UPAYA MANTAN ISTERI UNTUK MEMPEROLEH HAK PASCA CERAI TALAK (STUDI KASUS PENGADILAN AGAMA SALATIGA TAHUN 2015-2016) - Test Repository
UPAYA MANTAN ISTERI UNTUK MEMPEROLEH HAK
PASCA CERAI TALAK (STUDI KASUS PENGADILAN
AGAMA SALATIGA TAHUN 2015-2016)
SKRIPSI
Disusun Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Disusun oleh :
KHOIRUL AMRI
211-12-011
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
UPAYA MANTAN ISTERI UNTUK MEMPEROLEH HAK
PASCA CERAI TALAK (STUDI KASUS PENGADILAN
AGAMA SALATIGA TAHUN 2015-2016)
SKRIPSI
Disusun Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Disusun oleh :
KHOIRUL AMRI
211-12-011
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO Jangan pernah berfikir menjadi orang yang sukses berfikirlah menjadi orang yang berguna.
PERSEMBAHAN Untuk kedua orangtua tercinta, Almamater tercinta Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, para dosen dan teman-teman seperjuanganku.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah Wasyukurillah, senantiasa peneliti panjatkan puji syukur kepada Allah SWT, yang telah menunjukkan kekuasaan- Nya sehingga penulisan skripsi ini terselesaikan tepat pada waktunya. Skripsi dengan judul “UPAYA MANTAN ISTERI UNTUK MEMPEROLEH HAK PASCA CERAI TALAK (Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2015- 2016)” disusun dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk menyelesaikan Program Sarjana (S1) Hukum Keluarga Islam pada Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, peneliti meyakini tidak akan dapat diselesaikan dengan baik tanpa bantuan serta dorongan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, peneliti ingin menghaturkan terima kasih sebagai penghargaan atau partisipasinya dalam penyusunan skripsi ini kepada:
1. Bapak Dr. Rahmad Hariyadi, M.Pd selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag selaku dekan Fakultas Syariah.
3. Bapak Sukron Ma’mun, S.HI., M.Si selaku ketua jurusan Hukum Keluarga Islam.
4. Bapak M. Yusuf Khummaini, S.HI., M.H selaku dosen pembimbing yang selalu senantiasa meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan peneliti dengan penuh kesabaran sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
6. Ketua Pengadilan Agama Salatiga beserta staf-stafnya, yang telah memberikan izin penelitian.
7. Para Narasumber yang secara sukarela berkenan untuk diteliti.
8. Kedua orangtua tercinta yang telah memberikan dukungan baik moral maupun material
9. Teman-teman seperjuangan tercinta.
10. Seluruh pihak yang membantu baik langsung maupun tidak langsung.
Semoga amal baik dan bantuannya tersebut mendapat balasan dari Allah SWT sebagai amal saleh. Peneliti menyadari bahwa penulisan skripsi ini jauh dari sempurna, untuk itu segala kritik dan saran dari semua pihak selalu peneliti harapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi peneliti maupun para pembaca pada umumnya.
Salatiga, 19 Desember 2017 Penulis, Khoirul Amri
ABSTRAK
Amri, Khoirul. 2018. Upaya Mantan Isteri Untuk Memperoleh Hak pasca
cerai talak (Studi Kasus Pengadilan Agama Salatiga tahun 2015-2016) .
Skripsi. Fakultas Syariah. Jurusan Hukum Keluarga Islam. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: M. Yusuf Khumaini, S.HI,. M.HKata kunci: Upaya, Mantan isteri, Ceari Talak
Dalam permohonan talak, hakim diberikan kewenangan oleh undang- undang membebani suami untuk memberikan beban nafkah berupa nafkah
iddah , hadhanah, madhiyah maupun mut’ah terhadap istri. Tanggung jawab
nafkah ini dimaksudkan agar mantan isteri dapat memenuhi kebutuhan dan anak tetap tumbuh berkembang dengan baik. Namun demikian tidak semua mantan suami memenuhi kewajiban tersebut sehingga memberikan dampak yang menyulitkan bagi mantan isteri.
Adapun fokus dari penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui pemenuhan hak mantan isteri pasca permohonan talak (2) Untuk mengetahui faktor yang mendasari dan menghambat pemenuhan hak untuk isteri terhadap mantan suami pasca permohonan talak (3) Untuk mengetahui upaya yang dilakukan oleh mantan isteri untuk memperoleh hak pasca permohonan talak.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) yang dilakukan di Pengadilan Agama Salatiga. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena sifatnya deskriptif-analitis yang mana data yang yang diperoleh seperti hasil pengamatan, hasil wawancara, hasil pemotretan, analisis dokumen, catatan lapangan, tidak dituangkan dalam bentuk dan angka-angka. Teknik pengumpulan data yang dilakukan yaitu metode wawancara dengan narasumber, observasi dan metode dokumentasi.
