BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM DENGAN TERAPI REALITAS UNTUK MENANGANI MIDDLE CHILD SYNDROME DI PONDOK PESANTREN SAFINATUL HUDA RUNGKUT SURABAYA.

(1)

BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM DENGAN TERAPI REALITAS UNTUK MENANGANI MIDDLE CHILD SYNDROME DI PONDOK

PESANTREN SAFINATUL HUDA - RUNGKUT – SURABAYA

SKRIPSI Diajukan Kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Islam (S. Sos.I)

Disusun Oleh AZIMATUS SHOLIHAH

B03212032

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA 2016


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Azimatus Sholihah (B03212032), Bimbingan Dan Konseling Islam dengan Terapi Realitas untuk Menangani Middle Child Syndrome di Pondok Pesantren Safinatul Huda-Rungkut-Surabaya

Penelitian ini dibahas dengan rumusan masalahnya yang ditujukan untuk mengetahui (1) Bagaimana Langkah Bimbingan dan Konseling Islam dengan Terapi Realitas untuk menangani Middle Child Syndrome di Pondok Pesantren Safinatul Huda Rungkut, Surabaya? (2) Bagaimana Hasil Bimbingan dan Konseling Islam dengan Terapi Realitas untuk menangani Middle Child Syndrome

di Pondok Pesantren Safinatul Huda Rungkut, Surabaya?

Dalam menjawab permasalahan tersebut, peneliti menggunakan metode penelitian

kualitatif berupa studi kasus yang hasilnya akan disusun menjadi sebuah narasi. Penelitian ini dilatar belakangi oleh ketidaknyamanan sebagai anak tengah dan kesulitan menerima posisinya sebagai anak tengah. Dalam proses bimbingan dan konseling ini digunakan terapi realitas dengan tujuan penerimaan tanggung jawab sehingga anak tengah dapat mencapai identitas suksesnya.

Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa (1) Proses bimbingan dan konseling islam dengan menggunakan terapi realitas pada penanganan middle child syndrome merupakan pemberian bantua yang cukup efektif adapun langkah yang digunakan dalam terapi ini antara lain : mengungkap ketidaknyamanan sebagai anak tengah, mengungkap keinginan terbedar konseli, mengeksplorasi behavior konseli, meminta konseli melakukan intropeksi diri serta membantu membuat perencaan bagi tindakan yang bertanggung jawab, (2) Dari proses konseling tersebut diketahui banyak perubahan yang terjadi pada konseli dalam penerimaan diri dan pengembangan identitas sukses.

Kata Kunci : Bimbingan dan Konseling Islam, Terapi Realitas dan Middle Child Syndrome


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iii

MOTTO ... iv

PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN PERTANGGUNGJAWABAN ... vi

ABSTRAK... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Definisi Konsep ... 7

F. Metode Penelitian ... 16

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 16

2. Subyek dan Objek Penelitian ... 17

3. Jenis dan Sumber Data Penelitian... 17

4. Tahap-tahap Penelitian ... 19

5. Teknik Pengumpulan Data ... 21

6. Teknik Analisa Data ... 23

7. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ... 24

G. Sistematika Pembahasan ... 25

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teoritik ... 27

1. Bimbingan Konseling Islam ... 27

a. Pengertian Bimbingan dan Konseling Islam ... 27

b. Tujuan Bimbingan dan Konseling Islam ... 28

c. Fungsi Bimbingan Konseling Islam ... 29

d. Azaz Bimbingan dan Konseling Islam ... 30

2. Terapi Realitas ... 32

a. Konsep Dasar ... 32

b. Pandangan Tentang Manusia ... 35

c. Ciri-Ciri Terapi Realitas ... 37

d. Tujuan Terapi Realitas ... 41

e. Fungsi Dan Peran Konselor ... 42

f. Tehnik Terapi Realitas ... 43

g. Tahapan-Tahapn Konseling ... 44

3. Middle Child Syndrome ... 46


(8)

b. Faktor pemicu Middle Child Syndrome ... 47

c. Gejala Middle Child Syndrome ... 48

4. Bimbingan Dan Konseling Islam Dengan Terapi Realitas Untuk Menangani Middle Child Syndrome ... 50

B. Penelitian Terdahulu yang Relevan ... 53

BAB III : PENYAJIAN DATA A. Deskripsi Umum Objek Penelitian ... 56

1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 56

2. Deskripsi Konselor ... 62

3. Deskripsi Klien ... 64

4. Deskripsi Masalah... 67

B. Deskripsi Hasil Penelitian ... 68

1. Proses Bimbingan Konseling Islam Dengan Terapi Realitas untuk Menangani Middle Child Syndrome di Pondok Pesantren Safinatul Huda Rungkut Surabaya ... 68

2. Hasil Bimbingan Konseling Islam dengan Terapi Realitas untuk Menangani Middle Child Syndrome di Pondok Pesantren Safinatul Huda Rungkut Surabaya ... 82

BAB IV : ANALISIS DATA A. Analisis Data Tentang Proses Bimbingan Konseling Islam Dengan Terapi Realitas untuk Menangani Middle Child Syndrome di Pondok Pesantren Safinatul Huda Rungkut Surabaya ... 83

B. Analisis Data Tentang Hasil Akhir Bimbingan Konseling Islam Dengan Terapi Realitas untuk Menangani Middle Child Syndrome di Pondok Pesantren Safinatul Huda Rungkut Surabaya ... 92

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 95


(9)

DAFTAR TABEL

1. Tabel 3.1 : Struktur Kepengurusan YPP Safinatul Huda ... 58

2. Tabel 3.2 : Sarana Dan Prasarana YPP Safinatul Huda ... 61

3. Tabel 3.3 : Rancangan Tindakan Terapi Realitas ... 80

4. Tabel 4.1 : Analisis Data Teori Dan Data Empiris ... 83

5. Tabel 4.2 : Perbedaan Konsidi Klien Sebelum Dan Sesudah Konseling... 93


(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Bagi setiap pasangan yang telah menikah anak merupakan anugerah terbesar yang diberikan oleh Allah sebagai pelengkap kebahagiaan dalam kehidupan berumah tangga, bahkan salah satu fungsi dari adanya pernikahan adalah untuk melahirkan generasi penerus dimana orang tua menitipkan harapan agar anak mampu menjadi penerus pemikiran dan idealis hidup orang tua.1

Di Indonesia sendiri, gencar dilakukan program dari BKKBN dengan slogan“dua anak cukup” namun nyatanya tidak sedikit masyarakat kita yang masih meyakini ungkapan orang terdulu yang menyatakan bahwa “banyak anak banyak rezeki” mengingat setiap anak memang memberi kebahagiaan bagi setiap keluarga. Ada banyak faktor yang melatar belakangi dua pendapat diatas, salah satu yang paling umum adalah masalah gender contohnya seperti keharusan memiliki anak laki-laki setelah memiliki anak perempuan ataupun sebaliknya meskipun hanya satu didalam satu keluarga.

Dalam penelitian yang dipublikasikan oleh Social Science and Medicine Journal dengan melibatkan 1,5 juta pasangan keluarga. Para pakar dari Inggris dan Norwegia yang bergabung dalam penelitian tersebut menyatakan bahwa menjadi ayah dan ibu dari dua orang anak mengurangi

1

Wahbi Sulaiman Ghawaji al- Albani, Sosok Wanita Muslim, (Bandung : Trigenda Karya. 1995) Hal. 82


(11)

2

resiko gangguan kesehatan, sebaliknya orang tua dengan satu anak atau terlalu banyak anak meningkatkan gangguan kesehatan. Keluarga dengan anak tunggal atau tanpa anak memiliki resiko kematian lebih besar karena kemungkinan kurang menjaga kesehatan, sedang mereka yang memiliki keluarga besar beresiko tinggi menderita berbagai gangguan penyakit yang berhubungan dengan faktor stress. 2

Selain berpotensi mengalami gangguan kesehatan pada orang tua, banyaknya jumlah anak juga dapat menimbulkan masalah lain pada hubungan orang tua dengan anak maupun anak dengan saudara.

Steelman & Koch menyatakan bahwa pada masa kanak-kanak hubungan dengan saudara (Sibling) dipengaruhi oleh empat karakteristik yaitu 1) jumlah saudara 2) urutan kelahiran 3) jarak kelahiran dan 4) jenis kelamin.

Menurut Dunn pola hubungan saudara kandung dicirikan oleh tiga karakteristik, pertama, kekuatan emosi dan tidak terhambatnya pengungkapan emosi tersebut, kedua, keintiman antara saudara kandung saling mengenal secara pribadi, ketiga, adanya perbedaan sifat pribadi yang mewarnai hubungan diantara saudara kandung, sebagian menunjukkan afeksi, kepedulian, kerja sama dan dukungan, sementara yang lain menggambarkan adanya permusuhan, gangguan dan prilaku

2

Pipiet Tri Noorastuti, Idealkah Jumlah Anak Anda, 15 Maret 2010


(12)

3

agresif yang memperlihatkan ketidak sukaan satu sama lain yang biasa dikenal sebagai sibling rivalry3

Tokoh Psikologi Alfred Adler telah mencetuskan salah satu teori tentang Birth Order, yaitu pengaruh urutan kelahiran terhadap style of life

seseorang. Adler mengatakan bahwa meskipun dua orang memiliki orang tua yang sama dan tinggal di rumah yang sama, mereka tidak memiliki lingkungan sosial yang identik. Urutan kelahiran dan sikap pengasuhan yang berbeda akan menciptakan masa kecil yang berbeda sehingga mempengaruhi kepribadian seseorang.4

Secara umum anak pertama lahir dengan mendapat banyak perhatian karena ini adalah pengalaman pertama bagi orang tua sehingga mereka merasa exited dengan keberadaan anak pertama, anak pertama juga mendapat perlakuan lebih dan hak-hak istimewa karena anak pertama cenderung menjadi harapan terbesar bagi orang tua.

Anak bungsu lahir dengan mendapat banyak perhatian karena dia adalah yang termuda yang dianggap masih memerlukan banyak perhatian, lalu bagaimana dengan anak kedua maupun anak tengah?

Jika dianalogikan, anak tengah dapat diperumpamakan sebagimana lampu kuning dalam ‘traffic lamp’ setiap orang akan tanggap terhadap anak pertama dan menjadikannya sebagai pacuan keberhasilan bagi anak-anak selanjutnya, sementara anak-anak bungsu menerima banyak perhatian dan

3

Sri Lestari, Psikologi Keluarga, (Jakarta Kencana Prenada Media Group : 2013). Hal. 25

4

Sumadi Suryabrata, Psikologi Kepribadian, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006) hal 192


(13)

4

kasih sayang karena dia adalah yang termuda, anak kedua selalu berada dibelakang bayang-bayang anak pertama dan merasa kehilangan perhatian dan kasih sayang yang selama ini ia dapatkan sebagai aggota termuda dalam keluarga setelah kelahiran anak bungsu.

