KEMANDIRIAN DAN KETAHANAN PANGAN UNTUK K

KEMANDIRIAN DAN KETAHANAN PANGAN UNTUK
KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
Oleh : Listiono
Mahasiswa Ekonomi Perbankan Islam
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Abstrak
Ketahanan pangan merupakan salah satu issue yang sangat menarik di hampir
seluruh negara di dunia ini. Hal ini karena pangan merupakan salah satu
kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi agar manusia dapat
melangsungkan kehidupannya. Sesuai amanat Undang-undang Nomor 18 Tahun
2012, negara berkewajiban untuk mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan
pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang,
baik pada tingkat nasional maupun daerah hingga perseorangan secara merata
di seluruh wilayah NKRI. Cara instan yang biasa ditempuh pemerintah Indonesia
untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri adalah dengan mengimpor
pangan dari negara lain. Dalam jangka pendek impor merupakan cara yang
cukup baik untuk mengatasi kelangkaan pangan. Namun, dalam jangka panjang
jika impor selalu menjadi pilihan utama untuk menyelesaikan masalah
kerawanan pangan, maka hal ini dapat mengancam ketergantungan pangan
dengan negara lain. Masalah kerawanan pangan akan berdampak pada
kemiskinan, kelaparan, gizi buruk bahkan kematian. Oleh karena itu Pemerintah

dalam mewujudkan kebijakan ketahanan pangan hendaknya lebih bersungguhsungguh, serta menerapkan kebijakan yang sustainable agar ketergantungan
pangan dengan negara lain dapat dihilangkan dan dapat menciptakan
kesejahteraan masyarakat yang merata.
Kata kunci: Ketahanan pangan, Kemandirian pangan, Kesejahteraan masyarakat

A. Pendahuluan
Berdasarkan hasil sensus penduduk yang dilakukan oleh pemerintah pada
tahun 2000 jumlah penduduk Indonesia sekitar 205,1 juta jiwa. Sedangkan pada
tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia sebanyak 237,7 juta jiwa, atau mengalami
pertumbuhan sekitar 15,85%. Jika pertumbuhan penduduk Indonesia diasumsikan
mengalami peningkatan sekitar 1,5% pertahun maka pada tahun 2013
diperkirakan jumlah penduduk indonesia sekitar 248,5 juta jiwa.
Tabel 1.1 Jumlah Penduduk
No.
1
2
3
4

Tahun

1980
1990
2000
2010

Jumlah penduduk (ribu)
147.490
179.379
205.133
237.641

Sumber: Boklet November 2013

Pertumbuhan penduduk yang tergolong cepat ini, jika tidak diimbangi
dengan peningkatan produksi pangan maka akan menjadi ancaman yang serius
bagi keberlangsungan kehidupan di Indonesia. Penduduk yang berjumlah sekitar
248,5 juta jiwa ini tentu saja setiap hari membutuhkan makan untuk dapat
melangsungkan kehidupannya. Pertumbuhan penduduk juga mengakibatkan
meningkatnya permintaan pangan. Apabila produksi pangan dalam negeri tidak
mampu mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri, sudah barang tentu

Indonesia membutuhkan suplay pangan dari negara lain.
Pertumbuhan penduduk

juga berpengaruh terhadap lahan pertanian,

semakin banyak jumlah penduduk maka semakin banyak pula membutuhkan
lahan untuk tempat tinggal maupun untuk aktifitas lainnya. Dengan demikian
pertumbuhan penduduk akan menyebabkan berkurangnya lahan pertanian.
Malthus dalam teori kependudukannya, mengungkapkan dua postulatnya, pertama
bahwa bahan pangan dibutuhkan untuk hidup manusia, dan kedua kebutuhan
seksual antar jenis kelamin akan tetap sifatnya sepanjang masa. 1 Dengan demikian
1 Doddy S. Singgih, “Pangan, Penduduk dan Teknologi Pertanian: Sebuah Perdebatan
Teoritis,”Masyarakat, kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 4, Oktober 2001

