ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI PASAI DALAM PERKAWINAN ADAT SUKU BANGGAI : STUDI KASUS DI DESA KOMBUTOKAN KECAMATAN TOTIKUM KABUPATEN BANGGAI KEPULAUAN PROPINSI SULAWESI TENGAH.

(1)

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI

PASAI

DALAM PERKAWINAN ADAT SUKU BANGGAI

(Studi Kasus di Desa Kombutokan Kecamatan Totikum Kabupaten Banggai

Kepulauan Propinsi Sulawesi Tengah)

SKRIPSI

Oleh :

SISNAWATI LADJAHIA NIM: C51211157

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syariah Dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam

Program Studi Hukum Keluarga Islam Ahwal Al-Syakhsiyyah

SURABAYA

2015


(2)

i

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI PASAI

DALAM PERKAWINAN ADAT SUKU BANGGAI

(Studi Kasus di Desa Kombutokan Kecamatan Totikum Kabupaten Banggai

Kepulauan Propinsi Sulawesi Tengah)

SKRIPSI

Diajukan Kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu

Ilmu Syariah/Hukum Islam

Oleh :

SISNAWATI LADJAHIA NIM : C51211157

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam

Program Studi Hukum Keluarga Islam Ahwal al-Syakhsiyyah

SURABAYA

2015


(3)

ii

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Sisnawati Ladjahia

NIM : C51211157

Semester : VII

Fakultas/Jurusan : Syariah dan Hukum/ Hukum Islam

Program Studi : Ahwalus Syakhsiyah

Alamat : Jl. Sopek Dusun 4 RT 03 RW 04 Kombutokan Totikum

Banggai Kepulauan Sulawesi Tengah

Dengan ini menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang

berjudul “ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI PASAI DALAM

PERKAWINAN ADAT SUKU BANGGAI (Studi Kasus Di Desa Kombutokan Kecamatan Totikum Kabupaten Banggai Kepulauan Sulawesi Tengah)” adalah asli dan bukan merupakan hasil plagiat kecuali bagian-bagian yang dirujuk sumbernya.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya, apabila pernyataan ini tidak sesuai dengan kenyataan yang ada, maka saya bersedia diminta pertanggungjawaban sebagaimana peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Surabaya, 18 Januari 2015

Sisnawati Ladjahia


(4)

(5)

iv

PENGESAHAN

Skripsi yang ditulis oleh Sisnawati Ladjahia NIM. C51211157 telah dipertahankan di depan sidang majelis Munaqosah Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya pada hari Kamis, tanggal 29 Januari 2015 dan dapat diterima sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan program sarjana strata satu dalam Ilmu Syariah.

Majelis Munaqosah Skripsi:

Ketua,

Muwahid, SH. M.Hum NIP : 197803102005011004

Sekretaris,

H.Khirul Ulum,S.H, M.M Nip. 196801111990031004

Penguji I,

Dra.Hj.Muflikhatul Khairah, M.Ag Nip. 197004161995032002

Penguji II,

Moh. Hatta, M.HI NIP : 197110262007011012

Pembimbing,

Muwahid, SH. M.Hum NIP : 197803102005011004

Surabaya, 02 Februari 2015 Mengesahkan,

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Dekan,

Dr. H. Sahid HM, M.Ag NIP. 196803091996031002


(6)

v

ABSTRAK

Skripsi dengan judul “Analisis Hukum Islam terhadap Tradisi Pasai dalam

Perkawinan Adat Suku Banggai (Studi Kasus di Desa Kombutokan Kecamatan Totikum Kabupaten Banggai Kepulauan Propinsi Sulawesi tengah)” merupakan penelitian yang dilakukan di Desa Kombutokan Kecamatan Totikum Kabupaten Banggai Kepulauan Sulawesi Tengah. Penenelitian ini bertujuan menjawab

pertanyaan: 1. Bagaimana deskripsi tradisi pasai dalam perkawinan adat suku

Banggai di Desa Kombutokan?. 2. Bagaimana analisis Hukum Islam terhadap

ketentuan tradisi pasai tersebut?

Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field Research) yang

menggunakan teknik dokumentasi dan wawancara sebagai metode pengumpulan data. Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara tidak terstruktur yang hanya memuat pertanyaan-pertanyaan pokok permasalahan yang ditanyakan pada tokoh adat, tokoh agama, masyarakat yang melakukan tradisi tersebut, serta aparat desa Kombutokan. Data yang dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan pola fikir deduktif dengan metode deskriptif kualitatif.

Hasil penelitian menunjukan bahwa: pertama, tradisi pasai telah dilakukan oleh masyarakat suku Banggai secara turun temurun dan masih terus dipraktekkan hingga sekarang. Bentuk pasai tediri dari uang, barang/benda atau hewan tertentu berdasarkan permintaan pihak perempuan. Pada awalnya tujuan

pasai adalah untuk meringankan biaya upacara pernikahan dari pihak perempuan,

namun seiring berjalannya waktu pasai juga mengalami perkembangan dan

membawa dampak yang kurang baik. Seseorang yang menikah dengan nominal

pasai yang tinggi akan meningkatkan prestise orang tuanya di mata masyarakat.

Semua ketentuan tradisi pasai ada yang adakalanya sesuai dengan hukum

Islam ada kalanya tidak. Yang tidak sesuai misalnya Pasai juga dijadikan alat

untuk menghalangi perkawinan pasangan yang saling mencintai dengan meminta nominal yang sangat tinggi kepada pihak laki-laki.

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka sudah selayaknya bagi masyarakat

desa Kombutokan untuk melakukan tradisi pasai tersebut dengan memilah

ketentuan yang sesuai atau berseberangan dengan hukum Islam. Keterlibatan para tokoh-tokoh yang berpengaruh di desa sangat berperan dalam menjelaskan ketentuan peminangan dan adat yang berlaku dalam hukum Islam terhadap masyarakat Suku Banggai di daerah tersebut.


(7)

viii

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

SURAT PERNYATAAN... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TRANSLITERASI ... xii

MOTTO ... xvi

PERSEMBAHAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ...10

C. Rumusan Masalah ...11

D. Kajian Pustaka ...11


(8)

ix

F. Kegunaan Hasil Penelitian ...14

G. Definisi Operasional ...15

H. Metode Penelitian ...16

I. Sistematika Pembahasan ...23

BAB II PEMINANGAN DALAM HUKUM ISLAM A. Pengertian Peminangan ...25

B. Hukum Peminangan ...27

C. Syarat-syarat Peminangan ...30

D. Tata Cara Peminangan ...35

E. Hikmah Peminangan...39

F. Akibat Adanya peminangan ...40

G. Putusnya Peminangan ...41

H. Al-‘Urf ...45

BAB III TRADISI PASAI DALAM PERKAWINAN ADAT SUKU BANGGAI DI DESA KOMBUTOKAN KECAMATAN TOTIKUM KABUPATEN BANGGAI KEPULAUAN SULAWESI TENGAH A. Gambaran Umum Desa Kombutokan 1. Sejarah Desa Kombutokan a. Asal Usul/Legenda Desa ...52

b. Sejarah Pemerintahan Desa ...53

2. Letak Geografis Desa kombutokan ...54

3. Keadaan Sosial Masyarakat a. Kependudukan ...54


(9)

x

c. Pendidikan ...55

d. Agama ...57

B. Konsep Pasai dalam Tradisi Perkawinan Adat di Desa Kombutokan ...58

1. Pengertian Tradisi Pasai ...58

2. Faktor yang Melatarbelakangi Tradisi Pasai ...59

3. Tata Cara Pemberian Pasai ...61

4. Akibat Terjadinya Tradisi Pasai ...63

C. Pandangan Tokoh Masyarakat Tentang Tradisi Pasai dalam Perkawinan Adat Suku Banggai di Desa Kombutokan ...66

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI PASAI DALAM PERKAWINAN ADAT SUKU BANGGAI DI DESA KOBUTOKAN KECAMATAN TOTIKUM KABUPATEN BANGGAI KEPULAUAN SULAWESI TENGAH A. Analisis Terhadap Ketentuan tradisi Pasai dalam perkawinan adat Suku Banggai di Desa Kombutokan Kecamatan Totikum Kabupaten Banggai Kepulauan Sulawesi Tengah ... 68

B. Analisis Hukum Islam terhadap Tradisi Pasai dalam Perkawinan Adat Suku Banggai di Desa Kombutokan Kecamatan Totikum Kabupaten Banggai Kepulauan Sulawesi Tengah ... 72

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...78

B. Saran ...79

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pergaulan hidup manusia diatur oleh kaidah-kaidah yang merupakan pedoman atau patokan dalam batas-batas perilaku manusia. Secara sadar ataupun tidak, dalam kehidupan sehari-hari manusia dibatasi oleh perikelakuannya agar ia tidak merugikan pihak lain. Pelanggaran terhadap batas-batas yang telah ditentukan oleh kaidah tersebut, akan menyebabkan terjadinya pertentangan kepentingan yang mungkin sekali akan menggoncangkan seluruh masyarakat atau bagian-bagian tertentu dari

masyarakat.1

Pengalaman-pengalaman hidup manusia dalam masyarakat selalu dihadapkan pada nilai-nilai hidup. Nilai-nilai tersebut selanjutnya akan membentuk pola tingkah laku masyarakat yang secara umum harus diindahkan dan dihormati oleh warga masyarakat di lingkungan tersebut. Nilai-nilai hidup yang membentuk pola tingkah laku ini pada proses selanjutnya akan membentuk norma-norma yang berisi perintah dan larangan yang tujuannya untuk mengatur kehidupan masyarakat. Nilai-nilai inilah yang dikenal dengan hukum yang hidup dalam masyarakat atau dikenal

dengan adat istiadat.2

1 Soerjono Soekanto, Memperkenalkan Sosiologi, (Jakarta : CV. Rajawali, 1981), 47.


(11)

Slogan Bhinneka Tunggal Ika melambangkan bahwa meskipun

berbentuk kesatuan, Indonesia merupakan negara majemuk yang memiliki beragam kebudayaan dan adat istiadat yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Konsekuensi dari kemajemukan tersebut adalah aturan dan tradisi yang berbeda dari setiap daerah, termasuk di dalamnya adalah masalah perkawinan.

Perkawinan sangat penting dalam kehidupan manusia, perseorangan maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah maka pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang terhormat. Agar perkawinan dapat dilaksanakan dengan baik dan tujuannya dapat diwujudkan, maka syariat Islam memberikan bimbingan dan petunjuk etis-keagamaan, baik sebelum,

selama proses maupun setelah akad perkawinan.3

Dalam pandangan Islam, perkawinan bukan hanya urusan perdata semata, bukan pula sekedar urusan keluarga dan masalah budaya, tetapi masalah dan peristiwa agama, oleh karena perkawinan itu dilakukan untuk memenuhi sunnah Allah SWT dan sunnah Nabi SAW. Disamping itu, perkawinan juga bukan untuk mendapatkan ketenangan hidup sesaat, tapi untuk selama hidup. Oleh karena itu, seseorang mesti menentukan pilihan

pasangan hidupnya itu secara hati-hati dan dilihat dari berbagai segi.4

3 Amir Nuruddin dan Azhari Akbar Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi kritis

Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, UU No. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta : Kencana, 2004), 206.

