Hadis perintah perang dalam Sunan Ibn Majah nomor indeks 3927.

(1)

HADIS PERINTAH PERANG DALAM KITAB

SUNAN IBN

MAJAH

NOMOR INDEKS 3927

SKRIPSI

Oleh:

ROBIATUL ADAWIYAH

E03213076

PROGRAM STUDI ILMU ALQURAN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2017


(2)

HADIS PERINTAH PERANG DALAM KITAB

SUNAN IBN

MAJAH

NOMOR INDEKS 3927

SKRIPSI

Diajukan Kepada:

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam

Menyelesaikan Program Strata Satu (S-1) Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

Oleh:

ROBIATUL ADAWIYAH

E03213076

PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2017


(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

ABSTRAK

Robiatul Adawiyah, 2017. PERINTAH PERANG DALAM SUNAN IBN

MA<JAH NOMOR INDEKS 3927

Berbagai fenomena dalam masyarakat menuntut adanya penyelesaian. Salah satu fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat saat ini adalah maraknya teror dan bom bunuh diri di Indonesia. Hadis diatas menyatakan bahwa Rasu<lullah SAW memerangi orang-orang mushrikin yang mulai meninggalkan ajaran Islam. Hadis ini difahami secara mentah dan dijadikan rujukan oleh kelompok radikal untuk melakukan teror dan bom bunuh diri.

Fakta ini yang mendorong penulis melakukan penelitian untuk mengetahui maksud dari pemaknaan terhadap hadis tersebut lebih mendalam sekaligus menelusuri apakah sanad dan matan hadis tersebut telah memenuhi kriteria ke-s{ahi<h-an hadis.

Penelitian pada hadis Sunan Ibn Ma>jah tentang Perintah Perang No. Indeks 3927 diharapkan dapat memberikan satu pemahaman yang dapat dijadikan sebagai rujukan dalam menjawab fenomena ini. Penelitian ini mengarah pada kualitas, keh}ujjahan, pemaknaan, dan implikasi hadis. Dalam pengumpulan data digunakan metode takhrij, i’tibar, kritik sanad maupun matan dan teori pemaknaan.

Penelitian hadis tentang perintah perang ini menghasilkan bahwa hadis tersebut berkualitas S}ahi>h li Dha>tihi. Hal ini disebabkan karena sanadnya muttas{il, periwayat yang pertama sampai terakhir semuanya thiqah, dan tidak ditemukan adanya shudhudh dan ‘illat. Juga disamping itu matan hadis tidak bertentangan dengan tolak ukur yang dijadikan barometer penilaian ke-s{ahi>h-an matan, maka hadis tentang Perintah Perang ini termasuk kategori maqbu>l ma‘mu>lun bihi, sehingga hadis ini dapat dijadikan sebagaih}ujjah. Setelah metode Ma’a>ni al-H{adi>th diterapkan, menghasilkan makna bahwa tujuan Rasu>lulla>h SAW memerangi adalah untuk mengembalikan ajaran Islam yang mulai dikesampingkan oleh kaum kafir Makkah. kemudian makna tersebut dikontekstualkan kepada realitas kekinian, yaitu kelompok radikal yang menggunakan hadis ini secara tidak menyeluruh dan digunakan untuk mencekoki orang-orang Islam awam agar melakukan teror terhadap muslim lainnya yang tidak sefaham dengannya dan dianggap kafir. Upaya kontekstualisasi ini menunjukkan bahwa kekacauan yang terjadi di negara Islam termasuk Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam adalah sebagai bukti kurangnya kesadaran setiap individu atas sifat toleran terhadap sesama muslim, serta kurangnya pengetahuan tentang agama menjadi peluang besar bagi para kelompok radikal untuk melakukan aksinya. Maka jika seseorang ingin mengambil suatu dalil dari al-Qur’a>n maupun h}adi>th, perlu untuk memperhatikan rujukan dalil tersebut yang sudah diakui ke-s{ahi>han-nya.


(8)

x

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ...i

ABSTRAK ...ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ...iii

PENGESAHAN SKRIPSI ...iv

PERNYATAAN KEASLIAN...v

MOTTO ...vi

PERSEMBAHAN ...vii

KATA PENGANTAR ...ix

DAFTAR ISI...x

PEDOMAN TRANSLITERASI ...xiii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 8

C. Rumusan Masalah ... 9

D. Tujuan Penelitian ... 9

E. Kegunaan Penelitian ... 10

F. Telaah Pustaka ... 10

G. Penegasan Judul ... 11

H. Metode Penelitian ... 12


(9)

BAB II : KAIDAH KES{AH{I<HAN H{ADI<TH, KEHUJJAHAN H}ADI<TH, SERTA TEORI PEMAKNAAN H}ADI<TH

A. Kaidah Kes}ah}i>h}an H}adi>th ... 18

1. Kritik Sanad... 19

2. Kritik Matan ... 22

B. Kaidah Keh}ujjahan H}adi>th ... 23

C. Teori Pemaknaan H}adi>th ... 26

1. Pendekatan dari Segi Bahasa... 27

2. Pendekatan dari Latar Belakang Turunnya H}adi>th ... 28

D. Teori Perdamaian ... 29

1. Pengertian Damai ... 29

2. perdamaian dalam Islam ... 31

BAB III : IMAM IBN MA<JAH DAN H}ADI>TH TENTANG PERINTAH PERANG A. Biografi Imam Ibn Ma>jah ... 36

1. Guru dan Murid Imam Ibn Ma>jah ... 36

2. Karya Imam Ibn Ma>jah ... 37

B. Kitab Sunan Ibn Ma>jah ... 37

1. Pendapat Ulama tentang Kitab Sunan Ibn Ma>jah ... 39

C. H}adi>th tentang Perintah Perang ... 40


(10)

xii

BAB IV : ANALISISH}ADI>THTENTANG PERINTAH PERANG

A. Kualitas dan Keh}ujjahan H}adi>th tentang Perintah Perang .... 64

1. Analisis sanad H}adi>th tentang Perintah Perang ...64

2. Analisis matan H}adi>th tentang Perintah Perang ... 69

3. Analisis Keh}ujjahan H}adi>th tentang Perintah Perang ... 75

B. Pemaknaan H}adi>th tentang Perintah Perang ... 76

C. Implikasi H}adi>th Tentang Perintah Perang dalam Kehidupan Manusia ... 86

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 89

B. Saran ... 91 DAFTAR PUSTAKA


(11)

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum Islam disyari’atkan oleh Allah dengan tujuan utama merealisasikan

dan melindungi kemaslahatan umat manusia, baik kemaslahatan individu maupun masyarakat. Kemaslahatan yang ingin diwujudkan dalam hukum islam itu menyangkut seluruh aspek kepentingan manusia. Aspek-aspek kepentingan manusia itu menurut para ulama, dapat diklasifikasikan menjadi tiga aspek, yaitu: dharuriyyat(primer),hajjiyat(sekunder), dantahsiniyyat(stabilitas sosial).1

Islam adalah agama yang sangat memperhatikan masalah etika (akhlak-agama), kultural (ilmu-iptek), dan profesi (amal shaleh-keahlian). Petunjuk kitab suci maupun sunnah Nabi dengan jelas menganjurkan kepada para pemeluk agama (Islam) untuk meningkatkan kesadaran beretika, berkultur, dan berprofesi. Ketiga kesadaran inilah yang amat dibutuhkan pada era global ini.2

Ada banyak penafsiran tentang al-Qur’a>n, yang menunjukkan betapa pentingnya teks yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW. Al-Qur’a>n telah memberikan inspirasi kepada berjuta-juta manusia di muka bumi ini, yang akan terus berlangsung selama manusia masih hidup di dunia. Banyak musuh Islam yang mencoba menyerang kitab suci ini dan mencoba untuk membuktikannya dengan cara merek bahwa al-Qur’a>n menimbulkan rasa benci

1Said Agil Husin, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial (Jakarta: PT. Penamadani 2004),

19.

2Ibid., 205


(12)

2

terhadap orang yang tidak percaya kepadanya, serta menunjukkan bahwa al-Qur’a>n memerintahkan agar mereka dibunuh. Asumsi ini tentunya memberikan kekakuan dan kefanatikan sistem keyakinan, seolah karena al-Qur’a>n-lah umat Islam menjadi fanatik dan telah menumpahkan banyak darah di bumi ini.3

Ketika agama membentuk dasar hubungan masyarakat dengan menyediakan penafsiran tentang hubungan sosial serta legitimasi, pada saat itulah agama mempunyai fungsi ideologis: wajah agama yang hadir dalam tatanan sosial. Yakni, tatanan sosial yang dikehendaki oleh tuhan. Oleh karena itu, hubungan-hubungan antara berbagai kelompok yang membentuk masyarakat (mestinya) merupakan produk dari kehendak tuhan yang harus didasarkan pada aturan pencipta bumi. Hubungan-hubungan sosial adalah naturalisasi tatanan sosial. Menurut pandangan Hourtart, setiap naturalisasi hubungan sosial yang tidak seimbang merupakan sumber dari munculnya kekerasan, baik ketika membentuknya, mereproduksinya, atau ketika adanya resistensi dalam mentransformasinya.

Hal yang sama juga terjadi ketika agama dijadikan sebagai faktor pembentukan identitas. Identitas bisa didefinisikan sebagai rasa memiliki pada etnis, agama atau kelompok sosial tertentu yang pada gilirannya memberikan status, stabilitas sosial, dan cara berpikir tertentu. Agama bisa menjadi pembentuk identitas, sehingga orang yang berasal dari suku atau etnis yang sama bisa menjadi berbeda karena agamanya berbeda. Inilah yang terjadi di Sri Langka, dimana suku Sinhalese adalah penganut Budha sementara suku Tamil penganut


(13)

3

Hindu. Meskipun begitu, dalam kasus Sri Langka, agama hanya menimbulkan pergolakan dalam satu kelompok, Sinhalese. Ini disebabkan suku Sinhalese merasa identitasnya sebagai rakyat terancam, karena mereka dipaksa untuk menganut agama Budha pada masa raja Azoka. Suku Tamil hindu secara bertahap menduduki wilayah utara, sambil menghancurkan budaya dan agamanya. Perlawanan dalam bentuk perang suci pun tidak bisa dielakkan, yang salah satu daya pendorongnya karena adanya justifikasi dari ajaran agama. Kaum Sinhalese-Budha melihantnya sebagai misi keagamaan. Inilah yang menyebabkan Budhisme menjadi faktor munculnya kekerasan yang sebenarnya bertentangan dengan ajaran dasar Budhisme itu sendiri.

