Gambaran Kasus Maternal Near Miss di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2011-2013

5
 

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Maternal Near Miss

2.1.1. Definisi
Definisi maternal near miss berbeda-beda di setiap negara dan tidak ada
yang bisa dipakai secara universal (Tambunan, 2008). Karena itu, pada tahun
2011, WHO menyeragamkan definisi dari maternal near miss.
Menurut WHO dalam “WHO near miss approach for maternal health”
(2011), maternal near miss adalah wanita yang hampir mati, tetapi selamat dari
komplikasi selama kehamilan, pada saat bersalin, atau dalam 42 hari setelah
terminasi kehamilan. Secara praktis, wanita yang dipertimbangkan dalam kasus
maternal near miss adalah wanita yang selamat dari kasus yang mengancam
kehidupannya seperti disfungsi organ (WHO, 2012).


2.1.2. Kriteria
Menurut WHO (2012) terdapat tiga kriteria dalam penilaian kasus
maternal near miss, yaitu:
A.

Berdasarkan Komplikasi Berat dari Kehamilan
Komplikasi berat dari kehamilan dapat menggambarkan kondisi yang

mengancam jiwa bagi ibu yang sedang hamil. Secara luas ini menggambarkan
gejala klinis dari pasien, ini termasuk penyakit yang dapat diobati pada wanita
pada saat kehamilan dan melahirkan dan setelah terminasi dari kehamilan.
Menurut WHO (2012), komplikasi berat dari kehamilan yang termasuk dalam
kriteria yaitu:
-

Perdarahan pasca salin berat

-

Preeklamsia berat


-

Eklampsia

-

Sepsis atau infeksi sistemik berat

-

Ruptur uterus

-

Komplikasi berat dari abortus

Universitas Sumatera Utara

6

 

Kriteria ini mudah digunakan oleh klinisi ataupun non-klinisi, terutama
kondisi yang ada merupakan cerminan dari penyebab utama penyebab kematian
pada ibu hamil. Di banyak negara berkembang, data tentang diagnosis berbagai
komplikasi relatif mudah diperoleh (Tambunan, 2008)

B.

Berdasarkan Penanganan
Menurut WHO (2012) yang termasuk penilaian dalam kriteria ini adalah:
-

Dirawatnya pasien di Intensive Care Unit/ICU (tersedia pengawasan
selama 24 jam, terdapat ventilasi mekanik, dan obat vasoaktif yang
memadai)

-

Intervensi radiologi


-

Laparotomi (termasuk histerektomi, tidak termasuk seksio sesarea)

-

Menggunakan produk dari darah

C.

Berdasarkan Kondisi yang Mengancam Jiwa
Menurut WHO (2012) yang termasuk penilaian maternal near miss

apabila pada pasien dijumpai paling sedikit satu atau lebih gejala atau tanda dari
kriteria berikut:
1. Disfungsi kardiovaskular
-

Syok


-

Cardiac arrest (tidak ada denyut nadi/denyut jantung dan kehilangan
kesadaran)

-

Menggunakan obat vasoaktif secara rutin

-

Cardio pulmonary resuscitation

-

Hipoperfusi berat (laktat > 5 mmol/l atau > 45 mg/dl)

-


Asidosis berat (pH < 7.1)

2. Disfungsi pernafasan
-

Sianosis akut

-

Gasping

-

Takipnea berat (Respiratory rate > 40 kali per menit)

-

Bradipnea (Respiratory rate < 6 kali per menit)

Universitas Sumatera Utara


7
 

-

Intubasi dan ventilasi yang tidak terkait oleh anastesi

-

Hipoksemia berat (SaO2 < 90% dalam ≥ 60 menit atau PaO2/FiO2 < 200)

3. Disfungsi renal
-

Oliguria yang tidak responsif terhadap cairan atau diuretik

-

Dialisis untuk gagal ginjal akut


-

Severe acute azotemia (kreatinin ≥ 300 µmol/ml atau ≥ 3.5 mg/dl)