pertumbuhan jumlah penduduk akan terus terjadi, kebutuhan pangan juga akan
terus berlangsung sedangkan lahan pertanian akan semakin berkurang.
Sektor pertanian memiliki peran yang sangat strategis dalam sebuah
negara. Hal ini karena dari sektor pertanianlah kebutuhan paling pokok manusia
dapat dipenuhi.. Selain itu sektor pertanian juga memiliki peran dalam menyerap
tenaga kerja, serta menjadi salah satu penopang Produk Domestik Bruto. Hal ini

sebagai mana terlihat dalam tabel 1.2 dan tabel 1.3. Dalam penyerapan tenaga
kerja, pada tahun 2012 sektor pertanian menyerap sekitar 36,5% dari total
angkatan kerja. Meski demikian ternyata dari tahun ketahun presentase sektor
pertanian dalam menyerap tenaga kerja mengalami penurunan. Sedangkan dalam
Broduk Domestik Bruto, pada tahun 2013 sektor pertanian menyumbang sekitar
14,43% dari total PDB. Dalam menyumbang angka PDB peran Pertanian juga
mengalami penurunan dari tahun ketahun.
Tabel 1.2 Penduduk > 15 tahun yang bekerja
No
1
2
3
4
5
6
7
8

Lapangan Pekerjaan Utama
Pertanian

Industri
Kontruksi
Perdagangan
Angkutan, pergudangan & komunikasi
Keuangan
Jasa Kemasyarakatan
Lainnya
Total

Tahun (Juta orang)
2010
2011
2012
42,83
42,48
41,2
13,05
13,7
14,21
4,84

5,59
6,1
22,21
23,24
24,02
5,82
5,58
5,2
1,64
2,06
2,78
15,62
17,02
17,37
1,4
1,61
1,92
107,41
111,28
112,8


Sumber Data: Data Strategis 2012 yang diolah

Tabel 1.3 Struktur PDB menurut Lapangan Usaha Tahun 2011-2013
No
1
2
3
4
5
6

Lapangan Usaha
Pertanian, Peternakan, Kehutanan &
Perikanan
Pertambangan dan penggalian
Industri Pengolahan
Listrik, Gas & Air Bersih
Kontruksi
Perdagangan, Hotel & Restoran


2011
14,71
11,82
24,35
0,75
10,16
13,8

Tahun (%)
2012
14,5
11,7
23,97
0,76
10,26
13,96

2013
14,43

11,24
23,69
0,77
9,99
14,33

7
8
9

Pengengkutan & Komunikasi
Keuangan, Real Estat & jasa Perusahaan
Jasa-jasa

6,62
7,21
10,58

6,67
7,27

10,81

7,01
7,52
11,02

Sumber data: Berita Resmi Statistik Februari 2014

B. Pembahasan
1. Kerangka Teori
Undang-undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan menjelaskan bahwa
pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan
pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai komponen
dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Negara
berkewajiban

mewujudkan

ketersediaan,


keterjangkauan

dan

pemenuhan

konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang, baik pada
tingkat nasional maupun daerah hingga perseorangan secara merata di seluruh
wilayah

NKRI

sepanjang

waktu

dengan

memanfaatkan

sumber

daya,

kelembagaan dan budaya lokal. Didalam UU tersebut juga dijelaskan bahwa
negara dengan jumlah penduduk yang besar dan di sisi lain memiliki sumber daya
alam dan sumber pangan yang beragam, Indonesia mampu memenuhi kebutuhan
pangannya secara berdaulat dan mandiri.
Menurut UU No. 18 Tahun 2012 pasal 1, pangan adalah segala sesuatu
yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan,
perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah
yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia,
termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang
digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan
atau minuman. Kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara
mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi
rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem
pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Kemandirian pangan
adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka

ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan
yang cukup sampai tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber
daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.
Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai
dengan perseorangan yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik
jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta
tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat untuk dapat
hidup sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan.
Beberapa prinsip yang terkait dengan ketahanan pangan menurut
Sumardjo (dalam Purwaningsih) adalah sebagai berikut: 2
a. Rumah tangga sebagai unit perhatian terpenting pemenuhan kebutuhan
pangan nasional maupun komunitas dan individu.
b. Kewajiban negara untuk menjamin hak atas pangan setiap warganya
yang terhimpun dalam satuan masyarakat terkecil untuk mendapatkan
pangan bagi keberlangsungan hidup.
c. Ketersediaan pangan mencakup aspek ketercukupan jumlah pangan
dan terjamin mutunya.
d. Produksi pangan yang sangat menentukan jumlah pangan sebagai
kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat,
mengawetkan, mengemas kembali dan atau mengubah bentuk pangan.
e. Mutu pangan yang nilainya ditentukan atas dasar kriteria keamanan
pangan, kandungan gizi dan standar perdagangan terhadap bahan
makanan dan minuman.
f. Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk
mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan
benda lain yang dapat menggangu, merugikan, dan membahayakan
keadaan manusia.
g. Kemerataan pangan merupakan dimensi panting keadilan pangan bagi
masyarakat yang ukurannya sangat ditentukan oleh derajat kemampuan
2 Purwaningsih, Ketahanan Pangan: Situasi permasalahan, Kebijakan dan Pemberdayaan
Masyarakat, Jurnal ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No. 1, Juni 2008

negara dalam menjamin hak pangan warga negara melalui sistem
distribusi

produksi

pangan

yang

dikembangkannya.

Prinsip

kemerataan pangan mengamanatkan sistem pangan nasional harus
mampu menjamin hak pangan bagi setiap rumah tangga tanpa
terkecuali.
h. Keterjangkauan

pangan

mempresentasikan

kesamaan

derajat

keleluasaan akses dan kontrol yang dimiliki oleh setiap rumah tangga
dalam memenuhi hak pangan mereka. Prinsip ini merupakan salah
satu dimensi keadilan pangan yang penting untuk diperhatikan.
Dengan demikian dalam konsep ketahanan pangan hal-hal yang harus
diperhatikan adalah kewajiban negara untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan
pangan setiap individu

baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya (standar

kebutuhan gizi) aman, terjangkau pada setiap kondisi, waktu, serta merata di
seluruh wilayah di negara ini.
2. Permasalahan Ketahanan Pangan di Indonesia
Jika dicermati konsep ketahanan pangan dalam UU Nomor 18 Tahun 2012
diatas tidak mengharuskan ketersediaan pangan dapat dipenuhi melalui produksi
dalam negeri. Hal ini berbeda dengan konsep kemandirian pangan, yang mana
dijelaskan bahwa Negara mampu menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang
cukup sampai pada perseorangan melalui produksi dalam negeri. Oleh karena itu
dengan konsep ketahanan pangan yang seperti itu, maka pemerintah dengan
mudah melakukan kebijakan impor pangan.
Masalah ketahahan pangan juga berhubungan erat dengan subsidi
pemerintah, impor dari negara lain, serta perdagangan bebas. Dengan tingginya
subsidi yang diberikan pemerintah pada sektor pertanian akan berdampak pada
peningkatan produksi pertanian. Hal ini akan memungkinkan terjadinya
kemandirian pangan. Dengan kemandirian pangan maka kesejahteraan petani
akan meningkat. Subsidi yang besar serta perlindungan pasar domestik dengan
bea masuk yang tinggi diberikan oleh negara-negara maju (Eropa, Amerika, &

