NGAROT DAN RAME ENTITAS KETUBUHAN BUDAYA
METAHUMANIORA
Volume 3
Nomor 1 April 2013
Halaman 29‒41
NGAROT DAN RAMÉ: ENTITAS KETUBUHAN
BUDAYA PETANI LELEA INDRAMAYU
Aton Rustandi Mulyana1
Timbul Haryono2
G.R. Lono Lastoro Simatupang3
ABSTRAK
Tulisan ini membahas mengenai dua gejala emik, yaitu ngarot dan ramé.
Di antara keduanya, ada tiga hal yang dipersoalkan, yaitu (1) mengapa ngarot
harus ditampilkan dengan ramé?, (2) apakah gejala tersebut hanya sebatas
ekspresi hiburan saja?, dan (3) ataukah sebuah cara mereka mengungkapkan
pengetahuan budaya mereka yang tersembunyi? Adapun piranti jawabannya
digunakan pendekatan fenomenologis sebagai sebuah studi memahami
pengalaman manusia dan memahami fenomena. Dalam pendekatan ini, posisi
tubuh merupakan hal yang utama. Pertautan antara manusia dan dunia diawali
dan diperantarai pertama kali bukan melalui pikirannya, melainkan melalui
tubuhnya, dan makna teks dibentuk di dalam dan bersama konteks. Melalui
ngarot dan ramé, kehidupan dan budaya petani Lelea diekspresikan sebagai
sebuah pengalaman diri dan budaya. Keduanya menjadi bagian dan berada di
antara tahap-tahap dari siklus kegiatan pertanian yang berhubungan dengan
musim, khususnya musim penghujan yang pada saat itu air menjadi sesuatu
yang sangat bermakna dan keberlimpahannya perlu dirayakan dengan suka
cita.
Kata kunci: ngarot, ramé, fenomologi, ketubuhan
ABSTRACT
This paper discusses the two emic symptoms; ‘ngarot’ and ‘ramé’. There are
three things asked: (1) why is ‘ngarot’ displayed with ‘rame’? (2) is it limited to the
expression of any entertainment? or (3) is it a way of expressing their hidden cultural
knowledge? The answering device is the phenomenological approach as a study to
understand the human experience and the phenomenon. In this approach the position
of the main body is the most important. The engagement between the people and the
world was first initiated and mediated not through his mind, but through his body,
and was formed within the meaning of the text and context together. Through his
‘ngarot’ and ‘ramé’, a farmer’s cultural life in Lelea is expressed as an experience of self
and culture. Both are a part and exist in between the stages of the cycle of agricultural
activities associated with the seasons, especially in the rainy season, which means the
water becomes very significant and it should be celebrated with joy.
Keywords: ngarot, ramé, phenomenology, body
1
Staf pengajar di ISI Surakarta, kandidat doktor di Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan UGM.
2
Staf pengajar UGM
3
Staf pengajar UGM
29
Aton Rustandi Mulyana, Timbul Haryono, G.R. Lono Lastoro Simatupang
1.
PENDAHULUAN
Tulisan ini berpijak pada penyaksian dua pengalaman ketubuhan yang
berbeda antara pengalaman sebagai orang luar (outsider) dan pengalaman sebagai
orang dalam (insider). Pengalaman pertama berasal dari pengalaman penulis
bersama sejumlah pengajar dan mahasiswa dari Solo saat menonton pertama kali
sebuah perayaan adat petani Lelea, Indramayu, yaitu ngarot, satu tahun setelah
reformasi 1998 bergulir. Pengalaman kedua adalah pengalaman yang dialami
oleh komunitas ngarot itu sendiri. Dari dua pengalaman tersebut, terdapat satu
benang merah persoalan dalam memahami sisi lain yang penting yang ada di
dalam bingkai besar ngarot, yaitu ramé.
Gejala ramé dominan pada perayaan ngarot di Desa Lelea. Gejalanya
tidak hanya diwujudkan dalam jumlah partisipan yang banyak, tetapi juga
melalui penampilan berbagai macam tontonan secara bersamaan. Di balai adat,
dihadirkan tiga atau empat jenis pertunjukan topeng, ronggeng ketuk, jidor, atau
organ tunggal. Di luar panggung utama, ramé-ngarot diperkuat dengan keramaian
pasar ngarot, yang memuat berbagai macam jenis barang dagangan, panggungpanggung hiburan sejenis dangdut dan pub-pub karaoke dadakan, hingga aneka
permainan korsel. Dengan kata lain, ramé terjadi pada beberapa lapisan dimensi:
gagasan, perilaku, dan produk fisiknya.
Bagi orang luar yang baru pertama kali menontonnya, atau orang yang sering
menonton pertunjukan dengan satu tontonan pertunjukan utama, maupun bagi
orang yang terbiasa menikmati alunan bunyi-bunyi akustik dari sebuah orkestra
musik, tontonan keramaian ngarot dapat terkesan aneh. Kejanggalan terletak pada
cara komunitas setempat yang menyajikan dan menikmati tontonan lebih dari
satu pertunjukan di dalam ruang dan waktu secara serentak. Situasi tontonan
menjadi semakin kompleks. Penonton berjubel. Ruang pertunjukan sarat dengan
aksi dan interaksi. Medan bunyi pun riuh oleh bunyi-bunyi yang hadir dari
setiap instrumen yang mengiringi tiga sajian pertunjukan tersebut. Penggunaan
amplifikasi dari setiap kelompok pertunjukan semakin menguatkan tumpang
tindihnya antarbunyi dan memekakkan organ pendengaran. Jalinan orkestrasi
dari setiap pertunjukan saling bercampur tanpa arah untuk menghasilkan sebuah
kolaborasi bersenyawa. Di dalam keriuhan yang majemuk, orkestrasi dari setiap
pertunjukan tetap mengacu pada pola konvensional seperti halnya kalau mereka
pentas tunggal. Setiap kelompok bisa berhenti dan menggelar kembali sajiannya
sekehendak mereka tanpa perlu menunggu atau meminta ijin dari kelompok
yang lain. Medan bunyi seolah menjadi ruang terbuka yang dapat diisi dengan
leluasa oleh setiap bunyi tanpa perlu khawatir menjadi sebuah gangguan atau
pesaing dari bunyi-bunyi yang lain. Bagi orang yang pertama kali menonton,
atau tidak memiliki kedekatan/keakraban dengan tontonan ngarot, tentu saja
pengalaman tersebut dapat menyulitkan dirinya menerima bunyi-bunyi tersebut
30 | METAHUMANIORA, Vol. 3, No. 1 April 2013: 29‒41
Ngarot dan Ramé: EnƟtas Ketubuhan Budaya Petani Lelea Indramayu
sebagai sebuah bangunan komposisi musik utuh dari setiap pertunjukan.
Penikmatan atas bunyi-bunyi terganggu oleh keriuhan dan kepekakannya yang
menggetarkan gendang telinga.
Pengalaman janggal dan pekak tersebut tentu berbeda dengan pengalaman
yang dialami oleh komunitas ngarot atau penonton yang terbiasa dan memiliki
kedekatan/keakraban dengan tontonan ngarot. Komunitas justru lebih dapat
menikmati keriuhan bunyi yang memekakkan tersebut. Bunyi-bunyi yang
bercampur riuh tidak menjadi gangguan atau halangan mereka menikmatinya.
Di antara tumpang tindihnya bunyi, komunitas penontonnya malah
mengelompokkan diri mereka menjadi subkelompok penonton topeng, ronggeng
ketuk, dan jidor. Umumnya, penonton topeng sebagian besar adalah kaum
perempuan, penonton ronggeng ketuk sebagian besar adalah kaum laki-laki,
dan penonton jidor sebagian besar adalah kalangan anak-anak muda. Namun
demikian, mereka bukanlah tipe penonton fanatik yang hanya mau menerima
satu jenis pertunjukan tertentu dan menolak jenis pertunjukan yang lain. Mereka
pun kadang-kadang menjadi penonton pertunjukan lainnya. Seperti yang pernah
disaksikan penulis, penonton laki-laki dan perempuan yang biasanya lebih
banyak menonton ronggeng ketuk atau topeng, pada satu malam sebelum ngarot
justru bersama-sama anak-anak muda menjadi penonton jidor. Pada waktu
ngarot, setiap penonton bebas memilih jenis kesenian yang ia suka. Pengalaman
menikmati ngarot dialami pula oleh seniman-seniman topeng, ronggeng ketuk,
jidor/organ tunggal. Seniman-seniman ini mampu fokus pada pertunjukannya
dan mentoleransi pengaruh pertunjukan lainnya di dalam ruang pertunjukan
yang relatif berdekatan.
Kemampuan komunitas merayakan ramé di dalam ngarot menyisakan
pertanyaan-pertanyaan reflektif. Mengapa ngarot harus ditampilkan dengan ramé?
Apakah gejala tersebut hanya sebatas ekspresi hiburan saja? Ataukah sebuah cara
mereka mengungkapkan pengetahuan budaya mereka yang tersembunyi?
2.
METODE PENELITIAN
Pendekatan yang akan digunakan untuk dijadikan dasar kajian ramé ini
berakar dari fenomenologi. Secara etimologi, fenomenologi berasal dari kata
phenomena, yang mengacu pada kata phainomenon (bahasa Yunani) yang berarti
penampakan, pemunculan, atau sesuatu yang berpasangan dengan realitas.
Ringkasnya, ini adalah studi atas fenomena. Fenomenologi menggambarkan
makna dari pengalaman hidup orang-orang tentang konsep penomenon. Aliran
pemikiran ini dipelopori oleh Edmund Husserl, Wilhelm Dilthey, John Dewey,
Martin Heidegger, Maurice Merleau Ponty, dan Charles Sanders Peirce. Mereka
memiliki perhatian yang sama: memahami pengalaman manusia dan memahami
METAHUMANIORA, Vol. 3, No. 1 April 2013: 29‒41 | 31
Aton Rustandi Mulyana, Timbul Haryono, G.R. Lono Lastoro Simatupang
fenomena.4
Pemikiran ini bertolak dari anggapan dasar bahwa pertautan antara manusia
dan dunia diawali dan diperantarai pertama kali tidak melalui pikirannya, tapi
melalui tubuhnya. Tubuh adalah media taktergantikan untuk mengalami dan
berinteraksi dengan dunia material, dunia sosial, maupun dunia mental/spiritual.