4. Disfungsi hematologi/ koagulasi
-

Kegagalan pembekuan

-

Transfusi darah atau sel darah merah (≥ 5 unit)

-

Severe acute trombocytopenia (< 50.000 trombosit/ml)

5. Disfungsi hepatik
-


Jaundice akibat preeklampsia

-

Severe acute hyperbilirubinemia (bilirubin > 100µmol/l atau 6.0 mg/dl)

6. Disfungsi neurologi
-

Kehilangan kesadaran dalam waktu yang lama (≥ 12 jam)/koma (termasuk
koma metabolik)

-

Stroke

-

Status epileptikus


-

Paralisis total

7. Disfungsi uterus
-

Perdarahan uterus atau infeksi akibat histerektomi

2.2. Perdarahan Pasca Salin
2.2.1. Definisi
Perdarahan pasca salin merupakan penyebab terbesar dari kematian ibu,
sekitar 140.000 kematian ibu di dunia disebabkan oleh perdarahan. Kasus
perdarahan meningkat di negara berkembang. Secara umum perdarahan pasca
salin dapat didefinisikan sebagai hilangnya darah > 500 ml pada persalinan
normal atau > 1000 ml pada seksio sesarea (Goldman et al., 2013). Menurut
WHO (2012), Perdarahan pasca salin berat adalah perdarahan yang terjadi

Universitas Sumatera Utara


8
 

sesudah melahirkan diikuti perdarahan yang abnormal > 1000 ml atau semua
perdarahan dengan hipotensi atau transfusi darah.

2.2.2. Etiologi
Menurut Oxorn dan Forte (1990), perdarahan pasca salin ini disebabkan
oleh beberapa hal, yaitu:
1. Atonia uteri
2. Robekan jalan lahir
3. Retensio plasenta, inversi uterus, dan gangguan pembekuan darah

2.2.3. Gejala Klinis
Menurut WHO (2012) pasien yang dikategorikan sebagai perdarahan
pasca salin berat yaitu jika terdapat tanda atau gejala dibawah ini:
-

Perkiraan darah yang hilang > 1000 ml atau lebih

-

Perdarahan diikuti oleh hipotensi atau transfusi darah

2.2.4. Penatalaksanaan
Manajemen perdarahan bergantung pada penyebab dan keparahan dari
perdarahan itu sendiri, contohnya perdarahan akibat atonia uteri dapat dihentikan
dengan menggunakan uterotonik, ligasi arteri uterina, atau histerektomi serta
penggantian dari cairan, faktor pembekuan, dan darah yang hilang pada saat
perdarahan. Perdarahan pasca salin akibat atonia uteri dapat dicegah dengan
pemberian uterotonik dan melakukan secara rutin manajemen aktif kala III pada
semua wanita yang bersalin (Goldman et al., 2013).
Pada perdarahan yang hebat diperlukan cairan intravena dan transfusi.
Kuretase dianjurkan bila ada bukti jaringan plasenta tertahan atau bila perdarahan
hebat terus terjadi atau berulang walaupun diterapi dengan oksitosin. Laparotomi
eksplorasi untuk ligasi arteri atau histerektomi mungkin diperlukan bila
perdarahan tidak dapat dikontrol (Taber, 1984).

Universitas Sumatera Utara

9
 

2.2.5. Komplikasi
Menurut Mousa et al. (2014) komplikasi yang ditimbulkan oleh
perdarahan pasca salin adalah:
-

Syok hipovolemik

-

DIC (Disseminated intravascular coagulation)

-

Acute kidney injury

-

Liver failure

-

Acute respiratory distress syndrome

-

Kematian

2.2.6. Prognosis
Perdarahan pasca salin adalah penyebab utama kematian ibu di seluruh
dunia dengan tingkat prevalensi sekitar 6%. Afrika memiliki tingkat prevalensi
tertinggi sekitar 10,5% . Di Afrika dan Asia, di mana sebagian besar kematian ibu
terjadi, perdarahan postpartum menyumbang lebih dari 30% dari semua kematian
maternal (WHO, 2012). Di Inggris, risiko kematian karena perdarahan pasca salin
diperkirakan sebesar 1 wanita dalam 100.000 kelahiran (Cantwell et al., 2011). Di
Amerika Serikat, risiko kematian karena perdarahan pasca salin diperkirakan 7-10
wanita dalam 100.000 kelahiran (Smith, 2012). Menurut Yiadom et al. (2014)
insiden perdarahan postpartum adalah sekitar 1 dari 5 kehamilan, tetapi angka ini
sangat bervariasi disebabkan perbedaan definisi untuk perdarahan postpartum.

