelemahan, dan keunikan
individual. Pengembangan pemahaman diri signifikan di pertengahan akhir
masa kanak-kanak (khususnya antara 8-11 tahun). Anak-anak membutuhkan
pengertian tentang kompetensi dan industri sebelum beranjak ke formasi
identitas kedewasaan. Hal ini menjadikan siswa mampu memperoleh
pengetahuan-diri, mengambil tanggung jawab bagi tindakan mereka sendiri
dan berhubungan baik dengan yang lain. Kajian-kajian yang menginvestigasi
kesalinghubungan antara nilai-nilai, pilihan-pilihan, dan perilaku menunjukkan
bahwa nilai-nilai menjadi bagian dari determinasi diri seseorang, dan dengan
demikian penting dalam pemaknaan identitas seseorang.
2. Kesalinghubungan
Kesalinghubungan melibatkan anak-anak ke dalam komunitasnya untuk
membantu mereka medefinisikan siapa mereka, bisa menjadi apa mereka,
dan bagaimana dan mengapa mereka penting bagi orang lain. Kaum
konstruktivis sosial mendukung bahwa perkembangan kognitif berasal dari
interaksi dengan yang lain. Peran konteks sosial itu merupakan pusat
perkembangan anak. Anak mengalami dunia mereka sebagai suatu lingkungan
kesalinghubungan, dan kesalinghubungan ini mempengaruhi semua aspek
perkembangannya: kognitif, sosial, emosional, fisik, dan moral. Pada masa
pertengahan dan akhir masa kanak-kanak, anak-anak menunjukkan
peningkatan dalam perspektif kecakapan yang berpasangan dengan empati,
adalah mendasar dalam berhubungan dengan sesama.
3. Pilihan
Nilai-nilai memandu pilihan-pilihan seseorang dan pilihan itu menyingkap
karakter dan sistem nilai seseorang. Pilihan, yang mempengaruhi perilaku
seseorang, didasarkan pada nilai-nilai. Siswa membutuhkan nilai-nilai untuk
membuat pilihan dan memahami mengapa pilihan tertentu itu benar atau
salah. Pilihan ini penting untuk membantu siswa bertindak berdasarkan nilainilai, untuk melakukan apa yang diyakini sebagai benar, bahkan dalam
suasana tekanan dan godaan. Dengan demikian, pilihan-pilihan adalah
platform yangh memampukan siswa menerapkan dan menjelaskan nilai-nilai
mereka.
Untuk mengurai ketiga ide besar tersebut, berikut ini dikutipkan
pemahaman kunci dan persoalan kunci dari CCE di Singapura. Persoalan kunci
diidentifikasi untuk memandu dan merangsang diskusi di kelas. Untuk setiap
bidang (gambar berikutnya), persoalan kunci diidentifikasi lebih lanjut untuk
memandu siswa berpikir tentang kebiasaan-kebiasaannya, nilai-nilainya, sikapsikapnya, kompetensi-kompetensinya, dan keahlian-keahliannya yang dimiliki
untuk menangani pengalaman hidup yang beragam.
Gambar 5. Pemahaman kunci dan persoalan kunci
Gambar 6. Pemahaman kunci dan persoalan kunci pada setiap bidang
Paparan tentang silabus CCE di atas sebenarnya belum utuh tersampaikan,
tetapi sebagai suatu sistem pendidikan yang menjadi jantung pengembangan karakter
bangsa, apa yang disistematisasikan melalui CCE tersebut bisa menjadi alternatif
komparatif untuk penataan Pendidikan Kewarganegaraan dan Karakter di Indonesia.
Tentu saja, pancaran pengembangan karakter dari sekolah ke dunia luas hanya akan
dihargai sebagai berhasil gemilang jika diikuti konsistensi perilaku secara demonstratif.
Althof & Berkowitz (2006: 505) dengan mengutip berbagai data riset, mengemukakan
bahaya kegagalan substansial yang mengintai jika kelas PKnK hanya diajarkan
textbook . Setidaknya, diskusi tentang isu-isu yang mengemuka di masyarakat perlu
ditradisikan dalam praktek pembelajaran PKnK (tentu diiringi dengan suasana dan
teladan demonstratif lingkungan belajar siswa).
