PERAN PONDOK PESANTREN DALAM MENINGKATKAN MORALITAS KEAGAMAAN MASYARAKAT PEDESAAN : STUDI KASUS PONDOK PESANTREN MAMBA'UL MA'ARIF DENANYAR JOMBANG.

(1)

PERAN PONDOK PESANTREN DALAM MENINGKATKAN MORALITAS KEAGAMAAN MASYARAKAT PEDESAAN ( STUDI KASUS PONDOK

PESANTREN MAMBA’UL MA’ARIF DENANYAR JOMBANG )

SKRIPSI Oleh:

HIKMAH ASYIFAK NIM. D01212080

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA JANUARI 2016


(2)

(3)

(4)

(5)

ABSTRAK

Skripsi ini meneliti secara mendalam tentang Pondok Pesantren dan dinamika peningkatan moralitas keagamaan masyarakat pedesaan ( tentang peranan Pondok

Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang ). Ada dua pertanyaan yang akan

dijawab dalam penelitian ini : (1) bagaimana peran Pondok Pesantren Mamba’ul

Ma’arif di tengah kehidupan masyarakat desa Denanyar. (2) bagaimana pelaksanaan

program kegiatan pondok pesantren Mamba’ul Ma’arif dalam kaitannya dengan peningkatan moralitas keagamaan masyarakt desa Denanyar Jombang.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan mengambil latar

belakang Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang. Pengumpulan

data dilakukan dengan menggunakan metode observasi, dokumentasi dan wawancara. Analisis data dilakukan melalui proses reduksi data, penyajian data dan verifikasi atau penyimpulan data. Pemerikasaan keabsahan data dilakukan dengan teknik ketekunan pengamatan dan triangulasi dengan membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.

Pondok pesantren Mamba’ul Ma’arif adalah salah satu dari empat pondok

pesantren terbesar dan utama di kota Jombang. Setelah Pondok Pesantren Tebuireng,

Darul ‘Ulum Rejoso dan Bahrul ‘Ulum Tambakberas. Hampir satu abad yang lalu, tepatnya tahun 1917 M. KH. M. Bisri Syansuri (1887-1980) bersama istri beliau

Nyai Hj. Noor Khodijah (1932) atas restu gurunya KH. Hasyim Asy’ari (1871-1947) serta dorongan mertua beliau KH. Hasbulloh, KH Bisri Syansuri mendirikan pesantren di desa Denanyar yang berjarak 2 Km dari arah barat kota Jombang.

Hasil penelitian menunjukkan: (1) Kegiatan Pondok Pesantren Mamba’ul

Ma’arif dalam meningkatkan moralitas skeagamaan masyarakat sekitar dilakukan

melalui pendekatan kultural dan pendidikan formal yang berjalan dengan baik. (2)

Peran Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif di tengah kehidupan masyarakat desa

Denanyar sngatlah besar. Yakni peran sebagai agent of development, agent of social

change, sebagai pengembang ekonomi dan pelayanan kesehatan masyarakat.


(6)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iii

MOTTO ... iv

PERSEMBAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

PEDOMAN TRANSLITERASI ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Rumusan Masalah ... 15

C.Tujuan Penelitian... 15

D.Manfaat Penelitian... 16

E. Penelitian Terdahulu ... 17

F. Definisi Operasional ... 20

G.Sistematika Pembahasan ... 26


(7)

BAB II KAJIAN PUSTAKA ...

A.Tinjauan Tentang Moralitas Keagamaan ... 28

1. Pengertian Moralitas Keagamaan ... 28

2. Sumber Moralitas Keagamaan ... 37

3. Macam-macam Moralitas Keagamaan ... 41

4. Pesantren dan Pembangunan Moral ... 43

5. Pentingnya Moralitas Keagamaan dalam Hidup Bermasyarakat .. 53

B.Tinjauan Tentang Pesantren ... 57

1. Pengertian Pondok Pesantren ... 57

2. Unsur Pondok Pesantren... 59

3. Tujuan Pondok Pesantren ... 67

4. Karasteritik dan Fungsi Pondok Pesantren ... 69

C.Tinjauan Tentang Masyarakat Pedesaan ... 74

1. Pengertian Masyarakat Pedesaan ... 74

2. Ciri-ciri Masyarakat Pedesaan ... 77

D.Tinjauan Tentang Peran Pondok Pesantren Dalam Pengembangan Masyarakat Pedesaan ... 81

1. Pengembangan Keagamaan Masyarakat ... 82

2. Pengembangan Pendidikan Mandiri ... 86

3. Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kemasyarakatan... 88

4. Pengembangan Sosial Budaya ... 90

5. Hubungan Kerjasama Pondok Pesantren dengan Pemerintah ... 92

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... A.Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 94


(8)

B.Jenis dan Sumber Data ... 96

C.Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data ... 98

D.Teknik dan Analisis Data ... 102

E. Instrumen Data ... 104

F. Teknik Pemeriksaan Keabsahan data ... 105

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN ... A. Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang ... 108

1. Sejarah Berdiri Pondok Pesantren Mamba’ul ma’arif ... 108

2. Letak Geografis Pondok Pesanren Mamba’ul ma’arif ... 113

3. Santri Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif... 113

4. Kegiatan Umum Santri Pondok Pesantren mamba’ul Ma’arif ... 115

5. Visi dan Misi Pondok pesantren Mamba’ul Ma’arif ... 121

6. Struktur Organisasi Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif ... 122

B. Masyarakat Desa Denanyar Jombang ... 1. Karakteristik Wilayah Desa Denanyar ... 128

2. Struktur Organisasi Pemerintah Desa Denanyar ... 130

BAB V ANALISIS DAN HASIL PENELITIAN ... A. Program Kegiatan Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Dalam Kaitannya Dengan Moralitas Keagamaan Masyarakat Desa Denanyar Jombang ... 135

1. Penguatan Moralitas Masyarakat Melalui Pendekatan Kultural. 135 2. Transformasi Nilai-nilai Moralitas Melalui Pendidikan Formal. 137 B. Peran Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif di Tengah Kehidupan Masyarakat Desa Denanyar Jombang ... 146


(9)

1. Sebagai Agent Of Social Change ... 148

2. Sebagai Agent Of Development ... 152

3. Peran Peningkatan Ekonomi ... 159

4. Peran Pelayanan Kesehatan... 161

BAB VI PENUTUP ... A. Kesimpulan ... 164

B. Saran ... 165

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(10)

1

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Salah satu lembaga pendidikan yang mempunyai kekhasan tersendiri dan berbeda dengan lembaga pendidikan yang lainnya adalah pesantren.1 Ditinjau dari segi historisnya, pesantren merupakan bentuk lembaga pribumi tertua di Indonesia yang kegiatannya berawal dari pengajian kitab. Sebagaimana yang diungkapkan oleh H.M Yakup bahwa kendati pondok pesantren secara inplisit berkonotasi sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional, tidaklah berarti seluruh pondok pesantren itu tertutup dengan inovasi. Pada zaman penjajahan Belanda memang mereka menutup diri dari segala pengaruh luar terutama pengaruh barat yang non Islami. Namun di lain pihak pondok pesantren dengan figur kyainya telah berhasil membangkitkan nasionalisme, mempersatukan antar suku-suku yang seagama bahkan menjadi benteng yang gigih melawan penjajahan.2

Keterlibatan, partisipasi dan peran serta masyarakat dalam melakukan pendidikan dapat dijumpai pada masyarakat Islam di indonesia. Jauh sebelum pemerintah mendirikan sekolah atau madrasah formal sebagaimana yang dijumpai

1

Abdul Rahman Saleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan:Visi, Missi, Dan Aksi, (Jakarta: PT. Gema windu Panca Perkasa, 2000), h. 85

2

M. Yakup, Pondok Pesantren dan Pembangunan Masyarakat Desa, (Bandung: Angkasa, 1984), h. 63

1


(11)

2

sekarang ini, umat Islam di Indonesia sudah memiliki Surau, Meunasah,

Rangkang, Langgar, Mushalla, Majelis Ta’lim, Masjid, dan Pesantren.3

Pesantren sudah dikenal jauh sebelum Indonesia merdeka, bahkan sejak Islam masuk ke Indonesia, pesantren terus berkembang sesuai dengan perkembangan dunia pendidikan pada umumnya. Menyadari sepenuhnya bahwa mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam, maka pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan pondok pesantren bersumber pada ajaran agama Islam, dalam rangka membangun masyarakat untuk memperkokoh kepribadian bangsa dalam menghadapi dunia modern. Sedangkan keberadaan pondok pesantren disamping sebagai lembaga pendidikan juga sebagai lembaga masyarakat telah memberi warna dan corak yang khas khususnya masyarakat Islam Indonesia, sehingga pondok pesantren dapat tumbuh dan berkembang bersama-sama masyarakat sejak berabad-abad lamanya.

Pesantren dikenal sebagai salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia dan merupakan pusat kegiatan keagamaan murni (tafaqquh fi al-din) untuk penyiaran agama Islam,4 sedangkan menurut Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pesantren adalah sebuah kehidupan yang unik, sebagaimana dapat disimpulkan dari gambaran lahiriahnya. Pesantren adalah sebuah kompleks yang

3

Abuddin Nata, Jurnal Pemikiran islam Kontekstual: Pendidikan Berbasis Masyarakat Dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 2001), vol 2, No. 2, h. 193

4

Ahmad Ali Riyadi, Dekonstruksi Tradisi: Kaum Muda NU Merobek Tradisi, (Jogjakarta: Ar Ruzz, 2007), h. 56.


