BAB IV HAMBATAN-HAMBATAN YANG DIHADAPI OLEH KEPALA DAERAH
DALAM MEMPERTANGGUNGJAWABKAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH APBD
Mendasarkan pada uraian sebelumnya, menunjukkan bahwa dalam kehidupan demokrasi, pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan APBD sangat
penting untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang, kebocoran yang dilakukan oleh pihak eksekutif dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Bahkan dalam konteks ini menurut Surya Darma AR, pertanggungjawaban terhadap pelaksanaan APBD yang dilakukan oleh kepala daerah dalam bentuk
Laporan Keterangan Pertanggungjawaban LKPJ yang yang disampaikan pada sidang paripurna DPRD adalah merupakan salah satu ciri pemerintahan yang
demokratis, yakni fungsi kontrol dewan terhadap eksekutif: Esensi pemerintahan demokrasi itu pada pokoknya adalah pemerintahan yang
dikontrol oleh rakyat, termasuk dalam menggunakan anggaran sebagai salah satu aspek, kemudian juga menyangkut pengalokasian anggaran. Rakyat melalui
DPRD harus dapat melakukan pengawasan untuk dapat memperjuangkan aspirasi rakyat, supaya berbagai dana yang dibebankan kepada rakyat itu dikembalikan
atau dialokasikan untuk membiayai sarana dan prasarana yang betul-betul diperlukan oleh rakyat.
95
Berkenaan dengan hal tersebut, yang lebih penting adalah tekad dan upaya dari
semua pihak untuk menciptakan iklim yang benar-benar dapat mendorong agar
95
Wawancara dengan Surya Darma AR, Wakil Ketua Panitia Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Tanjung Balai, Senin 17 Mei 2010.
Universitas Sumatera Utara
pertanggungjawaban kepala daerah terhadap pelaksanaan APBD semakin lama semakin efektif dan positif.
Akan tetapi berdasarkan penelitian penulis ada beberapa hambatan yang dihadapi oleh kepala daerah dalam melaksanakan pertanggungjawaban dalam pelaksanaan
APBD, adapun hambatan-hambatan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Hambatan yang bersifat politis.
Sebagaimana kita pahami, bahwa dalam konteks Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa Kepala Daerah dan
DPRD adalah mitra yang bersifat sejajar. Konstruksi ini memberikan kedudukan yang sama tinggi antara Kepala Daerah dan DPRD, sehingga diharapkan dapat
menjamin adanya kerjasama yang serasi antara keduanya guna mencapai tertib pemerintahan daerah.
Maka bila dihubungkan dengan pertanggungjawaban kepala daerah terhadap pelaksanaan APBD dalam bentuk Laporan Keterangan Pertanggungjawaban
LKPJ, maka akan tersangkut hubungan kekuasaan antara kepala daerah dengan DPRD dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam hal ini
pertanggungjawaban kepala daerah terhadap pelaksanaan APBD mempunyai akibat yang wajar, yaitu kewajiban untuk menyampaikan Laporan Keterangan
Pertanggungjawaban LKPJ yang diserahkan kepada DPRD yang diikuti dengan hasil-hasil yang diperoleh, yang pada gilirannya juga dapat mengurangi
kewibawaan kepala daerah, hal tersebut disebabkan oleh karena DPRD melalui
Universitas Sumatera Utara
hak-hak yang melekat padanya dalam rangka fungsi pengawasan, yaitu: hak interpelasi, hak angket, dan hak petisi sebagaimana dikemukakan sebelumnya
dapat mempertanyakan atau bahkan menyelidiki Laporan Keterangan Pertanggungjawaban LKPJ yang disampaikan oleh kepala daerah. Lebih-lebih
seorang kepala daerah yang menduduki jabatan politik penting dalam organisasi kekuatan sosial politik atau berasal dari partai minoritas di DPRD bahkan seorang
kepala daerah yang bukan berasal dari partai politik, maka posisi politik yang demikian sudah barang tentu membawa pengaruh politis psikologis pada
pelaksanaan pertanggungjawaban kepala daerah terhadap pelaksaan APBD yang dilatarbelakangi berbagai kepentingan politik tingkat daerah.
