Hubungan Karakteristik Ibu Dengan Kasus Balita Gizi Buruk Pada Keluarga Petani Karet Di Wilayah Binaan Wahana Visi Indonesia Area Development Program Kabupaten Nias Tahun 2013

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anak Balita

Anak balita usia 1-5 tahun (usia prasekolah) merupakan usia dalam daur kehidupan dimana pertumbuhan tidak sepesat pada masa bayi, tetapi aktivitasnya banyak, masa yang menentukan dalam tumbuh kembangnya, yang akan menjadi dasar terbentuknya manusia seutuhnya. Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah masa balita. Hal ini dikarenakan pada masa balita pertumbuhan dasar akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya. Balita yang dalam masa pertumbuhan ini merupakan kelompok yang rentan terhadap adanya perubahan dalam konsumsi makanan. Balita juga merupakan kelompok umur yang rawan dengan gizi dan penyakit, kelompok yang paling rawan menderita akibat gizi, kurang kalori protein. Ada beberapa faktor yang menyebabkan usia ini rawan gizi dan kesehatan, antara lain : (Adriani, 2012)

1. Anak balita usia 1-5 tahun masih berada dalam masa transisi dari makanan bayi ke makanan orang dewasa.

2. Biasanya anak sudah mempunyai adik, atau ibunya sudah bekerja penuh sehingga perhatian ibu sudah berkurang.

3. Usia ini anak sudah mulai main tanah dan sudah bias main di luar rumah sendiri, sehingga lebih mudah terpapar dengan lingkungan yang kotor dan kondisi yang memungkinkan anak untuk terinfeksi dengan berbagai penyakit.


(2)

4. Anak sudah biasa mengurusi dirinya sendiri seperti bermain dan termasuk dalam pemilihan makanan, sehingga kadang kala ibu tidak begitu memperhatikan lagi makanan anak.

Untuk mencegah anak balita ini mengalami masalah gizi, maka perlu dipelajari pentingnya peranan gizi dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya. Adapun yang menjadi kebutuhan dasar anak untuk tumbuh dan berkembang, yaitu : kasih sayang dan perlindungan yang optimal, imunisasi dasar dan suplementasi kapsul vitamin A, pendidikan dan pengasuhan dini pada orang tua terlebih pada ibunya, perawatan kesehatan dan pencegahan kecacatan dan cedera, mendapatkan lingkungan yang sehat dan aman dan mendapat makanan bergizi seimbang, sejak lahir sampai enam bulan hanya diberi ASI saja, sesudah enam bulan sampai dua tahun ASI ditambah makanan pendamping ASI (Istiany, 2003).

Menurut Worthington-Roberts dan William (2000), zat gizi diperlukan untuk pertumbuhan, mengatur proses dalam tubuh, menyediakan energi dalam tubuh dan juga mempengaruhi kualitas kecerdasan dan perkembangan anak di masa mendatang. Pertumbuhan bayi selama satu tahun setelah kelahiran sangat cepat. Pada tahun ini merupakan masa yang sangat kritis dalam kehidupan bayi, bukan hanya pertumbuhan fisik yang berlangsung dengan cepat, tetapi juga pertumbuhan psikomotor dan akulturasi yang terjadi dengan cepat. Bayi normal akan mengalami pertambahan berat badannya sebanyak tiga kali lipat, sedangkan panjang badannya sebanyak 50 %. Pada masa ini lah anak balita perlu memperoleh zat gizi dari makanan sehari-hari dengan jumlah yang tepat dan kualitas yang baik (Gibney, dkk 2009).


(3)

2.1.1 Makanan Untuk Anak Balita

a. ASI

ASI adalah makanan yang kaya campuran makanan yang sangat mengandung gizi. ASI merupakan makanan utama paling baik bagi bayi hingga umur dua tahun, dan dianjurkan memberikannya secara ekslusif selama enam bulan pertama. ASI (air susu ibu) memiliki unsur-unsur yang memenuhi semua kebutuhan bayi selama periode sekitar 6 bulan, tetapi harus diperhatikan pertumbuhan bayi pada periode tersebut, karena tidak semua ibu memproduksi ASI yang cukup. Selain itu ASI juga merupakan makanan yang higienis, murah, mudah diberikan dan sudah tersedia bagi bayi. Berbeda dengan susu formula atau makanan tambahan yang diberikan secara dini pada bayi. Susu formula sangat susah diserap usus bayi sehingga dapat menyebabkan susah buang air besar pada bayi. Proses pembuatan susu formula yang tidak steril menyebabkan bayi rentan terkena diare. Hal ini akan menjadi pemicu terjadinya kurang gizi pada anak dan akibat dari kurang gizi anak lebih mudah terserang penyakit infeksi (Depkes, 2004).

ASI merupakan pilihan yang terbaik bagi bayi karena di dalamnya mengandung antibodi dan lebih dari 100 jenis zat gizi seperti AA, DHA, taurin dan spingomyelin yang tidak terdapat dalam susu sapi. DHA dan AA adalah asam lemak tak jenuh berantai panjang yang diperlukan untuk pembentukan sel-sel otak yang optimal, sehingga dapat menjamin untuk pertumbuhan dan kecerdasan anak (Yuliarti, 2010).


(4)

Pemberian ASI dianjurkan sampai anak berumur 2 tahun. Pemberian ASI merupakan hal yang sangat membantu bagi ibu dan anak bukan hanya memberikan asupan nutrisi dan energi yang memadai, tetapi juga asuhan psikososial melalui pembentukan ikatan kasih sayang dengan ibu dan anak juga kesehatan melalui unsur imunologik yang ada pada ASI. Tidak ada jadwal khusus untuk pemberian ASI pada bayi (Soekidjo, 2011).

b. Makanan Pendamping ASI

Status gizi merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh pada kualitas sumber daya manusia karena sangat mempengaruhi kecerdasan, produktivitas, dan kreativitas. Dalam upaya peningkatan status gizi pada hakekatnya harus dimulai sedini mungkin. Selanjutnya untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat-zat gizi lainnya bayi diberikan makanan pendamping ASI. Sesudah bayi berusia 6 bulan, pemberian ASI saja tidak dapat memberikan energi yang cukup serta nutrisi untuk meningkatkan tumbuh-kembang anak secara optimal. Makanan pendamping ASI (MP-ASI) merupakan makanan yang diberikan kepada bayi selain ASI, karena kebutuhan bayi yang semakin meningkat. Selain melengkapi zat-zat gizi yang kurang juga mengembangkan kemampuan bayi menerima berbagai macam makanan dengan rasa dan bentuk yang berbeda-beda, mengembangkan kemampuan bayi untuk mengunyah dan menelan serta melakukan adaptasi terhadap makanan yang mengandung kadar energi yang tinggi (Depkes RI, 2003).