2.3. Preeklampsia Berat
2.3.1. Definisi
Preeklampsia berat adalah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik ≥
160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg disertai proteinuria lebih
dari 5g/24 jam (Prawirohardjo, 2010).

Universitas Sumatera Utara

10
 

2.3.2. Gejala Klinis
Preeklampsia digolongkan menjadi preeklampsia berat bila ditemukan satu
atau lebih gejala sebagai berikut: (Prawirohardjo, 2010)
-

Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110
mmHg. Tekanan darah ini tidak menurun meskipun ibu hamil sudah
dirawat di rumah sakit dan sudah menjalani tirah baring

-

Proteinuria lebih 5g/24 jam atau 4+ dalam pemeriksaan kualitatif

-

Oliguria, yaitu produksi urin kurang dari 500cc/24 jam

-

Kenaikan kadar kratinin plasma

-

Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma,
dan pandangan kabur

-

Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (akibat
teregangnya kapsula glisson)

-

Edema paru-paru dan sianosis

-

Hemolisis mikroangiopatik

-

Trombositopenia berat < 100.000 sel/mm³ atau penurunan trombosit
dengan cepat

-

Gangguan fungsi hepar (kerusakan hepatoselular) : peningkatan kadar
alanin dan aspartat aminotransferase

-

Pertumbuhan janin intrauterin yang terhambat

-

Sindrom HELLP (hemolysis, elevated liver enzymes and low platelet)

2.3.3. Penatalaksanaan
Pengelolaan preeklamsia dan eklampsia mencakup pencegahan kejang,
pengobatan hipertensi, penggelolaan cairan, pelayanan suportif terhadap penyulit
organ yang terlibat, dan saat yang tepat untuk persalinan, antara lain :
(Prawirohardjo, 2010)
 Penderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat
inap dan dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri). Perawatan yang
penting pada preeklampsia berat adalah pengelolaan cairan karena
penderita preeklampsia dan eklampsia mempunyai resiko tinggi untuk

Universitas Sumatera Utara

11
 

terjadinya edema paru dan oliguria. Sebab terjadinya kedua keadaan
tersebut belum jelas, tetapi faktor yang sangat menentukan terjadinya
edema paru dan oliguria ialah hipovolemia, vasospasme, kerusakan sel
endotel, dan penurunan gradien tekanan onkotik koloid/pulmonary
capillary wedge pressure. Oleh karena itu, monitoring input cairan
(melalui oral ataupun infus) dan output cairan (melalui urin) menjadi
sangat penting, artinya harus dilakukan pengukuran secara tepat berapa
jumlah cairan yang dimasukkan dan dikeluarkan melalui urin. Bila terjadi
tanda-tanda edema paru, segera dilakukan tindakan koreksi. Cairan yang
diberikan dapat berupa (a) 5% ringer-dekstrose atau cairan garam faali
jumlah tetesan < 125 cc/jam atau (b) infus dekstrose 5% yang tiap liternya
diselingi dengan infus ringer laktat (60-125 cc/jam) 500 cc . Dipasang
foley catheter untuk mengukur pengeluaran urin. Oliguria terjadi bila
produksi urin < 30 cc/jam dalam 2-3 jam atau < 500 cc/24 jam. Diberikan
antasida untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang,
dapat menghindari aspirasi asam lambung yang sangat asam. Diet yang
cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, dan garam.
 Pemberian obat anti kejang
Obat anti kejang diantaranya adalah MgSO4 (magnesium sulfat). Obat
ini banyak digunakan di Indonesia sebagai obat anti kejang. Kemudian
contoh obat anti kejang lain yaitu diazepam dan fenitoin.
 Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru,
payah jantung kongestif, atau anasarka. Diuretikum yang dipakai adalah
furosemid. Pemberian diuretikum dapat merugikan yaitu memperberat
hipovolemia,

