Kelompok tolong menolong

3. Kelompok tolong menolong

Kelompok tolong menolong (self-help groups, mutual aid groups, mutual help groups) merupakan unsur nonprofesional lain dalam jejaring penyelenggaraan pelayanan sosial. Kelompok tolong menolong menyediakan sumber-sumber masyarakat yang berharga kepada sejumlah besar orang, baik secara terpisah dari maupun sebagai tambahan dalam kegiatan-kegiatan pekerjaan sosial profesional yang lebih formal dalam jejaring penyelenggaraan pelayanan sosial. Selain kontribusi yang signifikan itu, pesatnya pertumbuhan jumlah kelompok tolong menolong menarik perhatian kita.

Kelompok tolong menolong dicirikan oleh suatu pertukaran dan berbagi (sharing) di antara teman-teman tentang masalah bersama dan saling menolong. Fokusnya ialah pada pertolongan berbasis pengalaman daripada intervensi berbasis teori. Baik orang yang menolong maupun orang yang ditolong adalah sama-sama partisipan atau peserta dalam proses. Saling menolong merupakan kegiatan- kegiatan seperti diskusi satu lawan satu, program pendidikan, kegiatan-kegiatan sosial, diskusi kelompok dan berbagi hal-hal pribadi (personal sharing), hot lines, dan kegiatan-kegiatan mengunjungi teman-teman (Silverman 1987 dalam Organisasi yang memiliki tujuan umum Beberapa kelompok tolong menolong juga mencoba mengalamatkan isu-isu kebijakan sosial (Powell 1987 dalam DuBois & Miley, h. 87). Berpartisipasi dalam kegiatan- kegiatan kelompok tersebut dapat mengurangi perasaan terisolasi pada anggota-anggotanya. Anggota juga mempelajari cara-cara alternatif menghadapi masalah, dan perubahan didorong melalui saling menolong. Struktur awal kelompok tolong menolong ini cenderung informal tetapi pada akhirnya dapat berkembang menjadi organisasi formal. Struktur organisasinya berbeda dari satu kelompok ke kelompok lain. Ada kelompok seperti klub atau asosiasi

Powell (1987) mengkategorikan kelompok tolong menolong berdasarkan lima klasifikasi utama:

a. Organisasi orang-orang yang memiliki kebiasaan yang salah Organisasi orang-orang yang memiliki kebiasaan yang salah (habit-disturbance organizations) berfokus sangat sempit pada kecanduan tertentu seperti alkoholisme, judi, makan berlebihan, atau merokok. Menggunakan struktur program yang sangat ketat, anggota-anggota kelompok tersebut cenderung disibukkan oleh beberapa aspek penyembuhan dari kecanduan tersebut.

b. Organisasi yang memiliki tujuan umum Organisasi yang memiliki tujuan umum (general- purpose organizations) mengalamatkan persoalan- persoalan yang luas dalam isu tertentu seperti sakit jiwa, perlakuan salah terhadap anak, atau penghiburan orang yang berdukacita. Anggota-anggota kelompok berfungsi sebagai mentor atau model yang didasarkan atas pengalaman pribadi dan strategi menghadapi masalah mereka sendiri.

c. Organisasi gaya hidup Organisasi gaya hidup (life-style organizations) mengalamatkan isu yang dihadapi oleh kategori orang- orang seperti janda, orang tua tunggal, ibu yang menyusui, dan orang tua asuh. Kelompok ini bertemu untuk mengalamatkan persoalan-persoalan yang relevan dan memberi persahabatan, untuk mengembangkan jejaring orang-orang yang berminat dan untuk melakukan advokasi dan mobilisasi masyarakat.

d. Organisasi peduli orang lain Organisasi peduli orang lain (significant other organizations) merupakan tipe kelompok tolong menolong yang bertumbuh pesat yang terdiri atas orang-orang yang memiliki kepedulian terhadap anggota keluarga lain yang barangkali mengalami kecanduan atau gangguan perilaku atau yang

e. Organisasi cacat fisik Organisasi cacat fisik (physical handicap organizations) mengalamatkan persoalan-persoalan khusus tentang rehabilitasi dari penyakit dan kecacatan. Anggota-anggota kelompok berurusan dengan isu gaya hidup, penyadaran publik akan persoalan-persoalan mereka, dan asistensi teknis dengan menggunakan cara-cara meneysuaikan diri. Bagan berikut ini mendaftarkan beberapa contoh dalam berbagai kategori kelompok tolong menolong.

