PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN KARAKTER . pdf

Pendidikan Kewarganegaraan dan Karakter (PKnK)1
Oleh Made Pramono2
I. Pendahuluan

Umat manusia perlu memahami bahwa mereka berbagai kemanusiaan

bersama

dan pemahaman ini harus meluas

dari subjek partikular ke

masyarakat secara umum (Youniss & Yates, 1999: 369).

Masyarakat yang

benar-benar maju, warga negaranya perlu memahami siapa mereka secara

intrinsik, dan aktif pro-sosial. Masyarakat manusia memerlukan pendidikan demi

pengembangan pro-sosial ini. Di antara sekian banyak pendekatan untuk


mendidik pengembangan generasi muda yang positif (pro-sosial) ini, ada dua
pendekatan dominan, yakni pendidikan moral dan pendidikan karakter.

Meskipun sering dipertukarkan, sesungguhnya kedua jenis pendidikan ini

berbeda, salah satunya adalah bahwa pendidikan karakter lebih komprehensif
dan lebih luas dibandingkan (dan mencakup) pendidikan moral, sebagaimana

istilah citizenship education yang lebih luas dari pada (dan mencakup) civic

education (Althof & Berkowitz, 2006: 499-500, 504), untuk terjemahan

Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dalam Bahasa Inggris.

Tulisan ini bermuara pada citizenship education yang dilihat dalam

perspektif kemungkinan perkembangannya di masa depan dihubungkan dengan

Pancasila. Pancasila bagi penulis merupakan sumber utama pendidikan karakter

di Indonesia. Oleh sebab itu, membangun pribadi Pancasilais terkait erat secara

konseptual salah satunya dengan membahas sistem pendidikan integratif yang

bermuatan karakter. Istilah Pendidikan Kewarganegaraan dan Karakter (PKnK)
diintrodusir penulis untuk menunjuk pada kelekatan orientatif-koherensif dua
1

2

Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Himpunan Mahasiswa Nasional PPKn 2014,
Membangun Pribadi Pancasilais Melalui Pendidikan Kewarganegaraan , Gedung Gema
Unesa, 27 November 2014.
Dr. Made Pramono, M.Hum., dosen Filsafat di Universitas Negeri Surabaya.
Email: made.pramono@gmail.com.

disiplin (Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Karakter), selain dari
mengadopsi istilah CCE (Character and Citizenship Education) Singapura yang

diringkas di bagian II. (Sebagai catatan, istilah PKnK tidak diambisikan penulis

untuk menambah daftar nama dalam sejarah peristilahan dari apa yang sekarang

disebut PKn. Pada tahun 2015, sesuai amanat kurikulum terbaru, PKn
rencananya

kembali lagi

Kewarganegaraan).

menjadi PPKn

Pendidikan

Pancasila

dan

Sistem pendidikan Indonesia mengatur bahwa kurikulum pendidikan dasar,

pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi wajib memuat Pendidikan


Kewarganegaraan yang dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi

manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air sesuai dengan
Pancasila dan UUD 1945. (Pasal 37 ayat (1) dan (2) UU No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional). Ketentuan ini sesungguhnya menunjukkan

bahwa PKn menempati kedudukan yang strategis dalam upaya pembentukan

watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan menjadikan manusia sebagai warga negara yang
demokratis dan bertanggung jawab (Dikdik, 2012: 92).

Pengajaran PKn sekedar dengan teori PKn adalah tidak efektif, seyogyanya

institusi pendidikan merefleksikan praktek demokratis dengan memberi
keleluasaan terhadap subjek didik untuk ikut mengelola pengambilan keputusan.

Proses internalisasi komitmen dan kepercayaan nilai-nilai demokratis, sulit
tumbuh di institusi-institusi pendidikan yang tidak demokratis.


Kewarganegaraan mencakup tindakan warga yang secara bersama-sama

memahami

persoalan-persoalan

umum

untuk

mengembangkan

budaya

demokratis dan memajukan masyarakat. Untuk menuju hal tsb, PKn

mengajarkan pengetahuan, pemahaman tentang politik, hukum, dan ekonomi
dan kecakapan berpartisipasi secara efektif dan bertanggung jawab dalam


kehidupan umum dan demokratik. Ini bukan berarti menyesuaikan seseorang

agar sama cetakannya , atau menciptakan warga yang baik atau jadi model .
Kata kunci PKn, bukan sekedar mengajar, tetapi mendemonstrasikan.
Melalui PKn, subjek didik:



Mengeksplorasi persoalan-persoalan demokrasi, keadilan, ketidaksetaraan,
bagaimana memerintah dan mengorganisir.