Melalui tubuh, manusia mengalami fenomena langsung tentang ruang, waktu,
benda, getaran, suara/bunyi, gerakan, cahaya, suhu, aroma, lingkungan sosial,
maupun tegangan dan sensasi dalam tubuhnya sendiri secara aktif. Pada arti khusus,
ini adalah kajian ilmiah mengenai pengalaman yang dialami manusia dan menjadi
tema sentral kajian. Prinsip perspektif ini adalah menggeser obyek kajian dari
kejadian, perwujudan, atau gejala itu sendiri sebagaimana adanya menjadi kejadian,
perwujudan, gejala sebagaimana dialami manusia (Jackson, 1993). Menurut Edward
Bruner (1996), pengalaman ini dibentuk secara kultural. Pengalaman yang dialami
ini tidak hanya berhenti pada tertangkapnya rangsangan oleh organ pengindera
belaka. Lebih dari itu pengalaman ini mengalir menuju kesadaran yang menubuh,
yang mengikutsertakan proses mental mengingat, memikirkan, membayangkan, dan
menafsirkan, yang dipengaruhi oleh faktor individual maupun kultural (Simatupang,
2009: 6). Simatupang menyimpulkan sebagai berikut.
“... penekanan pada pengalaman ketubuhan pendekatan yang memusatkan
pada pergelaran tidak serta merta meniadakan/mengabaikan elemen bentuk
(formal elements) dalam pergelaran. Elemen-elemen formal tetap diperhatikan, tidak
sebagai dirinya sendiri, tetapi sebagai elemen yang memberi peluang dan pembatas
bagi manusia untuk mengalaminya secara ketubuhan. Sebagai misal, gaung yang
ditimbulkan dari suara gamelan tidak dipelajari sebagai fenomena interferensi dalam
fisika bunyi belaka – namun diteliti bagaimana interferensi tertentu diapresiasi secara
positif sementara yang lain diapresiasi secara negatif. Dengan kata lain, unsur-unsur
kebentukan tetap diperhitungkan dalam pendekatan yang berpusat pada pergelaran;
namun tidak dianalisis untuk mencari makna dalam diri elemen formal itu sendiri.
Singkatnya, pendekatan ini memandang makna teks dibentuk di dalam dan bersama
konteks.”
3.
PEMBAHASAN
3.1 Ngarot dan Ramé-nya di antara Lisanan dan Tulisan
Di dalam kehidupan sekarang yang didukung dengan peningkatan kemampuan
4
Secara ringkas perbedaan di antaranya adalah bahwa Husserl lebih berbasis pada logika positivistik
dengan karakter reduksionis/deskriptif/transendental dengan menempatkan pengalaman individu tidak
ada sangkut pautnya dengan kebudayaan, sosial, dan historis. Sebaliknya Heidegger mengembangkan
fenomenologi hermeneutik dengan mengusung gagasan baru bahwa manusia adalah semesta historis
sebagaimana yang dirujuknya dari Dilthey, yang lebih memfokus pada dimensi refleksi dan eksistensial.
Diri seseorang, ruang, waktu membentuk dan mengait dengan lainnya. Sementara itu Merleau-Ponty lebih
berdimensi perseptual. Tetapi sebagai pendekatan sama-sama berusaha untuk memahami pengalaman
manusia dan untuk memahami fenomena.
32 | METAHUMANIORA, Vol. 3, No. 1 April 2013: 29‒41
Ngarot dan Ramé: EnƟtas Ketubuhan Budaya Petani Lelea Indramayu
baca-tulis dan peningkatan produk teknologi informasi, kelisanan atau ketulisan
tidak dapat diartikan terbatas sebagai praktek budaya tanpa tulisan atau tanpa
lisanan. Keduanya ada pertautan, saling memberi atau menerima, hanya tindakan
atau prakteknya lebih dipilih dengan cara dilisankan atau dituliskan. Malah yang
termasuk lisan tidak terbatas pada perihal omongan atau ucapan tetapi merambah
pada bentuk-bentuk folklor atau tradisi oral lainnya, termasuk tontonan, pertunjukan,
atau gambar-gambar foto/film/lukisan. Praktek lisan dapat dipengaruhi oleh
informasi-informasi tertulis yang telah dibaca atau didengar sebelumnya. Demikian
pula, praktek tulis dipengaruhi oleh informasi-informasi lisan yang dihimpun
sebagai bahan tulisannya. Dasar pikiran ini dapat dijelaskan pada praktek lisanan
dan tulisan tentang ngarot.
Umumnya kelisanan dan ketulisan mengenai ngarot sendiri ramé. Keterangan dan
praktek menerangkannya beragam dan kompleks. Ngarot dihubungkan dengan adat
kasinoman—upacara di kalangan anak muda sebagai ajang pertemuan, reintegrasi,
pesta minum, perjodohan, inisiasi menuju kehidupan orang dewasa, transmisi
menjadi petani (Sulaeman, 2003: 30; Samian, 2005: 54—55), atau pesta anak muda
sebelum memulai kerja di sawah (Danadibrata, 2006: 463). Ngarot pun dihubungkan
dengan ritual, sebagai ritus kesuburan atau ruwat (purifikasi) bagi manusia, alam,
dan roh-roh yang dipercayai (Dasuki, 1984: 323 dan 329; Sulaeman, 2003: 32), atau
ungkapan syukur menyambut musim hujan tiba (Hidayat, 2007: 42). Sebagian ada
yang percaya bahwa ngarot memiliki mitos dan tuah tentang keperawanan atau
kesuburan. Cawene (gadis) yang tidak perawan ditandai dengan keprabon (mahkota
bunga-bunga) yang layu (Hidayat, 2007: 47). Kalau pun sudah ada pertunangan,
keprabon harus ditandai dengan cunduk/cula (potongan janur yang disisipkan di atas
keprabon) sebagai isyarat tidak boleh diganggu laki-laki lain (Sulaeman, 2003: 35),
dan pihak lelaki wajib memberikan perlengkapan pesta ngarot pada pasangannya
(Hidayat, 2007: 42). Bunga-bunga keprabon yang jatuh ke tanah menjadi indeks
kesuburan tanah dan kemakmuran. Demikian pula, penghadiran topeng dan
ronggeng ketuk, atau pertemuan antara ronggeng ketuk dan penonton/penari lakilaki, serta topeng dan penonton perempuan, dianggap sebagai perkawinan simbolis
pasangan laki-laki perempuan dan ujungnya adalah kesuburan. Ngarot dianggap
juga sebagai pesta keramaian karena berbagai macam tontonan dihadirkan. Malah
ada juga yang menyebut ngarot sebagai hari rayanya orang Lelea. Di mata pelaku
fotografi, terutama fotografer muda, ngarot banyak dipotret dari sisi eksotika dan
keindahan cawene dalam balutan kebaya, keprabon, dan asesoris lainnya sebagai
informasi bergambar. Malah Sulaeman menambah keterangan lain, meskipun
cenderung dipaksakan, yaitu adanya moralitas Islam dengan ngarot melalui argumen
ngarot yang berasal dari kata ngaorat, menutup bagian tubuh terlarang (aurat atau
orat) menurut hukum agama (2003: 32).
Di kalangan penutur/pengguna bahasa Sunda, ngarot sendiri sudah dikenal
METAHUMANIORA, Vol. 3, No. 1 April 2013: 29‒41 | 33
Aton Rustandi Mulyana, Timbul Haryono, G.R. Lono Lastoro Simatupang
sejak lama. Ngarot memiliki hubungan dengan kata arot (bahasa Sunda), seperti
yang termuat pada naskah Sunda abad 16, Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518
M), berikut: “Upamana urang henaang kangken mawakeun aroteun (Apabila kita haus
segera datang yang membawakan minuman).” Hubungan ini memiliki kemiripan
dengan tuturan yang masih berlaku di wilayah budaya bahasa Sunda, termasuk di
dalam bahasa orang Pandeglang, Banten, seperti pada cerita “Ki Madroki Ngawereg
Bedul” ada frase berikut: “korang wadah cai bisi direuma halabhab hayang ngarot (kita
membawa tempat air apabila di kebun kehausan ingin minum)” (http://pahoman.
org/1399/basa-sunda-memang-unik/, diakses pada tanggal 30 januari 2012 pukul 1.03
WIB). Ada kesamaan antara ngarot sebagai pesta seperti disampaikan Danadibrata
dan keterangan arotan dari Jonathan Rigg. Rigg menyebutnya sebagai festival yang
sudah berlangsung lama dan dikenal juga di dalam pantun-pantun Sunda walaupun
tidak disebut dengan jelas apa pantun atau kisah pantunnya (Rigg, 1862).
Dari beberapa kali penyaksian penulis, ngarot merupakan upacara atau
pesta adat komunal masyarakat petani. Ini adalah acara bersama oleh komunitas
(petani dan keluarganya, petinggi desa/tokoh adat, dan seniman) berkaitan
dengan siklus pertanian maupun adat kepercayaan petaninya. Acaranya
diselenggarakan hampir setiap satu tahun sekali setelah panen padi dan saat mau
memulai bertani kembali. Umumnya, acara diselenggarakan pada waktu musim
hujan di bulan Oktober—Desember dengan perhitungan waktu adat selalu
dipilih dan dilaksanakan pada hari Rabu. Adat ini berangkai dan merupakan
kesatuan dengan adat-adat petani Lelea lainnya, baik sebelum maupun sesudah
ngarot, seperti ngunjung, sedekah bumi, durugan, mapag tamba, dan mapag Sri. Acara
pokok ngarot terdiri dari tiga bagian, yaitu ider-ideran (arak-arakan), seserahan
(serah terima anasir pertanian secara simbolis), dan pesta pertunjukan. Iderideran merupakan acara awal menandai dimulainya acara ngarot. Pada bagian ini,
sinom ancawene (kelompok gadis) dan sinoman bujang (kelompok jejaka) bersama
para elit/petinggi desa diarak keliling kampung menuju tempat upacara di bale
desa. Seserahan merupakan tahap lain upacara berupa serah terima unsur-unsur
pertanian seperti bibit padi, air, cangkul, tanaman pembasmi hama, dan pupuk
dari petinggi desa kepada sinoman. Sementara itu, pesta pertunjukan merupakan
tahap akhir berupa penyajian aneka pertunjukan seperti topeng, ronggeng ketuk,
dan jidor atau organ tunggal.
Berdasarkan pencermatan kelisanan dan ketulisan yang ada, terdapat
beberapa catatan penting untuk disimak. Pada lapis makna tertentu, bisa saja
dibuat pengertian yang sama mengenai makna ngarot sebagai sebuah pesta
enoman/sinoman (anak muda). Pesta ini dilakukan pada waktu sebelum waktu
bercocok tanam padi. Sebelum kompleks seperti sekarang, ngarot hanya
acara kumpul-kumpul menjelang tanam padi, minum/makan bersama, dan
mendengarkan petuah kuwu. Pada lapis ini, pemaknaan demikian masih dapat
34 | METAHUMANIORA, Vol. 3, No. 1 April 2013: 29‒41
Ngarot dan Ramé: EnƟtas Ketubuhan Budaya Petani Lelea Indramayu
diterima karena faktanya pun masih sesuai hingga sekarang. Mereka yang terlibat
di dalam acara ngarot sebagian besar adalah anak-anak muda, para bujang dan
cawene. Tetapi, apabila ngarot diartikan sebagai sebuah pesta minum-minum anak
muda, pengertian tersebut patut diragukan atau justru mengalami pelebaran
makna dari makna semula. Fakta yang terlihat sekarang, peserta utama ngarot,
yaitu bujang dan cawene, tidak pernah terlibat minum-minum bersama di dalam
acara tersebut. Mereka lebih berperan sebagai pelaku dan penyaksi utama dari
rangkaian acara ider-ideran, penyerahan alat-alat pertanian secara simbolis, dan
pertunjukan kesenian.