Tidak mendapat perlakuan istimewa seperti halnya anak sulung dan tidak banyak menerima perhatian layaknya anak bungsu membuat anak tengah bingung mengungkapkan perannya dalam keluarga, dan ini menyebabkan anak tengah merasa terasingkan dan kehadirannya seolah tidak berarti.

Sebagai luapan emosi dari perasaan terabaikan tersebut anak tengah cenderung akan menjadi pribadi yang paling berbeda dengan saudaranya, tidak jarang pula ia akan menunjukkan perilaku-perilaku negatif agar dapat menarik perhatian dari orang tua, keinginan untuk megalahkan saudara juga biasanya timbul pada anak tengah yang merasa mendapat perlakuan berbeda. Istilah diatas biasa dikenal sebagai Middle Child Syndrome.5

Hal inilah yang dirasakan klien yang kini tinggal dipondok pesantren safinatul huda, menjadi anak tengah membuatnya kerap kali dibanding-bandingkan dalam banyak hal dengan saudaranya, mulai dari bentuk fisik, prestasi serta bakat. Perasaaan tersisihkan semenjak adanya adik dan perasaan mendapat perlakuan berbeda dari yang ia terima karena tinggal dipondok dengan kedua saudara yang tinggal dirumah bersama

5

Jimmy Lucy, anak sulung dan sindrom anak tengah, 2010 (http://jimmylucy.com/anak-sulung-dan-sindrom-anak-kedua/, diakses pada 29 Maret 2016)


(14)

5

sang ayah seakan menambah ketidaknyamanan konseli sebagai anak tengah, konseli selama ini selalu menganggap dirinya tidak cukup hebat untuk bisa bersaing dengan kakaknya sehingga dapat dibanggakan, hal ini berdampak pada sikap konseli yang akhirnya malas dalam mempelajari hal-hal baru dan sangat mudah menyerah saat tidak dapat melakukan tugasnya dengan baik, ia juga tidak memiliki hubungan yang baik dengan saudaranya karena merasa mendapat perlakuan berbeda yang selama ini ia terima dari sang ayah dan ini ditunjukkan dengan komunikasi yang sangat jarang dengan saudara. Untuk itu perlu adanya pemahaman tentang pengembangan diri sehingga anak tengah dapat melihat dirinya dengan lebih baik mengingat jika manusia tidak hanya dibekali oleh kecerdasan akal tapi juga kecerdasan spiritual dan emosi.

Allah berfirman dalm surah At-tiin ayat 4 :

مْيِوْقت ِنسْحا ىِف ناسْنِاا انْقلخ ْدقل

“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (Qs. At- Tiin – 95 : 4) 6

Konseli juga harus dapat menerima keberadaannya sebagai anak tengah serta menghilangkan perasaan diperlakukan berbeda agar dapat membangun hubungan yang lebih baik dengan saudara.

Untuk itu diperlukan terapi yang sesuai agar anak tengah yang mengalami middle child syndrome dapat menampilkan dirinya dengan

6


(15)

6

baik, seperti menarik perhatian orang tua dan menunjukkan kelebihan yang ia miliki pada saudara dan keluarga.

Melalui terapi realitas yang akan diberikan ini diharapkan konseli yang mengalami middle child syndrome akan mampu memenuhi kebutuhan dasarnya dan dapat menerima kenyataan yang ada tanpa merugikan siapapun.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Langkah Bimbingan dan Konseling Islam dengan Terapi Realitas untuk menagani Midlle Child Syndrome di Pondok Pesantren Safinatul Huda, Rungkut, Surabaya?

2. Bagaimana hasil Bimbingan dan Konseling Islam dengan Terapi Realitas untuk menangani Midlle Child Syndrome di Pondok Pesantren Safinatul Huda, Rungkut, Surabaya?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk Mengetahui Bagaimana langkah Bimbingan dan Konseling islam dengan Terapi Realitas untuk menangani Midlle Child Syndrome di Pondok Pesantren Safinatul Huda, Rungkut, Surabaya 2. Untuk Mengetahui keberhasilan Bimbingan dan Konseling Islam dengan Terapi Realitas untuk menangani Midlle Child Syndrome di Pondok Pesantren Safinatul Huda, Rungkut, Surabaya

D. Manfaat Penelitian


(16)

7

1. Secara Teoritis

a. Menambah khazanah keilmuan bagi peniliti yang lain dalam hal menangani Middle child síndrome pada anak b. Sebagai sumber informasi dan refrensi bagi jurusan

bimbingan konseling islam khususnya dan bagi mahasiswa umumnya dalam hal penggunaan tehnik realitas untuk menangani middle child síndrome.

2. Secara Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan dalam pengembangan tehnik realitas untuk menangani middle child síndrome bagi peneliti selanjutnya. b. Peneliti ini diharapkan dapat bermanfaat bagi konseli/klien

agar dapat bersemangat dalam menjalani kehidupan dan membantu memecahkan permasalahn yang dihadapi oleh anak middle child síndrome

E. Definisi Konsep

1. Bimbingan Konseling Islam

Bimbingan dan Konseling Islam adalah proses pemberian bantuan terarah, kontinyu dan sistematis kepada setiap individu agar ia dapat mengembangkan potensi atau fitrah beragama yang dimilikinya secara optimal dengan cara menginternalisasikan nilai-nilai yang terkandung didalam Al-Qur’an dan hadits Rasulullah


(17)

8

SAW ke dalam dirinya, sehingga ia dapat hidup selaras dan sesuai dengan tuntutan Al-Qur’an dan Hadits.7

Sedangkan menurut Aunur Rahim Faqih Bimbingan dan Konseling Islam adalah Proses pemberian bantuan kepada individu agar menyadari kembali eksistensinya sebagai makhluk Allah yang seharusnya dalam kehidupan keagamaan senantiasa selaras dengan ketentuan-ketentuan dan petunjuk dari Allah, sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.8

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa bimbingan dan konseling islam adalah pemberian bantuan yang dilakukan konselor untuk konseli sesuai dengan fitrahnya sebagai manusia untuk memahami dirinya secara maksimal baik sebagai individu maupun mahluk sosial.

Pada penelitian kali ini bimbingan dan konseling islam diberikan dengan tujuan untuk membantu konseli menyadari keberadaannya sebagai mahluk ciptaan allah yang mampu memaknai fitrahnya sebagai mahluk hidup yang terus berkembang dan mampu menjadi pribadi yang lebih baik sehingga dapat mencapai keberhasilan dan kebahagiaan hidup sebagai mahluk social maupun sebagai ciptaan allah didunia dan akhirat.

7

Samsul Munir, Bimbingan Dan Konseling Islam, (Jakarta; Amzah, 2010) Hal. 23 8

Aunur Rahim Faqih, Bimbingan Konseling dalam Islam (Yogyakarta: UII PRESS, 2004) Hal. 4


(18)

9

2. Terapi Realitas

Dipelopori oleh William Glasser, terapi realitas ini menolak tentang pemikiran Sigmunt Frued dan meyatakan bahwa setiap manusia hidup dengan tanggung jawab atas pilihannya masing-masing, untuk lebih jelasnya akan ada sedikit pembahasan mengenai terapi ini.

a. Pengertian Terapi Realitas

Terapi realitas adalah suatu sistem yang berpusat pada tingkah laku sekarang, inti dari terapi ini adalah penerimaan tanggung jawab pribadi yang disamakan dengan kesehatan mental. Basic dari terapi realitas adalah membantu para klien dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan psikologis dasar, yang mencakup kebutuahn untuk mencintai dicintai serta kebutuhan untuk merasa bahwa kita berguna baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

Pandangan terapi realitas mengenai manusia adalah bahwa suatu “Kekuatan pertumbuhan” mendorong kita untuk berusaha mencapai suatu identitas keberhasilan. Sebagaimana yang dinyatakan Glasser dan Zunin “kami percaya bahwa masing-masing individu memiliki suatu kekuatan kearah kesehatan dan pertumbuhan. Pada dasarnya, orang-orang ingin puas hati dengan menikmati


(19)

10

suatu identitas keberhasilan, menunjukkan tingkah laku yang bertanggung jawab dan memiliki hubungan interpersonal yang penuh makna.”9

b. Tehnik Terapi Realitas

Prosedur-prosedur terapi realitas difokuskan pada kekuatan dan potensi klien yang berhubungan dengan tingkah lakunya sekarang dan usahanya untuk mencapai keberhasilan dalam hidup. Dalam membantu klien untuk menciptakan identitas keberhasilan, terapi dapat menggunakan beberapa tehnik :

1) Terlibat dalam permainan peran dengan klien 2) Menggunakan Humor

3) Mengonfrontasikan klien dan menolak dalil apapun 4) Membantu klien dalam merumuskan rencanan yang spesifik bagi tindakan

5) Bertindak sebagai model dan guru

6) Memasang batas-batas dan menyusun situasi terapi

7) Menggunakan “terapi kejutan verbal” atau sarkasme

yang layak untuk mengonfrontasikan klien dengan tingkah laku yang tidak realistis

9

Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. (Bandung : PT. Refika Aditama. 2005). Hal. 263


(20)

11

8) Melibatkan diri dengan klien dalam upaya mencari kehidupan yang lebih efektif.10

Diantara sekian banyak tehnik yang ditawarkan oleh terapi realitas untuk membantu konseli menumbuhkan tanggung jawab agar dapat memenuhi kebutuhan dasar dan menerima keberadaan dirinya tanpa merugikan orang lain, konselor dalam penelitian akan menggunakan dua tehnik sebagai rencana pemberian bantuan bagi penanganan

middle child syndrome yang dialami oleh konseli agar konseli dapat menerima keberadaannya sebagai anak tengah, diantaranya adalah :

1) Bertindak sebagai model dan guru

Konselor akan bertindak sebagai guru dan model bagi konseli, pada tahap ini konselor akan membagi pengalaman konselor dengan konseli mengenai pengalaman selama berada dipesantren dan memberikan motivasi pada konseli agar konseli bersedia menerima tanggung jawab untuk memenuhi kebutuahn dasarnya dan mengembangkan identitas sukses yang ia miliki tanpa merugikan orang lain.

