Bahkan kewenangan penyidikan dan penuntutan tersebut telah berada ditangan satu lembaga istilah lain: penyidikan satu atap.
95
Dalam perkara-perkara korupsi, jaksa berdasarkan wewenang Pasal 284 ayat 2 KUHAP, bertindak sebagai penyidik, tetapi hampir tidak pernah
manjalankan bunyiisi Pasal 109 ayat 1 KUHAP tentang kewajiban menyampaikan kepada penuntut umum saat dimulainya penyidikan perkara.
Dalam perkara korupsi terdakwa Ida Bagus Oka, maka tidak mungkin memenuhi Pasal 138 KUHAP, karena tidak mungkin penyidik dan penuntut umum yang satu
orang, yaitu jaksa Urip Tri Gunawan, akan memberikan petunjuk-petunjuk kepada dirinya sendiri.
96
Tindak pidana korupsi ini merupakan tindak pidana yang pada umumnya sangat sulit untuk mendapatkan atau memperoleh alat-alat buktinya, maka sudah
sewajarnya kalau untuk menyidik tindak pidana korupsi itu diperlukan penyidik yang secara khusus tugasnya sudah biasa melakukann penyidikan tundak pidana
pada umumnya atau dengan perkataan lain yang sudah banya pengalamannya didalam melakukan penyidikan tindak pidana pada umumnya.
97
Menurut Mahrus Ali dalam bukunya Hukum Pidana Korupsi di Indonesia, eksistensi lembaga pemerintahan yang menangani perkara korupsi belum
berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Hal demikian diperparah oleh indikasi adanya keterlibatan aparat penegak hukum
dalam penanganan kasus korupsi. Paling tidak terdapat tiga hal yang memperkuat
95
OC. Kaligis buku II, op.cit, hlm. 12.
96
Ibid,hlm.115.
97
R. Wiryono, Tindak Pidana Di Indonesia, Alumni, Bandung, 1975, hlm. 37-38.
argumen ini. Pertama, melalui media massa sering kali ditemukan adanya beberapa kasus korupsi besar yang tidak pernah jelas ujung akhir penanganannya.
Kedua, pada kasus tertentu juga sering terjadi adanya kebijakan pengeluaran SP3 surat perintah penghentian penyidikan oleh aparat terkait sekalipun bukti awal
secara yuridis dalam kasus tersebut sesungguhnya cukup kuat. Ketiga, kalaupun suatu kasus korupsi penanganannya sudah sampai di persidangan pengadilan,
sering kali publik dikejutkan bahkan dikecewakan oleh adanya vonis-vonis yang melawan arus dan rasa keadilan masyarakat.
98
Pembentukan lembaga yang diharapkan mampu memberantas atau paling tidak meminimalisir maraknya kasus korupsi salah satunya adalah dengan
pembentukan komisi pemberantasan korupsi. Dalam bagian Konsideran huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi KPTPK disebutkan, bahwa dibentuknya komisi tersebut adalah karena realitas korupsi di indonesia dinilai semakin
memprihatinkan dan telah menimbulkan kerugian besar terhadap keuangan maupun perekonomian negara sehingga menghambat pembangunan nasional
dalam rangka mewujudkan kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan masyarakat. Juga dalam undang-undang tersebut memberikan kewenangan penyidikan korupsi
kepada KPK Pasal 6 UU KPTPK.
99
Atas dasar itu, dapat diketahui bahwa tujuan pembentukan KPK adalah untuk mengoptimalkan pemberantasan tindak pidana korupsi yang sulit
diharapkan terwujudnya jika masih terus mengandalkan lembaga penegak hukum
98
Mahrus Ali, op.cit, hlm 169.
99
Ibid.
yang telah ada. Hal ini disebabkan karena pada kenyataannya aparat penegak hukum itu sendiri sering kali justru terlibat dalam praktik korupsi atas perkara
yang mereka tangani.
100
Jadi pada tindak pidana korupsi, terdapat tiga instansi penegak hukum yang berwenang melakukan menyidikan dalam tindak pidana korupsi, yaitu :
a.