Pada sisi lain, ada hal menarik dari pemaknaan arot menjadi arotan atau
ngarot. Perubahan tersebut menyembunyikan lebih jauh kata minum pada
tataran makna yang lebih dalam, tetapi tidak menghilangkan substansinya.
Pemaknaan minum akan lebih jelas apabila dimaknai secara konotatif. Konteks
minum atau memasukan air tidak sama artinya seperti orang minum air atau
sekedar memasukkan air ke dalam mulut dan meneguknya. Lebih dari itu,
ada beberapa lapis makna mengenai minum ini. Konteks minum dapat dilihat
sebagai simbolisasi memasukkan air ke dalam tubuh atau benda-benda berjiwa
yang dipercaya dapat memberikan daya hidup, termasuk di dalamnya, kepada
manusia, sawah, atau bumi. Di dalam prakteknya, simbolisasi “minum” ini
muncul pada peristiwa-peristiwa seperti pencucian pusaka desa, pemercikan air
kepada kepala bujang dan cawene, ataupun sewaktu para bujang dan cawene ini
mulai mengolah sawah. Ngarot tidak lain adalah peristiwa simbolis yang sengaja
dibuat elite petani untuk memaknai hubungan antara perayaan, penglibatan
anak muda, dan penanam padi secara tersirat. Hubungan ini menjadi lebih
jelas apabila dicermati kembali hubungan antara pernyataan Dasuki, Samian,
dan Danubrata, terutama mengenai ngarot sebagai perayaan/pesta anak muda
menjelang musim menamam padi. Ciri ini semakin jelas apabila dilihat juga
pada praktek perayaannya. Tiga unsur perayaan/pesta, anak muda, dan padi
(pertanian, musim tanam) sekali lagi terpenuhi di dalam praktek ngarot yang
telah dilakukan orang Lelea secara berkala.
Namun demikian, ini tidak berarti adanya ketidakmungkinan menemukan
hubungan kebahasaan atau makna di antara kata ngarot dan ngaruwat. Apabila
kedua kata tersebut ditempatkan sebagai sebuah ritus, ada kemungkinan
menemukan jejak hubungan kata ngarot (ngaruwat) dengan kata aaratii di dalam
bahasa Sanskerta. Antara kata ngarot (ngaruwat) dan aaratii memiliki padanan
yang hampir sama mengarah kepada sebuah ritus. Samian menggunakan arti
“membersihkan diri dari segala noda dan dosa akibat kesalahan tingkah laku
seseorang atau sekelompok orang pada masa lalu”. Pada kamus Sanskerta,
terdapat arti “jeritan pertolongan”. Penelusuran ini tentu menjadi menarik
apabila kemudian dihubungkan pula dengan asumsi Dasuki mengenai sumber
METAHUMANIORA, Vol. 3, No. 1 April 2013: 29‒41 | 35
Aton Rustandi Mulyana, Timbul Haryono, G.R. Lono Lastoro Simatupang
berbahasa Jawa Kuno. Bahasa tersebut dikenal sebagai bahasa Kawi yang
merupakan bahasa Jawa dengan memasukkan serapan-serapan dari bahasa
Sanskerta. Dasuki mengutip arti ngaruwat sebagai membebaskan diri dari
hukuman dewa atau kutukan dewa.5 Berdasarkan perluasan data-data tersebut,
dengan demikian, tampak benang merah makna dari ngarot, ngaruwat, atau aarati
sebagai sebuah ritus yang mengarah pada permohonan akan keselamatan atau
terciptanya suatu keselamatan. Bagi penutur Sunda dikenal dengan sebutan salamet
atau oleh penutur Jawa dikenal dengan sebutan selamet. Pada konteks ini, analogi
ngarot dengan ngaruwat atau selamet lebih dimaknai oleh penutur Lelea yang berlatar
belakang budaya Jawa.
Apabila dicermati lebih jauh, ngarot merupakan ritus majemuk: berakar dari
campuran kepercayaan lokal Hindu-Budha; bagian dari siklus ritus padi, khususnya
ritus yang mengawali musim tanam padi; ritus yang menjadi pesta sosialnya orang
Lelea, terutama ritus pertemuan antara bujang dan cawene; ritus yang tidak luput dari
dinamika persentuhan budaya kehidupan masyarakat Lelea dengan kebudayaan
luar.
3.2 Hubungan Ngarot dan Ramé
Pertanyaan berikutnya adalah di mana hubungan pembacaan ngarot ini
dengan ramé? Di sini, melalui ingatan Simatupang, hubungan ramé dan ngarot dapat
dijelaskan dari teks ngarot itu sendiri maupun konteksnya di dalam bingkai budaya
Petani Lelea. Ini sekaligus menjelaskan mengapa ramé penting dan bagaimana ramé
dalam ngarot memiliki penjelasan kultural.
Berdasarkan data tertulis maupun fakta yang ditemukan di lapangan,
tampaknya di dalam ngarot dan keterhubungannya dengan praktek kehidupan
dan praktek budaya setempat terdapat beberapa hal yang mengindikasikan
dimensi ramé. Dimensi ini, seperti yang telah digambarkan di muka, terjadi dalam
berbagai macam lapis kegiatan. Satu indikasi penting bahwa ngarot mencakup
unsur ritus, perayaan, atau kegiatan bersama yang dirayakan. Kegiatan ini tentu
tidak tunggal, tetapi melibatkan jenis-jenis kegiatan lain, beragam pihak terkait,
dan berbagai macam materi di dalamnya. Di dalamnya, terdapat berbagai unsur
yang membentuk ramé, dalam aneka bentuk rupa, gerak, dan bunyi. Percampuran
antarunsur material pertunjukan yang berbeda karakter, gaya, teknik, bentuk,
dan sajian secara bersamaan senyatanya dikondisikan dan ditoleransi. Keramaian
terjadi dari sejak acara ini mulai disiapkan hingga dirayakan.
Selama ngarot berlangsung, banyak hal atau materi-materi ramé dialami
komunitas, baik secara visual, aural, kinetik, ataupun yang berhubungan
5
Menurut W.J.S. Poerwodarminto, ruwat dalam bahasa Jawa memiliki dua arti: (1) bebas dari daya jahat
(kutuk, makhluk yang salah jadi) dan (2) bebas dari belenggu hukuman dewa; Periksa Poerwodarrminto
(1939: 543).
36 | METAHUMANIORA, Vol. 3, No. 1 April 2013: 29‒41
Ngarot dan Ramé: EnƟtas Ketubuhan Budaya Petani Lelea Indramayu
dengan aroma. Pengalamannya tidak sebatas penangkapan rangsangan oleh
organ pengindra, melainkan turut mengalir menuju kesadaran yang menubuh,
yang melibatkan proses mental mengingat, memikirkan, dan membayangkan
(Simatupang, 2009). Dengan kata lain, pengalaman terbentuk karena hasil hubungan
timbal balik antara yang partikular dan umum (Adorno, 1984: 81). Pengalaman
bukan digambarkan terus menerus sebagai pernyataan dari dalam yang misterius
atau gerak hati tanpa pikiran, tetapi sesuatu yang ditubuhkan, dihidupkan, dan
dijalin dengan epistemologi-epistemologi yang berbeda secara budaya (Finnegan,
2001: 183). Bruner menyebutnya sebagai pengalaman yang dikonstruksi secara
budayawi (1986: 6).
Berbagai gejala ramé, yang berupa materi-materi visual, aural, dan kinetic,
dialami melalui sistem-sistem syaraf yang ada di dalam tubuh dan diproses
melalui kesadaran yang dikendalikan oleh otaknya yang berhubungan dengan
latar individu dan budayanya. Pada tataran yang lebih aktif, pengalaman itu makin
dikokohkan melalui interaksi yang dijalin terus oleh antaranggota komunitas.
Ada relevansi antara ngarot dan pelukisan van Akkeren (1970: 5), yaitu
penanaman padi sangat mendorong petani melakukan segala kegiatan yang terarah
pada pengendalian kekuatan-kekuatan alam yang ganas. Petani dirangsang untuk
mencapai tingkat kerja sama dan bantuan timbal balik yang tinggi. Hal ini dapat
terjadi dan terbina melalui pembudayaan kegiatan-kegiatan yang memberi ruang
kerja sama dan bantuan timbal balik yang tidak hanya terjadi di dalam praktik tani,
tetapi juga pada praktik-praktik pelembagaan lain, termasuk adat-adat selametan
komunal petani Lelea seperti ngunjung, sedekah bumi, ngarot, durugan, mapag tamba,
dan mapag Sri, dan pelembagaan adat yang lain yang mengharmoniskan kembali
hubungan antara petani, alam, dan spirit yang mereka percaya sebagai satu
kesatuan numinus.
Ngunjung dikenal sebagai tradisi berkunjung, tepatnya berkunjung ke tempattempat leluhur yang berhubungan dengan sejarah desa tersebut. Di Lelea, upacara
ini dilakukan setiap tahun menjelang musim hujan di makam-makam buyut (leluhur,
pendiri desa mitis, cikal bakal, dhanyang) seperti Biyama yang dianggap cikal bakal
penghuni Lelea, Teluk, Bunian, Sadi, Kacung, Gelito, dan Kasim. Tujuannya adalah
mengharap berkah, mohon keselamatan, dan kesejahteraan. Sedekah bumi berupa
adat yang mengekspresikan pemujaan untuk menyambut datangnya musim
hujan sekaligus membersihkan diri dari pengaruh-pengaruh negatif. Upacara
tersebut dapat mengingatkan kembali pada sejenis ritual-ritual kuno di dalam
mitologi orang Mesir dan kaum Gnostik Kristen. Hal itu sejenis dengan ritual kuno
yang berhubungan dengan mitos penciptaan, khususnya ritual yang melibatkan
air sebagai dasar penciptaan dan pulihnya kembali keteraturan kosmos yang
sebelumnya mengalami ketakteraturan. Pada upacara tersebut, petani berkumpul
bersama di balai desa untuk melakukan ritual sambil menanggap wayang. Lakon
METAHUMANIORA, Vol. 3, No. 1 April 2013: 29‒41 | 37
Aton Rustandi Mulyana, Timbul Haryono, G.R. Lono Lastoro Simatupang
wayangnya pun khusus, yaitu Bhumi Loka.6 Dikisahkan, terbunuhnya Bhumi Loka
oleh Arjuna mengakibatkan tanah Amarta yang sebelumnya mengalami kekeringan,
gersang, dan pecah-pecah berganti dengan datangnya hujan dan tanah pun subur
kembali. Analogi lakon ini relevan dengan harapan petani Lelea yang mengandaikan
Lelea ibarat Amarta, dapat lepas dari situasi cemas dan prihatin karena mengalami
masa-masa sulit (seperti kemarau panjang, kekeringan, kelaparan, penyakit, dan
sebagainya), dan beralih pulih sebagai daerah yang subur dan sejahtera. Durugan
adalah kegiatan setelah ngarot, yaitu kegiatan pertama petani turun ke sawah
untuk memulai bertanam padi. Acaranya diawali dengan selamatan yang disebut
mojokan ‘memberi sesaji dan merafal mantra/doa permohonan ijin, keselamatan,
dan keberhasilan terhadap tanaman yang ditanam kepada Sang-Kuasa, Sri/Pohaci’.