(12)

3

lokasi umumnya terpisah dari kehidupan sekitarnya. Dalam kompleks itu terdiri dari beberapa buah bangunan: rumah kediaman pengasuh (di daerah berbahasa Jawa disebut kiai, di daerah berbahasa Sunda disebut ajengan, dan di daerah berbahasa Madura disebut nun atau bendara); sebuah surau atau masjid, tempat pengajaran diberikan (bahasa arab madrasah, yang lebih sering mengandung konotasi sekolah); dan asrama tempat tinggal para siswa pesantren (santri, pengambil alihan dari bahasa Sansekerta dengan perubahan pengertian).5

Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang memiliki akar secara historis yang cukup kuat sehingga menduduki posisi relatif sentral dalam dunia keilmuan. Dalam masyarakatnya, pesantren sebagai sub kultur lahir dan berkembang seiring dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat global,

Asketisme (faham kesufian) yang digunakan pesantren sebagai pilihan ideal bagi masyarakat yang dilanda krisis kehidupan sehingga pesantren sebagai unit budaya yang terpisah dari perkembangan waktu, menjadi bagian dari kehidupan

masyarakat. Peranan seperti ini yang dikatakan Abdurrahman Wahid “Sebagai ciri utama pesantren sebuah sub kultur.”6

Pesantren adalah subkultur yang memainkan peran penguatan pendidikan, pengembangan ekonomi masyarakat, merekatkan ikatan sosial, dan menjaga dakwah agama yang damai dan mengedepankan penghargaan terhadap

5

Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren, (Jogjakarta: LKIS, 2001), h. 5

6

Abdurrahman Wahid, Pesantren Sebagai Sub Kultural; Dalam Pesantren dan Perubahan Sosial, (Jakarta: LP3ES, 1988), h. 10


(13)

4

keragaman. Pesantren juga ada di garda depan melawan penjajahan dan mempertahankan kemerdekaan. Pesantren memberi manfaat yang sangat besar

kepada banyak orang. Ketika orang miskin maupun anak yang “dibuang” dari

keluarga atau masyarakat disebabkan problem moral, pesantren menjadi lembaga pendidikan yang meluaskan akses kepada sebanyak-banyaknya warga negara. Akses seluas-luasnya juga terus disertai dengan kualitas yang memadai.7

Pondok pesantren pada awal perkembangannya merupakan Lembaga Pendidikan ‬Indegenous dan penyebaran agama Islam di Indonesia tumbuh dari dalam dan untuk masyarakat . Pada abad ke -16 M pesantren sebagai lembaga pendidikan rakyat terasa sangat berbobot terutama dalam bidang

penyiaran agama Islam . Selanjutnya kehadiran pesantren adalah sebagai

pemenang dari persaingan “ nilai” yang dianut oleh masyarakat sebelumnya, sehingga pesantren dapat diterima sebagai panutan masyarakat , khususnya di bidang moral.

Paling tidak, sejak awal pertumbuhannya, tujuan utama dari pondok pesantren adalah:8 (1) Menyiapkan santri mendalami ilmu Agama Islam dan menguasai ilmu Agama Islam atau lebih dikenal dengan tafaqquh fi al-din, yang diharapkan dapat mencetak kader-kader utama dan turut mencerdaskan

7

A. Helmy Faishal Zaini, Pesantren: Akar Pendidikan Islam Nusantara, (Jakarta: P3M, 2015), h.xiii

8

Departemen Agama RI, Pola Pengembangan Pondok Pesantren. (Jakarta: Ditpekapontren Ditjen Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 2003), h. 9


(14)

5

masyarakat Indonesia, kemudian diikuti dengan tugas; (2) Dakwah menyebarkan agama Islam; (3)Benteng pertahanan umat dalam bidang akhlak.

Lebih lanjut, Pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam9 yang mempelajari, memahami, mendalami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dalam eksistensinya menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.10 Pondok pesantren didirikan untuk memberikan pendidikan dan pengajaran kepada umat baik lahir maupun batin yang berkualitas imani, akhlaki, ilmu dan amalnya.

Pesantren telah berkembang untuk melayani berbagai kebutuhan

masyarakat. Kehadiran pesantren di samping melayani kebutuhan pendidikan ketika masyarakat cinta terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan ketika lembaga pendidikan modern belum mampu menembus ke pelosok-pelosok desa, pesantren juga melayani kebutuhan kesehatan masyarakat ketika pengobatan modern belum mampu menyentuh wilayah pedesaan sebagai bentuk kesalehan sosial. Lebih dari itu pesantren telah dapat menjadi simbol yang menghubungkan

9

Pendidikan tradisional meliputi dua aspek yaitu: Pertama pemberian pengajaran dengan struktur, metode, dan literatur tradisional. Pemberian pengajaran tradional ini dapat berupa pendidikan formal disekolah atau madrasah dengan jenjang pendidikan yang bertingkat-tingkat, maupun pemberian pengajaran dengan sistem halaqah dalam bentuk pengajian weton dan sorogan. Kedua, pemeliharaan tata nilai tertentu, yang untuk memudahkan dapat dinamai subkultur pesantren. Tata nilai ini ditekankan pada fungsi mengutamakan beribadah sebagai pengabdian dan memuliakan guru sebagai jalan untuk memperoleh pengetahuan agama yang hakiki dengan demikian, subkultur ini menetapkan pandangan hidupnya sendiri, yang bersifat khusus pesantren, berdiri atas landasan pendekatan ukhrawi pada kehidupan dan ditandai oleh ketundukan mutlak kepada ulama. Adapun ciri utama dari sistem pendidikan tradisional adalah banyak diberikannya pengajaran di luar kurikulum formalnya. Lihat Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi,..h. 55

10

Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), Cet ke-I, h. 6. Lihat juga Rofiq, dkk. Pemberdayaan pesantren, (Jakarta: Pustaka Pesantren, 2005), h.1


(15)

6

dunia pedesaan dengan dunia luas ketika penetrasi birokrasi dan kemudian media massa ke daerah pedesaan belum terlalu dalam. Pesantren juga telah menjadi pengontrol moral pada masyarakat pedesaan. Bahkan pesantren telah menjadi simbol kekuatan sosial politik tandingan ketika partai politik modern belum menyentuh pedesaan.

Pondok pesantren adalah wadah untuk mewujudkan manusia dan masyarakat Islam Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Saat ini masyarakat Indonesia sedang mengalami transisi dari masyarakat agraris menuju masyarakat modern. Arus globalisasi dan modernisasi merupakan proses transformasi yang tak mungkin bisa dihindari, maka semua kelompok masyarakat termasuk masyarakat pesantren harus siap menghadapinya dan perlu menanggapi dampak-dampaknya secara terbuka dan secara kritis. Karena pesantren memiliki kekuatan terhadap pengaruh-pengaruh budaya dari luar. Pesantren mampu bertindak sebagai transformator terhadap semua segi nilai yang ada dalam masyarakat muslim Indonesia. Fungsi secara demikian telah dibuktikan keberhasilannya pada saat Wali Songo dulu merintis berdirinya pesantren. Fungsi yang kondusif sebagai transformator tersebut akan berhasil bila masyarakat kita telah mampu memahami pesantern secara utuh.11

Keberadaan pesantren menjadi semakin penting dengan membaurnya arus kebudayaan asing yang tidak dapat dielakkan karena pesatnya kemajuan di bidang

11Zubaidi Habibullah Asy’ari,

Moralitas Pendidikan Pesantren, (Yogyakarta: LKPSM, 1996), h. 4-5


(16)

7

teknologi, terutama teknologi komunikasi dan transportasi. Dalam kondisi yang demikian, jika seseorang tidak dibekali dengan agama atau akhlak yang kuat mungkin orang tadi akan terjerumus ke dalam pergaulan bebas yang sekilas

tampak menyenangkan atau “modern”, akan tetapi sesungguhnya akan

mencelakakan, bukan hanya bagi dirinya, tetapi juga keluarganya, masyarakat dan negaranya.12

Sebagai sumber nilai, ajaran agama yang ditekuni pesantren adalah terutama berfungsi dalam pengembangan tugas moral.13 Pesantren dianggap

sebagai “benteng” nilai-nilai dasar di masyarakat terhadap pengaruh budaya asing. Dari sinilah pentingnya keterkaitan pesantren dengan masyarakatnya yang tercermin dalam ikatan tradisi dan budaya yang kuat dan membentuk pola hubungan dan saling mengisi antara keduanya. Interaksi sosial-budaya yang mendalam antara pesantren dan masyarakat di sekitarnya itu terlihat dalam hal keagamaan, pendidikan, kegiatan sosial dan perekonomian. Oleh karena itu pesantren membutuhkan gerakan pembaharuan yang progresif terhadap segala bidang, terutama dalam menghadapi permasalahan sosial-kemasyarakatan.

Peran aktual agama dan kelembagaan dalam mengarahkan perubahan nilai-nilai pada saat ini semakin sangat mendesak dan urgen dilakukan. Hal ini mengingat perubahan nilai-nilai adalah sebuah fenomena yang tidak dapat

12

Sindu Galba, Pesantren Sebagai Wadah Komunikasi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h. 72 13

Nur Cholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), h.106


(17)

8

dihindari meskipun dimensi dan ruang lingkup perubahan nilai dalam satu komunitas dan komunitas lain cukup bervariatif.14

Perumusan nilai-nilai tradisi pesantren tersebut dalam keseluruhan proses pendidikan diharapkan dapat menumbuhkan moralitas universal yang bernilai Islami. Pada gilirannya hal tersebut diharapkan akan menambahkan kemampuan untuk mengembangkan hal-hal baru yang lebih baik. Dengan demikian paradigma

pesantren “mempertahankan tradisi lama yang masih relevan dan mengambil pemikiran yang baru yang lebih baik” benar-benar akan berlabuh di dunia pendidikan pesantren.15

Pesantren dan sistem-sistemnya memang dihadapkan pada tantangan zaman yang cukup berat. Jika tidak mampu memberi responsasi yang tepat maka pesantren akan hilang relevansinya dan akar-akarnya dalam masyarakat akan tercabut dengan sendirinya, dengan segala kerugian yang bakal ditanggung.16

Jika ditelisik lebih jauh lagi bahwa adanya pesantren dengan segala perjuangannya ternyata memang memiliki nilai yang strategis dalam membina insan yang berkualitas dalam ilmu, iman, dan amal disamping tempat pengembangan agama Islam. Berdasarkan tujuan pendiriannya, pesantren hadir dilandasi sekurang-kurangnya oleh dua alasan: pertama, pesantren dilahirkan untuk memberikan respon terhadap situasi dan kondisi sosial suatu masyarakat

14

Zubaedi, Pendidikan Berbasis Masyarakat: Upaya Menawarkan Solusi terhadap Pelbagai Problem Sosial. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007), h. 276.

15 Abd A’la ,Pembaruan Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006), h. 39 16

Nur Cholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan.., h.100


(18)

9

yang tengah dihadapkan ada runtuhnya sendi-sendi moral, melalui tranformasi yang ditawarkan (amar al-ma’ruf dan nahi al-munkar) . Kehadirannya dengan demikian dapat disebut sebagai agen perubahan (agent of change) yang selalu melakukan kerja-kerja pembebasan (liberation) pada masyarakat dari segala keburukan moral, penindasan politik, dan kemiskinan ekonomi. Kedua, salah satu tujuan didirikannya pesantren adalah untuk menyebarluaskan informasi ajaran tentang universalitas Islam ke seluruh pelosok nusantara yang berwatak pluralis, baik dalam dimensi kepercayaan, budaya maupun kondisi sosial masyarakat.