Hasil penelitian diperoleh bahwa upaya yang di lakukan istri untuk mendapatkan haknya pasca permohonan talak adalah dengan meminta dengan yang bersangkutan secara langsung mendatangi kerumahnya, selain itu juga meminta bantuan kepada RT dimana tempat mantan suami bertempat tingal, selain itu juga mendatangi pabrik tempat mantan suami bekerja untuk memotong gaji yang di peroleh mantan suaminya. faktor penghambat mereka memberikan hak nafkahnya adalah karena faktor ekonomi, menikah lagi, faktor psikologis dan faktor orangtua perempuan yang lebih mampu. Sedangkan faktor yang mendorong mereka memberikan nafkah adalah karena kesadaran penuh dari mantan suami untuk kehidupan mantan isteri dan anaknya serta tempat tinggal yang tidak berjauhan.
DAFTAR ISI
SAMPUL............................................................................................................... i LEMBAR BERLOGO .......................................................................................... ii JUDUL ................................................................................................................. iii PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................................... iv PENGESAHAN KELULUSAN ........................................................................... v PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN............................................................. vi MOTTO DAN PERSEMBAHAN ........................................................................ vii KATA PENGANTAR ....................................................................................... viii ABSTRAK ............................................................................................................ ix DAFTAR ISI ........................................................................................................ x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ......................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 5 C. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 6 D. Manfaat Penelitian .................................................................................... 6 E. Penegasan Istilah ....................................................................................... 7 F. Metode Penelitian...................................................................................... 8 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian.......................................................... 8 2. Lokasi Penelitian ................................................................................. 8 3. Sumber Data ........................................................................................ 9 4. Prosedur Pengumpulan Data ............................................................... 9 5. Pengecekan Keabsahan Data............................................................... 10 6. Tahap-Tahap Penelitian ...................................................................... 11 G. Sisematika Penulisan ................................................................................. 11 BAB II PERCERAIAN MENURUT HUKUM A. Pengertian Perceraian ................................................................................ 13 1. Cerai Talak Menurut Undang-Undang dan Kompilasi Hukum Islam 13
4. Bentuk Cerai dalam Hukum Positif .................................................... 21 B. Akibat Hukum Mantan Isteri Karena Cerai Talak .................................... 25 C. Akibat Hukum Mantan Isteri Karena Gugat Cerai ................................... 28 D.
Hak Bagi Anak Pasca Cerai talak ............................................................. 30 1.
Pengertian Anak .................................................................................. 30 2. Hak Nafkah Anak Pasca Cerai talak ................................................... 33
BAB III PEMENUHAN HAK MANTAN ISTERI SERTA FAKTOR PENDORONG DAN PENGHAMBAT PEMENUHAN HAK A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Salatiga ......................................... 36 1. Profil Pengadilan Agama Salatiga ...................................................... 36 2. Kewenangan Pengadilan Agama......................................................... 37 3. Struktur Organisasi.............................................................................. 41 4. Administrasi Berperkara di Pengadilan Agama Salatiga .................... 42 5. Perkara yang Diputus pada Pengadilan Agama Salatiga .................... 47 B. Temuan Penelitian ..................................................................................... 48 1. Profil Pelaku Cerai Talak .................................................................... 48 2. Pemenuhan Hak Pasca Cerai Talak..................................................... 57 3. Faktor Pendorong dan Penghambat Pemenuhan Hak Isteri ................ 65 BAB IV UPAYA MANTAN ISTERI AKIBAT CERAI TALAK A. Analisis Upaya Mantan Isteri Akibat Cerai Talak .................................... 75 1. Hak Anak ............................................................................................ 75 2. Mut’ah ................................................................................................. 77 3. Nafkah Madhiyah ................................................................................ 78 4. Nafkah Iddah ....................................................................................... 79 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................................... 84 B. Saran .......................................................................................................... 85 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 86 LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974, perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.Tujuan dari perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang tenteram kekal dan bahagia memperoleh keturunan yang sah. Selain itu perkawinan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak keperdataan biasa, akan tetapi mempunyai nilai ibadah (Rofiq, 1998: 69). Jadi perkawinan bukan hanya hubungan antara suami isteri tetapi juga hubungan dengan Allah.