MP-ASI merupakan peralihan asupan yang semata berbasis susu menuju ke makanan yang semi padat. Untuk proses ini juga dibutuhkan keterampilan motorik oral. Keterampilan motorik oral berkembang dari refleks menghisap menjadi menelan


(5)

makanan yang berbentuk bukan cairan dengan memindahkan makanan dari lidah bagian depan ke lidah bagian belakang (Depkes, 2000).

Menurut WHO, tanda-tanda bayi siap diberikan MP-ASI, yaitu : bayi sudah bisa duduk dengan sempurna, bayi sudah dapat menyangga kepala dengan lehernya yang baik, bayi merasa lapar walaupun sudah diberikan ASI, bayi sudah bisa menggerakkan lidahnya, jika bayi sudah dapat memindahkan makanannya ke bagian belakang mulut dan menelannya. Makanan tambahan biasanya diberikan pada trimester kedua atau bayi 6 bulan ke atas, untuk mempertahankan pertumbuhan anak dengan kecepatan yang sama. Makanan bayi sebisa mungkin harus : (Gibney, dkk) - padat energi dan nutrisi

- harus lebih bervariasi, terutama dalam pemilihan bahan makanan - mudah didapat dan disiapkan oleh keluarga

- dapat diterima secara budaya

-memiliki tekstur yang tepat menurut usia dan perkembangan anak - bersih dan aman untuk dikonsumsi

Makanan pendamping ASI bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan zat gizi anak, penyesuaian kemampuan alat cerna dalam menerima makanan tambahan dan merupakan masa peralihan dari ASI ke makanan keluarga. Pemberian makanan tambahan pada anak balita juga merupakan proses pendidikan dimana bayi diajar mengunyah dan menelan makanan padat dan membiasakan anak untuk merasakan jenis dan rasa baru pada makanan (Soehardjo, 2003).


(6)

2.2 Masalah Gizi Pada Anak Balita

Status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, dinyatakan juga sebagai keadaan tubuh yang merupakan akibat dari konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi dengan 4 klasifikasi yaitu status gizi buruk, kurang, baik, dan lebih. Pada masa balita gizi sangat penting untuk pertumbuhan. Konsumsi makan juga berpengaruh terhadap status gizi anak. Status gizi baik terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien sehingga memungkinkan pertumbuhan fisk, perkembangan otak, kemampuan kerja dan keehatatan secara optimal. Sedangkan status gizi kurang terjadi apabila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial. Gizi buruk merupakan bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi, merupakan keadaan kurang gizi tingkat berat yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dan makanan sehari-hari yang terjadi dalam waktu yang cukup lama. Status gizi lebih terjadi bila tubuh memperoleh zat-zat gizi dalam jumlah yang berlebihan sehingga menimbulakan efek toksis atau membahayakan kesehatan tubuh (Istiany, 2013).

Terdapat beberapa masalah gizi terutama pada anak yang dapat mengganggu perkembangan optimal fisik dan mental anak, yaitu : (Adriani, 2012)

- Gizi kurang, gizi buruk, dan gizi lebih - Anemia defisiensi besi (anemia gizi besi) - Kekurangan vitamin A


(7)

Masalah gizi disamping merupakan sindroma yang erat kaitannya dengan masalah ketahanan pangan di tingkat rumah tangga juga merupakan aspek pengetahuan, sikap perilaku yang kurang mendukung pola hidup sehat. Sementara dari penelitian lain menemukan bahwa di dalam rumah tangga di pedesaan, gizi kurang pada anak balita diduga kebiasaan memberikan makanan pada anak yang kurang memenuhi syarat (Sajogyo, 1996).

Secara garis besar, masalah gizi pada anak balita merupakan dampak dari ketidakseimbangan antara antara asupan dan keluaran zat gizi, yaitu asupan yang melebihi keluaran dan sebaliknya, disamping kesalahan dalam memilih makanan untuk dikonsumsi yang berkaitan dengan tingkat pengetahuan pengasuh dalam hal ini terutama ibu anak balita (Sunarti, 2004).

2.2.1 Kasus Gizi Buruk Pada Anak Balita

Status gizi merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan kejadian morbiditas dan mortalitas. Status gizi juga menentukan kualitas SDM yang berpengaruh terhadap produktivitas dan status kesehatan. Gizi yang baik akan berpengaruh terhadap pertumbuhan sel-sel otak dan organ-organ vital lainnya yang dapat bertumbuh kembang secara optimal. Sebaliknya gizi yang kurang dapat menghambat pertumbuhan sel otak dan organ tubuh lainnya. Keadaan gizi yang baik merupakan salah satu faktor penting dalam upaya mencapai derajat kesehatan yang optimal, hal ini juga sangat menentukan dalam sumber daya manusia. Sedangkan gizi yang buruk dapat mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan anak disepanjang usia kanak-kanak (Almatsier, 2011).


(8)

Masa bayi dan balita sangat rentan terhadap penyakit infeksi. Jika anak sering sakit dan tidak ditangani dengan benar dapat mengganggu proses tumbuh kembangnya, daya tahan tubuh menurun. Apabila daya tahan tubuh menurun anak akan menjadi rentan terhadap penyakit, anak menjadi susah makan karena nafsu makan menurun atau hilang, dan sebaliknya. Hal ini dapat mengakibatkan kecukupan kebutuhan asupan gizi dalam tubuh berkurang sehingga anak dapat mengalami gizi kurang ataupun gizi buruk (Supariasa, 2008).

Gizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang kekurangan nutrisi, atau nutrisinya di bawah standar. Gizi buruk masih menjadi masalah yang belum terselesaikan sampai saat ini. Gizi buruk banyak dialami oleh anak dibawah lima tahun (balita). Masalah gizi buruk dan kekurangan gizi telah menjadi keprihatinan dunia sebab penderita gizi buruk umumnya adalah balita dan anak-anak yang tidak lain adalah generasi penerus bangsa (Adisasmito, 2007).

Masalah gizi timbul karena berbagai faktor yang saling berkaitan satu sama lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat pendidikan atau pengetahuan, sosial ekonomi, dan keadaan lingkungan sekitar dan juga karena kurangnya kesadaran masyarakat tentang gizi. Peran ibu sangat penting dalam status gizi anak, mulai dari perhatian pemberian makan yang baik dan cukup, pemilihan makanan yang tepat untuk anak dan perawatan yang baik untuk anak (Almatsier, 2011).

Secara langsung masalah gizi buruk timbul karena tidak tersedianya zat-zat gizi dalam jumlah dan kualitas yang cukup untuk memenuhi kebutuhan atau keadaan kurang gizi tingkat berat yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dan makanan sehari-hari yang terjadi dalam waktu yang cukup lama.


