KARAKTERISTIK AJARAN BUDDHA PADA MASA BU

KARAKTERISTIK AJARAN BUDDHA PADA MASA BUDDHISME AWAL
Oleh: Sāmaṇera Yogi Guṇavaro Guṇapiyo

Yo vo,ānanda, mayā dhammo ca vinayo ca desito paññatto,
so vo mamaccayena satthā.
“Ananda, Dhamma dan Winaya yang telah kupaparkan dan kumaklumkan,
itulah yang menjadi guru Anda sepeninggalan saya.”
Buddhisme awal ― Semua aliran Buddhis mempercayai bahwa ajaran mereka
berasal dari Buddha historis, dan mereka semuanya benar, dalam pengertian
tertentu. Tidak diragukan bahwa kita dapat menelusuri jejak kelanjutan di antara
aliran-aliran Buddhisme, demikianlah sehingga mereka semua dapat dengan sah
dianggap sebagai pewaris ajaran Sang Buddha. Namun pada waktu yang sama
dapat menjadi aneh jika beberapa hal tidak berubah dalam 2500 tahun sejarah
Buddhis, dan sungguh tidak Buddhis untuk menyatakan bahwa Buddhisme tidak
pernah berubah.
Periode paling awal dari Buddhisme adalah periode dimana ketika Buddha
masih hidup dan membabarkan Dhamma kepada para siswanya. Dalam periode
inilah Dhamma diajarkan dan diterima dalam masyarakat, diajarkan langsung oleh
Buddha, sehingga kemurnian dari apa yang diajarkannya masih dapat
dipertahankan. Kemurnian dari ajaran Buddha yang menjadi tolak ukur Buddhisme
awal berlangsung hingga Buddha Parinibbāna. Periode paling awal dari Buddhisme

adalah bersatu, dengan tidak adanya aliran-aliran yang terpisah secara jelas.
Periode ini bertahan sampai masa Asoka, ±100 tahun setelah Parinibbāna Buddha.
Pada masa ini belum terdapat pembagian antara sekte, dan ajarannya masih
disampaikan secara lisan. Pada buku Ivan Taniputera Dipl. Ing. yang membahas
mengenai ‘Studi Banding Doktrin Buddhisme Aliran Selatan dan Utara’ menyatakan
bahwa, dalam hal ini Buddhisme awal dibagi menjadi dua masa atau dua periode,
yaitu:

Setelah 350 SM terjadi perpecahan pada Saṅgha yang terjadi karena
kontroversi yang ada karena perbedaan dalam penafsiran ajaran dan peraturan

hidup membiara. Suatu kelompok yang lebih progresif, Mahasamghika (Kumpulan
Besar), menentang ajaran tradisional yang sudah dibakukan oleh kelompok yang
lebih konservatif yang disebut Theravāda (atau disebut Sthaviravada dalam Bahasa
Sansekerta). Pada zaman itu naskah-naskah tertua Buddhis adalah Nikāya-Nikāya
Pāli (Sutta-Piṭaka) yang sama dengan Āgama Sutra pada Sansekerta. Salah satu
acuan terawal selain dari kitab-kita agama Buddha tentang keberadaan beberapa
sutta adalah tugu Bhabra dari Raja Asoka abad ke-3 SM, yang menyebutkan tujuh
kitab berasal dari sutta terdahulu yang sekarang telah diidentifikasi, seperti
Cullavagga dari Vinaya Piṭaka.