Belajar bekerja bersama untuk menciptakan solusi yang mencoba
memetakan tantangan-tantangan menghadapi komunitas lain atau yang
lebih luas.



Mengembangkan melek politik untuk membuat kontribusi positif ke

masyarakat sebagai warga yang berpengetahuan dan bertanggung jawab.

Idealitas di atas sebenarnya sudah disistematisasikan dan diproyeksikan

oleh Kementerian Pendidikan Nasional (misalnya publikasinya tahun 2010),
namun kerentanan moralitas dan keruntuhan karakter bangsa selalu menghantui

bangsa ini (dan juga mayoritas bangsa-bangsa lain), setidaknya yang bisa
direfleksikan dari berbagai fenomena dan pemberitaan di tanah air. Tulisan ini

salah satu upaya meretas sistem pendidikan kewarganegaraan dan karakter yang
integratif.

II. Belajar dari Character and Citizenship Education3

Di Singapura, Character and Citizenship Education (CCE) menjadi jantung

sistem pendidikan. Melalui CCE, siswa belajar bertanggung jawab terhadap

keluarga dan lingkungannya, dan paham peran mereka dalam membentuk masa

depan bangsa. Trend baru dan perkembangan global yang mempengaruhi
masyarakat (spt perubahan sosial, globalisasi, dan kemajuan teknologi) penting
dalam mempertimbangkan kurikulum PKnK.

CCE merupakan sentral kerangka kompetensi dan luaran subjek didik abad

ke-21 (Gambar 1), yang menekankan pada kesalingterjalinan antara nilai-nilai
3

Khusus bagian II ini penulis sarikan dari Student Development Curriculum Division
Education, Singapore, 2014, Character and Citizenship Education: Primary.

Ministry of

inti, kompetensi emosioal dan sosial, serta melek kewarganegaraan, kesadaran

global, kecakapan lintas-budaya.

Gambar 1. Kerangka kompetensi dan luaran subjek didik abad ke-21
A. Nilai-nilai inti


Nilai-nilai inti (respect, responsibility, resilience, integrity, care, dan

harmony) adalah nilai-nilai fundamental untuk menjadi seseorang yang
berkarakter baik dan menjadi warga negara yg berguna.

Gambar 2. Nilai-nilai inti

B. Kompetensi sosial dan emosional

Pembelajaran sosial dan emosional merupakan perolehan berbagai

kecakapan yang diperlukan untuk mengenali dan mengatur emosi2, membangun

kepedulian dan perhatian terhadap sesama, membuat keputusan yg
bertanggung jawab, membentuk kesalinghubungan yg positif dan menangani
situasi2 yg menantang secara efektif.

Kompetensi2 sosial dan emosional dapat dikategorisasikan ke dalam 5


bidang yang saling terhubung: self-awareness, self-management, social

awareness, relationship management, dan responsible decision making. Bidang
kesadaran diri dan manajemen diri berhubungan dengan pemahaman diri yang
membantu mengatur emosi dan perilaku seseorang. Bidang kesadaran sosial dan

manajemen kesalinghubungan berhubungan dengan interaksi sosial seseorang.

Dalam pengambilan keputusan yang bertanggung jawab, pilihan moral dan etis
harus dibuat dalam rangka bagaimana seseorang menangani dirinya sendiri,

berhubungan dengan sesama, dan berhadapan dengan situasi-situasi yang
menantang.

Gambar 3. Kompetensi-kompetensi sosial dan emosional
C. Kecakapan yang berhubungan dengan kompetensi kewarganegaraan

Kecakapan-kecakapan

ini


berhubungan

dengan

kompetensi

kewarganegaraan yang diartikulasikan di dalam komponen bidang melek

kewarganegaraan, kesadaran global, kecakapan lintas-budaya dalam Kerangka
kompetensi dan luaran subjek didik abad ke-21.

Gambar 4. Kompetensi-kompetensi melek kewarganegaraan, kesadaran global,
kecakapan lintas-budaya

D. Prinsip-Prinsip Pemanduan Pengajaran dan Pembelajaran
1. Setiap guru adalah guru PKnK

Guru adalah posisi terbaik untuk memimpin dan menguatkan nilai-nilai inti.
Guru memerankan model dan menciptakan peluang belajar untuk

membentuk dan menanamkan nilai-nilai inti. Guru mengembangkan ke setiap

siswa makna harga diri dan percaya diri, semangat resiliensi, kepedulian dan
kasih terhadap sesama. Guru menggunakan perkembangan profesionalnya

sendiri untuk memperlengkapi siswa-siswanya dengan keahlian dan
kompetensi untuk mengasah, asih, dan asuh mereka agar menjadi warga
negara aktif yang berkarakter baik.