III. Pentingnya Sistem Terintegrasi
PKnK dimaksudkan sebagai sistem pendidikan terintegrasi antara
Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Karakter, persis sama pemaknaan
idealitasnya dengan CCE. Meskipun demikian, lokalitas ke-indonesiaan di PKnK
sebagaimana juga Singapura di CCE
perlu diidentifikasi secara ekstensif dan
intensif. Pemahaman tentang pendidikan multikultural di Indonesia, Bhinneka
Tunggal Ika, pengarusutamaan gender, dan sebagainya, adalah beberapa
resultante mind mapping yang boleh jadi meneguhkan dan memperkuat
substansi isi PKnK, tanpa mengurangi dampak kegamangan yang ditimbulkan.
Dampak kegamangan ini niscaya terjadi ketika nilai-nilai yang mapan dan
terstrukturkan senantiasa harus rela berhadapan dengan nilai-nilai baru, baik
yang datang dari luar (lazim terjadi, biasanya dihubungkan dengan globalisasimondial), maupun yang muncul dari dalam (secara negatif berasal dari
keengganan generasi baru terhadap tata nilai lama dengan berbagai alasan).
Fleksibilitas menjadi sikap yang diperlukan sembari memegang teguh jati
diri kewarganegaraan ke-Indonesiaan. Hubungan intersubjektivitas menjadi batu
ujian paling demokratis dari ketangguhan karakter bangsa, dari pada pemaksaan
legalitas formal dan non-formal penaungnya. Tata nilai intersubjektivitas ini
saling berkelindan dengan semangat berbagi kemanusiaan bersama seiring
dengan pemahaman-pemahaman baru dari kesalinghubungan individu dengan
individu lain dan dengan masyarakat di mana dia hidup.
Apa yang penulis maksud dengan tata nilai intersubjektivitas ini tidak
berbeda jauh dengan apa yang ditulis oleh Dikdik (2012: 90, mengacu pada
Kementerian Pendidikan Nasional) sebagai konfigurasi karakter , yang dalam
konteks totalitas proses psikologis dan socio-cultural dapat dikelompokkan ke
dalam kelompok olah hati (spiritual and emotional development), olah pikir
(intellectual development), olah raga dan kinestetik (physical and kinestetic
development), dan olah rasa dan karsa (affective and creativity development).
Penyimpulan Dikdik tentang kontribusi Pendidikan Kewarganegaraan
terhadap Pendidikan Karakter (atau dalam bahasa yang lazim dan lebih holistik,
pengembangan karakter bangsa) sebenarnya mengulang dan menjelaskan lagi
tulisan Winataputra. Dikdik (2012: 85) menyimpulkan:
Sebagai program kurikuler, mata kuliah pendidikan kewarganegaraan
dapat dijadikan wahana pengembangan karakter bangsa dalam
masyarakat yang multikultural melalui tiga cara. Pertama, ke dalam
materi kajian mata kuliah pendidikan kewarganegaraan disisipkan nilainilai karakter bangsa yang penting dimiliki oleh setiap warga negara
sebagai karakter individu agar pada gilirannya dapat terakumulasi
menjadi karakter bangsa. Kedua, kelas pendidikan kewarganegaraan
difungsikan sebagai laboratorium demokrasi, yang mengubah proses
pembelajaran yang dominatif menjadi integratif, dan ketiga
memerankan masyarakat dan lingkungan sebagai sumber belajar
pendidikan kewarganegaraan.
Sebagaimana diulas di bagian II, CCE (yang bisa dianalogikan sebagai PKnK)
secara komprehensif dan rinci mensistematisasikan kesalingterjalinan antara
nilai-nilai inti, kompetensi emosioal dan sosial, serta melek kewarganegaraan,
kesadaran global, kecakapan lintas-budaya sebagai kerangka kompetensi dan
luaran subjek didik abad ke-21. Tiga ide besar yang dirinci dalam pemahamanpemahaman dan persoalan-persoalan kunci, semakin mengokohkan kelenturan
yang berjati diri
dari sistem Pendidikan Kewarganegaraan dan Karakter.