Selain itu Vinaya Piṭaka juga sudah dikenal pada zaman itu. Vinaya
mengandung banyak materi yang umum misalnya pāṭimokkha (Pāli) atau
Praktimoksa (Sansekerta), tetapi juga banyak tambahan yang belakangan ini
dilakukan terhadap isi dari Vinaya itu sendiri. Terutama ketika muncul kontroversi
yang terjadi oleh karena penafsiran ajaran dan peraturah hidup membiara yang
berbeda-beda. Pendapat pertama mengatakan bahwa penyebab perpecahan adalah
sepuluh peraturan kebhikkhuan yang diusulkan beberapa anggota Saṅgha agar
ditinjau kembali. Pendapat kedua mengatakan bahwa perpecahan terjadi karena
perbedaan pendapat mengenai arahat sebagai mana yang dikemukakan oleh
seorang Bhikkhu bernama Mahadeva. Pandangan Mahadeva ini ditentang oleh para
Bhikkhu yang lebih senior, namun didukung oleh para anggota Sangha yang lebih
muda. Dari kedua pendapat tersebut tidak dapat diketahui mana yang lebih benar,
namun yang pasti pendapat-pendapat tersebut menunjukan bahwa pada saat itu
telah terjadi pepecahan yang diakibatkan oleh beda penafsiran antara Vinaya
Piṭaka dan Sutta Piṭaka.
Dari perbedaan tersebut, lalu apakah yang menjadi karakteristik Buddhisme
awal? Apakah karakteristik dari Buddhisme awal dengan yang sekarang tetap
sama? Atau berbeda?
PEMBAHASAN
Pada bagian ini akan dibahas mengenai kesamaan-kesamaan dari Nikāya dan

Āgama terhadap konsep-konsep terpenting yang membentuk Buddhisme, dan
dengan tidak diakuinya salah satu dari konsep ini, maka akan dapat diketemukan
suatu ajaran yang sangat menyimpang dari karakteristik Buddhisme tersebut.
Karakteristik dari Buddhisme atau Buddhisme awal adalah non-spekulatif, nonotoritarian, dan non-absolutisme. Namun sebelum memasuki pembahasan yang
lebih jauh mengenai karakteristik Buddhisme awal tersebut, pada bagian ini akan
dibahas mengenai apa yang diajarkan Buddha pada awalnya dan dicari
persamaannya melalui sumber Nikāya dan Āgama.
I. Perbandingan Cāttariariyasaccāni Melalui Sumber Nikāya dan Āgama
Cāttariariyasaccāni atau empat kebenaran mulia merupakan hal yang paling
mendasar di dalam Buddhisme, dimana di dalamnya terkandung tujuan yang
paling dasar dari Buddhisme. Tujuan mendasar Buddhisme adalah untuk
terbebas dari penderitaan. Seluruh ajaran Buddha memiliki tujuan yang sama,
walaupun dalam penyajiannya berbeda-beda. Dalam hal ini jika empat
kebenaran mulia merupakan hal yang mendasar bagi Buddhisme, maka jika
dilakukan perbandingan antara Nikāya-Pāli dan Āgama-Sansekerta sudah
seharusnya ditemukan kesamaan dalam pembahasan mengenai empat
kebenaran mulia.

Cāttariariyasaccāni (empat kebenaran mulia) dalam Nikāya-Pāli
Cāttariariyasaccāni atau empat kebenaran mulia dalam Nikāya-Pāli dapat

ditemukan pada Dhammacakkapavatana Sutta, yang berbunyi sebagai berikut:
“Wahai, Bhikkhu! Kelahiran adalah penderitaan...kemelekatan terhadap lima
khanddha adalah penderitaan. Inilah kebenaran mulia mengenai
penderitaan.
...Kemelekatanlah yang membawa pada kelahiran kembali, ...Inilah
kebenaran mulia mengenai penyebab penderitaan.
...Kemelekatan dapat diatasi dan dihancurkan, dihilangkan dan ditolak.
...Inilah kebenaran mulia mengenai lenyapnya penderitaan.
...Inilah kebenaran mulia menuju hilangnya penderitaan: pandangan benar
(sammā-diṭṭhi), ... dan meditasi benar (sammā-samādhi).”
Cāttariariyasaccāni (empat kebenaran mulia) dalam ĀgamaSansekerta
Sedangkan Cāttariariyasaccāni (empat kebenaran mulia) dalam
Āgama-Sansekerta bisa diketemukan pada Avatamsaka-Sutra bab VIII, yang
berisi:
“Putera-putera Buddha, Kebenaran Mulia tentang penderitaan di dalam
Samsara ini kadang-kadang disebut dengan perilaku salah,
penganiyayaan, perubahan/ketidak kekalan, kemelekatan pada suatu
objek ... atau tindakan yang dilansasi kebodohan.
Kebenaran mulia mengenai penyebab penderitaan di dalam samsara
ini boleh disebut belenggu atau perpisahan ... kesadaran palsu... .