Mapag tamba dilakukan pada waktu padi sedang tumbuh. Ini merupakan cara petani
merawat pertumbuhan padi. Dalam keyakinan tersebut, padi perlu dijaga pasokan
airnya supaya dapat tetap tumbuh subur dan berbuah. Caranya adalah dengan
mengirim atau memercikan air “suci” yang diambil dari sumber-sumber air keramat
ke sawah tempat padi itu ditanam. Adapun mapag Sri merupakan adat menyambut
musim panen. Ini ditandai dengan pemotongan induk padi pertama sebagai lambang
Dewi Sri untuk disimpan di tempat khusus, yang kemudian dilanjutkan dengan
pemotongan padi-padi lainnya. Semua kegiatan itu adalah kegiatan komunal yang
selalu melibatkan partisipasi dan interaksi banyak orang dengan aneka perannya,
emosi kepercayaan, dan penghadiran berbagai macam alat-alat upacara, termasuk
sesajian atau kesenian.
Ini semua dilakukan karena masalah kehidupan yang dialami petani Lelea
sendiri begitu kompleks. Harapan dan kecemasan selalu menghantui praktik
pertanian. Antara masa cerah dan masa suram adalah dua hal yang harus selalu
diperjuangkan. Manusia, alam, dan spirit dianggap berpotensi untuk mengubah
berkah menjadi bencana atau sebaliknya, bencana menjadi berkah. Dalam pandangan
setempat, ketiga kekuatan tersebut merupakan satu kesatuan Ilahi yang harus selalu
dijaga dan dirawat. Maka, tidaklah aneh apabila di antara persoalan-persoalan rumit,
tekanan-tekanan menyiksa, dan kelehan-kelelahan yang selalu dialaminya, petani
Lelea melakukan usaha-usaha kontras sebagai bentuk pemulihan atau pembalikan
energinya.
Pada beberapa teks ngarot, ramé terbentuk melalui kemajemukan jalur/subsub jalur musikal, gerak, maupun rupa yang dibangun oleh setiap tindakan atau
interaksi oleh dan antaranggota komunitas. Jalur-jalur atau sub-sub jalur tersebut
tidak ubahnya seperti situasi lalu lintas jalan raya. Ada saatnya antarjalur atau
6
Versi lokal menyebut Bhumi Loka sebagai anak daripada Natakawaca (Niwatakaca), yang membalas
dendam atas kematian ayahnya. Bhumi Loka menyerang Amarta, menjadikan tanahnya kering dan pecahpecah, menyebarkan penyakit, dan kelaparan. Periksa Samian, Sejarah Desa Lelea, manuskrip 12 Januari
2005. Versi lain menyebut Bhumi Loka adalah nama dari raja Manimantaka, kakak dari Mustakaweni.
Suyanto, wawancara 7 Februari 2012.
38 | METAHUMANIORA, Vol. 3, No. 1 April 2013: 29‒41
Ngarot dan Ramé: EnƟtas Ketubuhan Budaya Petani Lelea Indramayu
subjalur tersebut saling bertemu atau berpisah. Seperti pada jalur musikal, kelompok
jalur bunyi tertentu bisa jadi masih jalan sementara kelompok jalur bunyi yang lain
berhenti atau istirahat. Pada waktu tersebut, ruang bunyi dapat menjadi kosong
atau berisi, berbunyi sedikit atau berbunyi banyak, sepi atau riuh. Ada juga saatnya
hubungan antarbunyi seperti menyatu, sejajar, atau malah kontras. Namun demikian,
kontras musikal tersebut tidak menjadikan hubungan antarbunyi ataupun hubungan
antaransambel terganggu dan berdampak pada dihentikannya pertunjukan tersebut.
Sebaliknya, situasi demikian justru dibiarkan dan ditoleransi.
Orientasi atas ramé sangat signifikan melalui tindakan-tindakan demikian, seperti
yang ditubuhkan di dalam ngarot. Bagi komunitas setempat, orientasi tersebut sudah
menjadi tuntutan. Ini dibutuhkan sebagai sebuah cara mereka merayakan ngarot
secara tepat. Ini tidak sekedar akibat dari sebuah tindakan mereka saat merayakan
acara tersebut. Akan tetapi, hal itu dikondisikan. Ramé dirancang dan dinyatakan.
Ramé dirancang sesuai dengan imajinasi atau gambaran ideal mengenai maksud dan
harapan mereka dan diwujudkan untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi, di luar
dunia kegiatan rutin mereka sehari-hari. Tanpa ramé, ngarot tidak ubahnya seperti
dunia rutin yang mereka alami tiap hari dan sarat dengan kelelahan, kebosanan,
penekanan, atau kecemasan. Demikian pula tanpa ramé, maksud dan harapan
mereka menyelenggarakan ngarot, sebagai bentuk pembebasan, aktualisasi diri, dan
pencitraan, dapat menjadi kehilangan maknanya.
Pada tataran operasionalnya, ada satu keunikan ramé yang berkenaan dengan
orientasi. Ramé mengakomodasi orientasi-orientasi yang dimiliki oleh setiap pelaku.
Orientasi setiap pelaku di dalam keramaian bisa jadi majemuk dan berlainan.
Memang, ada orientasi-orientasi yang sama, tetapi ada juga ada orientasi-orientasi
yang berbeda. Orientasi-orientasi tersebut bermuara dalam satu muara yang disebut
dunia ramé. Setiap orientasi dapat menjadi ruang dan memfokus di antara posisinya
dengan orientasi yang lain. Sepintas, hal itu seperti chaos, tetapi dilakukan dengan
penuh keawasan tanpa perlu menciptakan atau mengakibatkan konflik atau chaos
yang benar-benar chaos. Kalaupun ada gangguan, komunitas akan memulihkannya
segera kembali pada ramé yang teratur.
4.
SIMPULAN
Sebagai penutup dari tulisan ini, dapat disimpulkan bahwa ngarot dan ramé
merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Ngarot menuntut ramé, sebaliknya
ramé memperjelas ngarot. Ramé di dalam ngarot tidak sama dengan noise yang
dipahami di Barat, sebatas ketidakteraturan, kegaduhan, bahkan gangguan (Widen,
2006). Ramé merupakan dimensi etnik yang mengarah kepada pemahaman kompleks
bunyi/rupa/gerak/aroma yang memuat unsur orientasi dan penikmatan terarah dan
dipahami orang Lelea. Ramé pun mengarah kepada pemahaman yang berhubungan
METAHUMANIORA, Vol. 3, No. 1 April 2013: 29‒41 | 39
Aton Rustandi Mulyana, Timbul Haryono, G.R. Lono Lastoro Simatupang
dengan proses sosial-budaya setempat, berada di dalam keriuhan, kontestasi, dan
kontras-kontras yang hadir. Ini semua terwakili sebagai kompleksitas.
Melalui ngarot dan ramé, kehidupan dan budaya petani Lelea diekspresikan
sebagai sebuah pengalaman diri dan budaya. Keduanya menjadi bagian dan berada
di antara tahap-tahap dari siklus kegiatan pertanian yang berhubungan dengan
musim, khususnya musim penghujan yang membuat air menjadi sangat bermakna
dan perlu keberlimpahannya dirayakan dengan sukacita. Oleh sebab itu, keduanya
pun tidak dapat dipisahkan dari sukacita petani Lelea setelah panen berhasil
dan kesadaran untuk memulai kembali musim tanam. Ngarot dan ramé menjadi
jawaban petani untuk memulihkan sementara diri mereka sebelum mereka kembali
disibukkan dengan situasi yang penuh tantangan, berhadapan kembali di antara
harapan dan kecemasan.
DAFTAR PUSTAKA
Akkeren, Philippus van. 1970. Sri and Christ: A Study of the Indigenous Church in East
Java. London: Luttherworth Press.
Bruner, Edward M. 1986. “Experience and Its Expressions”. In Turner, Victor W. &
Bruner, Edward M. (Eds.), The Anthropology of Experience, pp. 1—30. Urbana,
Chicago: University of Illinois Press.
Danadibrata, 2006. Kamus Bahasa Sunda. Bandung: Kiblat Utama.
Dasuki, H.A. 1984. Sejarah Indramayu. INdramayu: Pemerintah Daerah Tk II
Kabupaten Indramayu.
Finnegan, Ruth. 2001. “Music, Experience, and the Anthrophology of Emotion” dalam
Martin Clayton et.all (eds.), The Cultural Study of Music. A Critical Introduction.
New York, Londong: Routledge.
Jackson, Michael. 1996. “Introduction: Phenomenology, Radical Empiricism,
and Anthropological Critique”. Dalam Things as They Are. New Directions
in Phenomenological Anthropology. Bloomington and Indianapolis: Indiana
University Press.
Hidayat, Lina Marlina. Makna Simbolik Pertunjukan Topeng dan Ronggeng Ketuk Pada
PEsta Ngarot Di Desa Lelea Kabupaten Indramayu. Tesis. Institut Seni Indonesia
(ISI). Surakarta.
40 | METAHUMANIORA, Vol. 3, No. 1 April 2013: 29‒41
Ngarot dan Ramé: EnƟtas Ketubuhan Budaya Petani Lelea Indramayu
http://pahoman.org/1399/ basa-sunda-memang-unik/. Diakses pada tanggal 30 januari
2012, pukul 1.03 WIB.
Poerwodarminto, W. J. S. 1939. Baoesastro Djowo. Groningen Batavia: J.B. Wolters.
Rigg, Jonathan. 1862. A Dictionary Sunda Languageand Java. Batavia: Lange & Co.
Samian. 2005. Buku Sejarah Desa Lelea. Manuskrip, 12 Januari 2005.
Simatupang, G.R. Lono Lastoro. “Pendekatan yang Berpusat pada Pergelaran,
Fenomenologi, dan Etnografi”, makalah disampaikan pada seminar metodologi
seni pertunjukan di Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung.
Sulaeman, Asep. 2003. Pertunjukan Topeng Pada Upacara Ngarot di Desa Lelea, Kabupaten
Indramayu. Tesis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Widen, Stephen E. 2006. Noise and Music: A Matter of Risk Perception?. Disertasi.
Psychology pada Göteborg University. Swedia.