Hal tersebut diatas sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Surya Darma, AR, yang mengatakan:
Apabila dilihat dari sisi peraturan perundang-undangan, maka hampir tidak ada hambatan yang dialami oleh kepala daerah terkait dengan
pertanggungjawaban terhadap pelaksanan APBD, karena peraturan perundang-undangan yang ada sudah cukup mengaturnya, namun hal tersebut
terlepas dari perbuatan pidana seorang kepala daerah, yang artinya melanggar peraturan perundang-undangan yang ada. Namun, saya berpendapat ada
kemungkinan hambatan tersebut muncul dari dinamika politik yang ada pada suatu daerah.
96
Dalam kaitan ini, realitas politik dalam prakteknya banyak berurusan dengan
kekuasaan dan kepentingan.
97
Penyelesaian semacam ini tidak akan terwujud apabila tidak mengacu pada etika politik, karena tujuan etika politik yang baik
96
Wawancara dengan Surya Darma AR, Wakil Ketua Panitia Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Tanjung Balai, Senin 17 Mei 2010.
97
Sadu Wasistiono dan Ondo Riyani, Etika Hubungan Legislatif-Eksekutif Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, Bandung: Fokusmedia, 2003, hlm. 42.
Universitas Sumatera Utara
adalah untuk memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil. Defenisi etika politik ini adalah untuk membantu menganalisis korelasi
antara tindakan individual, tindakan kolektif dan struktur-struktur yang ada. Dengan mengacu pada hal tersebut diatas, maka kunci persoalan dari berbagai
kemelut atau hambatan kepala daerah dalam mempertanggungjawabkan pelaksanaan APBD adalah bukan pada demokrasinya, melainkan pada sejumlah
etika demokrasi yang belum dijadikan pegangan para elit politik, atau dalam bahasa yang lebih luas dikatakan bahwa keberadaban semua pihak hendaknya
menjadi pegangan didalam menyelenggarakan pemerintahan daerah. Dan untuk membangun politik keberadaban yang diperlukan bagi penyelenggaraan
pemerintahan daerah, maka ada sejumlah persyaratan yang mesti dipatuhi oleh setiap pelaku politik didaerah dalam hal pertanggungjawaban kepala daerah
terhadap pelaksanaan APBD yaitu: 1.
Keberadaban itu hendaknya tidak ditentukan oleh sikap suka atau tidak suka terhadap kelompok lain.
2. Para pemimpin hendaknya berbuat lebih banyak untuk memberikan
teladan yang baik, bukan sekedar mengeluarkan perintah agar menjauhi tindakan yang membahayakan orang lain.
3. Komitmen para pemimpin untuk membangun moral politik bersama.
4. Menghargai perbedaan, ketidaksepahaman disagreement, dan bahkan
kemungkinan resistensi.
98
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka menurut hemat penulis bahwa
hambatan politis bagi kepala daerah dalam mempetanggungjawabkan pelaksanaan APBD disebabkan oleh karena beberapa faktor, yaitu:
98
Akbar Tandjung, Moratorium Politik Menuju Rekonsiliasi Nasional, Jakarta: Golkar Press, 2003, hlm. 25.
Universitas Sumatera Utara
1. Budaya para politisi yang berpandangan bahwa politik itu adalah kekuasaan
dan kepentingan. 2.
Kelompok politik yang berbeda dipandang sebagai suatu persaingan.
Oleh karena itu, sering diutarakan bahwa politik yang dalam hal ini merupakan kekuasaan adalah sesuatu yang netral, semuanya akan tergantung pada
penggunaannya. Sekalipun demikian tidak dapat dihilangkan kesan bahwa kekuasaan itu memiliki kecenderungan tertentu yang lebih kuat dari pada sifatnya
yang dikatakan netral tersebut, hal tersebut terungkap dari kata-kata Lord Acton yang sudah menjadi terkenal didunia, bahwa ”kekuasaan cenderung
disalahgunakan, dan kekuasaan yang mutlak pasti disalahgunakan”. Maka dalam kerangka pemahaman yang demikian, kekuasaan itu memiliki bakat untuk
menjurus kepada praktik negatif.
99
Menyadari kondisi yang demikian, maka pertanggungjawaban kepala daerah terhadap pelaksanaan APBD hendaknya dipandang dalam konteks aspek
pendemokrasian dari pemberian otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggungjawab, disamping aspek keserasian hubungan antara kepala daerah
dengan DPRD. Hal ini tidak terlepas dari fungsi DPRD dalam kedudukannya sebagai pengemban dan penyalur aspirasi masyarakat, serta fungsi pengawasan
terhadap jalannya penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pelaksanaan pembangunan daerah, dan juga sebagai mitra kerja kepala daerah dalam
99
Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia, Jakarta: Buku Kompas, 2003, hlm. 73.