Kebenaran mulia mengenai lenyapnya penderitaan, di dalam samsara
ini boleh disebut dengan penghindaran atas pertikaian ... atau berdiam
di dalam sifat sejati...
Kebenaran mulia mengenai jalan untuk menghilangkan penderitaan di
dalam samsara ini boleh disebut satu kendaraan, jalan bertahap
menuju kedamaian, ... tidak memiliki nafsu keinginan lagi, mengikuti
jalan para Arya ... .”
Dhammacakkapavatana-Sutta mendefinisikan penderitaan sebagai
penyakit, usia tua, kematian, bertemu dengan yang tidak disukai, berpisah
dengan yang disukai, serta kemelekatan pada lima khandha. Sedangkan
Avatamsaka-Sutra menyebutkan sebagai perilaku salah, ketidak kekalan,
kemelekatan pada suatu objek, dan tindakan yang dilandasi kebodohan. Dari
definisi diatas dapat dihubungkan bahwa, penyakit, usia tua dan kematian
berkaitan dengan ketidak kekalan atau perubahan secara terusmenerus.
Berjumpa dengan yang tidak disuka, berpisah dengan yang disuka, dan tidak
mendapat apa yang diinginkan berkaitan dengan kemelekatan terhadap
suatu objek. Kemelekatan pada suatu objek pada Avatamsaka-Sutra
didefinisikan sebagai prilakuk salah atau tindakan yang dilandasi kebodohan,
hal itu berkaitan dengan tindakan fisik maupun mental yang salah yang
dilandasi kebodohan, dan mental yang salah yang dilandasi kebodohan

berhubungan dengan kemelekatan terhadap lima khandha pada
Dhammacakkapavatana-Sutta (Pāli. Avijja, Snkt. Avidya).

Mengenai
penyebab
penderitaan
Dhammacakkapavatana-Sutta
menyebutkan kemelekatanlah yang menjadi penyebab kelahiran terus
menerus dalam samsara ini. Avatamsaka-Sutra menyebutkan dengan istilah
belenggu, karena menyebabkan kita selamanya terikat dalam lingkaran
kelahiran dan kematian.
Dengan menghilangkan kemelekatan penderitaan akan dilenyapkan
demikian dalam Dhammaccakapavatana-Sutta yang sebagai sumber dari
Nikāya-Pāli. Sementara dalam Avatamsaka-Sutra yang menjadi sumber dari
Āgama-Sansekerta mengatakan hal tersebut sebagai kebebasan dari
kekotoran batin, hilangnya hambatan-hambatan, dan prealisasian atas sifat
sejati para makhluk.

II. Pembagian bedasarkan Sifat Terhadap Ajaran Buddha pada Masa
Buddhisme Awal


a. Non-Spekulatif
Ajaran Agama Buddha pada masa Buddhisme awal lebih bersifat nonspekulatif. Spekulatif disini merupakan kata yang berasal dari kata spekulasi
yaitu pendapat atau dugaan yang tidak bedasarkan kenyataan. Artinya
pendapat itu dibuat atau teori itu berdiri bukan bedasarkan apa yang telah
dialami atau telah dilihat pada kenyataannya, namun lebih pada perkiraanperkiraan yang mendekati dengan apa yang berhubungan dengan hal
tersebut. Buddhisme awal jelas tidak bersifat spekulatif, dimana dalam ajaran
Buddha pada umumnya bertujuan untuk pembebasan Dukkha, oleh karena
itu Buddhisme jika bersifat spekulatif akan terjebak pada spekulasi-spekulasi
yang pada akhirnya tidak membawa pada manfaat untuk tujuan dari
Buddhisme itu sendiri, yaitu pembebasan dari Dukkha.
Beberapa hal yang bersangkutan dengan pandangan ajaran Buddha
pada masa Buddhisme awal yang bersifat non-spekulatif misalnya dapat kita
temukan di dalam Samyuta-Nikāya, yaitu tentang seseorang yang bernama
Acela Kassapa, yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Buddha
yang berkaitan jawabannya dengan spekulasi-spekulasi.
1. Apakah penderitaan disebabkan oleh diri sendiri?
2. Apakah penderitaan disebabkan oleh yang lainnya?
3. Apakah penderitaan disebabkan baik oleh sendiri maupun yang
lainnya?