2. Nilai-nilai bisa diajarkan dan ditangkap

Nilai-nilai diajarkan ketika nilai-nilai itu secara eksplisit diekspresikan melalui
pengetahuan dan kecakapan sebagaimana tergambar dalam luaran

pembelajaran PKnK. Nilai-nilai ditangkap ketika siswa melihat nilai-nilai itu

dihidupkan dalam pengalaman-pengalaman belajar yang berbeda-beda,
pertama dalam peran model dan orang-orang yang penting bagi mereka, dan

lalu dalam kehidupan mereka sendiri. Kualitas kesalinghubungan guru-murid
dan lingkungan kepedulian menjadi esensial bagi pengembangan karakter
para siswa.

3. Pelibatan siswa melalui beragam mode pengantaran

Siswa belajar nilai-nilai melalui instruksi, praktek keahlian, pemodelan peran
oleh guru atau sejawat, dan penguatan positif selama strukturisasi waktu ajar
dan

momen-momen

pengajaran.

Guru

pengalaman pembelajaran yang beragam.

menghadirkan

pengalaman-

4. Orang tua sebagai partner kunci

Orang tua merupakan navigator kunci pertumbuhan anak-anak mereka. Siswa
sangat beruntung jika lingkungan rumah dan sekolah sesuai satu sama lain.

Diupayakan, siswa terkoneksi kolaborasi rumah-sekolah untuk pembelajaran
yang lebih baik, harga diri yang sehat, sikap dan perilaku yang lebih positif

dalam hidupnya. Dengan demikian, sekolah melibatkan dan berkolaborasi

dengan orang tua untuk menghadirkan kepedulian, dukungan, dan penguatan
keluarga yang penting di rumah. Komunikasi efektif program-program PKnK di
sekolah dan pembekalan platform bagi pelibatan aktif orang tua di sekolah
akan sangat membantu orang tua menjadi partner yang terpaut.
E. Tiga Ide Besar

Tiga ide besar yang mencakup identitas, kesalinghubungan, dan pilihan,

adalah konsep-konsep penting di PKnK agar siswa mampu mengembangkan
pemahaman-pemahaman kunci.
1. Identitas

Pemahaman tentang identitas memuat seperangkat nilai dan ide. Identitas

yang terbangun-baik memberikan makna kekuatan, kelemahan, dan keunikan
individual. Pengembangan pemahaman diri signifikan di pertengahan akhir

masa kanak-kanak (khususnya antara 8-11 tahun). Anak-anak membutuhkan

pengertian tentang kompetensi dan industri sebelum beranjak ke formasi
identitas kedewasaan. Hal ini menjadikan siswa mampu memperoleh

pengetahuan-diri, mengambil tanggung jawab bagi tindakan mereka sendiri

dan berhubungan baik dengan yang lain. Kajian-kajian yang menginvestigasi
kesalinghubungan antara nilai-nilai, pilihan-pilihan, dan perilaku menunjukkan
bahwa nilai-nilai menjadi bagian dari determinasi diri seseorang, dan dengan
demikian penting dalam pemaknaan identitas seseorang.

2. Kesalinghubungan

Kesalinghubungan melibatkan anak-anak ke dalam komunitasnya untuk
membantu mereka medefinisikan siapa mereka, bisa menjadi apa mereka,

dan bagaimana dan mengapa mereka penting bagi orang lain. Kaum

konstruktivis sosial mendukung bahwa perkembangan kognitif berasal dari

interaksi dengan yang lain. Peran konteks sosial itu merupakan pusat
perkembangan anak. Anak mengalami dunia mereka sebagai suatu lingkungan

kesalinghubungan, dan kesalinghubungan ini mempengaruhi semua aspek
perkembangannya: kognitif, sosial, emosional, fisik, dan moral. Pada masa

pertengahan dan akhir masa kanak-kanak, anak-anak menunjukkan

peningkatan dalam perspektif kecakapan yang berpasangan dengan empati,
adalah mendasar dalam berhubungan dengan sesama.