Polisi, berdasarkan Pasal 1 butir 1 KUHAP dan Pasal 14 ayat 1 point g
Undang-undang kepolisian Negara Republik Indonesia
101
b.
Kejaksaan, berdasarkan Pasal 30 ayat 1 point d Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi. serta
Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
c.
Komisi Pemberantasan Korupsi KPK, Pasal 6 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi pada intruksi yang kedelapan yang berbunyi:
102
“Memberikan dukungan maksimal terhadap upaya-upaya penindakan korupsi yang dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Kejaksaan Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan cara mempercepat pemberian informasi yang berkaitan dengan perkara
100
Ibid, hlm.170.
101
Pasal 14 ayat 1 point g berbunyi :”Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan
lainnya”.
102
Ibid, hlm.163.
tindak pidana korupsi dan mempercepat pemberian izin pemeriksaan terhadap saksitersangka.”
Instrruksi Presiden tersebut juga memastikan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasan
Korupsi adalah lembaga yang memiliki kewenangan dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi.
Dari ketiga instansi tersebut memang dikhawatirkan dapat melahirkan masalah tumpang tindih tugas dan kewenangan instansi-instansi tersebut. Ada
beberapa argumantasi yang mendasari kekhawatiran tersebut yakni :
103
1. Dilihat dari konsep Sistem Peradilan Pidana SPP, distribusi masing-
masing subsistem yang ada dalam SPP sebenarnya sudah jelas yaitu kepolisian melakukan tugas penyelidikan dan penyidikan, kejaksaan
melakukan fungsi penuntutan dan eksekusi putusan, dan kehakiman melakukan fungsi peradilan. Jika saat ini KPK ditugasi pula untuk
melaksanakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, maka kekhawatiran terjadinya benturan kewenangan tersebut sulit dihindari
2. Dari segi dasar hukum, antara kepolisian, kejaksaan dan KPK
sesungguhnya sama-sama memiliki landasan yuridis yang merupakan hukum positif untuk melakukan tugas sesuai dengan fungsi masing-
masing dalam penanganan perkara korupsi. Jadi wajar jika kehadiran KPK dengan fungsi yang sama seperti lembaga kepolisian, kejaksaan
103
Ibid, hlm. 173
dikhawatirkan akan melahirkan tumpang tindih fungsionalisasi kelembagaan.
3. Dari segi struktur kelembagaan, kepolisian dan kejaksaan sama sekali
tidak memiliki hubungan hierarki dengan KPK. Jika KPK menerakan wewenangnya untuk melakukan kordinasi apa lagi supervisi
pengawasan dalam penanganan suatu perkara korupsi, maka hal ini tentu menimbulkan kesan bahwa seolah-olah kepolisian dan kejaksaan
berada dibawah KPK. 4.
Dari segi sosio-kultural, pemberian wewenang kepada KPK untuk melakukan kordinasi terutama supervisi dari aparat lain yang terkait
dalam penanganan perkara korupsi, akan mudah melahirkan kesan bahwa instansi yang tugasnya disupervisi oleh KPK merupakan
lembaga yang berkondisi buruk. Akhirnya, bukan mustahil hal seperti ini dapat melahirkan problem harga diri dari instansi yang
bersangkutan. Jika sudah demikian, maka tidak tertutup kemungkinan kinerja KPK dalam memberantas korupsi akan menuai implikasi
berupa kendala-kendala non-kooperatif dari kalangan penegak hukum konvensional tersebut.
Kehadiran KPK dengan tugas dan kewenangannya yang sangat besar juga malah akan memberikan pengaruh negatif terhadap sistem hukum itu sendiri.
Marwan Effendy Mantan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Jampidsus mengatakan, bahwa faktor yang menstimulus kedudukan dan fungsi kejaksaan
Republik Indonesia dalam penegakan hukum secara negatif adalah sistem hukum itu sendiri.
1. Karena ditetapkan oleh UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia berada dilingkungan eksekutif yang menyebabkan kejaksaan Republik Indonesia tidak mandiri dan independen dalam
penegakan hukum. 2.