4. Apakah penderitaan disebabkan bukan oleh sendiri dan bukan juga
oleh yang lain?
Untuk pertanyaan tersebut Buddha menjawab: “Jangan berkata
demikian, alih-alih membuat penyangkalan yang lebih umum yang bisa
dinyatakan sebagai: ‘bukan demikian’. Keengganan untuk menerima dalih
yang pertama (penderitaan bersebab akibat sendiri) didorong oleh
kewaspadaannya bahwa hal itu dapat membimbing ke kepercayaan akan
eternalisme. Yang kedua dihindari karena ia dapat membimbing ke
anihilasionisme. Yang ketiga, kombinasi dari kedua teori di atas, membawa
serta kedua implikasi tadi, eternalisme dan anihillasionisme. Dan yang
keempat menyangkal sebab-akibat sama sekali.”
Dengan demikian Buddha sama sekali tidak memberikan jawaban yang
pasti akan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Karena dengan memberikan
jawaban yang pasti hanya akan membuat apa yang diajarkan Buddha
terjebak dalam spekulasi-spekulasi yang nantinya akan mengarah pada

kepercayaan akan eternalisme, yang sebenarnya dalam Buddhisme tidak
memandang paham eternalisme.
b. Non-Otoritarian
Otoritarian memiliki makna yang berasal dari kata otoriter dimana

otoriter mengandung makna berkuasa sendiri atau sewenang-wenang, atau
menganggap segala keputusan berasal dari dia.
Dalam sumber lain istilah otoritarianisme berasal dari bahasa Inggris,
authoritarian. Kata authoritarian sendiri berasal dari bahasa
Inggris authority, yang sebetulnya merupakan turunan dari
kata Latin auctoritas. Kata ini berarti pengaruh, kuasa, wibawa, otoritas. Oleh
otoritas itu, orang dapat memengaruhi pendapat, pemikiran, gagasan,
dan perilaku orang, baik secara perorangan maupun kelompok.
Otoritarianisme adalah paham atau pendirian yang berpegang pada otoritas,
kekuasaan dan kewibawaan, yang meliputi cara hidup dan bertindak.
Penganut otoritarianisme akan berpegang pada kekuasaan sebagai
acuan hidup. Ia akan menggunakan wewenang sebagai dasar berpikir. Ketika
berhadapan dengan orang lain dan menanggapi masalahnya, mereka akan
menanyakan kedudukannya (sebagai apa)
dalam lembaga dan organisasi. Dalam membahas masalah itu, dia tidak akan
mempersoalkan hakikat dan kepentingannya, tetapi berhak ikut campur dan
mengurus perkara yang dipersoalkannya. Namun demikian, hal ini hanya
berlaku untuk dirinya. Untuk orang lain, orang otoritarian akan membatasi
pekerjaan seseorang, yaitu agar orang tersebut bekerja
menurut prosedur dan aturan yang ada. Jika orang itu tidak mengerti dan

tidak menjalankan tugasnya dengan baik, ia akan dianggap salah.
Dari penjabaran mengenai pengertian otoritarian yang telah di bahas,
jelas dalam hal ini Buddhisme awal tidak memegang paham tersebut, atau
dengan kata lain bersifat non-otoritarian. Hal itu dapat dibuktikan dalam
ajaran Buddha yang terkandung dalam Mahāparinibbāna-Sutta, yang
berisikan tentang saat-saat terakhir sebelum Buddha Parinibbāna.
Dan isi kutipan dari Mahāparinibbāna-Sutta yang mencerminkan sifat
non-otoritarian pada masa Buddhisme awal adalah:
“Yo vo,ānanda, mayā dhammo ca vinayo ca desito paññatto, so vo
mamaccayena satthā.”
“Ananda, Dhamma dan Winaya yang telah kupaparkan dan
kumaklumkan, itulah yang menjadi guru Anda sepeninggalan saya.”
Jelas dalam kutipan tersebut Buddha menunjukan, bahwa pada saat
kepeninggalannya, Buddha tidak menyatakan bahwa dia adalah guru satusatunya, atau menggunakan posisinya sebagai Buddha untuk menunjuk
seseorang menjadi penerus atau penggantinya dalam posisi guru.
Sebelumnya Y.A. Ānanda mempertanyakan, siapa kelak yang akan
menggantikan Buddha kelak setelah Buddha Parinibbāna, dan Buddha