3. Pilihan

Nilai-nilai memandu pilihan-pilihan seseorang dan pilihan itu menyingkap
karakter dan sistem nilai seseorang. Pilihan, yang mempengaruhi perilaku

seseorang, didasarkan pada nilai-nilai. Siswa membutuhkan nilai-nilai untuk
membuat pilihan dan memahami mengapa pilihan tertentu itu benar atau

salah. Pilihan ini penting untuk membantu siswa bertindak berdasarkan nilainilai, untuk melakukan apa yang diyakini sebagai benar, bahkan dalam

suasana tekanan dan godaan. Dengan demikian, pilihan-pilihan adalah

platform yangh memampukan siswa menerapkan dan menjelaskan nilai-nilai
mereka.

Untuk mengurai ketiga ide besar tersebut, berikut ini dikutipkan

pemahaman kunci dan persoalan kunci dari CCE di Singapura. Persoalan kunci
diidentifikasi untuk memandu dan merangsang diskusi di kelas. Untuk setiap

bidang (gambar berikutnya), persoalan kunci diidentifikasi lebih lanjut untuk

memandu siswa berpikir tentang kebiasaan-kebiasaannya, nilai-nilainya, sikapsikapnya, kompetensi-kompetensinya, dan keahlian-keahliannya yang dimiliki
untuk menangani pengalaman hidup yang beragam.

Gambar 5. Pemahaman kunci dan persoalan kunci

Gambar 6. Pemahaman kunci dan persoalan kunci pada setiap bidang
Paparan tentang silabus CCE di atas sebenarnya belum utuh tersampaikan,

tetapi sebagai suatu sistem pendidikan yang menjadi jantung pengembangan karakter
bangsa, apa yang disistematisasikan melalui CCE tersebut bisa menjadi alternatif

komparatif untuk penataan Pendidikan Kewarganegaraan dan Karakter di Indonesia.

Tentu saja, pancaran pengembangan karakter dari sekolah ke dunia luas hanya akan
dihargai sebagai berhasil gemilang jika diikuti konsistensi perilaku secara demonstratif.
Althof & Berkowitz (2006: 505) dengan mengutip berbagai data riset, mengemukakan

bahaya kegagalan substansial yang mengintai jika kelas PKnK hanya diajarkan
textbook . Setidaknya, diskusi tentang isu-isu yang mengemuka di masyarakat perlu

ditradisikan dalam praktek pembelajaran PKnK (tentu diiringi dengan suasana dan
teladan demonstratif lingkungan belajar siswa).

III. Pentingnya Sistem Terintegrasi

PKnK dimaksudkan sebagai sistem pendidikan terintegrasi antara

Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Karakter, persis sama pemaknaan
idealitasnya dengan CCE. Meskipun demikian, lokalitas ke-indonesiaan di PKnK

sebagaimana juga Singapura di CCE

perlu diidentifikasi secara ekstensif dan

intensif. Pemahaman tentang pendidikan multikultural di Indonesia, Bhinneka

Tunggal Ika, pengarusutamaan gender, dan sebagainya, adalah beberapa

resultante mind mapping yang boleh jadi meneguhkan dan memperkuat

substansi isi PKnK, tanpa mengurangi dampak kegamangan yang ditimbulkan.
Dampak kegamangan ini niscaya terjadi ketika nilai-nilai yang mapan dan

terstrukturkan senantiasa harus rela berhadapan dengan nilai-nilai baru, baik

yang datang dari luar (lazim terjadi, biasanya dihubungkan dengan globalisasimondial), maupun yang muncul dari dalam (secara negatif berasal dari
keengganan generasi baru terhadap tata nilai lama dengan berbagai alasan).

Fleksibilitas menjadi sikap yang diperlukan sembari memegang teguh jati

diri kewarganegaraan ke-Indonesiaan. Hubungan intersubjektivitas menjadi batu
ujian paling demokratis dari ketangguhan karakter bangsa, dari pada pemaksaan

legalitas formal dan non-formal penaungnya. Tata nilai intersubjektivitas ini

saling berkelindan dengan semangat berbagi kemanusiaan bersama seiring
dengan pemahaman-pemahaman baru dari kesalinghubungan individu dengan
individu lain dan dengan masyarakat di mana dia hidup.

Apa yang penulis maksud dengan tata nilai intersubjektivitas ini tidak

berbeda jauh dengan apa yang ditulis oleh Dikdik (2012: 90, mengacu pada

Kementerian Pendidikan Nasional) sebagai konfigurasi karakter , yang dalam
konteks totalitas proses psikologis dan socio-cultural dapat dikelompokkan ke

dalam kelompok olah hati (spiritual and emotional development), olah pikir
(intellectual development), olah raga dan kinestetik (physical and kinestetic

development), dan olah rasa dan karsa (affective and creativity development).