Semua agama-agama yang ada di dunia ini pernah dilibatkan oleh penganutnya di dalam gerakan terorisme. Meskipun demikian, saat ini agama yang menjadi sorotan dan sering dikaitkan dengan terorisme adalah Islam. Hal ini tidak lepas dari fakta bahwa kasus-kasus yang menjadi sorotan tentang terorisme belakangan memang bersinggungan dengan Islam, karena pelakunya adalah kelompok Islam. Al-Qaedah misalnya, dianggap sebagai dalang dari terorisme

yang meluluhlantakkan gedung kembar di New York. Jama’ah Islamiyah

dianggap bertanggung jawab terhadap pengeboman di Bali, hotel Mariot dan kasus-kasus terorisme di Asia Tenggara. Hammas dipandang sebagai biang kerok dari terorisme yang ada di Timur Tengah, dan kelompo-kelompok yang lain.4

Jika disederhanakan, ada dua variabel penjelas utama untuk memahami munculnya gerakan-geraan radikal di kalangan Islam, yaitu faktor dari dalam

4 Muhammad Asfar, Islam Lunak Islam Radikal (Surabaya:Pusdenham dan JP Press


(14)

4

Islam dan faktor dari luar Islam. Faktor dari dalam ini lebih banyak berkaitan dengan penafsiran konsep jihad yang dipahami oleh sebagian penganut Islam. Penganut gerakan-gerakan radikal Islam umumnya didorong oleh pemahaman mereka tentang konsep jihad yang dimaknai sebagai perang terhadap non Muslim. Mereka selalu melihat dunia ini dalam dua kaca mata: da>r al-harb (negeri non Muslim atau perang) dan da>r al-Islam (negeri Islam). Daerah yang dianggap da>r al-harb harus dipandang sebagai sasaran ekspansi dan penundukan. Ekspansi dan penundukan itu menggunakan kata jihad sebagai slogan mobilisasi yang tak jarang disertai senjata seperti pedang dan bom. Akibatnya, darah tercecer dimana-mana. Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘a>lamin dihadirkan dengan wajah yang menakutkan.5

Implementasi konsep jihad lebih banyak dipahami sebagai perang suci. Jihad dipahami sebagai kewajiban setiap muslim untuk menegakkan kalimat Allah di muka bumi ini melalui kekuatan perang. Akibatnya, banyak kaum Muslim yang rela sebagai martir untuk melakukan perang atas nama agama. Kelompok ini merujuk pada ayat-ayat al-Qur’a>n yang membenarkan tindakan jihad dalam pengertian perang suci, melawan kezaliman, sebagaimana yang pernah disebut oleh Imam Samudra, pelaku bom bali, bahwa ada 28 ayat al-Qur’a>n yang memerintahkan umat Islam untuk berjihad, sebagai dasar untuk membunuh musuh. Namun, disamping 28 ayat jihad dalam pengertian perjuangan ini, kata jihad juga disebut oleh Allah sekitar 41 kali.6

5 Muhammad Said Al-Ashmawy, Jihad Melawan Islam Ekstrem (Jakarta: Desantara

2002), 62.


(15)

5

Jihad dalam pengertian perang suci ini bisa ditujukan kepada banyak kalangan, kaum kafir yang melakukan penyerangan terhadap kaum Muslim atau orang Muslim yang sudah keluar dari keimanannya (murtad). Hanya saja, menurut banyak ahli, konsep jihad dalam Islam tidak hanya dalam pengertian perang. Perjuangan tidak harus dimaknai dengan mengangkat senjata, pengeboman, apalagi menjadikan diri sebagai martir dalam bentuk melakukan bom bunuh diri. Jihad besar sebenarnya dalam bentuk melawan hawa nafsu. Yaitu jihad melawan diri sendiri.7

Sementara itu, gerakan radikalisme di kalangan Islam juga dipicu oleh faktor luar. Pada awalnya, dan sebagian juga berlaku sampai sekarang, faktor luar ini bisa berbentuk reaksi terhadap modernitas yang dilakukan oleh barat terhadap dunia Islam. Daniel Lerner, menjelaskan munculnya fundamentalis di Timur Tengah sebagai reaksi atas medernisasi yang dikenalkan barat yang di anggap telah mendistorsi otoritas tradisional mereka. Namun, perkembangan belakangan ini menunjukkan bahwa radikalisme di kalangan sebagian penganut Islam didorong oleh kondisi sosial ekonomi internasional yang dianggap tidak adil bagi kaum muslimin. Radikalisme Islam dipahami sebagai reaksi atas perlakuan tidak adil yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam, seperti adanya 7F perangkap yahudi yakni food, film, fashion, free thinkers, financial, faith, and friction; adanya konspirasi internasional untuk menghambat perkembangan agama dan gerakan-gerakan Islam, yang melibatkan kekuatan antar negara dengan disponsori oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya. Pendek kata, radikalisme di kalangan


(16)

6

sebagian Islam ini sebagai reaksi atas ketidakadilan yang terjadi di dunia Islam,

seperti yang diungkapkan oleh seorang penulis: “ pada 200 tahun terakhir, umat muslim tidak mendapatkan jalan untuk mengendalikan jalannya sejarah. Kita tidak membuat sejarah, tetapi kita menjadi korban sejarah. Kita merupakan orang yang mem\bawa manusia keluar dari kegelapan. Peradaban kita diambil oleh barat yang asing, antagonistis, agresif, dan tidak beradab. Kita merupakan orang

pertama yang memperadabkan dunia...”.8

Dalam hadis perintah perang No. 3927 dalam kitab Sunan Ibn Ma>jah terdapat pedoman yang dijadikan pegangan oleh jumhur ulama yang teliti baik dari kalangan salaf maupun kalangan khalaf. Pedoman yang dimaksud bahwa seseorang yang hanya bermodalkan yakin dan mantap memeluk agama Islam, maka hal itu sudah cukup baginya. Hanya dengan modal itu dia sudah dijuluki sebagai seorang mukmin yang bertauhid. Dia tidak wajib belajar dalil-dalil yang digunakan oleh para ulama ahli kalam. Hal ini sama sekali berbeda dengan sekelompok ulama yang mewajibkan seseorang untuk mengetahui dalil agama sebagai syarat untuk menjadi seorang muslim. Sekelompok ulama ini beranggapan bahwa seseorang baru bisa dikatakan muslim jika sudah menguasai beberapa dalil agama seperti yang dikuasai oleh ulama ahli kalam. Pendapat inilah

yang dianut oleh kebanyakan orang Mu’tazilah dan sebagian ulama ahli kalam.

Tentu saja pendapat seperti ini jelas-jelas salah.9

8Siddiqui Kalim,Seruan-Seruan Islam(Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2002), 130-131

.


(17)

7

Dalam hadis ini lafaz}

memiliki makna memerangi yang ditujukan kepada orang-orang yang menolak tauhid (musyrikin) karena mereka menolak melaksanakan shalat dan membayar zakat. Syaikh Muhyiddin al-Nawa>wi> berkata, “hadis ini mengindikasikan bahwa orang-orang yang

meninggalkan shalat secara sengaja akan dibunuh atau di hukum mati.” Kemudian

beliau menyebutkan perbedaan pendapat ulama dalam hal ini.

Ketika al-Karmani ditanya tentang hukum orang yang meninggalkan zakat, beliau menjawab bahwa hukum shalat dan zakat adalah sama karena tujuan kedua

hal tersebut tidaklah berbeda, yaitu “memerangi” bukan “menghukum mati”.

Adapun perbedaannya, orang yang tidak mau membayar zakat dapat diambil secara paksa sedangkan dalam shalat tidak dapat diperlakukan seperti itu. oleh karena itu, jika seseorang telah mencapai nisab dan tidak mau membayar zakat maka ia harus diperangi. Dalam kerangka ini, Abu> Bakar al-S}iddiq memerangi golongan yang tidak mau membayar zakat. Tidak ada satupun riwayat yang menunjukkan bahwa beliau membunuh mereka.10

Ibn Daqi>q al-‘Id dalam kitabnya syarh al-‘Umdah telah menjelaskan secara

panjang lebar dalam menolak pendapat yang menggunakan hadis tersebut sebagai dasar legalitas eksekusi bagi yang meninggalkan shalat. Beliau berkata, diperbolehkannya memerangi (golongan tersebut), bukan berarti diperbolehkan

membunuh mereka. Karena bentuk “ muqatalah” berasal dari wazan “mufa’alah

yang mengharuskan adanya interaksi dari kedua belah pihak, sedangkan dalam al-qatlu (membunuh) tidak seperti itu. al- Baihaqi>meriwayatkan dari al-Sha>fi’i yang


(18)

8

berkata, “perang tidaklah sama dengan membunuh, karena terkadang kita

diperbolehkan memerangi seseorang tetapi tidakboleh membunuhnya.”11

Minimnya sebuah pengetahuan atau kurangnya sebuah pengkajian terhadap makna jihad, yang mana telah menyebabkan spekulasi negatif terhadap makna jihad itu sendiri, maka penelitian tentang makna jihad dengan mengkaji kitab Sunan Ibn Ma>jah sangatlah tepat.

Dalam hal ini kitab Sunan Ibn Ma>jah merupakan kitab kajian yang tepat untuk mengupas tuntas tentang makna jihad, sebab kitab ini mudah untuk dipahami bagi peneliti.

Adanya keistimewaan tersebut, kitab hadis ini mampu mencuri hati penulis untuk melakukan kajian penelitian tentang makna jihad. Sehingga hasil penelitian ini mampu mengungkap makna yang sesungguhnya yang layak untuk dikuak dengan tuntas dan akurat, dan masyarakat tak hanya mampu memahami dari makna jihad itu sendiri, Namun mampu menelaah hal-hal yang positif tentang jihad, dengan bersandar pada kitab Sunan Ibn Ma>jah. Dengan alasan inilah, kemudian penulis mengangkat topik dengan judul hadis perintah perang dalam kitab Sunan Ibn Ma>jah.

B. Identifikasi Masalah

Topik mengenai jihad memang sangat menarik dan tidak pernah surut menjadi pembahasan hangat di kalangan masyarakat. Sebab dengan kedahsyatan dampaknya, maka makna jihad itu sendiri mampu menyita perhatian masyarakat


(19)

9

untuk selalu dapat memecahkan problematika dari jihad tersebut. Adapun kerangka bahasan di dalamnya antara lain:

1. Pemaknaan perang

2. Pemaknaan hadis perintah perang 3. Kualitas hadis perintah perang 4. Kehujjahan hadis perintah perang

5. Implikasi hadis dalam kehidupan manusia

Mengingat banyaknya masalah yang teridentifikasi serta untuk efisiensi waktu dan tenaga diperlukan pembatasan masalah. Pembatasan masalah dilakukan agar kajian ini dapat fokus dengan hasil maksimal. Penelitian ini difokuskan pada makna jihad yang ditawarkan oleh kitab Sunan Ibnu Majah dengan jihad zaman sekarang.

C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kualitas dan keh}ujjahan hadis tentang Perintah Perang dalam kitab Sunan Ibn Ma>jah No Indeks 3927?

2. Bagaimana pemaknaan hadis Perintah Perang dalam kitab Sunan Ibn Ma>jah No Indeks 3927?

3. Bagaimana implikasi hadis dalam kehidupan manusia?

D. Tujuan dan Kegunaan

Setelah mengetahui persoalan yang telah dipaparkan diatas, berikut ini adalah tujuan dan kegunaan penelitian yang akan dilakukan.


(20)

10

a. Untuk mengetahui kualitas dan keh}ujjahan hadis tentang Perintah Perang dalam kitab Sunan Ibn Ma>jah No Indeks 3927.

b. Untuk mengetahui pemaknaan hadis tentang Perintah Perang dalam kitab Sunan Ibn Ma>jah No Indeks 3927.

c. Untuk mengetahui implikasi hadis dalam kehidupan manusia. 2. Kegunaan

a. Secara akademik, turut memperkaya khazanah pemikiran keilmuan terutama dalam bidang kajian al-Qur’a>n. Dalam hal ini pembahasan mengenai makna perintah perang.

b. Dapat menjadi bahan dakwah untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan umat Muhammad. Seperti kegiatan dakwah penyuluhan, dakwah lapangan dan lain sebagainya.

E. Telaah Pustak

Kajian pustaka merupakan uraian singkat mengenai hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya tentang tema yang sejenis, sehingga diketahui secara jelas posisi dan kontribusi peneliti. Dalam menghasilkan penelitian yang komprehensif dan untuk memastikan tidak adanya pengulangan dalam penelitian maka sebelumnya harus dilakukan sebuah pra-penelitian terhadap objek penelitiannya.