10

Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. (Bandung : PT. Refika Aditama. 2005). Hal. 277


(21)

12

2) Membantu klien dalam merumuskan rencanan yang spesifik bagi tindakan

Setelah memastikan bahwa konseli memiliki kesediaan untuk merubah pemikirannya dan mau menerima tanggung jawab untuk mengembangkan identitas suksesnya, maka konselor akan embantu konseli merencanakan tindakan yang terperinci agar apa yang menjadi tujuan dari proses konseling yang dilakukan dapat tercapai.

Adapun beberapa tahapan yang dapat dilakukan untuk mempermudah jalannya proses tehnik terapi realitas ini adalah11 :

1) Menunjukkan keterlibatanan dengan konseli (Be Friend)

Pada tahapan ini konselor perlu menunjukkan sikap bersahabat dan bertekat untuk membantu konseli sehingga sikap antusias konselor akan membuat konseli merasa bahwa dia akan dibantu. Pada tahap ini konselor tidak dapat menghakimi konseli dengan atau memberi penilaian pada apa yang telah dilakukan konseli. Dengan demikian konselor akan dapat memahami

11

Dra. Gantima Komalasari, M.Psi. dkk, Teori dan Tehnik konseling (Jakarta : PT. Indeks. 2011) Hal.244


(22)

13

apapun yang dilakukan konseli merupakan pilihan terbaik pada saat itu dan akan mendiskusikan kegagalan yang telah dialami konseli.

2) Fokus pada perilaku sekarang

Konselor akan menanyakan pada konseli apa yang dilakukannya sekarang, konseli diminta untuk mengungkapkan ketidak nyamanannya dalam menangani masalah, dan konselor akan meminta konseli untuk mendeskripsikan hal-hal yang sudah dilakukannya dalam menghadapi masalah tersebut. Secara rinci tahapan ini berisi : Eksplorasi

keinginan, kebutuhan dan persepsi konseli dan menanyakan apa yang terfikir oleh konseli tentang keinginan orang lain dari dirinya dan menanyakan bagaimana konseli melihat hal itu.

3) Konseli melakukan evaluasi diri

Pada tahap ini konselor akan menyakan apakah pilihan perilakunya didasari keyakinan bahwa hal itu baik baginya, pada posisi ini konselor akan menjadi pembibing bagi konseli untuk menilai sendiri perilakunya.


(23)

14

Tahap setelah konseli menyadari bahwa perilakunya tidak menyelesaikan masalah dan tidak cukup menolong keadaan dirinya, maka tindakan selanjutnya adalah membuat rencana tindakan yang lebih bertanggung jawab, dimana hal-hal yang direncanakan ini akan dilakukan konseli untuk keluar dari masalah yang sedang ia hadapi.

5) Membuat komitmen

Konselor menberi dorongan pada konseli untuk merealisasikan rencana yang telah disusunnya bersama konselor sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan.

3. Middle Child Syndrome

Sindrom anak tengah (Middle Child Syndrome) adalah anak-anak tengah cenderung merasa ditolak, dikucilkan dan disalah pahami. Dibanyak kelauarga anak pertama lahir dengan mendapat banyak perhatian, cinta dan kasih sayang, anak kedua mungkin tidak selalu mendapatkan perhatian yang sama dan ketika perhatian itu datang padanya, itu tidak akan berlangsung lama karena kelahiran si anak bungsu. Ini membuat anak tengah merasa


(24)

15

terlupakan dan ia merasa bahwa ia harus bersaing dengan kakak maupun adiknya.12

Anak pertama menerima hak istimewa karena ia anak tertua, keberhasilannya akan dianggap sebagai tolak ukur bagi keberhasilan yang harus diraih oleh saudaranya sementara anak bungsu mendapat perhatian lebih karena ia dianggap sebagai ‘bayi’ dalam keluarga dan anak tengah biasanya seringkali merasa tidak suka saat harus dibandingkan dengan anak sulung dan kerap kali kesulitan menentukan perannya dalam keluarga karena ia bukan lagi yang termuda.13

Dalam penelitian ini konseli yang merupakan anak kedua diketahui memiliki middle child syndrome yang ditunjukkan melalui perilaku malas dan mudah menyerah yang timbul akibat rasa minder pada kemampuan diri sendiri karena mendapat perbandingan dengan sang kakak, kesuksesan yang harus ia capai adalah kesuksesan yang harus seperti yang kakaknya capai sementara setiap anak memiliki perbedaan pada berbagai aspek sekalipun ia lahir, tinggal serta mendapat pengasuhan yang sama dari orang tua. Perilaku lain yang timbul pada konseli adalah perasaan tersingkir dan kehilangan perhatian saat sibungsu hadir

12

Dr. Earl E Brancy and Tyesa Alexander MS, The Middle Generation Syndrome (A Throw Away Society), (Rosedogbook, 2013). Hal. 146

13

James T. Webb Ph.D. dkk, A Parent’s Guide to Gifted Childern , (United State America : Great Potensial Press, 2007). Hal. 198


(25)

16

didalam keluarganya, dan mengambil alih posisinya sebagai anggota termuda.

F. Metode Penelitian

Agar penelitian ini mendapatkan hasil yang valid dan benar, maka digunakanlah metode sebagai cara untuk melakukan penelitian yang benar secara ilmiah, baik dalam menghasilkan data-data yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Adapun penjelasannya sebagai berikut:

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini dibuat dalam bentuk kualitatif, yaitu penelitian yang bersifat naturalistik (alamiah), apa adanya, dalam situasi normal dan tidak dimanipulasi situasi dan kondisinya. 14

Dan jenis Pendekatan Penelitian bersifat diskripitif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki, dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan objek penelitian pada saat sekarang, berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. 15

Prosedur penelitian kualitatif ini menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Bukan berupa data angka maupun statistika.

14

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan dan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), hal. 12.

15

Hadari Nawawi, H. Murni Martini, Penelitian Terapan ( Yogyakarta : Gajah Mada University Press,cet . 2, 1966) hal.73


(26)

17

2. Sasaran Dan Lokasi Penelitian

Sasaran dalam penelitian ini adalah linda (nama samaran) anak tengah yang mengalami middle child syndrome

Penelitian ini dilakukan dipondok pesantren Safinatul Huda yang berlokasi di Rungkut Tengah III/3 Surabaya.

3. Jenis dan sumber data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata atau pernyataan-pernyataan yang disampaikan oleh responden,16 dan tingkah laku yang ditujukan oleh obyek penelitian.

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian atau yang bersangkutan dan memerlukannya. Data primer disebut juga data asli. Sumber data primer adalah subjek penelitian yang dijadikan sebagai sumber informasi penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau pengambilan data secara langsung17 atau yang dikenal dengan istilah interview (wawancara).

Dalam penelitian ini yang menjadi sumber data primer adalah : ketua Yayasan pondok pesantren Safinatul

16

Lexi, J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, ( Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1996) hal 157

17


(27)

18

Huda Surabaya, segenap pengurus dan staf-stafnya, para pengajar dan konseli serta teman-teman konseli di pondok pesantrenn Safinatul Huda Surabaya.

Adapun data yang digali pada penelitian ini adalah tentang kegiatan dipondok pesantren, keseharian konseli, sikap konseli disekolah maupun dipesantren, sikap konseli kepada keluarga saat ada kunjungan, sikap konseli kepada pembimbing dan teman sebaya serta kegiatan harian yang dilakukan konseli.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan dari sumber-sumber yang telah ada. Data ini biasanya diperoleh dari perpustakaan atau dari laporan-laporan peneliti terdahulu.

Data sekunder disebut juga data yang tersedia. Data sekunder biasa dikatakan sebagai data yang diperoleh lewat pihak lain, tidak langsung diperoleh peneliti dari subyek penelitian. Data ini diambil dari beberapa buku dan artikel yang membahas tentang middle child síndrome.

Adapun data sekunder yang dibutuhkan adalah berupa pemahaman tentang tehnik terapi realitas, middle child síndrome dan hal-hal yang melatar belakangi middle child síndrome.


(28)

19

4. Tahap-tahap Penelitian

Tahap peneliti menggambarkan semua perencanaan keseluruhan penelitian, pengumpulan data, analisis data, hingga pelaporan data. Adapun tahapan-tahapan yang akan dilakukan pada penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

a. Tahap Pra Lapangan

Langkah awal yang dilakukan oleh peneliti sebelum turun langsung ke lapangan, diantaranya adalah:

1) Membuat proposal penelitian

Dalam proposal ini peneliti pertama kali menyusun latar belakang masalah yang menerangkan bagaimana Bimbingan Konseling Islam dengan Terapi Realitas untuk menagani Midlle Child Syndrome, dan membuat rumusan masalah serta marancang metode penelitian yang dapat mengarah pada rumusan masalah judul tersebut.

2) Menyusun rancangan penelitian

Pada bagian ini peneliti merancang dan melakukan perencanaan apa yang harus peneliti lakukan selama penelitian. Dengan rancangan inilah peneliti bisa mengetahui dan bisa memprediksi kapan peneliti turun ke lapangan, bagaimana peneliti dalam mencari informan, berapa biaya yang dibutuhkan selama penelitian dan apa yang perlu peneliti amati.


(29)

20

b. Tahap lapangan

Tahapan ini peneliti turun ke lokasi penelitian dengan melakukan observasi pada keseharian dan sikap konseli serta melakukan wawancara untuk menggali lebih banyak informasi mengenai permasalahan konseli yang didapat dari beberapa sumber diantaranya, pembimbing, pengurus, teman sebaya dan konseli sendiri, kemudian dilakukan proses pemberian bantuan yang telah direncanakan setelah mengetahui permasalah konseli dengan tujuan agar konseli dapat menjalani kehidupannya dengan lebih baik.

c. Tahap Pasca Penelitian

Pasca penelitian adalah tahap sesudah kembali dari lapangan, pada tahap pasca penelitian ini dilakukan kegiatan – kegiatan antara lain: menyusun konsep laporan penelitian, berkonsultasi dengan dosen pembimbing, perampungan laporan penelitian, perbaikan hasil konsultasi, pengurusan kelengkapan persyaratan ujian akhir dan melakukan revisi seperlunya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pertahapan dalam penelitian ini adalah bentuk urutan atau berjenjang yakni dimulai pada tahap pra penelitian, tahap pelaksanaan penelitian, tahap pasca penelitian. Namun, walaupun demikian sifat dari kegiatan yang dilakukan pada masing-masing tahapan tersebut


(30)

21

tidaklah bersifat ketat, melainkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.

5. Tehnik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang seusai maka peneliti menggunakan beberapa teknik pengumpulan data yang mendukung, diantaranya sebagai berikut:

a. Observasi

Observasi berguna untuk menjelaskan, memeriksa dan merinci gejala yang terjadi. Ketika menguraikan metode deskriptif, kita sudah menjelaskan bagaimana etnomedologi di kalangan ilmuwan sosial dipergunakan untuk tujuan tujuan deskriptif. 18

Teknik observasi dilakukan dengan mengadakan pengamatan secara langsung terhadap objek yang telah ditentukan, guna memperoleh data yang langsung dapat diambil oleh peneliti.