Universitas Sumatera Utara
kedudukan yang sama tinggi dalam merumuskan berbagai kebijaksanaan terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi.
Oleh karena itu, pengawasan DPRD, terhadap pelaksanaan APBD yang disampaikan melalui Laporan Keterangan Pertanggungjawaban LKPJ kepala
daerah tidak perlu dikhawatirkan akan menghambat efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, tetapi lebih ditujukan untuk menciptakan pemerintahan
yang berdaya guna dan berhasil guna, dengan tetap mengembangkan semangat kerjasama yang serasi dan terbuka, yang pada gilirannya kepala daerah dalam
melaksanakan APBD, serta mengupayakan segala kebijakan yang diambil selalu berdasar hukum dan dapat dipertanggungjawabkan.
2. Hambatan materi peraturan perundang-undangan.
Selain hambatan yang dikemukakan tersebut diatas, ternyata dari penelitian yang dilakukan, hambatan yang menyangkut pertanggungjawaban kepala daerah
dalam pelaksanaan APBD juga sangat dipengaruhi oleh materi peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pertanggungjawaban kepala daerah
terhadap pelaksanaan APBD itu sendiri.
Hambatan peraturan perundang-undangan adalah berupa peraturan yang saling bertentangan yang dikeluarkan oleh Departemen di tingkat nasional,
kesulitan muncul dalam keseluruhan siklus keuangan pemerintah daerah. Mulai dari pengesahan anggaran sampai kepada pertanggungjawaban, yang
Universitas Sumatera Utara
disebabkan oleh kompleksitas peraturan, kurangnya SDM, buruknya koordinasi dan tidak memadainya teknologi yang digunakan.
100
Hal tersebut diatas tidak terlepas dari kenyataan bahwa pertanggungjawaban kepala daerah terhadap pelaksanaan APBD menyangkut berbagai instansi,
sehingga memerlukan masukan dari berbagai pihak. Apalagi bila pertanggungjawaban kepala daerah tersebut digunakan oleh DPRD untuk
menyelidiki kinerja pemerintah daerah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan DPRD, maka akan mempunyai dampak yang luas dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Berkaitan dengan hal tersebut Zul Abdiman mengatakan:
Pertanggungjawaban kepala daerah terhadap pelaksanaan APBD mengalami berbagai hambatan, salah satunya adalah hambatan prosedural, dikatakan
demikian karena prosedur penyampaian Laporan Keterangan Pertanggungjawaban kepada DPRD sebelum akhir maret meskipun tanpa
keputusan akhir dari Badan Pemeriksa Keuangan BPK, hal tersebut nantinya akan membawa dampak yang sangat signifikan bagi penyelenggaraan
pemerintahan daerah, karena Laporan Keterangan Pertanggungjawaban LKPJ yang telah disampaikan dan diterima DPRD suatu waktu dapat
dibongkar kembali dengan alasan adanya penyimpangan.
101
Bahkan menurut hemat penulis, pertanggungjawaban kepala daerah terhadap
pelaksanaan APBD tergolong sebagai kewajiban kepala daerah yang materinya sangat kompleks, sehingga sebelum disusun konsep Rancangan Peraturan Daerah
tentang Laporan Keterangan Pertanggungjawaban kepala daerah terhadap
100
Jurnal Otonomi Daerah Vol.VII No.2 Juni-Juli 2007, hlm. 2.
101
Wawancara dengan Zul Abdiman, Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan dan Perencanaan Pembangunan Pemerintah Kota Tanjung Balai, Selasa 18 Mei 2010.
Universitas Sumatera Utara
pelaksanaan APBD, maka instansi pemrakarsa terlebih dahulu melakukan pengkajian hukum, penelitian hukum dan penyusunan naskah akademik, dengan
maksud untuk dapat lebih dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Berdasarkan hal yang demikian, untuk menghilangkan hambatan yang berasal
dari materi peraturan perundang-undangan dalam pertanggungjawaban kepala daerah terhadap pelaksanaan APBD, maka perlu dibangun dan dikelola hubungan
koordinasi antar instansilembaga yang bersifat produktif. Pentingnya koordinasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Dapat berpengaruh pada efisiensi lembaga, karena dapat memberi
kontribusi guna tercapainya efisiensi terhadap usaha-usaha yang lebih khusus, sebab kegiatan-kegiatan lembaga dilakukan secara spesialisasi.