Setelah peneliti melakukan penelusuran dan pengkajian terhadap karya ilmiah, peneliti menemukan karya skripsi diantaranya:


(21)

11

Syari’at agama Islam itu mudah (kajian hadis dalm kitab Sunan al-Nasa>’i No.5034) skripsi karya Bahrul, Takwallo jurusan Tafsir Hadis tahun 2016. Dalam skripsi ini membahas tentang sifat Rasulullah SAW.

Radikalisme dalam Islam (tinjauan tentang asal-usul, doktrin, dan dampaknya terhadap konflik sosial) skripsi karya Ramadhansyah jurusan perbandingan agama tahun 2006. Skripsi ini membahas tentang latar belakang munculnya radikalisme dalam Islam.

Jihad dalam al-Quran (telaah penafsiran terhadap surat al-Hujurat ayat 15) skripsi karya Nur Syamsuddin jurusan tafsir hadis tahun 2010. Skripsi ini membahas tentang makna jihad menurut mufassir berdasarkan surat al-Hujurat ayat 15.

F. Penegasan Judul

Agar penulisan penelitian ini jelas serta terhindar dari kesalahpahaman, maka sekilas masing-masing kata dalam judul tersebut akan dijelaskan secara singkat sebagai berikut:

Hadis : Sabda, perbuatan, takrir (ketetapan) Nabi Muhammad SAW. Yang diriwayatkan atau diceritakan oleh sahabat untuk menjelaskan dan menentukan hukum Islam.12

Perintah : Perkataan yang bermaksud menyuruh melakukan sesuatu.13 Perang : Permusuhan (pertempuran) bersenjata antara negara

dengan negara.14

12 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka 2005), 380.

13Ibid., 859.


(22)

12

Sunan Ibn Ma>jah : Imam Ibn Ma>jah, Vol.2, Beirut: Dar al-Fikr, 1995, No 3927.

Ma’aniHadis :Ilmu yang mengkaji tentang bagaimana memaknai dan memahami hadis Nabi Muhammad SAW.15

Dari penjelasan judul di atas bahwa yang dimaksud dalam judul adalah untuk mencari makna hadis tentang perintah perang dalam Sunan Ibn Ma>jah No Indeks 3927.

G. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah suatu cara atau prosedur yang digunakan untuk melakukan penelitian sehingga mampu menjawab rumusan masalah dan tujuan penelitian.16Maka dalam hal ini penulis menggunakan metode sebagai berikut:

1. Model Penelitian

Model dalam penelitian ini adalah library research (penelitian kepustakaan) yaitu dengan cara mencari dan meneliti hadis dari kitab-kitab induk kemudian mengolahnya dengan kaidah keilmuan hadis.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif untuk mendapatkan data yang komprehensif tentang perintah perang dalam pemaknaan hadis.

15 Abdul Mustaqim,Ilmu Maani al-Hadis Paradigma Interkonektif: Berbagai Teori dan

Metode Memahami Hadis Nabi(ttp: Erlangga, t.th), 23.

16Rosady Ruslan,Metode penelitian Public Relations dan Komunikasi(Jakarta: Rajawali Pers, 2003), 24.


(23)

13

3. Sumber Penelitian

Sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini terdapat dua data, yakni data primer dan data sekunder. Data primer adalah sumber data utama yang digunakan dalam penelitian. Adapun data primer dalam penelitian ini adalah kitab Sunan Ibn Ma>jah karya Abu> ‘Abdullah Muhammad ibn Yazi>d Al-Qazwini.

Sedangakan sumber data sekunder adalah sumber data yang melengkapi data primer. Sumber data sekunder dalam penelitian ini antara lain:

a. Fath}u al Bari>Sharh S{ahi>h al Bukhari>karya Zain al-Di>n Abd al-Rah}ma>n ibn Ahmad ibn Rajab ibn al-Hasan al-Salami> al Baghdadi>

b. Sharh} S{ah}i>h} Muslim karya al-Ima>m Abu> Zakariya Yahya> bin Sharf al-Nawawi>

c. Ilmu Hadiskarya Utang Ranuwijaya

d. Metode Takhrij dan Penelitian sanad hadis karya Mahmud al-Tahhan e. Ulumul Hadiskarya Abdul Majid khon

f. Mu’jam al-Mufahras li al-Fa>dhi al-Hadis al-Nabawy karya A.J. Wenscink

g. Tahdhi>b al-Kama>l fi A sma>’i al-Rija>l karya Jamaluddin al-Hajjaj Yusuf al-Muzzi>

h. Kaidah Kesahihan Sanad Hadiskarya M. Syuhudi Ismail i. Dan lain-lain.


(24)

14

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam metode pengumpulan data, penelitian ini menggunakan metode dokumentasi. Yaitu dengan mencari data mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan, kitab, buku, jurnal, dan lain-lain. Melalui metode dokumentasi ini, maka diperoleh data-data yang berkaitan dengan penelitian berdasarkan konsep penelitian yang telah disiapkan sebelumnya.

Selanjutnya, dalam pencarian data akan digunakan metode takhri>j al hadi>th dani’tiba>r al-hadi>th:

a. Takhri>j al-Hadi>th

Takhri>j yaitu menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadis pada sumbernya yang asli, yakni berbagai kitab, yang di dalamnya dikemukakan hadis itu secara lengkap dengan sanad-nya masing-masing, kemudian untuk kepentingan penelitian, dijelaskan kualitas hadis yang bersangkutan.17

Hal ini dilakukan bertujuan agar dapat diketahui banyak sedikitnya jalur periwayatan suatu hadis yang sedang menjadi topik kajian, juga untuk mengetahui kuat dan tidaknya periwayatan. Semakin banyak jalur periwayatan, semakin bertambah kekuatan riwayat, sebaliknya tanpa dukungan periwayatan lain, kekuatan periwayatan tidak bertambah. Kemudian, kekaburan suatu periwayatan, dapat diperjelas dari


(25)

15

periwayatan jalur isna>d yang lain. Baik dari segi rawi, isna>d maupun matan hadis.18

b. i’tiba>r al-hadi>th

Menurut istilah ilmu hadis, i’tibar berarti menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadis tertentu, yang hadis itu pada bagian sanad -nya tampak ha-nya terdapat seorang periwayat saja, dan dengan menyertakan sanad-sanad yang lain tesebut akan dapat diketahui apakah ada periwayat yang lain ataukah tidak ada untuk bagian sanaddari sanad hadis yang dimaksud.

Dengan dilakukan i’tiba>r, maka akan terlihat dengan jelas seluruh jalur sanad hadis yang diteliti, demikian juga nama-nama periwayatnya, dan metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat yang bersangkutan. Jadi, kegunaan i’tiba>r adalah untuk mengetahui keadaan sanad hadis seluruhnya dilihat dari ada atau tidak adanya pendukung berupa periwayat yang berstatusmutabi’atausha>hid.19

5. Teknik Pengolahan Data

Mengolah data berarti menimbang, menyaring, mengatur dan mengklasifikasikan. Maka dalam konteksnya dengan judul skripsi diatas, terhadap data-data yang bersifat dokumenter atau Library Research,

18Ahmad Husnan, Kajian Hadis metode Takhrij, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993),

107.


(26)

16

penulis menggunakan analisis data kualitatif yaitu data yang tidak bisa diukur atau dinilai dengan angka secara langsung.20

6. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses menyusun data agar data tersebut dapat ditafsirkan.21 Sebagai pendekatannya, penulis menggunakan metode deskriptif, juga metode analitis yang artinya menggambarkan dan menguraikan penafsiran Imam Ibn Ma>jah tentang makna perintah perang yang tertuang dalam kitab Sunan Ibn Ma>jah. Metode deskriptif dan analitis dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin. Dengan demikian penulis akan mengkritisi kitab Sunan Ibn Ma>jah.

H. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan skripsi ini terdiri dari lima bab yang masing-masing menampakkan titik beat yang berbeda, namun dalam satu kesatuan yang berhubungan sehingga tak dapat dipisahkan.

Bab pertama berisi pendahuluan yang meliputi: Latar belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan penelitian, Telaah Pustaka, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Pembahasan. Dalam bab pertama ini tampak penggambaran isi skripsi secara keseluruhan namun dalam satu kesatuan yang ringkas dan padat guna menjadi pedoman untuk bab kedua, ketiga, keempat dan kelima.

20Ibid., 76.


(27)

17

Bab kedua merupakan landasan teori, yang meliputi : Kaidah ke-S{ah}i>h}-an hadis, kaidah ke-H}ujjah-an hadis, serta teori pemaknaan hadis. Bab ini merupakan landasan yang menjadi tolok ukur dalam penelitian ini.

Bab ketiga merupakan data Kitab Sunan Ibn Ma>jah dan Hadis Tentang Perintah Perang, merupakan penyajian data tentang ImamMukharijdan kitabnya yang meliputi Biografi Imam Ibn Ma>jah, Kitab Sunan Ibn Ma>jah, Data Hadis tentang Perintah Perang, serta ditampilkan skemaSanad danl’tiba>rdari masing-masing hadis tersebut.

Bab keempat berisi tentang analisa penulis yang didalamnya akan ditampilkan kualitas dan kehujjahan hadis tentang Perintah Perang. Kemudian pemaknaan Hadis Perintah Perang dan implikasi hadis tentang Perintah Perang dalam kehidupan Manusia.

Bab kelima merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran yang layak dikemukakan.


(28)

18 BAB II

KAIDAH KES{AHI<HAN H}ADI<TH, KEHUJJAHAN H}ADI<TH, SERTA TEORI PEMAKNAAN H}ADI<TH

A.

KAIDAH KES{AHI<HAN H}ADI<TH

Untuk mengukur kes{ahi>han suatu hadis diperlukan acuan standar yang dapat digunakan sebagai ukuran menilai suatu hadis. Acuan yang dipakai adalah kaidah ke-s{ahi>h-an hadis, jika hadis yang diteliti ternyata bukan hadis mutawa>tir. Para ulama hadis mendefinisikan hadis s{ahi>h yaitu hadis yang sambung sanad-nya, diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan dha>bit, serta tidak terdapat kejanggalan (shudhu>dh) dan cacat yang samar (‘illat). Maka suatu hadis dapat dinyatakans{ahi>hapabila memenuhi persyaratan diatas.1

Ke-s{ahi>h-an suatu hadis tidak menjamin keakuratan dari teks hadis tersebut. Artinya bisa jadi persyaratan otentisitas sebuah hadis sudah terpenuhi keseluruhannya, namun dari sisi analisis matan-nya dinilai ada kejanggalan. Kadang ditemukan sebuah hadis yang sanadnyad}a’i>f namun sisi maknanya tidak bermasalah, atau sebaliknya. Adapun kreteria Ke-s}ah}i>h-an hadis Nabi terbagi dalam dua pembahasan, yaitu kreteria Ke-s}ah}i>h-an sanad hadis dan Ke-s}ah}i>h-an matanhadis. Jadi, sebuah hadis dikatakans}ah}i>hapabila kualitassanaddan matan-nya sama-sama bernilais}ah}i>h.2

1Tim Penyusun MKD, Studi Hadis (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2013), 156. 2Ibid., 65.


