Analisis Yuridis Terhadap Pertanggungjawaban Kepala Daerah Sebagai Pelaksana Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah ( APBD ) Dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah ( Studi Di Pemerintahan Kota Tanjung Balai )

(1)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN

KEPALA DAERAH SEBAGAI PELAKSANA ANGGARAN

PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH ( APBD )

DALAM RANGKA PENYELENGGARAAN

PEMERINTAHAN DAERAH

( Studi Di Pemerintahan Kota Tanjung Balai )

Tesis

Oleh

DANI SINTARA

087005026

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN

KEPALA DAERAH SEBAGAI PELAKSANA ANGGARAN

PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH ( APBD )

DALAM RANGKA PENYELENGGARAAN

PEMERINTAHAN DAERAH

( Studi Di Pemerintahan Kota Tanjung Balai )

Tesis

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

Dalam Program Studi Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

DANI SINTARA

087005026

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERTAN- GUNGJAWABAN KEPALA DAERAH SEBAGAI PELAKSANA ANGGARAN PENDAPATAND AN BELANJA DAERAH

(APBD) DALAM RANGKA PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH.

(Studi Di Pemerintahan Kota Tanjung Balai). Nama Mahasiswa : Dani Sintara.

NIM : 087005026.

Program Studi : Magister Ilmu Hukum.

Menyetujui: Komisi Pembimbing

(Prof. Muhammad Abduh, SH) K e t u a

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum) A n g g o t a A n g g o t a

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum) K e t u a


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 09 Agustus 2010.

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Muhammad Abduh, SH

Anggota : 1. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH 2. Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum 3. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum


(5)

ABSTRAK

Dengan dilaksanakannya desentralisasi sebagai suatu asas penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam susunan negara Indonesia maka akan melahirkan wewenang atau kekuasaan dan hak kepada masyarakat didaerah-daerah untuk mengurus sendiri-sendiri urusan yang bersifat khas (spesifik) sebagai urusan/kekuasaan yang menjadi urusan rumah tangga daerahnya tanpa perlu diatur lagi oleh Pemerintah Pusat kecuali yang ditetapkan oleh Undang-Undang sebagai wewenang pemerintah pusat. Salah satu format dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah ditandai dengan adanya pertanggungjawaban kepala daerah terhadap pelaksanaan APBD. Mengingat bahwa laporan keuangan pemerintahan sebagai sarana pertanggungjawaban keuangan pemerintahan yang disampaikan kepada DPRD setiap akhir tahun anggaran adalah salah satu wujud dari sistem pemerintahan demokrasi. Memang harus diakui bahwa pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ditandai dengan adanya pertanggungjawaban kepala daerah kepada DPRD adalah merupakan penyimpangan dari sistem pemerintahan presidensil. Akan tetapi setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah maka kepala daerah tidak lagi bertanggungjawab kepada DPRD, yang pada akhirnya membawa kekaburan terhadap pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan APBD dan kedudukan DPRD sebagai lembaga pengawas.

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan sifat penelitian deskriptif analitis. Dalam melakukan pengumpulan data dilakukan dengan 2 (dua) cara yatu: penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan adalah dengan merujuk pada bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier, sedangkan penelitian lapangan dilakukan melalui wawancara dengan informan serta pengumpulan data yang berkaitan dengan permasalahan. Untuk menganalisis data digunakan pendekatan kualitatif, yaitu dengan menganalisis data secara mendalam dan holistic dan kemudian dilakukan penafsiran. Hasil dari penafsiran yuridis tersebut diharapkan mampu menjawab permasalahan hukum yang diajukan dalam tulisan ini.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pertanggungjawaban kepala daerah terhadap pelaksanaan APBD setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 membawa permasalahan terhadap jalannya pemerintahan daerah, yaitu: pertama, tidak jelasnya fungsi pengawasan DPRD sebagai lembaga pengawas khususnya terhadap pelaksanaan APBD yang dilaksanakan oleh kepala daerah diikuti dengan tidak tertutupnya kemungkinan kepala daerah akan lebih mudah untuk melakukan penyalahgunaan wewenang terhadap pelaksanaan APBD, kedua tidak adanya kontrol terhadap DPRD yang juga menggunakan keuangan yang tertuang


(6)

dalam APBD yang pada gilirannya menghilangkan makna sistem saling mengawasi dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selain itu juga berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada berbagai hambatan bagi kepala daerah dalam mempertanggungjawabkan pelaksanaan APBD, diantaranya yaitu: hambatan yang bersifat politis dan hambatan yang berasal dari materi peraturan perundang-undangan.

Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan diatas, hendaknya pada masa yang akan datang adanya peraturan yang mengatur secara tegas terhadap fungsi pengawasan DPRD khususnya pengawasan terhadap pelaksanaan APBD dan disamping itu juga adanya sebuah peraturan yang berkaitan dengan pertanggungjawaban penggunaan keuangan daerah dimana kepala daerah dan DPRD sama-sama mempertanggungjawabkan penggunaan keuangan oleh masing-masing lembaga, hal ini dilakukan adalah dalam rangka sistem saling mengawasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selanjutnya adalah perlu dibentuk suatu lembaga sebagai pusat peraturan perundang-undangan (law center) agar peraturan perundang-undangan yang ada atau yang akan ada tidak bersifat tumpang tindih.

Kata kunci : Pertanggungjawaban.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintahan daerah.


(7)

ABSTRACT

With the implementation of the decentralization as a principle in the composition of the regional administration of Indonesian state, of course, will give birth to the authority or power to the areas and rights-regions to manage their own affairs that are peculiar (specific) as a business / power to domesticate the region without should be regulated more by the central government except those defined by law as the central government authority. One of the formats in the framework of the regional administration was marked by a regional chief responsibility for budget implementation. Given that the financial statements of government as a means of financial accountability of government submitted to parliament each year end the budget is a manifestation of the democratic system of government. It must be recognized that during the validity of Act No. 22 of 1999 regarding regional governance is no longer the regent responsible to parliament, which eventually brought vagueness of accountability in the implementation of regent budgets and seat parliament as a watchdog agency.

This research is a normative legal research with the analytical nature of descriptive research. In the normal course of data collection was done by two (2) ways, namely: library and field research. The research literature is to refer to primary legal materials, secondary legal materials and legal materials tertiary, while the field research conducted through interviews with informants and gathering of data related to the problem. To analyze the data, a qualitative approach, namely by analyzing the data in depth and holistic and then performed the interpretation. Result of judicial interpretation is expected to answer the legal issues raised in this papper.

Result showed that in responsible regent of realized revenue budget expenditure (APBD) after the entry into force of Law No. 32 Year 2004 brought problems to the of local governance are: first, lack of clarity about legislative oversight function as supervisory institutions, especially the implementation of the budget conducted by the regent, followed by not closing the possibility of regional heads will be easier to make the abuse of authority on budget execution, the second, there is no control of the parliament which also use finance as stipulated in the budget which in turn eliminates the meaning of each system in order to supervise the administration. In addition, based on research result indicate that there are various barriers to the head area in the budget to account for, among others: the obstacles are political and material constraints arising from legislation.

Therefore, to overcome the problems above, should the future existence of strict rules that regulate the function of legislative oversight, particularly monitoring of budget execution and in addition also the existence of a regulation related to the


(8)

utilization of the area where the regental financial and legislative equally accountable for the use of funds by each institution, this is done is in order to watch an inter-regional administration. Next is necessary to from an institution as the center of legislation (Law Center) to legislation that exists or that there will be no overlap.

Key Words: Accountability.

Budget Revenue And Expenditure.


(9)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.

Pada detik yang berbahagia ini izinkanlah penulis memanjatkan segala puji dan syukur atas kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan judul : ”Analisis Yuridis Terhadap Pertanggungjawaban Kepala Daerah Sebagai Pelaksana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Studi Di Pemerintahan Kota Tanjung Balai)”. Demikian juga shalawat beriring salam disampaikan kepada Rasulullah SAW yang telah membawa manusia dari alam kebodohan ke alam kebenaran berdasarkan ilmu pengetahuan.

Dalam melaksanakan penulisan Tesis ini bukanlah merupakan pekerjaan yang ringan laksana membalikkan telapak tangan, hal tersebut ditandai dengan banyaknya rintangan dan cobaan yang datang silih berganti menyertai langkah penulis dalam melakukan penulisan tesis ini. Namun semua itu penulis anggap sebagai suatu ujian dariMu, sehingga harus penulis hadapi dengan penuh kesabaran dan senantiasa mengharap ridho dan pertolonganMu, karena penulis yakin bahwa Engkau tidak akan membebani dan menguji hambaMu melebihi dari daya dan kemampuannya.


(10)

bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itulah pada kesempatan yang baik ini penulis menghaturkan banyak terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang penulis muliakan, yaitu:

1. Yang terpelajar Bapak Prof. Muhammad Abduh, SH selaku ketua komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dalam memperluas wawasan penulis.

2. Yang terpelajar Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH selaku pembimbing II dan juga Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bimbingan dan kesempatan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

3. Yang terpelajar Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution, SH. Mhum selaku pembimbing III yang ditengah-tengah kesibukannya masih sempat untuk meluangkan waktunya dalam memberikan arahan, bimbingan dan masukan yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam penulisan Tesis ini.

4. Yang Terpelajar Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH. MHum selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara dan sekaligus telah berkenan sebagai penguji dari mulai kolokium hingga meja hijau. 5. Yang terpelajar Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH. MS selaku penguji dari

kolokium hingga meja hijau yang telah banyak memberikan kritik dan sarannya demi menuju tesis ini kearah yang lebih baik.