Operasional di kelas pembelajaran tentu lebih luas dan detail, apalagi jika
kreativitas guru mampu menderivasikan konsep-konsep umum dan kompetensikompetensi mendasar dalam pembelajaran PKnK.
Hidup di jaman ini relatif tidak kompatibel lagi belajar karakter seperti
kisah pewayangan Bima Suci: seorang murid yang menggapai kegemilangan
karakter paripurna dengan mematuhi petunjuk guru yang sesungguhnya hendak
menjerumuskan
si
murid.
Keberpihakan
moral/karakter
guru,
sangat
menentukan bagi keberhasilan murid sebagai subjek utama pembangunan
karakter bangsa. Hal ini juga mencakup orientasi keseluruhan proses belajar
mengajar, di mana pengembangan seluruh potensi siswa (tidak hanya aspek
kognitif) mengharuskan guru tidak sekedar transfer pengetahuan (sebagaimana
diwanti-wanti Paulo Freire), namun juga menjadi panduan demonstratif
bagaimana pendidikan kemudian membebaskan, menyadarkan siswa terhadap
budaya bisu, atau dalam bahasa Freire yang lebih tendensius, terhadap
pendidikan yang menindas.
Pembangunan dan pengembangan karakter bangsa, apapun wahananya, di
Indonesia berlandaskan dan berkiblat pada nilai-nilai bangsa yang memiliki dasar
legitimasi yuridis, filosofis, historis, politis, dan kultural. Keberpihakan itu,
meskipun dipahami secara terbuka non-ekslusif, berlandaskan pada sumber
darinya memancar karakter bangsa, yakni Pancasila.
REFERENSI
Althof, Wolfgang and Berkowitz, Marvin W., 2006, Moral
and Character
Education: Their Relationship and Roles in Citizenship Education, dalam
Journal of Moral Education, Routledge, Vol. 35, No. 4, December 2006, pp.
495 518.
Dikdik Baehaqi Arif, 2012, Kontribusi Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
untuk Pengembangan Karakter Bangsa: Prospek dan Tantangan di Tengah
Masyarakat yang Multikultural, dalam Jurnal Didaktika, Volume 1 Nomor 1
April 2012, hal. 85-98.
http://www.democraticlife.org.uk/citizenship-education/
http://www.citizenshipfoundation.org.uk/main/page.php?286
Student Development Curriculum Division
Ministry of Education, Singapore,
2014, Character and Citizenship Education: Primary.
Oleh Made Pramono2
I. Pendahuluan
Umat manusia perlu memahami bahwa mereka berbagai kemanusiaan
bersama
dan pemahaman ini harus meluas
dari subjek partikular ke
masyarakat secara umum (Youniss & Yates, 1999: 369).
Masyarakat yang
benar-benar maju, warga negaranya perlu memahami siapa mereka secara
intrinsik, dan aktif pro-sosial. Masyarakat manusia memerlukan pendidikan demi
pengembangan pro-sosial ini. Di antara sekian banyak pendekatan untuk
mendidik pengembangan generasi muda yang positif (pro-sosial) ini, ada dua
pendekatan dominan, yakni pendidikan moral dan pendidikan karakter.
Meskipun sering dipertukarkan, sesungguhnya kedua jenis pendidikan ini
berbeda, salah satunya adalah bahwa pendidikan karakter lebih komprehensif
dan lebih luas dibandingkan (dan mencakup) pendidikan moral, sebagaimana
istilah citizenship education yang lebih luas dari pada (dan mencakup) civic
education (Althof & Berkowitz, 2006: 499-500, 504), untuk terjemahan
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dalam Bahasa Inggris.
Tulisan ini bermuara pada citizenship education yang dilihat dalam
perspektif kemungkinan perkembangannya di masa depan dihubungkan dengan
Pancasila. Pancasila bagi penulis merupakan sumber utama pendidikan karakter
di Indonesia. Oleh sebab itu, membangun pribadi Pancasilais terkait erat secara
konseptual salah satunya dengan membahas sistem pendidikan integratif yang
bermuatan karakter. Istilah Pendidikan Kewarganegaraan dan Karakter (PKnK)
diintrodusir penulis untuk menunjuk pada kelekatan orientatif-koherensif dua
1
2
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Himpunan Mahasiswa Nasional PPKn 2014,
Membangun Pribadi Pancasilais Melalui Pendidikan Kewarganegaraan , Gedung Gema
Unesa, 27 November 2014.