4 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, antara Fiqh Munakahat dan


(12)

Perkawinan adalah sebuah gerbang untuk membentuk keluarga bahagia. Dalam KHI Pasal 2 dan 3 disebutkan perkawinan menurut hukum

Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mis|a<qangali<z}an

untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah,

yang bertujuan untuk mewujudkan keluarga yang sa@kinah, mawaddah,

warah{mah.5 Dalam surah ar-Rum ayat 21 juga disebutkan :


(13)

ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh agama. Di antara proses yang harus dilalui itu adalah peminangan atau pelamaran.

Secara etimologi meminang atau melamar artinya antara lain

meminta wanita untuk dijadikan istri (bagi diri sendiri atau orang lain)8 yang

dalam bahasa arab di kenal dengan istilah Khit}bah (ﺔ ﻄﺨ ا ). Khit}bah secara

sederhana dapat diartikan sebagai penyampaian kehendak untuk melangsungkan ikatan perkawinan. Lafadz ini merupakan bahasa Arab

standar yang terpakai dalam pergaulan sehari-hari.9 Sebagaimana terdapat


(14)

Dan terdapat pula ucapan Nabi SAW sebagaimana yang diriwayatkan dari Jabir menurut riwayat Ahmad dan Abu Daud dengan sanad yang dipercaya yang bunyinya :


(15)

seluruh ahli fiqh sepakat bahwa hukum khit}bah menjadi haram jika khit}bah

dilakukan pada wanita yang berada dalam pinangan orang lain.13

Islam memberikan batasan terhadap apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam peminangan. Batasan-batasan tersebut adalah:

1. Meminang perempuan yang dalam pinangan orang lain haram dilakukan

2. Tidak ada penghalang syar’i yang melarang dilangsungkannya

pernikahan

3. Perempuan yang dipinang tidak sedang dalam masa Iddah talak raj’iy.

4. Diperbolehkan melihat wanita yang dipinangnya.14

Peminangan adalah suatu usaha yang dilakukan mendahului perkawinan dan menurut kebiasaan setelah waktu itu dilangsungkan akad perkawinan. Namun, peminangan itu bukanlah suatu perjanjian yang mengikat untuk dipatuhi. Laki-laki yang meminang atau perempuan yang dipinang dalam masa menjelang perkawinan dapat saja membatalkan

pinangan tersebut, meskipun dulunya ia menerimanya.15

Meskipun demikian, pemutusan peminangan mestinya dilakukan secara baik dan tidak menyakiti pihak manapun. Pemberian yang diberikan dalam acara peminangan tersebut tidak mempunyai kaitan apa-apa dengan mahar yang diberikan kemudian dalam perkawinan. Dengan demikian,

13 Ibn Rusyd, Bida@yatul Mujtahid wa Niha@yatul Muqtas}id, Juz 2, (Beirut: dar Ibn ‘Assasah, 2005),

3.

14 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam..., 930.

15 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqh Munakahat dan UU


(16)

pemberian tersebut dapat diambil kembali jika peminangan itu tidak

berlanjut dengan perkawinan. 16

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa pelamaran atau peminangan merupakan pola yang umum dilakukan dalam masyarakat. Maksudnya adalah pola yang dapat ditemui pada setiap masyarakat (hukum adat) yang ada di Indonesia ini. Cara yang dilakukan dalam melakukan pelamaran pada hakekatnya terdapat kesamaan, namun perbedaan-perbedaannya (kira-kira)

terdapat pada alat atau sarana pendukung dari proses melamar itu.17

Bila peminangan atau lamaran telah diterima dengan baik oleh pihak yang dilamar, maka mungkin tidak sekaligus mengakibatkan perkawinan, akan tetapi mungkin dilakukan pertunangan terlebih dahulu. Pertunangan baru akan mengikat kedua belah pihak pada saat diterimanya hadiah pertunangan yang merupakan alat pengikat atau benda yang kelihatan, yang kadang-kadang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan atau dari kedua belah pihak (Batak, Minangkabau, kebanyakan Suku Dayak,

beberapa suku Toraja dan Suku To Mori).18

Menurut hukum adat suatu perjanjian dapat terjadi antara pihak yang saling berjanji atau dikarenakan sifatnya dianggap ada perjanjian. Suatu perjanjian belum tentu akan terus mengikat para pihak walaupun telah disepakati. Supaya perjanjian yang disepakati dapat mengikat, harus ada tanda ikatan. Tetapi dengan adanya ikatan belum tentu suatu perjanjian itu

16 Ibid., 57.

17 Soerjono Soekanto, Hukum Adat, (jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. Ke-12, 2012), 223.


(17)

dapat dipenuhi. Tanda pengikat dari suatu perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dimana keduanya berkewajiban memenuhi perjanjian yang telah disepakati itu. Istilah yang dikenal dalam adat jawa sebagai tanda

jadi adalah Panjer khususnya dalam perjanjian kebendaan, walaupun

terkadang juga dipakai dalam hubungan perkawinan.19 Namun, secara umum

yang terkenal dalam istilah perjanjian dalam hubungan perkawinan adalah

Peningsetan.20

Peningset yang dalam tradisi Jawa biasanya diberikan dalam proses lamaran, dalam perkawinan adat suku Banggai di Desa Kombutokan Kecamatan Totikum Kabupaten Banggai Kepulauan, diberikan pada proses

Mansadai (melamar). Setelah mansadai selesai dilanjutkan dengan Pobisala Harta atau proses perembukan antara pihak laki-laki dan pihak perempuan

untuk menentukan besarnya pemberian harta (Pasai) yang harus diserahkan

pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Besarnya jumlah Pasai yang harus

diserahkan disesuaikan dengan kesepakatan kedua belah pihak. Biasanya strata sosial atau tingkat pendidikan wanita yang akan dilamar menjadi tolak

ukur untuk menentukan besarnya jumlah pasai. Pasai tersebut biasanya

berupa uang, hewan atau benda-benda tertentu yang akan digunakan untuk

keperluan perkawinan dan untuk kedua orang tua (uang tinano tamano).21

19 Hilman Hadikusuma, Hukum Perjanjian Adat, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1990), 92.

20 Berasal dari kata singset (Jawa) yang berarti ikat, peningsetan jadi pengikat; yaitu suatu upaya

penyerahan sesuatu sebagai pengikat dari orang tua pihak calon pengantin pria kepada calon pengantin wanita. Biasanya berupa kain batik, bahan kebaya, perhiasan emas dan uang.


(18)

Pasai yang telah di sepakati menjadi kewajiban pihak laki-laki untuk memenuhinya. Jika sampai waktu yang ditentukan berdasarkan kesepakatan

pasai tidak dapat dibayarkan, maka perkawinan juga menjadi terhambat

dilaksanakan. Artinya ketika pasai tidak dapat dipenuhi, maka hal tersebut

menjadi penghambat untuk melangsungkan akad nikah. Ketika perkawinan

dilaksanakan sebelum memenuhi pasai yang telah diperjanjikan berdampak

pada ketidakharmonisan rumah tangga mereka karena pasai yang belum

dipenuhi tersebut tetap akan dituntut oleh pihak keluarga perempuan untuk membayar lunas.

Penelitian ini dilakukan untuk memperjelas kedudukan tradisi pasai

dalam adat perkawinan suku Banggai di Desa Kombutokan dalam hukum perkawinan Islam. Berangkat dari hal tersebut, maka penyusun tertarik untuk menelitinya sehingga dirumuskan dalam sebuah judul penelitian

skripsi yang berbunyi: Analisis Hukum Islam Terhadap Tradisi “Pasai”

dalam Perkawinan Adat Suku Banggai (studi Kasus Di Desa Kombutokan Kecamatan Totikum Kabupaten Banggai Kepulauan Sulawesi Tengah).

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Sesuai dengan latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas, kiranya dapat diidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Tradisi perkawinan adat suku Banggai

2. Konsep Tradisi pasai pada masyarakat suku Banggai di Desa


(19)

3. Dasar dilakukannya tradisi pasai

4. Faktor penyebab tradisi pasai dapat menghambat terjadinya akad nikah

pada suku Banggai di Desa Kobutokan Kecamatan Totikum Kabupaten Banggai Kepulauan

5. Ketentuan peminangan dalam fiqh

6. Analisis hukum islam terhadap tradisi pasai dalam perkawinan adat suku

Banggai

7. Analisis Hukum Islam terhadap tradisi pasai dalam perkawinan adat

suku Banggai di Desa Kombutokan

Berdasarkan indetifikasi masalah yang telah dilakukan, maka penelitian ini hanya terfokus meneliti masalah sebagai berikut:

1. Deskripsi tradisi Pasai dalam perkawinan adat Suku Banggai

2. Analisis hukum islam terhadap tradisi Pasai dalam perkawinan adat

Suku Banggai di desa Kombutokan

C. Rumusan Masalah

Berpijak dari judul penelitian, latar belakang dan batasan masalah diatas, maka penulis merumuskan masalah pokok dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaiman deskripsi tradisi “Pasai” dalam perkawinan adat Suku

Banggai di Desa Kombutokan kecamatan Totikum Kabupaten Banggai Kepulauan Sulawesi Tengah?


(20)

2. Bagaimana analisis Hukum Islam terhadap tradisi “Pasai” dalam

perkawinan adat Suku Banggai di Desa Kombutokan Kecamatan Totikum Kabupaten Banggai Kepulauan Sulawesi Tengah?

D. Kajian Pustaka

Setelah penulis melakukan penelitian, belum ditemukan penlitian

yang secara khusus membahas tentang tradisi Pasai, namun beberapa skripsi

yang memiliki kesamaan dengan pembahasan skripsi akan penulis angat tersebut antara lain :

1. Skripsi yang ditulis oleh Nur Wahid Yasin tentang “Tinjauan Hukum

Islam terhadap Sanksi Pembatalan Peminangan (Study kasus di Desa Ngreco, Kecamatan Weru, Kabupaten Sukoharjo). Berdasarkan hasil penelitian tersebut terjawab bahwa masyarakat desa ngreco sebagai bagian dari masyarakat jawa dalam memenerapkan sanksi pembatalan pertunangan dimaksudkan untuk mengutan perjanjian pertunangan sebelum menikah dengan harapan tidak akan terjadi pembatalan peminangan yang dapat menyebabkan permusuhan yang akan

mengancam keselamatan jiwa, harta, dan akal. Dengan teori Sad

az-Zari’ah penyusun menyimpulkan bahwa sanksi pembatalan peminangan dengan tujuan sebagaimana yang disebutkan diatas diperbolehkan

menurut hukum Islam.22

22 Nur Wahid Yasin, Tinjauan Hukum Islam Terhadap sanksi Pembatalan Pertunangan (Studi

kasus di Desa ngreco), Kecamatan Weru, kabupaten Sukoharjo), Skripsi Jurusan Akhwal al-Syaksiyah Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2010.