METAHUMANIORA, Vol. 3, No. 1 April 2013: 29‒41 | 41
Volume 3
Nomor 1 April 2013
Halaman 29‒41
NGAROT DAN RAMÉ: ENTITAS KETUBUHAN
BUDAYA PETANI LELEA INDRAMAYU
Aton Rustandi Mulyana1
Timbul Haryono2
G.R. Lono Lastoro Simatupang3
ABSTRAK
Tulisan ini membahas mengenai dua gejala emik, yaitu ngarot dan ramé.
Di antara keduanya, ada tiga hal yang dipersoalkan, yaitu (1) mengapa ngarot
harus ditampilkan dengan ramé?, (2) apakah gejala tersebut hanya sebatas
ekspresi hiburan saja?, dan (3) ataukah sebuah cara mereka mengungkapkan
pengetahuan budaya mereka yang tersembunyi? Adapun piranti jawabannya
digunakan pendekatan fenomenologis sebagai sebuah studi memahami
pengalaman manusia dan memahami fenomena. Dalam pendekatan ini, posisi
tubuh merupakan hal yang utama. Pertautan antara manusia dan dunia diawali
dan diperantarai pertama kali bukan melalui pikirannya, melainkan melalui
tubuhnya, dan makna teks dibentuk di dalam dan bersama konteks. Melalui
ngarot dan ramé, kehidupan dan budaya petani Lelea diekspresikan sebagai
sebuah pengalaman diri dan budaya. Keduanya menjadi bagian dan berada di
antara tahap-tahap dari siklus kegiatan pertanian yang berhubungan dengan
musim, khususnya musim penghujan yang pada saat itu air menjadi sesuatu
yang sangat bermakna dan keberlimpahannya perlu dirayakan dengan suka
cita.
Kata kunci: ngarot, ramé, fenomologi, ketubuhan
ABSTRACT
This paper discusses the two emic symptoms; ‘ngarot’ and ‘ramé’. There are
three things asked: (1) why is ‘ngarot’ displayed with ‘rame’? (2) is it limited to the
expression of any entertainment? or (3) is it a way of expressing their hidden cultural
knowledge? The answering device is the phenomenological approach as a study to
understand the human experience and the phenomenon. In this approach the position
of the main body is the most important. The engagement between the people and the
world was first initiated and mediated not through his mind, but through his body,
and was formed within the meaning of the text and context together. Through his
‘ngarot’ and ‘ramé’, a farmer’s cultural life in Lelea is expressed as an experience of self
and culture. Both are a part and exist in between the stages of the cycle of agricultural
activities associated with the seasons, especially in the rainy season, which means the
water becomes very significant and it should be celebrated with joy.
Keywords: ngarot, ramé, phenomenology, body
1
Staf pengajar di ISI Surakarta, kandidat doktor di Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan UGM.
2
Staf pengajar UGM
3
Staf pengajar UGM
29
Aton Rustandi Mulyana, Timbul Haryono, G.R. Lono Lastoro Simatupang
1.
PENDAHULUAN
Tulisan ini berpijak pada penyaksian dua pengalaman ketubuhan yang
berbeda antara pengalaman sebagai orang luar (outsider) dan pengalaman sebagai
orang dalam (insider). Pengalaman pertama berasal dari pengalaman penulis
bersama sejumlah pengajar dan mahasiswa dari Solo saat menonton pertama kali
sebuah perayaan adat petani Lelea, Indramayu, yaitu ngarot, satu tahun setelah
reformasi 1998 bergulir. Pengalaman kedua adalah pengalaman yang dialami
oleh komunitas ngarot itu sendiri. Dari dua pengalaman tersebut, terdapat satu
benang merah persoalan dalam memahami sisi lain yang penting yang ada di
dalam bingkai besar ngarot, yaitu ramé.
Gejala ramé dominan pada perayaan ngarot di Desa Lelea. Gejalanya
tidak hanya diwujudkan dalam jumlah partisipan yang banyak, tetapi juga
melalui penampilan berbagai macam tontonan secara bersamaan. Di balai adat,
dihadirkan tiga atau empat jenis pertunjukan topeng, ronggeng ketuk, jidor, atau
organ tunggal. Di luar panggung utama, ramé-ngarot diperkuat dengan keramaian
pasar ngarot, yang memuat berbagai macam jenis barang dagangan, panggungpanggung hiburan sejenis dangdut dan pub-pub karaoke dadakan, hingga aneka
permainan korsel. Dengan kata lain, ramé terjadi pada beberapa lapisan dimensi:
gagasan, perilaku, dan produk fisiknya.
Bagi orang luar yang baru pertama kali menontonnya, atau orang yang sering
menonton pertunjukan dengan satu tontonan pertunjukan utama, maupun bagi
orang yang terbiasa menikmati alunan bunyi-bunyi akustik dari sebuah orkestra
musik, tontonan keramaian ngarot dapat terkesan aneh. Kejanggalan terletak pada
cara komunitas setempat yang menyajikan dan menikmati tontonan lebih dari
satu pertunjukan di dalam ruang dan waktu secara serentak. Situasi tontonan
menjadi semakin kompleks. Penonton berjubel. Ruang pertunjukan sarat dengan
aksi dan interaksi. Medan bunyi pun riuh oleh bunyi-bunyi yang hadir dari
setiap instrumen yang mengiringi tiga sajian pertunjukan tersebut. Penggunaan
amplifikasi dari setiap kelompok pertunjukan semakin menguatkan tumpang
tindihnya antarbunyi dan memekakkan organ pendengaran. Jalinan orkestrasi
dari setiap pertunjukan saling bercampur tanpa arah untuk menghasilkan sebuah
kolaborasi bersenyawa. Di dalam keriuhan yang majemuk, orkestrasi dari setiap
pertunjukan tetap mengacu pada pola konvensional seperti halnya kalau mereka
pentas tunggal. Setiap kelompok bisa berhenti dan menggelar kembali sajiannya
sekehendak mereka tanpa perlu menunggu atau meminta ijin dari kelompok
yang lain. Medan bunyi seolah menjadi ruang terbuka yang dapat diisi dengan
leluasa oleh setiap bunyi tanpa perlu khawatir menjadi sebuah gangguan atau
pesaing dari bunyi-bunyi yang lain. Bagi orang yang pertama kali menonton,
atau tidak memiliki kedekatan/keakraban dengan tontonan ngarot, tentu saja
pengalaman tersebut dapat menyulitkan dirinya menerima bunyi-bunyi tersebut
30 | METAHUMANIORA, Vol. 3, No. 1 April 2013: 29‒41
Ngarot dan Ramé: EnƟtas Ketubuhan Budaya Petani Lelea Indramayu
sebagai sebuah bangunan komposisi musik utuh dari setiap pertunjukan.
Penikmatan atas bunyi-bunyi terganggu oleh keriuhan dan kepekakannya yang
menggetarkan gendang telinga.
Pengalaman janggal dan pekak tersebut tentu berbeda dengan pengalaman
yang dialami oleh komunitas ngarot atau penonton yang terbiasa dan memiliki
kedekatan/keakraban dengan tontonan ngarot. Komunitas justru lebih dapat
menikmati keriuhan bunyi yang memekakkan tersebut. Bunyi-bunyi yang
bercampur riuh tidak menjadi gangguan atau halangan mereka menikmatinya.
Di antara tumpang tindihnya bunyi, komunitas penontonnya malah
mengelompokkan diri mereka menjadi subkelompok penonton topeng, ronggeng
ketuk, dan jidor. Umumnya, penonton topeng sebagian besar adalah kaum
perempuan, penonton ronggeng ketuk sebagian besar adalah kaum laki-laki,
dan penonton jidor sebagian besar adalah kalangan anak-anak muda. Namun
demikian, mereka bukanlah tipe penonton fanatik yang hanya mau menerima
satu jenis pertunjukan tertentu dan menolak jenis pertunjukan yang lain. Mereka
pun kadang-kadang menjadi penonton pertunjukan lainnya. Seperti yang pernah
disaksikan penulis, penonton laki-laki dan perempuan yang biasanya lebih
banyak menonton ronggeng ketuk atau topeng, pada satu malam sebelum ngarot
justru bersama-sama anak-anak muda menjadi penonton jidor. Pada waktu
ngarot, setiap penonton bebas memilih jenis kesenian yang ia suka. Pengalaman
menikmati ngarot dialami pula oleh seniman-seniman topeng, ronggeng ketuk,
jidor/organ tunggal. Seniman-seniman ini mampu fokus pada pertunjukannya
dan mentoleransi pengaruh pertunjukan lainnya di dalam ruang pertunjukan
yang relatif berdekatan.
Kemampuan komunitas merayakan ramé di dalam ngarot menyisakan
pertanyaan-pertanyaan reflektif. Mengapa ngarot harus ditampilkan dengan ramé?
Apakah gejala tersebut hanya sebatas ekspresi hiburan saja? Ataukah sebuah cara
mereka mengungkapkan pengetahuan budaya mereka yang tersembunyi?
2.
METODE PENELITIAN
Pendekatan yang akan digunakan untuk dijadikan dasar kajian ramé ini
berakar dari fenomenologi. Secara etimologi, fenomenologi berasal dari kata
phenomena, yang mengacu pada kata phainomenon (bahasa Yunani) yang berarti
penampakan, pemunculan, atau sesuatu yang berpasangan dengan realitas.
Ringkasnya, ini adalah studi atas fenomena. Fenomenologi menggambarkan
makna dari pengalaman hidup orang-orang tentang konsep penomenon. Aliran
pemikiran ini dipelopori oleh Edmund Husserl, Wilhelm Dilthey, John Dewey,
Martin Heidegger, Maurice Merleau Ponty, dan Charles Sanders Peirce. Mereka
memiliki perhatian yang sama: memahami pengalaman manusia dan memahami
METAHUMANIORA, Vol. 3, No. 1 April 2013: 29‒41 | 31
Aton Rustandi Mulyana, Timbul Haryono, G.R. Lono Lastoro Simatupang
fenomena.4
Pemikiran ini bertolak dari anggapan dasar bahwa pertautan antara manusia
dan dunia diawali dan diperantarai pertama kali tidak melalui pikirannya, tapi
melalui tubuhnya. Tubuh adalah media taktergantikan untuk mengalami dan
berinteraksi dengan dunia material, dunia sosial, maupun dunia mental/spiritual.
Melalui tubuh, manusia mengalami fenomena langsung tentang ruang, waktu,
benda, getaran, suara/bunyi, gerakan, cahaya, suhu, aroma, lingkungan sosial,
maupun tegangan dan sensasi dalam tubuhnya sendiri secara aktif. Pada arti khusus,
ini adalah kajian ilmiah mengenai pengalaman yang dialami manusia dan menjadi
tema sentral kajian. Prinsip perspektif ini adalah menggeser obyek kajian dari
kejadian, perwujudan, atau gejala itu sendiri sebagaimana adanya menjadi kejadian,
perwujudan, gejala sebagaimana dialami manusia (Jackson, 1993). Menurut Edward
Bruner (1996), pengalaman ini dibentuk secara kultural. Pengalaman yang dialami
ini tidak hanya berhenti pada tertangkapnya rangsangan oleh organ pengindera
belaka. Lebih dari itu pengalaman ini mengalir menuju kesadaran yang menubuh,
yang mengikutsertakan proses mental mengingat, memikirkan, membayangkan, dan
menafsirkan, yang dipengaruhi oleh faktor individual maupun kultural (Simatupang,
2009: 6). Simatupang menyimpulkan sebagai berikut.