Tujuan sakral dari suatu perkawinan adalah untuk mencapai kebahagiaan, penuh kasih sayang dan ketenteraman, namun belum tentu tujuan tersebut dapat dirasakan oleh kedua belah pihak karena kebahagiaan tidak dapat dipaksakan. Terkadang di dalam kehidupan rumah tangga terjadi percekcokan dan perselisihan, meskipun sebenarnya keduanya menginginkan adanya kesesuaian pandangan hidup. Hal ini mungkin saja terjadi sebab perbedaan pendapat, sifat maupun pandangan hidup. Jika masalah yang timbul dirasa sudah tidak ada solusi untuk
Dalam Islam sendiri, memberikan toleransi terhadap kemungkinan terjadinya talak, jika talak merupakan jalan terbaik yang harus ditempuh.
Hadit Nabi Muhammad SAW menyatakan sebagai berikut:
Artinya:“Sesuatu perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah
talak (perceraian)”. HR Abu Daud dan Ibnu Majahdari Ibnu UmarHukum positif mengatur mengenai cerai talak atau dalam istilah undang-undang disebut dengan putusnya perkawinan dalam Undang- undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Tata cara cerai talak diatur dalam pasal 38-41 dan dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam
pasal 113-162. Maka, Sejak dikeluarkannya peraturan ini maka tata cara cerai talak harus dilakukan di depan Pengadilan Agama. Talak hanya dapat dilakukan dengan adanya cukup alasan yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan pemerintah, yang dalam peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan disebutkan pada pasal 19 cerai talak dapat terjadi karena alasan :
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,penjudi dan sebagainya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meningglkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ijin pihak lain tanpa alasan yang sah atau hal lain di luar kemampuannya.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.
6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Seperti halnya perkawinan, cerai talak atau dalam istilah hukum putusnya perkawinan juga memiliki akibat hukum tertentu. Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam akibat putusnya perkawinan lebih diperinci yakni akibat cerai talak, cerai gugat,
khuluk dan lian. Dengan begitu tidak terjadi deskriminasi baik laki-laki
maupun perempuan dalam menentukan masa depan perkawinan.Kewajiban yang harus dilakukan mantan suami terhadap mantan isteri yang bercerai karena talak diantaranya diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 149, antara lain: 1.
Pemberian mut’ah 2. Pemberian nafkah, maskan dan kiswah selama masa iddah 3. Melunasi mahar yang terhutang 4. Memberikan biaya hadhanah bagi anak yang belum berumur 21 tahun
Pemberian nafkah dari mantan suami kepada mantan isteri ini dimaksudkan agar mantan isteri dapat memenuhi semua kebutuhan selama masa iddah tanpa melanggar aturan iddah. Mengenai besar kecilnya nafkah
(mut’ah) yang diberikan harus melalui kesepakatan
kedua pihak dan berdasarkan kemampuan suami, jika terjadi perselisihan dalam menentukan jumlahnya maka Pengadilan Agama yang harus
Akibat hukum yang ditimbulkan karena cerai talak berbeda dengan cerai gugat. Apabila perkawinan putus karena cerai gugat atau kehendak isteri, maka sesuai dengan Pasal 156 Inpres RI No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan bahwa anak yang belum
mumayyiz (berusia 12 tahun) berhak mendapatkan dari ibunya kecuali
ibunya telah meninggal dunia. Apabila ibunya telah meninggal dunia maka hak perwalian dapat digantikan dengan kerabat ibu atau juga dapat berpindah ke ayah.
Anak merupakan anugerah dari Allah yang harus dididik dan dibina sebagaimana mestinya. Orang tua wajib memenuhi kebutuhan nafkah anak, biasanya dalam hal ini merupakan kewajiban orang tua laki- laki sebagai mana kewajiban suami dalam keluarga. Ikatan yang terjadi antara orang tua dan anak tidak akan terputus meskipun rumah tangga sudah hancur. Undang-undang melindungi hak-hak perempuan dan juga anak agar jika terjadi talak anak tetap tumbuh seperti anak-anak lain.
Perceraian yang terjadi karena talak maupun cerai gugat dapat menimbulkan dampak yang tidak menyenangkan bagi perempuan.
Faktanya di Indonesia terjadi permasalahan pasca cerai talak, akibatnya perempuan yang menjadi korban. Karena orang tua perempuan lebih berhak terhadap hadhanah, sehingga jika orangtua laki-laki tidak bertanggung jawab justru memberikan beban finansial bagi perempuan sendiri. Jika pihak keluarga mampu mungkin saja tidak akan memberikan beban yang berarti, namun bagi keluarga perempuan yang tidak mampu akan memberatkan. Permasalahan ini sangat sering terjadi di masyarakat.