(21)

2. Skripsi yang ditulis oleh Siti Nurhayati tentang “Ganti Rugi pembatalan

Khitbah dalam tinjauan Sosiologis (Studi Masyarakat Pulung Rejo, Kecamatan Rimbo Ilir, Jambi)”. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa gantu rugi pembatalan khitbah dimaksudkan untuk menjegah adanya kegagalan pernikahan dan mencegah agar tidak terjadi konflik

dalam hubungan kemasyarakatan.23

3. Skripsi yang ditulis oleh Edi Daru Wibowo tentang “Tinjauan Hukum

Islam terhadap Denda Pembatalan Khitbah (Studi kasus di Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan)”. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan jawaban bahwa pengenaan denda terhadap pihak yang membatalkan

khitbah disebut Bunderan. Lembaga bunderan berisi penetapan jumlah

denda dan penentuan waktu pelaksanaan akad nikah sesuai kesepakatan. Menurut hukum Islam, lembaga buderan merupakan bagian dari ‘urf

yang diperbolehkan.24

4. Skripsi yang ditulis oleh Ahmad Safi’i tentang “Tinjauan Hukum Islam

terhadap praktik pemberian uang antaran dalam pinangan di Desa Silo Baru kecamatan Air Joman kabupaten Asahan Sumatera utara”. Adapun hasil dari penelitian yang dilakukan oleh penulis ditemukan bahwa praktek pemberian uang antaran tersebut dkategorikan dalam 2 macam, yaitu yang bermaksud meringankan biaya pelaksanaan perkawinan dan

23 Siti Nurhayati, Ganti Rugi pembatalan Khitbah dalam tinjauan Sosiologis (Studi Masyarakat

Pulung Rejo, Kecamatan Rimbo Ilir, Jambi, Skripsi pada Kosentrasi Perbandingan Hukum Pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2011.

24 Edi Daru Wibowo, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Denda Pembatalan Khitbah (Studi Kasus

di Kecamatan Donorojo Kabupaten pacitan), Skripsi Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyah Fakultas Syari’ah, Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, 2002.


(22)

ini sejalan dengan hukum Islam. Yang kedua adalah uang antaran yang semata-mata hanya untuk meningkatkan gengsi atau prestise tidak dibenarkan dalam hukum Islam karena bertentangan dengan dalil-dalil Syar’i.25

Adapun penelitian yang penulis lakukan lebih kepada deskripsi secara detail tentang tradisi pasai dalam perkawinan adat suku Banggai di desa Kombutokan, serta kesesuaian tradisi tersebut jika dilihat dari kacamata hukum Islam.

Jadi, skripsi yang penulis susun dengan judul Analisis Hukum

Islam Terhadap Tradisi Pasai dalam Perkawinan Adat Suku Banggai (Studi Kasus di Desa Kombutokan Kecamatan Totikum Kabupaten Banggai Kepulauan Sulawesi Tengah) adalah penelitian yang baru dan belum pernah dipublikasikan sebelumnya.

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menjelaskan deskripsi tradisi Pasai dalam perkawinan adat Suku

Banggai di Desa Kombutoakan Kecamatan Totikum Kabupaten Banggai Kepulauan Sulawesi Tengah.

25 Ahmad Syafi’i, Tinjauan Hukum Islam terhadap praktik pemberian uang antaran dalam

pinangan di Desa Silo Baru kecamatan Air Joman kabupaten Asahan Sumatera utara, Skripsi pada Fakultas Syariah, Universitas Islam negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009.


(23)

2. Menjelaskan analisis Hukum Islam terhadap tradisi Pasai dalam

perkawinan adat Suku Banggai di Desa Kombutokan Kecamatan Totikum Kabupaten Banggai Kepulauan Sulawesi Tengah.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sekurang-kurangnya untuk dua hal dibawah ini :

1. Kegunaan Teoritis; Menambah khazanah literatur pengetahuan ilmiah keislaman khususnya di bidang ilmu Hukum Islam.

2. Kegunaan Praktis; Memberikan sumbangan atau kontribusi ilmu pengetahuan terhadap praktik pemberian harta yang dilakukan sebelum akad nikah dalam tradisi masyarakat adat, khususnya bagi penulis dan pada umumnya bagi masyarakat muslim di wilayah Desa Kombutokan, Kecamatan Totikum, Kabupaten banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah.

G. Definisi Operasional

Agar terhindar dari kesalah fahaman dalam menginterpretasikan arti dan maksud dari judul ini, maka perlu ditegaskan beberapa istilah yang terdapat didalamnya, yaitu :

1. Hukum Islam: merupakan seperangkat aturan yang didasarkan pada


(24)

yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua orang yang beragama Islam.26

Adapun hukum Islam yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah hukum perkawinan yang terdapat dalam al-Qur’an, as-Sunnah dan hukum perkawinan yang dirumuskan dalam aturan-aturan yang terhimpun dalam fiqh serta hukum Islam lain yang berkaitan dengan masalah penelitian.

2. Pasai : pemberian wajib berupa uang, benda, atau hewan tertentu sebagai harta dalam perkawinan, dilakukan berdasarkan perjanjian tertentu yang diberikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan setelah melamar sebagai syarat dapat melangsungkan akad perkawinan.

3. Suku Banggai: merupakan suku asli yang mendiami kepulauan Banggai

di kabupaten Banggai Kepulauan dan kabupaten Banggai di provinsi Sulawesi Tengah. Suku Banggai terdiri dari dua kelompok, yaitu suku Banggai Kepulauan yang berada di kabupaten Banggai Kepulauan provinsi Sulawesi Tengah, dan suku Sea-sea (atau suku Banggai Pegunungan) yang berada di daerah pegunungan di kabupaten Banggai provinsi Sulawesi Tengah. Adapun yang menjadi subjek penelitian ini adalah Suku Banggai yang berada di Desa Kombutokan Kecamatan Totikum Kabupaten Banggai Kepulauan Sulawesi Tengah.

H. Metode Penelitian

26 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid I, (jakarta: kencana Prenada media Group, Cet. Ke-4,


(25)

Agar penelitian berjalan baik dan lancar serta memperoleh data yang dapat dipertanggungjawabkan, maka penelitian ini perlu menggunakan metode tertentu. Adapun metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian lapangan (field

Research). penelitian ini dilakukan dengan mengambil sumber data dari adat perkawinan di Desa Kombutokan, Kecamatan Totikum, Kabupaten

Banggai Kepulauan tentang adanya tradisi Pemberian sai dalam

perkawinan serta akibat hukum yang ditimbulkan jika pasai tersebut

tidak diberikan sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan.

Penelitian ini juga menggunakan pendekatan normatif historis. Pendekatan normatif maksudnya pembahasan dalam penelitian ini secara normatif didasarkan pada teori dan konsep hukum Islam. Adapun secara historis artinya penelitian ini akan menelusuri bagaimana

historisitas tradisi Pasai di Suku Banggai.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah Desa Kombutokan, Kecamatan Totikum, Kabupaten Banggai Kepulauan, Provinsi Sulawesi Tengah.

3. Data yang Dikumpulkan

Sesuai dengan permasalahan diatas, maka data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah :


(26)

a. Proses pelaksanaan Pasai dalam perkawinan adat Suku Banggai di

Desa Kombutokan, Kecamatan Totikum, Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah

b. Faktor yang melatarbelakangi praktek pemberian sai dapat

mencegah terjadinya akad nikah dalam perkawinan adat suku Banggai.

c. Data tentang Analisis Hukum Islam terhadap penyebab tradisi

Pasai dapat menghambat terjadinya akad perkawinan dalam perkawinan adat suku Banggai di Desa Kombutokan Kecamatan Totikum Kabupaten Banggai Kepulauan Sulawesi Tengah.

4. Sumber Data

Yang dimaksud sumber data dalam penelitian adalah dari mana

data dapat diperoleh.27 Berdasarkan data yang akan dihimpun diatas,

sumber data dalam penelitian ini adalah :

a. Sumber Data Primer

Sumber data ini diperoleh langsung dari subjek penelitian. Data ini didapatkan langsung dari lapangan. Adapun yang menjadi subjek dari penelitian ini adalah pelaku perkawinan, pemuka-pemuka adat, tokoh agama, pejabat pemerintahan, dan masyarakat

lain yang faham tentang tradisi Pasai dalam perkawinan adat Suku


(27)

Banggai Di Desa Kombutokan, Kecamatan Totikum, Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah serta dokumentasi langsung yang penulis dapatkan dari subjek penelitian.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah sumber data yang diperoleh dari pihak lain. Peneliti tidak memperoleh langsung dari subjek penelitiannya. Data sekunder bisa berwujud data dokumentasi,

laporan, ataupun buku-buku yang sudah tersedia.28

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya :

1) Bida@yatul Mujtahid wa Niha@yatul Muqtas}id karya Ibnu ar-Rusyd

2) Ensiklopedi Hukum Islam yang dikeluarkan oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

3) Al-Fiqh al-Isla@m wa Adillatuhu karya Wahbah az-Zuh}ailiy

4) Fiqh Sunnah Juz 2 karya Sayyid Sabiq

5) Fiqh al-Munakahat karya Abdul Azi@z Muh{ammad Azzam

dan Abdul Wahhab Sayyid Hawwas

6) Hukum perkawinan Adat dengan adat Istiadat dan Upacara Adatnya karya Hilman Hadikusuma dan buku-buku lain yang berhubungan dengan adat perkawinan Suku Banggai.


(28)

7) Kode Etik Melamar Calon Istri Bagaimana Proses Meminang Secara Islami karya Syaikh Nada@ Abu@ Ah}mad

8) Memahami Hukum Adat karya Sri Warjiati

5. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan berdasarkan sumber data diatas, maka penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :

a. Wawacara (Interview)

Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seseorang lainnya dengan mengajukan beberapa

pertanyaan-pertanyaan berdasarkan tujuan tertentu.29 Dalam wawancara ini

peneliti terlebih dahulu mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan melalui pedoman wawancara yang mempunyai

keterkaitan dengan Tradisi Pasai Dalam Perkawinan Adat Suku

Banggai Di Desa Kombutokan Kecamatan Totikum Kabupaten Banggai Kepulauan Sulawesi Tengah”. Untuk mendapatkan data, penyusun melakukan wawancara dengan Yati, Karyono, Ikawati, Mulki (pelaku perkawinan), Djuin Koloit (pemuka adat), Rianto Abd. Samad (tokoh agama), Harman Talib, Sirwanto Djafar, Parta

29 Deddy mulyana, Metodologi Penelitian kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet. IV,


(29)

Djael (pejabat pemerintahan), dan Hj. Halimah Lasibani (tokoh perempuan).

b. Observasi

Sebagai metode ilmiah, observasi adalah sebuah pengamatan dan pencatatan yang sistematis atas fenomena-fenomena yang diteliti. Penelitian melakukan oservasi langsung kedaerah subjek penelitian. disini penulis mengamati fakta yang ada dilapangan khususnya

fakta tentang tradisi Pasai dalam adat perkawinan suku banggai di

Desa Kombutokan.

c. Dokumentasi

Dokumentasi adalah pengumpulan bahan-bahan dan data-data penelitian berupa dokumen. Data tersebut diperoleh dari buku profil desa kombutokan pada tahun 2013 yang isi berupa letak geografis maupun kondisi ekonomi, sosial, budaya masyarakat Suku Banggai di Desa Kombutokan Kecamatan Totikum Kabupaten Banggai Kepulauan Sulawesi Tengah.