(9)

Konsumsi makanan merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan akan zat-zat gizi. Konsumsi makanan itu sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan secara kompleks seperti tersedianya bahan makanan, status ekonomi, segi-segi sosial budaya, serta status kesehatan (WKNPG,1997).

Ada dua istilah dalam penggolongan gizi buruk : (Achadi, 2012) 1. Kwashiorkor

Kwashiorkor adalah istilah yang yang digunakan pertama kali oleh Afrika, artinya sindroma perkembangan anak dimana anak tersebut disapih tidak mendapatkan ASI sesudah satu tahun karena menanti kelahiran bayi berikutnya. Dengan begitu anak mengalami kekurangan protein baik dari segi kualitas dan kuantitas.

Gejala umum kwashiorkor adalah antara lain :  Pertumbuhan dan mental anak mundur,  Perkembangan mental menjadi apatis  Edema dibagian kaki

 Muka gemuk seperti bulan  Otot menyusut (kurus)

 Depigmentasi rambut dan kulit

 Karakteristik di kulit : timbul sisik (flaky paint dermatosis), mudah terkelupas  Mudah infeksi dan diare

2. Marasmus

Marasmus adalah suatu keadaan kekurangan protein dan kilokalori yang kronis. Karakteristik dari marasmus adalah berat badan sangat rendah karena anak


(10)

tidak cukup mendapat makanan jenis zat pangan manapun, baik protein maupun zat pemberi tenaga.

Gejala umum marasmus adalah antara lain :  Kurus kering

 Tampak hanya tulang dan kulit

 Otot dan lemak bawah kulit atropi (mengecil)  Wajah seperti orang tua

 Berkerut/keriput  Diare umum terjadi

Masalah penyebab terjadinya marasmus :  Masalah sosial

 Kemiskinan  Infeksi

 Mikroorganisme pathogen penyebab diare  Kecepatan pertumbuhan melambat

2.2.2 Faktor Penyebab Terjadinya Gizi Buruk Pada Anak Balita

Ada beberapa faktor terjadinya gizi buruk pada anak balita, yaitu : anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang, anak tidak cukup mendapat asuhan gizi yang memadai, anak menderita penyakit infeksi. Penanggulangan masalah gizi buruk perlu dilakukan secara terpadu, melalui upaya-upaya peningkatan pengadaan pangan, penganekaragaman makanan produksi dan konsumsi pangan, peningkatan status


(11)

sosial ekonomi, pendidikan dan kesehatan masyarakat. Gizi buruk yang ditandai dengan tanda-tanda klinis disebut marasmus dan kwashiorkor.

Faktor yang mempengaruhi memburuknya keadaan gizi, yaitu pelayanan kesehatan yang tidak memadai, penyakit infeksi, pola asuh, konsumsi makanan yang kurang yang pada akhirnya dapat berdampak pada kematian.

Sumber : Adisasmito (2007).

Penyebab langsung terjadinya gizi buruk pada anak balita adalah makanan anak yang tidak bergizi dan penyakit infeksi. Dan yang merupakan penyebab tidak langsung terjadinya gizi buruk pada anak balita adalah ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Ketahanan pangan dikeluarga adalah kemampuan adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup, baik jumlah maupun gizinya. Standar hidup layak dihitung dari pendapatan per kapita (tingkat ekonomi). Pola pengasuhan adalah kemampuan keluarga dan masyarakat


(12)

untuk menyediakan waktu, perhatian, dan dukungan terhadap anak agar dapat bertumbuh dan berkembang dengan sebaik-baiknya secara fisik, mental, dan sosial. Pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan adalah tersedianya air bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga yang membutuhkan. Ketiga faktor penyebabab tidak langsung tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan keluarga. Semakin tinggi pendidikan, pengetahuan, dann keterampilan, terdapat kemungkinan semakin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, semakin baik pola pengasuhan anak, dan semakin banyak keluarga yang memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada. (Adisasmito, 2007).

Gizi buruk secara langsung maupun tidak langsung dapat menurunkan tingkat kecerdasan anak. Terlambatnya masa pertumbuhan dan perkembangan anak serta menurunnya produktivitas, gizi buruk secara langsung disebabkan oleh kurangnya asupan makanan dan penyakit infeksi. Namun, secara tidak langsung, disebabkan oleh ketersediaan pangan, sanitasi pelayanan kesehatan, pola asuhan kemampuan daya beli, pendidikan dan pengetahuan orang tua. Anak balita yang terkena gizi buruk akan memiliki perkembangan tubuh yang lebih buruk jika dibandingkan dengan anak yang gizinya cukup baik dalam usia yang sekarang maupun dalam perkembangan usia kanak-kanak di kemudian hari. Akibat gizi buruk bagi perkembangan anak bergantung hingga taraf tertentu keparahan dan durasi definisi serta tahap perkembangan anak. Ada tahap-tahap sensitif yang bervariasi menurut definisi nutrien tertentu, kendati defisiensi gizi dapat membawa akibat di sepanjang kehidupan (Michael, dkk. 2009).


(13)

2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Balita

Faktor yang mempengaruhi status gizi telah diperkenalkan UNICEF dan telah digunakan untuk menilai status gizi yang dikutip dari materi Aksi Pangan dan Gizi Nasional (Depkes RI, 2000) sebagai berikut :

1. Makanan anak dan penyakit infeksi yang diderita anak. Penyebab kurang baiknya status gizi tidak hanya disebabkan makanan yang kurang tetapi juga karena penyakit anak. Anak yang mendapatkan makanan yang baik tapi sering sakit (diare atau demam) dapat mempengaruhi status gizi balita.

2. Ketahanan pangan keluarga. Pola asuh serta pelayanan kesehatan dan lingkungan merupakan kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keuarga dalam jumlah yang cukup dan baik mutunya. Pola pengasuhan keluarga untuk menyediakan waktunya, perhatian dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang secara optimal baik fisik, mental dan sosial.

2.3.1 Tingkat Pendidikan Ibu

Pendidikan adalah upaya yang paling efektif untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Kualitas sosial ekonomi, kesehatan, dan gizi yang baik tidak akan dapat bertahan tanpa adanya manusia yang memiliki pendidikan yang berkualitas. Faktor pendidikan ibu yang rendah berdampak pada pengetahuan ibu yang rendah tentang pola hidup sehat dan pentingnya zat gizi bagi kesehatan. Perilaku keluarga yang salah dalam penyediaan makanan pada anak juga akan menimbulkan masalah


(14)

gizi pada anak. Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh kembang anak, karena dengan pendidikan yang baik, maka orang tua dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara pengasuhan anak yang baik/cara mempraktekkan pola asuh dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana cara menjaga kesehatan anak, pendidikannya dan sebagainya (Soetjiningsih, 1995).