Pemikiran mantan suami yang menganggap bahwa setelah putusnya perkawinan maka lepas pula tanggung jawab nafkah membuat mereka enggan bertanggung jawab. Dalam mengahadapi situasi yang demikian, seharusnya perempuan dapat menuntut melalui jalur hukum.
Namun karena mayoritas masyarakat yang kurang mengetahui hukum mereka tidak tahu apa yang seharusnya mereka lakukan. Bahkan tidak dapat melakukan apapun meskipun hak-hak mereka tidak terpenuhi.
Dalam penelitian ini penulis akan mengkaji para pelaku cerai talak pasca diputusnya cerai talak dan untuk mengetahui upaya-upaya yang telah dilakukan jika mantan suami tidak memberikan kewajibannya sebagaimana mestinya. Untuk itu penulis melakuakan penelitian yang berjudul
“Upaya Mantan Isteri untuk Memperoleh Hak Pasca Cerai
Talak (Studi Kasus Pengadilan Agama Salatiga tahun 2015-2016)
” B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dipaparkan di atas, maka adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut: E.
Bagaimana pemenuhan hak mantan isteri pasca cerai talak? F.
Apa saja faktor yang mendorong dan menghambat pemenuhan hak untuk isteri terhadap mantan suami pasca cerai talak? G.
Bagaimana upaya yang dilakukan oleh mantan istri untuk memperoleh hak pasca cerai talak?
C. TUJUAN PENELITIAN
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, beberapa hal yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pemenuhan hak mantan isteri pasca cerai talak.
2. Untuk mengetahui faktor yang mendasari dan menghambat pemenuhan hak untuk isteri terhadap mantan suami pasca cerai talak.
3. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan oleh mantan isteri untuk memperoleh hak pasca cerai talak.
D. MANFAAT PENELITIAN
Dari hasil penelitian ini harapan peneliti dapat banyak memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis. Manfaat yang diharapkan antara lain: C.
Secara teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah sumbangan D.
Secara praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi terhadap permasalahan-permasalahan yang terkait dengan kewajiban yang harus dilakukan oleh mantan suami terhadap mantan isteri dan anak setelah putusnya cerai talak.
E. PENEGASAN ISTILAH 1.
Upaya Upaya adalah usaha, akal atau ikhtiar untuk mencapai suatu maksud, memecahkan persoalan, mencari jalan keluar dan sebagainya.
2. Mantan Isteri Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mantan memiliki pengertian bekas pemangku jabatan (kedudukan) sedangkan isteri berarti wanita (perempuan) yang telah menikah atau yang bersuami.
3. Hak Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hak memiliki pengertian tentang sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh undang-undang, aturan dsb) kekuasaan yang benar atas sesuatu atau martabat.
4. Cerai Talak
Menurut pasal 66 Undang-undang No. Tahun 1989 jo Undang- Undang No. 3 Tahun 2006 jo Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama “Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan isterinya mengajukan Cerai kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak
”.
F. METODE PENELITIAN
Metode adalah suatu cara yang digunakan untuk mencapai tujuan yang dimaksud. Sementara itu, metode penelitian berhubungan dengan erat dengan prosedur, teknik, alat, serta desain penelitian yang digunakan (Sudrajat, 2010 dalam Asmani, 2011: 38). Dalam penelitian ini penulis menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:
7. Pendekatan Dan Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian lapangan atau field research dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini dinamakan field research karena meneliti fenomena yang ada di lapangan atau masyarakat dan memusatkan perhatian pada suatu kasus secara intensif dan terperinci mengenai latar belakang keadaan sekarang yang dipermasalahkan (Asmani, 2011: 66).
8. Lokasi Penelitian Dalam penelitian ini penulis melakukan observasi langsung di
Pengadilan Agama Kota Salatiga guna memperoleh informasi mengenai para pelaku cerai talak dan pemenuhan hak pasca perceraian karena talak. Subjek dalam penelitian ini adalah beberapa pelaku cerai talak.
9. Sumber Data Data yang diperoleh dari sesuatu yang dapat memberikan informasi atau disebut juga dengan istilah sumber data. Sumber data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder, diantaranya adalah sebagai berikut: a.
Sumber data Primer, yakni segala sesuatu baik orang (people), kertas atau catatan (paper) maupun lokasi atau tempat atau benda-benda (place) yang berhubungan langsung dengan informasi primer dan darinya diperoleh data (informasi) primer.
b.