(29)

19

1. Kritik Sanad

Sanad merupakan faktor yang sangat menentukan dalam keabsahan sebuah hadis. Sanaddalam pemahaman sederhana adalah mata rantai sejarah yang terdiri dari rawi yang menghubungkan antara pencatat hadis dengan sumber riwayat, yaitu Rasulullah SAW (pada hadismarfu<’) atau sahabat (pada hadismawqu<f) dan tabi’in (pada hadis maqtu<’). Yang menjadi objek kajian pada sanad ini adalah kualifikasi orang per-orang dalam jajaran rantai narasi tersebut, dan hubungan antara masing-masing rawi yang di atas dengan di bawahnya secara berurutan.3

Sebagaimana yang telah disebutkan diatas bahwa hadis yang s{ahi>h adalah hadis yang sudah memenuhi lima syarat, diantaranya:

a. Sanad-nya bersambung

Sanad-nya bersambung maksudnya adalah dari perawi pertama sampai perawi terakhir tidak terjadi keterputusan sanad. Hadis yang sanad-nya tidak bersambung masuk dalam kategori hadisd{a’i>f. Untuk mengetahui apakah hadis tersebut bersambung atau tidak, dapat dilakukan dengan beberapa cara:

- Mencatat semua nama perawi yang ada dalam sanad sehingga dapat diketahui relasi guru ndan murid yang dipaparkan dalam berbagai buku biografi perawi.4

- Mencari tahun wafat antara guru dan murid melalui referensirija>l al-h}adi>th. Dan antara guru dan murid masa jeda tahun wafatnya adalah enam puluh tahun.

3Daniel Juned,Ilmu Hadis(Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama 2010), 28.


(30)

20

- Melihat sighat tahammul hadis semacam sami’tu, haddatsana, akhbarana>, dan sebagainya.

b. Perawi yang‘A dil

Kata adil berasal dari bahasa Arab yang berarti pertengahan, lurus, atau condong kepada kebenaran. Sedangkan secara istilah para ulama berbeda pendapat.5 Dari berbagai pendapat para ulama, dapat disimpulkan bahwa kriteria perawi yang adil yaitu:

- Beragama Islam - Mukallaf

- Melaksanakan ketentuan agama - Memelihara muru’ah

Untuk mengetahui keadilan para perawi hadis para ulama telah menetapkan ketentuan sebagai berikut:

- Berdasarkan popularitas keutamaan perawi di kalangan para ulama.

- Berdasarkan penilaian para kritikus hadis

- Berdasarkan penerapan kaidah al-jarhu wa al-ta’di>l.6

Cara ini ditempuh apabila para kritikus perawi tidak terbukti menyepakati kualitas pribadi perawi tertentu. Jadi, penetapan keadilan perawi diperlukan kesaksian para ulama kritikus hadis.

5Ibid.

6 M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan


(31)

21

c. Perawi yangD{{abit

Secara harfiyah makna d{abit berarti kuat, kokoh, dan hafal dengan sempurna.7 Sedangkan secara istilah berhubungan dengan kapasitas intelektual. Adapun kriteria perawi d{abit yaitu:

- perawi dapat memahami dengan baik riwayat yang didengarnya.

- perawi hafal dengan baik riwayat yang didengarnya.

- perawi mampu menyampaikan kembali riwayat yang telah didengat itu dengan baik.

Ketiga kriteria diatas menurut para ulama disebut dengan d{abit S{adr. Yaitu sifat yang dimiliki perawi yang memahami dengan baik tulisan hadis yang dimuat dalam kitab yang dimilikinya, dan mengetahui dengan baik letak kesalahan yang ada dalam tulisan yang ada padanya.8

d. Tidak mengandungShudhudh

Para ulama berbeda pendapat mengenai pengertian shudhudh pada hadis, dan yang paling populer adalah pendapat imam al-Syafi’i, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang thiqah, tetapi riwayatnya bertentangan dengan banyak riwayat yang lebih thiqah.9

7Luwis Ma’luf,A l-Munjid fi al Lughah(Beirut: Dar al-Mashri>q, 1873), 445. 8MKD, Studi Hadis, 160.

9Abu>‘Abdullah al-haki>m al-Naisaburi,Ma’rifatu ‘Ulum al-Hadis(Kairo: Maktabah al-Mutanabbi, tth), 119.


(32)

22

e. Tidak ada unsur ‘illat

Yang dimaksud ‘illat dalam pembahasan ini adalah, sebab-sebab tersembunyi yang merusak kualitas hadis. Keberadaannya menyebabkan hadis yang secara lahiriyah tampak berkualitas s{ahi>h menjadi tidak s{ahi>h.10langkah yang perlu ditempuh adalah dengan cara menghimpun seluruh sanad untuk matan yang satu tema, kemudian diteliti dengan cara membandingkansanaddanmatanyang satu dengan lainnya. Apabila bertentangan dengan matan hadis lainnya yang setema, atau kandungannya bertentangan dengan al-Qur’a>n, maka hadis tersebut mengandung‘illat.11

Menurut para ulama, ‘illat hadis biasa ditemukan pada: (1)sanad yang tampak muttasil dan marfu’, tetapi ternyata mawqu>f walaupun sanad-nya muttasil, (2) sanad yang tampak marfu’ dan muttasil, tetapi ternyata mursal walaupun sanadnya muttasil, (3) di dalam hadis tersebut terjadi kerancuan karena tercampur dengan hadis lain dan dalam sanad hadis tersebut terjadi kekeliruan penyebutan nama periwayat yang memiliki kemiripan nama dengan perawi lain yang kualitasnya berbeda.12

2. Kritik Matan

Kata kritik merupakan alih bahasa dari kata naqd atau dari katatamyi<z yang diartikan sebagai usaha membedakan dan menemukan kekeliruan dan kesalahan

10MKD, Studi Hadis, 164.

11Ibid. 12Ibid.


(33)

23

dalam rangka menemukan kebenaran. Jadi kritik matandisini maksudnya adalah satu upaya mengkaji hadis Rasulullah SAW demi menentukan bahwa hadis tersebut benar-benar datang dari Nabi Muhammad SAW.13

Dengan adanya kritik matan, akan dapat dibedakan antara hadis yang s{ahi>h dengan yang lain termasuk hadis mawd{u<’ (palsu). Karena dengan mengadakan penelitian terhadapmatansuatu hadis akan dapat dipastikan bahwamatantersebut benar-benar berasal dari sumbernya.14

Dari berbagai tolok ukur yang ditawarkan oleh berbagai pakar hadis dapat diambil kesimpulan pokok-pokok kritikmatanhadis mencakup:

1. Pengujian dengan ayat-ayat al-Qur’a>n. 2. Pengujian dengan hadis yang lebihs{ahi<h.

3. Pengujian dengan rasio dan logika yang sehat atau ilmu pengetahuan atau penemuan ilmiah.

4. Pengujian dengan fakta historis yang diketahui oleh umum.15

B.

KEH}UJJAHAN H}ADI<TH

Yang dimaksud dengan keh}ujjahan hadis adalah keadaan hadis yang wajib dijadikan h}ujjah atau dasar hukum, sama dengan al-Qur’an dikarenakan adanya dalil-dalil syari’ah yang menunjukkannya.

Keh}ujjahan hadis sebagai dalil syara’ telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qat{‘i yang menuturkan tentang kenabian Muhammad SAW. Selain itu, keabsahan hadis sebagai dalil juga ditunjukkan oleh nash-nash qat{‘i yang

13 Masturi Irham, “Kritik Matan (Sejarah dan Perkembangannya)”, Mutawa<tir Jurnal

Keilmuan Tafsir Hadis,vol. 3 No. 2 (Juli-Desember, 2013), 228.

14Ibid., 229.


(34)

24

menyatakan bahwa beliau tidak menyampaikan sesuatu kecuali berdasarkan wahyu yang telah diwahyukan.16Para ulama mempunyai pendapat sendiri mengenai teori keh}ujjahan hadiss}ah}i>h}, h}asandand}a‘i>f, yaitu:

1. Keh}ujjahan hadiss}ah}i>h}

Para ulama berpendapat bahwa hadiss{ahi>hdapat dijadikan hujjah, baik rawinya seorang diri, atau ada rawi lain yang meriwayatkan bersamanya, atau masyhur dengan diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih tetapi tidak sampai mencapai derajat mutawa>tir.17

2. Keh}ujjahan hadish}asan

Meskipun derajat keabsahahan hadis h}asan dibawah hadis s{ahi>h, namun para ulama hadis sepakat bahwa hadis h}asan dapat diterima dan dapat digunakan sebagai dalil atau h}ujjah dalam menetapkan suatu hukum atau sebagai pedoman dalam beramal.18

Hadis yang mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima sebagai h}ujjah, disebut hadis maqbu>l, dan hadis yang tidak mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima, disebut hadismardu>d.

Hadis maqbu>l menurut sifatnya, dapat diterima menjadi h}ujjah dan dapat diamalkan, yang disebut dengan hadis maqbu>l ma‘mu>lun bihi. Sedangkan hadis maqbu>lyang tidak dapat diamalkan karena beberapa sebab tertentu disebut hadismaqbu>l ghayru ma‘mu>lun bih.

16Abdul Majid Khon,Ulumul Hadis(Jakarta: Ahzam, 2008), 48.

17Muhammad Nur Ichwan,Studi Ilmu Hadis(Semarang: Rasail, 2007), 51. 18Ibid.


(35)

25

1. Hadismaqbu>l ma‘mu>lun bihialah:19

- Hadis tersebut muh}kam, yakni dapat digunakan untuk memutuskan hukum, tanpasubhatsedikitpun.

- Hadis tersebut mukhtali>f (berlawanan) yang dapat dikompromikan, sehingga dapat diamalkan kedua-duanya. - Hadis tersebut rajih}yaitu hadis tersebut merupakan hadis

terkuat diantara dua buah hadis yang berlawanan maksudnya. - Hadis tersebut nasikh, yakni datang lebih akhir sehingga

mengganti kedudukan hukum yang terkandung dalam hadis sebelumnya.

2. Hadismaqbu>l ghayru ma‘mu>lun bih,ialah:20 - Mutashabbih(sukar dipahami).

- Mutawaqqaf fihi (saling berlawanan namun tidak dapat dikompromikan).

- Marju>h}(kurang kuat dari pada hadismaqbu>llainnya).

- Mansu>kh (terhapus oleh hadis maqbu>l yang datang berikutnya).

- Hadis maqbul yang maknanya berlawanan dengan Alquran, hadis mutawattir,akal sehat dan ijma‘ para ulama.

19Fatchur Rohman,Ikhtisar Musthalahul Hadits(Bandung: Al-Ma’arif, 1974), 144.


(36)

26

3. Keh}ujjahan hadisd}a‘i>f

Hadis d{a’i>f dapat digunakan sebagai dalil hukum atau sumber dengan syarat:

a. tingkat ke-d{a’i>fan-nya tidak parah b. berada dibawah nash lain yangs{ahi>h

c. ketika mengamalkan tidak boleh meyakini ke-thabit-annya, maksudnya ketika kita mengamalkan hadis d}a’i>f tersebut, kita tidak boleh meyakini sepenuhnya bahwa ini merupakan sabda Rasu>lulla>h SAW. Namun hanya menduga atas kepastian datangnya informasi ini dari Rasu>lulla>h SAW.21

C. TEORI PEMAKNAAN H}ADI><TH

Teori pemaknaan yang timbul dalam sebuah hadis tidak hanya karena faktor periwayatan dengan makna, akan tetapi juga disebabkan oleh faktor keterkaitan dengansanad.

Untuk dapat memahami hadis dengan sebaik-baiknya, maka penting sekali untuk memastikan makna dan konotasi kata-kata yang digunakan dalam susunan kalimat hadis. Sebab, konotasi kata-kata tertentu adakalanya berubah dari satu masa ke masa lainnya, dan dari satu lingkungan ke lingkungan lainnya. Inilah yang menjadi alasan Yusuf al-Qard}awi untuk berhati-hati dalam memastikan makna suatu kata tertentu dalam hadis.22

21Ibid.