Hal senada juga disampaikan oleh Zamakhsyari Dhofier, bahwa tujuan pendidikan tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran murid dengan penjelasan-penjelasan, tetapi untuk meningkatkan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, serta menyiapkan para murid diajar mengenai etika agama diatas etika-etika yang lain. Tujuan pendidikan pesantren bukan untuk mengejar kepentingan kekuasaan, uang dan keagungan duniawi, tetapi menanamkan kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian kepada masyarakat.17

Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Mujamil Qomar, bahwa Pesantren merupakan lembaga ritual, lembaga pembinaan mental, lembaga dakwah dan yang paling populer adalah sebagai institusi pendidikan Islam yang

17

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Peesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan VisinyaMengenai Masa Depan Indonesia, (Jakarta: LP3ES, Edisi Revisi, 2011).h. .45


(19)

10

mengalami konjungtur dan romantika kehidupan menghadapi berbagai tantangan internal maupun eksternal.18 Antara pesantren dan masyarakat desa, telah terjalin interaksi yang harmonis, bahkan keterlibatan mereka cukup besar dalam mendirikannya. Pesantren juga merupakan produk sejarah yang telah berdialog dengan zamannya masing-masing yang memiliki karakteristik yang berlainan baik menyangkut politik, kultural, ekonomik maupun sosio-religius.19

Bersamaan dengan eksistensi pondok pesantren, muncul beberapa fenomena yang dilakukan masyarakat sekitar pesantren yang menunjukkan adanya sifat kontradiktif dengan nilai-nilai ajaran Islam, terutama yang berkaitan dengan yang namanya akhlak/moral. Masyarakat yang bertempat tinggal disekitar pesantren banyak disibukkan mencari uang dari pada mendalami ilmu agama di pesantren yang berorientasi pada pembentukkan akhlak/moral. Selain itu, tidak sedikit dari mereka yang kurang puas/kurang percaya terhadap pelayanan pendidikan yang ada di pondok pesantren, yang menurut mereka kurang mampu untuk menyiapkan bekal anak untuk hidup dimasa depan yakni seperti tentang pengalaman kerja, keterampilan dan lain sebagainya. Dan juga adanya anggapan bahwa sikap santri yang pasif terhadap wacana/permasalahan diluar pesantren, serta pendidikan yang masih terlalu teoritis dari kitab-kitab klasik. Hal ini

18

Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta: Erlangga, tt), h. xiii

19

Mujamil Qomar, dkk, Meniti Jalan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 341-342


(20)

11

mengakibatkan santri kurang kreatif menciptakan buah pikiran baru yang merupakan hasil pengolahan sendiri. Dan akibat lain, banyak dari mereka yang kehabisan waktu untuk belajar ilmu agama karena lebih menyibukkan diri dalam hal-hal yang bersifat keduniawian.

Selain masalah tersebut, ada masalah lain yang lebih penting yakni pergeseran nilai pada masyarakat yang menghasilkan krisis moral akibat dari perubahan sosial secara menyeluruh yang ditunjang oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, serta terjadinya kemajemukan dan perbedaan sistem nilai sehingga menimbulkkan krisis nilai, paling tidak kehilangan pegangan hidup dan ketidakjelasan arah hidup.

Pandangan dan pola hidup kapitalisme, konsumerisme dan materialisme telah mengikis habis nilai-nilai moral dan spiritual karena manusia semakin pragmatis dan oportunistik. Nilai keuntungan ekonomis menjadi hal yang terpenting dan utama mengalahkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, kejujuran, kesetiakawanan, kehormatan dan harga diri.20

Melihat masalah-masalah yang ada, pesantren sebagai basis pembentuk akhlak, harus menyampaikan moral dan harus bisa membungkus dalam penyampaiannya. Selain itu juga, pesantren harus mengambil posisi ganda yaitu sebagai pengemban keagamaan atau akhlak dan ilmu pengetahuan. Serta dalam

20

Mohammad Muchlis Solichin, Jurnal KARSA: Rekontruksi Pendidikan Pesantren Sebagai Character Building Menghadapi Tantangan Kehidupan Modern, (STAIN Pamekasan: Vol20, no 1, 2012), h. 70


(21)

12

prosesnya harus serentak dan sesuai dengan porsinya sehingga tercapai keseimbangan yang diharapkan. Penjelasan diatas menunjukkan bahwa antara pondok pesantren dan masyarakat adalah dua sisi yang tak bisa dipisahkan. Masyarakat dan pesantren tidak ubahnya dua sisi mata uang. Masing-masing saling bergantung dan pengaruh mempengaruhi. Pesantren tanpa masyarakat juga tidak berarti apa-apa begitupun juga sebaliknya bisa digambarkan seperti uang kuno yang sudah tidak laku dijadikan alat jual beli. Keberadaan dan situasi masyarakat akan mempengaruhi sistem program di pesantren. Program di pesantren juga dapat menentukan model budaya masyarakat. Sementara itu, mekanisme pembinaan di pesantren sedikit banyak dipengaruhi oleh performance

kiai. Dalam keadaan demikian, peran kiai terhadap perubahan sistem nilai masyarakat demikian besar. Kiai bahkan punya potensi untuk membolak-balik nilai baku yang telah berkembang sebelumnya.21Pondok pesantren berkewajiban menjaga, mengawasi dan membangun masyarakat terutama dalam hal pendidikan agama Islam dan lebih khusus lagi dalam hal moral atau akhlak. Karena Pesantren merupakan lembaga yang menekankan pentingnya tradisi keIslaman ditengah-tengah kehidupan sebagai sumber akhlak.

Begitu juga masyarakat berkewajiban membantu pondok pesantren dalam hal pengimplementasiannya. Jadi, pondok pesantren harus bisa membaca hal-hal apa yang diinginkan dan yang dibutuhkan masyarakat terutama hal akhlak serta

21

Ibid., h. 5


(22)

13

diharapkan terjadi komunikasi yang terus berlanjut sehingga pesantren bisa ikut mengontrol perubahan yang terjadi di masyarakat. Selain itu, pondok pesantren diharapkan mampu mencetak manusia muslim selaku kader-kader penyuluh atau pelopor pembangunan yang bertaqwa, cakap, berbudi luhur untuk bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan dan keselamatan bangsa serta mampu menempatkan dirinya dalam mata rantai keseluruhan sistem pendidikkan nasional, baik pendidikan formal maupun non formal dalam rangka membangun manusia seutuhnya. Berangkat dari sinilah penulis menjadikan pesantren sebagai obyek penelitian, dimana pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam memiliki peranan penting untuk memberikan kontribusinya dalam membina akhlak dan moral masyarakat. Karena pendidikan akhlak/moral merupakan jiwa dari pendidikan Islam itu sendiri. Dan untuk mencapai akhlak yang sempurna juga merupakan tujuan sebenarnya dari pendidikan.

Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif merupakan lembaga pendidikan dan

keagamaan yang mencerdaskan masyarakat, didirikan oleh KH. Bisri Syansuri ini berkembang sangat pesat. Terbukti banyak sekali santri yang belajar di pesantren ini, tidak hanya dari wilayah Jombang saja, bahkan juga dari wilayah yang jauh. Fenomena diatas menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap Pondok

Pesantren Mamba’ul Ma’arif relatif tinggi. Selain sebagai lembaga pendidikan dan keagamaan, Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif juga menjadi lembaga sosial yang melebar menjadi tempat pembinaan moral. Dalam hal ini Pondok


(23)

14

Pesantren Mamba’ul Ma’arif ingin memberikan bentuk kontribusinya kepada masyarakat sekitarnya.

Sebagai salah satu lembaga pendidikan yang ada di tengah-tengah masyarakat, sudah seharusnya Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif melakukan sesuatu yang sudah mejadi kewajibannya yakni melakukan pendidikan dan pembinaan kepada masyarakat termasuk didalamnya adalah pendidikan dan pembinaan moral. Pembinaan moral masyarakat tidak hanya difokuskan pada orang-orang dewasa, tetapi juga pada kaum remaja bahkan juga pada anak-anak usia dini, pembinaan moral ini merupakan sesuatu yang mutlak harus dilakukan karena pondok pesantren sebagai lembaga penjaga moral bangsa harus menciptakan masyarakat yang memiliki moral keagamaan yang luhur. Tentu dalam proses pelaksanaannya, Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif mempunyai rencana dan langkah-langkah tersendiri yang hendak ditempuh agar prosesnya berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Apa yang dilakukan oleh Pondok

Pesantren Mamba’ul Ma’arif merupakan salah satu potret kecil dari usaha yang

dilakukan pesantren dalam menjawab tantangan zaman yang membutuhkan perhatian khusus dari pelaku pendidikan termasuk didalamnya adalah Pondok

Pesantren Mamba’ul Ma’arif. Eksistensi Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif tentu menjadi harapan masyarakat untuk dapat memberi bimbingan dan contoh secara nyata kepada masyarakat sekitar agar mereka dapat menjadi muslim yang

kaffah serta memahami Islam secara utuh.


(24)

15

Oleh karena itu, berdasarkan uraian diatas menarik untuk dikaji dan diteliti secara mendalam kaitannya dengan “PERAN PONDOK PESANTREN

DALAM MENINGKATKAN MORALITAS KEAGAMAAN

MASYARAKAT PEDESAAN ( STUDI KASUS PONDOK PESANTREN

MAMBA’UL MA’ARIF DENANYAR JOMBANG )

B.Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana pelaksanaan kegiatan pondok pesantren Mamba’ul Ma’arif dalam

meningkatkan moralitas keagamaan masyarakt desa Denanyar Jombang? 2. Bagaimana peran pondok pesantren Mamba’ul Ma’arif di tengah kehidupan

masyarakat desa Denanyar Jombang?

C.Tujuan Penelitian

Mengacu pada rumusan masalah yang telah penulis kemukakan diatas, tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah:

1. Untuk mengetahui pelaksanaan kegiatan pondok pesantren Mamba’ul Ma’arif dalam meningkatkan moralitas keagamaan masyarakat desa Denanyar Jombang.

2. Untuk mengetahui peran pondok pesantren Mamba’ul Ma’arif di tengah kehidupan masyarakat desa Denanyar Jombang.


(25)

16

D.Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan:

1. Dapat memberikan khasanah keilmuan dan pengetahuan kongkrit tentang peran pondok pesantren dalam meningkatkan moralitas keagamaan masyarakat.

2. Dapat dimanfaatkan sebagai acuan atau dasar teoritis dalam melakukan pembahasan mengenai masalah yang dihadapi pondok pesantren khususnya yang berkaitan dengan peningkatan moralitas keagamaan masyarakat.

3. Menambah khazanah keilmuan dalam bidang ilmu Tarbiyah dan Dakwah Islamiyah, terutama mengenai peran pondok pesantren dalam meningkatkan moralitas keagamaan masyarakat.