memperburuk

perfusi

utero-plasenta,

meningkatkan

hemokonsentrasi, menimbulkan dehidrasi pada janin, dan menurunkan
berat janin.
 Pemberian antihipertensi
Jenis obat antihipertensi yang diberikan di Indonesia adalah nifedipin,
dosis awal 10-20 mg, diulangi setelah 30 menit bila perlu. Dosis
maksimum 120 mg per 24 jam. Nifedipin tidak boleh diberikan sublingual

Universitas Sumatera Utara

12
 

karena efek vasodilatasi sangat cepat sehingga hanya boleh diberikan
peroral.

2.3.4. Komplikasi
Menurut Walley et al. (2010) yang termasuk komplikasi dari preeklampsia
berat adalah:
-

Eklampsia

-

Plasenta abruption

-

Sindrom HELLP (hemolysis, elevated liver enzymes and low platelet)

-

Kejang

-

Koma

-

Kematian

2.3.5. Prognosis
Di seluruh dunia, preeklampsia dan eklampsia diperkirakan menjadi
penyebab atas sekitar 14% kematian ibu per tahun (50.000-75.000) (WHO, 2004).
Pada tahun 2008-2012 di RS dr. Sarjito Yogyakarta, dilaporkan terjadi 48
kematian ibu dari 742 ibu penderita preeklampsia berat, case fatality rate untuk
preeklampsia berat di RS. dr.Sarjito Yogyakarta sekitar 6.47 (Handreswari, 2012).

2.4. Eklampsia
2.4.1. Definisi
Eklampsia merupakan kasus akut pada penderita preeclampsia yang
disertai dengan kejang menyeluruh dan koma. Sama halnya dengan preeklampsia,
eklampsia dapat timbul pada antepartum, intrapartum, dan postpartum. Eklampsia
postpartum umumnya hanya terjadi dalam waktu 24 jam pertama setelah
persalinan. Pada penderita preeklampsia yang akan kejang, umumnya memberi
gejala-gejala atau tanda-tanda yang khas yang dapat dianggap sebagai tanda
prodormal akan terjadinya kejang. Preeklampsia yang disertai dengan tanda-tanda
prodormal ini disebut sebagai impending eclampsia atau imminent eclampsia
(Prawirohardjo, 2010).

Universitas Sumatera Utara

13
 

2.4.2. Gejala Klinis
Dikategorikan

sebagai

eklampsia

yaitu

jika

pasien

mengalami

preeklampsia berat yang diikuti kejang tonik dan klonik tanpa adanya riwayat
kejang sebelumnya, termasuk koma dalam preeklampsia (WHO, 2012).

2.4.3. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan eklampsia yang utama ialah terapi supportif untuk
stabilisasi fungsi vital, yang harus selalu diingat airway, breathing, circulation
(ABC), mengatasi dan mencegah kejang, mengatasi hipoksemia dan asidemia
mencegah trauma pada pasien yang kejang, mengendalikan tekanan darah,
khususnya pada waktu krisis hipertensi, melahirkan janin pada waktu yang tepat
dan dengan cara yang tepat. Perawatan medikamentosa meliputi pemberian
magnesium sulfat (MgSO4) untuk mencegah dan mengatasi terjadinya kejang
(Prawirohardjo, 2010).

2.4.4. Komplikasi
A. Edema Paru
Kejang eklampsia dapat menyebabkan edema paru terutama mereka yang
dirawat dengan pemberian cairan intravena dalam jumlah besar dan selalu
memberikan prognosis yang jelek.

B. Gagal Jantung
Terjadi pada keadaan terminal suatu eklampsia, terutama sianosis, denyut
nadi yang cepat dan penurunan tekanan darah.