Proses ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahuilingkungan konseli, interaksi social konseli, hubungan konseli dengan teman sebaya, pengurus dan pembimbing serta sikap-sikap konseli dalam menanggapi berbagai hal.

18

Jalaluddin Rahmat, Metode Penelitian Komunikasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), hal. 84


(31)

22

b. Interview / Wawancara

Penelitian ini juga menggunakan interview atau wawancara secara tatap muka. Tehnik pengumpulan data ini mendasarkan diri pada laporan tentang diri sendiri atau self report, atau setidak-tidaknya pada pengetahuan dan atau keyakinan pribadi. 19

Pada penelitian ini wawancara digunakan untuk memperoleh informasi utama dan pendukung. Wawancara yang dilakukan pada penelitian ini bersifat tidak strukutur. Dimana wawancara ini berjalan sesuai dengan keterangan yang diberikan oleh beberapa sumber, adapun wawancara ini berpusat pada latar belakang keluarga, keseharian didalam pesantren, perilaku konseli dan interaksi konseli dengan keluarga dan orang-orang didalam pondok pesantren.

c. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan metode pengumpulan data melalui peninggalan tertulis, seperti arsip-arsip termasuk buku tentang pendapat teori, dalil atau hukum-hukum lain yang berhubungan dengan masalah penelitian seperti letak geografis, peta, foto kegiatan

19

Prof. Dr. Sugiyono, Metode penelitian Kuantitatif, kualitatif dan R&D (Bandung : Alfabeta, 2009) Hal. 231


(32)

23

dan wujud yang lain yang diperlukan untuk menunjang kejelasan objek penelitian.

6. Tehnik Analisis Data

Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milah menjadi satuan yang dapat dikelola, mencari dan menemukannya pola, dan menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan memusatkan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.20

Teknik analisis data ini dilakukan setelah proses pengumpulan data yang telah diperoleh. Penelitian ini bersifat studi kasus, untuk itu teknik analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif komparatif, yaitu setelah data terkumpul dan diolah selanjutnya di analisisi. Analisa yang dilakukan untuk mengetahui tentang proses pelaksanaan bimbingan dan konseling dengan terapi relitas untuk meningkatkan identitas keberhasiln bagi anak yang mengalami middle child syndrome yang sesuai dengan kriteria keberhasilan secara teoritik, membandingkan kondisi awal konseli sebelum proses konseling dengan kondisi setelah pelaksanaan proses konseling.

20


(33)

24

7. Tehnik Pemeriksaan Keabsahan Data

Keabsahan data merupakan tingkat ketepatan antara data yang terjadi pada objek penelitian dengan data yang dapat dilaporkan oleh peneliti. Data yang valid adalah data yang tidak terdapat perbedaan antara data yang dilaporkan peneliti dengan kenyataan yang terjadi pada objek di lapangan. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa kebenaran realitas data menurut penelitian kualitatif tidak bersifat tunggal, tetapi bersifat jamak dan tergantung pada konstruksi manusia.21

Dan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tehnik trianggulasi sebagai tehnik pengabsahan data, yang mana trianggulasi sendiri adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding data. Dengan adanya teknik ini bisa diketahui adanya alasan terjadinya perbedaan, penulis memanfaatkan pengamatan lain untuk pengecekan kembali data yang diperoleh. Triangulasi dapat dilakukan dengan cara membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara, membandingkan data yang diperoleh dari informan pada waktu di depan umum dengan pribadi, membandingkan perkataan orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan kondisi sepanjang waktu, kemudian penulis

21


(34)

25

juga melakukan perbandingan wawancara dengan isi dokumen yang terkait.22

Pada tehnik triagulasi ini, peneliti akan membandingkan kajian teoritik mengenai middle child syndrome dan melihat adanya persamaan dengan apa yang terjadi dengan konseli. Dan penkeberhasilah hasil proses konseling juga akan didapat dan dibandingkan dari berbagai sumber diantaranya konseli, pembimbing pengurus dan teman konseli untuk mengetahui seberapa banyak dampak yang diberikan oleh konseling terhadap penerimaan diri konseli sebagai anak tengah.

G. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan dalam penelitian ini terdiri dari 5 bab pokok bahasan yang meliputi:

BAB PERTAMA : Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta Metode Penelitian meliputi : pendekatan dan jenis penelitian, subjek penelitian, tahap-tahap penelitian, jenis dan sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisa data, teknik keabsahan data dan Sistematika Pembahasan. BAB KEDUA : Kerangka teoritik meliputi kajuan pustaka yang membahas tentang pengertian bimbingan konseling islam, terapi realitas dan tehnik-tehnik terapinya. Selanjutnya juga membahas tentang

22

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya,


(35)

26

pengertian middle child syndrome, ciri-ciri middle child syndrome, dan dampak middle child syndrome.

BAB KETIGA : Pada bab ini menjelaskan tentang setting penelitian yang meliputi, deskripsi umum objek penelitian, deskripsi konseli, dan membahas deskripsi hasil penelitian.

BAB KEEMPAT : menyajikan analisis proses konseling dan analisis akhir dari bimbigan konseling islam dengan terapi realitas untuk menangani anak middle child syndrome

BAB KELIMA : Penutup, penutup merupakan bagian terakhir. Di mana pada bagian ini akan membahas tentang kesimpulan, saran dan lampiran-lampiran.


(36)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teoritik

1. Bimbingan Konseling Islam

a. Pengertian Bimbingan Konseling Islam

Bimbingan dan Konseling Islam adalah proses pemberian bantuan terarah, kontinyu dan sistematis kepada setiap individu agar ia dapat mengembangkan potensi atau fitrah beragama yang dimilikinya secara optimal dengan cara menginternalisasikan nilai-nilai yang terkandung didalam Al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW ke dalam dirinya, sehingga ia dapat hidup selaras dan sesuai dengan tuntutan Al-Qur’an dan Hadits.1

Sedangkan menurut Aunur Rahim Faqih Bimbingan dan Konseling Islam adalah Proses pemberian bantuan kepada individu agar menyadari kembali eksistensinya sebagai makhluk Allah yang seharusnya dalam kehidupan keagamaan senantiasa selaras dengan ketentuan-ketentuan dan petunjuk dari Allah, sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.2

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa bimbingan dan konseling islam adalah pemberian bantuan yang dilakukan konselor untuk konseli sesuai dengan fitrahnya sebagai manusia

1

Samsul Munir, Bimbingan Dan Konseling Islam, (Jakarta; Amzah, 2010) Hal. 23 2

Aunur Rahim Faqih, Bimbingan Konseling dalam Islam (Yogyakarta: UII PRESS, 2004) Hal. 4


(37)

28

untuk memahami dirinya secara maksimal baik sebagai individu maupun mahluk social.

Bantuan yang diberikan berupa pemberian dorongan dan pendampingan dalam memahami dan mengamalkan syariat islam itu diharapkan segala potensi yang dikaruniakan Allah kepada individu dapat berkembang secara optimal, akhirnya diharapkan individu dapat menjadi hamba Allah yang muttaqin, mukhlashin, muhshinin dan mutawaqilin, yang terjauhkan dari godaan syetan terhindar dari masiat dan lebih ikhlas dalam menjalankan ibadah. 3

b. Tujuan Bimbingan dan Konseling Islam

Bimbingan dan konseling islam memiliki beberapa tujuan yang disesuaikan dengan pemberian bantuan yang akan diberikan dan masalah yang menjadi perhatian namun secara umum bimbingan dan konseling islam memiliki tujuan sebagai berikut :

a. Membantu untuk berubah dan memungkingkan untuk hidup secara lebih produktif

b. Membantu mengajarkan bagaimana cara menghadapi masalah dan mengatasinya

c. Membantu untuk memperoleh informasi dan kejelasan diluar emosi dan ciri kepribadiannya yang mungkin menganggu dalam pengambilan keputusan.

3

Dr. Anwar Sutoyo, Bimbingan dan Konseling Islam. (Semarang : Widya Karya. 2009) Hal. 23-24


(38)

29

d. Membantu meningkatkan kualitas kehidupan seseorang sehingga pandangan dan penilaian terhadap diri lebih objektif sera meningkatkan keterampilan dalam penyesuaian dengan lingkungan

e. Membantu menfungsikan kemampuan individu semaksimal mungkin sesuai keadaan konseli.4

f. Membantu konseli mencapai kebahagian dunia akhirat g. Membantu konseli memahami haikat sebagai manusia. c. Fungsi Bimbingan dan Konseling Islam

Fungsi bimbingan konseling dibagi menjadi 2 segi, yakni segi sifat dan hubungan individu dengan lingkungannya.

 Fungsi dari segi sifatnya antara lain: a. Kuratif (Perbaikan)

Pelayanan bimbingan dan konseling untuk perbaikan berfokus pada masalah penyesuaian diri, menyembuhkan masalah psikologis yang dihadapi serta mengembalikan kesehatan mental dan gangguan emosional. b. Development (Pengembangan)

Fungsi ini berfokus untuk mengembangkan keterampilan dalam kehidupan, mengidentifikasi masalah-masalah dalam hidup, meningkatkan kemampuan

4

Drs. Shahudi Siradj,M.Si, Pengantar Bimbingan dan Konseling. (Surabaya : Revka Petra Media. 2012) Hal. 53-56


(39)

30

menghadapi transisi dalam kehidupan serta menjadi lebih tegas dalam memahami nilai dan menghadapi kecemasan. c. Preventif (Pencegahan)

Fungsi preventif membantu individu agar dapat berupaya aktif untuk melakukan pencegahan sebelum mengali masalah-masalah kejiwaan karena kurangnya perhatian. Upaya ini meliputi pengembangan strategi dan program yang dapat digunakan untuk mencoba mengantisipasi dan mengelakkan resiko hidup yang tidak perlu terjadi.5

 Fungsi Hubungan individu dengan lingkungannya a. Fungsi Penyaluran

Bantuan ini diberikan kepada individu agar mampu mengembangkan dirinya sesuai dengan kepribadiannya (bakat, minat, kemampuan, kelemahan dsb.)

b. Fungsi Penyesuaian

Bantuan ini diberikan agar individu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana ia tinggal.6

d. Asas-asas Bimbingan dan Konseling Islam

Keberhasilan layanan bimbingan dan konseling sangat ditentukan oleh terwujudnya asas-asas sebagai berikut :

5

Drs. MH Hamdani Bakran Adz-Dzaky, Psikoterapi dan Konseling Islam. (Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru. 2001) Hal. 162

6

Drs. Shahudi Shiraj, Pengantar Bimbingan dan Konseling. (Surabaya : PT. Revka Petra Media. 2012) Hal. 59-60


(40)

31

1) Rahasia : Menuntut dirahasiakannya segenap data dan keterangan tentang konseli yang menjadi sasaran layanan. 2) Sukarela : menghendaki adanya kesukarelaan konseli dalam menngikuti dan menjalani layanan yang diperlukan baginya.