(37)

27

1. Pendekatan dari segi bahasa

Dalam catatan sejarah, rintisan metode tematis dalam kajian hadis telah dilakukan para ulama Mutaqaddimin. Imam al-Sha<fi’i (w.204 H/820 M) Misalnya, mengemukakan mekanisme metode tematik dengan pertama-tama mengumpulkan teks-teks hadis yang semakna maupun kontradiktif (berlawanan) untuk kemudian dikompromikan maknanya.23

Adapun mekanisme yang kedua dengan ta’wi<l untuk mengungkap makna yang dikehendaki teks. Para penyusun kutub al-sittah bagaimanapun dapat dikatakan telah memperkenalkan tahapan-tahapan awal langkah metode tematik, yakni dengan mengumpulkan hadis-hadis yang masuk dalam satu pembahasan. Para ulama hadis yang secara spesifik menyusun kitabasbab wurud al-h}adi<th, A l-nasikh wa al-mansu<kh, gha<rib al-hadi<th maupun mukhtalif al-h}adi>th sebenarnya telah mengedepankan metode tematik dengan analisis komparasi riwayah.

Beberapa metode yang dapat digunakan dalam pendekatan bahasa,yakni: 1. Menghimpun hadis-hadis yang setema

Untuk menghindari kesalahan dalam memahami kandungan hadis yang sebenarnya, perlu menghadirkan hadis-hadis lain yang setema. Adapun prosedurnya ialah menghimpun hadis-hadis yang setema, kemudian mengembalikan kandungan hadis yangmutasha<>bihkepada yang muhkam, mengaitkan yangmut{laq kepada yangmuqayyaddan yang ‘amm ditafsirkan dengan yang kha<s{. Hal ini dikarenakan posisi hadis untuk


(38)

28

menafsirkan al-Quran dan menjelaskan makna-maknanya, maka sudah pasti ketentuan-ketentuan tersebut harus berlaku bagi hadis secara keseluruhan.24

2. Membedakan antara ungkapanHaqi<qahdenganMajaz

Teks-teks hadis banyak sekali yang menggunakan majaz (kiasan atau metafora), sebab Rasulullah adalah orang arab yang menguasai balaghah. Rasulullah menggunakan majaz untuk mengungkapkan maksud beliau dengan cara yang sangat mengesankan. Adapun yang termasuk majaz adalah majaz lughawi, ‘aqli, isti’arah, kinayah dan berbagai ungkapan lainnya yang tidak menunjukkan makna sebenarnya secara langsung, tetapi hanya dapat dipahami dengan berbagai indikasi yang menyertainya, baik yang bersifat tekstual ataupun kontekstual.

Menurut Yusuf al-Qard{awi, ada beberapa hadis yang harus diartikan secara majaz, dengan alasan sesuai dengan nash-nash agama, adanya alasan logis maupun empiris yang menghalangi pengertiannya secara lahiriah. Sedangkan, jika hadis-hadis tersebut harus dipahami secara lahiriah atau harfiah, juga karena adanya alasan yang logis dan empiris, serta nash-nash agama yang memungkinkan hadis tersebut dipahami secara lahiriah atau harfiah.25

2. Pendekatan dari latar belakang turunnyah}adi>th

Untuk memahami hadis nabi, dapat dengan memperhatikan sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi diucapkannya suatu hadis, atau terkait dengan

24Suryadi,Metode Kontemporer, 145. 25Ibid., 183.


(39)

29

suatu ‘illah tertentu yang dinyatakan dalam hadis tersebut, ataupun dapat dipahami dari kejadian yang menyertainya. Hal demikian mengingat hadis nabi menyelesaikan berbagai problem yang bersifat lokal (maudhu<’i), partikular (juz’i), dan temporal (ani). Dengan mengetahui hal tersebut, seseorang dapat melakukan pemilahan antara apa yang bersifat khusus dan yang umum, yang sementara dan yang abadi, serta antara yang partikular dengan yang universal. Semua itu mempunyai hukumnya masing-masing.26

Dengan demikian, apabila kondisi telah berubah dan tidak ada lagi ‘illah, maka hukum yang berkenaan dengan suatu nash akan gugur dengan sendirinya. Hal itu sesuai dengan kaidah “ suatu hukum berjalan seiring dengan ‘illahnya, baik dalam hal ada maupun tidak adanya”. Begitu pula terhadap hadis yang berlandaskan suatu kebiasaan temporer yang berlaku pada zaman Nabi dan mengalami perubahan pada masa kini, maka yang dipegangi adalah maksud yang dikandungnya dan bukan pengertian harfiahnya.27

D. TEORI PERDAMAIAN 1. Pengertian Damai

Kata damai adalah antonim dari kata konflik, permusuhan, perseteruan, sengketa, pertengkaran, perselisihan, dan pertikaian. Kendati demikian, dalam hukum logika biner, keberadaan atau ketiadaan salah satu merupakan keberadaan dan sekaligus ketiadaan yang lain. Damai tidak akan ada jika tidak ada konflik. Damai menjadi ada hanya karena konflik juga ada. Ketika damai dinegasikan, hadirlah konflik. Jika konflik dinegasikan, hadirlah damai. Damai adalah cermin

26Ibid., 161. 27Ibid.


(40)

30

dari terkelolanya konflik. Damai bukanlah semata-mata ketiadaan perang, karena perdamaian yang sejati adalah damai yang dinamis, partisipatif, dan berjangka waktu panjang. Damai sejati dapat terwujud manakala nilai-nilai kemanusiaan universal telah mengakar di segala lini, mulai dari kehidupan keluarga, sekolah, komunitas, masyarakat, hingga negara.28

Secara etimologis, istilah perdamaian diterjemahkan dan dilafalkan secara berbeda sesuai konstruksi bahasa dan tradisi masyarakat masing-masing. Masyarakat Jerman memiliki istilah friede, Bangladesh mengenal istilah shanti, dan Jepang menyebutnya heiwa. Masyarakat Indonesia sendiri menggunakan istilah damai yang sering diartikan sebagai kondisi harmoni, tenang, dan tenteram. Perdamaian dimaknai sebagai segala prakarsa dan upaya kreatif manusia untuk mengatasi dan menghilangkan segala bentuk kekerasan, baik langsung maupun tidak langsung, struktural, kultural, maupun personal di masyarakat.

Dalam ajaran Islam, perdamaian merupakan kunci pokok menjalin hubungan antar manusia. Sedangkan perang dan pertikaian adalah sumber malapetaka yang berdampak pada kerusakan sosial. Agama mulia ini sangat memperhatikan keselamatan dan perdamaian, juga menyeru kepada umat manusia agar selalu hidup rukun dan damai dengan tidak mengikuti hawa nafsu.29

Dalam mendukung sifat damai Islam, para sarjana mengartikan kata Bahasa Arab Islam sebagai “Perwujudan perdamaian”. Seorang Muslim menurut al-Qur’a>n adalah ia yang damai dengan Tuhan dan manusia. Maksud damai dengan

28 Imam Taufiq, Al-Quran Bukan Kitab Teror: Membangun Perdamaian Berbasis

al-Qur’an(Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka, 2016), 31-32.

29 Perpustakaan Nasional, Ensiklopedia Pengetahuan al-Quran dan Hadis (Jakarta:


(41)

31

Tuhan adalah ketundukan sempurna pada kehendak-Nya yang jadi sumber segala kemurnian dan kebaikan. Adapun maksud damai dengan manusia adalah melakukan kebaikan kepada sesama manusia. “Tidak demikian, barang siapa

yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT dan berbuat kebaikan kepada yang lain, maka baginya pahala dari Tuhannya, dan tak ada

kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati”(2:12). Penjelasan terkenal tentang pentingnya perdamaian tercermin dalam sapaan Muslim sehari-hari yaitu “As-Salamu‘alaikum” yang berarti “Kedamaian atas kamu” ucapan ini berasal dari al-Quran:

Do´a mereka di dalamnya ialah: "Subhanakallahumma", dan salam penghormatan mereka ialah: "Salam". Dan penutup doa mereka ialah: "Alhamdulilaahi Rabbil ´aalamin".30

2. Perdamaian dalam Islam

Kedamaian dalam Islam dipahami sebagai suatu keadaan harmonis secara fisik, mental, spiritual, dan sosial. Berdamai dengan tuhan lewat ketaatan dan berdamai dengan sesama manusia dengan menghindari pelanggaran. Islam mewajibkan para pengikutnya untuk mencari kedamaian di segala bidang kehidupan. Tujuan utama wahyu al-Quran bagi kaum Muslim adalah untuk menciptakan tatanan sosial yang adil dan damai. Kedamaian dianggap sebagai hasil yang dicapai hanya dengan ketaatan penuh pada kehendak Tuhan. Karena


(42)

32

itu, kedamaian mempunyai penerapan internal, personal, dan sosial, dan Tuhan merupakan sumber penopang kedamaian tersebut.31

Menghindari kekerasan dan penyerangan dalam segala bentuknya menjadi fokus utama dari nilai dan tradisi keislaman. Banyak ayat al-Quran yang menekankan prinsip ini, di antaranya:

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.32

Pencarian perdamaian juga jelas dalam tradisi dan hidup Nabi Muhammad SAW. Tradisi Nabi juga mendukung penghindaran kekerasan. Pengampunan atau pemaafan dipandang sebagai reaksi terbaik terhadap kemarahan dan perselisihan. Penggunaan kekerasan sebagai cara menyelesaikan konflik dikesampingkan dalam kehidupan Nabi dan al-Qur’a>n serta senantiasa dilihat sebagai usaha terakhir. Semasa periode Makkah (610-622 M), Nabi Muhammad SAW tidak menunjukkan kecenderungan pada pengerahan kekuatan dalam bentuk apapun, bahkan untuk pertahanan diri. Bahkan ia melakukan kampanye perlawanan anti

31 Mohammed Abu Nimer, Nirkekerasan dan Bina-Damai dalam Islam, terj: M. Irsyad

Rhafsadi dan Khairil Azhar (Jakarta: Democracy Project, 2010), 114-115. 32Al-Quran, 16:90.


(43)

33

kekerasan melalui ajarannya di masa itu, ketika kaum Muslim merupakan kaum minoritas.33

Ajaran Nabi pada masa itu khususnya berpusat pada nilai-nilai kesabaran dan keteguhan dalam menghadapi penindasan. Selama 13 tahun, Nabi secara penuh memakai metode anti kekerasan, bersandar pada ajaran spiritualnya dalam menghadapi serangan dan bentrokan. Pada masa itu, meski ia disiksa, difitnah, dan dihinakan, serta keluarga dan para pengikutnya diasingkan, dia tidak mengutuk musuh-musuhnya ataupun menganjurkan kekerasan. Sebaliknya, ajarannya terpusat pada ibadah dan harapan akan pencerahan dan kedamaian.

Dalam Islam, pengupayaan perdamaian meluas menyangkut perselisihan dan pertentangan antar-perorangan maupun masyarakat. Muslim dilarang menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan perbedaaan mereka, melainkan harus bersandar pada arbitrase atau bentuk intervensi lainnya. Berbagai ayat al-Qur’a>n memerintahkan orang-orang yang beriman untuk mengembalikan perselisihan kepada Tuhan dan Nabi-Nya. Untuk menjaga perdamaian antar umat manusia dan umat beragama, tugas pokok para pemimpin adalah berupaya mencegah meletusnya konflik dengan melakukan hal-hal berikut.34

Pertama,untuk menghadapi konflik pada umumnya, lebih-lebih konflik antar agama, para pemimpin hendaknya memahami secara lebih baik tentang peran agama bagi kehidupan para pemeluknya di mana pun mereka berada. Dunia Barat yang sekuler seringkali meremehkan peran agama dan simbol-simbol yang

33Nimer,Nirkekersan dan...,116.