4. Menambah kepustakaan dalam dunia pendidikan, khususnya di Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Ampel Surabaya.

Adapun secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan: 1. Bagi penulis, diharapkan dapat:

a. Memberikan pengetahuan dan menambah wawasan penulis tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan tentang peran pondok pesantren dalam meningkatkan moralitas keagamaan masyarakat desa Denanyar Jombang.


(26)

17

b. Sebagai salah satu pemenuhan tahap akhir dari persyaratan menyelesaikan program studi strata satu (S1) pada Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya.

2. Bagi Lembaga, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan dalam mengembangkan proses peningkatan moral pada masyarakat. Serta sebagai bahan untuk melakukan umpan balik yang nyata dan sangat berguna sebagai bahan evaluasi demi keberhasilan dimasa mendatang.

3. Bagi masyarakat, penelitian ini dapat dijadikan panduan bahwa keberadaan pondok pesantren memiliki peran penting dan memberikan kontribusi besar di dalam kehidupan masyarakat.

4. Bagi pihak lain yang membaca tulisan ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan informasi dan pengetahuan mengenai peran pondok pesantren dalam meningkatkan moralitas keagamaan masyarakat ataupun sebagai bahan kajian lebih lanjut bagi peneliti berikutnya.

E.Penelitian Terdahulu

Kajian Pustaka merupakan penelitian untuk mempertajam metodologi, memperkuat kajian teoritis dan memperoleh informasi mengenai penelitian sejenis yang telah dilakukan oleh peneliti lain.22

22

Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, (Bandung: Pustaka Pelajar, 2002), cet. 1, h. 105.


(27)

18

Penulis menggali informasi dan melakukan penelusuran buku dan tulisan ilmiah lainnya yang berkaitan dengan pembahasan penelitian ini untuk dijadikan sebagai sumber acuan dalam penelitian ini:

Penulisan skripsi yang berjudul “Peran Pondok Pesantren Az-Zainy Dalam Pembinaan Keagamaan Bagi Korban Narkoba (studi kasus pondok pesantren rehabilitas mental Az-Zainy Malang)” yang disusun oleh Muhammad Roni (D01208134). Membahas bagaimana peran pondok pesantren Az-Zainy dalam pembinaan keagamaan bagi korban narkoba. Dengan kesimpulan bahwa peran pondok pesantren Az-Zainy dalam pembinaan keagamaan bagi korban narkoba yaitu membawa perubahan kondisi dan situasi yang lebih baik.23

Penulis skripsi yang berjudul “Peran dakwah pondok pesantren Darul Falah pada masyarakat desa Pajarakan Probolinggo” yang disusun oleh

Kholisatun Nur (BO1302044). Membahas bagaimana peran dakwah pondok pesantren Darul Falah pada masyarakat desa Pajarakan Probolinggo. Dengan kesimpulan bahwa peran dakwah pondok pesantren Darul Falah direalisasikan dari berbagai kegiatan dakwah yaitu khitanan masal, pengajian/ ceramah agama, menyelenggarakan baziz, menyelenggarakan qurban, Peringatan hari besar Islam, pelatihan kepemimpinan/latihan ceramah dan panti asuhan yatim piatu. Hal ini menunjukkan bahwa Pondok Pesantren Darul Falah mempunyai peranan yang

23

Muhammad Roni, Peran pondok pesantren Az-zainy dalam pembinaan keagamaan bagi korban narkoba( studi kasus pondok pesantren rehabilitas mental Az-Zainy Malang), Skripsi Fakultas tarbiyah UIN Sunan Ampel Surabaya. 2013


(28)

19

sangat penting dalam menciptakan lingkungan yang Islami di Desa Pajarakan Probolinggo.24

Penulisan skripsi yang berjudul "Peran dakwah pondok pesantren Ibnu Sina pada masyarakat desa Mojongapit Jombang " disusun oleh Dewi Noor Qomariyah (BO1301208).25 Membahas bagaimana aktifitas dan peran dakwah pondok pesantren Ibnu sina terhadap masyarakat Mojongapit Jombang. Dengan kesimpulan, berbagai aktifitas dakwah pondok pesantren Ibnu Sina telah direalisasikan dalam berbagai kegiatan yaitu bidang pendidikan dan bidang sosial keagamaan. Peran dakwah pondok pesantren Ibnu sina sangat banyak dan penting bagi kelangsungan kehidupan rohani masyarakat menuju kehidupan Islami yang didambakan oleh setiap kaum muslimin muslimat.

Penulisan skripsi yang berjudul “Upaya Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiien Dalam Pembinaan Akhlak Masyarakat Kalibening Kecamatan

Tingkir‬ Kota‬ Salatiga‬ Tahun‬ 2013”.26

Membahas upaya yang dilakukan pondok pesantren Hidayatul Mubtadiien dalam pembinaan akhlak masyarakat dan apa pula hambatan yang di hadapi. Dengan kesimpulan, upaya yang dilakukan melalui penyiaran dan tabligh, pendidikan dan pengajaran, dan pembinaan kesejahteraan umat, dan beberapa hambatan yang di hadapi dalam pembinaan akhlak adalah

24

Kholisatun Nur, Peran dakwah pondok pesantren Darul Falah pada masyarakat desa Pajarakan Probolinggo, Skripsi fakultas Dakwah UIN Sunan Ampel Surabaya. 2006

25

Dewi Noor Qomariyah, Peran dakwah pondok pesantren Ibnu Sina pada masyarakat desa Mojongapit Jombang, Skripsi fakultas Dakwah UIN Sunan Ampel Surabaya. 2005

26

Rahmawati Purwandari, Upaya pondok pesantren Hidayatul Mubtadiien dalam pembinaan akhlak masyarakat Kalibening Kecamatan Tingkir Kota Salatiga Tahun 2013, Skripsi Fakultas Tarbiyah STAIN Salatiga. 2013


(29)

20

kurangnya tenaga pengajar dan kesulitan dalam menangani masyarakat yang bandel.

Dan dari tulisan-tulisan tersebut penulis belum menemukan suatu pembahasan mengenai sumbangsih pesantren terhadap masyarakat pedesaan mengenai moralitas keagamaan. Oleh karena itu, penulis mencoba untuk membahas permasalahan tersebut dengan mengambil fokus pada peran pondok

pesantren Mamba’ul Ma’arif dalam meningkatkan moralitas keaagamaan

masyarakat desa Denanyar Jombang.

F. Definisi Operasional

Adapun definisi operasional dari penelitian ini adalah: 1. Peran

Peran berarti laku, bertindak. Didalam kamus Besar Bahasa Indonesia peran ialah perangkat tingkah laku yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat.27Sedangkan menurut WJS. Poerdarwinto dalam

kamus umum bahasa indonesia, mengartikan peran sebagai ”sesuatu yang

menjadi bagian atau yang memegang pimpinan terutama dalam terjadinya

27

E.St. Harahap, dkk, Kamus Indonesia Ketjik (Jakarta: Penerbitan B Angin, 2007) h. 854


(30)

21

sesuatu hal atau peristiwa”28

Peran adalah sesuatu yang ikut membantu dalam melancarkan usaha sehingga dapat tercapailah sesuatu yang menjadi tujuan.29

Dari berbagai pengertian peran di atas, dapat penulis simpulkan bahwa peran adalah perangkat tingkah laku yang dapat mengakibatkan terjadinya sebuah peristiwa baik yang langsung maupun yang tidak langsung.

Peran yang dimaksud penulis adalah perangkat tingkah laku yang

dilakukan oleh pondok pesantren Mamba’ul Ma’arif dalam meningkatkan

moralitas keagamaan masyarkat Denanyar Jombang.

2. Pondok Pesantren

Kata pondok berasal dari bahasa arab “funduq”‬yang berarti hotel atau asrama30, sedangkan pesantren secara bahasa berasal dari kata santri yang mendapatkan awalan pe- dan akhiran –an yang berarti tempat tinggal para santri.31

Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan

28

Poerwodarwinto, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 1997), h. 735 29

Ngalim Purwanto, Administrasi dan Supervisi Pendidikan (Jakarta: remaja Rosdakarya, 1987), h. 73

30

Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga pendidikan Islam. (Jakarta:Gradsindo. 2001), h. 90

31

Babun Suharto, Dari Pesantren Untuk Umat: Reinventing Eksistensi Pesantren di Era Globalisasi, (Surabaya: Imtiyaz, 2011), h. 9


(31)

22

menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.32

Pondok pesantren yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pondok

pesantren Mamba’ul Ma’arif yang berada di desa Denanyar kecamatan

Denanyar kota Jombang dalam usahanya untuk meningkatan moralitas keagamaan masyarakat.

3. Mamba’ul‬Ma’arif

Mamba’ul Ma’arif, sebuah pesantren yang berdiri tak jauh dari Tambak Beras, adalah pesantren rintisan dan hasil jerih payah dari K.H. Bisri Syansuri dan Nyai Hj. Chadijah.33 merupakan salah satu nama Pondok Pesantren yang terletak di desa Denanyar yang berjarak 2 km dari arah barat kota Jombang. Pondok pesantren ini didirikan pada tahun 1917 M, kemudian disusul dengan berdirinya pondok putri pada tahun 1919 M. Menurut keterangan yang didapat oleh peneliti bahwa Pondok Pesantren Putri Denanyar adalah pondok pesantren yang tertua di Jawa Timur.

4. Meningkatkan

Kata Meningkatkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kata kerja dengan arti antara lain:

32

Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan.., h. 9 33

Abdussalam Shohib, Kiai Bisri Syansuri: Tegas Berfiqih, Lentur Bersikap, (Surabaya: Pustaka Adea, 2015), h. 41


(32)

23

a. Menaikkan (derajat, taraf, dsb); mempertinggi; memperhebat (produksi dsb)

b. Mengangkat diri; memegahkan diri.

Sedangkan “Meningkatkan” yang penulis maksudkan dalam penelitian ini adalah sebuah cara atau usaha yang dilakukan untuk mendapat keterampilan atau kemampuan menjadi lebih baik yakni meningkatkan moraliats keagamaan masyarakat dari tahap terendah, tahap menegah, dan tahap akhir atau tahap puncak.