(11)

6. Yang terpelajar Bapak Dr. Marzuki, SH. MHum dan yang terpelajar Bapak Gunadi, SH. MHum yang dengan penuh kasih sayang dan kesabaran telah banyak memberikan bimbingan, petunjuk dan pengetahuan yang sangat bermanfaat dan menambah cakrawala pengetahuan penulis.

7. Seluruh civitas akademika dan pegawai di Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu.

8. Seluruh jajaran Pemerintah Kota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Tanjung Balai yang telah banyak membantu penulis dalam pengumpulan data-data penelitian.

9. Seseorang yang terdekat dihati penulis, Nova Mutiara Sari, SPd yang dengan ketulusannya telah mencurahkan perhatian dan kasih sayang kepada penulis, serta senantiasa menemani penulis baik dalam suka maupun duka, penulis mengucapkan terimakasih yang tiada tara, semoga nova senantiasa berada dalam lindungan ALLAH SWT.

10. Teman-teman satu angkatan di Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara (Ijal, Ruly, Ya’thi, Moral, Abel, Franky, Mardia, Kiki, Pristi, Leni, Yani, Nova, Claudia) dan yang lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu.


(12)

Semoga segala bantuan yang telah diberikan dapat dikategorikan sebagai amal saleh dan dibalas dengan pahal yang berlipat ganda oleh ALLAH SWT, Amin.

Dalam kesempatan ini juga penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada saudara-saudara kandung penulis, yakni: Evi Sundari, Wina Devriana, Irfan, Hendra Panjaitan, SH dan Rudi Apriadi, serta tak ketinggalan penulis mengucapkan terimakasih kepada saudara-saudara penulis yang sudah penulis anggap sebagai saudara kandung, yakni: H. Ahmad Sholihin, SH, H. M. Rinaldi, SHI, Muhammad Hasrul, Hj. Hasnida Safitri, SH, Fadillah Mandala Putra, dan Darmawan Muhammad.

Akhirnya penulis sampaikan terimakasih yang tiada tara disertai dengan doa nan tulus penulis untuk segala bantuan, doa restu, kasih sayang, pengorbanan, dan kesabaran yang telah diberikan orang tua penulis tercinta, yakni Ayahanda Darwin dan Ibunda Sri Suatmiati, kalian telah menjadi pemicu dan motivator bagi anakmu untuk berusaha semaksimal mungkin dalam menyelesaikan penulisan tesis ini. Serta penulis megucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada orang yang telah penulis anggap sebagai orang tua kandung penulis, yakni: Bapak H. Hasanuddin,

SH dan Ibunda Hj. Zulianijar.

Sesuai dengan kata pepatah ”Tiada Gading Yang Tak Retak, Kalau Tak Retak Bukanlah Gading” yang berarti juga penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharap kritik dan saran dari para pembaca sekalian demi menuju tulisan ini kearah yang lebih baik.


(13)

Akhirnya, penulis berharap tulis ini dapat membawa manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya pengetahuan ilmu hukum, AMIN.

Terimakasih.

Medan, Juli 2010. Penulis


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ……… i

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR SKEMA ... xiv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... xv

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Keaslian Penelitian ... 12

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 13

1. Kerangka teori ... 13

2. Kerangka konsepsi ... 29

G. Metode Penelitian ... 31

1. Spesifikasi penelitian ... 32


(15)

3. Analisis data ... 33

BAB II : PERTANGGUNGJAWABAN KEPALA DAERAH

DALAM PELAKSANAAN ANGGARAN

PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) DIATUR DALAM PERATURAN PERUNDANG-

UNDANGAN ... 35 A. Pengaturan Pertanggungjawaban Kepala Daerah

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 108

Tahun 2000 ... 37 B. Pengaturan Pertanggungjawaban Kepala Daerah

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 3

Tahun 2007 ... 54

BAB III : MEKANISME PERTANGGUNGJAWABAN

KEPALA DAERAH DALAM PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA

DAERAH (APBD) ... 67 A. Pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD) dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Dikota Tanjung Balai ... 67 1. Pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD) ... 67 2. Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Dikota Tanjung Balai ... 71 B. Mekanisme Penyusunan Anggaran Pendapatan

Dan Belanja Daerah (APBD) Berdasarkan

Prinsip Good Financial Governance ... 75 C. Mekanisme Pertanggungjawaban Kepala Daerah

Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan


(16)

D. Analisis Terhadap Pertanggungjawaban Kepala Daerah Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan

Dan Belanja Daerah (APBD) ... 99

BAB IV : HAMBATAN-HAMBATAN YANG DIHADAPI OLEH KEPALA DAERAH DALAM MEMPERTANGGUNGJAWABKAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) ... 109

A. Hambatan Yang Bersifat Politis ... 110

B. Hambatan Materi Peraturan Perundang-undangan ... 114

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 119

A. Kesimpulan ... 119

B. Saran ... 121

DAFTAR PUSTAKA ... 123 LAMPIRAN


(17)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel I : Perbandingan Antara UU No. 22 Tahun 1999

Dengan UU No. 32 Tahun 2004 Berkaitan Dengan


(18)

DAFTAR SKEMA

Halaman Skema I : Proses Penyusunan Strategis dan

Prioritas APBD ... 79 Skema II : Mekanisme Pertanggungjawaban Terhadap


(19)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Dani Sintara.

Tempat / Tanggal Lahir : Tanjung Balai / 21 Mei 1983.

Alamat : Jl. Dwikora No. 87 C Marendal-Medan.

Agama : Islam.

Status Pribadi : Belum Menikah.

Pendidikan : 1. SD Neg. No. 132415 T. Balai : Tahun 1995. 2. SLTP Neg. I T. Balai : Tahun 1998. 3. SMU Neg. I T. Balai : Tahun 2001. 4. Fakultas Hukum UISU : Tahun 2005

Nama Orang Tua Laki-Laki : Darwin. Nama Orang Tua Perempuan : Sri Suatmiati.

Anak Ke : 2 dari 3 bersaudara.

Tahun Masuk Di SPS Ilmu : Tahun 2008. Hukum USU


(20)

ABSTRAK

Dengan dilaksanakannya desentralisasi sebagai suatu asas penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam susunan negara Indonesia maka akan melahirkan wewenang atau kekuasaan dan hak kepada masyarakat didaerah-daerah untuk mengurus sendiri-sendiri urusan yang bersifat khas (spesifik) sebagai urusan/kekuasaan yang menjadi urusan rumah tangga daerahnya tanpa perlu diatur lagi oleh Pemerintah Pusat kecuali yang ditetapkan oleh Undang-Undang sebagai wewenang pemerintah pusat. Salah satu format dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah ditandai dengan adanya pertanggungjawaban kepala daerah terhadap pelaksanaan APBD. Mengingat bahwa laporan keuangan pemerintahan sebagai sarana pertanggungjawaban keuangan pemerintahan yang disampaikan kepada DPRD setiap akhir tahun anggaran adalah salah satu wujud dari sistem pemerintahan demokrasi. Memang harus diakui bahwa pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ditandai dengan adanya pertanggungjawaban kepala daerah kepada DPRD adalah merupakan penyimpangan dari sistem pemerintahan presidensil. Akan tetapi setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah maka kepala daerah tidak lagi bertanggungjawab kepada DPRD, yang pada akhirnya membawa kekaburan terhadap pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan APBD dan kedudukan DPRD sebagai lembaga pengawas.

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan sifat penelitian deskriptif analitis. Dalam melakukan pengumpulan data dilakukan dengan 2 (dua) cara yatu: penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan adalah dengan merujuk pada bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier, sedangkan penelitian lapangan dilakukan melalui wawancara dengan informan serta pengumpulan data yang berkaitan dengan permasalahan. Untuk menganalisis data digunakan pendekatan kualitatif, yaitu dengan menganalisis data secara mendalam dan holistic dan kemudian dilakukan penafsiran. Hasil dari penafsiran yuridis tersebut diharapkan mampu menjawab permasalahan hukum yang diajukan dalam tulisan ini.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pertanggungjawaban kepala daerah terhadap pelaksanaan APBD setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 membawa permasalahan terhadap jalannya pemerintahan daerah, yaitu: pertama, tidak jelasnya fungsi pengawasan DPRD sebagai lembaga pengawas khususnya terhadap pelaksanaan APBD yang dilaksanakan oleh kepala daerah diikuti dengan tidak tertutupnya kemungkinan kepala daerah akan lebih mudah untuk melakukan penyalahgunaan wewenang terhadap pelaksanaan APBD, kedua tidak adanya kontrol terhadap DPRD yang juga menggunakan keuangan yang tertuang


(21)

dalam APBD yang pada gilirannya menghilangkan makna sistem saling mengawasi dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selain itu juga berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada berbagai hambatan bagi kepala daerah dalam mempertanggungjawabkan pelaksanaan APBD, diantaranya yaitu: hambatan yang bersifat politis dan hambatan yang berasal dari materi peraturan perundang-undangan.

Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan diatas, hendaknya pada masa yang akan datang adanya peraturan yang mengatur secara tegas terhadap fungsi pengawasan DPRD khususnya pengawasan terhadap pelaksanaan APBD dan disamping itu juga adanya sebuah peraturan yang berkaitan dengan pertanggungjawaban penggunaan keuangan daerah dimana kepala daerah dan DPRD sama-sama mempertanggungjawabkan penggunaan keuangan oleh masing-masing lembaga, hal ini dilakukan adalah dalam rangka sistem saling mengawasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selanjutnya adalah perlu dibentuk suatu lembaga sebagai pusat peraturan perundang-undangan (law center) agar peraturan perundang-undangan yang ada atau yang akan ada tidak bersifat tumpang tindih.

