PERKEMBANGAN PENGAJARAN ALQURAN DI ASIA

TRADISI PENGAJARAN AL-QUR’AN DI ASIA TENGGARA:
UPAYA UMAT ISLAM
MENGKAJI DAN MEMAHAMI ISI KANDUNGAN AL-QURAN
By Adib
Tercatat dalam sejarah, Islam masuk ke wilayah Asia Tenggara sejak abad
ke 7 dan telah mengalami perkembangan yang sangat pesat sejak abad ke 13 dan
14 dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di wilayah Nusantara. Islam masuk
ke Semenanjung Kepualaun Nusantara dengan membawa coraknya sendiri yang
berbeda dengan wilayah lainnya. Oleh karena itu sejarah social intelektual Islam
di wilayah ini juga memiliki kekhasan tersendiri yang unik. Antara lain, Islam
masuk ke wilayah ini bukan dibawa oleh pasukan tentara, melainkan dibawa oleh
para pedagang dan muballigh yang terdiri atas kaum sufi. Hal ini berpengaruh
terhadap metode dan pendekatan yang digunakan dalam penyebaran ajaran Islam
dan dakwah, termasuk dalam hal pengajaran al-Qur’an.
Mengkaji Islam di Asia Tenggara menjadi sangat penting dan relevan di
era sekarang di mana mata dunia kini tertuju pada satu perhatian mengenai
hubungan antar Islam dan Barat yang penuh dengan intrik yang tidak obyektif.
Kini saatnya untuk mengkaji lebih banyak tentang Islam di Asia Tenggara yang
terbutkti telah mampu mengakomodir tradisi local tanpa harus melepaskan
identitas diri sebagai seorang muslim. Hal ini tidak bisa lepas dari pengaruh
Islamisasi di wilayah Nusantara yang lebih soft dan akomodatif terhadap budaya

dan tradisi local yang baik. Termasuk di dalamnya adalah kajian mengenai tradisi
pengajaran al-Qur’an, yang dalam beberapa decade terakhir mengalami geliat
yang progresif, tidak hanya pada upaya untuk mampu mambaca tapi juga mampu
menghayati dan memahami arti yang dibaca itu.
Seorang Guru Besar Studi Islam di Kanada, Howard M. Federspiel
memiliki interes sendiri untuk mengkaji tradisi pengajaran al-Qur’an di Asia
Tenggara, khususnya di Indonesai dengan menerbitkan hasil penelitiannya dalam
buku Populer Indonesian Literature of The Qur’an. Buku ini telah diterjemahkan

1

oleh Penerbit Mizan dalam bahasa Indonesia Kajian al-Qur’an di Indonesia.
Federspiel telah memberikan ilustrasi yang baik tentang perkembangan kajian alQur’an di Indonesia sejak sebelum kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan.
Hanya saja focus kajian penelitian Federspiel lebih pada bagaimana upaya kaum
Muslim di Indonesia untuk memahami isi kandungan al-Qur’an.
Dalam konteks masyarakat Muslim Indonesia, dan masyarakat Muslim
lainnya di wilayah Asia Tenggara, karena factor bahasa lisan maupun tulis yang
digunakan, pengajaran al-Qur’an secara garis besar terdiri atas pengajaran yang
lebih berorientasi pada kemampuan untuk membaca dalam pengertian melafalkan,
dan pengajaran yang berorientasi pada pemahaman terhadap apa yang dibaca.

Keduanya penting untuk dipilah, karena pada prakteknya masing-masing
memiliki tradisi dan perkembangannya tersendiri di Indonesia, dan beberapa
Negara yang berpenduduk mayoritas Muslim di Asia Tenggara ini. Biasanya
pengajaran membaca terlebih dahulu baru kemudian kemampuan untuk
memahami arti yang dibaca.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Howard M. Federspiel menunjukan
bahwa sumber ajaran Islam, al-Quran dan Hadis diletakkan dalam posisi yang
sangat penting di kalangan umat Islam Indonesia kontemporer.1 Salah satu
buktinya umat Islam di Indonesia selalu berupaya untuk mengkaji dan mendalami
al-Qur’an, baik melalui karya-karya berbahasa Arab maupun yang telah
dihasilkan oleh ulama-ulama Indonesia sendiri.
Perkembangan pengajaran al-Qur’an baik yang berorientasi pada
kemampuan melafalkan maupun kemampuan memahami mengalami kemajuankemajuan seirang tantangan zaman yang dihadapi. Di masa-masa awal, ketika
pengajaran al-Qur’an hanya mengandalkan pengajian di surau-surau atau di
rumah-rumah kiyai atau ustadz belum ada metode pengajaran al-Qur’an yang
berkembang kecuali metode Baghdadiyah. Setelah memasuki tahun 1980-an
mulai muncul metode-metode baru dalam pengajaran al-Qur’an, antara lain
1 . Howard M. Federspiel, Kajian al-Qur’an di Indonesia, terj. Mizan, Bandung, 1996, h.
71.


2

Metode Qiroati, Metode Iqra, Metode Al-Barqi, dan metode-metode lainnya.
Lahirnya metode dan pendekatan baru tersebut memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap pemberantasan buta huruf al-Qur’an di Indonesia. Dengan
lahirnya metode-metode tersebut terjadi perubahan pola pengajaran al-Qur’an
yang sebelumnya hanya berlangsung di surau-surau atau rumah ustadz, kini telah
berdiri Taman-taman Pendidikan al-Qur’an yang dikelola secara lebih sistematis
dan professional.
Orientasi pengajaran al-Qur’an tidak hanya pada kemampuan membaca
dalam arti melafalkan tapi juga diorientasikan terutama untuk memahami dan
mendalami kandungan al-Qur’an. Dalam konteks ini lahir pula metode-metode
baru yang tujuannya adalah untuk lebih mudah memahami dan mendalami
kandungan isi al-Qur’an secara lebih sistematis dan terarah. Antara lain sejak
tahun 1990-an lahir metode-metode baru sebagai terobosan untuk mengantarkan
umat Islam mampu memahami bahasa Arab al-Qur’an. Antara lain telah lahir
Metode Tarjamah 40 Jam, metode Amtsilati, Metode Bahasa Arab Qur’ani,
Metode At-Tamyiz dan lain-lain yang tujuannya adalah untuk memahami makna
ayat-ayat al-Quran.
Perkembangan pengajaran al-Qur’an di wilayah Asia Tenggara, termasuk

di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam ini sangat menarik untuk
dicermati, karena beberapa hal. Pertama, bagi masyarakat muslim Nusantara
Bahasa Arab memiliki kedudukan tersendiri. Kendatipun Bahasa Arab bukan
merupakan Bahasa Ibu atau Bahasa Kedua, akan tetapi Bahasa Arab telah menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dalam bahasa Melayu. Kita kenal sebutan Bahasa
Arab Melayu, atau Bahasa Arab Pegon. Kedua, orientasi pengajaran al-Qur’an
selama ini lebih banyak pada kemampuan membaca dalam artian melafalkan,
sementara kemampuan untuk memahami dan mendalami makna kandungannya
masih sedikit dikembangkan. Ketiga, Asia Tenggara merupakan salah satu pusat
Peradaban Islam di wilayah Asia sehingga kajian mengenai pengajaran Al-Qur’an
merupakan salah satu entri point untuk memahami bagaimana perkembangan
Islam di wilayah tersebut. [ ]

3

4