GLOBALISASI BUDAYA DAN SEJARAH DUNIA

Bocut A. M./071211232005

GLOBALISASI BUDAYA DAN SEJARAH DUNIA
Konteks globalisasi pun tidak berkutat di interest, IPTEK dan organisasi internasional
saja. Memasuki abad ke-21 ini, semakin dituntut keterbukaan tanpa batas bagi siapa saja yang
tidak ingin dibilang ‘ketinggalan zaman’. Termasuk di dalamnya negara, taraf perekonomian,
kekayaan budaya, sistem politik hingga gaya hidup masyarakat juga dikategorikan produk
globalisasi. Hingga sampai pada satu pertanyaan, adakah bagian atau aspek dari individu
maupun negara yang bukan hasil globalisasi? Belum ada yang berani untuk menjawab
pertanyaan ini sehingga banyak yang menyimpulkan manusia sekarang tidak bisa lepas dari
globalisasi. Setelah melakukan riset kecil tentang globalisasi ekonomi di pasar modern,
hasilnya pun tidak lepas dari globalisasi. Sama halnya dengan berita maupun even, yang
seharusnya regional, tetap banyak mengupas tentang even global.
Kali ini, globalisasi masuk dalam aspek budaya. Tiap negara punya rakyat dan pasti
ada kebudayaan yang menjadi pemersatu diantaranya. Keterbukaan informasi dan ekspansi
yang menjadi fokus negara menjadi alasan dibalik melebarnya kebudayaan satu negara tibatiba ada di negara lain. Misalnya, tari Reog yang tenar dan diakui di Malaysia padahal asalmuasalnya asli dari Indonesia. Masih banyak lagi kasus yang sama namun tidak mendapat
perhatian khusus dari pemerintah, tidak hanya Indonesia-Malaysia. Beberapa negara regional
juga memiliki konflik serupa yang berakhir ironi bagi mereka sendiri. Dibutuhkan pihak
ketiga untuk menengahi kasus seperti ini, yakni institusi atau rezim.
Isu regional di atas menjadi dasar pemikiran bagi skeptis untuk menjauhi atau ragu
akan kekuatan globalisasi. Negara yang terbentuk atas bangsa dan perikebangsaan.

Perikebangsaan ituyang menimbulkan rasa ingin membentuk negara berdasarkan persamaan
diantaranya. Menuju negara tidak hanya sebesar sosial atau entitas kultural namun lebih
seperti ‘komunitas sejarah dan budaya’, menempati teritori partikular dan sering mengklaim
atas perbedaan tradisi hak-hak umum dan tanggung jawab bagi anggotanya (Held & McGrew
2003, 27). Dari sini, bangsa-negara lebih erat tali persaudaraan dan kebudayaannya karena
runtutan sejarah yang sama. Kaum skeptis melihat hubungan seperti ini tidak pantas untuk
disusupi globalisasi. Kesetiaan antara negara dan bangsa-bangsa di dalamnya tentang budaya,
bahasa, kekayaan alam dan lainnya menjadi penting bagi negara sekaligus bagi kaum skeptis.
Selain itu, keinginan negara sendiri yang mengaitkan antara identitas politik,
penentuan diri, dan kekuatan negara untuk membentuk sumber penting motivasi etik dan
politik (Held & McGrew 2003, 29). Adalah ide lain dari kaum skeptis untuk tetap menjaga

keutuhan bangsa itu sendiri. Ketika semakin terbukanya informasi dan komunikasi antar
negara, yang terjadi justru generalisasi perbedaan, tidak ada lagi keunikan tersendiri dari
suatu negara. Negara tidak mempunyai ciri khasnya, inilah yang tidak disukai oleh kaum
skeptis. Berbeda halnya dengan kaum globalis. Globalis melihat fenomena abad ke-20 ini
sebagai sesuatu yang ‘harus’ dan tidak bisa ditolak oleh negara maupun individu sebagai
masyarakat dunia.
Keinginan negara untuk saling terbuka didukung oleh globalis. Hal ini juga
disampaikan melalui argumen globalis, skala tajam, intensitas, kecepatan dan volume dari

komunikasi kultural global tidak dapat dilampaui oleh siapapun (Held & McGrew 2003, 31).
Gerakan-gerakan ekspansif dari Uni Eropa menandakan keinginan negara sendiri untuk
menambah relasi yang baik antar negara dalam hal budaya maupun kemanusiaan.
Perkembangan gaya hidup masyarakat seperti pakaian, musik, perfilman, radio, acara televisi
dan permainan yang semakin meluas jangkauannya mendorong negara lain untuk
menggunakannya pula. Globalisasi yang menawarkan kemudahan dan kenyamanan membuat
masyarakat dunia terlena hingga akhirnya terlibat masuk ke dalamnya. Pendapat tersebut
yang sangat disanggah oleh kaum skeptis sebelum masuk abad dua puluh justru terjadi di
masa sekarang. Tidak dapat dipungkiri lagi, globalisasi telah berhasil memasuki peradaban
manusia untuk menuju ke zaman yang lebih umum, semakin sedikit keunikan dan
kemudahan dalam rangkan pemenuhan kebutuhan manusia. Aspek yang dicakup oleh
globalisasi pun hingga sedalam-dalamnya informasi negara terlibat, hanya segelintir saja
yang tidak ingin termasuk di dalamnya. Harapan kita agar dapat memaksimalkan produk
globalisasi ini sebaik-baiknya.
REFERENSI:
Held, David dan Anthony McGrew. 2003. “the Fate of National Culture”, dalam

Globalization/Anti-Globalization. Oxford: Blackwell Publishing Ltd., pp. 25-37