6. Teknik Pengolahan Data

Setelah semua data yang diperlukan terkumpulkan, maka penulis menggunakan teknik berikut ini untuk mengolah data:

a. Editing, yaitu kegiatan memeriksa atau meneliti data yang telah diperoleh untuk menjamin apakah data tersebut dapat


(30)

dipertanggungjawabkan kebenarannya atau tidak.30 Penulis

memeriksa data-data berupa dokumentasi yang berasal pemerintahan desa Kombutokan serta hasil wawancara dari para subjek penelitian kemudian memilah data yang dapat digunakan untuk mendukung pembahasan.

b. Organizing yaitu mengatur dan menyusun bagian (orang dan sebagainya) sehingga seluruhnya menjadi suatu kesatuan yang

teratur.31 Setelah data diteliti kemudian penulis menyusun bahan

dalam bagian-bagian yang sistematis, dimana bahan

dikategorisasikan secara teratur sehingga menjadi data yang siap digunakan untuk keperluan penelitian.

7. Teknik Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan dan diolah kemudian dianalisis. Data yang diperoleh dalam suatu penelitian tidak akan ada artinya jika tidak melalui tahap analisis, karena analisis merupakan bagian yang amat penting dalam penelitian. data yang telah dikumpulkan dapat diberi arti dan makna yang berguna untuk memecahkan masalah

penelitian melalui analisis.32 Penelitian ini termasuk dalam penelitian

deskriptif karena bertujuan menyajikan data seteliti mungkin tentang manusia atau gejala lainnya.

30 M. Syamsudin, Operasionalisasi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007),

121.

31 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 803.


(31)

Adapun teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Hal tersebut dikarenakan teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan pada data yang tidak bisa

dihitung, bersifat monografis, atau berupa kasus-kasus.33 Pola berfikir

yang digunakan untuk mendeskripsikan data yang telah terhimpun adalah pola fikir deduktif yang merupakan proses logika yang bermula dari yang bersifat umum kemudian ditarik kesimpulan menjadi pengetahuan yang sifatnya khusus.

I. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah pembahasan dan pemahaman dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi masing-masing pembahasan menjadi 5 (lima) bab dan tiap bab akan diuraikan menjadi sub-sub bab. Secara garis besar, penjelasannya adalah sebagai berikut :

Bab pertama : merupakan pendahuluan yang memuat latar

belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, definisi operasional, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab kedua : memuat tentang landasan teori yang meliputi

tinjauan umum tentang peminangan dalam Islam yang meliputi pengertian dan hukum peminangan, syarat-syarat peminangan, tujuan dan hikmah


(32)

peminangan, pembatalan peminangan serta ‘urf yang berlaku dalam konsep

hukum Islam.

Bab ketiga : menjelaskan hasil temuan dilapangan yang meliputi

tradisi pasai dalam adat perkawinan suku Banggai di Desa Kombutokan,

kecamatan Totikum, Kabupaten Banggai kepulauan Sulawesi tengah. Pembahasan ini terdiri dari kodisi dan latar belakang daerah penelitian, keadaan sosial budaya dan keagamaan masyarakat setempat, kemudian

pembahasan dilanjutkan dengan deskripsi ketentuan tradisi pasai dalam adat

perkawinan Suku Banggai serta faktor yang menyebabkan tradisi tersebut dapat menghabat terjadinya proses akad nikah di daerah tersebut.

Bab keempat : merupakan analisis dari hasil penelitian yang penulis lakukan dengan menjawab rumusan masalah tentang deskripsi tradisi

Pasai serta analisis Hukum Islam terhadap tradisi Pasai tersebut dalam perkawinan adat suku Banggai di Desa Kombutokan Kecamatan Totikum Kabupaten Banggai Kepulauan Sulawesi Tengah.

Bab kelima :merupakan bagian penutup yang berisi kesimpulan dan

saran. Kesimpulan berfungsi menjawab rumusan masalah, sementara saran tidak boleh keluar dari pokok permasalahan yang telah dibahas.


(33)

BAB II

PEMINANGAN DALAM HUKUM ISLAM

A. Pengertian Peminangan

Peminangan berasal dari kata pinang dengan kata kerja meminang. Sinonim meminang adalah melamar yang dalam bahasa Arab disebut

dengan Khit}bah. Secara etimologi meminang dapat diartikan meminta

wanita untuk dijadikan istri, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.1

Ensiklopedi Hukum Islam menyebutkan bahwa khit}bah adalah pernyataan

keinginan pihak laki-laki kepada pihak wanita tertentu untuk

mengawininya dan pihak wanita menyebarluaskan berita pertunangan ini.2

Poerwadarminta menyatakan bahwa meminang berarti meminta anak gadis supaya menjadi istrinya, pinangan permintaan hendak memperistri, sedangkan orang yang meminang disebut peminang. Adapaun peminangan

adalah perbuatan meminang.3

Sayyid Sabiq menerangkan bahwa khit}bah adalah upaya untuk

menuju perkawinan dengan cara-cara yang umum berlaku di masyarakat.

Khit}bah merupakan pendahuluan dari perkawinan dan Allah telah mensyari’atkan kepada pasangan yang akan menikah untuk saling

1 Pusat bahasa Departemen Pendidikan Nasioanal, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai

Pustaka, Edisi ke-3, Cet. Ke-3, 2005), 875.

2 Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, Volume 3, (Jakarta: Ictisar Baru Van

Hoeve, Cet. Ke-7, 2006), 928.


(34)

mengenal.4 Menurut Imam Asy-Syarbiniy, khit}bah adalah permintaan

seorang laki-laki kepada seorang wanita untuk menikah dengannya.5

Pengertian lain juga dikemukakan oleh Wahbah az-Zuh}ailiy, bahwa

khit}bah adalah pernyataan keinginan dari seorang lelaki untuk menikah dengan wanita tertentu, lalu pihak wanita memberitahukan hal tersebut pada walinya. Pernyataan ini bisa disampaikan secara langsung atau

melalui keluarga lelaki tersebut. Apabila wanita yang di khit}bah atau

keluarganya sepakat, maka sang lelaki dan dan wanita yang dipinang telah

terikat dan implikasi hukum dari adanya khit}bah berlaku diantara mereka.6

Khit}bah merupakan pendahuluan perkawinan, disyari’atkan sebelum adanya ikatan suami istri dengan tujuan agar ketika perkawinan dilaksanakan berdasarkan pada penelitian dan pengetahuan serta kesadaran

masing-masing pihak.7 Slamet Abidin dan Aminuddin juga menyebutkan

bahwa yang dimaksud dengan peminangan adalah permintaan dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan untuk dijadikan calon istrinya menurut

ketentuan atau kebiasaan yang sudah ditentukan didaerahnya.8

Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli fiqh

diatas, dapat disimpulkan bahwa khit}bah merupakan proses awal yang

4 Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Juz 2, (beirut: Dar al-Fikr, cet. Ke-1, 2006), 462.

5 Asy-Syarbiniy, Syamsuddin Muhammad Ibnu al-Khatib, Mugni al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’aniy

Alfazil Minhaj, Juz 3, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1997), 183.

6 Wahbah az-Zuhailiy, al-Fiqhul Islam wa Adillatuhu, juz 9, (Damaskus: Dar al-Fikri, cet. Ke-4,

1997), 6492.

7 Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet. Ke-3,

2010, 74.

8 Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat, Jilid I, Cet. I, (Bandung: CV. Pustaka Setia,


(35)

harus dilakukan oleh masing-masing pihak (laki-laki maupun perempuan) untuk menyampaikan keinginan menikah berdasarkan tata cara yang berlaku secara umum dengan penuh kesadaran sebelum terjadi perkawinan. Hal tersebut dilakukan dengan harapan mereka dapat saling menyesuaikan karakter dan bertoleransi ketika telah terikat dalam perkawinan, sehingga

tujuan mulia perkawinan untuk membentuk keluarga yang saki@nah,

mawaddah, wa rah}mah dapat tercapai.

B. Hukum Peminangan

Permasalahan khit}bah disinggung bersamaan dengan iddah wanita

yang ditinggal mati oleh suaminya. Dalam hal ini seorang wanita yang sedang dalam masa iddah wafat maupun iddah talak diharamkan untuk

melakukan akad pernikahan.9 Lalu, bagaimanakah jika wanita yang sedang

dalam masa Iddah menerima pinangan. Dari sinilah kemudian muncul pembahasan mengenai hukum peminangan.

Ali al-s}a@bu@niy mencoba menjelaskan hukum khit}bah dalam Tafsi@r

Ayat al-Ahka@mnya dengan membagi kedalam 3 bagian: Pertama, hukum

wanita yang boleh di khit}bah yaitu wanita yang tidak sedang terikat dalam

perkawinan dengan pengecualian tidak dikhitbah orang lain. Kedua, hukum

wanita yang tidak boleh di khit}bah; yaitu wanita yang sedang dalam ikatan

perkawinan. Ketiga, hukum wanita yang boleh di khit}bah; yaitu wanita yang

sedang dalam masa iddah.

9 Muhammad Ali al-Sa@bu@niy, Rawa@i’ al-Baya@n at-Tafsi@r a@ya@t al-Ahka@m min al-Qur’an, cet.ke-I,


(36)

Penjelasan diatas mencoba menegaskan bahwa apa yang disinggung oleh al-Qur’an lebih mengarah kepada syarat-syarat wanita yang boleh atau tidak boleh dipinang, bukan pada hukum peminangan itu sendiri.

Meskipun peminangan atau khit}bah banyak disinggung dalam

al-Qur’an maupun hadits Rasulullah SAW, akan tetapi tidak ditemukan secara

jelas perintah ataupun larangan untuk melakukan khit}bah. Oleh karenanya

tidak ada ulama yang menghukumi khitbah sebagai sesuatu yang wajib.10

Dengan demikian, hukumnya dikembalikan pada kaidah fiqh “As}lu fi

al-Asy’ya@i al-Iba@hah, hatta@ Yadulla al-Dali@lu ‘ala al-Tahri@m” dalam arti

hukumnya mubah.11

Ibnu Rusyd mengatakan bahwa menurut mayoritas ulama’, khit}bah

sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW bukanlah suatu

kewajiban.12 Namun Imam ad-Dawud ad-Dzahiri berpendapat lain. Beliau

mengatakan bahwa hukum khit}bah adalah wajib.13 Adapun alasan terjadinya

perbedaan pendapat tentang hukum khit}bah ini disebabkan pada perbedaan

pandangan terhadap perbuatan Nabi SAW tentang khit}bah yang

mengandung dua kemungkinan, apakah berindikasi wajib atau sunat.14

Syaikh Nada@ Abu@ Ahmad mengatakan bahwa pendapat yang dipercaya oleh para pengikut Syafi’i yaitu pendapat yang mengatakan bahwa hukum

10 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, 38.