C. Kematian Mendadak
Sebagai akibat dari perdarahan serebral yang masif, hemiplegia juga dapat
terjadi akibat perdarahan serebral yang sublethal (Pritchard et al., 1984).

Universitas Sumatera Utara

14
 

2.4.5. Prognosis
Prognosis selalu gawat, meskipun angka kematian maternal pada
eklampsia tampak menurun selama tiga dekade terakhir ini, tetapi eklampsia
masih merupakan salah satu keadaan yang mengancam jiwa bagi ibu yang sedang
hamil. Angka kematian maternal yang dilaporkan berkisar antara 0 sampai 17,5
persen. Pada saat yang sama, kematian perinatal 13 sampai 30 persen (Pritchard et
al., 1984).
Bila penderita tidak terlambat dalam pemberian pengobatan, maka gejala
perbaikan akan tampak jelas setelah kehamilannya diakhiri. Segera setelah
persalinan berakhir perubahan patofisiologik akan segera pula mengalami
perbaikan. Diuresis terjadi 12 jam kemudian setelah persalinan. Keadaan ini
merupakan tanda prognosis yang baik karena hal ini merupakan gejala pertama
penyembuhan. Tekanan darah kembali normal dalam beberapa jam kemudian.
Eklampsia tidak mempengaruhi kehamilan berikutnya kecuali pada janin dari ibu
yang sudah mempunyai hipertensi kronik. Prognosis janin pada penderita
eklampsia juga tergolong buruk. Sering kali janin mati intrauterin atau mati pada
fase neonatal karena memang kondisi bayi sudah sangat inferior (Prawirohardjo,
2010).

2.5. Sepsis atau Infeksi Sistemik Berat
2.5.1. Definisi
Menurut WHO (2012) yang dimaksud dengan infeksi sistemik berat atau
sepsis adalah adanya demam (> 38°C), didiagnosis atau dicurigai mengalami
infeksi (contoh: korionamnionitis, abortus septik, endometritis, pneumonia), dan
paling sedikit diikuti oleh salah satu gejala berikut: denyut jantung > 90 per menit,
pernafasan > 20 per menit, leukopenia (sel darah putih < 4000/mm³), dan
leukosistosis (sel darah putih > 12000/mm³).

Universitas Sumatera Utara

15
 

2.5.2. Gejala Klinis
Dikategorikan sebagai sepsis atau infeksi sistemik berat, yaitu jika pasien
mengalami tanda-tanda atau gejala di bawah ini: (WHO, 2012)
-

Suhu tubuh > 38°C

-

Didiagnosis atau dicurigai infeksi (korionamnionitis, abortus septik,
endometritis, pneumonia)

-

Diikuti paling sedikit oleh gejala berikut: denyut jantung > 90 per menit,
pernapasan > 20 per menit, leukopenia (sel darah putih < 4000/mm³),
leukositosis (sel darah putih > 12000/mm³)

2.5.3. Penatalaksanaan
Menurut Taber (1984), prinsip umum penatalaksanaan yaitu infeksi harus
dihilangkan dengan terapi antibiotik, dibantu pembedahan bila ada indikasi,
homeostasis kardiovaskular dan respirasi harus dipertahankan (kekurangan
volume intravaskular harus dikoreksi, oksigenasi harus adekuat, dan perfusi
jaringan harus direstorasi).
 Bantuan pernapasan
Oksigen dan jalan napas yang adekuat penting. Pengukuran gas darah
yang diulang menilai keperluan oksigen dan perlunya intubasi endotrakeal
dan ventilasi mekanik.
 Bantuan sirkulasi
Bila ada sepsis, banyak volume cairan terpisah pada tempat
peradangan. Selain itu, kekurangan cairan penting lainnya berasal dari
demam, muntah, diare, dan perdarahan. Cairan intravena, biasanya larutan
ringer laktat atau larutan garam fisiologis, penting untuk menambah
volume plasma. Pengukuran tekanan vena sentralis atau tekanan desakan
arteri pulmonalis ditambah dengan keluaran urin merupakan suatu
petunjuk untuk penggantian cairan. Transfusi dengan sel darah merah
(packed red cell) atau whole blood dapat diindikasikan bila hematokrit
kurang dari 30.
 Asidosis terjadi akibat kegagalan perfusi jaringan dan akibat terkumpulnya
metabolit-metabolit asam. Keadaan ini dapat diobati dengan penambahan
volume intravaskular dan perbaikan perfusi jaringan daripada dengan
pemberian natrium bikarbonat.