dengan pertanyaan tersebut menjawan sesuai dengan kutipan diatas dan
tidak sama sekali menunjuk atau memilih siapa yang menjadi penggantinya.

c. Non-Absolutisme
Buddhisme awal bersifat non-absolutisme artinya bahwa agama
Buddha menekankan untuk tidak terjebak pada sesuatu yang paling mutlak,
paling benar, dan paling hakiki. Kata absolutisme berasal dari kata dasar
absolut yang berarti tidak terbatas atau mutlak.
Salah satu Sutta yang merujuk pada sifat non-absolut adalah CaṅkiSutta pada Majjhima-Nikāya.
Caṅki, seorang brahmana dari desa Opāsāda, datang menemui Sang
Buddha dengan banyak orang. diantara pengikutnya adalah seorang
brahmana muda bernama Kāpāṭika. Brahmana muda itu terlibat di dalam
diskusi dengan Sang Buddha tentang ‘Tiga Veda’yang telah diturunkan dari
generasi ke generasi dalam tradisi yang tidak terputus. Tradisi yang oleh
brahmana itu dipercaya sebagai satu-satunya kebenaran yang diibaratkan
oleh Sang Buddha seperti sebaris orang buta yang masing-masing
berpegangan pada orang buta yang didepannya.
Kutipan dari isi sutta tersebut adalah:
"... Ada lima hal yang mempunyai dua macam akibat pada
kehidupan sekarang. Apakah ke lima hal itu? Lima hal itu
adalah: Keyakinan (saddha), kesukaan (ruci), tradisi (lisan),
berdebat tentang bukti (akaraparivitakka) dan senang
merenungkan
pandangan-pandangan
(ditthinijjhanakhanti).
Lima hal ini mempunyai dua macam akibat pada kehidupan
sekarang. ... Tidaklah tepat bagi seorang yang cerdas,
melindungi kebenaran utuk tiba pada kesimpulan (nitthaṁ)
secara kategorik (ekaṁsena) dalam hal ini bahwa hanya inilah
yang benar dan selainnya keliru (Idaṁ eva saccaṁ moghaṁ
aññaṁ).”
Di sini Sang Buddha menegaskan bahwa suatu teori yang
berlandaskan tradisi atau laporan atau wahyu dapat benar atau keliru.
Dengan tidak adanya jaminan akan kebenarannya atau kekeliruannya,
tidaklah tepat untuk tergantung kepada teori itu sebagai alat yang
mutlak untuk memperoleh pengetahuan. Oleh sebab itu, seperti yang
dikemukakan Sang Buddha, seseorang seharusnya menunda
keputusan, dan itu berarti penolakan terhadap tradisi atau wahyu
sebagai sumber yang mutlak bagi pengetahuaan.
KESIMPULAN
Dari seluruh pembahasan yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya,
dapat di ambil suatu kesimpulan mengenai agama Buddha pada masa Buddhisme
awal, yaitu bahwa pada masa Buddhisme awal jelas Buddha dalam ajarannya
mengandung beberapa sifat yang sebelumnya telah dibahas, dimana ajarannya
bersifat non-spekulasi, non-otoritarian, dan non-absolutisme. Non-spekulasi adalah