11 Jalaludin Abd Rahman al-Suyuti@y, al-Syba@h wa al-naz}a@ir; fi al-Furu@’, (Surabaya: Haramain,

2008), 44.

12 Ibnu Rusyd, Bida@yatul Mujtahid wa Niha@yatul Muqtas}id, Juz 2, (Beirut: Dar ibn ‘Assasah,

2005), 3.

13 Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad ibn Qudamah, al-Mughniy, (Riyadl: Da@rul

‘A@lam al-Kutub, cet.ke-III, Juz IX,1997),446.


(37)

khitbah adalah Sunnah, sesuai perbuatan dan Nabi Saw ketika meminang Aisyah bin Abu Bakar. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa hukum khitbah sama dengan hukum pernikahan, yaitu wajib, sunnah, makruh haram

dan mubah.15

Meminang dihukumi sunnah apabila pria yang akan meminang termasuk pria yang sunnah untuk menikah, makruh apabila pria yang akan meminang makruh untuk menikah, dikarenakan hukum sarana mengikuti

hukum tujuan. Khit}bah dihukumi haram apabila meminang wanita yang

sudah menikah, meminang wanita yang ditalak raj’i@ sebelum habis masa

iddahnya, dan peminangan yang dilakukan oleh lelaki yang telah memiliki

empat istri. Khit}bah menjadi wajib bagi orang yang khawatir dirinya

terjerumus dalam perzinahan jika tidak segera meminang dan menikah.

Sedangkan khit}bah dihukumi mubah jika wanita yang dipinang kosong dari

pernikahan serta tidak ada halangan hukum untuk melamar.16

C. Syarat-Syarat Peminangan 1. Syarat Mustah}sinah

Syarat mustah}sinah adalah syarat yang merupakan anjuran pada

laki-laki yang hendak meminang agar meneliti wanita yang akan

dipinangnya sebelum melangsungkan peminangan. Syarat mustah}sinah

tidak wajib untuk dipenuhi, hanya bersifat anjuran dan baik untuk

15 Nada@ Abu@ Ahmad, Kode Etik melamar Calon Istri, Bagaimana Proses Meminang Secara Islami,

Ter. Nila Nur Fajariyah, al-Khit}bah Ah}ka@m wa Ada@b, (Solo: Kiswah media, 2010), 15.


(38)

dilaksanakan, sehingga tanpa adanya syarat ini peminangan tetap sah.17

Diantara syarat-syarat tersebut adalah:

a) Wanita yang dipinang hendaknya sekufu atau sejajar dengan

laki-laki yang meminang. Misalnya tingkat keilmuannya, status sosial, dan kekayaann.

b) Meminang wanita yang memiliki sifat kasih sayang dan peranak

c) Meminang wanita yang jauh hubungan kekerabatannya dengan

lelaki yang meminang. Dalam hal ini sayyidina Umar bin Khattab mengatakan bahwa perkawinan antara seorang lelaki dan wanita yang dekat hubungan darahnya akan melemahkan jasmani dan rohani keturunannya.

d) Mengetahui keadaan jasmani, akhlak, dan keadaan-keadaan lainnya

yang dimiliki oleh wanita yang akan dipinang.18

2. Syarat Lazi@mah

Syarat lazi@mah adalah syarat yang wajib dipenuhi sebelum

peminangan dilakukan. Sah tidaknya pemingan tergantung pada syarat-syarat lazi@mah.19 Syarat-syarat tersebut antara lain:

a) Tidak berada dalam ikatan perkawinan sekalipun telah lama

ditinggalkan oleh suaminya.20

b) Tidak diharamkan untuk menikah secara syara’. Baik keharaman itu

disebabkan oleh mahram mu’abbad, seperti saudara kandung dan

17 Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, 28.

18 Ibid, 28-30

19 Ibid, 30.


(39)

bibi, maupun mahram mu’aqqt (mahram sementara) seperti saudar ipar. Adapun penjelasan tentang wanita-wanita yang haram dinikahi

terdapat dalam firman Allah SWT Surat an-Nisa@’ ayat 22-23.

c) Tidak sedang dalam masa iddah. Ulama sepakat atas keharaman

meminang atau berjanji untuk menikah secara jelas (S}ari@h) kepada

wanita yang sedang dalam masa iddah, baik iddah karena kematian

suami maupun iddah karena terjadi t}ala@q raj’iy maupun ba@’in. Allah

Swt berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 235:

                               

Artnya: Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf (Baik). 21

Adapun meminang wanita yang sedang dalam masa iddah secara sindiran maka ketentuannya adalah sebagai berikut:

1) Iddah wanita karena suaminya wafat. Dalam hal ini ulama

sepakat bahwa boleh melakukan pinangan secara kina@yah

(sindiran) karena hak suami sudah tidak ada.


(40)

2) Tidak dalam tala@q raj’iy. Ulama sepakat bahwa haram

meminang wanita yang dalam masa iddah karena ta@laq raj’iy

karena suami wanita tersebut masih memiliki hak atas dirinya.

3) Pendapat ulama mengenai hukum wanita yang sedang dalam

t}ala@q ba@’in sugra@ mapun qubra@ terbagi dua, yaitu: pertama, ulama hanafiyah mengharamkan pinangan pada wanita yang

sedang dalam t}ala@q ba@’in sugra@ karena suami masih punya hak

untuk kembali kepada istri dengan akad yang baru. Sedangkan

dalam t}ala@q ba@’in qubra@, keharamannya disebabkan karena

kekhawatiran dapat membuat wanita itu berbohong tentang batas akhir iddahnya, dan bisa jadi lelaki yang meminang wanita tersebut merupakan penyebab dari kerusakan perkawinan yang

sebelumnya. Kedua, jumhur ulama berpendapat bahwa khit}bah

wanita yang sedang dalam masa iddah t}ala@q ba@’in

diperbolehkan, berdasarkan keumuman dari surah al-baqarah

ayat 235 dan bahwa sebab adanya t}ala@q ba@’in, suami tidak lagi

berkuasa atas istri karena perkawinan diantara mereka telah

putus. Dengan demikian, khit}bah secara sindiran ini tidak

mengindikasikan adanya pelanggaran atas hak suami yang

mentalak.22

d) Tidak dalam pinangan orang lain. Hukum meminang pinangan

orang lain adalah haram, karena menyakiti hati dan menghalangi


(41)

hak peminang pertama, memecah belah hubungan kekeluargaan, dan mengganggu ketenteraman.

Meminang wanita yang telah dipinang orang lain dihukumi haram apabila perempuan tersebut telah menerima pinangan yang pertama dan walinya jelas-jelas telah mengizinkannya. Peminangan tetap

diperbolehkan apabila: pertama, wanita atau walinya menolak

pinangan pertama secara terang-terangan maupun sindiran. Kedua,

laki-laki kedua tidak tahu bahwa wanita tersebut telah dipinang

oleh orang lain. Ketiga, peminangan pertama masih dalam tahap

musyawarah. Keempat, lelaki pertama membolehkan lelai kedua

membolehkan lelaki kedua uantuk meminang wanita tersebut.23

Jika seorang wanita menerima pinangan lelaki kedua dan menikah dengannya setelah ia menerima pinangan pertama, maka ulama berbeda pendapat, yaitu: Pertama, menurut mayoritas ulama, pernikahannya tetap sah, karena meminang bukan syarat sah perkawinan. Oleh karena itu, pernikahannya tidak boleh difasakh

sekalipun mereka telah melanggar ketentuan khit}bah. Kedua, Imam

Abu Dawud berpendapat bahwa pernikahan dengan peminang harus

dibatalkan baik sesudah maupun sebelum melakukan

persetubuhan.24 Ketiga, pendapat ini berasal dari kalangan

malikiyah yang menyatakan bahwa bila dalam perkawinan itu telah

23 H. M. A. Tihami dan Sohai Sahrani, Fiqh Munakahat Kajian Fiqh Nikah lengkap, (Jakarta:

Raja Grafindo Persada, cet. Ke-1, 2009), 27-29.


(42)

terjadi persetubuhan, maka perkawinan tersebut tidak dibatalkan, sedangkan apabila dalam perkawinan tersebut belum terjadi persetubuhan, maka persetubuhan, maka perkawinan tersebut harus dibatalkan.

Perbedaan pendapat diantara ulama tersebut diatas disebabkan karena perbedaan dalam menanggapi pengaruh pelarangan terhadap batalnya sesuatu yang dilarang. Pendapat yang mengatakan bahwa perkawinannya sah beranggapan bahwa larangan tidak menyebabkan batalnya apa yang dilarang, sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa perkawinan tidak sah dan harus dibatalkan beranggapan bahwa larangan menyebabkan batalnya sesuatu yang dilarang.25

D. Tata Cara Peminangan

Sebagaimana telah diuraikan pada sub bab sebelumnya, peminangan buksanlah akad pernikahan, melainkan pendahuluan akad. Oleh sebab itu, peminangan dilakukan sebelum dilangsungkannya upacara atau resepsi pernikahan. Dalam prakteknya, tidak ada aturan khusus yang mengatur tentang hal tersebut. Akan tetapi, ada beberapa hal yang biasanya dilakukan, diantaranya :

1. Menyampaikan Pinangan


(43)

Ada beragam cara menyampaikan pinangan di dalam masyarakat. Secara umum pelaksanaannya adalah sebagai berikut:

a) Laki-laki meminang perempuan melalui orang tua atau walinya

Cara ini adalah cara yang paling konvensional dan paling banyak dikenal oleh masyarakat. Lelaki meminang perempuan lajang melalui wali perempuan tersebut. Dalam islam, perempuan yang masih gadis apabila menikah harus atas persetujuan walinya. Seorang laki-laki tidak cukup hanya menyampaikan pinangan kepada perempuan yang hendak dipinang, sebab kalaupun perempuan tersebut menerima pinangan, masih ada pihak lain yang

ikut menentukan yaitu walinya.26

Selain itu, orang tua, wali atau pihak keluarga dari laki-laki juga dapat melamar melalui keluarga perempuan yang hendak dijadikan istri. Hal seperti ini juga dibenarkan dalam Islam, cara ini pernah dilakukan Rasulullah SAW ketika meminang Aisyah melalui

sahabatnya Abu Bakar r.a.27

b) Meminang yang dilakukan oleh utusan

Meminang melalui utusan atau perantara untuk mengahadapi keluarga perempuan atau menghadapi langsung perempuan yang hendak dijadikan istri adalah dibenarkan dalam Islam karena

26 Cahyadi Takariawan, Izinkan Aku meminangmu, (Solo: PT. Eradicitra Intermidia, 2009), 49.


(44)

Rasulullah sendiri pernah meminang Ummu Salamah dengan cara tersebut.28

c) Meminang dengan sindiran dimasa Iddah

Perempuan yang berada dalam masa iddah haram dinikahi sampai masa Iddahnya selesai. Akan tetapi hukum agama tidak melarang

adanya khit}bah yang dilakukan laki-laki kepada perempuan yang

sedang menjalani iddah. Seorang laki-laki bisa melakukan peminangan dengan sendiran kepada perempuan yang sedang dalam masa iddah tersebut.