“... penekanan pada pengalaman ketubuhan pendekatan yang memusatkan
pada pergelaran tidak serta merta meniadakan/mengabaikan elemen bentuk
(formal elements) dalam pergelaran. Elemen-elemen formal tetap diperhatikan, tidak
sebagai dirinya sendiri, tetapi sebagai elemen yang memberi peluang dan pembatas
bagi manusia untuk mengalaminya secara ketubuhan. Sebagai misal, gaung yang
ditimbulkan dari suara gamelan tidak dipelajari sebagai fenomena interferensi dalam
fisika bunyi belaka – namun diteliti bagaimana interferensi tertentu diapresiasi secara
positif sementara yang lain diapresiasi secara negatif. Dengan kata lain, unsur-unsur
kebentukan tetap diperhitungkan dalam pendekatan yang berpusat pada pergelaran;
namun tidak dianalisis untuk mencari makna dalam diri elemen formal itu sendiri.
Singkatnya, pendekatan ini memandang makna teks dibentuk di dalam dan bersama
konteks.”
3.
PEMBAHASAN
3.1 Ngarot dan Ramé-nya di antara Lisanan dan Tulisan
Di dalam kehidupan sekarang yang didukung dengan peningkatan kemampuan
4
Secara ringkas perbedaan di antaranya adalah bahwa Husserl lebih berbasis pada logika positivistik
dengan karakter reduksionis/deskriptif/transendental dengan menempatkan pengalaman individu tidak
ada sangkut pautnya dengan kebudayaan, sosial, dan historis. Sebaliknya Heidegger mengembangkan
fenomenologi hermeneutik dengan mengusung gagasan baru bahwa manusia adalah semesta historis
sebagaimana yang dirujuknya dari Dilthey, yang lebih memfokus pada dimensi refleksi dan eksistensial.
Diri seseorang, ruang, waktu membentuk dan mengait dengan lainnya. Sementara itu Merleau-Ponty lebih
berdimensi perseptual. Tetapi sebagai pendekatan sama-sama berusaha untuk memahami pengalaman
manusia dan untuk memahami fenomena.
32 | METAHUMANIORA, Vol. 3, No. 1 April 2013: 29‒41
Ngarot dan Ramé: EnƟtas Ketubuhan Budaya Petani Lelea Indramayu
baca-tulis dan peningkatan produk teknologi informasi, kelisanan atau ketulisan
tidak dapat diartikan terbatas sebagai praktek budaya tanpa tulisan atau tanpa
lisanan. Keduanya ada pertautan, saling memberi atau menerima, hanya tindakan
atau prakteknya lebih dipilih dengan cara dilisankan atau dituliskan. Malah yang
termasuk lisan tidak terbatas pada perihal omongan atau ucapan tetapi merambah
pada bentuk-bentuk folklor atau tradisi oral lainnya, termasuk tontonan, pertunjukan,
atau gambar-gambar foto/film/lukisan. Praktek lisan dapat dipengaruhi oleh
informasi-informasi tertulis yang telah dibaca atau didengar sebelumnya. Demikian
pula, praktek tulis dipengaruhi oleh informasi-informasi lisan yang dihimpun
sebagai bahan tulisannya. Dasar pikiran ini dapat dijelaskan pada praktek lisanan
dan tulisan tentang ngarot.
Umumnya kelisanan dan ketulisan mengenai ngarot sendiri ramé. Keterangan dan
praktek menerangkannya beragam dan kompleks. Ngarot dihubungkan dengan adat
kasinoman—upacara di kalangan anak muda sebagai ajang pertemuan, reintegrasi,
pesta minum, perjodohan, inisiasi menuju kehidupan orang dewasa, transmisi
menjadi petani (Sulaeman, 2003: 30; Samian, 2005: 54—55), atau pesta anak muda
sebelum memulai kerja di sawah (Danadibrata, 2006: 463). Ngarot pun dihubungkan
dengan ritual, sebagai ritus kesuburan atau ruwat (purifikasi) bagi manusia, alam,
dan roh-roh yang dipercayai (Dasuki, 1984: 323 dan 329; Sulaeman, 2003: 32), atau
ungkapan syukur menyambut musim hujan tiba (Hidayat, 2007: 42). Sebagian ada
yang percaya bahwa ngarot memiliki mitos dan tuah tentang keperawanan atau
kesuburan. Cawene (gadis) yang tidak perawan ditandai dengan keprabon (mahkota
bunga-bunga) yang layu (Hidayat, 2007: 47). Kalau pun sudah ada pertunangan,
keprabon harus ditandai dengan cunduk/cula (potongan janur yang disisipkan di atas
keprabon) sebagai isyarat tidak boleh diganggu laki-laki lain (Sulaeman, 2003: 35),
dan pihak lelaki wajib memberikan perlengkapan pesta ngarot pada pasangannya
(Hidayat, 2007: 42). Bunga-bunga keprabon yang jatuh ke tanah menjadi indeks
kesuburan tanah dan kemakmuran. Demikian pula, penghadiran topeng dan
ronggeng ketuk, atau pertemuan antara ronggeng ketuk dan penonton/penari lakilaki, serta topeng dan penonton perempuan, dianggap sebagai perkawinan simbolis
pasangan laki-laki perempuan dan ujungnya adalah kesuburan. Ngarot dianggap
juga sebagai pesta keramaian karena berbagai macam tontonan dihadirkan. Malah
ada juga yang menyebut ngarot sebagai hari rayanya orang Lelea. Di mata pelaku
fotografi, terutama fotografer muda, ngarot banyak dipotret dari sisi eksotika dan
keindahan cawene dalam balutan kebaya, keprabon, dan asesoris lainnya sebagai
informasi bergambar. Malah Sulaeman menambah keterangan lain, meskipun
cenderung dipaksakan, yaitu adanya moralitas Islam dengan ngarot melalui argumen
ngarot yang berasal dari kata ngaorat, menutup bagian tubuh terlarang (aurat atau
orat) menurut hukum agama (2003: 32).
Di kalangan penutur/pengguna bahasa Sunda, ngarot sendiri sudah dikenal
METAHUMANIORA, Vol. 3, No. 1 April 2013: 29‒41 | 33
Aton Rustandi Mulyana, Timbul Haryono, G.R. Lono Lastoro Simatupang
sejak lama. Ngarot memiliki hubungan dengan kata arot (bahasa Sunda), seperti
yang termuat pada naskah Sunda abad 16, Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518
M), berikut: “Upamana urang henaang kangken mawakeun aroteun (Apabila kita haus
segera datang yang membawakan minuman).” Hubungan ini memiliki kemiripan
dengan tuturan yang masih berlaku di wilayah budaya bahasa Sunda, termasuk di
dalam bahasa orang Pandeglang, Banten, seperti pada cerita “Ki Madroki Ngawereg
Bedul” ada frase berikut: “korang wadah cai bisi direuma halabhab hayang ngarot (kita
membawa tempat air apabila di kebun kehausan ingin minum)” (http://pahoman.
org/1399/basa-sunda-memang-unik/, diakses pada tanggal 30 januari 2012 pukul 1.03
WIB). Ada kesamaan antara ngarot sebagai pesta seperti disampaikan Danadibrata
dan keterangan arotan dari Jonathan Rigg. Rigg menyebutnya sebagai festival yang
sudah berlangsung lama dan dikenal juga di dalam pantun-pantun Sunda walaupun
tidak disebut dengan jelas apa pantun atau kisah pantunnya (Rigg, 1862).
Dari beberapa kali penyaksian penulis, ngarot merupakan upacara atau
pesta adat komunal masyarakat petani. Ini adalah acara bersama oleh komunitas
(petani dan keluarganya, petinggi desa/tokoh adat, dan seniman) berkaitan
dengan siklus pertanian maupun adat kepercayaan petaninya. Acaranya
diselenggarakan hampir setiap satu tahun sekali setelah panen padi dan saat mau
memulai bertani kembali. Umumnya, acara diselenggarakan pada waktu musim
hujan di bulan Oktober—Desember dengan perhitungan waktu adat selalu
dipilih dan dilaksanakan pada hari Rabu. Adat ini berangkai dan merupakan
kesatuan dengan adat-adat petani Lelea lainnya, baik sebelum maupun sesudah
ngarot, seperti ngunjung, sedekah bumi, durugan, mapag tamba, dan mapag Sri. Acara
pokok ngarot terdiri dari tiga bagian, yaitu ider-ideran (arak-arakan), seserahan
(serah terima anasir pertanian secara simbolis), dan pesta pertunjukan. Iderideran merupakan acara awal menandai dimulainya acara ngarot. Pada bagian ini,
sinom ancawene (kelompok gadis) dan sinoman bujang (kelompok jejaka) bersama
para elit/petinggi desa diarak keliling kampung menuju tempat upacara di bale
desa. Seserahan merupakan tahap lain upacara berupa serah terima unsur-unsur
pertanian seperti bibit padi, air, cangkul, tanaman pembasmi hama, dan pupuk
dari petinggi desa kepada sinoman. Sementara itu, pesta pertunjukan merupakan
tahap akhir berupa penyajian aneka pertunjukan seperti topeng, ronggeng ketuk,
dan jidor atau organ tunggal.
Berdasarkan pencermatan kelisanan dan ketulisan yang ada, terdapat
beberapa catatan penting untuk disimak. Pada lapis makna tertentu, bisa saja
dibuat pengertian yang sama mengenai makna ngarot sebagai sebuah pesta
enoman/sinoman (anak muda). Pesta ini dilakukan pada waktu sebelum waktu
bercocok tanam padi. Sebelum kompleks seperti sekarang, ngarot hanya
acara kumpul-kumpul menjelang tanam padi, minum/makan bersama, dan
mendengarkan petuah kuwu. Pada lapis ini, pemaknaan demikian masih dapat
34 | METAHUMANIORA, Vol. 3, No. 1 April 2013: 29‒41
Ngarot dan Ramé: EnƟtas Ketubuhan Budaya Petani Lelea Indramayu
diterima karena faktanya pun masih sesuai hingga sekarang. Mereka yang terlibat
di dalam acara ngarot sebagian besar adalah anak-anak muda, para bujang dan
cawene. Tetapi, apabila ngarot diartikan sebagai sebuah pesta minum-minum anak
muda, pengertian tersebut patut diragukan atau justru mengalami pelebaran
makna dari makna semula. Fakta yang terlihat sekarang, peserta utama ngarot,
yaitu bujang dan cawene, tidak pernah terlibat minum-minum bersama di dalam
acara tersebut. Mereka lebih berperan sebagai pelaku dan penyaksi utama dari
rangkaian acara ider-ideran, penyerahan alat-alat pertanian secara simbolis, dan
pertunjukan kesenian.