Dr. Made Pramono, M.Hum., dosen Filsafat di Universitas Negeri Surabaya.
Email: made.pramono@gmail.com.
disiplin (Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Karakter), selain dari
mengadopsi istilah CCE (Character and Citizenship Education) Singapura yang
diringkas di bagian II. (Sebagai catatan, istilah PKnK tidak diambisikan penulis
untuk menambah daftar nama dalam sejarah peristilahan dari apa yang sekarang
disebut PKn. Pada tahun 2015, sesuai amanat kurikulum terbaru, PKn
rencananya
kembali lagi
Kewarganegaraan).
menjadi PPKn
Pendidikan
Pancasila
dan
Sistem pendidikan Indonesia mengatur bahwa kurikulum pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi wajib memuat Pendidikan
Kewarganegaraan yang dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi
manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air sesuai dengan
Pancasila dan UUD 1945. (Pasal 37 ayat (1) dan (2) UU No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional). Ketentuan ini sesungguhnya menunjukkan
bahwa PKn menempati kedudukan yang strategis dalam upaya pembentukan
watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan menjadikan manusia sebagai warga negara yang
demokratis dan bertanggung jawab (Dikdik, 2012: 92).
Pengajaran PKn sekedar dengan teori PKn adalah tidak efektif, seyogyanya
institusi pendidikan merefleksikan praktek demokratis dengan memberi
keleluasaan terhadap subjek didik untuk ikut mengelola pengambilan keputusan.
Proses internalisasi komitmen dan kepercayaan nilai-nilai demokratis, sulit
tumbuh di institusi-institusi pendidikan yang tidak demokratis.
Kewarganegaraan mencakup tindakan warga yang secara bersama-sama
memahami
persoalan-persoalan
umum
untuk
mengembangkan
budaya
demokratis dan memajukan masyarakat. Untuk menuju hal tsb, PKn
mengajarkan pengetahuan, pemahaman tentang politik, hukum, dan ekonomi
dan kecakapan berpartisipasi secara efektif dan bertanggung jawab dalam
kehidupan umum dan demokratik. Ini bukan berarti menyesuaikan seseorang
agar sama cetakannya , atau menciptakan warga yang baik atau jadi model .
Kata kunci PKn, bukan sekedar mengajar, tetapi mendemonstrasikan.
Melalui PKn, subjek didik:
•
Mengeksplorasi persoalan-persoalan demokrasi, keadilan, ketidaksetaraan,
bagaimana memerintah dan mengorganisir.
•
Belajar bekerja bersama untuk menciptakan solusi yang mencoba
memetakan tantangan-tantangan menghadapi komunitas lain atau yang
lebih luas.
•
Mengembangkan melek politik untuk membuat kontribusi positif ke
masyarakat sebagai warga yang berpengetahuan dan bertanggung jawab.
Idealitas di atas sebenarnya sudah disistematisasikan dan diproyeksikan
oleh Kementerian Pendidikan Nasional (misalnya publikasinya tahun 2010),
namun kerentanan moralitas dan keruntuhan karakter bangsa selalu menghantui
bangsa ini (dan juga mayoritas bangsa-bangsa lain), setidaknya yang bisa
direfleksikan dari berbagai fenomena dan pemberitaan di tanah air. Tulisan ini
salah satu upaya meretas sistem pendidikan kewarganegaraan dan karakter yang
integratif.
II. Belajar dari Character and Citizenship Education3
Di Singapura, Character and Citizenship Education (CCE) menjadi jantung
sistem pendidikan. Melalui CCE, siswa belajar bertanggung jawab terhadap
keluarga dan lingkungannya, dan paham peran mereka dalam membentuk masa
depan bangsa. Trend baru dan perkembangan global yang mempengaruhi
masyarakat (spt perubahan sosial, globalisasi, dan kemajuan teknologi) penting
dalam mempertimbangkan kurikulum PKnK.