Pendidikan orangtua khususnya pendidikan ibu berpengaruh terhadap kemampuannya dalam menerima informasi dari luar, terutama dalam pengasuhan anak, cara merawat anak yang baik, bagaimana menjaga anak agar tetap sehat dan mengajari anak dengan benar. Pendidikan ibu juga sangat penting dalam penyediaan makanan bagi anak balitanya, pengetahuan yang diperoleh ibu sangat menentukan dalam memilih jenis makanan yang dikonsumsi oleh balitanya dan anggota keluarga lainnya. Tingkat kecukupan energi dan zat gizi pada balita relative tinggi bila pendidikan ibu tinggi (Depkes RI, 2000).

Angka melek huruf ibu merupakan salah satu indikator penting yang membawa pengaruh positif terhadap anak. Hal ini dapat memudahkan ibu untuk memperoleh dan menyerap informasi yang ada khususnya dalam hal kesehatan dan gizi anak. Pendidikan gizi ibu bertujuan untuk meningkatkan penggunaan sumber daya makanan yang tersedia. Dari hal terebut dapat diasumsikan bahwa tingkat kecukupan energi dan zat gizi pada balita relatif tinggi bila pendidikan gizi ibu tinggi (Kemenkes, 2013).

Pendidikan formal ibu akan mempengaruhi tingkat pengetahuan gizi ibu, semakin tinggi pendidikan ibu semakin tinggi kemampuan untuk menyerap pengetahuan praktis dan pendidikan non formal terutama melalui media massa. (Berg, 1986).


(15)

Ibu yang pendidikannya lebih rendah atau tidak berpendidikan biasanya mempunyai anak yang lebih banyak dibandingkan dengan yang berpendidikan lebih tinggi. Selain itu, ibu yang berpendidikan rendah lebih susah diajak untuk mendapatkan dan menyerap informasi yang ada. Ibu yang mempunyai pengetahuan baik tentang pangan dan gizi, maka dalam hal pemilihan makanan keluarga akan memperhatikan faktor gizi termasuk memperbaiki keadaan gizi balita. Dan balita yang mengalami pertumbuhan yang lambat/balita dengan status gizi buruk juga berisiko 3 kali lebih besar berasal dari ibu yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah (Paudel, 2012). 2.3.2 Pengetahuan Ibu

Masalah gizi pada anak balita merupakan dampak dari ketidakseimbangan antara asupan dan keluaran zat gizi, yaitu asupan yang melebihi keluaran dan sebaliknya, masalah ini berkaitan dalam memilih makanan untuk dikonsumsi anak balita, kesalahan tersebut sangat berkaitan dengan tingkat pengetahuan pengasuh dalam hal ini terutama ibu anak balita.

Seorang ibu yang memiliki tingkat pendidikan yang baik juga akan memiliki pengetahuan yang baik. Pengetahuan (knowledge) adalah sesuatu yang hadir dan terwujud dalam jiwa dan pikiran seseorang dikarenakan adanya reaksi, persentuhan dan hubungan dengan lingkungan dan alam sekitarnya. Oleh karena itu, pengetahuan ibu tentang kebutuhan gizi terutama untuk balita sangat penting sekali, hal ini disebabkan untuk menciptakan generasi mendatang yang lebih baik, serta memiliki kualitas hidup yang produktif. Peningkatan pengetahuan, sikap dan praktek dari ibu tentang pola pengasuhan, pemilihan makanan yang tepat dan menu makanan seimbang, juga sangat membantu untuk peningkatan perilaku ibu dalam pemberian


(16)

makanan yang seimbang dan beragam untuk kebutuhan gizi anak. Kurangnya pengetahuan ibu tentang gizi tentunya dapat berpengaruh terhadap masalah gizi kurang pada anak balita. Kurangnya gizi pada balita dapat disebabkan sikap atau perilaku ibu yang menjadi faktor dalam pemilihan makanan yang tidak benar. Pemilihan bahan makanan, tersedianya jumlah makanan yang cukup dan keanekaragaman makanan ini dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan ibu tentang makanan dan gizinya. Ketidaktahuan ibu dapat menyebabkan kesalahan pemilihan makanan terutama untuk anak balita (Mardiana, 2005).

Pengetahuan yang diperoleh akan memberikan sikap yang menguntungkan bagi dirinya, keluarga dan masyarakat. Pola pengasuhan anak berupa sikap dan perilaku ibu dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, memperhatikan kebersihan anak balita, dan memberi kasih sayang yang tulus tentunya berawal dari pengetahuan yang baik. Kesemuanya itu berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal kesehatan (fisik dan mental), status gizi, pendidikan umum, keterampilan tentang pengasuhan anak yang baik, dan status pekerjaan ibu (Adisasmito, 2007).

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan terjadi setelah orang melakukan pengamatan terhadap suatu objek tertentu. Pengamatan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Mata dan telinga merupakan alat indera yang paling besar pengaruhnya untuk memperoleh pengetahuan. Pengetahuan merupakan hal yang sangat penting dalam bentuk tindakan seseorang. Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang


(17)

lain. Dari pengalaman yang didasari oleh pengetahuan akan lebih bertahan lama daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan.

Pengetahuan mempunyai enam tingkatan, yaitu (Notoadmojo, 2003) : 1. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalaman pengetahuan tingkat ini adaah mengingat kembali sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau yang diterima, oeh sebab itu tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.

2. Memahami (Comprehension)

Memahami adalah suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menjelaskan objek tersebut secara benar.

3. Aplikasi (Aplication)

Aplikasi merupakan kemampuan untuk menggunakan atau menerapkan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya.

4. Analisis (Analysis)

Analisis merupakan suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atu objek ke dalam bagian-bagian yag masih ada kaitannya antara satu dengan yang lain. 5. Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian tertentu menjadi bentuk yang baru.

6. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek.


(18)

Menurut Suharjo (2006) hal yang meyakinkan pentingnya pengetahuan gizi didasarkan pada tiga kenyataan :

1. Status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan da kesejahteraan.

2. Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan yang optimal, pemeliharaan dan energi.

3. Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar mengunakan pangan dengan baik dengan baik bagi kesejahteraan gizi.

Berdasarkan penelitian Turnif (2008) di Kecamatan Sidikalang menyebutkan bahwa dari 64 ibu yang mempunyai tingkat pengetahuan baik terdapat 92,05 % memiliki anak dengan status gizi baik. Hal ini menggambarkan bahwa semakin tinggi tingkat pengetahuan ibu status gizi anak juga semakin baik.

2.3.3 Jumlah Anak Dalam Keluarga

Banyaknya anak dalam keluarga mengakibatkan beratnya beban tanggungan keluarga baik secara sosial (pola pengasuhan anak), maupun secara ekonomi yang selanjutnya berpengaruh terhadap status gizi anak. Perhatian ibu untuk anak jadi berkurang karena anak yang lain minta diperhatikan akhirnya anak tidak semua mendapat perhatian dari ibunya. Jumlah anak dalam keluarga berhubungan dengan beban pekerjaan rumah tangga dan juga berpengaruh terhadap kemampuan fisiologis tubuh ibu untuk menyediakan gizi yang baik bagi anaknya (Hanafi, 2010).