Jepang).3 Semakin tinggi subsidi yang diberikan pemerintah maka harga jualnya
akan semakin murah. Sedangkan pada negara-negara miskin dan berkembang
yang terlilit utang dengan IMF mau tidak mau harus mengurangi subsidi sampai
dibawah 10%. Dengan demikian harga pangan pada negara miskin dan
berkembang relatif lebih mahal.
Perdagangan bebas merupakan salah satu produk globalisasi. Perdagangan
bebas bertujuan untuk menghapuskan hambatan dan penurunan tarif perdagangan
dalam perdagangan antar-bangsa.4 Dengan adanya perdagangan bebas ini maka
negara-negara maju (yang memberikan subsidi tinggi) bebas menjual hasil
produksi pertaniannya kepada negara miskin dan berkembang. Akibat dari minim
atau dihapuskannya subsidi bagi negara miskin dan berkembang adalah
persaingan yang terjadi antara produk domestik dengan produk impor tidak
seimbang. Sehingga lagi-lagi para petani domestik yang menjadi korban. Salah
satu contoh negara yang menjadi korban adalah Haiti. Negara ini mampu
memproduksi beras dan pernah mencapai swasembada beras. Namun kini 60%
bahan pertanian merupakan hasil dari impor.5
Kasus serupa sebenarnya juga terjadi di Indonesia. Pada tahun 1980an
Pemerintah telah mensubsidi input produksi, terutama pupuk dan pestisida,
dengan mengeluarkan APBN yang cukup besar. Kebijakan ini berdampak sangat
besar pada peningkatan produksi dan hasilnya pada tahun 1985 Indonesa
mencapai swasembada beras.6 Namun setelah Indonesia terlilit utang pada IMF,
maka lambat laun subsidi dalam negeri mulai dikurangi. Pada tahun 2009
pemerintah juga mengkalim bahwa Indonesia berhasil mencapai swasembada
pangan. Namun realitanya, Indonesia mengimpor 250.473,1 ton beras. Bisa jadi
claim tersebut hanya merupakan sebuah bahasa politik menjelang pemilu,
pernyataan ini berdasarkan data impor beras pada tabel dibawah ini. Pada tahun
2009 Indonesia masih mengimpor beras meskipun nilainya lebih sedikit dibanding
tahun sebelumnya.
3 Nainggolan, Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban, Jakarta: Kompas, 2006. Hal. 149
4 Baswir, Refrisond, Bahaya Neoliberalisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, hlm. 128
5 http://id.wikipedia.org/wiki/Subsidi_pertanian, diakses tanggal 14 Maret 2014, jam 10.51 WIB
6 Adnyana, Made Oka, Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban, Jakarta: Kompas, 2006,
hal. 114

Tabel 1.4 Data Impor Beras Indonesia
No
.
1
2
3
4
5
6

Impor
Nilai (Ribu

Tahun
2008
2009
2010
2011
2012
2013*

Berat Bersih (ton)
289.689,4
250.473,1
687.581,5
2.750.476,2
1.810.443,2
1.267.740,3

US$)
124.142,8
108.153,3
360.785,0
1.513.163,5
945.623,2
124.367,7

Sumber Data: Boklet November 2013

Persoalan ketahanan pangan seperti yang diterangkan dalam undangundang diatas mencakup ketersediaan pangan dalam jumlah maupun mutu, aman,
bergizi, merata serta terjangkau bagi seluruh rumah tangga (individu). Kesemua
cakupan tersebut apabila tidak tercapai maka akan mengakibatkan kemiskinan,
kelaparan, gizi buruk, bahkan kematian. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Wiko Saputra dkk (2012) dapat disimpulkan bahwa pangan
merupakan salah satu bagian terpenting dan menjadi penyebab munculnya
permasalahan gizi.7 Hal ini karena mayoritas kebutuhan gizi disuplay oleh
makanan.
Kasus kemiskinan di Indonesia bahkan seluruh dunia sampai saat ini
masih merupakan musuh bersama. Berdasarkan tabel jumlah penduduk miskin di
bawah ini, mayoritas penduduk miskin berada diwilayah pedesaan, yang notabene
bekerja pada sektor pertanian. Pada tahun 2008 penduduk miskin di desa
mencapai 63,5% dari keseluruhan penduduk miskin. Sedangkan pada tahun 2012
penduduk miskin di daerah pedesaan sekitar 63,4% dari keseluruhan penduduk
miskin. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam perjalanan era globalisasi
masyarakat dipedesaan khususnya petani masih menjadi sarang kemiskinan.
Tabel 1.5 Data Jumlah Penduduk Miskin
No
.

Penduduk Miskin (juta
Tahun
Kota

jiwa)
Desa

Total

7 Saputra, Wiko, dkk, Faktor Demografi dan Resiko Gizi Buruk dan Gizi Kurang, Makara,
kesehatan Vol. 16, No. 2, Desember 2012: 95-101

1
2
3
4
5

2008
2009
2010
2011
2012

12,77
11,91
11,10
11,05
10,65

22,19
20,62
19,93
18,97
18,48

34,96
32,53
31,02
30,02
29,13

Sumber data: Data Strategis 2012

Secara umum kemiskinan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: pertama
kelompok miskin kronis dan miskin transisi.8 Kelompok pertama cenderung sulit
disembuhkan atau mudah kambuh, yaitu orang yang tidak memiliki kemampuan
untuk bekerja sehingga tidak memiliki pendapatan (orang cacat), atau orang yang
memiliki pekerjaan tetapi dengan pendapatan yang sangat rendah (buruh tani,
buruh informal). Kelompok yang kedua adalah yang terjadi dalam sementara
waktu, misalnya karena PHK, Krisis ekonomi, Inflasi tinggi, dll.
Seperti yang telah diuraikan diatas bahwa kerawanan pangan akan
menyebabkan kemiskinan, kelaparan, gizi buruk bahkan kematian. Kasus gizi
buruk di Indonesia masih banyak terjadi, tidak hanya melanda pelosok pedesaan
tetapi juga diwilayah perkotaan. Beberapa kasus gizi buruk di Indonesia pada
tahun 2013 misalnya seperti di Bekasi mencapai 114 balita,9 di Bima jumlah
balita penderita gizi buruk mencapai 5.227 orang atau sekitar 30% dari total
jumlah balita.10 Pada tahun 2014 kasus gizi buruk tetap terjadi, salah satu
contohnya adalah di Cianjur jumlah penyandang gizi buruk mencapai 346 balita. 11
Bahkan pada tahun 2013 kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional
mencatat sekitar 8 juta anak Indonesia kekurangan gizi.12
Masalah kerawanan pangan dan gizi buruk pada umumnyadisebabkan
karena masyarakat tidak mampu mengakses pangan, bukan karena ketersediaan

8 Puspoyo, Widjanarko,Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban, Jakarta: Kompas, 2006,
hlm. 204-205
9 http://www.tempo.co/read/news/2013/10/13/083521450/114-Balita-di-Bekasi-Menderita-GiziBuruk, diakses tanggal 14/3/14, pukul: 08.09
10 http://www.tempo.co/read/news/2013/07/04/085893514/Lima-Ribu-Balita-di -BimaMenderita-Gizi-Buruk, diakses tanggal 14/3/2014. Pukul: 08.16
11 http://www.pikiran-rakyat.com/node/273644, diakses tanggal 14/3/2014, pukul: 07.59
12 http://www.tempo.co/read/news/2013/07/16/173496390/8-Juta-Anak-Indonesia-KekuranganGizi, diakses tanggal 14/3/2014, pukul: 08.13

pangan.13 Kemampuan mengakses pangan berhubungan dengan pendapatan atau
kemampuan daya beli masyarakat, tidak sedikit kasus kekurangan gizi ini
menyebabkan kematian, seperti yang dialami oleh Siti Desi Damarwulan balita
usia 4 tahun penderita gizi buruk di Serang Banten.14Sungguh Ironis, ketiadaan
biaya untuk berobat menyebabkan bayi tersebut meninggal dunia. Seolah
pemerintah setempat menutup mata dengan kasus tersebut, sehingga tidak
memberikan tindakan untuk menyelamatkan bayi tersebut.
Menurut penulis beberapa faktor yang menyebabkan Indonesia belum
mencapai ketahanan, kemandirian dan swasembada pangan, diantaranya adalah:
-

Pertumbuhan penduduk yang tinggi

-

Konversi lahan pertanian besar-besaran

untuk tempat tinggal,

industri maupun pembangunan infrastruktur
-

Kurangnya keberpihakan pemerintah pada sektor pertanian

-

Persaingan tidak seimbang dalam pasar bebas

-

Masyarakat petani menjadi masyarakat urban

-

Belum ada teknologi canggih pendukung sektor pertanian

Seperti diuraikan dalam teori Malthus diatas bahwa, bahwa kebutuhan
seksual antar lawan jenis akan terus terjadi sedangkan kebutuhan pangan juga
akan terus berlangsung. Oleh karena itu pertumbuhan penduduk yang tinggi
secara otomatis akan berpengaruh kepada peningkatan permintaan akan pangan,
sedangkan luas lahan pertanian akan semakin berkurang. Selain karena
bertambahnya jumlah populasi manusia, penyempitan lahan pertanian juga
dipengaruhi oleh konversi lahan untuk dunia industri serta pembangunan
infrastruktur. Berkurangnya lahan pertanian ini secara otomatis juga berpengaruh
pada berkurangnya hasil pertanian.
Kondisi diatas juga diperparah dengan kebijakan pemerintah yang belum
berpihak kepada para petani. Kurangnya subsidi yang diberikan pemerintah pada
sektor pertanian (pangan) serta dampak dari perdagangan bebas benar-benar telah
13 Puspoyo, Widjanarko,Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban, Jakarta: Kompas, 2006,
hlm. 203
14 http://news.liputan6.com/read/808405/8-jam-di-rsud-serang-bayi-desi-pengidap-gizi-burukmeninggal, diakses tanggal 14/3/2014, pukul: 08.04

menciderai perekonomian petani. Seperti yang telah diuraikan diatas bahwa akibat
dari ketimpangan subsidi yang diberikan negara maju dengan negara miskinberkembang menyebabkan persaingan pasar yang sangat tidak seimbang. Hal
inilah yang membuat dilema para petani, mereka dituntut untuk menjual produk
pertanian dengan harga murah agar stabilitas ekonomi terjaga. Namun disis lain
kebijakan pemerintah kurang berpihak kepada mereka. Dengan kondisi yang
seperti ini maka banyak masyarakat pedesaan (petani) yang beramai-ramai
mencari kehidupan di kota-kota besar atau beralih pada sektor lain. Sehingga lagilagi produksi pertanian semakin defisit untuk mencukupi kebutuhan domestik.
Berdasarkan konsep ketahanan pangan diatas maka indikator utama dari
tercapainya ketahanan pangan menurut penulis adalah kesehatan masyarakat yang
terjaga. Kesehatan masyarakat dapat terjaga jika masyarakat mampu mencukupi
kebutuhan gizi bagi tubuhnya. Kesehatan mengindikasikan bahwa makanan atau
minuman yang dikonsumsi aman, dan kualitas serta kuantitasnya tercukupi. Oleh
karena itu, dapat dipastikan bahwa hingga saat ini Indonesia belum berhasil
mencapai ketahanan pangan. hal ini berdasarkan data diatas bahwa masih banyak
ditemui kasus gizi buruk.
Berbagai kebijakan telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk mencapai
ketahanan

pangan.

Pada

tahun

2014

ini

pemerintah

dalam

APBN

mengganggarkan Rp. 18,8 Trilliun untuk subsidi pangan. Salah satu bentuknya
adalah melalui distribusi beras miskin (raskin) bagi masyarakat yang dinilai
kurang mampu. Meski demikian, lagi-lagi kebijakan pemerintah ini belum dapat
berjalan seperti yang diharapkan. Pada praktiknya dilapangan banyak dijumpai
beras tersebut tidak layak untuk dikonsumsi. Misalnya seperti kasus di Garut Jawa
Barat masyarakat mengeluhkan raskin yang diterima berkutu, bau dan warnanya
kumal.15 Kasus serupa juga terjadi di Balikpapan, masyarakat juga mengeluhkan
raskin bau dan berkutu.16 Kasus lain terjadi di Sampang Madura, ditemukan beras

15 http://nasional.news.viva.co.id/news/read/403130-bau-dan-berkutu--warga-miskin-tetapkonsumsi-raskin, diakses tanggal 16/3/2014, pukul: 10.39
16 http://newsbalikpapan.com/kualitas-beras-miskin-balikpapan-dipertanyakan.html diakses
tanggal 16/3/2014

miskin bercampur dengan kerikil serta berwarna kuning.

17

Menurut salah satu tim

peneliti Pusat Telaah & Informasi Regional dari jumlah 3,1 juta ton kebutuhan
raskin, minimal 2,5 juta ton dipenuhi oleh impor.18 Dengan demikian pada
kenyataannya kualitas beras miskin yang mayoritas diimpor oleh pemerintah
kualitas gizinya sangat jauh dari standar.
Tabel 1.6 Subsidi Pertanian
N
o
1
2
3

Alokasi
Subsidi
Pangan
Pupuk
Benih

2008

2013

2014

Rp. 12,1 T
Rp. 15,2 T
Rp. 0,985 T

Rp. 21, 5 T
Rp. 17,9 T
Rp. 1,5 T

Rp. 18,8 T
Rp. 21,0 T
Rp. 1,6 T

Sumber : Nota Keuangan 2014

C. Kesimpulan
Berdasarkan permasalahan ketahanan pangan yang terjadi di Indonesia,
maka cara yang terbaik untuk mencapai ketahanan pangan menurut penulis adalah
dengan kemandirian pangan. sebagaimana yang tertulis didalam Undang-undang
No. 18 Tahun 2012, bahwa dengan memiliki sumber daya alam dan sumber
pangan yang beragam , Indonesia mampu memenuhi kebutuhan pangannya secara
berdaulat dan mandiri. Mandiri adalah kemampuan negara dalam memproduksi
pangan yang beraneka ragam dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada,
sehingga kebutuhan pangan dalam negeri dapat terpenuhi baik kualitas maupun
kuantitasnya sampai pada tingkat perseorangan.
Dalam upaya pencapaian ketahanan pangan ini kebijakan pangan yang
dikeluarkan oleh pemerintah sangat berperan besar. Subsidi terhadap sektor
pertanian perlu ditingkatkan, regulasi terkait dengan kemudahan akses modal bagi
para petani, pembangunan infrastruktur pendukung pertanian, serta kebijakan
pendukung lainnya. Dengan adanya subsidi yang tinggi maka petani mampu
17 http://www.tempo.co/read/news/2013/11/09/173528350/Beras-Raskin-Dicampur-Kerikil-diMadura diakses tanggal 16/4/2014, pukul 10.46
18 http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/306852-penyeban-beras-miskin-bau-dan-berkutu,
diakses tangga 16/3/2014, pukul 10.35

menghasilkan output dengan biaya murah, harga jual murah tanpa mengurangi
tingkat keuntungan petani. Dengan demikian produk domestik mampu bersaing
dalam pasar bebas. Ketika petani mampu memproduksi hasil pertanian dengan
kualitas diatas standar serta dengan harga yang cenderung lebih murah maka ada
kemungkinan pasar domestik akan dukuasai oleh petani dalam negeri bahkan
mampu bersaing pada perdagangan internasional. Kondisi ini akan berdampak
pada penyerapan tenaga kerja yang tinggi.
Dengan adanya kemampuan petani lokal mencukupi kebutuhan pangan
dalam negeri maka stabilitas harga pangan dapat terjaga. Kita dapat belajar dari
goncangan krisis pangan pada tahun 2007-2008. Krisis tersebut terjadi akibat dari
produksi domestik yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Salah
satu contoh adalah produksi kedelai dalam negeri pada waktu itu tidak mampu
memenuhi kebutuhan domestik, serta kenaikan harga kedelai internasional
mengakibatkan kelangkaan tahu dan tempe yang sempat membuat masyarakat
kelabakan. Hal ini mengindikasikan bahwa ketahanan pangan tanpa kemandirian
pangan hanya akan menyebabkan suatu negara bergantung dengan negara lain,
dengan kata lain kedaulatan suatu negara berada dibawah kendali negara lain.
Impor merupakan cara instan yang biasanya dipilih pemerintah untuk
mencukupi kebutuhan dalam negeri. Misalnya ketika terjadi kelangkaan beras,
maka harga beras cenderung akan naik. Cara yang ditempuh pemerintah adalah
dengan mengimpor beras dari negara lain, hal ini akan menyebabkan penurunan
harga. Ketika untuk memproduksi beras petani membutuhkan biaya tinggi,
sedangkan harga beras dipasaran cenderung lebuh murah maka hal ini
mengakibatkan kerugian bagi petani.
Kemandirian

pangan

juga

sangat

berdampak

pada

peningkatan

kesejahteraan masyarakat Indonesia. Kemampuan petani dalam memenuhi
kebutuhan pangan domestik akan menyebabkan stabilitas harga pangan. standar
kualitas pangan juga dapat ditentukan oleh negara. Dengan demikian pangan akan
mudah terjangkau oleh masyarakat dengan kualitas dan kuantitas yang
dibutuhkan. Peningkatan produksi pertanian ini tentu saja juga meningkatkan
pendapatan bagi para petani. Dengan demikian angka kemiskinan dalam negeri

dapat ditekan. Ketika seluruh masyarakat dapat dengan mudah mengakses pangan
yang bergizi, aman serta kuantitasnya mencukupi maka kasus gizi buruk akan
dapat ditekan.
Mewujudkan ketahanan pangan tidak semudah membalik telapak tangan.
Seluruh lembaga pemerintah, swasta dan

masyarakat perlu bersinergi, Serta

memerlukan proses yang cukup panjang. Ketika satu periode pemerintahan
berakhir, maka pemerintahan berikutnya harus berkomitmen untuk meneruskan
program kebijakan pemerintah sebelumnya. Dengan adanya program yang
sustainable maka ketahanan pangan akan terwujud.

Daftar Pustaka


Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia,
November 2013 Badan Pusat Statistika



Data Strategis 2012, Badan Pusat Statistika



Undang-undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2012 Tentang Pangan



Berita Resmi Statistik No. 16/02/Th.XVII, 5 Februari 2014



Doddy S. Singgih, Pangan, Penduduk dan Teknologi Pertanian: Sebuah
Perdebatan Teoritis,” Masyarakat, kebudayaan dan Politik, Tahun VIV,
Nomor 4, Oktober 2001



Purwaningsih, Ketahanan pangan: SituasiPermasalahan, Kabijakan dan
Pemberdayaan Masyarakat, Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No.1,
Juni 2008



Nainggolan, Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban, Jakarta:
Kompas, 2006



Baswir, Refrisond, Bahaya Neoliberalisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2009



http://id.wikipedia.org



Adnyana, Made Oka, Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban,
Jakarta: Kompas, 2006



Saputra, dkk, Faktor Demografi dan Resiko Gizi Buruk dan Gizi Kurang,
Makara, Kesehatan Vol. 16, No. 2, Desember 2012:95-101



Puspoyo, Widjanarko, Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban,
Jakarta: Kompas 2006



www. Tempo.co.id



www.pikiran-rakyat.com



www.liputan6.com



www.viva.co.id



www.newsbalikpapan.com