CCE merupakan sentral kerangka kompetensi dan luaran subjek didik abad
ke-21 (Gambar 1), yang menekankan pada kesalingterjalinan antara nilai-nilai
3
Khusus bagian II ini penulis sarikan dari Student Development Curriculum Division
Education, Singapore, 2014, Character and Citizenship Education: Primary.
Ministry of
inti, kompetensi emosioal dan sosial, serta melek kewarganegaraan, kesadaran
global, kecakapan lintas-budaya.
Gambar 1. Kerangka kompetensi dan luaran subjek didik abad ke-21
A. Nilai-nilai inti
Nilai-nilai inti (respect, responsibility, resilience, integrity, care, dan
harmony) adalah nilai-nilai fundamental untuk menjadi seseorang yang
berkarakter baik dan menjadi warga negara yg berguna.
Gambar 2. Nilai-nilai inti
B. Kompetensi sosial dan emosional
Pembelajaran sosial dan emosional merupakan perolehan berbagai
kecakapan yang diperlukan untuk mengenali dan mengatur emosi2, membangun
kepedulian dan perhatian terhadap sesama, membuat keputusan yg
bertanggung jawab, membentuk kesalinghubungan yg positif dan menangani
situasi2 yg menantang secara efektif.
Kompetensi2 sosial dan emosional dapat dikategorisasikan ke dalam 5
bidang yang saling terhubung: self-awareness, self-management, social
awareness, relationship management, dan responsible decision making. Bidang
kesadaran diri dan manajemen diri berhubungan dengan pemahaman diri yang
membantu mengatur emosi dan perilaku seseorang. Bidang kesadaran sosial dan
manajemen kesalinghubungan berhubungan dengan interaksi sosial seseorang.
Dalam pengambilan keputusan yang bertanggung jawab, pilihan moral dan etis
harus dibuat dalam rangka bagaimana seseorang menangani dirinya sendiri,
berhubungan dengan sesama, dan berhadapan dengan situasi-situasi yang
menantang.
Gambar 3. Kompetensi-kompetensi sosial dan emosional
C. Kecakapan yang berhubungan dengan kompetensi kewarganegaraan
Kecakapan-kecakapan
ini
berhubungan
dengan
kompetensi
kewarganegaraan yang diartikulasikan di dalam komponen bidang melek
kewarganegaraan, kesadaran global, kecakapan lintas-budaya dalam Kerangka
kompetensi dan luaran subjek didik abad ke-21.
Gambar 4. Kompetensi-kompetensi melek kewarganegaraan, kesadaran global,
kecakapan lintas-budaya
D. Prinsip-Prinsip Pemanduan Pengajaran dan Pembelajaran
1. Setiap guru adalah guru PKnK
Guru adalah posisi terbaik untuk memimpin dan menguatkan nilai-nilai inti.
Guru memerankan model dan menciptakan peluang belajar untuk
membentuk dan menanamkan nilai-nilai inti. Guru mengembangkan ke setiap
siswa makna harga diri dan percaya diri, semangat resiliensi, kepedulian dan
kasih terhadap sesama. Guru menggunakan perkembangan profesionalnya
sendiri untuk memperlengkapi siswa-siswanya dengan keahlian dan
kompetensi untuk mengasah, asih, dan asuh mereka agar menjadi warga
negara aktif yang berkarakter baik.
2. Nilai-nilai bisa diajarkan dan ditangkap
Nilai-nilai diajarkan ketika nilai-nilai itu secara eksplisit diekspresikan melalui
pengetahuan dan kecakapan sebagaimana tergambar dalam luaran
pembelajaran PKnK. Nilai-nilai ditangkap ketika siswa melihat nilai-nilai itu
dihidupkan dalam pengalaman-pengalaman belajar yang berbeda-beda,
pertama dalam peran model dan orang-orang yang penting bagi mereka, dan
lalu dalam kehidupan mereka sendiri. Kualitas kesalinghubungan guru-murid
dan lingkungan kepedulian menjadi esensial bagi pengembangan karakter
para siswa.