Banyaknya jumlah anak berpengaruh terhadap masalah gizi anak. Pada keluarga yang tingkat ekonomi rendah akan memberikan pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan keluarga yang berstatus ekonomi yang lebih baik atau menengah ke atas.


(19)

Sebab dengan bertambahnya anak maka biaya yang tersedia untuk penyediaan makanan bagi tiap-tiap anggota keluarga menjadi berkurang (Husaini, 1987).

Chaterine Lee (1989), berpendapat bahwa besar kecilnya jumlah anggota keluarga akan berpengaruh terhadap pembagian pangan pada masing-masing anggota keluarga. Pada keluarga yang memiliki balita, dengan jumlah anggota keluarga yang besar bila tidak didukung dengan seimbangnya persediaan makanan di rumah akan berpengaruh terhadap pola asuh yang secara langsung mempengaruhi konsumsi pangan yang diperoleh masing-masing anggota keluarga terutama balita yang membutuhkan makanan pendamping ASI (Bidasari, 2011).

Pertumbuhan yang lambat berisiko 4 kali lebih besar berasal dari keluarga yang memiliki anak lebih dari 2 orang (Chandra, 2011).

2.4 Pendapatan Keluarga

Pertumbuhan fisik anak balita dipengaruhi oleh faktor genetik, beberapa hormon yang mempengaruhi hormon pertumbuhan penyakit akut dan kronis. Selain faktor tersebut ada pula faktor makanan atau pola konsumsi pangan dan keadaan status sosial ekonomi keluarga (Soetjiningsih, 1995). Juga hasil penelitian dari Depkes RI (1985) menunjukkan bahwa kesehatan anak bukan hanya dipengaruhi oleh waktu yang kurang bagi ibu pekerja untuk memelihara bayinya tetapi tergantung pula pada tingkat pendapatan orangtua untuk pengadaan makanan tambahan serta biaya pemeliharaan anak.

Status sosial ekonomi keluarga merupakan penyebab tidak langsung terjadinya gizi buruk pada anak balita. Masalah kesehatan dan keadaan gizi di negara berkembang sebagian besar penduduknya berstatus sosial ekonomi rendah. Banyak


(20)

keluarga terutama yang berstatus ekonomi rendah beranggapan bahwa menu makanan yang sehat dan bergizi itu harganya mahal, padahal tidak selamanya makanan yang sehat dan bergizi itu mahal. Perubahan pendapatan keluarga dapat mempengaruhi perubahan pola asuh gizi yang secara langsung berpengaruh terhadap konsumsi pangan balita. Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Sebaliknya penurunan pendapatan akan menyebabkan penurunan dalam hal kualitas dan penurunan kuantitas pangan yang dibeli (Farida, 2004).

Status sosial ekonomi selain pendidikan, dan pekerjaan orangtua juga sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan keluarga, apabila akses pangan ditingkat rumah tangga terganggu, terutama akibat kemiskinan, maka penyakit kurang gizi (malnutrisi) pasti akan muncul. Bagi negara-negara yang sedang mengalami trasnsisi gizi seperti Indonesia, masalah yang dihadapi juga mencakup kegemukan yang dialami anak-anak sekolah akibat kemakmuran orangtuanya (Khomsan,2012).

Tingkat pendapatan menentukan jenis dan jumlah pangan yang akan dibeli. Perubahan pendapatan secara langsung dapat mempengaruhi pola konsumsi pangan keluarga. Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Sebaliknya keluarga yang pendapatannya rendah menyebabkan tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan baik kualitas maupun kuantitas, sehingga konsumsi makan per individu menjadi kurang. Hal ini akan berakibat kepada pemenuhan akan zat-zat gizi untuk pertumbuhan fisik tidak tercapai secara optimal (Suhardjo, 1986).


(21)

Standar hidup layak dihitung dari pendapatan per kapita (tingkat ekonomi). Pendapatan keluarga merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan. Tingkat pendapatan akan menunjukkan jenis pangan yang akan dibeli. Status sosial ekonomi dipengaruhi oleh tingkat pendidikan karena orang dengan pendidikan tinggi semakin besar peluangnya untuk mendapatkan penghasilan yang cukup supaya bisa berkesempatan untuk hidup dalam lingkungan yang baik dan sehat, sedangkan pekerjaan orangtua yang lebih baik akan membuat orang tua selalu sibuk bekerja sehingga tidak tertarik untuk memperhatikan masalah yang dihadapi anak-anaknya, padahal sebenarnya anak-anak tersebut benar-benar membutuhkan kasih sayang orangtua (Adriani, 2012).

Pada kondisi ekonomi terbatas biasanya pemenuhan gizi pada anakbaita jadi terabaikan. Namun, pada negara-negara maju masyarakatnya lebih mengonsumsi kalori dan lemak jenuh melebihi kebutuhan tubuh disebabkan tingkat pendapatan yang tinggi. Hal tersebut dapat menyebabkan kegemukan, kegemukan sangat terkait dengan pola makan dan gaya hidup. Penghasilan yang cukup ketika diimbangi dengan pengetahuan gizi yang memadai, dan pemanfaatan pangan yang baik,kebutuhan gizinya akan terpenuhi secara kualitas maupun kuantitas. Keluarga yang tingkat pendapatannya meningkat tidak selalu membelanjakan untuk kebutuhan gizi tapi sebaliknya dibelanjakan untuk barang yang dapat meningkatkan status sosial. Banyak terdapat anak dengan status gizi kurang pada ayah dan ibu yang secara ekonomi seharusnya dapat mencukupi kebutuhan makanan yang bergizi (Sediaoetama, 2008).


(22)

Menurut Berg (1985), pola perbelanjaan keluarga yang ekonomi rendah dan yang tingkat ekonomi yang berstatus menengah ke atas memiliki perbedaan. Pada keluarga kurang mampu biasanya akan membelanjakan sebagian besar pendapatan tambahannya untuk membeli makanan terutama beras, sedangkan keluarga kaya sudah tentu akan lebih kurang dari jumlah itu. Bagian untuk makan padi-padian akan menurun dan untuk makanan yang dibuat dari susu akan bertambah jika keluarga beranjak kependapatan menengah ke atas, pada keluarga yang mampu semakin tinggi pendapatan semakin bertambah pula persentase pertambahan perbelanjaan termasuk untuk buah-buahan, sayur-sayuran, dan jenis makanan lainnya. Pendapatan keluarga juga tergantung pada jenis pekerjaan suami.