3) Terbuka : menghendaki konseli untuk terbuka baik dalam memberikan keterangan tentang diri sendiri maupun menerima berbagai informasi dari luar yang berguna bagi perkembangannya.

4) Kegiatan : menghendaki agar konseli dapat berpartisipasi secara aktif dalam proses konseling.

5) Mandiri : konseli diharapkan dapat menjadi individu yang mandiri, yang mampu mengambil keputusan serta mewujudkan diri sendiri.

6) Kini : masalah yang menjadi focus adalah apa yang terjadi sekarang.

7) Dinamis : menghendaki agar layanan konseling berjalan maju, berkembang dan berkelanjutan sesuai kebutuhan konseli.

8) Terpadu : Koordinasi segenap layanan bimbingan dan konseling harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. 9) Harmonis : menghendaki layanan bimbingan dan


(41)

32

10)Ahli : menghendaki agar layanan bimbingan dan konseling diselenggarakan atas dasar kaidah-kaidah professional.

11)Alih Tangan Kasus : menghendaki agar layanan bimbingan konseling dialih tangankan pada yang lebih ahli bila masalah tidak dapat diatasi.

12)Tut Wuri Handayani : menghendaki agar layanan bimbingan dan konseling dapat menciptakan suasana mengayomi,mengembanhkan keteladanan dan mendorong konseli untuk bisa lebih maju. 7

2. Terapi Realitas a. Konsep Dasar

Pada dasarnya setiap individu terdorong untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan nya, dimana kebutuhan bersifat universal pada semua individu, sementara keinginan bersifat unik pada masing-masing individu. Adapun kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar itu tidak dimiliki sejak lahir, tetapi harus diperoleh melalui suatu proses belajar.8

Ketika seorang dapat memenuhi apa yang diinginkan, kebutuhan tersebut terpuaskan. Tetapi, jika apa yang diperoleh tidak sesuai dengan keinginan, maka orang akan frustasi, dan

7

Prof. Dr. Samsul Yusuf dkk. Landasan Bimbingan dan Konseling. (Bandung : Remaja Rosdakarya. 2012) Hal. 22-24

8

W.S. Winkel dan MM. Sri Hastuti, Bimbingan Konseling di Institusi Pendidikan, hal. 460


(42)

33

pada akhirnya akan terus memunculkan perilaku baru sampai keinginannya terpuaskan.

Perilaku manusia merupakan perilaku total (total behavior) terdiri dari berbuat (doing), berfikir (thinking), merasakan (feeling), dan menunjukkan respon-respon fisiologis (physiology). Oleh karena perilaku yang dimunculkan adalah bertujuan dan dipilih sendiri, maka Glesser menyebutnya sengan teori kontrol.9

Realitas merupakan rancangan yang tergolong dalam perspektif tindakan. Realitas atau kenyataan itu dapat berwujud suatu realitas praktis, realitas sosial, atau realitas moral. 10

Dalam pendekatan ini, konselor bertindak aktif, direktif, dan didaktik. Dalam konteks ini, konselor berperan sebagai guru dan sebagai model bagi konseli. Ciri yang khas dari pendekatan ini adalah tidak terpaku pada kejadian-kejadian di masa lalu, tetapi lebih mendorong konseli untuk menghadapi realitas. Pendekatan ini juga tidak memberi perhatian-perhatian pada motif-motif bawah sadar sebagaimana pandangan kaum psikoanalisis.

Pendekatan ini berpatokan pada ide sentral bahwa para individu adalah bertanggung jawab atas tingkah laku mereka. Ide

9

Gantina Komalasari, dkk, Teori dan Teknik Konseling,(Jakarta: PT. Indeks, 2011), hal. 248

10

W.S. Winkel dan MM. Sri Hastuti, Bimbingan Konseling di Institusi Pendidikan, hal. 459


(43)

34

ini mendasari teori konseling yang ditemukan oleh William Glasser yang dikenal dengan 3-R.

1. Pandangannya memusat pada Pentingnya tanggung jawab konseli (Responsibility : R).

Tanggung jawab diartikan sebagai kemampuan untuk dapat memenuhi dua kebutuhan psikologis yang mendasar yaitu kebutuhan untuk dicintai dan mencintai serta kebutuhan menghayati dirinys sebagai orang yang berharga, tetapi dengan cara tidak merampas hak orang lain untuk memenuhi kebutuhan mereka.

2. Norma dan nilai sosial yang dapat menjadi milik individu melalui internalisasi dan transformasi (Right : R).

3. Kenyataan dunia dimana individu bertingkah laku (Reality : R).11

Terapi realitas merupakan suatu bentuk hubungan pertolongan yang praktis, relatif sederhana dan bentuk bantuan langsung kepada konseli, yang dapat dilakukan oleh guru atau konselor di sekolah daam rangka mengembangkan dan membina kepribadian/kesehatan mental konseli secara sukses, dengan cara memberi tanggung jawab kepada konseli yang bersangkutan.

Terapi ini berprinsip bahwa seseorang dapat dengan penuh optimis menerima bantuan dari terapis untuk memenuhi

11

Andi Mappiare AT., Pengantar Konseling dan Psikoterapi, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hal. 159


(44)

35

kebutuhan-kebutuhan dasarnya dan mampu menghadapi kenyataan tanpa merugikan siapapun.

b. Pandangan Tentang Manusia

Dinamika kepribadian manusia ditentukan oleh kebutuhan dasar yaitu, kebutuhan fisiologis dan psikologis. Kebutuhan fisiologis merupakan pemenuhan kebutuhan fisik seperti makan, minum, dan seks. Kebutuhan psikologis pula ditujukan untuk memenuhi kepuasan psikis individu. Kedua kebutuhan dasar ini sudah terbentuk sejak masih anak-anak.12

Dalam pendekatan ini, identitas individu dibagi menjadi dua bagian yaitu: (1) identitas keberhasilan (success identity) dan (2) identitas kegagalan (failure identity). Anak yang berhasil memenuhi kebutuhan psikologisnya akan mengembangkan identitas keberhasilan dalam dirinya, sebaliknya jika gagal memnuhi kebutuhan psikologisnya maka anak tersebut akan mengembangkan identitas gagal dalam dirinya.

Glesser percaya bahwa setiap manusia memiliki kebutuhan psikologis yang secara konstan (terus-menerus) hadir sepanjang rentang kehidupannya dan harus dipenuhi. Ketika seorang mangalami masalah, hal tersebut disebabkan oleh satu factor, yaitu terhambatnya seorang dalam memenuhi kebutuhan psikologisnya. Keterhambatan tersebut pada dasarnya karena

12

Namora Lumonnga Lubis, 2011, Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori Dan Praktek, (Prenada Media : Jakarta), hal. 185.


(45)

36

penyangkalan terhadap realita, yaitu kecenderungan seseorang untuk menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan. Mengacu pada teori hirarki kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow. Glesser mendasari pandangannya tentang kebutuhan manusia untuk dicintai dan mencintai, dan kebutuhan untuk merasa berharga bagi orang lain.

Secara lebih rinci, Glesser menjelaskan kebutuhan-kebutuhan dasar psikologis manusia, meliputi:

1. Cinta (Belonging/ Love )

Kebututuhan ini disebut Glesser sebagai identity society , yang menekankan pentingnya hubungan personal. Beberapa aktivitas yang menunjukkan kebutuhan ini antara lain: persahabatan, acara perkumpulan tertentu, dan keterlibatan dalam organisasi kemahasiswaan. Kebutuhan ini oleh Glesser dibagi dalam tiga bentuk: social belonging, work belonging, dan family belonging.

2. Kekuasaan (Power)

Kebutuhan akan kekuasaan meliputi kebutuhan untuk berprestasi, merasa berharga, dan mendapatkan pengakuan. 3. Kesenangan (Fun)

Merupakan kebutuhan untuk merasa senang, bahagia. Kebutuhan ini muncul sejak dini, kemudian terus berkembang hingga dewasa. Misalnya berlibur untuk


(46)

37

menghilangkan kepenatan, bersantai, melucu, humor, dan sebagainya.

4. Kebebasan (Freedom)

Kebebasan merupakan kebutuhan untuk merasakan kebebasan atau kemerdekaan dan tidak bergantung pada orang lain, misalnya dalam membuat pilihan dan memutuskannya.

Dan untuk memenuhi kebtuhannya tersebut, manusia mempunyai konsep diri dan aktualisasi diri. Konsep diri adalah bagaimana individu menyadari dan mengenal dirinya sendiri. Konsep diri setiap orang dapat mempengaruhi mentalorang yang bersangkutan. Jika konsep diri berbeda dengan realitas yang dialaminya maka ia akan menimbulkan gangguan mental emosi atau neurotik. Sedangkan dalam self actualization

(aktualisasi diri), William menyebutkan bahwa merupakan kecenderungan individu untuk mengembangkan seluruh potesinya menuju hidup yang lebih baik dan lebih harmonis sehingga mencapai kebahagiaan dalam hdupnya. 13

c. Ciri-ciri Terapi Realitas

Sekurang-kurangnya ada delapan ciri yang menentukan terapi realitas sebagai berikut :

13


(47)

38

1. Menolak konsep tentang penyakit mental

Pendekatan ini tidak berurusan dengan diagnosis-diagnosis psikologis. Ia mempersamakan gangguan mental dengan tingkah laku yang tidak bertanggung jawab dan mempersamakan kesehatan mental dengan tingkah laku yang bertanggung jawab.

2. Berfokus pada tingkah laku sekarang alih-alih pada perasaan-perasaan dan sikap-sikap. Tingkah laku itu dievaluasi menurut kesesuain dan ketidaksesuaiannya dengan realitas yang ada.

Meskipun tidak menganggap perasaan-perasaan dan sikap-sikap itu tidak penting, terapi realitas menekankan kesadaran atas tingkah-laku sekarang. Terapis realitas juga tidak bergantung pada pemahaman untuk mengubah sikap-sikap, tetapi menekankan bahwa perubahan sikap mengikuti perubahan tingkah laku.

3. Berfokus pada saat sekarang, bukan kepada masa lampau Karena masa lampau seseorang itu telah tetap dan tidak bisa diubah, maka yang diubah hanyalah saat sekarang dan masa yang akan datang. Kalaupun didiskusikan tantang masa lampau dalam terapi tersebut, maka masa lampau tersebut selalu dikaitkan dengan tingkah laku klien sekarang.


(48)

39

Sehingga yang palin dipentingkan adalah bagaimana konseli dapat memperoleh kesuksesan pada masa yang akan datang. 4. Menekankan pertimbangan-pertimbangan nilai.

Terapi realitas menempatkan pokok kepentingannya pada peran klien dalam menilai kualitas tingkah lakunya sendiri dalam menentukan apa yang membantu kegagalan yang dialaminya. Jika para klien menjadi sadar bahwa mereka tidak akan memperoleh apa yang mereka iginkan dan bahwa tingkah laku mereka merusak diri, maka ada kemungkinan yang nyata untuk terjadinya perubahan positif, semata-mata karena menetapkan bahwa alternatif-alternatif bisa lebih baik daripada gaya mereka sekarang yang tidak realitas.

5. Tidak menekankan transferensi.

Terapi realitas tidak memandang konsep tradisional tentang transferensi sebagai hal yang penting. Ia memandang transferensi sebagai suatu cara bagi terapis untuk tetap bersembunyi sebagai pribadi. Terapi ini juga mengimbau agar para terapis menempuh cara beradanya yang sejati, yakni bahwa mereka menjadi diri sendiri, tidak memainkan peran sebagai ayah maupun ibu klien.


(49)

40

Terapi ini menekankan kekeliruan yang yang dilakukan oleh klien, bagaimana tingkah laku klien sekarang hingga dia tidak mendapatkan apa yang diinginkannya. Terapi ini memeriksa kehidupan klien sekarang secara rinci dan berpegang pada asumsi bahwa klien akan menemukan tingkah laku sadar. Oleh karenanya, terapi ini menandaskan bahwa menkankan ketaksadaran berarti mengelak dari pokok masalah menyangkut ketidak bertanggungjawaban klien dan memaafkan klien atas tindakannya menghindari kenyataan. 7. Menghapus konsep pemberian hukuman.

Glesser mengingatkan bahwa pemberian hukuman guna mengubah tingkah laku tidak efektif dan bahwa hukuman untuk kegagalan melaksanakan rencana-rencana mengakibatkan perkuatan identitas kegagalan pada klien dan perusakan hubungan terapeutik.

8. Menekankan tanggungjawab.

Menurut Glasser orang yang bertanggung jawab yaitu kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sendiri dan melakukannya dengan cara tidak mengurangi kemampuan orang lain dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. 14

14

Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, (Bandung : PT. Revika Aditama, 2013) hal. 265-268


(50)

41

d. Tujuan Terapi Realitas

Secara umum tujuan konseling realitas adalah membimbing konseli ke arah mempelajari perilaku yang realistis dan bertanggung jawab serta mengembangkan “identitas keberhasilan”. Konselor berkewajiban membantu konseli dalam membuat pertimbangan-pertimbangan nilai tentang prilakunya sendiri dan dalam merencakanakan tindakan bagi perubahannya.15 Adapun tujuan-tujuan lain dari terapi realitas adalah sebagai berikut :

1. Menolong individu agar mampu mengurus diri sendiri, supaya dapat menentukan dan melaksanakan perilaku dalam bentuk nyata.

2. Mendorong konseli agar berani bertanggungjawab serta memikul segala resiko yang ada, sesuai dengan kemampuan dan keinginannya dalam perkembangan dan pertumbuhannya.

3. Mengembangkan rencana-rencana nyata dan realistik dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

4. Perilaku yang sukses dapat dihubungkan dengan pencapaian kepribadian yang sukses, yang dicapai dengan menanamkan nilai-nilai adanya keinginan individu untuk mengubahnya sendiri.

15

Makmun Khirani, Psikologi Konseling , (Yogyakarta : Aswaja Pressindo , 2014), hal. 65


(51)

42

5. Terapi ditekankan pada disiplin dan tanggungjawab atas kesadaran sendiri.

e. Fungsi dan Peran Konselor

Peran dan Fundsi Konselorungsi konselor pada pendekatan realitas adalah melibatkan diri dengan konseli, bersikap direktif dan didaktik, yaitu berperan seperti guru yang mengarahkan dan dapat saja mengkondrontasi, sehingga konseli mampu menghadapi kenyataan. Di sini terapis sebagai fasilitator yang membantu konseli agar bisa menilai tingkah lakunya sendiri secara relistis.16

Ada pula yang menyebutkan bahwa tugas dasar seorang konselor dalam proses pendekatan ini adalah :

1. Melibatkan diri dengan klien dan kemudian membuatnya menghadapi kenyataan.

2. Tidak membuat pertimbangan-pertimbangan nilai dan pututsan-putusan bagi para klien.

3. Pembimbing yang membantu klien agar bisa menilai tingkah lakunya secara realistis.

4. Memberikan pujian apabila para klien bertindak dengan cara yang bertanggungjawab dan menunjukkan ketidaksetujuan apabila mereka tidak bertindak demikian.

16

Gantina Komalasari, dkk, Teori dan Teknik Konseling,(Jakarta: PT. Indeks, 2011) hal. 253


(52)

43

5. Berasumsi bahwa klien bisa menciptakan kebahagiannya sendiri dan bawa kunci untuk menemukan kebahagiaan adalah penerimaan tanggung jawab.

6. Memasang batas-batas, mencakup batas-batas dalam situasi terapeutik dan batas-batas yang ditempatkan oleh kehidupan pada seseorang.

7. Kemampuan terapis untuk terlibat dengan klien serta untuk melibatkan klien dalam proses terapeutik dianggap paling sempurna.17

f. Tehnik Terapi Realitas

Prosedur-prosedurnya difokuskan pada kekuatan dan potensi klien yang berhubungan dengan tingkah lakunya sekarang dan usahanya untuk mencapai keberhasilan dalam hidup. Dalam membantu klien untuk menciptakan identitas keberhasilan, terapi dapat menggunakan beberapa tehnik :

a.Terlibat dalam permainan peran dengan klien b.Menggunakan Humor

c.Mengonfrontasikan klien dan menolak dalil apapun d.Membantu klien dalam merumuskan rencanan yang

spesifik bagi tindakan

e.Bertindak sebagai model dan guru

f.Memasang batas-batas dan menyusun situasi terapi

17

Gerald Core, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, (Bandung : PT. Revika Aditama, 2013) hal. 270-272.


(53)

44

g.Menggunakan “terapi kejutan verbal” atau sarkasme yang layak untuk mengonfrontasikan klien dengan tingkah laku yang tidak realistis

h.Melibatkan diri dengan klien dalam upaya mencari kehidupan yang lebih efektif.18

g. Tahapan-tahapan Konseling

Proses konseling dalam pendekatanrealitas berpedoman pada dua unsure utama, yaitu penciptaan kondisi lingkungan yang kondusif dan beberapa prosedur yang menjadi pedoman untuk mendorong terjadinya perubahan pada konseli. Secara praktis, Thompson mengemukakan delapan tahap dalam konseling realitas, yaitu:

1. Konselor menunjukkan keterlibatan dengan konseli (Be Friend)

Pada tahap ini konselor mengawali pertemuan dengan bersikap otentik, hangat, dan menaruh perhatian pada hubungan yang sedang dibangun. Konselor harus dapat melibatkan diri kepada konseli dengan memperlihatkan sikap hangat dan ramah. Meskipun konseli menunjukkan ketidaksenangan, marah, atau bersikap yang tidak berkenan, konselor harus tetap menunjukkan sikap ramah dan sopan, tetap tenang, dan tidak mengintimidasi konseli.dalam konteks

18

Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. (Bandung : PT. Refika Aditama. 2005). Hal. 277


(54)

45

ini konseli biasanya berharap konselor akan mendiskusikan kegagalan perilaku yang dialaminya, dan sebaliknya, konselor lebih cenderung mendiskusikan keberhasilan konseli. 2. Fokus pada perilaku sekarang

Tahap kedua ini merupakan eksplorasi diri bagi konseli. Konseli mengungkapkan ketidaknyamanan yang ia rasakan dalam menghadapi permasalahannya. Lalu konselor meminta konseli mendeskripsikan hal-hal apa saja yang telah dilakukan dalam menghadapi kondisi tersebut. Secara rinci tahap ini meliputi:

a. Eksplorasi picture album (keinginan), kebutuhan, dan persepsi.

b. Menanyakan keinginan-keinginan konseli

c. Menanyakan apa yang benar-benar diinginkan konseli d. Menanyakan apa yang terpikir oleh konseli tentang

yang diinginkan orang lain dari dirinya dan menanyakan bagaimana konseli melihat hal tersebut 3. Mengeksplorasi total Behavior Konseli

Menanyakan apa yang dilakukan konseli (doing), yaitu konselor menanyakan secara spesifikapa saja yang dilakukan konseli: cara pandang konseling realitas, akar permasalahan konseli bersumber pada perilakunya bukan pada perasaannya.


(55)

46

4. Konseli meniali diri sendiri atau melakukan evaluasi Memasuki tahap keempat, konselor menanyakan kepada konseli apakah pilihan perilakunya itu didasari oleh keyakinan bahwa hal itu baik baginya. Fungsi konselor tidak untuk menilai benar atau salah perilaku konseli, tetapi membimbing konseli untuk menilai periakunya saat ini. 5. Merencanakan tindakan yang bertanggung jawab

Tahap ketika konseli mulai menyadari bahwa perilakunya tidak menyelesaikan masalah, dan tidak cukup menolong keadaan dirinya, dilanjutkan dengan membuat perencanaan tindakan yang lebih bertanggung jawab.

6. Membuat Komitmen

Konselor mendorong konseli untuk merealisasikan rencana yang telah disusunnya sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan.

7. Tindak lanjut.

Merupakan tahap terakhir dlam konseling. Konselor dan konseli mengevaluasi perkembangan yang dicapai.19

3. Middle Child Syndrome

Bagi setiap orang tua, berlaku adil adalah ketika orang tua mampu memenuhi kebutuhan anak sesuai pada tahap pertumbuhan, perkembangan dan kebutuhannya. Akan tetapi bagi anak adil

19

Gantina Komalasari, dkk, Teori dan Teknik Konseling,(Jakarta: PT. Indeks, 2011) hal. 244-252


(56)

47

adalah ketika ia mendapatkan apa yang juga didapatkan oleh saudaranya.

Pemikiran orang tua yang kadang tidak dimengerti anak ini menimbulkan persepsi yang beragam, adapun salah satu perspektif negative tersebut adalah Middle Child Syndrome.

a. Pengertian Middle Child Syndrome

Sindrom anak tengah (Middle Child Syndrome) adalah anak-anak tengah yang cenderung merasa ditolak, dikucilkan dan disalah pahami. Dibanyak keluarga anak pertama lahir dengan mendapat banyak perhatian, cinta dan kasih sayang, anak kedua mungkin tidak selalu mendapatkan perhatian yang sama dan ketika perhatian itu datang padanya, itu tidak akan berlangsung lama karena kelahiran si anak bungsu. Ini membuat anak tengah merasa terlupakan dan ia merasa bahwa ia harus bersaing dengan kakak maupun adiknya.20

Anak pertama menerima hak istimewa karena ia anak tertua dan anak bungsu mendapat perhatian lebih karena ia dianggap sebagai ‘bayi’ dalam keluarga dan anak tengah biasanya kesulitan menentukan perannya dalam keluarga karena ia bukan lagi yang termuda.21

20

Dr. Earl E Brancy and Tyesa Alexander MS, The Middle Generation Syndrome (A Throw Away Society), (Rosedogbook, 2013). Hal. 146

21

James T. Webb Ph.D. dkk, A Parent’s Guide to Gifted Childern , (United State America : Great Potensial Press, 2007). Hal. 198


(57)

48

Keberadaan anak tengah kadang tidak bisa menjadi sesuatu yang seistimewa keberadaan anak sulung sebagai pemberi pengalaman pertama bagi orang tua, dan anak tengah juga tidak bisa bersikap egois karena kini ia bukan lagi yang termuda sejak keberadaan si bungsu. Dan hal ini membuat anak tengah mulai memiliki masalah dengan keberadaannya dan menumbuhkan middle child syndrome

pada dirinya.

b. Faktor Pemicu Middle Child Syndrome

Middle child syndrome biasanya muncul dengan beberapa factor baik internal maupun eksternal, diantaranya ;

Pemicu munculnya sindrom ini dalam diri anak biasanaya dipengaruhi oreh rasa iri dan ketidak puasan anak pada pembagian perhatian yang diterima dari orang tua.

Sementara factor eksternal biasanya kerap muncul karena sebagian orang menganggap kesuksesan anak sulung sebagai pacuan bagi kesuksesan untuk anak setelahnya, dan menjadikan sebagai perbandingan bagi saudaranya yang lain.

c. Gejala Middle Child Syndrome

Secara umum, gejala-gejala berikut adalah yang biasanya tampil paling menonjol pada anak yang mengalami middle child syndrome


(58)

49

Yang pertama adalah feelings of isolation (merasa terasingkan), tidak dapat memiliki dan menikmati perhatian orang tua sebagai pemberi pengalaman pertama dan harapan yang biasanya hanya diterima oleh anak sulung serta ketidak mampuan merasakan perhatian sebagai anak bungsu.

Yang kedua identity problem seperti yang dianalogikan sebelumnya, anak tengah cenderung merasa sepertihalnya yellow traffic lamp, perasaan seringkali dibandingkan dengan kesuksesan sang kakak dan ketidak mampuan menentukan siapa dirinya dan apa perannya dalam keluarga, ia bukan si sulung yang punya tanggung jawab sebagai pemimpin dan penanggung jawab serta bukan pula si bungsu yang boleh bersikap semaunya. seringkali membuat anak tengah memiliki konsep diri yang buruk (minder).

Yang ketiga behavior problem jika tidak memiliki sifat yang sangat tertutup atau menarik diri dari banyak orang, maka menjadi pembangkang adalah salah satu gejala middle child syndrome, hal ini karena ia merasa luput dari perhatian orang tua. Jika tidak menjadi anak yang pemalu dan sering menarik diri dari lingkup social untuk mencoba menutupi kekurangannya sebagai


(59)

50

anggota keluarga yang tidak memiliki keunikan maka ia akan menjadi pembangkang agar keberadaannya dapat diakui. 22 4. Bimbingan dan Konseling Islam dengan Terapi Realitas untuk

menangani Middle Child Syndrome

Setelah menjabarkan konsep dasar pada kajian teoritik mengenai bimbingan konseling islam, terapi realitas dan middle child syndrome maka disini akan dijelaskan kesinambungan antara tujuan pemberian bantuan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat dalam bimbingan konseling islam dengan menggunakan terapi realitas yang dilakukan dengan menerima tanggung jawab untuk dapat memenuhi kebutuahan dasar tanpa merugikan orang lain dengan menggunakan tehnik konselor berperan sebagai model dan guru serta perencanaan tindakan yang spesifik untuk mengatasi

middle child syndrome yang dimiliki oleh anak akibat rasa minder dan iri karena mendapat perlakuan berbeda yang ditandai dengan munculnya gejala berupa mudah menyerah dan hubungan yang kurang intensif dengan saudara.

Untuk mempermudah penjabaran tentang keterkaitan bimbingan dan konseling islam dengan terapi realitas untuk menangani middle child syndrome ini, maka dapat diskemakan sebagai berikut.

22

Raymond N. Guarendi, You’re A Better Parent Than You Think , (New York : Prentice Hall Press, 1992). Hal. 83


(60)

51

Bimbingan dan Konseling Islam

Pemberian bantuan agar individu dapat menerima fitrahnya sebgai mahluk Allah dan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat

Terapi Realitas

Menerima tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar tanpa merugikan orang lain dan mampu

mengembangkan identitas

Middle child syndrome

Tehnik Terapi Realitas

1. Konselor bertindak sebagai model dan guru

2. Merencanakan tindakan yang bertanggung jawab bagi konseli

Factor Penyebab

Merasa minder karena seringkali dibanding-bandingkan dengan sang kakak

Iri pada perlakuan berbeda yang diterima pada saudara

Mudah menyerah pada hal-hal baru

Hubungan yang kurang dekat dengan saudara


(61)

52

B. Penelitian Terdahulu Yang Relevan

Sebelum melaksanakan penelitian ini, peneliti telah menelaah beberapa penelitian yang sudah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya yang kajiaanya masih layak untuk dikaji kembali dan masih mempunyai keterkaitan dengan penelitian ini baik dalam teori maupun metode yang digunakannya, diantara penelitian yang sudah dikaji adalah:

1. BIMBINGAN KONSELING ISLAM DENGAN TERAPI REALITAS DALAM MENGATASI ANAK TERISOLIR (STUDI KASUS ANAK HASIL ADOPSI)

Oleh : Siti Nur Asiyah Nim : B03210033 Tahun : 2014

Jurusan : Bimbingan Dan Konseling Islam

Menangani anak adopsi yang merasa tidak mendapat perhatian (Terisolir) sehingga sulit untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitar.

Persamaan : penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian saya yang berfokus pada perasaan terabaikan yang dialami oleh anak serta adanya penggunaan terapi realitas pada proses bimbingan dan konselingnya.

Perbedaan : penelitian ini memiliki perbedaan pada subjek penelitian dalam penelitian diatas subjeknya adalah anak adopsi


(62)

53

sementara penelitian saya bersubjek anak tengah yang mengalami

middle child syndrome.

2. STUDI KOMPARASI KECERDASAN INTERPERSONAL

BERDASARKAN URUTAN KELAHIRAN DALAM

KELUARGA (SULUNG, TENGAH, DAN BUNGSU) PADA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 1 WARU SIDOARJO

Nama : Nafi’atul Azminah Nim : D03212051

Tahun : 2016

Jurusan : Kependidikan Islam

Menelaah adanya perbedaan karakter dan kecerdasan interpersonal pada anak berdasarkan pada urutan lahir dalam keluarga.

Persamaan : penelitian ini memiliki subjek yang sama dengan penelitian saya yakni anak kedua atau anak tengah.

Perbedaan : penelitian ini ditujukan hanya sebagai pembuktian tentang ada tidaknya perbedaan kecerdasan berdasarkan urutan lahir sementara penelitian saya memiliki focus masalah berupa “Middle Child Syndrome” dan juga adanya proses konseling.

3. UPAYA BIMBINGAN KONSELING ISLAM DALAM MENINGKATKAN RASA PERCAYA DIRI SEORANG ANAK DI DESA PEDAGANGAN KECAMATAN WRINGINANOM KABUPATEN GRESIK


(63)

54

Nama : Arihah Nim : B03304019 Tahun : 2009

Jurusan : Bimbingan Dan Penyuluhan Islam

Penelitian dilakukan untuk menangani masalah kepercayaan diri anak akibat perbuatan buruk orang tua dan labeling oleh masyarakat.

Persamaan : penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian saya dalam meningkatkan rasa percaya diri pada anak.

Perbedaan : penelitian ini tidak memiliki spesifikasi pada anak yang ditangani sementara penelitian saya berfokus pada anak tengah.

4. BIMBINGAN KONSELING ISLAM DENGAN TERAPI

RASIONAL EMOTIF DALAM MENGATASI SIBLING

RIVALRY DALAM KELUARGA DI DESA GRABAGAN

KECAMATAN TULANGAN KABUPATEN SIDOARJO Nama : Entin Nur Faridah

Nim : B03212034 Tahun : 2016

Jurusan : Bimbingan Dan Konseling Islam

Penelitian dilakukan untuk menangani masalah permusuhan yang terjadi antar saudara yang dilatar belakangi oleh adanya anak emas atau anak kesayangan yang menyebabkan anak lainnya merasa mendapat perlakuan berbeda dari orang tuanya .


(64)

55

Persamaan : penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian saya tentang adanya perlakuan berbeda oleh orang tua yang dirasakan oleh anak dan saudaranya.

Perbedaan : penelitian ini berfokus pada anak tengah saja sementara penelitian diatas berfokus pada seluruh anggota keluarga.


(65)

BAB III PENYAJIAN DATA

A.Deskripsi Umum Objek Penelitian 1. Deskripsi Lokasi Penelitian

a. Sejarah Singkat

Pondok pesantren Safinatul Huda yang berlokasi Jl. Rungkut Tengah III/33 Surabaya ini didirikan sejak tahun 2001 oleh Drs. Choirul Anam M.Ag, pondok pesantren yang mengedepankan pemahaman cara baca dan terjemah Al-Qur’an ini, pada awalnya ditahun 1996 adalah sebuah mushollah sederhana milik Drs. Choirul Anam M.Ag yang digunakan sebagai tempat mengaji Al-Qur’an atau yang kini lebih dikenal sebagai TPQ bagi anak-anak warga yang tinggal didekat mushollah di rungkut tengah tersebut, karena banyakknya santri yang ikut bergabung setelah beberapa saat berjalan akhirnya Drs. Choirul Anam M.Ag memutuskan untuk meneruskannya menjadi sebuah pondok pesantren berbasis Al-Qur’an.1

Bangunan dengan luas 933m2 ini tidak hanya menyediakan pesantren bagi anak -anak saja tapi juga bagi balita. Yayasan SAFINDA yang biasanya digunakan sebagai sebutan bagi “Safinatul Huda”juga memiliki beberapa pendidikan diluar pesantren seperti PG, TKTI, MI, Madrasah Diniyah dan Pelatihan Terjemah Al-Qur’an.

1


(66)

57

Pondok pesantren safinatul huda ini berbatasan dengan ; Sebelah Timur : Rungkut Tengah IV

Sebelah Barat : SMP Miftahul Ulum, Rungkut-Surabaya Sebelah Utara : SD Miftahul Ulum, Rungkut-Surabaya Sebelah Selatan : Kelurahan Rungkut Menanggal.2 b. Visi dan Misi

Visi

Membentuk generasi islam yang beraqidah mantap, berakhlaqul karimah, berprestasi akademik optimal, berwawasan global dan memiliki kompetensi tinggi.

Misi

 Menumbuhkan dan menguatkan penghayatan terhadap ajaran islam sehingga menjadi sumber kearifan dalam bertindak  Membimbing dalam mengamalkan ajaran agama islam dalam

kehidupan sehari-hari baik dilingkungan sekolah maupun masyarakat

 Meningkatkan sikap dan perilaku berakhlak mulia

 Membimbing peseta didik dapat memahami Al-Qur’an dari segi bacaan, terjemahan, I’rab, tafsirnya dan mampu

mengajarkan

 Menumbuhkan semangat keunggulan secara intensif

2


(67)

58

 Mendorong dan membantu setiap siswa untuk mengenali potensi dirinya sehingga dapat dikembangkan secara optimal  Menimbulkan sikap ulet dan gigih dalam perkompetensi

meraih prestasi belajar

 Membimbing, mendorong dan membantu siswa untuk menumbuhkan dan mengembangkan kemandirian, kepemimpinan dan potensi diri dalam segala bidang  Menjadi pondok pesantren yang berbasis dakwah dan dapat

dicontoh

c. Struktur Kepengurusan Table 3.1

Kepengurusan YPP Safinatul Huda Rungkut Surabaya

Dewan Penasehat Drs. H. Irwan Basri Ir. H. Adi Prasongko

Drs. M. Santoso

Dewan Pembina Drs. HM. Idrus. SH. SE. MM. Ak

Drs. H. Basri Hardjosumarto. Msi

Dewan Pengawas Drs. H. Sukono

Drs. Djamaluddin Sholeh M.E.I

Dewan Pengurus Harian Ketua : Drs. Choirul Anam.

M.E.I

Sekretaris : Drs. H. Meodjahid Zainu

Bendahara : M. Sholeh Wakil Bendahara : H. Sutomo


(68)

59

d. Peserta Didik Yayasan Safinda

Yayasan Safinatul Huda sejatinya tidak hanya menaungi pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan berbasis agama yang memiliki sekitar 70 santri saja, tetapi juga menaungi pendidikan bagi anak usia dini seperti pesantren balita yang memiliki 64 anak, PG/TKIT yang memiliki 132 murid, juga Madrasah Ibtidaiyah atau MI dengan 146 murid, Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) yang mendidik sekitar 172 murid serta peserta pendidikan Madrasah Diniyah atau MADIN dengan 32 santri.

Menurut Drs. Choirul Anam M.E.I selaku pengasuh Yayasan Safinatul Huda Rungkut Surabaya, menuturkan bahwa yayasan ini masih dalam masa pengembangan sehingga diharapkan kedepannya lembaga-lembaga berbasis agama yang telah ada ini akan terus berkembang dan memiliki kulaitas terbaik. 3

e. Program Unggulan

Pondok pesanten safinatul huda ini memiliki beberapa program unggulan diantaranya adalah ;

a. Madrasah Fahmil Qur’an

- Membanca al-qu’ran dan memaknainya - Menguasai I’rabul qu’ran

3


(1)

94

yang peduli padanya.

Data lapangan tersebut sebenarnya sudah menjadi bukti bahwa pelaksanaan konseling dengan Terapi Rasional Realitas dapat merubah diri klien menuju ke arah yang lebih baik, hal ini ditunjukkan dengan banyaknya perubahan yang sudah tampak pada konseli yang dulunya minder dan mudah putus asa, sekarang menjadi semangat dan rajin, yang dulunya masih sering iri dan berfikir mendapat perlakuan berbeda sebagai anak tengah kini berhasil menghalau pemikiran itu untuk membangun hubungan yang lebih baik dengan saudara, perubahan sikap yang lainnya juga tampak pada kemandirian konseli dan kemauan untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik.

Dengan ini diharapkan bantuan yang telah diberiknan oleh konselor akan dapat membantu konseli untuk lebih dapat menempatkan dirinya sebagai pribadi yang bertanggung jawab atas pilihannya dan mampu menunjukkan identitas suksesnya pada banyak orang.


(2)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari hasil penelitian bimbingan konseling islam dengan terapi

realitas untuk menangani anak middle child syndrome di pondok pesantren safinatul huda

rungkut surabaya adalah sebagai berikut :

1. Proses penelitian bimbingan konseling islam dengan terapi realitas untuk menangani

anak middle child syndrome di pondok pesantren Safinatul Huda Rungkut Surabaya

Kemudian dari lima langkah proses konseling yang telah dilakukan yaitu identifikasi

masalah, diagnosis, prognosis, terapi/treatment dan evaluasi/follow up. Untuk

membangun sikap peduli pada konseli, maka dapat dilakukan pada langkah

terapi/treatment, diantaranya:

a. Meminta konseli untuk menungkapkan ketidak nyamananya sebagai

anak tengah .

b. Meminta konseli menjelaskan bagaimana usahanya untuk mengatasi

perasaan rendah diri, penyendiri dan iri yang selama ini dialaminya.

c. Meminta konseli mengungkapkan keinginan terbesarnya

d. Mengeksplorasi semua perilaku dan tindakan yang selama ini dilakukan

konseli

e. Meminta konseli untuk menilai dirinya sendiri

f. Merencanakan tindakan yang bertanggung jawab


(3)

96

dilihat dari proses konseling yang telah dilakukan konselor pada konseli adalah

adanya semagat dan kemauan yang kuat yang tumbuh pada diri konseli untuk dapat

mengikuti pembelajaran yang selama ini membuatnya menyerah, konseli juga mulai

dapat membangun hubungan yang lebih dekat dengan saudaranya, konseli juga telah

menemukan identitas suksesnya sebagai anak yang akan membanggakan orang tua

melalui ilmu agama yang ia pelajari kini.

B. Saran

1. Bagi konselor ini akan menjadi pembelajaran yang sangat berharga, perlu juga bagi

konselor untuk mengasah kempuan dalam komunikasi konseling sehingga akan

mudah bagi konselor untuk mengungkap lebih dalam permasalahan yang dimiliki

konseli.

2. Bagi konseli setiap orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing, menjadi

berbeda bukan masalah asal konseli dapat menunjukkan bahwa jalan yang berbeda

bukan tidak memiliki kesuksesan yang sama.

3. Bagi para pembaca pada umumnya keberadaan anda berharga bagi siapapun, anda

hanya belum mengetahui apa yang dibicarakan tentang anda, jadi teruslah tunjukkan


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Adz-Dzaky, MH Hamdani Bakran, Psikoterapi dan Konseling Islam, Yogyakarta :

Fajar Pustaka Baru, 2001

Al- Albani, Wahbi Sulaiman Ghawaji, Sosok Wanita Muslim, Bandung : Trigenda

Karya, 1995

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan dan Praktek, Jakarta :

Rineka Cipta, 2006

Azwar, Saifuddin, Metode Penelitian, Yogyakarta : Pustaka Belajar, 2007

Brancy, Earl E and Tyesa Alexander MS, The Middle Generation Syndrome (A

Throw Away Society), Rosedogbook, 2013

Corey, Gerald, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung : PT.

Refika Aditama. 2005

Faqih, Aunur Rahim, Bimbingan Konseling dalam Islam, Yogyakarta: UII

PRESS, 2004

Guarendi, Raymond N., You’re A Better Parent Than You Think, New York :

Prentice Hall Press, 1992

Khirani, Makmun, Psikologi Konseling, Yogyakarta : Aswaja Pressindo, 2014

Komalasari, Gantima dkk, Teori dan Tehnik konseling , Jakarta : PT. Indeks,

2011

Lestari, Sri, Psikologi Keluarga, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2013

Lubis, Namora Lumonnga, Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori Dan


(5)

Lucy, Jimmy, anak sulung dan sindrom anak tengah, 2010

http://jimmylucy.com/anak-sulung-dan-sindrom-anak-kedua/, diakses pada 29

Maret 2016

Mappiare AT, Andi, Pengantar Konseling dan Psikoterapi, Jakarta : PT. Raja

Grafindo Persada, 2011

Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1988

Munir, Samsul, Bimbingan Dan Konseling Islam, Jakarta : Amzah, 2010

Nawawi, Hadari, H. Murni Martini, Penelitian Terapan, Yogyakarta : Gajah

Mada University Press, 1966

Noorastuti, Pipiet Tri, Idealkah Jumlah Anak Anda, 15 Maret 2010

http://m.life.viva.co.id/news/read/136462-idealkah-jumlah-anak-anda, diakses

pada 09 Mei 2016

Rahmat, Jalaluddin, Metode Penelitian Komunikasi, Bandung : PT Remaja

Rosdakarya, 2000

Shiraj, Shahudi, Pengantar Bimbingan dan Konseling, Surabaya : PT. Revka

Petra Media. 2012

Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: CV. Alfabeta, 2014

Sugiyono, Metode penelitian Kuantitatif, kualitatif dan R&D, Bandung : Alfabeta,

2009

Suparmoko, M, Metode Penelitian Praktis, Yogyakarta: BPFE, 1995

Suryabrata, Sumadi, Psikologi Kepribadian, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,


(6)

Webb, James T.dkk, A Parent’s Guide to Gifted Childern, United State America :

Great Potensial Press, 2007

Wijaya, Johan, Psikologi Bimbingan,Bandung : Eresco, 1988

Winke,l W.S. dan MM. Sri Hastuti, Bimbingan Konseling di Institusi Pendidikan,

Yogyakarta : Aswaja Pressindo, 2014

Yusuf, Samsul dkk. Landasan Bimbingan dan Konseling, Bandung : Remaja