Universitas Sumatera Utara

16
 

 Antibiotik intravena
Sebelum mengetahui organisme spesifik, pilihan antibiotik
dilakukan berdasarkan pada tempat dari infeksi, apakah didapat dari rumah
sakit, terapi antibiotik sebelumnya, penyakit penjamu yang mendasarinya,
biakan dan tes sensitivitas sebelumnya, dan antibiogram masing-masing
rumah sakit. Mikroorganisme yang biasanya bertanggung jawab pada
infeksi pelvis yang serius meliputi basil gram-negatif, streptokokus
anaerob, bakteroides, dan klostridia.
- Gentamisin (60-80 mg setiap delapan jam) sering dipilih karena
bersifat bakteriosidal dan efektif terhadap kebanyakan organisme
gram negatif. Dosisnya harus disesuaikan bila ada tanda-tanda
gagal ginjal
-

Penisilin (3-5 juta unit setiap 4 jam) atau ampisilin (2 g setiap
enam jam) dapat diberikan untuk menangani organisme gram
positif

-

Klindamisin (600 mg setiap delapan jam) sering dianjurkan bila
dicurigai ada infeksi bakteroides

 Kortikosteroid dapat mencegah cedera selular nonspesifik dengan
menstabilkan membran lisosom. Selain itu, obat-obat ini dapat
memperbaiki perfusi jaringan, meningkatkan curah jantung, dan
menurunkan tahanan perifer arteri. Walaupun banyak pendapat yang
berbeda akan dosis dan lamanya pengobatan, deksametason (3-5 mg/kg)
atau yang sebanding mungkin bermanfaat.
 Obat-obat vasoaktif dapat diindikasikan bila pasien tidak memberikan
respon terhadap penambahan volume intravaskular.
 Dopamin (inotropin) cenderung meningkatkan kontraktilitas miokard serta
aliran darah. Dua ratus miligram dopamin dilarutkan dalam 250 ml atau
500 ml larutan garam fisiologis dan diberikan pada dosis 2-5
mcg/kg/menit.
 Pembedahan mungkin diperlukan untuk menghilangkan fokus infeksi.
Produk-produk konsepsi yang terinfeksi harus dibuang dari uterus.
Rongga-rongga abses harus diberi drain.

Universitas Sumatera Utara

17
 

 Laparatomi dapat dianjurkan bila ada tanda-tanda rupturnya abses
tuboovarium, pasien tidak memberi respon terhadap terapi antibiotik, atau
ada tanda-tanda viskus yang perforasi atau benda asing dalam kavum
peritoneum, histerektomi dengan salpingo-ooforektomi bilateral mungkin
diperlukan.

2.5.4. Komplikasi
Menurut Barton dan Sibai (2012), komplikasi yang di timbulkan dari
sepsis atau infeksi sistemik berat yaitu:
-

Edem paru

-

Respiratory distress syndrome

-

Gagal ginjal akut

-

DIC (Disseminated intravascular coagulation)

-

Kematian

2.5.5. Prognosis
Di Inggris, angka kematian ibu dilaporkan meningkat dari 0.85 kematian
per 100.000 ibu hamil dalam waktu 2003-2005, menjadi 1.13 kematian dalam
2006-2008 (Barton dan Sibai, 2012).

2.6. Ruptur Uterus
2.6.1. Definisi
Ruptur uterus adalah robeknya dinding uterus pada saat kehamilan atau
dalam persalinan dengan atau tanpa robeknya peritoneum viseral (POGI, 1991).