Sumber data sekunder adalah informan atau segala sesuatu yang memberikan informasi terkait dengan data yang diperlukan dalam penelitian namun tidak memilki hubungan langsung dengan fenomena yang menjadi objek penelitian ini (Moleong, 2004: 11) Data primer dari penelitian ini adalah data yang berhubungan dengan para pelaku cerai talak. Sedangkan yang termasuk data sekunder dalam penelitian ini adalah berupa buku-buku referensi yang terkait dengan judul penelitian.
10. Prosedur Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data adalah alat dan cara untuk mengumpulkan data. Dalam penelitian ini penulis menggunakan a.
Metode Wawancara Wawancara adalah salah satu cara menggali data. Hal ini harus di lakukan secara mendalam untuk mendapatkan data yang detail dan valid. Wawancara mendalam adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan social yang relative lama (Asmani, 2011:122). Informan dalam penelitian ini merupakan 10 mantan isteri para pelaku cerai talak.
b.
Metode Observasi Metode observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian
(Asmani, 2011:123). Dalam hal ini, penulis melakukan pengamatan secara langsung terhadap pelaku. Dalam penelitian ini peneliti mengamati para pelaku dengan cara mendatangi para informan dan melihat kondisi mereka secara langsung.
11. Pengecekan Keabsahan Data
Keabsahan data merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian, karena dari data itulah nantinya akan muncul beberapa teori. Untuk memperoleh keabsahan temuan, peneliti akan lapangan, observasi yang diperdalam, triangulasi (menggunakan beberapa sumber, metode, teori), pelacakan kesesuaian dan pengecekan anggota. Jadi temuan data tersebut bisa diketahui keabsahannya.
12. Tahap-Tahap Penelitian a.
Pengumpulan data b. Pemilihan data yang sesuai dengan fokus pembahasan c. Pemilihan data yang valid d. Analisa awal e. Penyusunan teks dan penarikan kesimpulan awal f.
Analisa kesimpulan adakah data yang kurang valid dimasukkan
g.Penyusunan teks dan laporan akhir penelitian 13.
Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan disusun untuk mempermudah dalam pengkajian dan memahami permasalahan yang dibahas. Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
Bab Pertama merupakan bagian awal penelitian yang berisi Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Penegasan Istilah, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
Bab Kedua akan diuraikan tentang Definisi Cerai talak, Bentuk- Bentuk Cerai Talak, Dampak dari Cerai Talak, Cerai Gugat, Definisi Anak, Hak-Hak Anak, Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak.
Selanjutnya Bab Ketiga akan digambarkan tentang Sejarah Pengadilan Agama Salatiga, Profil Keluarga, Pemenuhan Kewajiban Mantan Suami Pasca Cerai talak, Faktor Pendorong dan Penghambat Pemenuhan Nafkah
Bab Keempat merupakan pemaparan analisis deskriptif hasil penelitian, Upaya Mantan Isteri untuk Memperoleh Nafkah Pasca Cerai talak.
Dan Bab Kelima adalah penutup merupakan bagian akhir penelitian yang berisi Kesimpulan dan Saran.
BAB II CERAI TALAK MENURUT HUKUM A. Pengertian Perceraian 1. Cerai talak menurut Undang-Undang dan Kompilasi Hukum Islam Pada prinsipnya perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat merasakan ketenteraman dan mencapai tujuan sakral dari perkawinan. Sedangkan untuk cerai talak pada prinsipnya adalah mempersukar perceraian. Cerai talak terjadi dikarenakan adanya hal-hal yang terjadi dalam rumah tangga, misalnya suami tidak melaksanakan kewajibannya terhadap istri suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin kepada istri dalam waktu yang lama, atau suami memperlakukan isteri dengan tidak baik. Selain itu adanya perbedaan yang memang tidak dapat diselaraskan lagi oleh suami istri tersebut sehingga talak dipilih menjadi solusi terakhir.
Tentang berakhirnya perkawinan, undang-undang perkawinan di Indonesia mempergunakan istilah putusnya perkawinan, dan menurut
Pasal 38 dikenal adanya tiga macam cara putusnya perkawinan, yaitu: a. Kematian b. Perceraian c.
Perceraian bisa diartikan sebagai suatu cara yang sah untuk mengakhiri suatu perkawinan. Sedangkan menurut KUHP perceraian adalah pengakhiran suatu perkawinan karena suatu sebab dengan keputusan hakim atas tuntutan dari salah satu pihak atau kedua belah pihak dalam perkawinan.