Kata kunci : Pertanggungjawaban.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintahan daerah.


(22)

ABSTRACT

With the implementation of the decentralization as a principle in the composition of the regional administration of Indonesian state, of course, will give birth to the authority or power to the areas and rights-regions to manage their own affairs that are peculiar (specific) as a business / power to domesticate the region without should be regulated more by the central government except those defined by law as the central government authority. One of the formats in the framework of the regional administration was marked by a regional chief responsibility for budget implementation. Given that the financial statements of government as a means of financial accountability of government submitted to parliament each year end the budget is a manifestation of the democratic system of government. It must be recognized that during the validity of Act No. 22 of 1999 regarding regional governance is no longer the regent responsible to parliament, which eventually brought vagueness of accountability in the implementation of regent budgets and seat parliament as a watchdog agency.

This research is a normative legal research with the analytical nature of descriptive research. In the normal course of data collection was done by two (2) ways, namely: library and field research. The research literature is to refer to primary legal materials, secondary legal materials and legal materials tertiary, while the field research conducted through interviews with informants and gathering of data related to the problem. To analyze the data, a qualitative approach, namely by analyzing the data in depth and holistic and then performed the interpretation. Result of judicial interpretation is expected to answer the legal issues raised in this papper.

Result showed that in responsible regent of realized revenue budget expenditure (APBD) after the entry into force of Law No. 32 Year 2004 brought problems to the of local governance are: first, lack of clarity about legislative oversight function as supervisory institutions, especially the implementation of the budget conducted by the regent, followed by not closing the possibility of regional heads will be easier to make the abuse of authority on budget execution, the second, there is no control of the parliament which also use finance as stipulated in the budget which in turn eliminates the meaning of each system in order to supervise the administration. In addition, based on research result indicate that there are various barriers to the head area in the budget to account for, among others: the obstacles are political and material constraints arising from legislation.

Therefore, to overcome the problems above, should the future existence of strict rules that regulate the function of legislative oversight, particularly monitoring of budget execution and in addition also the existence of a regulation related to the


(23)

utilization of the area where the regental financial and legislative equally accountable for the use of funds by each institution, this is done is in order to watch an inter-regional administration. Next is necessary to from an institution as the center of legislation (Law Center) to legislation that exists or that there will be no overlap.

Key Words: Accountability.

Budget Revenue And Expenditure.


(24)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik, demikian bunyi Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Ini berarti bahwa negara yang bersusunan negara kesatuan, maka segenap kekuasaan/kewenangan serta tanggung jawab pelaksanaan pemerintahan guna mewujudkan kesejahteraan dan kelangsungan hidup bangsa berada dibawah kendali satu pemegang kekuasaan terpusat yang terdapat pada pemerintah pusat. Dengan demikian corak pemerintahan yang demikian cenderung bersifat sentralisasi. Berbeda halnya dengan negara bersusunan serikat (federasi) dimana corak pemerintahannya lebih cenderung bersifat desentralisasi.

Namun demikian, karena wilayah negara Republik Indonesia sedemikian luasnya dan didiami berbagai suku bangsa yang beranekaragam (Bhineka Tunggal Ika) serta diperkaya lagi dengan latar belakang sejarah perjuangan dalam melepaskan diri dari belenggu kekuasaan penjajahan bangsa selama berabad-abad lamanya, menyebabkan corak pemerintahan sentralisasi bukanlah merupakan tipe ideal sistem pemerintahan yang cocok buat mengatur wilayah dan penduduk yang demikian banyak dan beragam itu.

Para pendiri negara (founding fathers) kita menyadari keadaan alamiah yang terdapat dalam masyarakat Indonesia yang sangat beragam tersebut. Dalam


(25)

menyikapi heterogenitas bangsa tersebut maka diaturlah masalah corak pemerintahan di Indonesia berdasarkan sistem pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dengan kelompok-kelompok masyarakat didaerah yang akhirnya menciptakan Pemerintahan Daerah berdasarkan sistem desentralisasi sebagaimana yang tercermin dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945.

Secara Ketatanegaraan pengertian desentralisasi adalah dimaksudkan untuk menggambarkan usaha dalam melepaskan diri dari pusat pemerintahan dengan jalan penyerahan kekuasaan pemerintahan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah tingkat atasan kepada daerah-daerah untuk dapat mengurus kepentingan rumah tangga daerah itu sendiri. Dalam hal ini sudah tentu usaha untuk melepaskan diri dari pusat bukanlah berarti lepas sama sekali dari ikatan negara (apalagi dalam negara Indonesia), melainkan dengan diserahkannya beberapa kekuasaan dari pemerintah pusat kepada daerah-daerah dimaksudkan agar tidak terlalu bergantung sama sekali kepada pusat.1

Dengan dilaksanakannya desentralisasi sebagai suatu asas penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam susunan negara Indonesia maka akan melahirkan wewenang atau kekuasaan dan hak kepada masyarakat didaerah-daerah untuk mengurus sendiri-sendiri urusan yang bersifat khas (spesifik) sebagai urusan/kekuasaan yang menjadi urusan rumah tangga daerahnya tanpa perlu diatur

1

Faisal Akbar Nasution, Dimensi Hukum Dalam Pemerintahan Daerah, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003), hlm. 5.


(26)

lagi oleh Pemerintah Pusat yang pada perkembangan selanjutnya menurunkan pengertian otonomi daerah.

Untuk menyelenggarakan otonomi daerah ini pemerintah pusat menyerahkan kepada masyarakat daerah (pemerintahan daerahnya) sejumlah urusan yang kelak akan menjadi urusan rumah tangganya sendiri dengan mengingat kondisi dan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan dan keamanan, serta faktor-faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah,2 dari daerah yang bersangkutan dalam rangka meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan secara merata diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan diserahkannya sesuatu urusan menjadi urusan rumah tangga daerah, mengandung arti bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan daerah adalah menjadi urusan pemerintahan daerah kecuali yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang sebagai wewenang pemerintah pusat.

Salah satu yang paling esensial dalam isi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah adalah pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah (Presiden) dan pemerintahan daerah. Pemerintahan Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan, kecuali urusan pemerintah yang oleh Undang-Undang ditentukan menjadi urusan pemerintah. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah,

2

Pasal 5 ayat 4 Undang Nomor 22 tahun 1999 Sebagaimana Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.


(27)

pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan otonomi dan tugas pembantuan.3

Sesuai isi Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, urusan pemerintah yang tidak menjadi urusan pemerintahan daerah adalah :

a. Politik luar negeri; b. Pertahanan; c. Keamanan; d. Yustisi;

e. Moneter dan fiskal nasional;dan f. Agama

Berarti bidang-bidang lain diluar 6 (enam) bidang diatas menjadi urusan pemerintahan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi luas dan nyata.

Kemudian untuk mewujudkan dan menyelenggarakan pemerintahan daerah sebagaimana tersebut diatas secara efektif dan efisien tidaklah mudah, karena selain dibutuhkannya lembaga eksekutif daerah tetapi juga keterlibatan lembaga legislatif daerah dan seluruh elemen yang ada dalam masyarakat. Dengan demikian untuk mewujudkan pemerintahan daerah yang baik (good local government) akan sangat ditentukan oleh format lain dan pola hubungan antara lembaga eksekutif daerah dan lembaga legislatif daerah serta seluruh elemen masyarakat.

3

B.N. Marbun, DPRD dan Otonomi Daerah Setelah Amandemen UUD 1945 dan UU Otonomi Daerah 2004, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), hlm. 9.


(28)

Salah satu format dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah ditandai dengan adanya pertanggungjawaban kepala daerah terhadap pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Mengingat bahwa laporan keuangan pemerintahan sebagai sarana pertanggungjawaban keuangan pemerintahan yang disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setiap akhir tahun anggaran adalah salah satu wujud dari sistem pemerintahan demokrasi. Tanpa sarana seperti itu hilanglah arti demokrasi karena pemerintah telah berubah menjadi penguasa yang tidak perlu memberikan pertanggungjawaban keuangan. Hal ini dianggap perlu karena ciri khas dari demokrasi konstitusionil adalah gagasan bahwa pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya, pembatasan-pembatasan atas kekuasaan pemerintah tercantum dalam konstitusi, maka dari itu sering disebut pemerintah berdasarkan konstitusi.

Gagasan bahwa kekuasaan pemerintah perlu dibatasi pernah dirumuskan oleh seorang ahli sejarah Inggris yang bernama Lord Acton, dengan mengingat bahwa pemerintahan selalu diselenggarakan oleh manusia dan bahwa pada manusia itu tanpa kecuali melekat banyak kelemahan. Dalilnya yang kemudian menjadi termashur bunyinya sebagai berikut: ”power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely”, yang berarti bahwa manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung


(29)

untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya.4

Oleh karena itu, dari berbagai ukuran penilaian keberhasilan suatu daerah dalam melaksanakan otonominya, maka yang menjadi pusat perhatian adalah masalah efisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah, khususnya yang terkait dengan masalah keuangan daerah. Keuangan merupakan faktor penting dalam suatu negara, disebabkan pengaruhnya yang demikian menentukan terhadap kompleksitas kelangsungan hidup negara dan masyarakatnya. Pengaruh dari aspek keuangan antara lain juga mencerminkan kualitas kenegaraannya. Apabila keberasaan keuangan negara yang dimiliki semakin baik, maka kedudukan pemerintah dalam menjalankan keorganisasian negara baik dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan dalam melayani kepentingan masyarakatnya maupun dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan untuk mensejahterakan warganya akan semakin stabil. Sebaliknya, suatu pemerintahan dipandang akan menghadapi problema pelik dalam memperlancar pelaksanaan segenap fungsi dan tugas kenegaraan jika tidak didukung oleh kondisi keuangan yang baik pula.5

Menanggapi akan arti pentingnya keuangan dalam mencapai keberhasilan suatu daerah, maka dalam pelaksanaannya harus pula dibarengi dengan pertanggungjawaban sebagai bentuk pengawasan agar tidak terjadinya penyalahgunaan wewenang.