Adanya pengurangan dan pembatasan kewenangan oleh undang- undang, baik dalam bidang penyidikan maupun dalam bidang
penuntutan. Selain itu, dengan terbentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi KPTPK dengan kewenangan yang begitu
besar, tidak saja berdampak terhadap struktur ketatanegaraan yang semakin besar, yang mengesampingkan asas dominus litis
dan prinsip een en ondeelbaar, tetapi juga menimbulkan social cost yang cukup
besar yang berdampak terhadap anggaran belanja negara. Namun demikian, adanya kekhawatiran tumpang tindih kewenangan atau
perebutan lahan antara kepolisian dan kejaksaan dengan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dapat terjawab dengan melihat tabel
dibawah ini yang menunjukkan saat kapan tindak pidana korupsi itu menjadi kewenangan polisi, jaksa, ataupun KPK
Tabel. 3
Kepolisian Kejaksaan
KPK
a Tidak melibatkan
aparat penegak hukum, penyelenggara
negaram dan orang lain yang ada
kaitannya dengan tindak pidana korupsi
yang dilakukan oleh aparat penegak hukum
atau penyelenggara negara,
b Perkara korupsi tidak
mendapat perhatian yang meresahkan
masyarakat, danatau
c Tidak menyangkut
kerugian negara paling sedikit Rp
1.000.000.000,00 satu miliar rupiah.
a Melibatkan aparat
penegak hukum, penyelenggara
negara, dan orang lain yang ada
kaitannya dengan tindak pidana korupsi
yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum atau penyelenggara
negara;
b Mendapat perhatian
yang meresahkan masyarakat;
c Menyangkut kerugian
negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,00
satu miliar rupiah. a
Melibatkan aparat penegak hukum,
penyelenggara negara, dan orang
lain yang ada kaitannya dengan
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum atau
penyelenggara negara;
b Mendapat perhatian
yang meresahkan masyarakat;
c Menyangkut kerugian
negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,00
satu miliar rupiah.
Dalam praktik penanganan tindak pidana korupsi oleh kepolisian negara republik indonesia, pada umumnya syarat yang diikuti hanyalah syarat pada point
c diatas, yakni perkara korupsi akan ditangani kepolisian bukan komisi pemberantasan korupsi juka kerugian negara yang diduga diakibatkan oleh
tindakan pelaku di bawah Rp 1.000.000.000,00 satu miliar rupiah. Keterlibatan aparat penegak hukum atau penyelenggara negara, dan orang lain yang ada
kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara seringkali tidak diikuti oleh kepolisian dalam
melakukan tindakan hukum berupa penyelidikan dan penyidikan. Demikian halnya dengan point b yakni perkara korupsi tidak mendapat perhatian yang
meresahkan masyarakat, polisi tidak menjadikan hal itu sebagai dasar atau patokan boleh atau tidaknya perkara korupsi ditangani oleh institusi tersebut.
104
Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah bahwa pengambilalihan penyidikan dan penuntutan KPK harus didasarkan pada alasan-alasan
sebagaimana tercantum dalam Pasal 9 UU KPTPK antara lain :
105
a. Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti;
b. Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau
tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan; c.
Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;
d. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;
e. Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari
eksekutif, yudikatif, dan legislatif; f.
Keadaan lain yg menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilakukan secara baik dan dapat
dipertanggung jawabkan; Berdasarkan uraian diatas, maka tugas dan kewenangan KPK dalam
menangani perkara korupsi sangat limitatif, sehingga benturan atau tumpang tindih kewenangan yang dikawatirkan diatas dapat diatasi dan tidak beralasan.
Jaminan mengenai hal ini pun juga ditegaskan dalam Penjelasan Umum alinea ke- 6 Undang-Undang KPTPK yang menyatakan, bahwa pengaturan kewenagnan
104
ibid, hlm. 165-166.
105
ibid, hlm. 168.
KPK dalam undang-undang ini dilakukan secara hati-hati agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dengan berbagai instansi lain terkait.
106
E. Upaya Paksa yang dapat Dilakukan Penyidik dalam Tindak Pidana