Pengertian talak terdapat dalam pasal 117 KHI yang menyebutkan pengertian talak terdapat dalam pasal 117 KHI yang menyebutkan bahwa, “Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129, 130 dan 131
”. Jadi Cerai talak adalah putusnya ikatan suami istri yang dilakukan di hadapan pengadilan dan menyebabkan akibat hukum tertentu kedua pihak tersebut.
Menurut hukum perkawinan nasional bagi suami yang ingin menjatuhkan talak kepada istrinya harus mengajukan talak ke pengadilan agama bagi yang beragama Islam. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 39 undang-undang perkawinan: a.
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
b.
Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Berdasarkan bunyi pasal di atas, Cerai talak dapat terjadi apabila dilakukan di depan sidang pengadilan. Artinya tidak ada talak dalam Karena Cerai talak yang dilakukan di luar pengadilan tidak diakui oleh hukum. Lebih tegas lagi dapat dikatakan bahwa talak yang dilakukan di luar pengadilan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap (no legal force). Meskipun pada dasarnya hukum Islam tidak mengatur bahwa Cerai talak itu harus dilakukan di depan pengadilan.
Lembaga inilah yang bertugas menyelesaikan sengketa perdata bagi masyarakat yang beragama Islam.
Cerai talak hanya dapat dilakukan dengan adanya cukup alasan yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan pemerintah, yang dalam peraturan pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan pada pasal 19 Cerai talak dapat terjadi karena alasan : a.
Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya yang sukar disembuhkan.
b.
Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ijin pihak lain tanpa alasan yang sah atau hal lain di luar kamampuannya c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
e.
Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/ istri.
f.
Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Alasan dibenarkannya Cerai talak antara suami/istri yang terikat dalam suatu perkawinan dalam Pasal 116 Instruksi Presiden No.1 sebagaimana disebutkan dalam peraturan pemerintah No.9 tahun 1975. Akan tetapi ada penambahan alasan, yakni sebagai berikut : a.
Suami melanggar taklik talak.
b.
Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.
2. Cerai talak menurut Hukum Islam
Menurut bahasa Arab, kata talak bermakna, “pelepasan atau penguraian tali pengikat, baik tali pengikat riil seperti tali pengikat sapi, maupun tali pengikat itu bersifat maknawi seperti tali pengikat perkawinan”. Menurut Hukum Islam hak talak itu ada ditangan suami walaupun hak itu dimungkinkan oleh hukum berada di tangan hakim.
Menjatuhkan talak tanpa alasan yang dibenarkan dibenci oleh hukum Islam dan dimurkai Tuhan. Oleh karenanya maka suami dalam menjatuhkan talak-nya haruslah dengan alasan dan cara yang dibenarkan dalam hukum Islam. Talak itu hukumnya makruh sekalipun juga ada hikmahnya. (Rasjid, 1994: 401)
Talak menurut istilah ialah melepaskan ikatan pernikahan dengan
kata-kata talak atau yang seumpamanya, misalnya “Aku talak engka u”. Dengan ucapan yang demikian maka putuslah ikatan pernikahan antara suami istri tersebut (Jamaluddin, 2010: 45-46). Kata-kata talak seperti itu sudah memutuskaan ikatan tali perkawinan secara islam, namun untuk dapat berkekuatan hukum ikrar talak harus
Meskipun Islam mensyariatkan talak, tetapi tidak berarti agama Islam menyukai talak dalam suatu perkawinan. Dalam ajaran Islam, perceraian pada prinsipnya dilarang ini dapat dilihat pada hadits Rasullullah Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Daud Ibnu Majah dan Al hakim dari Ibnu Umar yang menyatakan bahwa
talak atau perceraian adalah perbuatan halal yang paling dibenci
Allah. (Rofiq, 1998: 268-269)
“Sesuatu perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah Talak (perceraian)”. HR Abu Daud dan Ibnu Majah dari Ibnu Umar.
Bahkan dalam hadits lain, seorang istri yang meminta talak atas suaminya sangat dikecam oleh Islam. Rasulullah SAW bersabda:
“Wanita yang meminta suaminya menalak tanpa ada alasan yang mendesak, maka haram baginya bau surga.”(HR. Abu Dawud, t.t, juz. 2: 268).
Hukum asal dari Cerai talak adalah boleh, namun dapat berubah sesuai dengan keadaanya, antara lain: a.
Wajib Apabila terjadi perselisihan antara dua suami-istri dan kedua hakim memandang perlu supaya keduanya bercerai.
b.
Sunnat Apabila suami tidak sanggup lagi membayar kewajibannya
(nafkahnya) dengan cukup, atau perempuan tidak menjaga
Dalam dua perkara: pertama menjatuhkan Talak sewaktu si istri dalam keadaan haid, dan kedua menyatuhkan Talak sewaktu suci yang telah dicampurinya pada waktu suci itu.
d.