Tabel 2.1 Kelompok Tolong Menolong

Organisasi

• Pengguna alkohol

orang-orang yang • Penjudi memiliki

• Pengguna narkotika kebiasaan yang

• Pemantau berat lembaga salah

• Orang-orang yang berusaha

berhenti merokok

Organisasi yang

• Orang tua

memiliki tujuan • Orang yang mengalami umum

gangguan emosi • Orang yang sedang dalam

penyembuhan • Teman-teman yang peduli

Organisasi gaya • Janda dengan janda hidup

• Orang tua tanpa pasangan • Orang-orang kecil • Satuan tugas gay dan lesbian

Organisasi peduli • Aliansi bagi sakit jiwa orang lain

• Penjudi • Keluarga • Pengasuh penderita

Alzheimer

Organisasi cacat

• Klub stroke

fisik

• Klub jantung • Koalisi AIDS

Sumber: T. J. Powell, Self-Help Organizations and Professional Practice, dalam DuBois & Miley, h. 89).

Relasi antara profesional dan kelompok tolong menolong dicirikan sebagai karang, penuh dengan ketegangan dan kompetisi (Powel 1987 dalam DuBois & Miley, h. 89). Ketegangan barangkali berasal dari beberapa sumber. Beberapa anggota kelompok tolong menolong barangkali memiliki pengalaman buruk dengan profesional atau aspek- aspek lain jejaring penyelenggaraan pelayanan sosial. Berdasarkan pengalaman mereka itu mereka dapat menolak intervensi profesional kepada anggota lain. Pada sisi lain, profesional dapat merasa skeptis akan kurangnya kredensial pendidikan yang dimiliki oleh anggota-anggota kelompok tolong menolong nonprofesional yang mencoba mengalamatkan masalah-masalah yang sarat emosi melalui tolong menolong. Jadi sementara profesi pada umumnya menghargai nilai-nilai organisasi tolong menolong akar rumput, beberapa praktisional kurang menghargai kontribusi mereka.

Kadang-kadang profesional mencoba memaksakan kewenangan dan kendali atas kelompok tolong menolong yang relatif otonom. Dengan mengutamakan praktisioner profesional sebagai pemimpin kegiatan kelompok, lembaga- lembaga dapat merasa bersalah mendorong timbulnya kejadian seperti ini (Silverman 1987 dalam DuBois & Miley, h. 89). Pada sisi lain, lembaga-lembaga dapat mendorong karyawan untuk merujuk klien kepada kelompok tolong menolong, memberi kesempatan kepada karyawan untuk mengembangkan jaringan dengan kelompok-kelompok ini, dan mendorong karyawan untuk mendukung pertumbuhan kelompok dan eksistensi berkelanjutan (Toseland & Hacker 1985 h. 235 dalam DuBois & Miley, h. 90). Suatu studi yang dilakukan oleh Toseland & Hacker yang mengkaji faktor-faktor yang berkaitan dengan penggunaan sumber-sumber tolong menolong yang terdiri atas profesional menemukan bahwa dukungan lembaga dan kontak langsung pekerja sosial dengan kelompok tolong menolong terkait dengan meningkatnya penggunaan kelompok-kelompok tolong menolong bagi klien.

Tantangannya ialah bagaimana membangun relasi kolaboratif. Silverman (1987) menganjurkan empat cara

Yang menarik ialah, beberapa penelitian evaluasi praktek menunjukkan hanya sedikit perbedaan hasil yang diperoleh antara kelompok tolong menolong (sesama teman) dan kelompok yang terdiri atas kalangan profesional (Toseland, Rossiter, & Labrecque 1989 DuBois & Miley, h. 90). Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan peran profesional dan peran kelompok tolong menolong dalam relasinya satu sama lain dan perbedaan penggunaan kelompok penyembuhan profesional dan kelompok tolong menolong sehingga kelompok tolong menolong dan kelompok profesional dapat saling melengkapi dalam penyelenggaraan pelayanan sosial.