5. Moralitas Keagamaan

Moralitas berasal dari kata moral. Menurut Ibnu Maskawaih, moral adalah perbuatan yang lahir dengan mudah dari jiwa yang tulus, tanpa memerlukan pertimbangan dan pemikiran lagi.34 Adapun moral ialah kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran (nilai-nilai) masyarakat, yang timbul dari hati dan bukan paksaan dari luar, yang disertai pula oleh rasa tanggung jawab atas kelakuan (tindakan) tersebut.35Moralitas adalah kesusilaan; kedisiplinan, watak pada diri seseorang.36 Namun moralitas tercipta kondisi sendiri baik seperti falsafah dan norma-norma, karena misalnya pembentukan watak yang tercermin dalam bentuk perilaku namun watak dan karakter ini bisa hilang

34

Ibid, h. 197 35

Abudin, M.A, Manajemen Pendidikan, (Jakarta: Prenada Media, 2003) h. 196 36

Pius A. Partanto, M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiyah Populer (Surabaya:Apollo, 1994) h. 484


(33)

24

karena tidak tercipta oleh dorongan religi, contoh: perilaku siswa yang bersikap jujur, menghormati yang lebih tua, dan lain-lain.

Sedangkan keagamaan adalah yang berhubungan dengan agama.37 Pada dasarnya berasal dari kata agama yang artinya adalah sistem, prinsip kepercayaan kepada tuhan dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang telah bertalian dengan kepercayaan itu. Jadi moralitas keagamaan yang kami maksud adalah sikap dan perilaku manusia yang sesuai dengan nilai- nilai agama Islam.

6. Masyarakat Pedesaan

Menurut Hasan Shadily dalam bukunya Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, mendefinisikan bahwa: Masyarakat merupakan suatu barang yang ghaib, fiktif, dan hanya terdapat dalam gambaran saja, sehingga ia tak dapat ditentukan dengan menentukan waktu dan tempatnya dan segala kejadian masyarakat juga terjadi di dalam masyarakat itu sendiri. Masyarakat juga di definisikan sebagai golongan besar atau kecil terdiri dari beberapa manusia yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara golongan dan saling

37

Zahrotul Mufidah, Peningkatan Keagamaan Siswa Kelas VIII Melalui Kegiatan Ekstrakurikuler IMTAQ (Iman dan Taqwa) Di SMP Negeri 13 Malang, Skripsi Fakultas Tarbiyah UIN Malana Malik Ibrahim Surabaya, 2010


(34)

25

mempengaruhi satu sama lain.38 Masyarakat adalah suatu organisasi manusia yang saling berhubungan satu sama lain.39

Pedesaan berasal dari kata dasar desa, Menurut UU no. 5 tahun 1979 Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Masyarakat pedesaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat Desa Denanyar kecamatan Denanyar Kabupaten Jombang.

Dari definisi di atas, maka yang dimaksud dengan Peran Pondok Pesantren Dalam Meningkatan Moralitas Keagamaan Masyarakat Pedesaan (Studi Kasus Pondok Pesantren Mamba’ul‬Ma’arif‬Denanyar‬Jombang)‬adalah berbagai sumbangsih yang diberikan oleh pondok pesantren Mamba’ul Ma’arif dalam usahanya untuk meningkatkan moral keagamaan masyarakat desa Denanyar Jombang.

38

Hasan Shadily, Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia, (Jakarta, Rineka Cipta, 1993), h. 47

39

Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1990), h. 32


(35)

26

G.Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah pembahasan dalam penelitian ini, penulis memperinci dalam sistematika pembahasan sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan, penulis membahas pokok-pokok pikiran untuk memberikan gambaran terhadap inti pembahasan, pokok pikiran tersebut masih bersifat global. Pada bab ini terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penelitian terdahulu, definisi operasional, sistematika pembahasan

BAB II Kajian teori yang meliputi: A. Tinjauan tentang moralitas keagamaan yang terdiri dari pengertian moralitas keagamaan, sumber moralitas keagamaan, macam-macam moralitas keagamaan, pesantren dan pembangunan moral, pentingnya moralitas keagamaan dalam hidup bermasyarakat B. Tinjauan tentang pesantren yang terdiri dari pengertian pondok pesantren, unsur-unsur pondok pesantren, tujuan pondok pesantren, karakteristik dan fungsi pondok pesantren, peran pondok pesantren dalam pengembangan masyarakat C. Tinjauan tentang masyarakat pedesaan yang terdiri dari pengertian masyarakat pedesaan dan ciri-ciri masyarakat pedesaan D. Tinjauan tentang peran pondok pesantren dalam pengembangan masyarakat pedesaan.

BAB III Memaparkan tentang metodologi penelitian, yang mana dalam


(36)

27

bab ini akan dibahas pendekatan dan jenis penelitian, jenis dan sumber data, teknik dan instrumen pengumpulan data, teknik analisis data, instrumen data, dan teknik pemeriksaan keabsahan data.

BAB IV Memaparkan pembahasan hasil penelitian, dimana dalam bab ini berisi tentang gambaran umum objek penelitian, dan penyajian data-data.

BAB V Dalam bab ini akan memaparkan analisis hasil penelitian yaitu analisis data temuan dari hasil penelitian yang telah dilakukan. BAB VI Penutup, pada bab ini berisikan tentang kesimpulan dari

pembahasan, dan saran atas konsep yang telah ditemukan pada pembahasan, pada bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran.


(37)

28

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A.Tinjauan Tentang Moralitas Keagamaan 1. Pengertian Moralitas Keagamaan

Moralitas berasal dari kata moral. Moral berasal dari bahasa latin “moris” yang berarti adat istiadat, nilai-nilai atau tata cara kehidupan.40 Elizabeth B. Hurlock dalam salah satu karya tulisan yang berjudul

“Perkembangan Anak” mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan moral

adalah tata cara, kebiasaan dan adat dimana dalam perilaku dikendalikan oleh konsep-konsep moral yang memuat peraturan yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya dan yang menentukan dalam perilaku yang diharapkan oleh seluruh anggota kelompok.41Moralitas mengacu pada arti budi pekerti, selain itu moralitas juga mengandung arti: adat istiadat, sopan santun, dan perilaku.42

Sedangkan secara terminology kata moral memiliki beberapa arti, yakni:

40

Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak Dan Remaja, (Bandung: Rosdakarya, 2003) h. 132

41

Elizabeh B. Hurlock, Perkembangan Anak, (Jakarta: Erlangga, 1993) jilid 2, h. 74 42

Nurul Zuriah, Pendidikan Moral & Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), 17


(38)

29

a. W. J. S. Poerdarminta menyatakan bahwa moral merupakan ajaran tentang baik buruknya perbuatan dan kelakuan.

b. Dewey mengatakan bahwa moral sebagai hal-hal yang berhubungan dengan nilai-nilai susila.

c. Baron dkk. Mengatakan bahwa moral adalah hal-hal yang berhubungan dengan larangan dan tindakan yang membicarakan salah atau benar.

d. Magnis-Susino mengatakan bahwa moral selalu mengacu pada pada baik buruknya manusia sebagai manusia, sehingga bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia.

Moraliats merupakan suatu fenomena manusiawi yang universal. 43 Maksudnya adalah sesuatu tentang baik dan buruk merupakan sesuatu yang umum, yang terdapat dimana-mana dan pada segala zaman. Norma-norma moral adalah tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang. Moral yang sebenarnya disebut moralitas. moralitas sebagai sikap hati orang yang terungkap dalam tindakan lahiriah. Moralitas terjadi apabila orang mengambil sikap yang baik karena ia sadar akan kewajiban dan tanggung jawabnya dan bukan karena ia mencari keuntungan. Jadi moralitas

43

K. Bertens, ETIKA, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011), Cet ke-11, h. 14


(39)

30

adalah sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih. Hanya moritaslah yang bernilai secara moral.44

Menurut Burhanuddin Salim Moralitas memiliki dua arti: Pertama,

sistem nilai tentang bagaimana kita harus hidup secara baik sebagaimana manusia. Sistem nilai ini terkandung dalam ajaran berbentuk petuah-petuah, nasihat, wejangan, peraturan, perintah dsb, yang diwariskan secara turun temurun melalui agama atau kebudayaan tertentu tentang bagaimana manusia harus hidup secara baik agar ia benar-benar menjadi manusia yang baik.

Kedua, tradisi kepercayaan, dalam agama atau kebudayaan tentang perilaku yang baik dan buruk. Moralitas memberi manusia aturan atau petunjuk konkrit tentang bagaimana ia harus hidup, bagaimana ia harus bertindak sebagai manusia yang baik, dan bagaimana menghindari perilaku-perilaku yang tidak baik.45

Sedangkan pendidikan moral adalah usaha untuk mengembangkan pola perilaku seseorang sesuai dengan kehendak masyarakatnya. Kehendak ini berwujud moralitas atau kesusilaan yang berisi nilai-nilai dan kehidupan yang berada dalam masyarakat. Karena menyangkut dua aspek inilah, yaitu nilai dan kehidupan nyata. Maka pendidikan moral lebih banyak membahas masalah

44

Asri Budiningsih, Pembelajaran Moral Berpijak Pada Karakteristik Siswa Dan Budayanya ( Jakarta: Rineka cipta,2004 ), h. 24

45

Burhanuddi Salam, Etika Sosial Asas Moral Dalam Kehidupan Manusia ( Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 3


(40)

31

dilema (seperti makan buah simalakama) yang berguna untuk mengambil keputusan moral yang terbaik bagi diri dan masyarakatnya.46

Selain itu pendidikan moral juga biasa diartikan sebagai suatu konsep kebaikan (konsep yang bermoral) yang diberikan atau diajarkan kepada peserta didik (generasi muda dan masyarakat) untuk membentuk budi pekerti luhur, berakhlak mulia, dan berperilaku terpuji seperti halnya dalam pancasila dan UUD 1945. Guru diharapkan membantu peserta didik mengembangkan dirinya, baik secara keilmuan maupun secara mental spiritual keagamaan.

Ada beberapa istilah yang sering digunakan secara bergantian untuk menunjukkan maksud yang sama, istilah moral, akhlak, karakter, etika, budi

pekerti dan susila. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, “moral” diartikan

sebagai keadaan baik dan buruk yang diterima secara umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, budi pekerti dan susila. Moral juga berarti kondisi mental yang terungkap dalam bentuk perbuatan. Selain itu moral berarti sebagai ajaran Kesusilaan.47 Kata moral sendiri berasal dari bahasa Latin

“mores” yang berarti tata cara dalam kehidupan, adat istiadat dan kebiasaan.48

46

Ibid., h. 3 47

Tim Penyusunan Kamus Pusat dan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1994), h. 192

48

Singgih Gunarsa, Psikologi Perkembangan, (Jakarta : PT : BPK Gunung Mulia, 1999) Cet : Ke-12, h. 38


(41)

32

Dengan demikian pengertian moral dapat dipahami dengan mengklasifikasikannya sebagai berikut : (a) Moral sebagai ajaran kesusilaan, berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan tuntutan untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik dan meninggalkan perbuatan jelek yang bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dalam suatu masyarakat. (b) Moral sebagai aturan, berarti ketentuan yang digunakan oleh masyarakat untuk menilai perbuatan seseorang apakah termasuk baik atau sebaliknya buruk. (c) Moral sebagai gejala kejiwaan yang timbul dalam bentuk perbuatan, seperti berani, jujur, sabar, gairah dan sebagainya.