2. Koordinasi mempunyai efek moral dari pada lembaga itu, terutama
menyangkut kepemimpinan. Kalau pemimpin kurang baik, berarti koordinasi tidak akan berjalan baik. Oleh karena itu, koordinasi
menentukan keberhasilan lembaga.
3. Koordinasi mencakup pula adanya integrasi dalam kesatuan tindakan dan
dengan adanya sinkronisasi dari segi waktu pelaksanaan yang bertujuan untuk keserasian, seirama, dan selaras satu sama lain.
102
Tujuan koordinasi tersebut adalah dalam rangka pencapaian tujuan lembaga
secara efektif dan efisien dengan melalui pendekatan yang dapat mencegah konfik, tumpang tindih, dan ketidak sesuaian antara bahagian yang satu dengan
bahagian yang lainnya sehingga sumber daya yang dimiliki oleh lembaga dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin, selain itu adalah untuk mengintegrasikan
bahagian-bahagian yang tugas yang terpisah akibat adanya pembagian tugas,
102
J. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002, hlm. 154.
Universitas Sumatera Utara
sehingga dapat untuk satu dalam tindakan, serasi dalam kegiatan, dan sinkron dalam setiap usaha untuk mencapai tujuan lembaga.
103
Berdasarkan pemikiran diatas, maka untuk mengatasi kendala yang bersifat prosedural, maka perlu penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan pertanggungjawaban kepala daerah dalam melaksanakan APBD, baik yang didasarka pada Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007
Tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat, yang dipandang rumit.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa terhambatnya kepala daerah dalam mempertanggungjawabkan pelaksanaan APBD dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang salah satunya disebabkan oleh karena materi peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pertanggungjawaban kepala daerah
terhadap pelaksanaan APBD itu sendiri. Sebab materi peraturan perundang- undangan yang merupakan bahagian dari materi hukum adalah salah satu dari
unsur-unsur dalam penegakan hukum, yang dalam hal ini adalah penegakan hukum dalam penyelenggaraan pertanggungjawaban kepala daerah terhadap
pelaksanaan APBD. Adapun unsur-unsur yang merupakan sistem dalam penegakan hukum yang keseluruhannya harus dipenuhi dalam rangka penegakan
103
iIbid, hlm. 158.
Universitas Sumatera Utara
hukum dalam penyelenggaraan pertanggungjawaban kepala daerah terhadap pelaksanaan APBD, yaitu:
1. Materi hukum.
Materi hukum harus dapat dijadikan sebagai dasar untuk diterapkan dan ditegakkan agar terciptanya kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum
yang berintikan keadilan dan kebenaran, kepatuhan serta tanggungjawab sosial warga negara termasuk penyelenggara negara, menghormati dan
menjunjung tinggi hak asasi manusia, memberikan rasa aman dan tenteram, mendorong kreativitas dan peran aktif masyarakat dalam
pembangunan. Pembangunan materi hukum diarahkan pada terwujudnya sistem hukum nasional yang mengabdi pada kepentingan nasional melalui
penyusunan materi hukum secara menyeluruh yang mencakup perencanaan, pembentukan serta penelitian dan pengembangan hukum.
2. Aparatur hukum.
Aparatur hukum diarahkan pada terciptanya aparat yang memiliki kemampuan profesional yang tinggi, dilandasi dengan kualitas moral dan
etika guna mengayomi masyarakat dan mendukung pembangunan nasional serta ditujukan untuk lebih memantapkan lembaga hukum yang
mandiri, pelayanan, pengawasan dalam penyelenggaraan penegakan hukum.
3. Budaya hukum.
Budaya hukum diarahkan untuk membentuk sikap dan perilaku anggota masyarakat termasuk para penyelenggara negara sesuai dengan nilai dan
norma Pancasila agar berbudaya hukum lebih dihayati dalam kehidupan masyarakat sehingga kesadaran, ketaatan, serta kepatuhan hukum makin
meningkat dan hak asasi manusia makin dihargai dan dihormati.
4. Sarana dan prasarana hukum.
Sarana dan prasarana hukum diarahkan pada peningkatan dukungan perangkat hukum yang lebih menjamin kelancaran dan kelangsungan
berperannya hukum sebagai pengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta terselenggaranya fungsi hukum sebagai
pengayom masyarakat dan ditujukan pada peningkatan daya dukungnya secara optimal terhadap pembangunan hukum nasional.
104
104
M. Solly Lubis, Modul Kuliah Politik Hukum, Medan: Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, 2003, hlm. 25-30.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN