DIKOTOMI PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

DIKOTOMI PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Sebuah realitas sejarah bahwa awal mula dari kemunduran Islam secara drastis, bermula dari
menurunnya semangat orang Islam dalam memperdalam intelektualitas, sains, dan pengetahuan.
Hal tersebut dikarenakan, pertama, penutupan pintu ijtihad dalam hal agama yang mengakibatkan
pengekangan terhadap kreatifitas ilmuan-ilmuan muslim pada saat itu, sehingga seolah-olah Umat
Islam selanjutnya hanya mempelajari temuan-temuan yang sudah ada, menerima apa adanya.
Sehingga pengetahuan tentang keagamaan pada saat itu seolah bagaikan ukiran di atas batu yang
disakralkan, dan tidak bisa dijamah-jamah lagi.
Kedua, Pendikotomian ilmu, yang memisahkan ilmu-ilmu agama dan non agama. Ilmu agama
sendiri harus dan wajib dikuasai oleh setiap muslim, tetapi ilmu nonagama merupakan anak tiri
yang cenderung diacuhkan. Keberadaannya dianggap pelengkap. Sehingga Umat Islam pada saat
itu cenderung mendalami ilmu agama sehingga mengesampingkan ilmu non agama. Hal ini lah
yang mengakibatkan Umat Islam terbelakang dalam hal sains dan teknologi, yang selanjutnya
peradabannya juga terbelakang. Menanggapi hal tersebut, ilmuan-ilmuan Muslim akhir abad ini
berinisiatif untuk mengembalikan hakikat Pendidikan Islam yang di dalamnya tidak terdapat
pendikotomian ilmu, sehingga tidak ada gap antara keduanya. Kemudian untuk mengejar
ketinggalan terhadap Barat, mereka melanjutkan dengan islamisasi ilmu pengetahuan yang
bersandarkan al-Qur’an dan al-Hadits. Karena kalau diterima apa adanya, maka mau-tidak mau

akan terjangkiti pendikotomian ilmu lagi. Kalau melihat sejarah dikotomi ilmu, bahwa dikotomi
muncul pertama kali di Barat, maka semua pengetahuan yang ada sekarang (tentunya produk
Barat) masih mengandung unsur dikotomik. Makanya perlu diadakan islamisasi.
B.
TUJUAN PENELITIAN
1.
Untuk mengetahui pengertian dikotomi pendidikan ?
2.
Untuk mengetahui tinjauan sejarah social dan politik dikotomi pendidikan di Indonesia?
3.
Untuk mengetahui dampak dikotomi terhadap perguruan tinggi islam
BAB I
PROBLEMATIKA DIKOTOMI PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
A.
Pengertian Dikotomi Pendidikan
Dikotomi adalah pembagian dua bagian, pembelahan dua, bercabang dua bagian. (John M. Echols
dan Hassan Shadily, "dichotomy", Kamus Inggris-Indonesia )(Jakarta : PT. Gramedia Utama, 1992),
h. 180.
Ada juga yang mendefinisikan dikotomi sebagai pembagian di dua kelompok yang saling
bertentangan. (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, "dikotomi", Kamus Besar Bahasa)

Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 1989), h. 205.
Secara terminologis, Ahmad Watik Pratiknya, mengatakan bahwa dikotomi dipahami sebagai
pemisahan antara ilmu dan agama yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomikdikotomik lainnya, seperti dikotomi ulama dan intelektual, dikotomi dalam dunia pendidikan Islam
dan bahkan dikotomi dalam diri muslim itu sendiri (split personality). "Identifikasi Masalah
Pendidikan Agama Islam di Indonesia", Muslih Usa (Ed.), Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita
dan Fakta (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991), h. 104.
Bagi Al- Faruqi, dikotomi adalah dualisme religius dan kultural. Dengan pemaknaan dikotomi di atas,
maka dikotomi pendidikan Islam adalah dualisme sistem pendidikan antara pendidikan agama
Islam dan pendidikan umum yang memisahkan kesadaran keagamaan dan ilmu pengetahuan.
Dualisme ini, bukan hanya pada dataran pemilahan tetapi masuk pada wilayah pemisahan. Sistem
pendidikan yang dikotomik pada pendidikan Islam akan menyebabkan pecahnya peradaban Islam
dan akan menafikan peradaban Islam yang kqffah (menyeluruh). ('Penulis adalah Alumni
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, sekarang dosen tidak tetap pada Fakultas Ushuluddin IAIN
Antasari).
Meskipun dikotomi ini adalah problem kontemporer namun keberadaannya tentu tidak lepas dari
proses historisitas yang panjang sehingga bisa muncul sekarang ini.
B.
Tinjauan Historis Dikotomi Pendidikan di Indonesia
Tidak ada yang menyangkal bahwa dikotomi dari sistem pendidikan di indonesia, yaitu pendidikan
umum di satu pihak dan pendidikan agama dipihak lain adalah merupakan warisan dari zaman

kolonial Belanda.
Orang-orang Belanda beserta keluarganya memerlukan pendidikan dan latihan baik mengenai
pengetahuan umum maupun pengetahuan khusus tentang Indonesia, disamping itu VOC
memerlukan juga tenaga-tenaga pembantu (murah) dari penduduk pribumi. Kepada mereka perlu
diberikan pendidikan sedikitnya untuk menjalankan tugasnya. Hal ini juga dimaksudkan agar
1

kekuasaan dan misionarisnya dapat berjalan dengan sukses dan lancar. Sudah barang tentu
sekolah-seolah tersebut didirikan dengan berbagai kriteria dan variasinya secara diskriminatif yang
bertujuan untuk mempertahankan perbedaan sosial, mengkristenkan masyarakat pribumi dan
menjadikan rakyat sebagai pegawai atau pekerja kasar atau murahan Oleh karena itu, kalaulah
pada akhirnya Belanda membuka kesempatan pendidikan bagi rakyat pribumi, tetapi tujuannya
tidak lain membentuk kelas elit dan menyiapkan tenaga terdidik sebagai buruh rendah/kasar.
Pendeknya pendidikan hanya dijadikan sebagai alat untuk mempertahankan perbedaan sosial,
bukan untuk mobilitas sosial.
C.
Tinjauan Politik Dikotomi Pendidikan di Indonesia
Pemerintah Belanda menerapkan pengawasan dan kontrol yang sangat ketat dan kaku, kontrol
yang ketat ini dijadikan alat politik untuk menghambat dan bahkan menghalang-halangi
pelaksanaan pendidikan Islam, dengan membentuk suatu badan yang khusus yang bertugas

mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam yang disebut Priesnterraden.
Salah satu kebijakan pemerintah Hindia Belanda dalam mengawasi pendidikan Islam adalah
penerbitan Ordonansi Guru. Kebijakan ini mewajibkan guru-guru agama untuk memiliki surat izin
dari pemerintah. Tidak setiap orang, meskipun ahli ilmu agama, dapat mengajar di Lembagalembaga pendidikan. Dalam perkembangannya, Ordonansi Guru itu sendiri mengalami perubahan
dari keharusan guru agama mendapatkan surat izin menjadi keharusan guru agama itu cukup
melapor dan memberitahu saja. Peraturan ini mungkin disebabkan oleh adanya gerakan organisasi
pendidikan Islam yang sudah tampak tumbuh seperti Muhammadiyah, Partai Syarikat Islam, AlIrsyad, Nahdatul Watan dan lain-lain. Pada tahun-tahun itu memang sudah terasa adanya ketakutan
dari pemerintah Belanda terhadap kebangkitan pribumi. Pada satu sisi kebijakan tersebut
melahirkan kondisi psikologis “sebagai warga kelas dua” dikalangan muslim. (Rusydi: Wacana
dikotomi ilmu daiam Pendidikan Islam dan Pensaruhnya
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, "dikotomi", Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989).
D.
Pendidikan di Indonesia Merupakan Kebijakan Pemerintah
Kondisi dikotomi ini diperparah oleh kenyataan lahirnya pengelompokkan sosial masyarakat
Indonesia sebagai produk dari dualitas sistem pendidikan dan peradilan, yaitu disatu pihak adalah
kelompok muslim yang merasa perlu terus memperjuangkan aspirasi dan kepentingan
keagamaannya dalam proses kehidupan bernegara. Dilain pihak adalah kelompok yang merupakan
produk dari sistem pendidikan Barat di sekolah-sekolah Belanda yang mempunyai pandangan
“sekuler” atau netral terhadap agama, bahwa agama merupakan urusan pribadi yang terpisah dari

urusan publik dan urusan agama. kebijakan yang kurang menguntungkan terhadap pendidikan
Islam masih berlanjut pada masa penjajahan Jepang. Walaupun diakui lebih memberikan kebebasan
daripada penjajahan Belanda, tetapi kebijakan dasar pemerintahan penjajahan Jepang berorientasi
pada penguatan kekusasaannya di Indonesia, dan pendidikan Islam di zaman Jepang adalah sebuah
usaha untuk membantu kelangsungan perang Asia Timur Raya, Sehingga eksploitasi kemanusiaan
benar-benar terjadi. Untuk memperoleh dukungan dari umat Islam, pemerintah Jepang
mengeluarkan kebijakan yang menawarkan bantuan dana bagi sekolah dan madrasah. Selain itu
untuk mengamankan kepentingannya, pemerintah Jepang banyak mengangkat kalangan priyayi
dalam jabatan-jabatan di Kantor Urusan Agama, yang bertugas antara lain mengorganisasikan
pertemuan dan pembinaan guru-guru agama. Meskipun dengan alasan pembinaan kecakapan,
tetapi usaha itu pada dasarnya bertujuan agar pelaksanaan pendidikan Islam baik di madrasah
maupun pesantren tetap dalam kontrol pemerintah.
Kebijakan negara di bidang pendidikan merupakan produk dari sebuah proses politik yang
melibatkan berbagai elemen politik yang ada di lembaga legislatif dan eksekutif. Mereka yang
terlibat di dalam proses pengambilan kebijakan negara dan keputusan politik adalah orang-orang
yang diberi mandat untuk mewakili aspirasi dan kepentingan rakyat dan masyarakat luas. Sebagai
produk dari keputusan politik, kebijakan negara di bidang pendidikan merupakan cermin dari politik
pendidikan nasional yang memberikan implikasi terhadap sistem, kelembagaan, kurikulum dan
proses pendidikan.
Pada masa-masa awal kemerdekaan, Indonesia mengembangkan lembaga pendidikan persekolahan

sebagai mainstraim sistem pendidikan nasional. Secara pragmatis, hal ini dilakukan agaknya karena
pengelolaan pendidikan yang diwariskan oleh pemerintah Hindia Belanda. Dengan demikian
pergumulan antara sistem pendidikan ‘nasional dengan sistem pendidikan Islam pun terus
berlangsung.Secara operasional, persoalan dualisme dan dikotomi pendidikan tersebut membawa
dampak berupa pengelolaan pendidikan nasional yang tidak punya dasar pijakan yang jelas. Hal ini
terjadi karena dalam pelaksanaannya pemerintah Indonesia menganut pola kolonialisme Belanda,
2

juga merupakan refleksi dari pergumulan dua basis politik, Islam dan Nasionalisme, yang sejak awal
kemerdekaan tidak bisa dielakkan.
Ketika undang-undang pendidikan nasional pertama yaitu, UU No. 4 Tahun 1950 (tentang DasarDasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah) diundangkan, madrasah dan pesantren sebagai
pendidikan Islam tidak dimasukan sama sekali ke dalam sistem pendidikan nasional, yang ada
hanya masalah pendidikan agama yang diajarkan di sekolah (umum) , pada tahap ini madrasah
belum dipandang sebagai bagian dari sistem dari sistem pendidikan nasional, tetapi merupakan
lembaga pendidikan di bawah Menteri Agama. Menurut pemerintah hal ini disebabkan karena
sistem pendidikan Islam lebih didominasi oleh muatan-muatan agama, yang menggunakan
kurikulum belum terstandarkan, memiliki struktur yang tidak seragam, dan memberlakukan
manajemen yang kurang dapat dikontrol oleh pemerintah. Masalah kurikulum merupakan salah
satu pertimbangan dalam pemberian pengakuan pemerintah terhadap sekolah agama, sebab
sekolah agama dan lembaga pendidikan Islam umumnya lebih memfokuskan kurikulumnya pada

tafaqqahu fiddin, yang difokuskan pada bidang keislaman. Masalah kurikulum pendidikan ini yang
menjadi salah satu pembeda sistem pendidikan yang berlangsung. Disamping itu administrasi
berupa pengaturan dan pengawasan pendidikan oleh dua departemen yang berbeda, yaitu
departemen pendidikan nasional dan departemen agama juga menjadi faktor pembeda yang lain.
Pada tahun 1974, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1972 tentang
kewenangan penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan di bawah satu pintu, yaitu oleh
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, termasuk di dalamnya penyelenggaraan pendidikan
agama. Keputusan itu diikuti oleh Inpres No. 15 Tahun 1974 tentang Pelaksanaan Keputusan
Presiden tersebut. Ternyata keputusan ini mendapat tantangan keras dari kalangan Islam.
Alasannya bahwa dengan menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional memang madrasah akan
mendapat status yang sama dengan sekolah, tetapi dengan status ini terdapat kongkurensi bahwa
madrasah harus dikelola oleh Depdikbud sebagai satu-satunya departemen yang bertanggung
jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan nasional. Mereka lebih menghendaki madrasah tetap
berada di bawah Departemen Agama.
Bahkan sebagian umat Islam memandang Kepres dan Inpres tersebut sebagai manuver untuk
mengabaikan peranan dan manfaat madrasah, juga dipandang sebagai langkah untuk mengebiri
tugas dan peranan Departemen Agama dan bagian dari upaya sekulerisasi yang dilakukan
pemerintah Orde Baru. Hal ini cukup beralasan dikaitkan dengan setting sosial politik yang
berlangsung pada awal pemerintah Orde Baru yang menerapkan kebijakan politik yang
memarjinalkan politik Islam melalui pengebirian partai politik Islam

.
Munculnya reaksi keras dari umat Islam ini disadari oleh pemerintah Orde Baru. Pemerintah
kemudian mengambil kebijakan yang lebih operasional dengan mengeluarkan Surat Keputusan
Bersama (SKB) pada tanggal 24 Maret 1975, yang ditandatangani oleh Menteri Agama, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama yaitu No. 6 Tahun 1975; No. 037/U/1975; dan No.
36 Tahun 1975. Inti dari ketetapan dari SKB Tiga Menteri ini adalah ; (1) agar madrasah untuk
semua jenjang dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat; (2)
agar lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat dan lebih atas; (3) agar
siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat, maka kurikulum yang
diselenggarakan madrasah harus terdiri dari 70% mata pelajaran umum dan 30% mata pelajaran
agama.
Sebagai realisasi dari SKB Tiga Menteri itu, maka pada tahun 1976 Departemen Agama
mengeluarkan kurikulum yang menjadi acuan oleh madrasah, baik untuk MI, MTs, maupun
Madrasah Aliyah. Dengan diberlakukannya kurikulum standar yang menjadi acuan, berarti telah
terjadi keseragaman dalam bidang studi agama, baik kualitas maupun kuantitasnya. Kemudian
adanya pengakuan persamaan yang sepenuhnya antara madrasah dengan sekolah-sekolah umum
setaraf, serta madrasah akan mampu berperan sebagai lembaga pendidikan yang memenuhi dan
sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan mampu berpacu dengan sekolah-sekolah umum dalam
rangka mencapai tujuan nasional.
Kemudian pada tahun 1984 dikeluarkan SKB dua menteri antara Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan dengan Menteri Agama Nomor 299/U/1984 dan Nomor 45 tahun 1984 tentang
pengaturan pembakuan kurikulum sekolah umum dan kurikulum madrasah. SKB ini dijiwai oleh
ketetapan MPR Nomor II/TAP/MPR/1983 tentang perlunya penyesuaian sistem pendidikan sejalan
dengan kebutuhan pembangunan disegala bidang, antara lain dilakukan melalui perbaikan
kurikulum sebagai salah satu diantara berbagai upaya perbaikan penyelenggaraan pendidikan di
sekolah umum dan madrasah.
Namun hasil dari SKB ini belum memuaskan, Secara intelektual, persoalan muncul dengan adanya
dikotomisasi kurikulum, yakni kurikulum umum dan kurikulum agama. Akibatnya, terjadi pula
3

dikotomisasi kelulusan antar dua lembaga. Lebih parah lagi ditinjau dari sisi keahlian, adanya
dikotomisasi itu seakan-akan telah menciptakan label Islam dan label non-Islam terhadap kelulusan
pendidikannya. Selain itu karena masih sering lulusan madrasah mendapat perlakuan diskriminatif
karena dianggap kemampuan umumnya belum setara dengan sekolah umum. Ketika masuk ke
perguruan tinggi atau ke dunia kerja perlakuan diskriminatif tersebut sangat dirasakan oleh lulusan
madrasah sebagai produk pendidikan Islam.
BAB II
IAIN SEBAGAI PRODUK DIKOTOMI PENDIDIKAN ISLAM
A.
Sejarah Sosio Historis perubahan IAIN menjadi UIN

Sebagaimana yang dituliskan oleh Atho Mudzhar Kehadiran IAIN di tengah masyarakat pada
dasamya merupakan perwujudan dari suatu cita-cita yang telah lama terkandung di hati sanubari
umat Islam Indonesia. Hasrat untuk mendirikan semacam lembaga pendidikan tinggi Islam itu
bahkan sudah dirintis sejak zaman penjajahan.
Dr. Satiman Wirjosandjoyo dalam Pedoman Masyarakat No, 15 Tahun IV (1938) pemah melontarkan
gagasan pentingnya sebuah lembaga pendidikan tinggi Islam dalam upaya mengangkat harga diri
kaum Muslim di tanah Hindia Belanda yang terjajah itu. Dikatakan oleh Satiman antara lain bahwa
sewaktu Indonesia masih tidur, onderwijs (pengajaran) agama di pesantren mencukupi keperluan
umum. Akan tetapi setelah Indonesia bangun, maka diperlukan adanya sekolah tinggi agama.
Apalagi dengan kedatangan kaum Kristen yang banyak mendirikan sekolah dengan biaya rendah
dan dikelola oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi, maka keperluan akan adanya sekolah
tinggi agama Islam itu semakin terasakan lagi dan kalau tidak, pengaruh Islam akan semakin kecil,
Demikian alasan Satiman.
Gagasan tersebut terwujud tepatnya tanggal 8 Juli 1946 ketika Sekolah Tinggi Islam (STI) berdiri di
Jakarta di bawah pimpinan Prof. Abdul Kahar Muzakkir, sebagai realisasi kerja sebuah yayasan
(Badan Pengurus Sekolah Tinggi Islam) yang dipimpin oleh Drs. Mohammad Hatta sebagai ketua
dan M. Natsir sebagai sekretaris. Kemudian pada masa revolusi STI ikut Pemerintah Pusat Republik
Indonesia hijrah ke Yogyakarta dan pada tanggal 10 April 1946 dapat dibuka kembali di kota itu.
Selanjutnya, pada November 1947 dibentuk Panitia Perbaikan STI, yang dalam sidangnya sepakat
mendirikan Universitas Islam Indonesia (UII) pada 10 Maret 1948 dengan empat fakultas: Agama,

Hukum, Ekonomi, dan Pendidikan. Pada 20 Februari 1951 Perguruan Tinggi Islam Indonesia yang
berdiri di Surakarta pada 22 Januari 1950, bergabung dengan UII yang berkedudukan di Yogyakarta.
("Sejarah Singkat IAIN", dalam http://ww w.ditpertais.net/ttgiain.asp.)
Oleh karena Yogyakarta dikenal sebagai kota revolusi maka pemerintah berinisiatif memberikan
Universitas Gadjah Mada (UGM) yang diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 1949
tanggal 16 Desember 1949 kepada golongan nasionalis. Sementara itu, kepada golongan Islam
diberikan Perguman Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), yang diambil dari Fakultas Agama UII
berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1950. Sementara di Jakarta, enam tahun kemudian
berdiri pula Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) pada 14 Agustus 1957 berdasarkan Penetapan
Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1957. Dalam rangka menjadikan PTAIN Yogyakarta dan ADIA Jakarta
lebih memenuhi kebutuhan umat Islam akan pendidikan tinggi Agama Islam, dikeluarkanlah
Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 1960 tentang pembentukan Institut Agama Islam Negeri.
Menurut dokumen ini, penggabungan itu diberi nama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) "al-Jami'ah
al-Islamiyah al- Hukumiyah" yang berkedudukan di Yogyakarta, dengan PTAIN Yogyakarta sebagai
Induk dan ADIA Jakarta sebagai fakultas dari Institut baru tersebut IAIN ini akhimya diresmikan pada
24 Agustus 1960 di Yogyakarta oleh Menteri Agama, K. H. Wahib Wahab.
Akhimya sampai dengan akhir 1970 di Indonesia telah berdiri 14 Institut Agama Islam Negeri, yang
masing-masing diberi nama sesuai dengan nama para mujahid yang berjuang di daerah IAIN
tersebut.
Oleh karena asal mula berdirinya Institut Agama Islam Negeri (IAIN) lebih ditentukan oleh
pertimbangan politis, yaitu, kalau Universitas Gajah Mada merupakan hadiah kepada para
nasionalis, maka IAIN Yogyakarta merupakan hadiah kepada kelompok Islam "politik" atau santri,
sebagaimana diuraikan sebelumnya. Oleh karena itulah ciri utama kelembagaan IAIN lebih
berorientasi ke dunia Timur Tengah, khususnya ke Mesir dengan pusat keilmuan Universitas AlAzharnya, dan tidak ke dunia Barat. Konsekuensinya, nama fakultas dan "gaya" kerjanyajuga
berorientasi ke Al-Azhar, yakni fakultas-fakultas Syari'ah, Ushuluddin, Dakwah, Tarbiyah dan Adab,
meskipun tidak setiap IAIN mempunyai kelima fakultas tersebut. Dalam kenyataan, sampai kini
tidak ada satu IAIN pun yang mempunyai nama fakultas selain lima tersebut, meskipun program
studinya ada yang sudah berkembang dan tidak pasti selalu sama.
Fakultas-fakultas tersebut, menurut Qodri Azizy, tidak berkembang dengan baik dan ini menunjukan
terjadinya kemandegan Perguruan Tinggi IAIN, suatu kenyataan yang seharusnya tidak terjadi pada
tradisi identitas Perguruan Tinggi di negara maju. Kemandegan tersebut menurutnya juga
4

mengindikasikan kemandegan tradisi keilmuan di IAIN, dan kekakuan aturan yang telah menjadi
"dogma". Lebih lanjut, kemandekan keilmuan ini terlihat jelas lagi dari segi esensi atau materi
keilmuan yang diajarkan di IAIN itu sendiri, terutama sekali untuk tingkat S-1. Dua hal ini menjadi
tanda yang kongkrit keterbelakangan IAIN yang tidak akan mampu menghadapi abad ke 21. ("A.
Qodri Azizy, "Pengembangan Stmktur Kafakultasan IAIN", dalam http://www.
ditpertais.net/artikel/godriOl.asp)
Dengan kata lain, IAIN masih tertinggal jauh dalam ilmu-ilmu umum (teknologi), dan ini
mengindikasikan bahwa meskipun dalam perkembangannya IAIN ada mengajarkan beberapa ilmu
umum tetapi tidaklah begitu aktual dan belum mampu bersaing, padahal persaingan global
semakin ketat. Contoh di lapangan, ketika penerimaan untuk ilmu ilmu umum seperti B. Inggris
atau matematika ya ng sama-sama ada diajarkan di perguruan tinggi umum dan Islam, orang
sepertinya lebih percaya kualitas dari alumni atau lulusan perguruan umum daripada perguruan
Islam.
Oleh karena itulah gejala kontemporer menunjukkan adanya berbagai pembenahan dalam IAIN,
baik dari segi konsep keilmuan, metodologi, teknik belajar-mengajar dan lain sebagainya. Upaya
pembenahan ini menggiring IAIN kepada perubahan nama yang lazimnya disebut dengan UIN
(Universitas Islam Negeri). Dalam keputusan presiden Nomor 50 tahun 2004, tujuan dibentuknya
UIN ini adalah upaya menyatukan antara ilmu umum dan ilmu agama, yang masih belum
bisadirealisasikan oleh perguruan tinggi Islam di saat bemama IAIN, sebagaimana yang
diungkapkan dalam keputusan berikut ini:
Bahwa dalam rangka memenuhi tuntutan perkembangan ilmu Penge tahuan serta proses integrasi
antara bidang ilmu agama Islam dengan bidang ilmu umum, dipandang perlu menetapkan
Keputusan Presiden tentang Perubahan Institut Agama Islam Negeri Sunan KaliJaga Yogyakarta
menjadi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
Malang menjadi Universitas Islam Negeri Malang. Saat ini di Indonesia baru mempunyai tiga UIN
yakni UIN Syarif Hidayatullah di Jakarta sebagai perkembangan dari IAIN SyarifHidayatullah, UIN
Malang sebagai perkembangan dari STAIN Malang dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sebagai
perkembangan dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Masih minimnya dan mudanya umur UIN ini
akan masih belum mampu menunjukkan hasilnya, apakah sudah mampu memenuhi tuntutan
penyatuan ilmu umum dan agama atau tidak. Oleh karena itulah wacana integrasi ilmu ini harus
terus diaktualkan terutama di perguman Islam tingkat lokal seperti di Kalimantan Selatan ini, agar
bisa cepat tanggap dengan adanya berbagai problem di IAIN Antasari sekaligus berupaya
membenahinya, dengan perspektif historis-kultural masyarakat Banjar tanpa harus "membebek"
kepada UIN yang sedang berkembang di atas sehingga IAIN Antasari jika memang ada upaya
menyatukan ilmu umum dan agama tersebut sudah memiliki kesiapan dan memiliki konsep
keilmuan yang khas dan unik.
B.
Pandangan Prof. Dr. Azyumardi Azra tentang IAIN (UIN) di masa sekarang
Sebagai lembaga akademik, kendati IAIN terbatas memberikan pendidikan Islam kepada
mahasiswanya, tetapi Islam yang diajarkan adalah Islam yang liberal. IAIN tidak mengajarkan
fanatisme mazhab atau tokoh Islam, melainkan mengkaji semua mazhab dan tokoh Islam tersebut
dengan kerangka, perspektif dan metodologi modern. Untuk menunjang itu, mahasiswa IAIN pun
diajak mengkaji agama-agama lain selain Islam secara fair, terbuka, dan tanpa prasangka. Ilmu
perbandingan agama menjadi mata kuliah pokok mahasiswa IAIN.”
“Jika di pesantren mereka memahami dikotomi ilmu: Ilmu Islam (naqliyah dan ilmu keagamaan) dan
ilmu umum (sekuler dan duniawiah), maka di IAIN merekadisadarkan bahwa hal itu tidak ada. Di
IAIN mereka bisa memahami bahwa belajar sosiologi, antropologi, sejarah, psikologi, sama
pentingnya dengan belajar ilmu Tafsir al-Quran. Bahkan ilmu itu bisa berguna untuk memperkaya
pemahaman mereka tentang tafsir. Tetapi, IAIN tidak mengajarkan apa yang sering disebut dengan
“islamisasi ilmu pengetahuan” sebab semua ilmu yang ada di dunia ini itu sama status dan arti
pentingnya bagi kehidupan manusia.”
Itulah pernyataan Prof. Dr. Azyumardi Azra saat menjabat sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah,
Ciputat. Pernyataan itu dimuat dalam buku IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia (2002, hal.
117), yang diterbitkan atas kerjasama Canadian International Development Agency (CIDA) dan
Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Islam (Ditbinperta) Departemen Agama.
Pengakuan Profesor Azyumardi Azra tentang corak liberal dan liberalisasi pendidikan Islam di IAIN
itu tentu saja menarik untuk kita simak, sebab disampaikan bukan dengan nada penyesalan, tetapi
justru dengan nada kebanggaan. IAIN merasa bangga, sebab sudah berhasil mengubah banyakn
mahasiswanya yang kebanyakan berbasis pesantren/madrasah menjadi mahasiswa atau sarjanasarjana liberal.
Ditulis dalam buku ini:
5

”Model studi Islam tersebut membuka wawasan mahasiswa IAIN yang pada umumnya berbasis
pesantren dan madrasah. Memang, pada tahun-tahun pertama studi di IAIN, sebagian mahasiswa
yang telah terdidik dengan budaya pengkajian Islam pesantren mengalami goncangan. Tetapi
setelah itu umumnya bisa memahami arti penting model studi Islam di IAIN. Selain itu dalam
pengamatan Azyumardi, liberalisasi studi Islam di IAIN juga telah mengubah caara pandang
mahasiswa umumnya terhadap ilmu.” (hal. 117).
Saya tidak ingin berkomentar terlalu jauh terhadap pernyataan Prof. Azyumardi atau fakta-fakta
liberalisasi IAIN yang dipaparkan oleh para aktor utamanya di perguruan tinggi Islam. Pada catatancatatan sebelumnya, kita sudah sering membahas masalah ini. Karena masalah ini teramat sangat
penting bagi masa depan pendidikan Islam dan bahkan masa depan umat Islam di Indonesia, ada
baiknya kita simak kembali sejumlah pemaparan tentang proses liberalisasi IAIN, sebagaimana
diuraikan dalam buku tersebut.
Proses liberalisasi itu dimulai dari pulangnya para kafilah yang menimba ilmu di Institute of Islamic
Studies of McGill University. Mereka mendapat didikan dari profesor-profesor Islamic Studies
kenamaan semisal Charles J. Adam, pakar dalam sejarah Islam; Wilfred Cantwell Smith, pakar
sejarah peradaban Islam dan perbandingan agama; N. Barkes, ahli Turki dan sekularisasi di dunia
Muslim, Herman Landolt, pakar filsafat, sufism, dan Syiah; Wael Hallaq, pakar hukum Islam, dan
sebagainya. ”Para alumni McGill ini, dengan latar belakang dan keahlian yang berbeda, pada
gilirannya memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam pengembangan wacana akademik
kajian keislaman dan dunia birokrasi di tanah air.” (hal. vii-viii).
Dijelaskan juga dalam buku ini, bahwa IAIN kini sudah berubah, dari lembaga dakwah menjadi
lembaga akademis.
“IAIN mulanya dimaknai sebagai lembaga dakwah Islam yang bertanggung jawab terhadap syiar
agama di masyarakat. Sehingga orientasi kepentingannya lebih difokuskan pada pertimbanganpertimbangan dakwah. Tentu saja orientasi ini tidaklah keliru. Hanya saja, menjadikan IAIN sebagai
lembaga dakwah pada dasarnya telah mengurangi peran yang semestinya lebih ditonjolkan, yaitu
sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam.
Karena IAIN sebagai lembaga akademis, maka tuntutan dan tanggung jawab yang dipikul oleh IAIN
adalah tanggung jawab akademis ilmiah.” (hal. x).
Perubahan status IAIN dari lembaga dakwah menjadi lembaga akademis, memang dilandasi dengan
perubahan metodologi studi Islam, dari metode para ulama menjadi metode para orientalis, seperti
diungkapkan oleh buku ini:
“Salah satu yang menonjol adalah tradisi keilmuan yang dibawa pulang oleh kafilah IAIN (dan
STAIN) dari studi mereka di McGill University secara khusus dan universitas-universitas lain di Barat
secara umum. Berbeda dengan tradisi keilmuan yang dikembangkan oleh jaringan ulama yang
mempunyai kecenderungan untuk mengikuti dan menyebarkan pemikiran ulama gurunya, tradisi
keilmuan Barat, kalau boleh dikatakan begitu, lebih membawa pulang metodologi maupun
pendekatan dari sebuah pemikiran tertentu. Sehingga mereka justru bisa lebih kritis sekalipun
terhadap pikiran profesor-profesor mereka sendiri. Disamping aspek metodologis itu, pendekatan
sosial empiris dalam studi agama juga dikembangkan.” (hal. xi)
BAB II
DAMPAK DIKOTOMI ILMU BAGI UMAT ISLAM
Dua orang anak muda yang baru lulus dari sebuah perguruan tinggi Islam bersama-bersama
berangkat ke perpustakaan daerah untuk mencari koran gratis agar bisa mendapatkan informasi
lowongan kerja. Sesampainya di perpustakaan, mereka pun langsung mengambil dan membolakbalik koran-koran yang ada. "Perusahaan Distributor Consumer Goods Nasional Besar Membutuhkan
segera Chief Accounting (CA), Usia 27 Tahun, Pendidikan minimal Sl Accounting". "We are seeking
qualified and highly motivated people to fill the position with the following requirements :
Mechanical Engineering Manager". Berlembar-lembar koran lama dan baru dibolak balik tetapi
posisi yang diberikan selalu untuk lulusan perguruan Tinggi umum. Akhimya, mereka pun kelelahan
dan salah satu dari merekabergumam "sulitjuga ya cari pekerjaan yang pas dan bergengsi buat
lulusan seperti kita ini dibanding mereka yang lulus dari perguruan umum", sang kawan pun
menjawab "betui juga, padahal andai aku dulu menuruti sarankakakku untuk kuliah di perguruan
Tinggi umum dan mengembangkan kemampuan kimiaku, mungkin aku sekarang sudah bekerja di
perusaahan yang sama seperti kakakku". Dengan langkah yang agak gontai merekapun beranjak
pulang.
Fenomena di atas hanyalah bagian kecil dari dampak adanya dikotomi keilmuan dalam pendidikan
Islam. Kesulitan para lulusan perguruan Tinggi Islam untuk mencari kerja sudah cukup dimaklumi.
Mahasiswa perguruan Islam yang tidak dilengkapi dengan kemampuan yang kreatif selain ilmu-ilmu
agama tidak mampu bersaing dengan para mahasiswa lulusan umum, terutama dalam lahan
persaingan kerja. Adanya dikotomi ini juga telah melahirkan lembaga-lembaga pendidikan Islam
yang lemah dalam ranah metodologi. Malik Fajar menyatakn bahwa pesantren memiliki tradisi yang
6

kuat dalam transmisi keilmuan Islam klasik namun karena kurangnya improvisasi metodologi maka
akhimya transmisi tersebut hanya memunculkan penumpukan keilmuan, bahkan muncul anggapan
bahwa ilmu tidak perlu ditambah lagi atau sudah mencapai fmalnya dan ini mengindikasikan
lemahnya kreatifitasumat. ("Malik Fajar, "Sintesa Antara Perguruan Tinggi dan Pesantren",
Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren (Jakarta : Paramadina, 1997), h. 114.)
Lemahnya daya kreatifitas dan metodologi ini akhimya mengarahkan kepada pola belajar-mengajar
yang lazimnya disebut Paulo Freire dengan banking concept of education (konsep pendidika ala
bank). Anak didik dijadikan sebagai banking, tempat menamh investasi, disuplai, sehingga mereka
tidak memikirkan apa-apa lagi. Dan sangat minim pembentukan anak didik yang diposisikan kepada
belajar-mengajar problem posing of education yakni menawarkan persoalan-persoalan yang
problematis dan menuntut anak didik berpikir kreatif dan memecahkannya.
Oleh Paulo Freire, konsep pendidikan gaya bank memandang manusia sebagai makhluk yang dapat
disamakan dengan benda dan gampang diatur, semakin banyak anak didik menyimpan tabungan
yang dititipkan maka semakin kurang mereka mengembangkan kesadaran kritis yang dapat mereka
peroleh dari keterlibatan di dunia sebagai pengubah dunia tersebut. Jadi konsekuensinya cara
belajar-mengajar seperti ini selain mematikan kreatifitas juga mampu menciptakan dikotomi antara
dunia dan manusia, manusia (anak) semata-mata ada di dunia bukan bersama dunia, manusia
hanyalah penonton bukan pencipta.44Cara berpikir normatif dan doktrinal juga membentuk cara
penyampaian keilmuan yang monoton dan monolog bukan bersifat dialog dan komunikatif. Metode
yang menjadikan satu orang total sebagai sumber wacana dan menjadikan yang lain sebagai
sesuatu yang pasif, pada akhimya mampu membentuk budaya ketergantungan, sementara budaya
ketergantungan mampu menciptakan budaya suap-menyuap, dan ini tentu berefek kepada
kebobrokan moral bangsa. (Ayumardi Azra, "Rekonstruksi Kritis Ilmu dan Pendidikan Islam", Munir
Mulkhan et. at., Religiusitas IPTEK (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 85-86.)
Dampak dikotomi keilmuan ini juga diungkapkan oleh M. Iqbal bahwa seorang anak muslim hasil
didikan masa klasik bingung menghadapi realitas sejarah yang tidak dapat dipahaminya.
Perlengkapan intelektualnya terlalu minim untuk mampu bergumul dengan realitas yang
mencekam. Dan yang lebih parah lagi pola belajar-mengajar doktriner dan normatif yang biasa
dikembangkan pada wilayah agama bias menghilangkan daya tarik terhadap kajian keagamaan itu
sendiri sebab dengan cara itu para pengkaji tidak perlu lagi menelaah dan meneliti agama itu
dikarenakan mereka sudah tahu jawaban-jawaban yang akan diberikan yang mungkin telah mereka
peroleh sebelumnya dari berbagai forum pengajian,Dikotomi keilmuan dalam pendidikan Islam ini
bisa juga berefek pada wilayah politik. Sebagaimana maklum di Indonesia bisa ditemukan antara
partai politik yang cenderung nasionalis dan Islamis. Keduanya cenderung untuk saling
menegasikan dan berebut kekuasaan bukan saling merangkul dan saling bekerjasama untuk
membangun negeri ini. Singkatnya, dikotomi keilmuan ini betul-betui memberikan dampak yang
sangat signifikan dalam kehidupan umat Islam. Oleh karena pandangan dasar serta produk
pemikiran (pendidikan) umat Islam terpecah belah maka cara hidup dan tingkah laku masyarakat
Islam pun menjadi terpecah belah, sulit untuk bersatu, mudah dipermainkan oleh yang lain, serta
sering tertinggal dalam persaingan peradaban. Mungkinkah ini yang dimaksud dengan peringatan
Nabi Muhammad SAW dulu bahwa suatu masa nanti umat Islam sangat banyak namun mereka
hanya seperti buih yang mudah diombang-ambingkan oleh gelombang
BAB III
KESIMPULAN
1.

Dikotomi adalah dualisme religius dan kultural. Dengan pemaknaan dikotomi di atas, maka
dikotomi pendidikan Islam adalah dualisme sistem pendidikan antara pendidikan agama
Islam dan pendidikan umum yang memisahkan kesadaran keagamaan dan ilmu
pengetahuan. Dualisme ini, bukan hanya pada dataran pemilahan tetapi masuk pada wilayah
pemisahan. Sistem pendidikan yang dikotomik pada pendidikan Islam akan menyebabkan
pecahnya peradaban Islam dan akan menafikan peradaban Islam yang kqffah (menyeluruh).
2.
Tidak ada yang menyangkal bahwa dikotomi dari sistem pendidikan di indonesia, yaitu
pendidikan umum di satu pihak dan pendidikan agama dipihak lain adalah merupakan
warisan dari zaman kolonial Belanda.
3.
Kondisi dikotomi ini diperparah oleh kenyataan lahirnya pengelompokkan sosial
masyarakat Indonesia sebagai produk dari dualitas sistem pendidikan dan peradilan, yaitu
disatu pihak adalah kelompok muslim yang merasa perlu terus memperjuangkan aspirasi dan
kepentingan keagamaannya dalam proses kehidupan bernegara. Dilain pihak adalah
kelompok yang merupakan produk dari sistem pendidikan Barat di sekolah-sekolah Belanda
yang mempunyai pandangan “sekuler” atau netral terhadap agama, bahwa agama
merupakan urusan pribadi yang terpisah dari urusan publik dan urusan agama.
7

4.

Orde Baru. Pemerintah kemudian mengambil kebijakan yang lebih operasional dengan
mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) pada tanggal 24 Maret 1975, yang
ditandatangani oleh Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama
yaitu No. 6 Tahun 1975; No. 037/U/1975; dan No. 36 Tahun 1975. Inti dari ketetapan dari SKB
Tiga Menteri ini adalah ; (1) agar madrasah untuk semua jenjang dapat mempunyai nilai yang
sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat; (2) agar lulusan madrasah dapat
melanjutkan ke sekolah umum setingkat dan lebih atas; (3) agar siswa madrasah dapat
berpindah ke sekolah umum yang setingkat, maka kurikulum yang diselenggarakan madrasah
harus terdiri dari 70% mata pelajaran umum dan 30% mata pelajaran agama.
5.
ilmuan-ilmuan Muslim akhir abad ini berinisiatif untuk mengembalikan hakikat Pendidikan
Islam yang di dalamnya tidak terdapat pendikotomian ilmu, sehingga tidak ada gap antara
keduanya. Kemudian untuk mengejar ketinggalan terhadap Barat, mereka melanjutkan
dengan islamisasi ilmu pengetahuan yang bersandarkan al-Qur’an dan al-Hadits. Karena kalau
diterima apa adanya, maka mau-tidak mau akan terjangkiti pendikotomian ilmu lagi. Kalau
melihat sejarah dikotomi ilmu, bahwa dikotomi muncul pertama kali di Barat, maka semua
pengetahuan yang ada sekarang (tentunya produk Barat) masih mengandung unsur
dikotomik. Makanya perlu diadakan islamisasi.
DIKOTOMI DAN DUALISME PENDIDIKAN DI INDONESIA
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan kunci untuk menapaki masa depan. Pendidikan menjadi penting artinya
karena melalui pendidikanlah yang menentukan arah kehidupan melalui proses pembelajaran antar
generasi. Melaui proses sosialisasi, enkulturasi di dalam institusi primer yaitu dalam keluarga. Dari
situlah proses pewarisan unsur budaya dalam hal ini adalah pembelajaran dilakukan pertamakali. Di
dalam literature ilmu sosial disebutkan bahwa kebudayaan didefinisikan sebagai suatu keseluruhan
sistem ide, sistem sosial, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dimiliki manusia melalui proses belajar. Ini berarti kunci pokok dari kehidupan manusia itu terletak
dari adanya proses belajar.
Sedemikian pentingnya pendidikan ini dalam hidup, maka pendidikan selalu menjadi ranah selalu
hangat untuk diperbincangkan.Hal yang menarik lagi dalam diskursus mengenai tema besar ini
adalah pijakan akar budaya dan historisitas dari perkembangan pendidikan di Indonesia.Suatu
kondisi yang tidak boleh tidak ada seandainya kita mau meneliti tentang perkembangan pendidikan
di negeri kita ini adalah faktor kesejarahan.Bagaimanapun juga sejarah warisan kolonial Belanda
turut membentuk wajah pendidikan Indonesia.
Kalau kita perhatikan, dari jaman kolonial sampai sekarang ada tendensi yang mengarah pada pola
akibat bentukan budaya yang mengakar kuat.Fenomena pembagian menjadi dua bagian antara
negeri dan swasta, umum dan agama, sentralistik dan desentralisasi, menejemen berbasis
sekolahan dan menejemen berbasis pusat, kurikulum berbasis kompetensi dan kurikulum berbasis
pengetahuan, kesemuanya itu lebih kita tempatkan sebagai fakta sejarah.
Fonemena dulaisme keilmuan yang sekarang melanda umat Islam itu relative baru (kira-kira awal
abad 19 M, ketika bangsa Islam mulai dijajah).Dulaisme lembaga pendidikan sekarang ini ada yang
disebut sekolah umum dan ada diistilahkan sekolah agama, dimana terciptalah sarjana agama yang
begitu pintar ilmu syariah, tapi tidak tahu menahu-tahu tentang ilmu umum. Begitu sebaliknya
seorang profesor kimia, misalnya pintar sekali dibidangnya, tapi selalu mengatakan ,saya ini orang
awam untuk urusan agama.
Pendidikan agama di sekolah menurut Zakiah Darajat sangat penting untuk pembinaan dan
penyempurnaan pertumbuhan kepribadian anak didik karena mempunyai aspek jiwa atau
pembentukan kepribadian dengan memberikan kesadaran dan pembiasaan melakukan perintah
Tuhan dan meninggalkan larangan-laranganNya, melakukan praktek ibadah, sopan santuan dalam
pergaulan sesamanya sesuai dengan ajaran akhlak agamanya akan menjadi bagian integral dari
kepribadiannya ketika dewasa nanti dan aspek-aspek pendidikan agama yang ditujukan kepada
pikiran dan kepercayaan.[[1]]
Adanya pendidikan agama di sekolah-sekolah di Indonesia sudah tidak bisa dinafikan lagi, akan
tetapi kenapa pada faktanya pendidikan di Indonesia mengalami keterpurukan baik dari sisi output
8

pendidikan yang masih rendah bila dibandingkan negara-negara yang baru merdeka seperti
Vietnam. Begitupula tentang kenakalan remaja yang terjerumus ke dalam korban narkoba semakin
meningkat dari tahun ke tahun, serta tindakan korupsi yang sudah mengakar di negeri ini. Kondisi
ini tidak mungkin dibiarkan berlarut-larut paling tidak ada peningkatan kualitas pendidikan dan
penyelewengan pendidikan dapat diminimalisir.
Sebagai permasalahan pendidikan yang dialami Indonesia berdasarkan hasil penelitian lembagalembaga indefendent ataupun pemerintah yang berkaiatan dengan dunia pendidikan diantaranya
sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berpusat di
Hongkong pada tahun 2001 saja menyebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia terburuk di
kawasan Asia, yaitu dari 12 negara yang disurvei, Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan
terbaik, disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia. Indonesia menduduki
urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam.[[2]]
2. Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan jumlah pengguna narkoba di lingkungan pelajar
SD, SMP, dan SMA pada tahun 2006 mencapai 15.662 anak. Rinciannya, untuk tingkat SD sebanyak
1.793 anak, SMP sebanyak 3.543 anak, dan SMA sebanyak 10.326 anak. Dari data tersebut, yang
paling mencengangkan adalah peningkatan jumlah pelajar SD pengguna narkoba. Pada tahun 2003,
jumlahnya baru mencapai 949 anak, namun tiga tahun kemudian atau tahun 2006, jumlah itu
meningkat tajam menjadi 1.793 anak.[[3]]
3. Selain itu, kalangan pelajar juga rentan tertular penyebaran penyakit HIV/AIDS. Misalnya di kota
Madiun-Jatim, dari data terakhir yang dilansir Yayasan Bambu Nusantara Cabang Madiun, organisasi
yang konsen masalah HIV/AIDS, menyebutkan kasus Infeksi Seksual Menular (IMS) yang beresiko
tertular HIV/AIDS menurut kategori pendidikan sampai akhir Oktober 2007 didominasi pelajar
SMA/SMK sebanyak 51 %, pelajar SMP sebesar 26%, mahasiswa sebesar 12% dan SD/MI sebesar
11% .[[4]]
4. Menurut hasil survey UNDP (2002), kualitas SDM Indonesia ternyata hanya menduduki urutan
110 dari 179 negara di dunia , posisi Indonesia hanya satu tingkat diatas Vietnam, dan jauh
tertinggal di bawah Philipina , Thailand , Malasyia dan Singapura. Bila dibandingkan India, Indonesia
sangat jauh tertinggal. [[5]]
5. 90% anak usia 8-16 tahun telah buka situs porno di internet. Rata-rata anak usia 11 tahun
membuka situs porno untuk pertama kalinya. Bahkan banyak diantara mereka yang membuka situs
porno di sela-sela mengerjakan pekerjaan rumah. [[6]]
Itulah beberapa permasalahan pendidikan yang krusial di Indonesia yang membutuhkan segera
penyelesaian secara sistematis, terencana dan terpola dengan baik. Jika tidak pendidikan kita mau
dibawa ke mana dan bagaimana generasi yang dihasilkan di masa depan?
B. Identifikasi Masalah
Permasalahan pendidikan di Indonesuia apabila berkaca dari beberapa permasalahan tersebut di
atas dapatlah diidentifikasi sebagai berikut:
1. Sistem pengelolaan pendidikan di Indonesia yang dinaungi oleh dua Departemen ( dahulu ) dan
sekarang disebut kementerian yaitu Kementerian Pendidikan Nasional yang menangani pendidikan
umum dan Kementerian Agama yang menaungi pendidikan agama dan keagamaan menimbulkan
berbagai dampak baik positif maupun negatif dalam tataran praktis.
2. Pemisahan dalam tataran konsep dan paradigma pendidikan di Indonesia menimbulkan dampak
terjadinya dikotomi dan dualisme pendidikan.
3. Dikotomi dan dulaisme dalam pendidikan membentuk sistem pengkotak-kotakan dalam
pendidikan di Indonesia baik antara pendidikan umum dengan pendidikan agama, negeri dan
swasta, sentralisasi dan desentralisasi.
4. Terjadinya dikotomi dan dulaisme dalam pendidikan agama di Indonsia menimbulkan
permasalahan jurang pemisah antara pendidikan yang di bawah naungan Kementerian Pendidikan
9

dengan pendidikan yang di bawah Kementerian Agama baik dari sisi sarana prasarana, sumber
daya manusianya, maupun ketenagaannya.
5. Pendidikan agama Islam sebagai salah satu tonggak penanaman pendidikan moral hanya
sebagai mata pelajaran baik di sekolah maupun di madrasah masih termarjinalkan dari mata
pelajaran lainnya.
C. Batasan Masalah
Dengan luasnya permasalahan yang diidentifikasi dari beberapa yang berhubungan dengan
dikotomi dan dulaisme pendidikan di Indonesia, maka pemakalah akan membatasi masalah
dikotomi dan dulaisme pendidikan di Indonesia yang berkaiatan dengan pendidikan agama Islam.
D. Rumusan Masalah
Melalui makalah ini dapatlah dirumuskan mengapa pendidikan agama Islam di Indonesia masih
terjadi dikotomi dan dulaisme?
E. Metode Kajian
Metode yang digunakan dalam makalah ini adalah pendekatan deskriptif-historis. Saya berusaha
mengungkapkannya, menggambarkan permasalahan yang saya angkat. Dalam tugas saya ini ada
banyak tema besar yang secara eksplisit dipaparkan yang saya kategorikan sebagai permasalahan
yang pertama yaitu dikotomi pendidikan , kedua dulaisme pendidikan di Indonesia, dampak akibat
dikotomi dan dulisme pendidikan serta bagaimana solusi yang ditawarkan pakar pendidikan Islam.
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Dikotomi dan dulaisme pendidikan
1. Pengertian Dikotomi
Dikotomi dalam bahasa Inggris adalah dichotomy adalah pembagian dua bagian, pembelahan dua,
bercabang dua bagian.[[7]] Ada juga yang mendefinisikan dikotomi sebagai pembagian di dua
kelompok yang saling bertentangan.[[8]] Secara terminologis, dikotomi dipahami sebagai
pemisahan antara ilmu dan agama yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomikdikotomik lainnya, seperti dikotomi ulama dan intelektual, dikotomi dalam dunia pendidikan Islam
dan bahkan dikotomi dalam diri muslim itu sendiri (split personality)[[9]]. Bagi al- Faruqi, dikotomi
adalah dulaisme religius dan kultural.[[10]]
Meskipun dikotomi ini adalah problem kontemporer namun keberadaannya tentu tidak lepas dari
proses historisitas yang panjang sehingga bisa muncul sekarang ini. Proses sejarah tersebut diawali
perkembangan pertemuan Islam-Arab dengan budaya lainnya, yang kemudian dilanjutkan dengan
perkembangan lembaga-lembaga pendidikan dalam Islam serta diakhiri dengan pertentangan dua
cara berpikir yang cukup berpengaruh dalam pembentukan dikotomi ilmu dalam sejarah peradaban
Islam.
Dengan pemaknaan dikotomi di atas, maka dikotomi pendidikan Islam adalah dulaisme sistem
pendidikan antara pendidikan agama Islam dan pendidikan umum yang memisahkan kesadaran
keagamaan dan ilmu pengetahuan.Dulaisme ini, bukan hanya pada dataran pemilahan tetapi
masuk pada wilayah pemisahan, dalam operasionalnya pemisahan mata pelajaran umum dengan
mata pelajaran agama, sekolah umum dan madrasah, yang pengelolaannya memiliki kebijakan
masing-masing. Sistem pendidikan yang dikotomik pada pendidikan Islam akan menyebabkan
pecahnya peradaban Islam dan akan menafikan peradaban Islam yang kqffah (menyeluruh).
2. Pengertian Dulaisme
Perkataan “dulaisme” adalah gabungan dua perkataan dalam bahasa latin yaitu “dualis” atau “duo”
dan “ismus” atau “isme”. “Duo” memberi arti kata dua. Sedangkan “ismus” berfungsi membentuk
kata nama bagi satu kata kerja. Dulaisme adalah dua prinsip yang saling bertentangan.Secara
terminologi dulaisme dapat diartikan sebagai dua prinsip atau paham yang berbeda dan saling
bertentangan. Oleh karena itu, dulaisme ialah keadaan yang menjadi dua, dan ia adalah satu
10

sistem atau teori yang berdasarkan kepada dua prinsip yang menyatakan bahwa ada dua
substansi.
Asal dualisme ini pada hakikatnya merupakan doktrin filsafat dan metafisika yang lahir dari alam
pikiran para filosof Barat dalam melihat entitas jiwa dan raga manusia. Asal usul konsep dulaisme
terkandung dalam pandangan hidup tentang alam (world view), serta nilai-nilai yang membentuk
budaya dan peradaban Barat.Gagasan tentang dulaisme sebenarnya dapat ditelusuri sejak zaman
Plato dan Aristoteles yang memiliki pandangan berhubungan dengan eksistensi jiwa yang terkait
dengan kecerdasan dan kebijakan.Plato dan Aristoteles berpendapat bahwa “kecerdasan”
seseorang merupakan bagian dari pikiran atau jiwa yang tidak bisa diidentifikasi atau dijelaskan
dengan fisik.Jadi dalam pandangan tentang hubungan antara jiwa dan raga, fenomena mental
adalah entitas non-fisik dan raga adalah fisik.Oleh karena itu, faham dulaisme ini melihat fakta
secara mendua.Akal dan materi adalah dua substansi yang secara ontologis terpisah. Jiwa-raga
(mind-body) tidak saling terkait satu sama lain.
Dulaisme yang dikenal secara umum sampai hari ini diterapkan oleh René Descartes (1641), yang
berpendapat bahwa pikiran adalah substansi nonfisik.Descartes adalah yang pertama kali
memodifikasi dulaisme dan mengidentifikasi dengan jelas pikiran dengan kesadaran dan
membedakannya dengan otak, sebagai tempat kecerdasan. Baginya yang riil itu adalah akal
sebagai substansi yang berfikir (substance that think) dan materi sebagai substansi yang
menempati ruang(extendedsubstance). Dengan demikian memang secara ideologis diciptakan
adanya dulaisme pendidikan, yaitu sekolah umum yang memperoleh sokongan pemerintah dan
menjadi tanggung jawab Kementerian Pendidikan Nasional dan madrasah, pondok pesantren,
sekolah yang kurang mendapat perhatian dan menjadi tanggung jawab Kementerian Agama.
B. Pandangan Islam mengenai dikotomi dan dulaisme pendidikan
Ilmu sebagai dasar pijakan dalam terjadinya dikotomi dan dualisme dalam pendidikan dapat kita
kaji dan analisa dari Al-Quran dan Al Hadits, sebagaimana diungkap Quraish Shihab,[[11]] kata ilmu
dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam al-Quran dan 750 ayat al-Quran yang
berbicara tentang alam materi dan fenomenanya. Hal ini mengisyaratkan agar manusia
mengetahui dan memanfaatkan alam ini.Objek Ilmu dalam Islam terbagi kepada dua bagian besar
yaitu objek materi dan objek non-materi. Seperti kaum sufi melalui ayat-ayat al-Quran
memperkenalkan ilmu-ilmu yang merela sebut al-hadlarat al-Ilahiyah al-Khams ( lima kehadiran
ilahi) sebagai gambaran keseluruhan realitas wujud, yaitu alam nasut ( alam materi), alam malakut
( alam kejiwaan), alam jabarut ( alam ruh), alam lahut (sifat-sifat ilahiyah, dan alam hahut ( wujud
zat ilahi).
Selain itu banyak ayat al-Quran yang memerintahkan untuk berfikir tentang alam semesta,
melakukan perjalanan dengan titik tolak dan tujuan akhir karena Allah, seperti dalam Surat Al-‘Alaq
sebagai surat yang pertama kali diturunkan diawali dengan kalimat Iqra dan diakhiri dengan
kalimat “wasjud waqtarib” ini merupakan indikator bahwa ilmu dalam Islam tidak dikenal Ilmu
hanya untuk ilmu dan tidak dibenarkan dalam Islam. Sementara sekarang ini berkembang ilmu itu
bebas nilai.[[12]]
Ulama-ulama kita dulu, tidak pernah membedakan ilmu umum dan ilmu agama, semuanya penting,
hanya menurut Muhamad Abduh, misalnya, harus ada skala prioritas dimana ilmu aga