2. Ucapan dalam Peminangan

Selanjutnya, tata cara menyampaikan ucapan pinangan dapat

dilakukan dengan dua cara, yaitu: Pertama ; menyampaikan peminangan

dengan kata S}arih} atau ucapan yang jelas dalam arti ucapan tersebut

bertujuan untuk meminang tidak untuk makna yang lain, seperti ucapan

“Saya berkeinginan untuk meminang dan mengawininya.” Kedua ;

menyampaikan peminangan dengan cara kina@yah atau ucapan yang

berbentuk sindiran dengan arti ucapan tersebut masih mencakup pada makna selain peminangan seperti ucapan “tidak ada orang yang tidak

senang kepadamu”.29

28 Ibid, 53.

29 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat dan UU


(45)

3. Melihat Wanita yang dipinang

Melihat wanita yang dianjurkan oleh agama. Tujuan dari anjuran tersebut adalah agar mengetahui keadaan wanita yang dipinang dan tidak menjadi sebab bagin si peminang untuk menceraikan istrinya setelah akad nikah. Selain itu, Tujuan melihat pinangan adalah untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya dari calon istri, sehingga suatu perkawinan selayaknya bisa dilaksanakan jika masing-masing pihak telah saling menyukai satu sama lain.

Jumhur ulama’ berpendapat bahwa bagian badan yang boleh dilihat yaitu wajah dan telapak tangan. Dengan melihat wajahnya dapat diketahui cantik/jeleknya dan dengan melihat telapak tangan dapat diketahui badannya subur atau tidak. Sedangkan Imam Daud Ad-Z}a@hiri

membolehkan seluruh badan perempuan yang dipinang untuk dilihat.30

Abdurrahman al-Auza@’i berpendapat boleh melihat daerah-daerah yang

berdaging. Menurut ulama Maz}hab H}anbal@i bagian yang boleh dilihat

adalah muka, pundak, kedua telapak tangan, kedua kaki, kepala (leher) dan betis.

Perbedaan pendapat diantara ahli fiqh ini terjadi karena hadis yang menjadi dasar kebolehan melihat peminangan hanya membolehkan secara mutlak, tanpa menentukan anggota tubuh mana yang boleh dilihat. Ulama fiqh sepakat bahwa kebolehan melihat pinangan hanya


(46)

berlaku pada lelaki saja, akan tetapi wanita juga boleh melihat lelaki

yang dipinangnya.31

Waktu melihat pinangan hendaklah pihak calon mempelai wanita ditemani oleh mahramnya, sebab agama melarang laki-laki dan perempuan yang bukan mahram berkhalwat, namun selama melihatnya

itu dengan tujuan untuk meminang diperbolehkan.32 Melihat perempuan

yang hendak dipinang adalah ketika hendak menyampaikan pinangan, bukan setelahnya. Karena jika ia telah melihat perempuan tersebut sebelum pinangan disampaikan, ia dapat meninggalkan perempuan itu tanpa menyakitinya jika ternyata ia tidak suka pada perempuan itu

setelah melihatnya.33

E. Hikmah Peminangan

Segala sesuatu yang ditetapkan syari’at Islam pasti memiliki hikmah

dan tujuan. Termasuk khit}bah. Adapun hikmah dari adanya khit}bah adalah

untuk lebih menguatkan ikatan perkawinan yang dilakukan setelahnya,

karena dengan khit}bah, pasangan yang menikah telah saling mengenal

sebelumnya.34

Pernikahan dalam Islam tergolong transaksi yang paling agung dan paling tinggi kedudukannya, karena dia hanya terjadi pada makhluk yang

31 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, 930-931

32 Yusuf Qordhawi, Alih Bahasa Mu’amal Hamidy, Halal Haram dalam Islam, (Surabaya:Bina

Ilmu 2003), 24.

33 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan, 57.


(47)

paling agung di bumi, yakni manusia. Akad nikah yang dilakukan adalah

untuk sepanjang masa, bukan untuk sementara.35

Salah satu dari kedua calon pasangan hendaknya tidak mendahului ikatan perkawinan yang sakral terhadap yang lain, kecuali setelah diseleksi benar dan mengetahui secara jelas tradisi calon teman hidupnya, karakter, perilaku dan akhlaknya sehingga keduanya akan dapat meletakan hidup mulia dan tenteram, diliputi suasana cinta, puas, bahagia dan ketenangan. Tergesa-gesa dalam melakukan ikatan pernikahan tidak mendatangkan akibat kecuali keburukan bagi kedua belah pihak atau salah satunya. Inilah

diantara hikmah yang lain disyari’atkannya khitbah dalam Islam.36

F. Akibat Adanya Peminangan

Khitbah adalah adalah perjanjian untuk mengadakan pernikahan, bukan pernikahan. Sehingga terjadinya khitbah tidak menyebabkan bolehnya hal-hal yang dihal-halalkan sebab adanya pernikahan. Akan tetapi, sebagaimana janji pada umumnya, janji dalam peminangan harus ditepati dan meninggalkannya adalah perbuatan tercela.37

Khit}bah tidak memiliki implikasi hukum sebagimana yang dimiliki oleh akad nikah, hubungan seorang lelaki dan perempuan yang terikat dalam khitbah tetap seperti orang asing, sehingga khalwat diantara mereka dapat

35 Abdul Aziz Muhammad Azam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat: Khitbah,

Nikah, Talak, Ter. Abdul Majid Khon, al-usrah wa Ahka@muha@ fi Tasyri@’i al-Isla@mi, (Jakarta: Hamzah, Cet. III, 2014), 9.

36 Ibid, 10


(48)

dihukumi haram. Akan tetapi, jika ada mahram yang menemani mereka

maka hal ini diperbolehkan.38 Berdasarkan hadis Rasulullah saw yang

berbunyi: ﺎ نﻮ ﺨ ﺟر ةاﺮ ﺎ ﻻ ﮫ نﺎﻓ ا ﻄ نﺎ ﺎ ﮭ ﺎ ) ور ها ﺪ ا ( 39

Artinya: jangan sekali-sekali seorang laki-laki menyendiri dengan

perempuan yang tidak halal baginya, karena ketiganya adalah syaitan.

Khalwa@t adalah berduanya seorang lelaki dan seorang perempuan yang bukan mahram dan belum terikat dalam perkawinan dalam suatu tempat. Oleh karena itu, sebelum melangsungkan perkawinan, mereka dilarang untuk berdua dalam satu tempat.

Hadis diatas menyatakan bahwa hukum khalwa@t adalah haram, namun

ternyata ada khalwat yang diperbolehkan. Khalwat yang diharamkan adalah khalwat yang tidak terlihat dari pandangan orang banyak sedangkan khalwat yang diperbolehkan adalah khalwat yang dilakukan di depan orang banyak, sekalipun mereka tidak mendengar apa yang menjadi pembicaran lelaki dan perempuan tersebut.

G. Putusnya Peminangan

Pinangan merupakan langkah pendahuluan sebelum akad nikah. Pinangan semata-mata merupakan perjanjian hendak melangsungkan akad nikah, bukan berarti sudah terjadi akad nikah. Membatalkannya menjadi hak

38 Abdurrahman Ghazali, Fiqh Munakahat, 83-84.

39 Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, Juz I4, (Khairo: Maktabah


(49)

dari masing-masing pihak yang mengikat perjanjian. Terhadap pihak yang menyalahi janjinya tidak ada hukuman materiil yang ditetapkan dalam Islam, sekalipun perbuatan ini dianggap sangat tercela. Kecuali kalau ada alasan-alasan dapat dibenarkan yang menjadi sebab tidak dipatuhinya perjanjian tadi.

Putusnya peminangan terjadi disebabkan oleh pembatalan salah satu pihak atau kesepakatan diatara keduanya. Peminangan juga usai jika ada salah satu pasangan yang meninggal dunia. Apabila seorang perempuan membatalkan pinangan karena ada lelaki lain yang meminangnya, lalu ia menikah dengan peminang kedua, maka perbuatan wanita tersebut itu haram

namun tetap sah.40

Khitbah adalah komitmen untuk melakukan akad nikah. Menurut mayoritas ulama’ komitmen tersebut tidak mengharuskan seseorang untuk melangsungkan akad, hanya sebagian kecil ulama’ yang mengharuskan komitmen itu dibuktikan dengan akad yang dijanjikannya, karena hukum menepati janji adalah wajib. Sebagimana firman Allah SWT dalam surat as-S}af ayat 3:

             

Artinya: Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu

mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.41

40 ‘Abdul Na@s}ir Taufiq al-‘At}a@r , Khithbatun Nisa@’ fi Tasyri@’atil Islamiyyati wat Tasry’a@til

‘Arabiyyati lil Muslimin Ghaira Muslimin, (Kairo : Matba’ah as-Sa’adah, t.t),141-143

41 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Raudhatul Jannah, 2009),


(50)

Peminangan juga termasuk komitmen atau janji untuk melakukan akad, oleh karena itu membatalkan peminangan makruh menurut mayoritas ulama’ dan haram menurut sebagian lainnya. Hal itu berlaku jika pembatalan tersebut tidak disertai dengan alasan yang jelas, jika pembatalan peminangan memiliki sebab-sebab yang jelas, maka hukumnya mubah.

Syaikh Nada@ Abu Ahmad mengatakan bahwa jika wali dari seorang wanita melihat kemaslahatan dalam pembatalan peminangan, maka ia boleh menarik kembali janji untuk menikahkan anaknnya. Bahkan wanita itu sendiri juga berhak untuk membatalkan pinangan jika tidak suka dengan peminang. Pernikahan adalah ikatan seumur hidup, karena itu wanita yang akan menikah harus berhati-hati dalam menentukan keberuntungan dirinya sendiri, termasuk dalam hal memilih pasangan yang sesuai dengan dirinya.

Wali atau tunangan yang menarik kembali janjinya tanpa suatu alasan yang jelas hukumnya makruh, namun tidak sampai haram. Perumpamaannya adalah seperti seorang pembeli yang menawar barang namun tidak jadi membelinya. seorang peminang juga makruh untuk membatalkan peminangan jika wanita tersebut telah tertarik pada dirinya.42

Salah satu pihak dalam peminangan terkadang memberikan sesuatu pada pihak lainnya. Ulama sepakat jika pemberian tersebut


(51)

berupa mahar, maka peminang boleh meminta mahar itu secara mutlak, baik pemutusan peminangan tersebut dari pihak wanita, laki-laki maupun kedua belah pihak. Wanita tidak bisa memiliki mahar selama akad belum dilaksanakan secara sempurna sehingga peminang boleh memintanya kembali dalam segala kondisi. Apabil mahar itu masih ada, maka wajib dikembalikan. Apabila maharnya telah habis, maka wajib diganti atau diuangkan.