4

Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Jakarta, 1977), hlm. 53.

5

Faisal Akbar Nasution, Pemerintahan Daerah dan Sumber-Sumber Asli Pendapatan Daerah, (Jakarta: PT. Sofmedia, 2009), hlm. 16.


(30)

Kegiatan pengawasan dimaksudkan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan kegagalan yang terjadi setelah perencanaan dibuat dan dilaksanakan. Untuk itulah, pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran perlu dilaksanakan sedini mungkin, agar diperoleh umpan balik (feed back) untuk melaksanakan perbaikan apabila terdapat kekeliruan atau penyimpangan sebelum menjadi lebih buruk dan sulit diperbaiki.

Selanjutnya, Muchsan menyatakan bahwa untuk adanya tindakan pengawasan diperlukan unsur-unsur sebagai berikut:

a. Adanya kewenangan yang jelas yang dimiliki oleh aparat pengawas.

b. Adanya suatu rencana yang mantap sebagai alat penguji terhadap pelaksanaan suatu tugas yang akan diawasi.

c. Tindakan pengawasan dapat dilakukan terhadap suatu proses kegiatan yang sedang berjalan maupun terhadap hasil yang dicapai dari kegiatan tersebut. d. Tindakan pengawasan akan diteruskan dengan tindak lanjut, baik secara

administratif maupun secara yuridis.6

Berkaitan dengan unsur-unsur pengawasan tersebut diatas, maka pengawasan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Pengawasan intern (internal control).

Pengawasan yang dilakukan suatu badan/organ yang secara struktural masih termasuk organisasi dalam lingkungan pemerintah. Misalnya: pengawasan yang dilakukan oleh pejabat atasan terhadap bawahannya secara hierarkis. Bentuk kontrol semacam itu dapat dapat digolongkan sebagai jenis kontrol teknis-administratif atau built-in control.

b. Pengawasan ekstern (eksternal control).

Pengawasan yang dilakukan oleh badan/organ yang secara struktur organisasi berada diluar pemerintah dalam arti eksekutif. Misalnya, kontrol yang dilakukan secara langsung, seperti kontrol keuangan yang dilakukan BPK, kontrol sosial yang dilakukan oleh masyarakat yang berminat pada bidang tertentu, dan kontrol politis yang dilakukan oleh DPR (D) terhadap pemerintah (eksekutif). Kontrol reaktif yang dilakukan secara tidak langsung melalui badan peradilan (judicial control) antara lain peradilan umum dan

6


(31)

peradilan administrasi, maupun badan lain seperti Komisi Ombudsman Nasional.7

Pertanggungjawaban kepala daerah terhadap pelaksanaan APBD tidak semata-mata dimaksudkan sebagai upaya untuk menemukan kelemahan plaksanaan pemerintahan daerah melainkan untuk meningkatkan efisiensi, efektifitas, produktivitas, dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Kalau pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, salah satu bentuk hubungan kewenangan antara badan legislatif daerah dan badan eksekutif daerah adalah ditandai dengan adanya pertanggungjawaban kepala daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, baik itu pertanggungjawaban akhir tahun anggaran, pertanggungjawaban akhir masa jabatan, maupun pertanggungjawaban karena hal tertentu. Akan tetapi setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah maka kepala daerah tidak lagi bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang disebabkan oleh karena dalam hal pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak lagi dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tetapi dipilih secara langsung oleh rakyat.

Memang harus diakui, bahwa pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan APBD kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah merupakan penyimpangan dari sistem pemerintahan presidensil yang salah satu cirinya adalah Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwaklilan Rakyat, namun dengan

7


(32)

tidak bertanggungjawabnya kepala daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah maka pengawasan dalam pelaksanaan APBD akan lebih sulit untuk dilakukan.

Arifin P Soeria Atmadja mengatakan:

Dari segi mekanisme pertanggungjawaban keuangan negara dalam arti luas dijumpai kelemahan sebagai berikut:

a. Tidak jelasnya akhir pertanggungjawaban keuangan negara, mengurangi rasa tanggung jawab pelaksanaan anggaran.

b. Adanya berbagai lembaga pengawas dan tumpang tindih fungsi pengawasan disebabkan oleh tidak jelasnya ruang lingkup pengawasan.

c. Pengawasan yang kurang berdaya guna sebagai akibat tidak jelasnya tindak lanjut, memberikan peluang bagi kebocoran anggaran negara.

d. Pertanggungjawaban keuangan negara yang tidak didukung oleh mekanisme yang jelas mengakibatkan pertanggungjawaban yang tidak jelas pula, dan tidak dapat dipergunakan sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan. e. Usaha koordinasi pengawasan akan tidak berdaya guna bilamana tidak

diletakkan pada mekanisme pertanggungjawaban keuangan negara yang jelas.8

Pendapat diatas seakan-akan menjadi fakta yang tak terbantahkan lagi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, dimana banyaknya kepala daerah yang tidak dapat mempertanggungjawabkan keuangan daerah yang dikelolanya sehingga berakhir dimeja hijau dan sudah tentu membawa akibat kerugian pada keuangan negara/daerah.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, dengan mengingat akan arti pentingnya keuangan daerah yang dituangkan dalam bentuk APBD dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang harus dipertanggungjawabkan oleh kepala daerah, maka penulis tertarik memilih dan menetapkan judul tentang ”Analisis Yuridis Terhadap

8

Arifin P. Soeria Atmadja, Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara, Suatu Tinjauan Yuridis, (Jakarta: PT. Gramedia, 1986), hlm. 7.


(33)

Pertanggungjawaban Kepala Daerah Sebagai Pelaksana APBD Dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Studi Di Pemerintah Kota Tanjung Balai)” untuk diteliti.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang sebagaimana dikemukakan diatas, maka penulis membuat perumusan masalah yang berkenaan dengan pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan APBD, sebagai berikut:

1. Bagaimana pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan APBD diatur dengan Undang-Undang?

2. Bagaimana mekanisme pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan APBD?

3. Hambatan-hambatan apa yang dihadapi oleh kepala daerah dalam mempertanggungjawabkan APBD?

C. Tujuan Penelitian

Sedangkan yang menjadi tujuan penelitian yang penulis lakukan adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan APBD diatur dengan Undang-Undang.


(34)

2. Untuk mengetahui mekanisme pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan APBD.

3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan apa yang dihadapi oleh kepala daerah dalam mempertanggungjawabkan APBD.

D. Manfaat Penelitian

Kegunaan atau manfaat yang dapat diambil dari penelitian yang penulis lakukan ini antara lain adalah sebagai berikut :

1. Secara teoritis.

Hasil penelitian ini akan melahirkan beberapa konsep ilmiah yang pada gilirannya akan memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan pengaruh pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan APBD.

2. Secara praktis.

a. Sebagai pedoman dan masukan bagi Lembaga Hukum, Institusi Pemerintah dan Penegak Hukum dikalangan masyarakat luas.

b. Sebagai bahan informasi bagi semua kalangan yang berkaitan dengan penegakan dan pengembangan ilmu hukum.

c. Sebagai bahan kajian bagi kalangan akademis untuk menambah wawasan dalam bidang ilmu hukum, khsususnya yang berkaitan dengan pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan APBD.


(35)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pengamatan serta penelusuran kepustakaan yang dilakukan, penelitian yang mengangkat judul tentang “Analisis Yuridis Terhadap Pertanggungjawaban Kepala Daerah Sebagai Pelaksana APBD Dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Studi Di Pemerintah Kota Tanjung Balai)” ini belum pernah dilakukan baik dalam judul maupun permasalahan yang sama. Sehingga penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian yang baru dan keasliannya dapat saya pertanggungjawabkan, karena dilakukan dengan nuansa keilmuan, kejujuran, rasional, objektif dan terbuka serta dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan akademis.

Adapun beberapa judul penelitian yang mendekati yang pernah dilakukan sebelumnya dengan penelitian yang penulis lakukan adalah:

1. Tesis Saudari Alida dengan judul : “Akuntabilitas Kinerja Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Setelah Keluarnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah (Studi Kasus Pemerintah Kota Medan)”.

2. Proposal Saudara Rijaluddin dengan judul : “ Analisis Yuridis Fungsi Pengawasan Terhadap Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Kabupaten Oleh Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Dalam Pelaksanaan Otonomi Khusus (Studi di DPRK Gayo Lues)”.


(36)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori.

a. Teori Kedaulatan Rakyat.