2.5 Pola Asuh dan Status Gizi Anak Balita

Masalah gizi dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling mempengaruhi secara kompleks. Salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi anak balita adalah pengasuhan yang diberikan oleh orangtuanya. Di tingkat rumah tangga, keadaan gizi anak balita dipengaruhi oleh kemampuan rumah tangga dalam menyediakan pangan di dalam jumlah dan jenis yang cukup serta pola asuh anak yang dipengaruhi oleh faktor pendidikan, pengetahuan, perilaku dan keadaan kesehatan rumah tangga, dan dalam hal ini peran yang sangat penting adalah ibu balita (Soekirman, 2000).

Salah satu penyebab timbulnya kurang gizi pada anak balita adalah akibat pola asuh anak yang kurang memadai. Pola pengasuhan anak balita merupakan faktor yang sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangan anak berusia di bawah


(23)

lima tahun. Masa anak usia 1-5 tahun (balita) adalah masa dimana anak masih sangat membutuhkan suplai makanan dan gizi dalam jumlah yang cukup dan memadai. Engle et al (1997) mengemukakan bahwa pola asuh meliputi 6 hal yaitu :

- perhatian / dukungan ibu terhadap anak

- pemberian ASI atau makanan pendamping pada anak - rangsangan psikososial terhadap anak

- persiapan dan penyimpanan makanan

- praktek kebersihan atau higiene dan sanitasi lingkungan

- perawatan balita dalam keadaan sakit seperti mencari pelayanan kesehatan dengan segera.

Akibat pola pengasuhan anak balita yang kurang memadai dapat menyebabkan anak kekurangan gizi. Kekurangan gizi pada masa ini dapat menimbulkan gangguan tumbuh kembang secara fisik, mental, sosial dan intelektual yang sifatnya menetap dan terus dibawa sampai anak menjadi dewasa. Selain itu kekurangan gizi pada anak balita dapat menyebabkan terjadinya penurunan atau rendahnya daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi. Pada masa ini juga, anak masih benar-benar tergantung pada perawatan dan pengasuhan oleh ibunya. Pengasuhan kesehatan dan makanan pada tahun pertama kehidupan sangatlah penting untuk perkembangan anak (Santoso, 2005).

2.5.1 Pola Asuh Makan

Salah satu aspek dalam pengasuhan anak balita adalah pola asuh makan. Pola asuh makan anak balita merupakan cara seseorang atau kelompok orang dan keluarga, dalam hal ini biasanya ibu dalam hal memilih jenis dan jumlah bahan makanan yang


(24)

dimakan oleh anak. Pola asuh makan yang diberikan oleh ibu akan sangat berpengaruh terhadap status gizi anak balita. Pola asuh makan anak akan selalu terkait dengan pemberian makan anak dan juga berkaitan dengan kebiasaan makan anak yang telah ditanamkan sejak awal pertumbuhan yang pada akhirnya akan memberikan sumbangan terhadap status gizi anak balita (Karyadi, 2000).

2.5.2 Pola Asuh Kesehatan

Pola asuh kesehatan merupakan faktor yang mempengaruhi status kesehatan anak balita. Pola asuh kesehatan merupakan cara dan kebiasaan orangtua/keluarga melayani kebutuhan kesehatan anak balita yang bersifat mencegah seperti pemberian imunisasi, pemantauan pertumbuhan balita secara teratur, dan pola asuh ketika anak dalam keadaan sakit. Jika anak dalam keadaan sakit segeralah membawa anak ke tempat pelayanan kesehatan (Engle at al, 1997).

Pola asuh kesehatan anak balita bukan hanya dilihat dari tindakan ibu dalam hal pemberian imunisasi, pemantauan pertumbuhan balita secara teratur, ataupun pola asuh ketika anak dalam keadaan sakit melainkan juga keadaan rumah yang layak untuk anak, memiliki tempat bermain yang cukup luas dan bebas polusi, konstruksi bangunan tidak membahayakan penghuninya dan anak merasa nyaman tinggal di dalam rumah (Soetjiningsih, 1995).

2.6 Penilaian Status Gizi Anak Balita

Status gizi adalah refleksi kecukupan zat gizi. Sebagai keadaan kesehatan fisik seseorang atau sekelompok orang yang ditentukan dengan salah satu kombinasi dari ukuran gizi tertentu. Untuk mengetahui pertumbuhan anak, secara praktis dilakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan secara teratur. Ada beberapa cara menilai


(25)

status gizi yaitu dengan pengukuran antropometri, klinis, biokimia dan biofisik yang disebut dengan penilaian status gizi secara langsung (Supariasa, 2008).

2.6.1 Antropometri

Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Penilaian antropometri dilakukan melalui pengukuran dimensi fisik dan komposisi kasar tubuh. Jika ditinjau dari sudut pandang gizi, maka pengukuran antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Penilaian dilakukan terhadap berat badan (BB), panjang badan (PB) atau tinggi badan (TB), lingkar kepala, lingkar lengan atas (LLA), dan lipatan kulit atau tebal lemak bawah kulit (Adriany, 2012).

Untuk menilai status gizi anak balita menggunakan beberapa indeks antropometri yaitu berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Indeks yang diperkenalkan oleh WHO (2005) yaitu indeks massa tubuh (IMT). Indeks BB/U merupakan total berat badan termasuk air, lemak, tulang, dan otot. Indeks tinggi badan menurut umur adalah pertumbuhan linier dan LLA, pengukuran terhadap otot, lemak, dan tulang pada area yang diukur (Supariasa, 2002).

Kelebihan dan kelemahan antropomerti : I. Kelebihan Antopometri

- Relatif murah - Objektif

- Hasilnya mudah disimpulkan, karena mempunyai ambang batas dan baku rujukan yang sudah pasti


(26)

- Tidak menimbulkan rasa sakit pada responden

- Cepat sehingga dapat dilakukan pada populasi yang cepat II. Kelemahan Antropometri

- Membutuhkan data referensi yang relevan

- Hanya mendapatkan dua pertumbuhan, yaitu obesitas dan malnutrisi, tidak dapat memperoleh informasi karena kekurangan defisiensi zat gizi mikro. - Kesalahan yang muncul seperti kesalahan pada peralatan, kesalahan pada

peneliti (kesalahan pengukuran, pembacaan dan pencatatan). - Kesulitan dalam pengukuran.

Dalam menggunakan semua indeks antropometri tersebut, WHO menyarankan menggunakan standar deviasi unit disebut juga Z-Score.

Tabel 2.1. Penilaian Status Gizi berdasarkan Indeks BB/U,TB/U, BB/TB (Standart Baku Antropometeri WHO-Antro).