3. Pelibatan siswa melalui beragam mode pengantaran
Siswa belajar nilai-nilai melalui instruksi, praktek keahlian, pemodelan peran
oleh guru atau sejawat, dan penguatan positif selama strukturisasi waktu ajar
dan
momen-momen
pengajaran.
Guru
pengalaman pembelajaran yang beragam.
menghadirkan
pengalaman-
4. Orang tua sebagai partner kunci
Orang tua merupakan navigator kunci pertumbuhan anak-anak mereka. Siswa
sangat beruntung jika lingkungan rumah dan sekolah sesuai satu sama lain.
Diupayakan, siswa terkoneksi kolaborasi rumah-sekolah untuk pembelajaran
yang lebih baik, harga diri yang sehat, sikap dan perilaku yang lebih positif
dalam hidupnya. Dengan demikian, sekolah melibatkan dan berkolaborasi
dengan orang tua untuk menghadirkan kepedulian, dukungan, dan penguatan
keluarga yang penting di rumah. Komunikasi efektif program-program PKnK di
sekolah dan pembekalan platform bagi pelibatan aktif orang tua di sekolah
akan sangat membantu orang tua menjadi partner yang terpaut.
E. Tiga Ide Besar
Tiga ide besar yang mencakup identitas, kesalinghubungan, dan pilihan,
adalah konsep-konsep penting di PKnK agar siswa mampu mengembangkan
pemahaman-pemahaman kunci.
1. Identitas
Pemahaman tentang identitas memuat seperangkat nilai dan ide. Identitas
yang terbangun-baik memberikan makna kekuatan, kelemahan, dan keunikan
individual. Pengembangan pemahaman diri signifikan di pertengahan akhir
masa kanak-kanak (khususnya antara 8-11 tahun). Anak-anak membutuhkan
pengertian tentang kompetensi dan industri sebelum beranjak ke formasi
identitas kedewasaan. Hal ini menjadikan siswa mampu memperoleh
pengetahuan-diri, mengambil tanggung jawab bagi tindakan mereka sendiri
dan berhubungan baik dengan yang lain. Kajian-kajian yang menginvestigasi
kesalinghubungan antara nilai-nilai, pilihan-pilihan, dan perilaku menunjukkan
bahwa nilai-nilai menjadi bagian dari determinasi diri seseorang, dan dengan
demikian penting dalam pemaknaan identitas seseorang.
2. Kesalinghubungan
Kesalinghubungan melibatkan anak-anak ke dalam komunitasnya untuk
membantu mereka medefinisikan siapa mereka, bisa menjadi apa mereka,
dan bagaimana dan mengapa mereka penting bagi orang lain. Kaum
konstruktivis sosial mendukung bahwa perkembangan kognitif berasal dari
interaksi dengan yang lain. Peran konteks sosial itu merupakan pusat
perkembangan anak. Anak mengalami dunia mereka sebagai suatu lingkungan
kesalinghubungan, dan kesalinghubungan ini mempengaruhi semua aspek
perkembangannya: kognitif, sosial, emosional, fisik, dan moral. Pada masa
pertengahan dan akhir masa kanak-kanak, anak-anak menunjukkan
peningkatan dalam perspektif kecakapan yang berpasangan dengan empati,
adalah mendasar dalam berhubungan dengan sesama.
3. Pilihan
Nilai-nilai memandu pilihan-pilihan seseorang dan pilihan itu menyingkap
karakter dan sistem nilai seseorang. Pilihan, yang mempengaruhi perilaku
seseorang, didasarkan pada nilai-nilai. Siswa membutuhkan nilai-nilai untuk
membuat pilihan dan memahami mengapa pilihan tertentu itu benar atau
salah. Pilihan ini penting untuk membantu siswa bertindak berdasarkan nilainilai, untuk melakukan apa yang diyakini sebagai benar, bahkan dalam
suasana tekanan dan godaan. Dengan demikian, pilihan-pilihan adalah
platform yangh memampukan siswa menerapkan dan menjelaskan nilai-nilai
mereka.