Makruh Hukum asal yang bersumber dari hadits Rasullulah yaitu bahwa talak dihalalkan akan tetapi dibenci oleh Allah. (Rasjid,
1976: 380) 3. Bentuk-bentuk Perceraian
Adapun menurut Hukum Islam, ada beberapa sebab-sebab putusnya hubungan perkawinan, yaitu : a.
Talak Dalam ajaran Islam, talak merupakan perbuatan yang dihalalkan akan tetapi dibenci oleh Allah. Meskipun talak pada prinsipnya dihalalkan oleh Allah, akan tetapi pada keadaan tertentu talak tersebut dilarang untuk dijatuhkan pada seorang istri, berdasarkan keadaan-keadaan tertentu. Dalam Islam dikenal talak raj’i dan talak ba’in.
Talak raj’i yaitu talak yang diizinkan rujuk kembali jika masih dalam masa iddah.
Talak raj’i ini berupa talak satu atau
talak dua tanpa iwadh (uang pengganti) dari mantan istri. Namun apabila suami melakukan rujuk setelah habis masa iddah maka harus dilakukan akad perkawinan yang baru.
Talak Ba’in yaitu talak yang suami tidak diperbolehkan
melakukan rujuk kembali kepada mantan istrinya kecuali dengan syarat tertentu.
Talak ba’in terbagi menjadi dua macam, antara
1) Talak Ba’in Sughra yaitu talak satu atau talak dua yang disertai uang iwadh dari pihak istri.
Talak ba’in sughra tidak
boleh rujuk tetapi boleh menikah lagi dengan bekas suaminya meskipun dalam keadaan iddah, talak bain sughra dapat terjadi karena talak yang terjadi sebelum suami istri bercampur (qabla al dhukul), yang dijatuhkan oleh pengadilan agama. 2)
Talak Ba’in kubro yaitu talak yang terjadi untuk ketiga kalinya talak ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi Cerai talaksetelah diantara suami istri tersebut pernah bercampur (Cerai talak
ba’dal dhukul) Cerai talaktersebut telah pula habis, masa iddahnya.
Jika dilihat dari keadaan kapan talak tersebut dijatuhkan dalam keadaan suci atau tidak ada dua macam yaitu talak sunni dan
bid’i. Talak sunni adalah talak yang berjalan sesuai ketentuan
agama, yaitu seseorang suami mentalak perempuan yang pernah dicampurinya dengan sekali talak pada masa yang bersih dan belum ia sentuh kembali selama masa bersih itu Instruksi Presiden RI No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
Pasal 121 menyebutkan bahwa talak sunni adalah talak yang suci dan tidak di campuri pada waktu suci. Selanjutnya, talak
bid’i adalah talak yang dilarang oleh ajaran agama Islam Pasal
122 Instruksi Presiden Republik Indonesia No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam meyebutkan “talak bid’i adalah
talak yang dilarang di jatuhkan pada waktu istri dalam keadaan
haid atau istri dalam keadaan suci tetapi sudah di campuri pada waktu suci itu”.
b.
Khuluk Cerai talakyang terjadi atas kehendak istri dengan membayar ‘iwad atau tebusan kepada suami. (Wasman, 2011: 86).
c.
Syiqaq Ialah perselisihan atau menurut istilah Fiqh berarti perselisihan suami-istri yang diselesaikan dua orang hakam, satu orang dari pihak suami dan yang satu dari pihak istri. (Aziz, 1996: 1708) d.
Fasakh Ialah merusakkan atau membatalkan. Ini berarti bahwa perkawinan itu diputuskan/ dirusakkan atas permintaan salah satu pihak oleh hakim Pengadilan Agama. Biasanya yang menuntut
fasakh di pengadilan adalah istri. (Ghozali, 2006: 203) e.
Ta’lik Talak
Talik talak menurut bahasa Arab berarti penggantungan talak,
talak dalam bahasa arab berarti syarat atau janji. Sedangkan menurut istilah fiqih mengartikan
ta’lik talak sebagai talak yang
diucapkan dikaitkan dengan waktu tertentu sebagai syarat yang yang bertentangan dengan
ta’lik tersebut. Sedangkan menurut
Sudarsono, dalam bukunya “Pokok-pokok Hukum Islam” menyebutkan bahwa
ta’lik talak adalah suatu talak yang
digantungkan terjadinya peristiwa tertentu sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat sebelumnya antara suami isteri tersebut. (Abdul, 2009: 29) f. Ila’ Ialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan.