Dalam teori ini terdapat 2 (dua) istilah yang terlebih dahulu harus dipahami maknanya, yakni: kedaulatan dan rakyat. Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang berlaku bagi seluruh wilayah dan rakyat negara tertentu. Sedangkan rakyat suatu negara adalah semua orang yang berada didalam wilayah negara dan tunduk kepada kekuasan negara.9

Teori kedaulatan rakyat muncul pada zaman Renaissance yang mendasarkan hukum pada akal dan rasio. Dasar ini pada abad ke-18 Jeans Jacque Rousseau memperkenalkan teorinya, bahwa dasar terjadinya suatu negara adalah ”perjanjian masyarakat” (contract social) yang diadakan oleh dan antara anggota masyarakat untuk mendirikan suatu negara. Adapun teori Jeans Jacque Rousseau tersebut dikemukakannya dalam bukum karangannya yang berjudul Le Contract Social. Teori ini menjadi dasar faham kedaulatan rakyat yang mengajarkan bahwa negara berstandar atas kemauan rakyat, demikian pula halnya semua peraturan-peraturan adalah penjelmaan kemauan rakyat tersebut.10

Demokrasi sebagai asas yang dipergunakan dalam kehidupan ketatanegaraan dewasa ini banyak dianut oleh negara-negara didunia, yakni suatu negara dengan sistem pemerintahan yang bersumber pada kedaulatan rakyat.

9

Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991), hlm. 109.

10


(37)

Menurut paham kedaulatan rakyat, rakyat memerintah dan mengatur diri mereka sendiri (demokrasi). Hanya rakyat yang berhak mengatur dan menentukan pembatasan-pembatasan terhadap diri mereka sendiri. Oleh sebab itu dalam penyelenggaraan negara modern, keikutsertaan rakyat mengatur dilakukan melalui badan perwakilan yang menjalankan fungsi membuat undang-undang.11

Hubungan antara rakyat dan kekuasaan negara sehari-hari lazimnya berkembang atas dasar dua teori, yaitu teori demokrasi langsung (direct democracy) dimana kedaulatan rakyat dapat dilakukan secara langsung dalam arti rakyat sendirilah yang melaksanakan kekuasaan tertinggi yang dimilikinya, serta teori demokrasi tidak langsung (representative democracy). Dizaman modern sekarang ini dengan kompleksitas permasalahan yang dihadapi, maka ajaran demokrasi perwakilan menjadi lebih populer. Biasanya pelaksanaan kedaulatan ini disebut sebagai lembaga perwakilan.12

Realitas tersebut menunjukkan bahwa ciri khas dari paham demokrasi (kedaulatan rakyat) adalah adanya pemerintahan yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warganya, karena kekuasaan itu cenderung disalahgunakan disebabkan karena pada manusia itu terdapat banyak kelemahan dan jika hendak mendirikan negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka negara kita harus berdasar atas aliran pikiran (staats idee) negara yang integralistik, negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongan dalam lapangan apapun.

11

Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, (Jakarta: Hill. Co, 1992), hlm. 41.

12

Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya Di Indonesia, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hlm. 70.


(38)

Seiring dengan itu, negara Indonesia juga menganut paham kedaulatan rakyat. Pemilik kekuasaan tertinggi yang sesungguhnya dalam negara Indonesia adalah rakyat. Kekuasaan itu harus disadari berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam sistem konstitusional berdasarkan Undang-Undang Dasar, pelaksanaan kedaulatan rakyat disalurkan dan diselenggarakan menurut prosedur konstitusional yang ditetapkan dalam hukum dan konstitusi (constitusional democracy).

Demokrasi tidak boleh hanya dijadikan hiasan bibir dan bahan retorika belaka. Demokrasi juga bukan hanya menyangkut pelembagaan gagasan-gagasan luhur tentang kehidupan bernegara yang ideal, melainkan juga merupakan persoalan tradisi dan budaya politik dan egaliter dalam realitas pergaulan hidup yang berkeragaman atau plural, dengan saling menghargai perbedaan satu sama lain. Oleh karena itu, perwujudan demokrasi haruslah diatur berdasar atas hukum. Perwujudan gagasan demokrasi memerlukan instrumen hukum, efektifitas dan keteladanan kepemimpinan, dukungan sistem pendidikan masyarakat, serta basis kesejahteraan sosial ekonomi yang berkembang makin merata dan berkeadilan.13

Karena itu, prinsip kedaulatan rakyat (democracy) dan kedaulatan hukum (nomocracy) hendaklah diselenggarakan secara beriringan sebagai dua sisi dari mata uang yang sama. Untuk itulah, maka Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia hendaklah menganut pengertian bahwa Negara Republik

13

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hlm. 56.


(39)

Indonesia itu adalah negara hukum yang demokratis dan sekaligus negara demokratis yang berdasar atas hukum yang tidak terpisahkan satu sama lain. Keduanya juga merupakan perwujudan nyata dari keyakinan segenap bangsa Indonesia akan prinsip ke Maha-Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa.14

Implementasinya dalam ketatanegaraan Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 telah menegaskan sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia, yang pada hakekatnya menunjukkan mekanisme penyelenggaraan Negara Republik Indonesia sebagaimana dirumuskan dalam penjelasan umum, yakni:

1. Indonesia adalah negara berdasar atas hukum.

2. Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi, tidak bersifat absolutisme. 3. Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut

Undang-Undang Dasar.

4. Presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara.

5. Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

6. Menteri negara adalah pembantu Presiden, Menteri Negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

7. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.

Sendi demokrasi tersebut tidak hanya terdapat pada pemerintah pusat, tetapi juga harus direalisir dalam susunan pemerintahan daerah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, yang menganut prinsip bahwa satuan pemerintahan tingkat daerah penyelenggaraannya dilakukan dengan memandang dan mengingat dasar dalam sistem pemerintahan negara. Prinsip ini

14


(40)

menghendaki perwujudan keikutsertaan masyarakat baik dalam ikut merumuskan kebijakan maupun mengawasi penyelenggaraan pemerintahan daerah.15

b. Teori desentralisasi.

Istilah desentralisasi berasal dari bahasa latin yaitu kata ”de” yang berarti lepas dan ”centrum” artinya pusat. Desentralisasi merupakan lawan kata dari sentralisasi sebab kata ”de” maksudnya untuk menolak kata sebelumnya. Jadi menurut istilah katanya desentralisasi adalah melepaskan dari pusat.16

Secara yuridis pengertian desentralisasi dapat diperhatikan dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang berarti bahwa penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Inti dari desentralisasi pemerintahan daerah ini adalah bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD. Dengan demikian pemerintahan daerah propinsi, kabupaten dan kota dapat mengatur dan mengurus sendiri pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang

15

Bagir Manan, Perjalanan Historis Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, Perumusan dan Undang-Undang Pelaksanaannya, (Karawang: UNSIKA, 1993), hlm. 47.

16

Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, Hukum Pemerintahan Daerah, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005), hlm. 89.


(41)

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Sedangkan istilah otonomi secara etimologi berasal dari bahasa latin yakni kata ”autonomos atau autonomia” yang terdiri dari 2 (dua) kata, ”auto” yang berarti sendiri dan ”nomos” yang berarti aturan. Maka secara etimologi otonomi berarti mengatur sendiri.17 Secara Harfiah, Logeman memberikan pengertian lebih bebas sebagai ”kebebasan” atau ”kemandirian” tetapi bukan ”kemerdekaan”.18 Hal yang sama dengan pendapat tersebut dikemukakan oleh J. Wajong yang memberikan pengertian otonomi daerah sebagai kebebasan untuk memelihara dan memajukan kepentingan khusus daerah dengan keuangan sendiri, menentukan hukum sendiri dan pemerintahan sendiri.19

Sedangkan pengertian otonomi daerah secara yuridis dapat diperhatikan dalam ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa otonomi daerah adalah: hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Kata mengatur dan mengurus sebagaimana pengertian diatas maksudnya adalah fungsi mengurus yang ditujukan kepada badan eksekutif daerah adalah

17

Hasim Purba, Nurlisa Ginting dan Afrizon Alwi, Hubungan Pemerintah Provinsi Dengan Kabupaten/Kota, Perspektif Otonomi Daerah, (Medan: Kemitraan, 2004), hlm. 4.

18

Ibid, hlm. 5.

19


(42)

kepala daerah dan perangkat daerah otonom sesuai dengan hak dan kewajibannya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kepala daerah untuk melaksanakan peraturan daerah dan atas kuasa peraturan perundang-undangan, dapat menetapkan peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala daerah. Kemudian maksud dari fungsi mengatur adalah ditujukan kepada badan legislatif daerah yakni Dewan DPRD. Oleh karena itu DPRD pada masing-masing daerah provinsi, kabupaten dan kota dapat membuat peraturan daerah yang berlaku bagi masing-masing daerahnya.20

Konsep desentralisasi dan tugas pembantuan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, apabila dikaji dari sudut peraturan perundang-undangan didaerah-daerah dalam suatu negara kesatuan, mengenai penyerahan wewenang, pelimpahan (delegasi) atau penugasan wewenang perundang-undangan dalam arti luas, maka terdapat hal-hal sebagai berikut:

1. Penyerahan wewenang perundang-undangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sehingga pemerintah daerah dapat membuat peraturan daerah atas inisiatif dan menurut kebijaksanaannya sendiri (otonomi). 2. Pelimpahan (delegasi) wewenang perundang-undangan dari pemerintah

pusat kepada pemerintah daerah, sehingga pemerintah daerah dapat membuat peraturan daerah menurut garis kebijaksanaan dari pemerintah pusat (tugas pembantuan).21

De Guzman dan Taples dalam Tjahja Supriatna menyebutkan unsur-unsur pemerintahan daerah yaitu:

1. Pemerintahan daerah adalah subdivisi politik dari kedaulatan bangsa dan negara.

20

Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, op.cit, hlm. 91.

21


(43)

2. Pemerintahan daerah diatur oleh hukum.

3. Pemerintahan daerah mempunyai badan pemerintahan yang dipilih oleh penduduk setempat.

4. Pemerintahan daerah menyelenggarakan kegiatan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

5. Pemerintahan daerah memberikan pelayanan dalam wilayah jurisdiksinya.22

Dengan merujuk uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah berhubungan dengan pemerintahan daerah otonom (self local-government). Pemerintahan daerah otonom adalah pemerintahan daerah yang badan pemerintahannya dipilih oleh penduduk setempat dan memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusannya sendiri berdasarkan peraturan perundang-undangan dan tetap mengakui supremasi dan kedaulatan nasional. Oleh karena itu, hubungan pemerintahan daerah yang satu dengan pemerintahan daerah lainnya tidak bersifat hierarkis akan tetapi sebagai sesama badan publik. Demikian pula hubungan antara pemerintahan daerah dengan pemerintah pusat merupakan hubungan antar organisasi, namun keberadaannya sub-ordinat dan dependent terhadap pemerintah pusat.23

The Liang Gie menjelaskan isi dan luas rumah tangga dapat dilihat dalam 3 (tiga) bentuk:24

1. Rumah tangga materiil (materiele huishoudingsbegrip).

22

Tjahja Supriatna, Sistem Administrasi Pemerintahan Di Daerah, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hlm. 215.

23

Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2007), hlm. 26.

24

The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah Di Negara Republik Indonesia, (Jakarta: Gunung Agung, 1958), hlm. 30


(44)

Pembagian kewenangan secara terperinci antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang diatur dalam undang-undang pembentukannya. Misalnya, kewenangan tersebut terdiri atas urusan a, b, c, d, dan seterusnya. Kewenangan-kewenangan tersebut lalu dibagi secara tegas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, contoh: kewenangan untuk mengurus a dan b merupakan kewenangan pemerintah pusat, sedangkan kewenangan untuk mengurus c dan d merupakan kewenangan pemerintahan daerah.

2. Rumah tangga formal (formale houshoudingsbegrip).

Pembagian tugas antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dilakukan atas dasar pertimbangan rasional dan praktis. Disini tidak ada perbedaan yang tegas antara apa yang menjadi kewenangan pusat dan daerah. Daerah diserahi urusan-urusan tertentu oleh pusat bukan karena secara materil urusan-urusan tersebut harus diserahkan tetapi karena diyakini urusan-urusan tersebut akan lebih efektif dan efisien apabila diselenggarakan pemerintah daerah. Jadi, urusan-urusan rumah tangga tidak diperinci secara normatif dalam undang-undang pembentukannya tetapi ditentukan dalam rumusan umum. Rumusan umum ini hanya mengandung prinsip-prinsip saja, sedangkan pengaturan selanjutnya diserahkan kepada prakarsa daerah yang bersangkutan. Lalu bagaimana menentukan urusan pusat dan urusan daerah? Masalah ini diserahkan sepenuhnya kepada prakarsa dan inisiatif daerah. Disini pemerintah daerah memiliki keleluasaan gerak (vrije taak) untuk


(45)

mengambil inisiatif, memilih alternatif, dan mengambil keputusan disegala bidang yang menyangkut kepentingan daerahnya. Namun semuanya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Rumah tangga riil (reel huishoudingsbegrip).

Ajaran ini merupakan jalan tengah antara ajaran rumah tangga materiil dan rumah tangga formal. Rumah tangga materiil berangkat dari konsepsi bahwa pelimpahan wewenang kepada daerah harus didasarkan kepada faktor-faktor riil didaerah, seperti kemampuan daerah, potensi alam, dan keadaan penduduk. Dalam ajaran ini dikenal adanya kebijakan pemberian urusan pokok dan urusan tambahan, maksudnya pada saat pembentukannya undang-undang yang mengaturnya telah mencantumkan beberapa urusan rumah tangga yang merupakan urusan pokok sebagai modal awal disertai segala atribut, wewenang, personal, perlengkapan, dan pembiayaan. Sejalan dengan kemampuan dan kesanggupan serta perkembangan daerah yang bersangkutan, secara bertahap urusan-urusan tersebut dapat ditambah.

Konsep desentralisasi secara umum dapat dikategorikan kedalam 2 (dua) perspektif utama, yakni perspektif desentralisasi politik dan desentralisasi administrasi. Satu diantara perbedaan mendasar dari dua perspektif ini terletak pada rumusan defenisi desentralisasi itu sendiri. Perspektif desentralisasi politik mendefenisikan desentralisasi sebagai devolusi kekuasaan (devolution of power) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sementara perspektif


(46)

desentralisasi administrasi mendefenisikan desentralisasi sebagai delegasi wewenang administratif (administrative authority) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Adanya perbedaan antara 2 (dua) perspektif dalam mendefenisikan desentralisasi telah memiliki implikasi pada perbedaan dalam merumuskan tujuan utama yang hendak dicapai. Perspektif desentralisasi politik menekankan bahwa tujuan utama dari desentralisasi adalah untuk mewujudkan demokratisasi ditingkat lokal sebagai persamaan politik, akuntabilitas lokal, dan kepekaan lokal. Disisi lain, perspektif desentralisasi administrasi lebih menekankan pada asfek efisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan ekonomi didaerah, sebagai tujuan utama dari desentralisasi.25

Dari pengertian diatas, desentralisasi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1. Penyerahan wewenang untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan

tertentu dari pemerintah pusat kepada daerah otonom.

2. Fungsi yang diserahkan dapat dirinci atau merupakan fungsi yang tersisa (residual functions).

3. Penerima wewenang adalah daerah otonom.

4. Penyerahan wewenang berarti wewenang untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan; wewenang mengatur dan mengurus kepentingan yang bersifat lokal.

5. Wewenang mengatur adalah wewenang untuk menetapkan norma hukum yang berlaku umum dan bersifat abstrak.

6. Wewenang mengurus adalah wewenang untuk menetapkan norma hukum yang bersifat individual dan konkrit.

7. Keberadaan daerah otonom adalah diluar hierarki organisasi pemerintah pusat.

8. Menunjukkan pola hubungan antar organisasi.

9. Menciptakan political variety dan diversity of structure dalam system politik.26

25

Lili Romli, Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat Ditingkat Lokal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 5.

26


(47)

Kemudian dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam konsep otonomi daerah, maka keberhasilan dalam penyelenggaraan otonomi daerah tersebut tidak dapat dilepaskan dari kemampuan daerah dalam bidang keuangan yang dalam hal ini dapat dikatakan sebagai automoney, karena faktor keuangan adalah merupakan salah satu indicator penting guna mengukur tingkat otonomi suatu daerah.27

Hal tersebut mudah dipahami karena salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya adalah kemampuan self-supporting dalam bidang keuangan. Dengan perkataan lain, faktor keuangan merupakan facktor essensial dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Ini berarti, dalam penyelenggaraan urusan rumah tangganya daerah membutuhkan dana atau uang, karena adalah mustahil bagi daerah-daerah untuk dapat menjalankan berbagai tugas dan pekerjaannya dengan efektif dan efisien serta dapat melaksanakan pelayanan dan pembangunan bagi masyarakat tanpa tersedianya dana untuk itu.28

Sehubungan dengan pentingnya posisi keuangan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, S. Pamudji mengatakan:

Pemerintah daerah tidak akan dapat melaksanakan fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa biaya yang cukup untuk memberikan biaya pelayanan dan pembangunan dan keuangan adalah merupakan salah satu yang menjadi dasar

27

Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah Di Negara Republik Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 283.

28


(48)

criteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri.29

Dari pendapat diatas bahwa untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri daerah membutuhkan biaya atau uang. Tanpa adanya biaya yang cukup, maka bukan saja tidak mungkin bagi daerah untuk dapat menyelenggarakan tugas dan kewajiban serta kewenangan yang ada padanya dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya, tetapi juga cirri pokok dan mendasar dari suatu daerah otonom menjadi hilang.

c. Teori pertanggungjawaban keuangan daerah.