Dalam terminologi Islam, pengertian moral dapat disamakan dengan

pengertian “akhlak” dan dalam bahasa Indonesia moral dan akhlak maksudnya

sama dengan budi pekerti atau kesusilaan.49

Kata akhlak berasal dari kata khalaqa (bahasa Arab) yang berarti peragai,

tabi’at dan adat istiadat. Al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai suatu

perangai (watak/tabi’at) yang menetap dalam jiwa seseorang dan merupakan

sumber timbulnya perbuatan-perbuatan tertentu dari dirinya secara mudah dan ringan tanpa dipikirkan atau direncanakan sebelumnya.50

49

Tim Penyusunan Kamus Pusat dan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia.., h. 195

50

Al-Ghazali, Mengobati Penyakit Hati Membentuk Akhlak Mulia, (Bandung : Kharisma, 1994) Cet. Ke-1, h. 31


(42)

33

Pengertian akhlak seperti ini hampir sama dengan yang dikatakan oleh Ibn Maskawih. Akhlak menurutnya adalah suatu keadaan jiwa yang menyebabkan timbulnya perbuatan tanpa melalui pertimbangan dan dipikirkan secara mendalam.51 Apabila dari peragai tersebut timbul perbuatan baik, maka perbuatan demikian disebut akhlak baik. Demikian sebaliknya, jika perbuatan yang ditimbulkannya perbuatan buruk, maka disebut akhlak jelek.

Pendapat lain yang menguatkan persamaan arti moral dan akhlak adalah pendapat Muslim Nurdin yang mengatakan bahwa akhlak adalah seperangkat nilai yang dijadikan tolok ukur untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan atau suatu sistem nilai yang mengatur pola sikap dan tindakan manusia.52

Dapat dikatakan bahwa tidak ada perbedaan yang mendasar antara akhlak dan moral. Keduanya bisa dikatakan sama, kendatipun tidak dipungkiri ada sebagian pemikir yang tidak sependapat dengan mempersamakan kedua istilah tersebut.

Mustafa Zahri mengatakan “bahwa tujuan perbaikan akhlak itu ialah untuk membersihkan kalbu dari kotoran-kotoran hawa nafsu dan amarah sehingga hati menjadi suci bersih bagaikan cermin yang dapat menerima Nur

51

Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, (Bandung : Mizan, 1994) Cet Ke-2, h. 56 52

Muslim Nurdin, Moral Islam dan Kognisi Islam, (Bandung : CV. Alabeta, 1993) Cet. Ke-1, h. 205


(43)

34

cahaya Tuhan”. Keterangan tersebut memberikan panduan kepada manusia agar mampu menilai dan menentukan suatu perbuatan untuk selanjutnya menetapkan bahwa perbuatan tersebut termasuk perbuatan baik atau buruk. Mengetahui seluk beluk yang terkait dengan akhlak, maka manusia akan menggapai kehidupan bahagia, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Kebahagiaan hidup ini pasti tercapai manakala akhlak baik terpancar dari dalam jiwanya, inilah yang menjadi tujuan manusia dalam mempelajari ilmu-ilmu akhlak.

Ilmu akhlak juga menentukan kriteria perbuatan yang baik dan yang buruk, serta perbuatan apa saja yang termasuk perbuatan baik, dan perbuatan yang buruk itu, dan selanjutnya akan banyak mengetahui perbuatan baik dan perbuatan yang buruk. Selain itu ilmu akhlak berguna secara efektif dalam upaya membersihkan diri manusia dalam perbuatan dosa dan maksiat. Jika tujuan ilmu akhlak tersebut tercapai, maka manusia akan memiliki kebersihan batin yang pada gilirannya melahirkan perbuatan terpuji. Perbuatan terpuji ini akan lahirlah keadaan masyarakat yang damai, sejahtera, harmoni lahir dan batin, yang memungkinkan dapat beraktifitas guna mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan juga di akhirat.

Menurut kamus lengkap bahasa indonesia keagamaan berasal dari kata agama, yang mana agama artinya adalah sistim, prinsip kepercayaan kepada tuhan dengan ajaran kebaktian dan kewajiban- kewajiban yang telah bertalian


(44)

35

dengan kepercayaan itu. Sedangkan keagamaan adalah suatu hal yang berhubungan dengan agama.53 Jadi dari sini dapat kami tarik kesimpulan bahwa moralitas keagamaan adalah ajaran baik- buruk suatu perbuatan atau akhlak manusia yang berhubungan dengan agama.

Ada pula yang menyatakan bahwa pencarian makna agama bukanlah suatu hal yang mudah apalagi membuat definisi yang dapat menampung semua persoalan esensial yang terkandung dalam agama. Abdussalam mendefinisikan agama sebagai suatu sistem nilai yang diakui dan diyakini kebenaranya dan merupakan jalan ke arah keselamatan hidup sebagai suatu sistem nilai, agama mengandung persoalan-persoalan pokok yaitu tata keyakinan, tata peribadatan, dan tata aturan.

Agama yang paling mendasar adalah keyakinan akan adanya sesuatu kekuatan supranatural, zat yang maha mutlak di luar kehidupan manusia mengandung tata peribadatan atau ritual yaitu tingkah laku dan perbuatan-perbuatan yang berhubungan dengan zat yang diyakini sebagai konsekuensi dari keyakinan akan keberadaanya, dan mengandung tata aturan, kaidah-kaidah atau norma-norma yang mengatur hubungan manusia dengan manusia, atau manusia dengan lingkungannya sesuai dengan keyakinannya.

53

C. Rumpak, dkk. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), h. 849


(45)

36

Dari pengertian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa moralitas keagamaan adalah sikap dan perilaku yang sesuai dengan tuntunan agama Islam. Pada dasarnya seorang muslim yang masuk ke dalam agama Islam secara menyeluruh mengandung makna, bahwa mukmin tersebut seluruh hidup dan kehidupannya tunduk dan patuh pada ajaran agama Islam. sikap dan perilakunya sesuai dengan tutunan agama Islam, yang mana hal ini telah tertuang dalam firman Allah dalam surat al-mukmin ayat 1-11.54

                                                                                                                                                                                                                                   54

Mawardi Lubis, evaluasi pendidikan nilai, pengembangan moral keagamaan mahasiswa PTIAIN, (Yogyakarta, pustaka belajar, 2008) h. 10 dan 28- 30


(46)

37                    

Artinya : (1) Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (2) (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya (3)Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, (4)Dan orang-orang yang menunaikan zakat, (5)Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, (6)Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, Maka Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada terceIa. (7)Barangsiapa mencari yang di balik itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas. (8)Dan orang-orang yang memelihara amanat- amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. (9)Dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya. (10)Mereka Itulah orang-orang yang akan mewarisi, (11)(yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. mereka kekal di dalamnya. (QS. Al- mukmin; 1-11)55

Peran agama dalam hidup dan kehidupan manusia sangat penting karena pada dasarnya manusia memilki keinginan yang sangat esensial dalam jiwa, berupa keinginan selalu mencari sesuatu yang berbeda di luar dirinya, yang ideal, yang dapat memahami hatinya.

2. Sumber Moralitas Keagamaan

Sumber-sumber akhlak yang merupakan pembentukan mental itu ada beberapa faktor, secara garis besar faktor-faktor tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu; (a) Faktor internal (dari dalam dirinya), (b) Faktor eksternal (dari luar dirinya).56

55

Departemen agama RI, Al-qur`an dan terjemahanya, Al- jumanatul Ali,(Bandung, CV penerbit J- ART 2005) h. 343

56

Ulwan Abdullah Nasikh, Membentuk Karakter Generasi Muda, (Solo: CV. Pustaka


(47)

38

Adapun faktor yang termasuk faktor yang dari luar dirinya, yang turut membentuk mental adalah : (a) Keturunan atau al-waratsah, (b) Lingkungan, (c) Rumah tangga, (d) Sekolah, (e) Pergaulan kawan, persahabatan, (f) Penguasa, pemimpin atau al-mulk.

Sedangkan yang termasuk faktor dari dalam dirinya, secara terperinci pula dapat diuraikan sebagai berikut : (a) Insting dan akalnya, (b) Adat, (c) Kepercayaaan, (d) Keinginan-keinginan, (e) Hawa nafsu, dan (f) Hati nurani.57

Semua faktor-faktor tersebut menggabung menjadi satu turut membentuk mental seseorang, mana yang lebih kuat, lebih banyak memberi corak pada mentalnya. Tentu saja untuk membentuk mental yang baik agar si insan mempunyai akhlak yang mulia, tidak dapat digarap hanya dengan satu faktor saja, melainkan harus dari segala jurusan, dari mana sumber-sumber akhlak itu datang.

Sedangkan sumber akhlak/moral dalam Islam terakumulasi dalam kitab suci dan sabda Rasul Muhammad SAW. yang secara mutlak telah diyakini bahwa Dialah yang berdaulat secara absolut, Tuhan. Tidak ada yang mempunyai pengaruh kecuali dengan kemurahan hati yang absolut dari pada-Nya. Segala bentuk kebesaran adalah haknya yang eksklusif, karena itu kesombongan manusia dalam bentuk apa pun juga dan sebesar apa pun

Mantiq, Cetakan III, 1992), h.18

57

Rachmat Djatmika, Sistem Etika Islami (Akhlaq Mulia), (Surabaya: Pustaka Islam, 1987), h. 25


(48)

39

kesombongan itu, menimbulkan ketidaksenangan-Nya. Berdasar hal-hal yang sangat pokok dan prinsip tersebut, Islam secara tegas memproklamirkan bahwa sumber dan ciri akhlak Islam adalah Al Quran dan Al Hadis.58

Sebab jika ukurannya adalah manusia, maka baik dan buruk itu bisa berbeda-beda. Seseorang mengatakan bahwa sesuatu itu baik, tetapi orang lain belum tentu menganggapnya baik. Begitu juga sebaliknya, seseorang menyebut sesuatu itu buruk, padahal yang lain bisa saja menyebutnya baik. Selain itu, segala tindakan dan perbuatan manusia yang memiliki corak berbeda antara satu dengan yang lainnya, pada dasarnya merupakan akibat adanya pengaruh dari dalam diri manusia (insting) dan motivasi yang disuplai dari luar dirinya. Berikut ini adalah faktot-faktor yang mempengaruhi hal tersebut:

a. Insting

Aneka corak refleksi sikap, tindakan dan perbuatan manusia dimotivasi oleh potensi kehendak yang dimotori oleh insting seseorang (dalam bahasa Arab disebut gharizah). Insting merupakan seperangkat tabiat yang dibawa manusia sejak lahir. Para psikolog menjelaskan bahwa insting (naluri) berfungsi sebagai motivator penggerak yang mendorong lahirnya tingkah laku.59