2.6.2. Gejala Klinis
Gejala Klinis ruptur uterus yaitu sebagai berikut (POGI, 1991):
-

Sakit perut mendadak

-

Perdarahan pervaginam

-

Syok yang cenderung tidak sesuai dengan jumlah darah yang keluar
karena adanya perdarahan intra abdominal

Universitas Sumatera Utara

18
 

-

Adanya penyulit operasi rahim, trauma, partus sulit sebelumnya, dan
sebagainya

-

Kadang-kadang disertai sesak napas/napas cuping hidung atau sakit
karena tekanan napasnya intra abdominal pada diagfragma

-

Teraba bagian janin langsung di bawah kulit dinding perut disertai
tanda sakit perut mendadak, bunyi jantung janin tidak terdengar

-

Kadang–kadang urin hemoragis

2.6.3. Penatalaksanaan
Menurut Taber (1984), penatalaksanaan untuk pasien ruptur uteri meliputi:
 Terapi Suportif
Perbaiki syok dan kehilangan darah. Tindakan ini meliputi pemberian
oksigen, aliran intravena, darah pengganti, dan antibiotik untuk infeksi.
 Laparotomi segera
Segera setelah diagnosis ditegakan, dilakukan persiapan untuk
pembedahan. Pada saat itu, volume darah diperbaiki dengan cairan
intravena dan darah. Setelah luasnya perlukaan ditentukan, ahli bedah
dapat memilih antara memperbaiki kerusakan uterus dengan melakukan
histerektomi. Keputusan tersebut berdasarkan tempat ruptur, sifat robekan,
luasnya perdarahan, penyebab ruptur, adanya parut uterus, stadium
kehamilan, kondisi umum pasien, dan keinginan pasien untuk
mengandung dikemudian hari.
 Bila hematuria memberi kesan adanya hubungan perlukaan kandung
kemih, maka kandung kemih juga harus diperbaiki. Karena devitalisasi
dinding kandung kemih yang menyertai robekan uterus kejadiannya lebih
sering daripada perlukaan kandung kemih, drainase kandung kemih
postoperatif dengan kateter di tempat selama 10 sampai 14 hari merupakan
suatu hal penting yang dapat membantu penyembuhan kandung kemih
yang mengalami devitalisasi dan kontusio.

Universitas Sumatera Utara

19
 

2.6.4. Komplikasi
Menurut Benson dan Pernoll (1994), komplikasi dari ruptur uterus yaitu:
-

Perdarahaan

-

Syok

-

Infeksi

-

Trauma kandung kemih atau ureter

-

Tromboflebitis

-

DIC (Disseminated intravascular coagulation)

-

Hipofungsi hipofisis (misalnya gagal menyusui atau kematian)

-

Jika pasien tetap hidup dapat terjadi infertilitas atau sterilitas

2.6.5. Prognosis
Ruptur uteri menyebabkan 10%-40% kematian ibu dan paling sedikit 50%
kematian perinatal (Benson dan Pernoll, 1994).
Dari tahun 1976-2012, dilaporkan 2.084 kasus diantara 2.951.297 wanita
hamil. Tingkat kejadian ruptur uterus keseluruhan adalah 1 dari 1.146 kehamilan
(0.07%). Dilaporkan juga kematian ibu akibat ruptur uterus di negara maju 0-1%
dan di negara berkembang 5-10% (Nahum, 2012).

2.7. Komplikasi Berat dari Abortus
2.7.1. Definisi
Komplikasi abortus yang berat, paling sering berkaitan dengan suatu
abortus kriminalis. Perdarahan yang hebat, sepsis, syok bakterial, dan gagal ginjal
akut semua timbul sehubungan dengan abortus legal, tetapi dengan frekuensi yang
jauh lebih rendah (Pritchard et al., 1984).

2.7.2. Gejala Klinis
Yang dikategorikan sebagai komplikasi berat dari abortus adalah gejalagejala komplikasi dari abortus yang mengancam jiwa pasien yang meliputi
perdarahan yang berat, infeksi, syok septik, dan gagal ginjal akut (Pritchard et al.,
1984).