Dalam kalangan bangsa Arab jahiliyah perkataan
ila’ mempunyai
arti khusus dalam hukum perkawinan mereka, yakni suami bersumpah untuk tidak mencampuri istrinya, waktunya tidak ditentukan dan selama itu istri tidak ditalak ataupun diceraikan. Sehingga jika keadaan ini berlangsung berlarut-larut, yang menderita adalah pihak istri karena keadaannya terkatung-katung dan tidak berketentuan. (Hajar, 1992: 550) 4.
Bentuk Cerai Dalam Hukum Positif a.
Cerai Talak (Cerai) Seorang suami yang diberi hak mutlak untuk mentalak istrinya. Hak talak diberikan kepada suami merupakan ketentuan dari Al-
Qur’an, sejalan dengan hal tersebut peraturan perundang- undangan tentang perkawinan di Indonesia juga memberikan hak mutlak kepada seorang suami untuk mentalak istrinya, tetapi dengan ketentuan:
1) Perceraian harus dilakukan di depan sidang pengadilan.
2) Perceraian harus disertai dengan alasan-alasan sebagaimana yang telah diatur undang undang.
3) Mengikuti prosedur sebagaimana diatur dalam Pasal 66 dst.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 dan ketentuan perundang-undangan lainnya. Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam karena talak, maka bekas suami wajib memberikan kepada bekas istrinya: 1)
Mut’ah yang layak berupa uang atau barang; 2)
Nafkah iddah yang meliputi nafkah tempat tinggal (maskan) dan perlengkapan hidup (kiswah); 3)
Melunasi mahar yang belum lunas terbayar; 4)
Biaya hadhanah/ biaya pemeliharaan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.
Pasal 66 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UUPA) menyatakan: 1)
Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan Cerai kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak. Dalam rumusan Pasal 14 PP Nomor 9 Tahun 1975 dijelaskan beserta pengadilan tempat Cerai itu diajukan. Seorang suami yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya disertai dengan alasan- alasannya serta meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu. 2)
Cerai sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon. 3)
Dalam hal pemohon bertempat kediaman di luar negeri, Cerai dapat diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon. 4)
Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka Cerai diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat. 5)
Cerai soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan Cerai cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan. Cerai sebagaimana yang dimaksud memuat: (a) nama, umur, dan tempat kediaman pemohon, yaitu suami dan termohonnya itu istri; (b) alasan-alasan yang menjadi dasar
Mahkamah Syariyah dapat mengabulkan atau menolak Cerai tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi (Pasal 130 KHI). Langkah berikutnya adalah pemeriksaan oleh pengadilan. Pasal 68 UU Peradilan Agama menyebutkan:
6) Pemeriksaan Cerai cerai talak dilakukan oleh majelis hakim selambat-lambatnya 30 (tigapuluh) hari setelah berkas atau surat Cerai cerai talak didaftarkan di kepaniteraan.
7) Pemeriksaan Cerai cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup.
Selanjutnya Pasal 70 UU Peradilan Agama dan Pasal 16 PP Nomor 9 tahun 1975 menyebutkan: 1)
Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan perceraian maka pengadilan menetapkan bahwa Cerai tersebut dikabulkan;
2) Terhadap penetapan sebagai mana yang dimaksud dalam ayat
(1), istri dapat mengajukan banding; 3)
Setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak, dengan memanggil suami dan istri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut;
4) Dalam sidang itu suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam suatu akata otentik untuk mengucapkan ikrar talak, mengucapkan ikrar talak yang dihadiri oleh istri atau kuasanya;
5) Jika istri telah mendapat panggilan secara sah atau patut, tetapi tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, maka suami atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya istri atau walinya;
6) Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari sidang Penyaksian ikrar talak tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, meskipun telah mendapat panggilan secara sah atau patut maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut, dan Cerai talaktidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama.
b.
Cerai Gugat Cerai gugat yaitu seorang istri menggugat suaminya untuk mengabulkan gugatan yang dimaksud sehingga putus hubungan penggugat (istri) dengan tergugat (suami) perkawinan (Ali, 2006: 77). Dalam peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang merupakan Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam hal teknis yang menyangkut kompetensi wilayah pengadilan-seperti dalam cerai
talak mengalami perubahan. Pasal 73 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 menyatakan: 1)
Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat;
2) Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada pengadilan Agama Jakarta Pusat. (Lihat Pasal 132 KHI jo Pasal 20 PP Nomor 9 Tahun 1975) B.
Akibat Hukum Mantan Istri Karena Cerai Talak