Pada sisi lain, ada hal menarik dari pemaknaan arot menjadi arotan atau
ngarot. Perubahan tersebut menyembunyikan lebih jauh kata minum pada
tataran makna yang lebih dalam, tetapi tidak menghilangkan substansinya.
Pemaknaan minum akan lebih jelas apabila dimaknai secara konotatif. Konteks
minum atau memasukan air tidak sama artinya seperti orang minum air atau
sekedar memasukkan air ke dalam mulut dan meneguknya. Lebih dari itu,
ada beberapa lapis makna mengenai minum ini. Konteks minum dapat dilihat
sebagai simbolisasi memasukkan air ke dalam tubuh atau benda-benda berjiwa
yang dipercaya dapat memberikan daya hidup, termasuk di dalamnya, kepada
manusia, sawah, atau bumi. Di dalam prakteknya, simbolisasi “minum” ini
muncul pada peristiwa-peristiwa seperti pencucian pusaka desa, pemercikan air
kepada kepala bujang dan cawene, ataupun sewaktu para bujang dan cawene ini
mulai mengolah sawah. Ngarot tidak lain adalah peristiwa simbolis yang sengaja
dibuat elite petani untuk memaknai hubungan antara perayaan, penglibatan
anak muda, dan penanam padi secara tersirat. Hubungan ini menjadi lebih
jelas apabila dicermati kembali hubungan antara pernyataan Dasuki, Samian,
dan Danubrata, terutama mengenai ngarot sebagai perayaan/pesta anak muda
menjelang musim menamam padi. Ciri ini semakin jelas apabila dilihat juga
pada praktek perayaannya. Tiga unsur perayaan/pesta, anak muda, dan padi
(pertanian, musim tanam) sekali lagi terpenuhi di dalam praktek ngarot yang
telah dilakukan orang Lelea secara berkala.
Namun demikian, ini tidak berarti adanya ketidakmungkinan menemukan
hubungan kebahasaan atau makna di antara kata ngarot dan ngaruwat. Apabila
kedua kata tersebut ditempatkan sebagai sebuah ritus, ada kemungkinan
menemukan jejak hubungan kata ngarot (ngaruwat) dengan kata aaratii di dalam
bahasa Sanskerta. Antara kata ngarot (ngaruwat) dan aaratii memiliki padanan
yang hampir sama mengarah kepada sebuah ritus. Samian menggunakan arti
“membersihkan diri dari segala noda dan dosa akibat kesalahan tingkah laku
seseorang atau sekelompok orang pada masa lalu”. Pada kamus Sanskerta,
terdapat arti “jeritan pertolongan”. Penelusuran ini tentu menjadi menarik
apabila kemudian dihubungkan pula dengan asumsi Dasuki mengenai sumber
METAHUMANIORA, Vol. 3, No. 1 April 2013: 29‒41 | 35
Aton Rustandi Mulyana, Timbul Haryono, G.R. Lono Lastoro Simatupang
berbahasa Jawa Kuno. Bahasa tersebut dikenal sebagai bahasa Kawi yang
merupakan bahasa Jawa dengan memasukkan serapan-serapan dari bahasa
Sanskerta. Dasuki mengutip arti ngaruwat sebagai membebaskan diri dari
hukuman dewa atau kutukan dewa.5 Berdasarkan perluasan data-data tersebut,
dengan demikian, tampak benang merah makna dari ngarot, ngaruwat, atau aarati
sebagai sebuah ritus yang mengarah pada permohonan akan keselamatan atau
terciptanya suatu keselamatan. Bagi penutur Sunda dikenal dengan sebutan salamet
atau oleh penutur Jawa dikenal dengan sebutan selamet. Pada konteks ini, analogi
ngarot dengan ngaruwat atau selamet lebih dimaknai oleh penutur Lelea yang berlatar
belakang budaya Jawa.
Apabila dicermati lebih jauh, ngarot merupakan ritus majemuk: berakar dari
campuran kepercayaan lokal Hindu-Budha; bagian dari siklus ritus padi, khususnya
ritus yang mengawali musim tanam padi; ritus yang menjadi pesta sosialnya orang
Lelea, terutama ritus pertemuan antara bujang dan cawene; ritus yang tidak luput dari
dinamika persentuhan budaya kehidupan masyarakat Lelea dengan kebudayaan
luar.
3.2 Hubungan Ngarot dan Ramé
Pertanyaan berikutnya adalah di mana hubungan pembacaan ngarot ini
dengan ramé? Di sini, melalui ingatan Simatupang, hubungan ramé dan ngarot dapat
dijelaskan dari teks ngarot itu sendiri maupun konteksnya di dalam bingkai budaya
Petani Lelea. Ini sekaligus menjelaskan mengapa ramé penting dan bagaimana ramé
dalam ngarot memiliki penjelasan kultural.
Berdasarkan data tertulis maupun fakta yang ditemukan di lapangan,
tampaknya di dalam ngarot dan keterhubungannya dengan praktek kehidupan
dan praktek budaya setempat terdapat beberapa hal yang mengindikasikan
dimensi ramé. Dimensi ini, seperti yang telah digambarkan di muka, terjadi dalam
berbagai macam lapis kegiatan. Satu indikasi penting bahwa ngarot mencakup
unsur ritus, perayaan, atau kegiatan bersama yang dirayakan. Kegiatan ini tentu
tidak tunggal, tetapi melibatkan jenis-jenis kegiatan lain, beragam pihak terkait,
dan berbagai macam materi di dalamnya. Di dalamnya, terdapat berbagai unsur
yang membentuk ramé, dalam aneka bentuk rupa, gerak, dan bunyi. Percampuran
antarunsur material pertunjukan yang berbeda karakter, gaya, teknik, bentuk,
dan sajian secara bersamaan senyatanya dikondisikan dan ditoleransi. Keramaian
terjadi dari sejak acara ini mulai disiapkan hingga dirayakan.
Selama ngarot berlangsung, banyak hal atau materi-materi ramé dialami
komunitas, baik secara visual, aural, kinetik, ataupun yang berhubungan
5
Menurut W.J.S. Poerwodarminto, ruwat dalam bahasa Jawa memiliki dua arti: (1) bebas dari daya jahat
(kutuk, makhluk yang salah jadi) dan (2) bebas dari belenggu hukuman dewa; Periksa Poerwodarrminto
(1939: 543).
36 | METAHUMANIORA, Vol. 3, No. 1 April 2013: 29‒41
Ngarot dan Ramé: EnƟtas Ketubuhan Budaya Petani Lelea Indramayu
dengan aroma. Pengalamannya tidak sebatas penangkapan rangsangan oleh
organ pengindra, melainkan turut mengalir menuju kesadaran yang menubuh,
yang melibatkan proses mental mengingat, memikirkan, dan membayangkan
(Simatupang, 2009). Dengan kata lain, pengalaman terbentuk karena hasil hubungan
timbal balik antara yang partikular dan umum (Adorno, 1984: 81). Pengalaman
bukan digambarkan terus menerus sebagai pernyataan dari dalam yang misterius
atau gerak hati tanpa pikiran, tetapi sesuatu yang ditubuhkan, dihidupkan, dan
dijalin dengan epistemologi-epistemologi yang berbeda secara budaya (Finnegan,
2001: 183). Bruner menyebutnya sebagai pengalaman yang dikonstruksi secara
budayawi (1986: 6).
Berbagai gejala ramé, yang berupa materi-materi visual, aural, dan kinetic,
dialami melalui sistem-sistem syaraf yang ada di dalam tubuh dan diproses
melalui kesadaran yang dikendalikan oleh otaknya yang berhubungan dengan
latar individu dan budayanya. Pada tataran yang lebih aktif, pengalaman itu makin
dikokohkan melalui interaksi yang dijalin terus oleh antaranggota komunitas.
Ada relevansi antara ngarot dan pelukisan van Akkeren (1970: 5), yaitu
penanaman padi sangat mendorong petani melakukan segala kegiatan yang terarah
pada pengendalian kekuatan-kekuatan alam yang ganas. Petani dirangsang untuk
mencapai tingkat kerja sama dan bantuan timbal balik yang tinggi. Hal ini dapat
terjadi dan terbina melalui pembudayaan kegiatan-kegiatan yang memberi ruang
kerja sama dan bantuan timbal balik yang tidak hanya terjadi di dalam praktik tani,
tetapi juga pada praktik-praktik pelembagaan lain, termasuk adat-adat selametan
komunal petani Lelea seperti ngunjung, sedekah bumi, ngarot, durugan, mapag tamba,
dan mapag Sri, dan pelembagaan adat yang lain yang mengharmoniskan kembali
hubungan antara petani, alam, dan spirit yang mereka percaya sebagai satu
kesatuan numinus.
Ngunjung dikenal sebagai tradisi berkunjung, tepatnya berkunjung ke tempattempat leluhur yang berhubungan dengan sejarah desa tersebut. Di Lelea, upacara
ini dilakukan setiap tahun menjelang musim hujan di makam-makam buyut (leluhur,
pendiri desa mitis, cikal bakal, dhanyang) seperti Biyama yang dianggap cikal bakal
penghuni Lelea, Teluk, Bunian, Sadi, Kacung, Gelito, dan Kasim. Tujuannya adalah
mengharap berkah, mohon keselamatan, dan kesejahteraan. Sedekah bumi berupa
adat yang mengekspresikan pemujaan untuk menyambut datangnya musim
hujan sekaligus membersihkan diri dari pengaruh-pengaruh negatif. Upacara
tersebut dapat mengingatkan kembali pada sejenis ritual-ritual kuno di dalam
mitologi orang Mesir dan kaum Gnostik Kristen. Hal itu sejenis dengan ritual kuno
yang berhubungan dengan mitos penciptaan, khususnya ritual yang melibatkan
air sebagai dasar penciptaan dan pulihnya kembali keteraturan kosmos yang
sebelumnya mengalami ketakteraturan. Pada upacara tersebut, petani berkumpul
bersama di balai desa untuk melakukan ritual sambil menanggap wayang. Lakon
METAHUMANIORA, Vol. 3, No. 1 April 2013: 29‒41 | 37
Aton Rustandi Mulyana, Timbul Haryono, G.R. Lono Lastoro Simatupang
wayangnya pun khusus, yaitu Bhumi Loka.6 Dikisahkan, terbunuhnya Bhumi Loka
oleh Arjuna mengakibatkan tanah Amarta yang sebelumnya mengalami kekeringan,
gersang, dan pecah-pecah berganti dengan datangnya hujan dan tanah pun subur
kembali. Analogi lakon ini relevan dengan harapan petani Lelea yang mengandaikan
Lelea ibarat Amarta, dapat lepas dari situasi cemas dan prihatin karena mengalami
masa-masa sulit (seperti kemarau panjang, kekeringan, kelaparan, penyakit, dan
sebagainya), dan beralih pulih sebagai daerah yang subur dan sejahtera. Durugan
adalah kegiatan setelah ngarot, yaitu kegiatan pertama petani turun ke sawah
untuk memulai bertanam padi. Acaranya diawali dengan selamatan yang disebut
mojokan ‘memberi sesaji dan merafal mantra/doa permohonan ijin, keselamatan,
dan keberhasilan terhadap tanaman yang ditanam kepada Sang-Kuasa, Sri/Pohaci’.