saat dimana Buddha dalam ajarannya lebih menekankan hal-hal yang sifatnya tidak
ber-spekulasi, artinya dimana ketika seseorang dalam usahanya memperoleh
pengetahuan mengenai asal mula dan keluasan semesta alam atau sebagainya dan
keadaan sebenarnya, terjerumus dalam spekulasi yang diputuskan bedasarkan
prinsip-prinsip tertentu. Dan pada akhirnya hal tersebut tidak membawa manfaat
sama sekali kepada tujuan utama dari ajaran Buddha yaitu kehidupan religius yang
luhur, kepada pelepasan diri, bebas dari nafsu-nafsu, keberhentian, kedamaian,
pandangan terang, penerangan, atau nibbāna. Lalu non-otoritarian dimana dalam
hal ini Buddha tidak menekankan bahwa Buddha adalah satu-satunya sosok guru
yang paling berkuasa dan berhak mengambil keputusan atau mengatur sesuatu,
Buddha juga sangat menghindari pengkultusan akan dirinya dimana ketika saatsaat terakhirnya ia tidak sama sekali menunjuk pengganti bagi dirinya sebagai guru
atau pimpinan, melainkan ia berkata bahwa Dhamma dan Vinaya adalah guru bagi
para murid-murinya setelah Buddha Parinibbāna. Terakhir adalah non-absolutisme,
Buddha dalam ajarannya sangat menghindari tentang sesuatu yang mutlak atau
yang paling hakiki, dari beberapa ajarannya semuanya bersifat demikian, beliau
tidak pernah menyinggung sesuatu yang mutlak adalah ‘A’ atau sesuatu yang
paling benar dan hakiki adalah ‘B’. Dengan demikian tidak ada yang mutlak dalam
ajaran Buddha pada masa Buddhisme awal, seperti yang tertuang dalam ajrannya
yaitu, “Sabbe saṅkhārā aniccā’ti; Sabbe saṅkhārā dukkhā’ti; Sabbe dhammā
anattā’ti.” (Segala bentukan tidak kekal adanya; Segala bentukan sukar bertahan
adanya; Segala bentukan maupun bukan bentukan adalah bukan diri adanya).
Referensi :
-

-

-

-

-

A. Mangunhardjana. 1997. Isme-isme dalam Etika dari A sampai Z.
Jogjakarta: Kanisius. Hlm. 174-177.
Anggawati, Lanny & Wena Cintiawati (Penerjemah). 2008. Kitab Suci
MAJJHIMA-NIKĀYA 5 (Judul asli: The Middle Legth Discourses of The Buddha
by Bhikkhu Ñanamoli & Bhikkhu Bodhi). Yogyakarta: Vidyāsena – Vihāra
Vidyāloka.
Anggawati, Lanny & Wena Cintiawati (Penerjemah). 2007. Panduan Tipiṭaka
(Judul asli: Guide to Tipiṭaka by U Ko Lay). Klaten: Wisma Sambodhi.
Kalupahana, David J. 1976. Buddhist Philosophy A Historical Analysis.
Hawaii: The University Press of Hawaii.
Taniputera, Ivan Dipl. Ing. 2003. Ehipassiko Theravada – Mahayana,
Studi Banding Doktrin Buddhisme Aliran Selatan dan Utara.
Yogyakarta: Penerbit Suwung.
Tim Penyusun. 2013. Kitab Suci Dhammapada. Penerbit Bahussuta Society,
Singkawang Selatan. (Penerjamah Indonesia: YM. Phra Rājavarācāriya
‘Bhante Win Vijāno’, Penerjemah Inggris: Ven. Acharya Buddharakkhita, dan
Penerjemah Mandarin: Ven. Bhikkhu Dhammavaro ‘Fa Zhen’)
Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. 2008. Kamus
Besar Bahasa indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan.
Yayasan Saṅgha Theravāda Indonesia. 2005. Paritta Suci. Jakarta: Yayasan
Saṅgha Theravāda Indonesia.

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

KEPEKAAN ESCHERICHIA COLI UROPATOGENIK TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG (PERIODE JANUARI-DESEMBER 2008)

2 106 1

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

PENGARUH BIG FIVE PERSONALITY TERHADAP SIKAP TENTANG KORUPSI PADA MAHASISWA

11 131 124