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hadiah yang diberikan dalam peminangan hukumnya sama dengan mubah. Peminang dapat menarik kembali kecuali hadiah tersebut sudah rusak atau tidak ada.

Ulama syafi’iayah menyatakan bahwa hadiah wajib dikembalikan jika barangnya masih ada, atau dikembalikan persamaan atau harganya jika barangnya telah rusak atau lebur, baik pemutusan pinangan itu berasal dari pihak wanita maupun dari pihak laki-laki.

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa pihak yang memutuskan tidak boleh meminta kembali pemberiannya, baik barangnya masih ada maupun sudah tidak ada. Pihak yang berhak meminta barangnya adalah pihak yang tidak menggagalkan pinangan. Dia berhak menerima barangnya jika masih ada, atau menerima harganya jika pemberiannya sudah tidak ada.

Pendapat ulama malikiyah ini cukup logis, karena tidak selayaknya bagi wanita yang tidak menggagalkan mendapat dua beban, yaitu beban ditinggalkan dan beban untuk mengembalikan hadiah, dan


(52)

tidak selayaknya pulah bagi laki-laki yang tidak meninggalkan mendapat dua kerugian, yaitu ditinggalkan seorang wanita dan memberikan harta tanpa imbalan. Oleh karena itu, jika tidak ada syarat dan tradisi yang

berbeda maka pendapat yang terakhir ini dapat diamalkan.43

H. Al-‘Urf

1. Pengertian al-‘urf

Secara etimologi, al-‘Urf berasal dari kata yang terdiri dari huruf

‘ain, ra’, dan fa’ yang berarti kenal. Dari kata ini muncul kata ma’rifah

(yang dikenal), ta’rif (definisi), kata ma’ruf (yang dikenal sebagai

kebaikan), dan kata ‘urf (kebiasaan yang baik).44

Abd. Rahman Dahlan Memberikan definisi ‘urf sebagai sesuatu

yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya dalam bentuk setip perbuatan yang populer diantara mereka, atau suatu kata yang biasa mereka kenal dengan pengertian tertentu, bukan dalam pengertian etimologi, dan ketika mendengarnya mereka tidak

memahaminya dalam pengertian lain.45

Ibnu Abidin dalam bukunya Risalah ‘urf juga menerangkan bahwa

‘urf adalah adat (kebiasaan) itu diambil dari kata mua’wadah yang

berarti mengulang-ngulangi. Karena telah terulang terus menerus, jadilah ia terkenal dan dipandang baik oleh akal, padahal tidak ada hubungan

43 Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat Khitbah,

Nikah Talak dan Rujuk, 30-32

44 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah Cet. III, 2014), 209.


(53)

apa-apa dan tidak ada karinahnya, dan ‘ur dikenal memiliki arti yang

sama walaupun berlainan mafhum.46

Dari pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa ‘urf adalah

segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia dan yang menjadi atau tradisi yang dianggap baik, bisa berupa ucapan, perbuatan atau pantangan-pantangn yang disebut juga dengan adat.

2. Macam-Macam ‘Urf

Pembagian ‘urf dapat ditinjau dari dua segi, pertama dari segi

jangkauannya dan yang kedua dapat dilihat dari segi keabsahannya.

Ditinjau dari segi jangkauannya ‘urf dibagi menjadi dua macam47, yaitu:

a. Al-‘Urf al-Amm

Yaitu kebiasaan yang bersifat umum dan berlaku bagi sebagian besar masyarakat dalam berbagai wilayah yang luas. Misalnya membayar ongkos kendaraan umum dalam harga tertentu, tanpa perincian jauh tidaknya jarak tempuh, membayar sewa kamar dengan harga tertentu tanpa membatasi jumlah fasilitas yang digunakan. Yang dibatasi hanyalah waktu dan penggunaannya.

b. Al-‘urf al-Khashsh

Yaitu adat kebiasaan yang berlaku secara khusus pada suatu masyarakat tertentu, atau wilayah tertentu saja. Misalnya kebiasaan masyarakat jambi menyebut “satu tumbuk tanah” untuk menunjuk

46 Teuku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqi, Pengantar Hukum Islam (Semarang: Pustaka Rizki

Putra, 1997), 227.


(54)

pengertian tanah 10 X 10 meter. Atau kebiasan masyarakat tertentu menjadikan kuitansi sebagai alat bukti tanpa disertai dua orang saksi.

Selanjutnya, ditinjau dari segi keabsahannya, al-‘urf dapat pul dibagi

menjadi dua macam48, yaitu:

a. Al-‘Urf ash-Shahihah

Yaitu segala sesuatu yang sudah dikenal umat manusia yang tidak berlawanan dengan dalil syara’, disamping itu tidak

menggugurkann kewajiban dan tidak menghalalkan yang haram.49

Untuk menjadikan ‘urf sebagai sumber hukum dalam

menetapkan hukum, maka disyaratkan:

1) ‘urf tidak bertentangan dengan nash dan qoth’i.

2) ‘urf berlaku terus menerus atau kebanyakan berlaku

3) ‘urf yang dijadikan sumber hukum bagi suatu tindakan tersebut

diadakan.

Seorang mujtahid harus memperhatikan ‘urf shahih dalam

membentuk suatu produk hukum, karena kebiasaan adalah bagian

dari kebutuhan dan sesuai dengan kemaslahatan.50

Islam mengatur keberadaan adat dan tradisi yang tidak

mengandung unsur mafsadah dan tidak bertentangan dengan dalil

48 Ibid, 210-211.

49 Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Bandung: Risalah, 1985), 132.

50 Abdul Ghafur Anshori, Hukum Islam, Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta:


(55)

syara’. Sehingga berlaku kaidah “Adat kebiasaan dapat dikukuhkan

sebagai hukum (ﺔ ﻜ ا ةدﺎ ا)”.51 b. Al-‘Urf al-Fasidah

Yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh manusia tetapi bertentangan dengan syara’, menghalalkan yang haram, atau membatalkan kewajiban. Para ‘ulama sepakat bahwa ‘urf al-Fasidah tidak dapat dijadikan sebagai landasan hukum, dan kebiasan tersebut batal demi

hukum. 52

3. Kedudukan ‘urf sebagai Dalil Syara’

Pada dasarnya semua ulama menyepakati kedudukan al-‘Urf

ash-Shahihah sebagai salah satu dalil Syara’. Akan tetapi diantara mereka terdapat perbedaan pendapat dalam segi intensitas penggunaannya sebagai dalil. Ulama Hanafiyah dan malikiyah adalah yang paling banyak

menggunakan al-‘Urf sebagai dalil dibandingkan dengan ulama

Syafi’iyah dan Hanabilah.53

Kehujjahan ‘Urf sebagai dalil Syara’ didasarkan atas firman Allah

Swt dalam surah al-A’raf ayat 199:



 

 







51 Amir Syarifuddin, Usul Fiqh, Vol 2, (jakarta: kencana Prenada media Group, Cet. Ke 5, 1999),

394.

52 Adul Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, 211.


(56)

Artinya : Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang

bodoh.54

Ucapan sahabat Rasulullah Saw. Abdullah bin Mas’ud sebagai berikut55:

Sesuatu yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik disisi Allah, dan sesuatu yang mereka nilai buruk maka ia buruk disisi Allah.

Berdasarkan dalil-dalil kehujjaan ‘urf sebagai dalil hukum diatas,

maka ulama terutama Hanafiyah dan Malikiyah merumuskan kaidah hukum yang berkaitan dengan al-‘urf, antara lain:

ﺎ ا فﺮ ﺎ ﺎ ﺪ ﻲ ﺮ

Yang berlaku berdasarkan urf (seperti)berlaku berdasarkan dalil Syara’ 56

Islam mengatur keberadaan adat dan tradisi yang tidak

mengandung unsur mafsadah dan tidak bertentangan dengan dalil syara’.

Sehingga berlaku kaidah “Adat kebiasaan dapat dikukuhkan sebagai

hukum (ﺔ ﻜ اةدﺎ ا)”.

4. Hukum dapat Berubah Karena ‘Urf

Hampir tidak perlu disebutkan bahwa sebagai adat kebiasan, ‘urf

dapat berubah karena adanya perubahan waktu dan tempat. Sebagai

54 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Raudhatul Jannah, 2009),

177.

55 Ibid, 212.


(57)

konsekuensinya, mau tidak mau hukum juga berubah mengikuti perbahan

‘urf tersebut. Dengan demikian berlaku kaidah yang menyebutkan57 :

Ketentuan hukum dapat berubah dengan terjadinya perubahan waktu, tempat, keadaan, individu, dan perubahan lingkungan.

Kaidah ini sangat penting difahami oleh setiap pegiat hukum Islam untuk mengukuhkan adegium yang menyebutkan bahwa agama Islam tetap

relevan untuk semua waktu dan tempat (al-Isla@mu Sha@lih likulli Zama@n

wa maka@n). Menentang kaidah ini sama halnya dengan menjadikan Islam ketinggalan zaman, kaku, jumud dan tidak memenuhi rasa keadilan terhadap hukum di masyarakat, padahal prinsip kemudahan sangat

dianjurkan dalam syariat islam.58

Oleh karena itu, para ulama berkata: adat adalah syariat yang

dikuatkan sebagai hukum, sedangkan adat juga dianggap oleh syara’.59 Seperti halnya Imam Malik membentuk hukum berdasarkan perbuatan penduduk madinah. Begitu juga ketika Imam Syafi’i berada di Mesir, mengubah sebagian hukum yang sudah ia tetapkan di Bagdad. Dengn demikian, karena pentingnya pemahaman terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat, maka seyogiayanya seorang syarat seorang mujtahid yang baik selalu memahami ‘urf yang berlaku dan berkembang di dalam masyarakat.

57 Ibid, 215.

58 Ibid, 215.


(58)

BAB III

TRADISI

PASAI

DALAM PERKAWINAN ADAT SUKU

BANGGAI DI DESA KOMBUTOKAN KECAMATAN TOTIKUM

KABUPATEN BANGGAI KEPULAUAN SULAWESI TENGAH

A. Gambaran Umum Desa Kombutokan 1. Sejarah Desa Kombutokan

a. Asal-Usul Desa1

Pada zaman dahulu, penduduk asli desa Kombutokan ini mendiami beberapa tempat di bagian pedalaman, yaitu Mboal, Dekot, Sopek, Kanggilian, Binangkai dan Paisupuso. Pada masa Basalo Mindun berkuasa di tano Bakambang, ia mengirim seorang utusan yang bernama Boiso, seorang perempuan bijaksana dan berpengaruh. Itulah basalo pertama di Mboal dan Sekitarnya. Pada masa basalo masih berkedudukan di Mboal ada sejumlah 18 orang yang berkuasa.