Mapag tamba dilakukan pada waktu padi sedang tumbuh. Ini merupakan cara petani
merawat pertumbuhan padi. Dalam keyakinan tersebut, padi perlu dijaga pasokan
airnya supaya dapat tetap tumbuh subur dan berbuah. Caranya adalah dengan
mengirim atau memercikan air “suci” yang diambil dari sumber-sumber air keramat
ke sawah tempat padi itu ditanam. Adapun mapag Sri merupakan adat menyambut
musim panen. Ini ditandai dengan pemotongan induk padi pertama sebagai lambang
Dewi Sri untuk disimpan di tempat khusus, yang kemudian dilanjutkan dengan
pemotongan padi-padi lainnya. Semua kegiatan itu adalah kegiatan komunal yang
selalu melibatkan partisipasi dan interaksi banyak orang dengan aneka perannya,
emosi kepercayaan, dan penghadiran berbagai macam alat-alat upacara, termasuk
sesajian atau kesenian.
Ini semua dilakukan karena masalah kehidupan yang dialami petani Lelea
sendiri begitu kompleks. Harapan dan kecemasan selalu menghantui praktik
pertanian. Antara masa cerah dan masa suram adalah dua hal yang harus selalu
diperjuangkan. Manusia, alam, dan spirit dianggap berpotensi untuk mengubah
berkah menjadi bencana atau sebaliknya, bencana menjadi berkah. Dalam pandangan
setempat, ketiga kekuatan tersebut merupakan satu kesatuan Ilahi yang harus selalu
dijaga dan dirawat. Maka, tidaklah aneh apabila di antara persoalan-persoalan rumit,
tekanan-tekanan menyiksa, dan kelehan-kelelahan yang selalu dialaminya, petani
Lelea melakukan usaha-usaha kontras sebagai bentuk pemulihan atau pembalikan
energinya.
Pada beberapa teks ngarot, ramé terbentuk melalui kemajemukan jalur/subsub jalur musikal, gerak, maupun rupa yang dibangun oleh setiap tindakan atau
interaksi oleh dan antaranggota komunitas. Jalur-jalur atau sub-sub jalur tersebut
tidak ubahnya seperti situasi lalu lintas jalan raya. Ada saatnya antarjalur atau
6
Versi lokal menyebut Bhumi Loka sebagai anak daripada Natakawaca (Niwatakaca), yang membalas
dendam atas kematian ayahnya. Bhumi Loka menyerang Amarta, menjadikan tanahnya kering dan pecahpecah, menyebarkan penyakit, dan kelaparan. Periksa Samian, Sejarah Desa Lelea, manuskrip 12 Januari
2005. Versi lain menyebut Bhumi Loka adalah nama dari raja Manimantaka, kakak dari Mustakaweni.
Suyanto, wawancara 7 Februari 2012.
38 | METAHUMANIORA, Vol. 3, No. 1 April 2013: 29‒41
Ngarot dan Ramé: EnƟtas Ketubuhan Budaya Petani Lelea Indramayu
subjalur tersebut saling bertemu atau berpisah. Seperti pada jalur musikal, kelompok
jalur bunyi tertentu bisa jadi masih jalan sementara kelompok jalur bunyi yang lain
berhenti atau istirahat. Pada waktu tersebut, ruang bunyi dapat menjadi kosong
atau berisi, berbunyi sedikit atau berbunyi banyak, sepi atau riuh. Ada juga saatnya
hubungan antarbunyi seperti menyatu, sejajar, atau malah kontras. Namun demikian,
kontras musikal tersebut tidak menjadikan hubungan antarbunyi ataupun hubungan
antaransambel terganggu dan berdampak pada dihentikannya pertunjukan tersebut.
Sebaliknya, situasi demikian justru dibiarkan dan ditoleransi.
Orientasi atas ramé sangat signifikan melalui tindakan-tindakan demikian, seperti
yang ditubuhkan di dalam ngarot. Bagi komunitas setempat, orientasi tersebut sudah
menjadi tuntutan. Ini dibutuhkan sebagai sebuah cara mereka merayakan ngarot
secara tepat. Ini tidak sekedar akibat dari sebuah tindakan mereka saat merayakan
acara tersebut. Akan tetapi, hal itu dikondisikan. Ramé dirancang dan dinyatakan.
Ramé dirancang sesuai dengan imajinasi atau gambaran ideal mengenai maksud dan
harapan mereka dan diwujudkan untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi, di luar
dunia kegiatan rutin mereka sehari-hari. Tanpa ramé, ngarot tidak ubahnya seperti
dunia rutin yang mereka alami tiap hari dan sarat dengan kelelahan, kebosanan,
penekanan, atau kecemasan. Demikian pula tanpa ramé, maksud dan harapan
mereka menyelenggarakan ngarot, sebagai bentuk pembebasan, aktualisasi diri, dan
pencitraan, dapat menjadi kehilangan maknanya.
Pada tataran operasionalnya, ada satu keunikan ramé yang berkenaan dengan
orientasi. Ramé mengakomodasi orientasi-orientasi yang dimiliki oleh setiap pelaku.
Orientasi setiap pelaku di dalam keramaian bisa jadi majemuk dan berlainan.
Memang, ada orientasi-orientasi yang sama, tetapi ada juga ada orientasi-orientasi
yang berbeda. Orientasi-orientasi tersebut bermuara dalam satu muara yang disebut
dunia ramé. Setiap orientasi dapat menjadi ruang dan memfokus di antara posisinya
dengan orientasi yang lain. Sepintas, hal itu seperti chaos, tetapi dilakukan dengan
penuh keawasan tanpa perlu menciptakan atau mengakibatkan konflik atau chaos
yang benar-benar chaos. Kalaupun ada gangguan, komunitas akan memulihkannya
segera kembali pada ramé yang teratur.
4.
SIMPULAN
Sebagai penutup dari tulisan ini, dapat disimpulkan bahwa ngarot dan ramé
merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Ngarot menuntut ramé, sebaliknya
ramé memperjelas ngarot. Ramé di dalam ngarot tidak sama dengan noise yang
dipahami di Barat, sebatas ketidakteraturan, kegaduhan, bahkan gangguan (Widen,
2006). Ramé merupakan dimensi etnik yang mengarah kepada pemahaman kompleks
bunyi/rupa/gerak/aroma yang memuat unsur orientasi dan penikmatan terarah dan
dipahami orang Lelea. Ramé pun mengarah kepada pemahaman yang berhubungan
METAHUMANIORA, Vol. 3, No. 1 April 2013: 29‒41 | 39
Aton Rustandi Mulyana, Timbul Haryono, G.R. Lono Lastoro Simatupang
dengan proses sosial-budaya setempat, berada di dalam keriuhan, kontestasi, dan
kontras-kontras yang hadir. Ini semua terwakili sebagai kompleksitas.
Melalui ngarot dan ramé, kehidupan dan budaya petani Lelea diekspresikan
sebagai sebuah pengalaman diri dan budaya. Keduanya menjadi bagian dan berada
di antara tahap-tahap dari siklus kegiatan pertanian yang berhubungan dengan
musim, khususnya musim penghujan yang membuat air menjadi sangat bermakna
dan perlu keberlimpahannya dirayakan dengan sukacita. Oleh sebab itu, keduanya
pun tidak dapat dipisahkan dari sukacita petani Lelea setelah panen berhasil
dan kesadaran untuk memulai kembali musim tanam. Ngarot dan ramé menjadi
jawaban petani untuk memulihkan sementara diri mereka sebelum mereka kembali
disibukkan dengan situasi yang penuh tantangan, berhadapan kembali di antara
harapan dan kecemasan.
DAFTAR PUSTAKA
Akkeren, Philippus van. 1970. Sri and Christ: A Study of the Indigenous Church in East
Java. London: Luttherworth Press.
Bruner, Edward M. 1986. “Experience and Its Expressions”. In Turner, Victor W. &
Bruner, Edward M. (Eds.), The Anthropology of Experience, pp. 1—30. Urbana,
Chicago: University of Illinois Press.
Danadibrata, 2006. Kamus Bahasa Sunda. Bandung: Kiblat Utama.
Dasuki, H.A. 1984. Sejarah Indramayu. INdramayu: Pemerintah Daerah Tk II
Kabupaten Indramayu.
Finnegan, Ruth. 2001. “Music, Experience, and the Anthrophology of Emotion” dalam
Martin Clayton et.all (eds.), The Cultural Study of Music. A Critical Introduction.
New York, Londong: Routledge.
Jackson, Michael. 1996. “Introduction: Phenomenology, Radical Empiricism,
and Anthropological Critique”. Dalam Things as They Are. New Directions
in Phenomenological Anthropology. Bloomington and Indianapolis: Indiana
University Press.
Hidayat, Lina Marlina. Makna Simbolik Pertunjukan Topeng dan Ronggeng Ketuk Pada
PEsta Ngarot Di Desa Lelea Kabupaten Indramayu. Tesis. Institut Seni Indonesia
(ISI). Surakarta.
40 | METAHUMANIORA, Vol. 3, No. 1 April 2013: 29‒41
Ngarot dan Ramé: EnƟtas Ketubuhan Budaya Petani Lelea Indramayu
http://pahoman.org/1399/ basa-sunda-memang-unik/. Diakses pada tanggal 30 januari
2012, pukul 1.03 WIB.
Poerwodarminto, W. J. S. 1939. Baoesastro Djowo. Groningen Batavia: J.B. Wolters.
Rigg, Jonathan. 1862. A Dictionary Sunda Languageand Java. Batavia: Lange & Co.
Samian. 2005. Buku Sejarah Desa Lelea. Manuskrip, 12 Januari 2005.
Simatupang, G.R. Lono Lastoro. “Pendekatan yang Berpusat pada Pergelaran,
Fenomenologi, dan Etnografi”, makalah disampaikan pada seminar metodologi
seni pertunjukan di Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung.
Sulaeman, Asep. 2003. Pertunjukan Topeng Pada Upacara Ngarot di Desa Lelea, Kabupaten
Indramayu. Tesis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Widen, Stephen E. 2006. Noise and Music: A Matter of Risk Perception?. Disertasi.
Psychology pada Göteborg University. Swedia.
METAHUMANIORA, Vol. 3, No. 1 April 2013: 29‒41 | 41