Untuk mengurai ketiga ide besar tersebut, berikut ini dikutipkan
pemahaman kunci dan persoalan kunci dari CCE di Singapura. Persoalan kunci
diidentifikasi untuk memandu dan merangsang diskusi di kelas. Untuk setiap
bidang (gambar berikutnya), persoalan kunci diidentifikasi lebih lanjut untuk
memandu siswa berpikir tentang kebiasaan-kebiasaannya, nilai-nilainya, sikapsikapnya, kompetensi-kompetensinya, dan keahlian-keahliannya yang dimiliki
untuk menangani pengalaman hidup yang beragam.
Gambar 5. Pemahaman kunci dan persoalan kunci
Gambar 6. Pemahaman kunci dan persoalan kunci pada setiap bidang
Paparan tentang silabus CCE di atas sebenarnya belum utuh tersampaikan,
tetapi sebagai suatu sistem pendidikan yang menjadi jantung pengembangan karakter
bangsa, apa yang disistematisasikan melalui CCE tersebut bisa menjadi alternatif
komparatif untuk penataan Pendidikan Kewarganegaraan dan Karakter di Indonesia.
Tentu saja, pancaran pengembangan karakter dari sekolah ke dunia luas hanya akan
dihargai sebagai berhasil gemilang jika diikuti konsistensi perilaku secara demonstratif.
Althof & Berkowitz (2006: 505) dengan mengutip berbagai data riset, mengemukakan
bahaya kegagalan substansial yang mengintai jika kelas PKnK hanya diajarkan
textbook . Setidaknya, diskusi tentang isu-isu yang mengemuka di masyarakat perlu
ditradisikan dalam praktek pembelajaran PKnK (tentu diiringi dengan suasana dan
teladan demonstratif lingkungan belajar siswa).
III. Pentingnya Sistem Terintegrasi
PKnK dimaksudkan sebagai sistem pendidikan terintegrasi antara
Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Karakter, persis sama pemaknaan
idealitasnya dengan CCE. Meskipun demikian, lokalitas ke-indonesiaan di PKnK
sebagaimana juga Singapura di CCE
perlu diidentifikasi secara ekstensif dan
intensif. Pemahaman tentang pendidikan multikultural di Indonesia, Bhinneka
Tunggal Ika, pengarusutamaan gender, dan sebagainya, adalah beberapa
resultante mind mapping yang boleh jadi meneguhkan dan memperkuat
substansi isi PKnK, tanpa mengurangi dampak kegamangan yang ditimbulkan.
Dampak kegamangan ini niscaya terjadi ketika nilai-nilai yang mapan dan
terstrukturkan senantiasa harus rela berhadapan dengan nilai-nilai baru, baik
yang datang dari luar (lazim terjadi, biasanya dihubungkan dengan globalisasimondial), maupun yang muncul dari dalam (secara negatif berasal dari
keengganan generasi baru terhadap tata nilai lama dengan berbagai alasan).
Fleksibilitas menjadi sikap yang diperlukan sembari memegang teguh jati
diri kewarganegaraan ke-Indonesiaan. Hubungan intersubjektivitas menjadi batu
ujian paling demokratis dari ketangguhan karakter bangsa, dari pada pemaksaan
legalitas formal dan non-formal penaungnya. Tata nilai intersubjektivitas ini
saling berkelindan dengan semangat berbagi kemanusiaan bersama seiring
dengan pemahaman-pemahaman baru dari kesalinghubungan individu dengan
individu lain dan dengan masyarakat di mana dia hidup.
Apa yang penulis maksud dengan tata nilai intersubjektivitas ini tidak
berbeda jauh dengan apa yang ditulis oleh Dikdik (2012: 90, mengacu pada
Kementerian Pendidikan Nasional) sebagai konfigurasi karakter , yang dalam
konteks totalitas proses psikologis dan socio-cultural dapat dikelompokkan ke
dalam kelompok olah hati (spiritual and emotional development), olah pikir
(intellectual development), olah raga dan kinestetik (physical and kinestetic
development), dan olah rasa dan karsa (affective and creativity development).