Pada tahun 1899, muncul seorang penghulu bernama Montik

dengan gelar Basalo Pedal. Ia dapat mempersatukan wilayah Mboal dengan seruan:

Mai nda bameng noa (Mari kita satukan hati)

Etetenge konda ndongan (kita satukan tempat tinggal)

Lipu sodo nda bangune (kita bangun negeri yang baru)

Lipu loluk bengkulungemo (kita tinggalkan negeri yang lama)


(1)

Pencegahan atau penghambat suatu perkawinan dapat terjadi akibat besarnya jumlah pasai yang diminta. Selama yang dikedepankan adalah untuk kemaslahatan perkawinan, maka itu boleh dan baik.

Sedangkan tingginya pasai dengan maksud untuk menjaga martabat dan

status sosial atau prestise dimasyarakat dalam hal ini dilarang karena

bertentangan dengan prinsip syari’at yaitu kemudahan dan tidak

memberatkan dalam penunaian pasai perkawinan.

Pelaksanaan tradisi pasai tidak dapat dikategorikan pelanggaran

syariat islam yang telah memenuhi ketentuan urf s}ahih. Urf s}ahih wajib

dipelihara pada pembentukan hukum sampai terjadinya perubahan masa

atau tempat yang bisa mengubah ‘urf menjadi sesuatu yang tidak baik

lagi. Urf bukanlah dalil syar’i yang berdiri sendiri melainkan

memelihara kemaslahatan umat. Artinya, kemaslahatan yang tidak disyariatkan oleh syariat dalam wujud hukum akan tetapi berdasarkan

kemaslahatan dan kepentingan umat. Jadi, praktek tradisi pasai

diperbolehkan selama dijalankan dengan memodifikasi dan menghindari pelaksanaan proses tradisi pasai yang bertentangan dengan syariat Islam.

B. Saran

Tradisi pasai yang dimiliki oleh masyarakat suku Banggai di Desa Kombutokan seharusnya dapat berjalan selaras dengan ketentuan hukum Islam secara keseluruhan, mengingat agama mayoritas mereka adalah Islam.


(2)

Peran tokoh agama dan tokoh adat sangat berpengaruh terhadap masyarakat suku Banggai di Desa Kombutokan sangat diperlukan agar nilai-nilai agama dapat diterapkan dalam setiap tradisi yang mereka miliki.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Amir Nuruddin dan Azhari Akbar, Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia;

Studi kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, UU No. 1/1974 sampai

KHI, Jakarta : Kencana, 2004.

Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh. jilid I. Jakarta: kencana Prenada media Group,

Cet. Ke-4, 2009.

Abdul Aziz Muhammad Azam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. Fiqh

Munakahat: Khitbah, Nikah, Talak, Ter. Abdul Majid Khon, al-usrah wa Ahka@muha@ fi Tasyri@’i al-Isla@mi. Jakarta: Hamzah, Cet. III, 2014.

Achamad Kuzari. Nikah sebagai Perikatan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet.

1, 1995.

Abdul Na@s}ir Taufiq al-‘At}a@r. Khithbatun Nisa@’ fi Tasyri@’atil Islamiyyati wat Tasry’a@til ‘Arabiyyati lil Muslimin Ghaira Muslimin. Kairo : Matba’ah as-Sa’adah, t.t.

Abd. Rahman Dahlan. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah Cet. III, 2014.

---. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, antara Fiqh Munakahat dan

Undang-Undang Perkawinan. Jakarta : kencana, Cet. III, 2009.

Abdul Wahab Khallaf. Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Bandung: Risalah, 1985.

Abdul Ghafur Anshori, Hukum Islam, Dinamika dan Perkembangannya di

Indonesia. Jakarta: Kreasi Total media, 2006.

Abdul Rahman Ghazali. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, cet. Ke-3, 2010.

Cahyadi Takariawan. Izinkan Aku meminangmu. Solo: PT. Eradicitra Intermidia,

2009.

Deddy Mulyana. Metodologi Penelitian kualitatif, Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, Cet. IV, 2004.

Hilman Hadikusuma. Hukum Perjanjian Adat. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,


(4)

H. M. A. Tihami dan Sohai Sahrani. Fiqh Munakahat Kajian Fiqh Nikah lengkap.

Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet. Ke-1, 2009.

Ibn Rusyd. Bida@yatul Mujtahid wa Niha@yatul Muqtasid, Juz 2, Beirut: dar Ibn

‘Assasah, 2005

Jalaludin Abd Rahman al-Suyuti@y. al-Syba@h wa al-naz}a@ir; fi al-Furu@’. Surabaya: Haramain, 2008.

Koentjaraningrat. Metodologi Penelitian Masyarakat, Jakarta : Gramedia Utama,

1990

Masruhan. Metodologi Penelitian Hukum. Surabaya: Hilal Pustaka, 2013.

Moh Nazir. Tradisi Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, cet. Ke-3, 1998

Muhammad Ali al-Sa@bu@niy. Rawa@i’ Baya@n at-Tafsi@r a@ya@t Ahka@m min

al-Qur’an. Beirut: Da@rul Kutub Islamiyah, cet.ke-I, 2001.

Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad ibn Qudamah. al-Mughniy.

Riyadl: Da@rul ‘A@lam al-Kutub, cet.ke-III, Juz IX,1997.

M Syamsudin. Operasionalisasi Penelitian Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada, 2007.

Nada@ Abu@ Ahmad. Kode Etik melamar Calon Istri, Bagaimana Proses Meminang

Secara Islami, Ter. Nila Nur Fajariyah, al-Khit}bah Ah}ka@m wa Ada@b. Solo: Kiswah media, 2010.

Rianto Adi. Metode penelitian Sosial dan Hukum. Jakarta: Granit Cet. 2, 2005

Syamsuddin Muhammad Ibnu al-Khatib Asy-Syarbiniy. Mugni al-Muhtaj ila

Ma’rifati Ma’aniy Alfazil Minhaj. Juz 3. Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1997.

Slamet Abidin dan Aminuddin. Fiqh Munakahat Jilid I, Cet. I . Bandung: CV.

Pustaka Setia, 1999.

Saifuddin Azwar. Tradisi Penelitian, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, Cet Ke-4,

2003.

Sayyid Sabiq. Fiqh as-Sunnah. juz 2. Beirut: Dar al-Fikr, cet. Ke-1, 2006

Soerjono Soekanto. Memperkenalkan Sosiologi, Jakarta : CV. Rajawali, 1981

---. Hukum Adat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. Ke-12, 2012

Tihami dan Sohari Sahrani. Fiqih Munakahat. Jakarta: PT. Raja Grafinda


(5)

Teuku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqi. Pengantar Hukum Islam . Semarang:

Pustaka Rizki Putra, 1997.

Wahbah Az-Zuhailiy. al-Fiqhul Islam wa Adillatuhu. juz 9. Damaskus: Dar

al-Fikri, cet. Ke-4, 1997.

Yusuf Qordhawi, Alih Bahasa Mu’amal Hamidy. Halal Haram dalam Islam.

Surabaya:Bina Ilmu 2003.

Siti Nurhayati. Ganti Rugi pembatalan Khitbah dalam tinjauan Sosiologis (Studi

Masyarakat Pulung Rejo, Kecamatan Rimbo Ilir, Jambi, Skripsi pada Kosentrasi Perbandingan Hukum Pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2011.

Edi Daru Wibowo. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Denda Pembatalan Khitbah

(Studi Kasus di Kecamatan Donorojo Kabupaten pacitan), Skripsi pada Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyah Fakultas Syari’ah, Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, 2002

Nur Wahid Yasin. Tinjauan Hukum Islam Terhadap sanksi Pembatalan

Pertunangan (Studi kasus di Desa ngreco, Kecamatan Weru, kabupaten Sukoharjo), Skripsi pada Jurusan al-Akhwal al-Syaksiyah Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2010.

Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedi Hukum Islam. Jilid I. Jakarta: Ichtiar Baru Van

Hoeve, Cet. Ke-7, 2006.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Raudhatul

Jannah, 2009.

Pusat bahasa Departemen Pendidikan Nasioanal. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Jakarta: Balai Pustaka, Edisi ke-3, Cet. Ke-3, 2005

W.J.S Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,

1993.

Kompilasi Hukum Islam.

Sumber: Buku Profil Desa Kombutokan 2014, 1.

Djuin Koloit, Wawancara, Kombutokan, 29 Desember 2014.

Halimah Lasibani, Wawancara, Kombutokan, 28 Desember 2014.

Rianto Abd. Samad, Wawancara, Kombutokan, 30 Desember 2014.


(6)

Yati, Wawancara, Kombutokan, 31 Desember 2014. Karyono, Wawancara, Kombutokan, 31 Desember 2014.


Dokumen yang terkait

Tradisi Masyarakat Desa Janji Mauli Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan (1900-1980)

3 83 104

Tradisi Dalam Perkawinan Adat Muslim Suku Dan I Papua Ditinjau Dari Hukum Islam

0 5 148

Tradisi Tumplek Ponjen dalam Perkawinan Masyarakat Adat Jawa (Studi Etnografi di Desa Kedungwungu Kecamatan Jatinegara Kabupaten Tegal Propinsi Jawa Tengah)

2 65 89

PENGARUH KEPEMIMPINAN, KOMUNIKASI, SISTEM KONTROL, DIKLAT DAN KOMPENSASI TERHADAP KINERJA KARYAWAN (Studi pada Puskesmas Totikum, Kab. Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah)

2 16 172

Tinjauan hukum Islam terhadap adat Ngonse dalam perkawinan di desa Tanjung Kiaok Kecamatan Sapeken Kabupaten Sumenep.

0 10 78

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI SAMBULGANA DALAM PERKAWINAN ADAT SUKU KAILI : STUDI KASUS DI KAMPUNG BARU KECAMATAN PALU BARAT KOTA PALU PROVINSI SULAWESI TENGAH.

0 6 93

ANALISIS PENDAPATAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN USAHATANI UBI BANGGAI DI KECAMATAN TOTIKUM SELATAN KABUPATEN BANGGAI KEPULAUAN | Maika | AGROLAND 8319 27291 1 PB

0 0 10

TRADISI KAWIN LARI DALAM PERKAWINAN ADAT DI DESA KETAPANG KECAMATAN SUNGKAI SELATAN KABUPATEN LAMPUNG UTARA PROPINSI LAMPUNG DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM SKRIPSI Diajukan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam

0 0 110

ASPEK MUDARAT TRADISI ANGNYORI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP HUKUM ADAT (STUDI KASUS DI DESA PABBETENGAN KECAMATAN BAJENG KABUPATEN GOWA)

0 0 92

RAGAM PANDANGAN TOKOH ISLAM TERHADAP TRADISI BUBAKAN DALAM PERKAWINAN ADAT JAWA DI DESA SENDANG KECAMATAN JAMBON KABUPATEN PONOROGO SKRIPSI

0 0 88