Penyimpulan Dikdik tentang kontribusi Pendidikan Kewarganegaraan

terhadap Pendidikan Karakter (atau dalam bahasa yang lazim dan lebih holistik,

pengembangan karakter bangsa) sebenarnya mengulang dan menjelaskan lagi
tulisan Winataputra. Dikdik (2012: 85) menyimpulkan:

Sebagai program kurikuler, mata kuliah pendidikan kewarganegaraan
dapat dijadikan wahana pengembangan karakter bangsa dalam
masyarakat yang multikultural melalui tiga cara. Pertama, ke dalam
materi kajian mata kuliah pendidikan kewarganegaraan disisipkan nilainilai karakter bangsa yang penting dimiliki oleh setiap warga negara
sebagai karakter individu agar pada gilirannya dapat terakumulasi
menjadi karakter bangsa. Kedua, kelas pendidikan kewarganegaraan
difungsikan sebagai laboratorium demokrasi, yang mengubah proses
pembelajaran yang dominatif menjadi integratif, dan ketiga
memerankan masyarakat dan lingkungan sebagai sumber belajar
pendidikan kewarganegaraan.
Sebagaimana diulas di bagian II, CCE (yang bisa dianalogikan sebagai PKnK)

secara komprehensif dan rinci mensistematisasikan kesalingterjalinan antara

nilai-nilai inti, kompetensi emosioal dan sosial, serta melek kewarganegaraan,
kesadaran global, kecakapan lintas-budaya sebagai kerangka kompetensi dan

luaran subjek didik abad ke-21. Tiga ide besar yang dirinci dalam pemahamanpemahaman dan persoalan-persoalan kunci, semakin mengokohkan kelenturan
yang berjati diri

dari sistem Pendidikan Kewarganegaraan dan Karakter.

Operasional di kelas pembelajaran tentu lebih luas dan detail, apalagi jika

kreativitas guru mampu menderivasikan konsep-konsep umum dan kompetensikompetensi mendasar dalam pembelajaran PKnK.

Hidup di jaman ini relatif tidak kompatibel lagi belajar karakter seperti

kisah pewayangan Bima Suci: seorang murid yang menggapai kegemilangan

karakter paripurna dengan mematuhi petunjuk guru yang sesungguhnya hendak
menjerumuskan

si

murid.

Keberpihakan

moral/karakter

guru,

sangat

menentukan bagi keberhasilan murid sebagai subjek utama pembangunan

karakter bangsa. Hal ini juga mencakup orientasi keseluruhan proses belajar

mengajar, di mana pengembangan seluruh potensi siswa (tidak hanya aspek
kognitif) mengharuskan guru tidak sekedar transfer pengetahuan (sebagaimana

diwanti-wanti Paulo Freire), namun juga menjadi panduan demonstratif
bagaimana pendidikan kemudian membebaskan, menyadarkan siswa terhadap

budaya bisu, atau dalam bahasa Freire yang lebih tendensius, terhadap
pendidikan yang menindas.

Pembangunan dan pengembangan karakter bangsa, apapun wahananya, di

Indonesia berlandaskan dan berkiblat pada nilai-nilai bangsa yang memiliki dasar
legitimasi yuridis, filosofis, historis, politis, dan kultural. Keberpihakan itu,

meskipun dipahami secara terbuka non-ekslusif, berlandaskan pada sumber
darinya memancar karakter bangsa, yakni Pancasila.

REFERENSI

Althof, Wolfgang and Berkowitz, Marvin W., 2006, Moral

and Character

Education: Their Relationship and Roles in Citizenship Education, dalam
Journal of Moral Education, Routledge, Vol. 35, No. 4, December 2006, pp.
495 518.

Dikdik Baehaqi Arif, 2012, Kontribusi Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
untuk Pengembangan Karakter Bangsa: Prospek dan Tantangan di Tengah

Masyarakat yang Multikultural, dalam Jurnal Didaktika, Volume 1 Nomor 1
April 2012, hal. 85-98.

http://www.democraticlife.org.uk/citizenship-education/

http://www.citizenshipfoundation.org.uk/main/page.php?286
Student Development Curriculum Division

Ministry of Education, Singapore,

2014, Character and Citizenship Education: Primary.