34 Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Isu-isu Kontemporer I (Jakarta: Lajnah


(44)

34

melekat di dalamnya, sehingga tidak jarang menimbulkan tindakan pelecehan terhadap kitab suci dan penghinaan para pemimpin atau Nabi yang sangat dihormati, seperti yang terjadi di Denmark, maupun di Inggris dengan kasus Salman Rushdi. Hal ini menunjukkan ketidakpekaan para pemimpin politik dan agama terhadap keberagaman kelompok tertentu sehingga menimbulkan respon keras di dalam negeri, hingga menyebar luas hampir ke seluruh dunia Muslim.

Kedua,para pemimpin harus mewaspadai benih-benih konflik yang mengarah pada timbulnya kekerasan untuk mengubah keadaan atau untuk menghentikan perubahan. Para pemimpin bertugas menyalurkan kekuatan para tokoh atau pemimpin kelompok yang berselisih ke arah perubahan yang damai dan anti kekerasan.

Ketiga, dalam kasus-kasus yang disebut konflik agama, sebenarnya agama hanyalah salah satu dari banyak faktor yang terlibat. Adapun isu pokoknya boleh jadi persoalan-persoalan yang terkait dengan keberlangsungan hidup, keamanan, keadilan, atau kejujuran hingga permasalahan-permasalahan kompleks seperti kebutuhan untuk diakui, dihormati, otonomi, dan penentuan nasib. Rasa takut tak jarang berperan sebagai pembakar emosi dan tindakan kekerasan yang mudah meledak.

Keempat, Para pemimpin mendorong para kelompok yang berselisih untuk menemukan pemecahan persoalan atas inisiatif mereka sendiri. Hal itu membantu mereka membangun dan menumbuhkan cara-cara pemecahan masalah secara mandiri dan mebangun komunitas yang lebih kokoh dengan cara mereka sendiri. Mereka juga mengingatkan pihak-pihak yang terlibat konflik bahwa nilai-nilai


(45)

35

kebaikan, seperti kasih sayang, taat hukum, keadilan, hormat kepada orang lain atau kelompok lain dan rendah hati adalah sifat-sifat yang dapat mendukung terwujudnya perdamaian.

Kelima, para pemimpin agama mengingatkan kelompok-kelompok yang berkonflik, bahwa keimanan atau kepercayaan mereka selamanya tidak membolehkan tindakan menyerang kelompok lain atau melakukan tindakan kekerasan apapun. Di samping itu, mereka hendaknya dapat menuntun proses pengungkapan rasa penyesalan, rasa iba, kesedihan, dan pemberian maaf sebelum langkah mengurai konflik dan perdamaian yang diusahakan. Dalam proses resolusi, para diharap menghimbau seluruh kelompok yang berselisih untuk mendasarkan apa saja yang akan mereka lakukan di atas landasan kepercayaan spiritual mereka dan di atas nilai-nilai yang disetujui bersama.


(46)

36 BAB III

IMAM IBN MA<<<<<<JAH DAN H}ADI<TH TENTANG PERINTAH PERANG

A. Biografi ImamIbn Ma>jah

Nama lengkap Ibn Ma>jah adalah Abu>‘Abdullah Muhammad ibn Yazi>d Al-Qazwini, dilahirkan di Qazwin salah satu kota di Iran pada tahun 207 H/824 M, dan wafat pada tahun 273 H. Beliau belajar hadis di berbagai kota di antaranya Irak, Hijaz, Mesir, dan Syam. Beliau juga belajar kepada murid-muridMa>lik dan Laith, rahimahullah, sehingga beliau menjadi salah seorang imam terkemuka pada masanya dalam bidang ilmu nabawi.1

1. Guru dan murid ImamIbn Ma>jah

Di antara ulama yang menyampaikan hadis kepadaIbn Ma>jahantara lain: Abu>Bakar ibn Abi>Shaibah, Muhammad ibn ‘Abdullah ibn Numair, Hisha>m ibn ‘Amma>r, Muhammad ibn ‘Abdullah ibn Rumh, Ahmad ibn al-Azhar, Bishr ibn Adan, dan lain-lain.2

Ulama yang menerima hadis dari ibn Ma>jah antara lain:Muhammad bin ‘Isa al-Abhan, Abu>al-Hasan al-Qat{t{a>n, Sulaiman ibn Yazi>d al-Qazwini, Ibn Sibawaihi, Isha>q ibn Muhammad, Ahmad ibn Ibra>him, dan ulama-ulama lainnya.3

1Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis(Surabaya: Alpha, 2005), 104. 2Ibid.

3 Muhtadi Ridwan, Studi Kitab-Kitab hadis Standar (Malang: UIN-Maliki Press, 2012),


(47)

37

2. Karya-karyanya:

Ibn Ma>jah banyak mengarang buku yang tercatat oleh sejarah, di antaranya: Kitab al-Sunan, Kitab al-Qur’a>n al-kari>m, Kitab al-Tarikh, berisi tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi sejak masa sahabat sampai masa Ibn Ma>jah.

Di antara kitab-kitab tersebut yang paling populer dan masuk dalam al-Kutub al-Sittahialah kitabal-Sunanyang terkenal dengan sebutan “Sunan Ibn Ma>jah”.4

B. Kitab Sunan IbnMa>jah

Kitab ini disusun oleh Muhammad ibn Yazi>d al-Qazwini, atau lebih dikenal dengan sebutan Ibn Ma>jah. kitab Sunan ini disusun seperti bab fiqh, jumlah hadisnya sebanyak 4.341 buah hadis. 3002 hadis, di antaranya diriwayatkan oleh A s{h}a>b A l-Khamsah dan 1.339 buah hadis merupakan hadis zawa>’id (tambahan) atas hadis yang sudah tercantum dalam al-Kutub al-Khamsah sebelumnya.5Dari keseluruhan hadis itu, dinilai ulama ada yangs{ahi>h, h}asan, dand{a’i>f.

Keberadaan hadis zawa>’id dalam sunan ibn Ma>jah memiliki mutu sanad

yang berbeda-beda, dalam pengertian tidak semua sebanding dengan tingkat kemaqbulannya, diantaranya:6

1. 428 hadis yang didukung oleh perawi yang thiqahdan memilikisanad s{ahi>h

2. 199 hadis memilikisanad h}asan 3. 613 hadis memilikisanad d{a’i>f

4Zainul, Studi Kitab, 105.

5 M. Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis (Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 2011), 241.


(48)

38

4. 99 hadis yang memiliki sanad sangat lemah, munkar, atau diduga palsu.

Dalam proses mengoleksi hadisnya Ibn Ma>jah mengonsultasikan kepada Ibn al-Ra>zi (W. 277 H) seorang ulama yang dikenal masa itu dengan spesialisasi

fiqhul-h}adi>th. Dari pemeriksaan al-Ra>zi itu pula Imam Ibn Ma>jah mengetahui keberadaan 30 satuan hadis yang ber-sanad d{a’i>f. Dalam hal ini Ibn Khillikan berpendapat sama dengan ibn al-Ra>zi bahwa hanya 30 hadis saja yang benar-benar pantas dikategorikan sebagai hadisd{a’i>f.7

Dalam menyusun kitabnya, Ibn Ma>jah sama dengan al-Nasa>’i yaitu menurut tertib sistematika fiqh. Ia menyusun menjadi beberapa kitab dan bab sunan ini terdiri dari 32 kitab dan 1.500 bab, jumlah hadisnya sebanyak 4.000 buah.8untuk perinciannya sebagai berikut: A l-Muqaddimah (24). Bab, al-T{aha>rah (139), al-S{ala>h (13), al-A dha>n (6), al-Masjid (19), al-Iqa>mah (205), al-Jana>iz (65), al-T{alaq (36), al-Zakah (27), al-Nika>h (63), al-Kafa>rat (21), al-Tija>rah (69), al-A hka<m (23), al-Hibah (7), al-S{adaqah (21), al-Ruhum (24), al-shufi’ah (4), al-Luqa>t{ah (4), al-Iqh (10), al-Hudu>d (38), al-Diyah (36), al-W as{a>ya (9), al-Fara>’id{(18), al-Jiha>d (46), al-Mana>sik (108), al-‘A dalah (17), al-Dhaba>ib (15), S{aid (20), al-A t{’imah (52), al-T{i>bb (27), al-Lina>s (46), A dab (59), Du’a (22), Ta’bir al-Ru’ya (10), al-Fita>n (36), al-Zuhd (39) buah bab.9

7Ibid., 106.

8Zainul, Studi Kitab, 105.


(49)

39

1. Pendapat Ulama Tentang Kitab sunan Ibn Ma>jah

Sunan Ibn Ma>jah berisi 4.341 hadis yang s{ahi>h, h}asan, dand{a’i>f, bahkan ada hadis yang sangat lemah. Oleh karena itu, para ulama sebelum abad ke-6 belum memasukkannya ke dalam Buku Induk hadis Enam ( Ummaha>t Kutub al-Sittah) kemudian dimasukkannya setingkat al-Muwat{t{a’ karya Imam Ma>lik. Para ulama mendahulukan Sunan Ibn Ma>jah daripada al-Muwat{t{a’ dalam gabungan Buku Induk Hadis Enam tersebut, karena di dalamnya terdapat beberapa hadis yang tidak didapati dalam Kutub al-Khamsah, dan didapatkan lebih banyak dari

al-Muwat{t{a’.10

Abu> Faraj ibn al-Jauzi berpendapat sebagaimana disitir Abu> Shuhbah bahwa ada 30 hadis maud{u>’ terdapat di dalam Sunan Ibn Ma>jah. melihat pendapat tersebut, maka inilah yang membuat turunnya derajat Ibn Ma>jah. Maka ulama

Mutaqaddiminkeberatan memasukkan Sunan Ibn Ma>jah dalam deretan Kutub al-Sittah. Dan sebagai gantinya adalahMuwat{t{a’Imam Ma>lik.11

Sedangkan al-Maqdisi> dalam kitabnya A t{ra>f al-Kutub al-Sittah, dan dalam risalahnya Shuru>f A ’immah al-Sittah, ia telah menjadikan Sunan Ibn Ma><jah sebagai kitab keenam dari al-Kutub al-Sittah, padahal hadis-hadis yang ada pada

al-Muwat{t{a’ Imam Ma>lik kebanyakan hadis-hadis s{ahi>h, dan ia tidak menceritakan kecuali dari orang-orang yang terpercaya.

10Ibid., 299.


(50)

40

Terlepas dari pendapat pro dan kontra, yang jelas Sunan Ibn Ma>jah lebih rendah derajatnya dari al-Kutub al-Khamsah, dan merupakan kitab Sunan yang paling banyak mengandung hadisd{a’i>f.12

C. Hadis tentang Perintah Perang

Untuk mendapatkan data hadis yang valid tentang perintah perang , maka penulis menggunakan sebuah kitab standar takhrij yaitu Mu’jam al-Mufahras li al-Fa>dhi al-H}adi>th al-Nabawy>dengan menggunakan kata kunci Adapun .13

dalam penelitian ini penulis hanya menemukan pada hadis-hadis Kutub al-Sittah, adapun data hadisnya sebagi berikut:

1.

Hadis Riwayat Ibn Ma>jah

:

:

:

"

:

14

.

12Ibid., 107.

13 A.J. Wenscink,Mu’jam al-Mufahras li al-Fa>dhi al-H}adi>th al-Nabawy>,juz 5 (Madinah

Leiden: Brill, 1969), 297.

14Hafid Abi Abdullah Muhammad Yazid,Sunan Ibn Ma>jah, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kitab


(51)

41

2. Hadis Riwayat Bukha<ri

: (

)

:

:

:

15

.