Universitas Sumatera Utara

20
 

2.7.3. Penatalaksanaan
Prinsip umum penatalaksanaan adalah infeksi harus dikendalikan dengan
antibiotik yang tepat, volume intravaskuler efektif harus dipertahankan untuk
memberikan perfusi jaringan yang adekuat, uterus harus dievakuasi (hasil
konsepsi yang tertahan atau alat kontrasepsi dalam rahim disingkirkan). Tindakan
spesifik yang harus dilakukan yaitu (Taber, 1984):
 Terapi Antibiotik
Dimulai secara intravena bahkan sebelum organisme spesifik dibiakan.
Antibiotik dipilih atas dasar organisme yang terlihat pada perwarnaan
gram apusan serviks. Kombinasi penisilin dan gentamisin mencakup
semua organisme yang paling mungkin dengan pengecualian untuk
bakteroides. Bila dicurigai bakteriodes, maka bisa dipilih klindamisin atau
kloramfenikol.
 Cairan Intravena dengan Oksitosin
Dua puluh sampai 40 unit oksitosin diencerkan dalam 1000 ml
dekstrosa 5% di dalam larutan ringer laktat membantu dalam pengeluaran
isi intrauteri yang terinfeksi. Disamping itu, oksitosin merangsang
kontraksi uterus untuk mengurangi perdarahan uterus.
 Transfusi Darah
Diberikan sesuai indikasi, tergantung pada derajat anemia dan
perdarahan.
 Kuretase
Uterus dievakuasi secepat kadar antibiotik darah yang adekuat
tercapai. Potongan besar jaringan nekrotik dibuang dengan forsep cincin.
 Laparotomi eksplorasi
Diperlukan jika ada bukti perdarahan intraperitoneum aktif atau cedera
usus yang mengikuti perforasi uterus traumatic atau jika benda asing
intraperitoneum terlihat pada foto abdomen. Bila pewarnaan gram
mengandung organisme klostridium, maka laparotomi ekplorasi dengan
debridemen jaringan nekrotik yang adekuat dilakukan, biasanya
histerektomi abdominalis totalis dan salpingo-ooforektomi akan
diindikasikan jika tanda-tanda tidak menyenangkan berikut ini timbul:
- Gas dalam jaringan pelvis pada pemeriksaan sinar-X
-

Bukti hemolisis intravaskuler seperti serum atau urin berwarna
anggur (port wine)

Universitas Sumatera Utara

21
 

-

Gagal ginjal

-

Tanda kemunduran pasien oleh sepsis.

2.7.4. Komplikasi
Menurut Goldman et al. (2013) dan Gaufberg (2012) komplikasi dari
abortus yaitu:
-

Emboli

-

Komplikasi dari anestesi

-

Perdarahan

-

Trauma servik

-

Trauma uterus

-

Infeksi

-

Abortus septik

-

Kematian

2.7.5. Prognosis
Mortalitas dan morbiditas tergantung pada usia kehamilan pada saat
keguguran atau aborsi. Di Amerika Serikat, angka kematian per 100.000 aborsi
adalah dibawah 8 minggu 0.5% , 11-12 minggu 2,2%, 16-20 minggu 14%, dan
lebih dari 21 minggu 18% (Gaufberg, 2012).
Menurut WHO, sekitar 68.000 wanita meninggal setiap tahun akibat
komplikasi dari aborsi yang tidak aman dengan sepsis sebagai penyebab utama
kematian. Di Amerika Serikat, pada tahun 2005 dilaporkan 7 wanita meninggal
akibat komplikasi aborsi legal. Kematian akibat aborsi septik di Amerika Serikat
cepat menurun setelah legalisasi aborsi yaitu kurang dari 1 per 100.000 aborsi.
Angka ini hampir sama dengan kebanyakan negara-negara di Eropa (Gaufberg,
2012).

Universitas Sumatera Utara