No. Indeks yang dipakai Batas Pengelompokan (Ambang Batas)

Kategori Status Gizi

1 BB/U < -3 SD Gizi buruk

Gizi kurang Gizi baik Gizi lebih Sangat Pendek Pendek Normal Tinggi Sangat Kurus Kurus Normal Gemuk - 3 s/d <-2 SD

- 2 s/d +2 SD > +2 SD

2 TB/U < -3 SD

- 3 s/d < -2SD - 2 s/d + 2SD > +2 SD

3 BB/TB < -3 SD

- 3 s/d <-2 SD - 2 s/d +2 SD > +2 SD Sumber : Kemenkes RI (2011).


(27)

i. Berat badan menurut umur (BB/U)

Berat badan salah satu parameter yang memberikan gambaran masa tubuh. Merupakan pengukuran antropometri yang sering digunakan sebagai indikator dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan dan keseimbangan antara intake dan kenutuhan gizi terjamin. Masa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan keadaan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan, atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Berat badan merupakan parameter antropometri yang sangat labil. Dalam keadaan normal dimana kondisi kesehatan dalam keadaan baik, keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan gizi terjamin maka berat badan berkembang mengikuti pertambahan umur. Sebaliknya dalam keadaan abnormal dimana kondisi keadaan kesehatan kurang baik maka terdapat dua kemungkinan perkembangan, yaitu dapat berkembang cepat atau lebih lambat. Berdasarkan karakteristik berat badan tersebut, maka berat badan menurut umur digunakan sebagai gambaran status gizi seseorang saat ini (Supariasa, 2002). ii. Tinggi badan menurut umur (TB/U)

Menurut Beaton dan Bengoa dalam buku Supariasa (2002), indeks tinggi badan menurut umur memberikan gambaran status gizi masa lampau yang juga erat kaitannya dengan status sosial ekonomi.

Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur, relatif kurang sensitif masalah kekurangan gizi dalam waktu yang pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan tampak dalam waktu yang relatif lama.


(28)

iii. Berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)

Berat badan memiliki hubungan yang linier dengan tinggi badan, merupakan indeks yang independen terhadap umur. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini. 2.7Kerangka Konsep

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian

2.8 Hipotesis Penelitian

Ada hubungan antara karakteristik keluarga (tingkat pendidikan, pengetahuan, waktu ibu bersama anak, dan jumlah anak dalam keluarga, pendapatam keluarga) dengan kasus balita gizi buruk pada keluarga petani karet.

Karakteristik Keluarga - Tingkat Pendidikan

Ibu

- Pengetahuan ibu - Jumlah Anak Dalam

Keluarga

- Pendapatan Keluarga

Kasus Balita Gizi Buruk Pada Keluarga Petani Karet

Faktor Pola Asuh Pola asuh makan Pola asuh kesehatan


(1)

lima tahun. Masa anak usia 1-5 tahun (balita) adalah masa dimana anak masih sangat membutuhkan suplai makanan dan gizi dalam jumlah yang cukup dan memadai. Engle et al (1997) mengemukakan bahwa pola asuh meliputi 6 hal yaitu :

- perhatian / dukungan ibu terhadap anak

- pemberian ASI atau makanan pendamping pada anak - rangsangan psikososial terhadap anak

- persiapan dan penyimpanan makanan

- praktek kebersihan atau higiene dan sanitasi lingkungan

- perawatan balita dalam keadaan sakit seperti mencari pelayanan kesehatan dengan segera.

Akibat pola pengasuhan anak balita yang kurang memadai dapat menyebabkan anak kekurangan gizi. Kekurangan gizi pada masa ini dapat menimbulkan gangguan tumbuh kembang secara fisik, mental, sosial dan intelektual yang sifatnya menetap dan terus dibawa sampai anak menjadi dewasa. Selain itu kekurangan gizi pada anak balita dapat menyebabkan terjadinya penurunan atau rendahnya daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi. Pada masa ini juga, anak masih benar-benar tergantung pada perawatan dan pengasuhan oleh ibunya. Pengasuhan kesehatan dan makanan pada tahun pertama kehidupan sangatlah penting untuk perkembangan anak (Santoso, 2005).

2.5.1 Pola Asuh Makan

Salah satu aspek dalam pengasuhan anak balita adalah pola asuh makan. Pola asuh makan anak balita merupakan cara seseorang atau kelompok orang dan keluarga, dalam hal ini biasanya ibu dalam hal memilih jenis dan jumlah bahan makanan yang


(2)

dimakan oleh anak. Pola asuh makan yang diberikan oleh ibu akan sangat berpengaruh terhadap status gizi anak balita. Pola asuh makan anak akan selalu terkait dengan pemberian makan anak dan juga berkaitan dengan kebiasaan makan anak yang telah ditanamkan sejak awal pertumbuhan yang pada akhirnya akan memberikan sumbangan terhadap status gizi anak balita (Karyadi, 2000).

2.5.2 Pola Asuh Kesehatan

Pola asuh kesehatan merupakan faktor yang mempengaruhi status kesehatan anak balita. Pola asuh kesehatan merupakan cara dan kebiasaan orangtua/keluarga melayani kebutuhan kesehatan anak balita yang bersifat mencegah seperti pemberian imunisasi, pemantauan pertumbuhan balita secara teratur, dan pola asuh ketika anak dalam keadaan sakit. Jika anak dalam keadaan sakit segeralah membawa anak ke tempat pelayanan kesehatan (Engle at al, 1997).

Pola asuh kesehatan anak balita bukan hanya dilihat dari tindakan ibu dalam hal pemberian imunisasi, pemantauan pertumbuhan balita secara teratur, ataupun pola asuh ketika anak dalam keadaan sakit melainkan juga keadaan rumah yang layak untuk anak, memiliki tempat bermain yang cukup luas dan bebas polusi, konstruksi bangunan tidak membahayakan penghuninya dan anak merasa nyaman tinggal di dalam rumah (Soetjiningsih, 1995).

2.6 Penilaian Status Gizi Anak Balita

Status gizi adalah refleksi kecukupan zat gizi. Sebagai keadaan kesehatan fisik seseorang atau sekelompok orang yang ditentukan dengan salah satu kombinasi dari ukuran gizi tertentu. Untuk mengetahui pertumbuhan anak, secara praktis dilakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan secara teratur. Ada beberapa cara menilai


(3)

status gizi yaitu dengan pengukuran antropometri, klinis, biokimia dan biofisik yang disebut dengan penilaian status gizi secara langsung (Supariasa, 2008).

2.6.1 Antropometri

Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Penilaian antropometri dilakukan melalui pengukuran dimensi fisik dan komposisi kasar tubuh. Jika ditinjau dari sudut pandang gizi, maka pengukuran antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Penilaian dilakukan terhadap berat badan (BB), panjang badan (PB) atau tinggi badan (TB), lingkar kepala, lingkar lengan atas (LLA), dan lipatan kulit atau tebal lemak bawah kulit (Adriany, 2012).