3. Hadis Riwayat Muslim

:

,

:

,

:

:

, :

:

16

.

,

,

4. Hadis Riwayat Abu> Da>wud

:

:

:

17

.

5. Hadis Riwayat Tirmidhi>

:

:

:

18

.

15 Imam Zainuddin Ahmad bin Abdul Lathif, Shahi>h al-Bukha>ri, vol.1 (Beirut: Dar

al-Fikr 1993), 32.

16 Muslim bin al Hajja>j Abu al Hasan al Qushairi al Naisaburi, S{ahi>h Muslim, Vol. 5,

cet. Ke-2 (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2008 ), 115.

17Abu Daud Sulaiman,Sunan A bu> Da>wud, vol. 2 (Beirut: Dar a-Kitab al-Ilmiyah 1996),


(52)

42

6. Hadis Riwayat Al-Nasa>’i

:

:

:

:

: ,

:

,

! ,

,

! :

.

19

Setelah diketahui keberadaan hadis tentang perintah perang (

) menggunakan metode takhri>j, maka selanjutnya penulis melakukan

penelitian secara mendalam terhadap hadis riwayat Ibn Ma>jah No. Indeks 3927. Selain itu juga akan dicantumkan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh perawi lain selain Ibn Ma>jah sebagai perbandingan, sebagai berikut:

1. Redaksi hadis pada SunanIbn Ma><jahNo. Indeks 3927

:

:

:

:

.

Telah menceritakan kepada kami Abu> Bakar bin Abi> Shaibah berkata: telah menceritakan Abu> Mu’a>wiyah, dan Hafs bin ghiya>th, dari A’mash, dari Abi> S{a>lih, dari Abi> Hurairah, berkata: Rasu>lullah SAW bersabda: Aku diperintah

18Abu< I><sa al-Tirmidzi,Sunan al-Tirmidhi, vol. 4 (Beirut: Dar al-Fikr 1994), 273.

19Ahmad bin Shu’aib al-Khurasany,Sunan al-Nasa>’i, vol. 3 (Beirut: Dar al-Fikr, 2005),


(53)

43

untuk memerangi manusia sehingga berkata bahwa tidak ada tuhan selain Allah, jika ia mengatakannya, maka darah dan harta mereka mendapat perlindungan dariku, kecuali karena alasan-alasan hukum Islam, sedangkan perhitungan terakhir

mereka terserah kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

Skema Sanad dari Jalur Sanad Imam Ibn Ma>jah

(W. 57 H)

(W. 147 H)

(W. 194 H)

(W. 235 H)

(W. 273 H)


(54)

44

Tabel Periwayatan dan Sanad Hadis Riwayat Imam Ibn Ma><jah

NO. Nama Periwayat Urutan

Periwayatan

Urutan Sanad T{aba>qat 1. Abu>Hurairah Periwayat I Sanad VI

2. Abi> S{a>lih Periwayat II Sanad V

3. A’mash Periwayat III Sanad IV

4. Hafs ibn

ghiya>th

Periwayat IV Sanad III

5. Abu>Mu’a>wiyah Periwayat V Sanad II

6. Abu> Bakar ibn

Abi> Shaibah

Periwayat VI Sanad I

7. Ibn Ma>jah Periwayat VII Mukharrij

Hadis

Di bawah ini akan disajikan penjelasan tentang para periwayat dan persambungan sanad antara guru dengan muridnya. Penulis menggunakan teori yang pertama yaitujarh wa at-ta’di>l, diantaranya:

a. Abu> Hurairah20

Nama asal Abu> Hurairah adalah ‘Abdurrahman ibn Shakhr al-Dawsi (salah satu kabilah di yaman), lalu nama Islam yang di berikan nabi Muhammad adalah Abdusysyams ibn Shakhr. Kemudian di panggil Abu>Hurairah oleh Rasu>lullah SAW. Beliau wafat pada tahun 57 H.21

20Ibid, vol. 21, 91.


(55)

45

Guru-gurunya adalah Rasu><lullah SAW, ‘Umar ibn al-Khatta<b, Ka’ab al-Akhba>r, Usa>mah ibn Zaid ibn harithah, Ubay ibn Ka’ab, Yahya ibn Sa’id al-Qatt{{a>n, dan lain-lain.

Murid-muridnya adalah Anas ibn Ma>lik, Abu> S{a>lih Mawla> D}uba>’ah, Aus ibn Kha>lid, S{a>lih ibnAbi> S{a>lih, Sa’i>d ibn al-Musayyab, Hafs ibn ‘A<s{im ibn ‘umar ibn al-Khatta>b, Muhammad ibn Mu>sa al-Qat{t{a>n al-Wa>sity, dan lain-lain.

Ibn Hajar dan Al-Dhahabi menyatakan bahwa Abu>Hurairah adalah seorang yang dapat di percaya. Abu>Ha>tim menyatakan bahwa Abu>Hurairah adalah seorang yang s{a>lih. Dan Ibn Hibban dalam kitabnya menyatakan Abu> Hurairah adalah perawi yangThiqah.

Lambang periwayatannya

.

Meskipun memakai lambang periwayatan

namun Abu> Hurairah adalah sahabat Rasu>lullah SAW, dan setiap sahabat sudah

pasti ‘adil. Maka Abu> Hurairah dengan Rasu>lullah SAW ittis}a>l sanad. b. Abi> S{a>lih22

Nama lengkapnya adalah Abu> S{a>lih al-Sama>n al-Zayya>t al-Madany. Beliau wafat pada tahun 101 H.

Guru-gurunya adalah Abu> Hurairah, Ka’ab al-Akhba>r, Abi> uma>mah al-Ba>hily, Abi> Rayha>nah al-Azdy>, Abi> ‘Abdillah al-Ash‘Ary>, Abi Ma>lik al-Ash‘Ary>,


(56)

46

Murid-muridnya adalahA’ma>sh, Ibn Ma>jah, Isma>’i>l ibn ‘Ubaidullah ibn Abi> al-Muha>jir, Hassan ibn ‘At{iyyah, ‘Abdurrahman ibn Yazi>d ibn tami>m, ‘Abdul ‘A’la ibn Wa>s{il ibn ‘Abdul ‘A’la al-Asady>, dan lain-lain.

Ibn Hajar menyatakan bahwa Abi> S{a>lih adalah seorang yang dapat di percaya. Dan Ibn Hibban dalam kitabnya menyatakan Abi> S{a>lih adalah perawi yang

Thiqah.

Lambang periwayatannya

.

Meskipun memakai lambang periwayatan

namun Abi> S}a>lih bukan perawi yang tertuduh dusta, maka Abi> S}a>lih dengan Abu> Hurairah ittis}a>l sanad.

c. A’mash23

Nama lengkapnya adalah Sulaima>n ibn Mihran al-Asadi al-Kahali Abu> Muhammad al-Ku>fy al-A’mash. Beliau lahir pada tahun 61 H dan wafat pada tahun 147 H.

Guru-gurunya adalah Dhakwa>n Abi> S{a>lih al-Sama>n, Anas ibn Ma>lik, ‘Abdullah ibn Abi Aufa, Ibrahim al-Nakha>’i, ‘Abdullah ibn Marrah, Muja>hid ibn Jabr, Abdul ‘Aziz ibn Rafi’, ‘Abdullah ibn Abi> Aufa, dan lain-lain.

Murid-muridnya adalah Hafs ibn Ghiya>th, Al-H}akim ibn Suhail ibn Abi> S{a>lih, Abu Bakar ibn ‘Iya>sh, Shaiban al-Nahwi, ‘Abdullah ibn Idri>s, ‘I<sa ibn Yu>nus, Al-Khuraibi, Abu>Shihab al-Hanath, ‘Abdullah ibn Mu>sa, dan lain-lain.


(57)

47

Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan A’mash adalah orang yang paling pandai membaca al-Quran, paling banyak menghafal hadis dan paling mengetahui tentang fara>idh.

Yahya al-Qat{t{a>n menyatakan bahwa A’mash adalah orang yang paling pandai tentang Islam. Dan Ibn Hajar juga menyatakan bahwa A’mash adalah perawi yangthiqah.

Lambang periwayatan

.

Meskipun memakai lambang periwayatan

namun A’mash bukan perawi yang tertuduh dusta, maka A’mash dengan Abi> S}a>lih ittis}a>l sanad.

d.1. Hafs ibn Ghiya>th24

Nama lengkapnya adalah Hafs ibn Ghiya>th ibn T{alq ibn Mu’awiyah ibn Ma>lik ibn al-Harith al-Nakha’i, Abu Umar al-Ku>fi>. Beliau wafat pada tahun 194 H.

Guru-gurunya adalah A’ma>sh, Isma>’i>l ibn Kha>lid, Hisha>m ibn ‘Urwah, Sulaiman al-Taymi, Sufya>n al-Thauri, Hajjaj ibn Art{a>h, Ismail ibn Suma’i, Abi> Shaibah Abdurrahman ibn Isha>q al-Ku>fi>, Ja’fa>r al-S}a>diq, dan lain-lain.

Murid-muridnya adalah Ahmad ibn Hanbal, Sufyan ibn waqi>’ ibn Jara>h, Qutaibah ibn Sa’id, Abu Kurayb Muhammad ibn al-‘Alla>’, Yahya ibn Sa’id al-Qat{t{a>n, Abu> bakar ibn Abi> Shaibah, ‘Amr ibn Hafs ibn Ghiyath, dan lain-lain.

Ibn Hajar dan imam al-Nasa>’i menyatakan bahwa Hafs ibn Ghiya>th adalah perawi yang Thiqah, Faqi>h. Al-Dhahaby menyatakan jika ucapan Hafs merujuk


(58)

48

pada tulisannya sudah dipastikan benar, tetapi jika ia merujuk pada hafalannya perlu di pertimbangkangkan karena hafalannya lemah.

Lambang periwayatannya

.

25

d.2. Abu> Mu’a>wiyah

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Kha>zim al-D{ari>r. Beliau wafat pada tahun 295 H.

Guru-gurunya adalah A’mash, Abi Umamah S{iddy al-Bahily ibn ‘Ijla<n al-Bahily, Abdullah ibn Bisr al-Maziny, ‘Amr ibn Qays al-Saku>ny.

Murid-muridnya adalah Abu> Bakar ibn Abi> Shaibah, Uthma>n ibn Sa’id ibn Kathi>r ibn di>na>r, ‘Is{om ibn Kha>lid, ‘Ali ibn ‘Iya>sh, Mubshi>r ibn Isma>’i>l al-Halaby, al-Wali>d ibn Muslim.

Ibn Hajar menyatakan Abu> Mu’a>wiyah adalah perawi yang Thiqah. Dan menurut al-Dhahaby Abu> Mu’a>wiyah adalah perawi yang dapat di percaya.

Lambang periwayatannya

.

e. Abu> Bakar ibn Abi> Shaibah26

Nama lengkapnya adalah ‘Abdullah ibn Muhammad ibn Ibra>him ibn ‘Uthma>n ibn Khawa>sity al-‘Abasy, Abu> Bakar ibn Abi> Shaibah al-Ku>fi. Beliau wafat pada tahun 235 H.

Guru-gurunya adalah Abu> Mu’a>wiyah, Abi> al-Ah}wa>s, ‘Abdulla>h ibn Idri>s, ibn al-Muba>rak, Abu> Bakar ibn ‘Ayya>sh, ‘Ubdah ibn Sulaiman, ‘Isa ibn Yu>nus,

25Al-Muzzi<,Tahdhi<b al-Kama<l,46.