Penyimpulan Dikdik tentang kontribusi Pendidikan Kewarganegaraan
terhadap Pendidikan Karakter (atau dalam bahasa yang lazim dan lebih holistik,
pengembangan karakter bangsa) sebenarnya mengulang dan menjelaskan lagi
tulisan Winataputra. Dikdik (2012: 85) menyimpulkan:
Sebagai program kurikuler, mata kuliah pendidikan kewarganegaraan
dapat dijadikan wahana pengembangan karakter bangsa dalam
masyarakat yang multikultural melalui tiga cara. Pertama, ke dalam
materi kajian mata kuliah pendidikan kewarganegaraan disisipkan nilainilai karakter bangsa yang penting dimiliki oleh setiap warga negara
sebagai karakter individu agar pada gilirannya dapat terakumulasi
menjadi karakter bangsa. Kedua, kelas pendidikan kewarganegaraan
difungsikan sebagai laboratorium demokrasi, yang mengubah proses
pembelajaran yang dominatif menjadi integratif, dan ketiga
memerankan masyarakat dan lingkungan sebagai sumber belajar
pendidikan kewarganegaraan.
Sebagaimana diulas di bagian II, CCE (yang bisa dianalogikan sebagai PKnK)
secara komprehensif dan rinci mensistematisasikan kesalingterjalinan antara
nilai-nilai inti, kompetensi emosioal dan sosial, serta melek kewarganegaraan,
kesadaran global, kecakapan lintas-budaya sebagai kerangka kompetensi dan
luaran subjek didik abad ke-21. Tiga ide besar yang dirinci dalam pemahamanpemahaman dan persoalan-persoalan kunci, semakin mengokohkan kelenturan
yang berjati diri
dari sistem Pendidikan Kewarganegaraan dan Karakter.
Operasional di kelas pembelajaran tentu lebih luas dan detail, apalagi jika
kreativitas guru mampu menderivasikan konsep-konsep umum dan kompetensikompetensi mendasar dalam pembelajaran PKnK.
Hidup di jaman ini relatif tidak kompatibel lagi belajar karakter seperti
kisah pewayangan Bima Suci: seorang murid yang menggapai kegemilangan
karakter paripurna dengan mematuhi petunjuk guru yang sesungguhnya hendak
menjerumuskan
si
murid.
Keberpihakan
moral/karakter
guru,
sangat
menentukan bagi keberhasilan murid sebagai subjek utama pembangunan
karakter bangsa. Hal ini juga mencakup orientasi keseluruhan proses belajar
mengajar, di mana pengembangan seluruh potensi siswa (tidak hanya aspek
kognitif) mengharuskan guru tidak sekedar transfer pengetahuan (sebagaimana
diwanti-wanti Paulo Freire), namun juga menjadi panduan demonstratif
bagaimana pendidikan kemudian membebaskan, menyadarkan siswa terhadap
budaya bisu, atau dalam bahasa Freire yang lebih tendensius, terhadap
pendidikan yang menindas.
Pembangunan dan pengembangan karakter bangsa, apapun wahananya, di
Indonesia berlandaskan dan berkiblat pada nilai-nilai bangsa yang memiliki dasar
legitimasi yuridis, filosofis, historis, politis, dan kultural. Keberpihakan itu,
meskipun dipahami secara terbuka non-ekslusif, berlandaskan pada sumber
darinya memancar karakter bangsa, yakni Pancasila.
REFERENSI
Althof, Wolfgang and Berkowitz, Marvin W., 2006, Moral
and Character
Education: Their Relationship and Roles in Citizenship Education, dalam
Journal of Moral Education, Routledge, Vol. 35, No. 4, December 2006, pp.
495 518.
Dikdik Baehaqi Arif, 2012, Kontribusi Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
untuk Pengembangan Karakter Bangsa: Prospek dan Tantangan di Tengah
Masyarakat yang Multikultural, dalam Jurnal Didaktika, Volume 1 Nomor 1
April 2012, hal. 85-98.
http://www.democraticlife.org.uk/citizenship-education/
http://www.citizenshipfoundation.org.uk/main/page.php?286
Student Development Curriculum Division
Ministry of Education, Singapore,
2014, Character and Citizenship Education: Primary.