Untuk menilai status gizi anak balita menggunakan beberapa indeks antropometri yaitu berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Indeks yang diperkenalkan oleh WHO (2005) yaitu indeks massa tubuh (IMT). Indeks BB/U merupakan total berat badan termasuk air, lemak, tulang, dan otot. Indeks tinggi badan menurut umur adalah pertumbuhan linier dan LLA, pengukuran terhadap otot, lemak, dan tulang pada area yang diukur (Supariasa, 2002).

Kelebihan dan kelemahan antropomerti : I. Kelebihan Antopometri

- Relatif murah - Objektif

- Hasilnya mudah disimpulkan, karena mempunyai ambang batas dan baku rujukan yang sudah pasti


(4)

- Tidak menimbulkan rasa sakit pada responden

- Cepat sehingga dapat dilakukan pada populasi yang cepat II. Kelemahan Antropometri

- Membutuhkan data referensi yang relevan

- Hanya mendapatkan dua pertumbuhan, yaitu obesitas dan malnutrisi, tidak dapat memperoleh informasi karena kekurangan defisiensi zat gizi mikro. - Kesalahan yang muncul seperti kesalahan pada peralatan, kesalahan pada

peneliti (kesalahan pengukuran, pembacaan dan pencatatan). - Kesulitan dalam pengukuran.

Dalam menggunakan semua indeks antropometri tersebut, WHO menyarankan menggunakan standar deviasi unit disebut juga Z-Score.

Tabel 2.1. Penilaian Status Gizi berdasarkan Indeks BB/U,TB/U, BB/TB (Standart Baku Antropometeri WHO-Antro).

No. Indeks yang dipakai Batas Pengelompokan (Ambang Batas)

Kategori Status Gizi

1 BB/U < -3 SD Gizi buruk

Gizi kurang Gizi baik Gizi lebih Sangat Pendek Pendek Normal Tinggi Sangat Kurus Kurus Normal Gemuk - 3 s/d <-2 SD

- 2 s/d +2 SD > +2 SD

2 TB/U < -3 SD

- 3 s/d < -2SD - 2 s/d + 2SD > +2 SD

3 BB/TB < -3 SD

- 3 s/d <-2 SD - 2 s/d +2 SD > +2 SD Sumber : Kemenkes RI (2011).


(5)

i. Berat badan menurut umur (BB/U)

Berat badan salah satu parameter yang memberikan gambaran masa tubuh. Merupakan pengukuran antropometri yang sering digunakan sebagai indikator dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan dan keseimbangan antara intake dan kenutuhan gizi terjamin. Masa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan keadaan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan, atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Berat badan merupakan parameter antropometri yang sangat labil. Dalam keadaan normal dimana kondisi kesehatan dalam keadaan baik, keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan gizi terjamin maka berat badan berkembang mengikuti pertambahan umur. Sebaliknya dalam keadaan abnormal dimana kondisi keadaan kesehatan kurang baik maka terdapat dua kemungkinan perkembangan, yaitu dapat berkembang cepat atau lebih lambat. Berdasarkan karakteristik berat badan tersebut, maka berat badan menurut umur digunakan sebagai gambaran status gizi seseorang saat ini (Supariasa, 2002).

ii. Tinggi badan menurut umur (TB/U)

Menurut Beaton dan Bengoa dalam buku Supariasa (2002), indeks tinggi badan menurut umur memberikan gambaran status gizi masa lampau yang juga erat kaitannya dengan status sosial ekonomi.

Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur, relatif kurang sensitif masalah kekurangan gizi dalam waktu yang pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan tampak dalam waktu yang relatif lama.


(6)

iii. Berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)

Berat badan memiliki hubungan yang linier dengan tinggi badan, merupakan indeks yang independen terhadap umur. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini.

2.7Kerangka Konsep

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian

2.8 Hipotesis Penelitian

Ada hubungan antara karakteristik keluarga (tingkat pendidikan, pengetahuan, waktu ibu bersama anak, dan jumlah anak dalam keluarga, pendapatam keluarga) dengan kasus balita gizi buruk pada keluarga petani karet.

Karakteristik Keluarga

- Tingkat Pendidikan Ibu

- Pengetahuan ibu - Jumlah Anak Dalam

Keluarga

- Pendapatan Keluarga

Kasus Balita Gizi Buruk Pada Keluarga Petani Karet

Faktor Pola Asuh

Pola asuh makan Pola asuh kesehatan


Dokumen yang terkait

Hubungan Karakteristik Ibu Dengan Kasus Balita Gizi Buruk Pada Keluarga Petani Karet Di Wilayah Binaan Wahana Visi Indonesia Area Development Program Kabupaten Nias Tahun 2013

1 59 106

HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK IBU, KELUARGA, DAN PELAYANAN KESEHATAN DENGAN STATUS KELUARGA SADAR GIZI PADA KELUARGA ANAK BALITA (Studi di Wilayah Kerja Puskesmas Prajekan, Kabupaten Bondowoso)

1 26 153

Mobilisasi sosial untuk peningkatan status gizi pada balita gizi buruk melalui revitalisasi posyandu dan keluarga binaan (kasus di desa cihideung ilir, dramaga)

0 11 1

Hubungan Karakteristik Ibu Dengan Kasus Balita Gizi Buruk Pada Keluarga Petani Karet Di Wilayah Binaan Wahana Visi Indonesia Area Development Program Kabupaten Nias Tahun 2013

1 3 15

Hubungan Karakteristik Ibu Dengan Kasus Balita Gizi Buruk Pada Keluarga Petani Karet Di Wilayah Binaan Wahana Visi Indonesia Area Development Program Kabupaten Nias Tahun 2013

0 0 2

Hubungan Karakteristik Ibu Dengan Kasus Balita Gizi Buruk Pada Keluarga Petani Karet Di Wilayah Binaan Wahana Visi Indonesia Area Development Program Kabupaten Nias Tahun 2013

0 0 9

Hubungan Karakteristik Ibu Dengan Kasus Balita Gizi Buruk Pada Keluarga Petani Karet Di Wilayah Binaan Wahana Visi Indonesia Area Development Program Kabupaten Nias Tahun 2013

0 1 4

Hubungan Karakteristik Ibu Dengan Kasus Balita Gizi Buruk Pada Keluarga Petani Karet Di Wilayah Binaan Wahana Visi Indonesia Area Development Program Kabupaten Nias Tahun 2013

0 0 18

HUBUNGAN KARAKTERISTIK IBU DENGAN STATUS GIZI BALITA DI DESA SUMUR BANDUNG KECAMATAN CIKULUR KABUPATEN LEBAK TAHUN 2013

0 0 17

HUBUNGAN KARAKTERISTIK IBU DAN PENDAPATAN KELUARGA DENGAN STATUS GIZI BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MINGGIR KABUPATEN SLEMAN YOGYAKARTA

0 0 11