26 Shiha<b al-Di>n Ah}mad ibn ‘Aly> ibn H}ajar al-Athqala>ny>, Tahdhi>b al-Tahdhi>b, Vol.4


(59)

49

Qutaibah ibn Sa’id, Waqi>’ ibn al-Jara>h, ‘Abdul ‘A’la ibn ‘Abdul ‘A’la, Yazi>d ibn Harun, Yahya ibn Sa’id al-Qat{t{a>n, dan lain-lain.

Murid-muridnya adalah Ibn Ma>jah, Bukha>ri, Muslim, Abu daud, Abu Shaibah Ibrahim ibn Abi Bakr ibn Abi> Shaibah, Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal, ‘Abdullah ibn Muhammad ibn Abi> al-Dunya>, dan lain-lain.

Ibn Hajar menyatakan bahwa Abu Bakar ibn Abi> Shaibah adalah perawi yang thiqah. Uthma>n ibn Sa’id Darimy mengatakan, ia mendengar Yahya al-Hamany mengatakan bahwa anak-anak Abi> Shaibah termasuk orang-orang yang berilmu dan mereka banyak yang menjadi Muhaddith.

Lambang periwayatannya

f. Imam Ibn Ma>jah27

Nama lengkap Ibn Ma>jah adalah Abu> ‘Abdullah Muhammad ibn Yazi>d Al-Qazwini. Beliau wafat pada tahun 273 H.

Guru-gurunya adalahAbu> Bakar Ibn Abi> Shaibah, Muhammad ibn ‘Abdullah ibn Numair, Hisha>m ibn ‘Ammar, Muhammad ibn Rumh, Ahmad ibn al-Azhar, Bishr ibn Adan, dan lain-lain.

Murid-muridnya adalah Muhammad ibn I<sa Abhan, Abu Hasan al-Qat{t{a>n, Sulaiman ibn Yazi>d al-Qazwini, Ibn Sibawaihi, Ishaq ibn Muhammad, Dan lain-lain.

Al-Dhahabi dalam kitab Tazkiratul Huffaz} mengatakan bahwa Ibn Ma>jah adalah seorang ahli hadis kenamaan negerinya. Dan Ibn kathi>r seorang kritikus


(1)

91

B. Saran-saran

Dalam penelitian ini, penulis telah berupaya semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan yang dimiliki untuk meneliti dan menghasilkan pemaknaan hadis yang sempurna. Penelitian ini dilakukan di bawah arahan dari dosen pembimbing. Peneliti juga mengakui masih banyak kekurangan, oleh karena itu apabila para pembaca menemukan kesalahan setelah melewati penelitian yang cermat, penulis mempersilahkan untuk mengkritisi dan mengkaji ulang sehingga menghasilkan kebenaran yang akurat.

Peneliti menyarankan agar para pembaca untuk tidak tergesa-gesa dalam menyikapi hasil penelitian ini. Benar atau salah dapat dibuktikan melalui kajian yang mendalam. Oleh sebab itu, peneliti menganjurkan pembaca untuk merujuk dan meneliti kembali referensi yang dijadikan acuan.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Al-‘Asqala>ni, Shiha>b al-Di>n Abi> al-Fad}l Ahmad bin ‘Ali> bin Hajar. Tahdhi>b al-Tahdhi>b. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1994.

___________ . Fath} al-Ba>ri>. Beirut: Maktabah Mis}r, 2001.

Arifin, Zainul. Studi Kitab Hadis. Surabaya: Pustaka al-Muna, 2010.

al-Naisaburi, Abu> ‘Abdullah al-haki>m. Ma’rifatu ‘Ulum al-Hadis. Kairo: Maktabah al-Mutanabbi, tth.

Azami, Muhammad Mustafa. Metodologi Kritik Hadis. Bandung: Hidayah, 1996. Asfar, Muhammad . Islam Lunak Islam Radikal. Surabaya:Pusdenham dan JP

Press 2003.

Al-Ashmawy, Muhammad Said. Jihad Melawan Islam Ekstrem. Jakarta: Desantara 2002.

Agama RI, Kementerian. Al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Widya Cahaya, 2011. Amrulla<h, Abdul Ma<lik Abdulkari<m. Tafsir al-Azhar, Juz. 10. Jakarta: PT.

Pustaka Panji Mas, 1984.

Adnan, Patompo. ‚Pemaknaan Jihad dan Problem Aplikasinya dalam Tataran Sosial‛, dalam Ulumuna Jurnal Studi Keislaman, Vol.X, No.1 (Januari-Juni, 2006).

Al-Bu<thi<, M. Sa’i<d Ramad{a<n. Fiqh al-Sirah. Beirut: da<r al-Fikr, 1979.

Al-Bukha>ri>, Muh}ammad Isma>‘i>l Abu> ‘Abd al-La>h. S{ah}i>h} al-Bukha>ri>. Beirut: Da>r T{u>q al-Naja>h, 1422 H.

Damshiqi<, Ibnu Hamzah al-Husaini al-Hanafi. Asba<bul Wurud. Jakarta: Kalam Mulia, 2002.

Engineer , Asghar Ali Engineer. Islam Masa Kini. Yogyakarta: Tim Forstudia 2004.

Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Misbah Munir fi Gharib as-Syarh al-Kabir li ar-Rafa’i, juz 2. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah 1398 H/1978 M.


(3)

Husnan, Ahmad.Kajian Hadis metode Takhrij. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993.

Ghazali, Muhammad. Studi Kritis Atas Hadis Nabi SAW. Yogyakarta: Mizan, 2016.

Hadi, Sutrisno. Metodologi Research, jild.1. Yogyakarta: Andi Publisher 2001. Husin, Said Agil. Hukum Islam dan Pluralitas Sosial. Jakarta: PT. Penamadani

2004.

Al-Haidari, Sayyid Kamal. Jihad Akbar. Bandung: Pustaka Hidayah 2003.

Ismail, M. Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual Telaah Ma’ani Al Hadits Tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal, dan Lokal. Jakarta: Bulan Bintang, 2009.

________________ . Kaidah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 2005.

________________ . Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 2007.

Irham, Masturi. ‚Kritik Matan, (Sejarah dan Perkembangannya)‛, Mutawa<tir Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis, vol. 3 No. 2 (Juli-Desember, 2013).

IKAPI, Anggota. Terjemah Singkat Tafsir Ibn Kathi<r, Jild. 4. Surabaya: PT Bina Ilmu, 1988.

Juned, Daniel. Ilmu Hadis. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama 2010.

al-Khurasany, Ahmad bin Shu’aib. Sunan al-Nasa<’i, juz 3. Beirut: Dar al-Fikr, 2005.

Kalim, Siddiqui. Seruan-Seruan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2002. Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah, 2013.

Kahmad, Dadang . Metode Penelitian Agama. Bandung: CV Pustaka Setia 2000. Lewis, Bernard. Bahasa Politik Islam, ter. Ihsan Ali Fauzi. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 1994.


(4)

Mustaqim, Abdul. Ilmu Maani al-Hadis Paradigma Interkonektif: Berbagai Teori dan Metode Memahami Hadis Nabi. ttp: Erlangga, t.th.

Al-Muzzi>, Al Jamaluddin Abi> al-Hajjaj Yu>suf. Tahdhi>b al-Kamal fi asma>’ al -Rija>l. Beirut: Da>r al-Fikr, 1994.

MKD, Tim Penyusun. Studi Hadis. Surabaya:UIN Sunan Ampel Press 2013. Muhid dkk, Metode Penelitian Hadis. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press 2013. Al-Nawawi>>, Al-Ima>m Abi> Zakariya> yah}ya> bin Sharf. Sharh S{ah}i>h} Muslim, Vol.

1, Cet. Ke-1. Kairo: Da<rul Hadi<th, 1994.

Nasional, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka 2005.

Al Naysaburi, Muslim bin al Hajja>j Abu al Hasan al Qushairi. S{ahi>h Muslim. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2008.

Poerwadarminta, W. J. S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1985.

Qardhawi, Yusuf. Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW. Bandung: Karisma, 1994.

Al-Qazawini>. Ibn Ma>jjah Abu> ‘Abd al-La>h Muh}ammad bin Yazi>d. Sunan Ibn Ma>jjah. t.tp: Dar Ih}ya>’ al-Kita>b al-‘Arabiyah, t.th.

Quthb, Sayyid. Tafsir fi< Dhila<lil Qur’a<n, jild.5. Jakarta: Gema Insani Press, 2003. Al-Qur’an dan terjemahnya. 9: 5.

.9:29.

. 2:190.

Ramadhansyah. ‚Radikalisme dalam Islam (tinjauan tentang asal-usul, doktrin, dan dampaknya terhadap konflik sosial)‛. (Surabaya: jurusan perbandingan agama UIN Sunan Ampel, 2006).

Rohman,Fatchur . Ikhtisar Musthalahul Hadits. Bandung: Al-Ma’arif, 1974. Ruslan, Rosady. Metode penelitian Public Relations dan Komunikasi.Jakarta:

Rajawali Pers, 2003.


(5)

Ridwan, Muhtadi. Studi Kitab-Kitab Hadis Standar . Malang: UIN-Maliki Press, 2012.

Al-Shaukani>. Naylu al-Aut}a>r. Beirut: Da>r al-Jail, 1973.

Al-Sijista>ni>, Abu Da>wud Sulaima>n bin al-Ash‘ath bin Ish}a>q bin Bashi>r bin ‘Amr al-Azdi. Sunan Abi> Da>wud. Beirut: Al-Maktabah Al-‘As}riyah, t.th.

Syamsuddin, Nur. ‚Jihad dalam Quran (telaah penafsiran terhadap surat al-Hujurat ayat 15)‛. (Surabaya: jurusan tafsir hadis UIN Sunan Ampel, 2010).

Sumbulah, Umi. Kritik Hadis. Malang: UIN Malang Press 2008.

Suryadi. Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi. Yogyakarta: Teras 2008. Sumarna, M. Abdurrahman dan Elan. Metode Kritik Hadis. Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya, 2011.

Sulaiman, Abu Daud. Sunan Abu Daud, Juz 2. Beirut: Dar a-Kitab al-Ilmiyah 1996.

Shihab, M. Quraish. Wawasan al-Qur’a<n. Bandung: Mizan, 1996.

Takwallo, bahrul. ‚Syari’at agama Islam itu mudah‛. (Surabaya: Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Ampel, 2016).

Al-T}ahh}}an, Mah}mu>d. Taisi>r Must}alah al-H}adi>th. Surabaya: Toko Kitab Hidayah. 1985.

. Metode Takhrij dan Penelitian Sanad Hadis (Surabaya: PT. Bina Ilmu,1995

Al-Tirmidhi>, Muh}ammad bin ‘I<sa> bin Saurah bin Mu>sa> bin D{ah}a>k. Sunan al-Tirmidhi>. Kairo: Shirkah Maktabah, 1975.

Al-Tirmisi, Ibn Abdillah. Manhaj Dzawi al-Nazhar. Jeddah:al-Haramain 1974. Wensincnk, A.J. Mu’jam al-Mufahras al-Alfa>dh al-Aha>dith

al-Naba>wi(terj),m.fuad ‘ abd al-baqi. Leiden : EJ.Brill,1967.

Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Hida Karya Agung, 1990. Zahw, Muh}ammad Muh}ammad Abu>. al H{a>dith wa al Muh}addithu>n. Riyadh:

t.p,1984.


(6)

https://id.m.wikipedia.org/2017/01/11/Peraturan-Perang-Islam/ (Minggu, 09 Juli 2017, 22.00).

https://id.m.wikipedia.org/2017/01/11/Jihad/ (Minggu, 09 Juli 2017, 23.00). http//m.kompasiana.com/2016/03/29/memahami-makna-perang-suci/ (Minggu, 09 Juli 2017, 22.30).