Pertanggungjawaban berarti sesuatu yang dipertanggungjawabkan. Istilah pertanggungjawaban berasal dari kata tanggungjawab. Dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah ”responsibility” dan istilah ”liability”. Kedua istilah ini menurut Pinto mempunyai pengertian yang berbeda, yaitu:

Istilah responsibility ditujukan bagi adanya indikator penentu atas lahirnya suatu tanggungjawab, yakni suatu standard yang telah ditentukan terlebih dahulu dalam suatu kewajiban yang harus ditaati, serta saat lahirnya tanggungjawab itu. Sedangkan istilah liability lebih menunjuk kepada akibat yang timbul dari akibat kegagalan untuk memenuhi standard tersebut, dan bentuk tanggungjawab diwujudkan dalam bentuk ganti kerugian dan pemulihan sebagai akibat dari terjadinya kerusakan atau kerugian. Perbedaan antara istilah responsibility dengan liability juga dapat dilihat: Istilah responsibility menunjukkan suatu standard perilaku dan kegagalan memenuhi standard itu, sedangkan terminologi liability lebih menunjukkan kepada kerusakan atau kerugian yang timbul sebagai akibat kegagalan didalam memenuhi standard dimaksud, termasuk pula dalam hal ini untuk pemenuhan ganti rugi dan atau pemulihan.30

29

S. Pamudji, Pembinaan Perkotaan Di Indonesia, (Jakarta: Ichtiar, 1980), hlm. 61.

30


(49)

Atas dasar uraian tersebut diatas, maka tanggungjawab mempunyai 2 (dua) arti. Pertama, yaitu tanggungjawab dalam arti responsibility terhadap tanggungjawab dalam artian ini maka tanggungjawab dititik beratkan pada pemenuhan kewajiban oleh penerima tanggungjawab untuk memenuhi aturan-aturan standard yang telah ditentukan. Kedua, tanggungjawab dalam arti liability, tanggungjawab dalam artian ini dititik beratkan pada kewajiban untuk mempertanggungjawabkan kerugian yang diakibatkan dari tidak terpenuhinya aturan-aturan standard yang telah ditentukan.31

Sedangkan Prajudi Atmosudirjo mengatakan:

Tanggungjawab dan pertanggungjawaban dapat dibedakan dalam 3 (tiga) batasan, yaitu: responsibility, accountability dan liability. Tanggungjawab dalam arti responsibility adalah tanggungjawab yang berlaku antara bawahan dan atasan. Liability menunjukkan tanggungjawab hukum atau tanggungjawab gugat, seperti halnya penyelesaian perkara melalui pengadilan (hukum), sedangkan tanggungjawab accountability adalah pertanggungjawaban yang dibuat oleh mereka yang menerima kuasa atau mendapat kewenangan yang diterima digunakan untuk kebaikan (kesejahteraan) mereka yang memberi kuasa (rakyat).32

Atas dasar pengertian akuntabilitas diatas, maka istilah akuntabilitas lebih luas pengertiannya dari istilah responsibility dan liability. Hal tersebut dikarenakan akuntabilitas tidak hanya dititik beratkan pada pemenuhan kewajiban oleh penerima tanggungjawab untuk memenuhi aturan-aturan standard yang telah ditentukan (responsibility), dan juga tidak hanya dititik beratkan pada

31

Ibid.

32

Prajudi Atmosudirjo, Beberapa Pandangan Umum Pengambilan Keputusan, Decision making, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987), hlm. 281.


(50)

pertanggungjawaban atas kerugian yang diakibatkan dari tidak terpenuhinya aturan-aturan standard yang telah ditentukan (liability), melainkan suatu bentuk pertanggungjawaban secara keseluruhan yang meliputi responsibility, liability dan ditambah dengan suatu kewajiban untuk membuktikan manajemen, pengendalian, kinerja yang baik, yang harus dilakukan oleh pengemban tanggungjawab tersebut. Kemudian apabila dikaitkan dengan pertanggungjawaban kepala daerah dalam melaksanakan tugasnya, maka menurut ketentuan bunyi Pasal 17 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2001 Tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan, dinyatakan bahwa: ”Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) memuat asfek pembiayaan, sarana dan prasarana, dan sumber daya manusia berdasarkan peraturan perundang-undangan”.

Ketentuan tersebut diatas menurut Yudha Bhakti Ardhiwisastra bahwa pada penafsiran peraturan perundang-undangan selalu harus diingat hubungannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam hal ini dapat dikaji dalam arti luas dan dalam arti sempit, maka ada 3 (tiga) ketentuan, yaitu:

1. Berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam arti luas hubungannya dengan pertanggungjawaban kepala daerah yang menyangkut kriminal (kejahatan dan pelanggaran jabatan) dalam rangka tugas pembantuan dapat dipidana, misalnya UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2. Berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam arti luas hubungannya dengan pertanggungjawaban kepala daerah yang merugikan masyarakat (onrechtmatige overheidsdaad), maka pemerintah daerah atau pemerintah pusat harus mengganti kerugian tersebut.

3. Berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam arti sempit hanya menurut ketentuan dalam penyelenggaraan tugas pembantuan, yaitu: pemberhentian tugas pembantuan dapat dilakukan apabila.


(51)

a. Dalam pelaksanaannya terdapat perubahan kebijaksanaan baru dari pemerintah, propinsi dan kabupaten

b. Berdasarkan hasil penilaian, evaluasi dan pembinaan dari pemberi tugas pembantuan bahwa penerima tugas pembantuan tidak mampu menyelenggarakan tugas pembantuan.

c. Penyelenggaraan tidak sesuai dengan rencana/program yang telah ditetapkan oleh pemberi tugas pembantuan.

d. Pelaksanaan tugas pembantuan telah selesai.33

Dengan demikian, apabila dikaitkan dengan akuntabilitas publik pengelolaan keuangan daerah yang merupakan sebuah pertanggungjawaban administrasi dan politik, maka pertanggungjawaban kepala daerah dalam pengelolaan keuangan daerah, dapat dikatakan bahwa tujuan umumnya adalah:

1. Untuk memberikan informasi yang digunakan dalam pembuatan keputusan ekonomi, sosial dan politik serta sebagai bukti pertanggungjawaban (accountability) dan pengelolaan (stewardship).

2. Untuk memberikan informasi yang digunakan dalam mengevaluasi kinerja manajerial dan organisasional.34

Secara khusus, tujuan pertanggungjawaban keuangan daerah oleh kepala daerah adalah sebagai berikut:

1. Memberikan informasi keuangan guna menentukan dan memprediksi aliran kas, saldo neraca, dan kebutuhan sumber daya finansial jangka pendek unit pemerintah.

2. Memberikan informasi keuangan untuk menentukan dan memprediksi kondisi ekonomi suatu unit pemerintahan dan perubahan-perubahan yang terjadi didalamnya.

3. Memberikan informasi keuangan untuk memonitor kinerja, kesesuaiannya dengan peraturan perundang-undangan, kontrak yang telah disepakati, dan ketentuan lain yang disyaratkan.

33

Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, (bandung: Alumni, 2000), hlm. 128.

34

Soekarwo, Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah Berdasarkan Prinsip-Prinsip Good Financial Governance, (Surabaya: Airlangga University Press, 2005), hlm. 243.


(52)

4. Memberikan informasi untuk perencanaan dan penganggaran, serta untuk memprediksi pengaruh pemilikan dan pembelanjaan sumber daya ekonomi terhadap pencapaian tujuan operasional.

5. Memberikan informasi untuk mengevaluasi kinerja manajerial dan organisasional.35

2. Kerangka konsepsi.

Atas dasar kerangka teori yang dipaparkan diatas, maka dapat diartikan terhadap istikah-istilah yang terdapat dalam penelitian ini, yaitu:

Pertanggungjawaban kepala daerah adalah Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD yang selanjutnya disebut LKPJ adalah laporan yang berupa informasi penyelenggaraan pemerintahan daerah selama 1 (satu) tahun anggaran atau akhir masa jabatan yang disampaikan oleh kepala daerah kepada DPRD (Pasal 1 angka 9 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat).

Sedangkan yang dimaksud dengan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada Pemerintah yang selanjutnya disebut LPPD adalah laporan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah selama 1 (satu) tahun anggaran berdasarkan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) yang disampaikan oleh kepala daerah kepada Pemerintah (Pasal 1 angka 8 Peraturan Pemerintahn Nomor 3 Tahun 2007

35


(53)

Tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat).

APBD dapat diartikan sebagai rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah (Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah).

Penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah).

Sedangkan yang dimaksud dengan pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah (Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah).

Adapun yang menjadi asas-asas dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana dimaksud diatas adalah sebagai berikut:


(54)

Adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah).

2. Asas dekonsentrasi.

Adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan / atau kepada instansi vertikal diwilayah tertentu (Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah).

3. Tugas pembantuan.

Adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu (Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah).

G. Metode Penelitian

Metode penelitian berisi uraian tentang metode atau cara yang penulis gunakan untuk memperoleh data atau informasi. Metode penelitian berfungsi sebagai pedoman dan landasan tata cara dalam melakukan operasional penelitian untuk menulis suatu karya ilmiah yang penulis lakukan. Sesuai dengan permasalahan yang diangkat dan


(55)

untuk menjawab tujuan penelitian, maka dalam metode penelitian ini langkah-langkah yang dipergunakan sebagai berikut:

1. Spesifikasi Penelitian.

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif, penelitian hukum normatif menurut Ronald Dworkin disebut juga penelitian doctrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisi baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagai law as it by the judge through judicial process.

Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis,36 artinya bahwa penelitian ini menggambarkan bagaimana suatu ketentuan hukum dalam konteks teori-teori hukum yang dalam pemaparannya menggambarkan tentang berbagai persoalan yang berkaitan dengan pertanggungjawaban Kepala Daerah dalam pelaksanaan APBD. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis empiris, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara melakukan penelaahan terhadap bahan-bahan hukum yang bersumber dari data primer dan data sekunder.

2. Alat Pengumpul Data.

Dalam melakukan pengumpulan data, dilakukan 2 (dua) cara yaitu :

a. Penelitian kepustakaan (library research) dengan instrument penelitian dokumentasi kepustakaan, artinya bahwa Penulis dalam mengkaji persoalan yang berhubungan dengan permasalahan diatas bersumber pada

36

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 12.


(56)

literatur yang relevan dengan permasalahan tersebut dengan sumber hukum primer yang berasal dari peraturan perundang-undangan.

