Setting pedesaan

9. Setting pedesaan

Pekerjaan sosial pedesaan atau pekerjaan sosial di wilayah- wilayah nonmetropolitan, menghadapi serangkaian tantangan yang berbeda dari yang dihadapi oleh pekerjaan sosial perkotaan. Pertama, ada tantangan-tantangan yang khas di konteks pedesaan dengan karakteristik fisik dan ekonominya yang berbeda, karakter relasi sosialnya yang bertatap muka, peran integral organisasinya seperti sekolah dan gereja (Martinez-Brawley, 1986 dalam DuBois & Miley, h. 84), adanya jejaring pertolongan alamiah, integrasi profesional ke dalam masyarakat (Poole & Daily, 1985 dalam DuBois & Miley, h. 84), gaya hidup pedesaan, dan dampak ketidakpastian ekonomi agribisnis pedesaan yang nampak dalam krisis pertanian. Masalah-masalah perkotaan yang nampak jelas secara tradisional menerima lebih banyak perhatian. Akan tetapi, masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, perawatan kesehatan yang kurang memuaskan, dan perumahan yang tidak tersedia terus menerus ada di kota-kota kecil an masyarakat-masyarakat pedesaan (NASW, 1981b dalam DuBois & Miley, h. 84).

Selain itu, pedesaan Amerika Serikat , walaupun mungkin tidak begitu kentara pada dasarnya sangatlah berbeda secara etnis. Wilayah-wilayah pedesaan di berbagai distrik di Amerika Serikat dihuni oleh sejumlah besar kaum minoritas. Banyak orang Kulit Hitam tinggal di wilayah pedesaan selatan, banyak orang Amerika Serikat keturunan Spanyol dan penduduk asli Amerika Serikat merupakan kelompok minoritas pedesaan di baratdaya dan barat Amerika Serikat. Kedua masalah sosial dan keragaman etnis kelas berat ini harus ditangani dalam konteks karakteristik setting pedesaan yang khas.

Pengkajian tentang jejaring sistem penyelenggaraan pelayanan sosial di wilayah-wilayah pedesaan memperlihatkan kesenjangan dalam ketersediaan dan keterjangkauan (availability and accessibility) pelayanan- pelayanan sosial. Pelayanan-pelayanan sosial cenderung mengelompok di suatu lokasi seperti kabupaten. Karena populasi pedesaan seringkali sangat menyebar dan kurang padat, pelayanan-pelayanan sosial barangkali tidak dapat dijangkau karena masalah transportasi. Selanjutnya pelayanan-pelayanan sosial barangkali terbatas ruang lingkup dan variasinya serta diselenggarakan oleh orang- orang yang kurang profesional. Hambatan-hambatan ini

Profesional pekerjaan sosial di wilayah-wilayah pedesaan menyadari adanya kejenuhan yang berkaitan dengan masalah-masalah yang disebabkan oleh isolasi geografis, langkanya profesional dengan siapa mereka berinteraksi, dan langkanya sumber-sumber formal. Pekerja sosial yang bertempat tinggal dan bekerja di tengah-tengah masyarakat pedesaan harus menemukan cara untuk mengembangkan relasi kolegial dan untuk melindungi waktu pribadinya.

Sebagai suatu usaha untuk menyelenggarakan pelayanan- pelayanan sosial di wilayah-wilayah terpencil, pusat-pusat pelayanan besar dari masyarakat-masyarakat metropolitan dapat memperluas program-programnya melalui kantor satelit ke masyarakat-masyarakat pedesaan, yang secara harfiah mencangkokkan (mentranplantasikan) model perkotaan yang sesuai. Bahkan walaupun konteks pedesaan sangat berbeda dari setting perkotaan, penelitian menunjukkan sedikit perbedaan dalam konfigurasi peran- peran pekerjaan sosial di wilayah-wilayah perkotaan dan pedesaan (York, Denton, & Moran 1989 dalam DuBois & Miley, h. 85). Josephine Brown dan Eduard Lindeman, tokoh-tokoh pekerjaan sosial pedesaan sebelum Perang Dunia II, beserta Leon Ginsberg, Louise Johnson, dan E. E. Martinez-Brawley, tokoh-tokoh pendukung pekerjaan sosial pedesaan kontemporer, menggarisbawahi pentingnya keterlibatan berbasis masyarakat – perencanaan pedesaan bagi kebutuhan-kebutuhan pedesaan. Brown, dalam bukunya Rural Community and Social Casework (1933), menunjukkan isu bahwa:

organisasi pekerjaan sosial perkotaan yang terspesialisasi dan terkomplikasi tidak pernah dicangkokkan atau ditransplantasikan secara berhasil ke masyarakat-masyarakat pedesaan. Barangkali masalah utama yang dihadapi oleh tokoh-tokoh pekerjaan sosial pedesaan pada saat ini ialah membebaskan ”proses-proses sosialisasi yang kreatif” dalam masyarakat-masyarakat pedesaan sedemikian rupa bahwa karakteristik khusus pekerjaan sosial perkotaan dapat dihindari dan hanya bagian-bagian

Brown menekankan kebutuhan bagi para pekerja sosial pedesaan untuk mengembangkan kemitraan dengan masyarakat-masyarakat pedesaan dalam mengidentifikasikan kebutuhan-kebutuhannya, mengembangkan kepemimpinan masyarakat, memanfaatkan para relawan, dan bekerja dengan lembaga-lembaga sosial masyarakat.

Tantangan yang dikemukakan oleh Brown lebih dari 50 tahun yang lalu masih relevan hingga saat ini. Dalam buku yang dipublikasikannya, Social Work in Rural Communities, Leon Ginsberg (1976) memperlihatkan kebutuhan bagi pendidikan dan praktek pekerjaan sosial. Demikian pula The West Virginia 1990 Trends Study menemukan bahwa perencanaan sosial di wilayah-wilayah pedesaan berbeda dari perencanaan sosial di wilayah-wilayah perkotaan (Locke, Lohmann, & Meehan 1985 dalam DuBois & Miley,

h. 85). Misalnya, di suatu wilayah pedesaan, pekerja sosial menggunakan proses perencanaan untuk membantu masyarakat setempat mendefinisikan persoalan-persoalan khas mereka sendiri melalui pengidentifikasian dan penggunaan para pakar setempat, pengambilan keputusan yang demokratis, dan pembangunan konsensus untuk mempromosikan perubahan sosial pedesaan. Forum-forum masyarakat sudah terbukti merupakan strategi yang efektif dalam membawa para penyelenggara pelayanan kemanusiaan untuk duduk bersama dengan para pemimpin setempat dalam pengembangan pelayanan-pelayanan sosial pedesaan.

Kuatnya pengaruh pekerjaan sosial pedesaan di Amerika Serikat, dimana pekerja sosial merupakan sumber utama dalam sistem kesehatan jiwa (Jerrell & Knight 1985 dalam (DuBois & Miley, h. 85), dan dominasi pekerjaan sosial pedesaan dalam masyarakat global khususnya negara-negara Dunia Ketiga (Martinez-Brawley 1986 dalam DuBois & Miley, h. 85), mengakibatkan investigasi baik kebutuhan- kebutuhan khusus masyarakat-masyarakat pedesaan maupun kontribusi yang unik pekerjaan sosial di setting pedesaan imperatif. Oleh karena itu informasi yang diperoleh harus diterjemahkan ke dalam penelitian, teori praktek, dan pendidikan untuk mempersiapkan para profesional dalam