Dalam ilmu akhlak, pengertian tentang naluri ini amat penting, karena

58

Zahruddin & Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi Akhlaq,(Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada,2004), h. 89-90

59

Ibid., h. 93


(49)

40

para ahli etika tidak merasa memadai kalau hanya menyelidiki tindak tanduk lahir dari manusia saja, melainkan merasa perlu juga menyelidiki latar belakang kejiwaan yang mempengaruhi dan mendorong suatu perbuatan. Misalnya perbuatan mencuri, disamping nilai buruknya kelakuan tersebut, ahli etika merasa perlu menyelidiki faktor-faktor pendorong dari dalam jiwa pelakunya yang bersumber dari suatu naluri, ingin makan dan kelanjutan hidupnya, akan tetapi naluri tersebut melalui jalan yang salah.

b. Adat kebiasaan

Yang terpenting dalam tingkah laku manusia adalah “kebiasaan” atau “adat kebiasaan”. Adat/kebiasaan adalah setiap tindakan dan perbuatan

seseorang yang dilakukan secara berulang-ulang dalam bentuk yang sama sehingga menjadi kebiasaan, seperti berpakaian, makan, tidur, olahraga, dan sebagainya.60

Adat kebiasaan mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan akhlak/ moralitas keagamaan, sehingga ketika akan dirubah pasti akan menimbulkan reaksi yang sangat besar dalam diri pribadi yang bersangkutan.

Segala perbuatan baik atau buruk menjadi adat kebiasaan karena dua

faktor: “kesukaan hati kepada sesuatu pekerjaan dan menerima kesukaan itu

dengan melahirkan suatu perbuatan, dan dengan diulang-ulang

60

Ibid..,h. 95


(50)

41

secukupnya”.61

c. Wirotsah (Keturunan)

Perbincangan istilah wirotsah berhubungan dengan faktor keturunan. Dalam hal ini secara langsung atau tidak langsung, sangat mempengaruhi bentukan sikap dan tingkah laku seseorang. Adapun warisan itu ialah berpindahnya sifat-sifat pokok (orang tua) kepada cabang (anak keturunan).62

d. Lingkungan

Salah satu aspek yang turut memberikan pengaruh dalam terbentuknya akhlak adalah faktor lingkungan dimana seseorang itu berada.

Milieu atau lingkungan artinya adalah suatu yang melingkungi tubuh yang hidup. Lingkungan tumbuh-tumbuhan ialah tanah dan udaranya, lingkungan manusia adalah apa yang melingkunginya dari negeri, lautan, sungai, udara, dan bangsa.63

3. Macam-Macam Moralitas Keagamaan

Menurut Ibrahim Anis, Akhlak ialah sifat yang tertanam dalam jiwa yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan baik dan buruk tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan. Allah telah menentukan

61

Ahmad Amin. ETIKA (Ilmu Akhlaq),(Jakarta: Bulan Bintang.1993), h. 21 62

Zahruddin & Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi.., h. 96-97 63

Ahmad Amin. ETIKA,. h. 41


(51)

42

garis budi pekerti kepada manusia, menjelaskan ajaran-ajarannya, mengajarkan untuk mengamalkannya dan sekaligus mencintai budi pekerti tersebut. Patokan budi pekerti tersebut terdapat dalam Al-qur’an surat Al-Baqarah ayat 177:

                                                                               

Artinya: “Bukanlah kebaikan-kebaikan itu menghadapkan ke wajah kamu kearah timur dan barat, tetapi kebaikan itu adalah barang siapa yang beriman kepada Allah, hari akhirat, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada para kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang membutuhkan pertolongan), orang-orang yang meminta-minta, dan membebaskan perbudakan, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan orang-orang yanmg memenuhi janjinya bila mereka berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam menghadapi kesempitan, penderitaan,dan pada waktu peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya) dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa. “ (QS. Al Baqarah: 177)

Menurut ayat tersebut, mengandung perngertian bahwa kebaikan itu bukan semata sebagai formalitas belaka, akan tetapi kebaikan adalah suatu perbuatan yang didasari oleh suatu keimanan (keyakinan) kepada Allah yang membantu konsekuensinya dan menjalankan perintah serta menjauhi laranganya. Bukti keimanan tersebut bukan semata-mata melaksanakan ibadah wajib, akan tetapi juga meliputi segala aspek aktivitas kehidupan yang mengandung nilai sosial baik yang berhubungan denagn sesama maupun


(52)

43

dengan alam semesta. Ibnu Miskawaih menyebutkan, bahwa jenis-jenis keutamaan manusia ada empat: Arif, sederhana, berani, dan adil. Sedangkan kebalikanya adalah: bodoh, rakus, pengecut, dan dhalim. Drs. Mahjudin menguraikan bahwa macam-macam akhlak terbagi menjadi dua:

1. Akhlaq Mahmudah yaitu perbuatan baik terhadap tuhan, sesama manusia dan makhluk yang lain.

2. Akhlaq Madzmumah yaitu perbuatan buruk terhadap tuhan, sesama manusia dan makhluk yang lain.

4. Pesantren dan Pembangunan moral

Pesantren adalah salah satu kekayaan budaya umat Islam yang khas ke

“Indonesiaan”.64

Ditinjau dari segi historisnya, pesantren merupakan bentuk lembaga pribumi tertua di Indonesia yang kegiatannya berawal dari pengajian kitab. Keterlibatan, partisipasi dan peran serta masyarakat dalam melakukan pendidikan dapat dijumpai pada masyarakat Islam di indonesia. Jauh sebelum pemerintah mendirikan sekolah atau madrasah formal sebagaimana yang dijumpai sekarang ini, umat Islam di Indonesia sudah memiliki Surau,

Meunasah, Rangkang, Langgar, Mushalla, Majelis Ta’lim, Masjid, dan

Pesantren.65

64

M. Bahri Ghazali, Pesantren Berwawasan Lingkungan, (Jakarta: Prasasti, 2004), h. 8 65

Abuddin Nata, Jurnal Pemikiran islam Kontekstual: Pendidikan Berbasis Masyarakat Dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 2001), vol 2, No. 2, h. 193


(53)

44

Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang memiliki akar secara historis yang cukup kuat sehingga menduduki posisi relatif sentral dalam dunia keilmuan. Dalam masyarakatnya, pesantren sebagai sub kultur lahir dan berkembang seiring dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat global, Asketisme (faham kesufian) yang digunakan pesantren sebagai pilihan ideal bagi masyarakat yang dilanda krisis kehidupan sehingga pesantren sebagai unit budaya yang terpisah dari perkembangan waktu, menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Peranan seperti ini yang dikatakan Abdurrahman

Wahid “Sebagai ciri utama pesantren sebuah sub kultur.”66

Pesantren adalah subkultur yang memainkan peran penguatan pendidikan, pengembangan ekonomi masyarakat, merekatkan ikatan sosial, dan menjaga dakwah agama yang damai dan mengedepankan penghargaan terhadap keragaman. Pesantren juga ada di garda depan melawan penjajahan dan mempertahankan kemerdekaan. Pesantren memberi manfaat yang sangat

besar kepada banyak orang. Ketika orang miskin maupun anak yang “dibuang”

dari keluarga atau masyarakat disebabkan problem moral, pesantren menjadi lembaga pendidikan yang meluaskan akses kepada sebanyak-banyaknya warga negara. Akses seluas-luasnya juga terus disertai dengan kualitas yang memadai.67

66

Abdurrahman Wahid, Pesantren Sebagai Sub Kultural; Dalam Pesantren.., h. 10 67

A. Helmy Faishal Zaini, Pesantren: Akar Pendidikan Islam.., h.xiii


(1)

Buku Panduan pengurus Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif. Buku Panduan Yayasan Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang

Bungin, Burhan. 2001. Metode Penelitian Sosial-Format-Format Kuantitatif dan

Kualitatif, Surabaya: Airlangga University Press

Chalil Mansyur, M. 1985. Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa, Surabaya: Usaha Nasional

Cholish Madjid, Nur. 1997. Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina

Danim, Sudarwan. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung: Pustaka Pelajar Departemen Agama RI, 2003. Pola Pengembangan Pondok Pesantren. Jakarta:

Ditpekapontren Ditjen Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI Departemen agama RI. 2005. Al-qur`an dan terjemahanya, Al- jumanatul Ali,

Bandung, CV penerbit J- ART

Dhofier, Zamakhsyari. 2011. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan

Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, Jakarta: LP3ES

Djatmika, Rachmat. 1987. Sistem Etika Islami (Akhlaq Mulia), Surabaya: Pustaka Islam

Drajat, Zakiyah. 1985. Pendidikan Agama dan Pendidikan Mental, Jakarta: Bulan Bintang

Faiqoh. 2003. Nyai Agen Perubahan di Pesantren, Jakarta: Kucica

Farhan, Hamdan dan Syarifudin. 2007. Titik Tengkar Pesantren: Resolusi Konflik Masyarakat Pesantren, Jogjakarta: Pilar Media

Galba, Sindu. 2004. Pesantren Sebagai Wadah Komunikasi, Jakarta: Rineka Cipta Ghofar, Nashrul. Tokoh masyarakat Denanyar, wawancara pribadi, Jombang, 25

Desember 2015

Gunarsa, Singgih. 1999. Psikologi Perkembangan, Jakarta : PT : BPK Gunung Mulia


(2)

Habibullah Asy’ari, Zubaidi. 1996. Moralitas Pendidikan Pesantren, Yogyakarta: LKPSM

Hadi, Sutrisno. 1987. Metodologi Research, Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM Harahap, E, St. 2007. Kamus Indonesia Ketjik, Jakarta: Penerbitan B Angin

Held, Virginia. 1991. Etika Moral: Pembenaran Tindakan sosial. Jakarta: Erlangga Helmy Faishal Zaini, A. 2015. Pesantren: Akar Pendidikan Islam Nusantara,

Jakarta: P3M

Indriantoro, Nur dan Bambang Supomo. 2002. Metodologi Penelitian Bisnis untuk

Akuntansi dan. Manajemen, Yogyakarta: BPFE Yogyakarta

J. Moleong, Lexy. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya

Keraf, Gorys. 1980. Komposisi, Ende: Nusa Indah

Lubis, Mawawrdi. 2008. evaluasi pendidikan nilai, pengembangan moral

keagamaan mahasiswa PTIAIN, Yogyakarta: pustaka belajar

M.A, Abudin. 2003. Manajemen Pendidikan, Jakarta: Prenada Media

Ma’ruf Noor, Farid. 1981. Dinamika dan Akhlaq Da’wah, Surabaya: Bina Ilmu Made Wirartha, I. 2006. Metodologi Penelitian Sosial Ekonomi, Yogyakarta: CV.

Andi Offset

Maghfur, Pengajar dan Tokoh Masyarakat Denanyar, wawancara pribadi, Jombang: 20-28 Desember 2015

Mahfudz, M. WAKA Kurikulum MTs MA Mu’allimin Denanyar, wawancara pribadi, Jombang: 20 Desember 2015

Manaf, Sofwan. Tt. Pola Managemen Penyelenggaraan Pondok Pesantren, Jakarta: Departemen Agama RI

Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada


(3)

Miskawaih, Ibn. 1994. Menuju Kesempurnaan Akhlak, Bandung : Mizan

Muchlis Solichin, Mohammad. 2012. Jurnal KARSA: Rekontruksi Pendidikan Pesantren Sebagai Character Building Menghadapi Tantangan Kehidupan

Modern, (STAIN Pamekasan: Vol20, no 1

Mudjab, A. dan Umi Mujawazah Mahali, 1988. Kode Etik Kaum Santri, Bandung: Rosda Karya

Mufidah, Zahrotul. 2010. Peningkatan Keagamaan Siswa Kelas VIII Melalui Kegiatan Ekstrakurikuler IMTAQ (Iman dan Taqwa) Di SMP Negeri 13

Malang, Skripsi Fakultas Tarbiyah UIN Malana Malik Ibrahim Surabaya

Mughits, Abdul. 2008. Kritik Nalar Fiqih Pesantren, Jakarta: Kencana Prenada Media Goup

Mujazun, Ahmad. Dewan Penasehat BUMP, wawancara pribadi, Jombang: 20 Desember 2015

Nata Saputra, M. 1983. Pengantar Sosiologi, Yogyakarta: Multi Aksara

Nata, Abudin. 2001. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga pendidikan Islam. Jakarta:Gradsindo

Noor Qomariyah, Dewi. 2005. Peran dakwah pondok pesantren Ibnu Sina pada masyarakat desa Mojongapit Jombang, Skripsi fakultas Dakwah UIN Sunan Ampel Surabaya.

Nur, Kholisatun. 2006. Peran dakwah pondok pesantren Darul Falah pada

masyarakat desa Pajarakan Probolinggo, Skripsi fakultas Dakwah UIN Sunan

Ampel Surabaya.

Nurdin, Muslim. 1993. Moral Islam dan Kognisi Islam, Bandung : CV. Alabeta Oepen, Manfred dan Wolgang Karcher, 1988. Dinamika Pesantren, Jakarta: P3M,

1988

Poerwodarwinto. 1997. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka Purwandari, Rahmawati. 2013. Upaya pondok pesantren Hidayatul Mubtadiien

dalam pembinaan akhlak masyarakat Kalibening Kecamatan Tingkir Kota Salatiga Tahun 2013, Skripsi Fakultas Tarbiyah STAIN Salatiga.


(4)

Purwanto, Ngalim. 1987. Administrasi dan Supervisi Pendidikan, Jakarta: remaja Rosdakarya

Qomar, Mujamil. 2003. Meniti Jalan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Qomar, Mujamil. Tt. Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju

Demokratisasi Institusi, Jakarta: Erlangga

Quraish Shihhab, M. 2004. Tafsir Al Misbah. Jakarta: Lentera Hati

Rahardjo. 1999. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian, (Yogyakarta; Gadjah Mada University Press

Rahman Saleh, Abdul. 2000. Pendidikan Agama dan Keagamaan:Visi, Missi, Dan Aksi, Jakarta: PT. Gema windu Panca Perkasa

Rahman Shaleh, Abd. 1982. Pedoman Pembinaan Pondok Pesantren, Jakarta: Pelita Rahmat, Sugianta. Guru Bidang Agama ( Wasoya ), wawancara pribadi, Jombang,

25 Desember 2015

Rakhmat, Jalaludin. 2004. Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung : PT.Remaja Rosdakarya

Riyanto, Yatim. 2007. Metodologi Penelitian Pendidikan Kualitatif dan Kuantitatif.

Surabaya: UNESA University Press

Rofiq, dkk. 2005. Pemberdayaan pesantren, Jakarta: Pustaka Pesantren

Roni, Muhammad. 2013. Peran pondok pesantren Az-zainy dalam pembinaan keagamaan bagi korban narkoba( studi kasus pondok pesantren rehabilitas mental Az-Zainy Malang), Skripsi Fakultas tarbiyah UIN Sunan Ampel Surabaya.

Rosyid, Abdur. Pengurus Harian Yayasan Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang, wawancara pribadi, Jombang, 20 Desember 2015

Rumpak, C. dkk. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka Salam, Burhanuddin. 1997. Etika Sosial Asas Moral Dalam Kehidupan Manusia,

Jakarta: Rineka Cipta


(5)

Santoso, Slamet. 2004. Dinamika Kelompok. Jakarta: BumiAksara

Shadily, Hasan. 1993. Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia, (Jakarta, Rineka Cipta, 1993

Sholehudin. 2007. Kiai & Politik Kekuasaan, Surabaya: FKPI

Sudijono, Anas. 2008. Pengatar Statistik Pendidikan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Sugiyono. 2003. Metode Penelitian Adminitrasi, Bandung: Alfabeta

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D, Bandung: Alfabeta

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Bandung: Alfabeta

Suharto, Babun. 2011. Dari Pesantren Untuk Umat: Reinventing Eksistensi Pesantren di Era Globalisasi, Surabaya: Imtiyaz

Sulthon, M. & Moh. Khusnuridlo. 2006. Manajemen Pondok Pesantren Dalam Perspetif Global, Yogyakarta: LkasBang Pressindo

Sunarto, Kamanto. 1993. Pengantar Sosiologi, Jakarta: Lembaga Penerbit FE – UI Suryabrata, Sumadi. 2014. Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada Syamsuddin, Anggota Jama’ah Pengajian Rutin, Wawancara pribadi, Jombang,

24-26 Desember 2015

Syamsudduha. 2004. Manajemen Pesantren: Teori dan Praktek, Yogyakarta: Graha Guru. 2004

Syaodih Sukmadinata, Nana. 2009. Metodologi Penelitian Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Tafsir, Ahmad. 1992. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya

Tasmara, Toto. 1990. Komunikasi Dakwah, Jakarta: Gaya Media Pratama


(6)

Tholhah hasan, Muhammad. 2004. Agama Moderat, Pesantren dan Terorisme,

Malang: Lista Fariska Putra

Tim empat, 2007. AD/ART Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif, Jombang, tp Tim Penyusunan Kamus Pusat dan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

Depdikbud. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka Turmudi, Endang. 2004. Perselingkuhan kiai dan kekuasaan, Yogyakarta: LkiS Usman, Husami dan Purnomo Setiady Akbar. 2008. Metodologi Penelitian Sosial,

Jakarta: Bumi Aksara

Wahid, Abdurrahman. 2001. Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren,

Jogjakarta: LKIS

Wahid, Abdurrahman. 1988. Pesantren Sebagai Sub Kultural; Dalam Pesantren dan Perubahan Sosial, Jakarta: LP3ES

Waluya, Bagja. 2007. Sosiologi: Menyelami fenomena sosial di masyarakat,

Bandung: PT. Setia puma inves

Yakup, M. 1984. Pondok Pesantren dan Pembangunan Masyarakat Desa, Bandung: Angkasa

Yasmadi. 2002. Modernisasi pesantren, kritik Nurcholis Majid terhadap pendidikan Islam tradisional, Jakarta: Ciputat Press

Yusuf, Syamsu. 2003. Psikologi Perkembangan Anak Dan Remaja, Bandung: Rosdakarya

Zahruddin. Hasanuddin Sinaga. 2004. Pengantar Studi Akhlaq, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada

Zaini, Mujiono. Guru dan Ketua Takmir Masjid Perumahan Desa Denanyar, wawancara pribadi, Jombang, 20-25 Desember 2015

Zubaedi. 2007. Pendidikan Berbasis Masyarakat: Upaya Menawarkan Solusi terhadap Pelbagai Problem Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Zuriah, Nurul. 2007. Pendidikan Moral & Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan. Jakarta: Bumi Aksara


Dokumen yang terkait

Penyesuaian diri santri di Pondok Pesantren terhadap kegiatan pesantren : studi kasus di Pondok Pesantren Darunnajah

14 101 116

PERAN PONDOK PESANTREN TERHADAP PENDIDIKAN DAN KESEJAHTERAAN Peran Pondok Pesantren Terhadap Pendidikan Dan Kesejahteraan Masyarakat (Studi Kasus Pondok Pesantren Baitul Musthofa Mojosongo, Jebres, Surakarta).

0 1 17

PENDAHULUAN Peran Pondok Pesantren Terhadap Pendidikan Dan Kesejahteraan Masyarakat (Studi Kasus Pondok Pesantren Baitul Musthofa Mojosongo, Jebres, Surakarta).

0 1 16

PERAN PONDOK PESANTREN „IBAADURRAHMAN DANUKUSUMAN SURAKARTA DALAM UPAYA Peran Pondok Pesantren 'Ibaadurrahman Danukusuman Surakarta Dalam Upaya Memberdayakan Masyarakat Melalui Pendidikan Islam Nonformal.

0 1 15

PERAN PONDOK PESANTREN MA’AHID KUDUS DALAM MENINGKATKAN PENDIDIKAN MASYARAKAT Peran Pondok Pesantren Ma’ahid Kudus Dalam Meningkatkan Pendidikan Masyarakat (Studi Kasus Di Pondok Pesantren Ma’ahid Kudus).

0 1 14

PENDAHULUAN Peran Pondok Pesantren Ma’ahid Kudus Dalam Meningkatkan Pendidikan Masyarakat (Studi Kasus Di Pondok Pesantren Ma’ahid Kudus).

0 3 12

Kiprah peran pondok pesantren dalam membentuk soft skill : studi kasus pondok pesantren mambaus Sholihin Suci Manyar Gresik.

8 65 129

BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM DALAM PONDOK PESANTREN “PENANGANAN MASALAH KEMALASAN TERHADAP PENGURUS DI PONDOK PESANTREN MAMBA’UL MA’ARIF DENANYAR JOMBANG”.

0 0 118

PERAN PONDOK PESANTREN DALAM PEMBINAAN AKHLAK

0 3 114

PONDOK PESANTREN SEBAGAI SUBTITUSI PERAN

0 0 18