Selain sumber hukum primer tersebut Penulis juga akan merujuk pada sumber hukum sekunder berupa tulisan-tulisan, baik dalam bentuk buku maupun artikel yang mengandung komentar maupun analisis tentang pertanggungjawaban kepala daerah terhadap pelaksanaan Anggaran Pengdapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan disamping itu juga Penulis menggunakan sumber hukum tertier seperti ensiklopedi, kamus, dan lain-lain yang relevan dengan pokok permasalahan sebagai pendukung terhadap 2 (dua) rujukan yang elah disebutkan sebelumnya.

b. Penelitian lapangan (field research). Penelitian lapangan dilakukan guna memperoleh data primer tentang esensi pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan APBD. Data ini diperoleh melalui wawancara dengan informan yang merupakan informan yang terkait dengan penelitian, seperti: 1. Panitia Anggaran Pemerintah Kota Tanjung Balai.

2. Panitia Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Tanjung Balai.

3. Analisis Data.

Untuk menganalisis data digunakan pendekatan kualitatif, yaitu dengan menganalisis data secara mendalam dan holistic dan kemudian dilakukan penafsiran. Data dalam penelitian ini dikumpulkan penelitian kepustakaan


(57)

(library research) dan penelitian lapangan (field research). Secara umum data dari pokok bahasan diawali dengan pengecekan data, inventarisasi buku-buku, peraturan perundang-undangan serta hasil dari penelitian lapangan.

Berdasarkan analisis terhadap pokok bahasan tersebut diatas, maka dapat dilakukan interpretasi dengan menggunakan metode interpretasi yang dikenal dalam ilmu hukum. Hasil dari interpretasi yuridis ini diharapkan mampu menjawab permasalahan hukum yang diajukan dalam tulisan ini secara holistic.


(58)

BAB II

PERTANGGUNGJAWABAN KEPALA DAERAH DALAM PELAKSANAAN APBD DIATUR DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Semenjak lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1945, prinsip penyelenggaraan otonomi daerah telah menjiwai ketatanegaraan Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan:

1. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.

2. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan daerah kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

3. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.

4. Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.

5. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.

6. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

7. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.

Berdasarkan ketentuan tersebut, menunjukkan adanya perhatian yang sangat besar dari para founding fathers terhadap bentuk dan susunan pemerintahan daerah sebagaimana yang tertuang dalam amanat konstitusi, termasuk lembaga legislatif daerah dan lembaga eksekutif daerah yang dipandang sangat penting dalam


(1)

daerah, dimana kepala daerah dan DPRD sama-sama mempertanggungjawabkan penggunaan keuangan oleh masing-masing lembaga, hal ini dilakukan adalah dalam rangka check and balance system mengingat kepala daerah dan DPRD adalah merupakan mitra yang sersifat sejajar dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah.

3. Perlu dibentuk suatu lembaga atau sejenisnya yang berfungsi sebagai pusat peraturan undangan, maksudnya adalah peraturan perundang-undangan yang ada atau yang akan ada tidak bersifat tambal sulam atau tumpang tindih, mengingat tumpang tindihnya peraturan perundang-undangan akan membawa dampak hambatan prosedural dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, khususnya yang berkaitan dengan pertanggungjawaban kepala daerah terhadap pelaksanaan APBD.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku :

Abdul Gaffar Karim, Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah Di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).

Abdurrahman, Beberapa Pemikiran Tentang Otonomi Daerah, (Jakarta: PT. Media Sarana Press).

Ahmad Yani, Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafndo Persada, 2008).

Akbar Tandjung, Moratorium Politik Menuju Rekonsiliasi Nasional, (Jakarta: Golkar Press, 2003).

Arifin P. Soeria Atmadja, Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara, Suatu Tinjauan Yuridis, (Jakarta: PT. Gramedia, 1986).

Ateng Syafrudin, Kapita Selekta Hakikat Otonomi dan Desentralisasi Dalam Pembangunan Daerah, (Yogyakarta: Citra Media, 2006).

Bagir Manan, Perjalanan Historis Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, Perumusan dan Undang-Undang Pelaksanaannya, (Karawang, UNSIKA, 1993).

---, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, (Jakarta: Hill. Co, 1992). B.N. Marbun, DPRD dan Otonomi Daerah Setelah Amandemen UUD 1945 dan UU

Otonomi Daerah 2004, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005).

Dahlan Thaib Dkk, Teori Dan Hukum Konstitusi,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003).

Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, Konsep Panduan Perencanaan Anggaran Daerah, (Jakarta: Direktorat Jenderal Otonomi Daerah, 2001). Faisal Akbar Nasution, Pemerintahan Daerah dan Sumber-Sumber Asli Pendapatan


(3)

---, Dimensi Hukum Dalam Pemerintahan Daerah, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003).

Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2007).

Hasim Purba, Nurlisa Ginting dan Afrizon Alwi, Hubungan Pemerintah Provinsi Dengan Kabupaten/Kota, Perspektif Otonomi Daerah, (Medan: Kemitraan, 2004).

HAW. Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008).

---, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004).

H.M. Laica Marzuki, Berjalan-Jalan Diranah Hukum, Pikiran-Pikiran Lepas, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006).

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004).

---, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya Di Indonesia, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994).

J. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002).

Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah Di Negara Republik Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007).

Jurnal Otonomi Daerah (Vol.VII No.2 Juni-Juli 2007).

Lili Romli, Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat Ditingkat Lokal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007).

Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, (Yogyakarta: Andi, 2002).


(4)

M. Solly Lubis, Modul Kuliah Politik Hukum, (Medan: Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, 2003).

Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern, (Jakarta: PT. Refika Aditama, 2009). Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, Hukum Pemerintahan Daerah, (Bandung:

Pustaka Bani Quraisy, 2005).

Prajudi Atmosudirjo, Beberapa Pandangan Umum Pengambilan Keputusan, Decision making, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987).

Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1982). Sadu Wasistiono dan Ondo Riyani, Etika Hubungan Legislatif-Eksekutif Dalam

Pelaksanaan Otonomi Daerah, (Bandung: Fokusmedia, 2003).

Saiful Anwar dan Marzuki Lubis, Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, (Medan: Gelora Madani Press, 2004).

Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, (Jakarta: Buku Kompas, 2008). ---, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Buku Kompas, 2003). Soekarwo, Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah Berdasarkan Prinsip-Prinsip

Good Financial Governance, (Surabaya: Airlangga University Press, 2005). Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

1995).

S. Pamudji, Pembinaan Perkotaan Di Indonesia, (Jakarta: Ichtiar, 1980). Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991).

The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah Di Negara Republik Indonesia, (Jakarta: Gunung Agung, 1958).

Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2006).

Tjahja Supriatna, Sistem Administrasi Pemerintahan Di Daerah, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993).


(5)

Wahyudi Kumorotomo dan Erwan Agus Purwanto, Anggaran Berbasis Kinerja, Konsep dan Aplikasinya, (Yogyakarta: Magister Universitas Gadjah Mada, 2005).

W. Riawan Tjandra, Hukum Keuangan Negara, (Jakarta: Grasindo, 2006).

Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, (Bandung: Alumni, 2000).

Peraturan Perundang-Undangan :

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2005 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara.

Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat.

Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000 Tentang kedudukan Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2001 Tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan.


(6)

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2010.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 64 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Organisasi danTata Kerja Inspektorat Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Peraturan Daerah Kota Tanjung Balai Nomor 1 Tahun 2008 Tentang APBD Kota Tanjung Balai Tahun Anggaran 2008.

Peraturan Daerah Kota Tanjung Balai Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Poko-Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah.

Pidato Nota Keuangan Terhadap Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Kota Tanjung Balai Tahun Anggaran 2008, Disampaikan pada Rapat Paripurna DPRD Kota Tanjung Balai Pada Tanggal 26 Agustus 2009.

Laporan Pertanggungjawaban Akhir Tahun Anggaran 2003 Walikota Tanjung Balai.

Internet :

wordpress.com / 2010 / 02 / 27 / revitalisasi-lembaga-pengawas-internal-pemerintah peran- dan- kedudukan-badan- pengawasan -keuangan- dan- pembangunan-dalam-sistem-pengawasan-keuangan-negara.


Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Kepala Daerah Sebagai Pelaksana Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Menurut Undang-Undang No 32 Tahun 2004

2 56 119

Analisis Kontribusi Pendapatan Asli Daerah Dalam Memenuhi Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Pemerintahan Kota Medan

11 102 66

Pengaruh Proses Penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah ( Apbd) Terhadap Pengalokasian Belanja Daerah Di Pemerintahan Kabupaten Deli Serdang

6 97 79

PERTANGGUNGJAWABAN KEPALA DAERAH DALAM PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH KOTA BANDAR LAMPUNG

4 20 66

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) TERHADAP ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) PADA PEMERINTAHAN KABUPATEN KOTA DI SUMATERA UTARA.

0 7 16

KONTRIBUSI PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) TERHADAP ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) PEMERINTAHAN KOTA TEBING TINGGI.

1 7 22

PENDAHULUAN KONTRIBUSI PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) SELAMA PERIODE 2005-2009 (Studi Kasus Pemerintahan Daerah Kota Wonogiri).

0 2 8

PERTANGGUNGJAWABAN KEPALA DAERAH SEBAGAI PELAKSANA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) DALAM RANGKA PENYELENGGARAAN PEMERINTAH DAERAH.

0 6 60

Analisis kinerja pemerintah daerah berdasarkan rasio keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) : studi kasus di Pemerintahan Kabupaten Tana Toraja.

1 8 138

TINJAUAN YURIDIS PENGATURAN LAPORAN KETERANGAN PERTANGGUNGJAWABAN (LKPJ) KEPALA DAERAH DALAM PERSPEKTIF PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

0 0 10