Sumber Data Penelitian Konsep Pidana Kerja Sosial Dalam RUU KUHP Indonesia Tahun 2006

sosial yang diatur dalam KUHP negara lain yang akan dijadikan sebagai perbandingan. Pendekatan konseptual conseptual approach 46 dilakukan untuk memahami konsep-konsep yang berhubungan dengan pidana kerja sosial. Pendekatan perbandingan comparative approach 47 dilakukan untuk melihat bagaimana negara lain mengatur dan menerapkan pidana kerja sosial.

2. Sumber Data Penelitian

Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari: 1. Bahan hukum primer yakni KUHP, RUU KUHP Tahun 2006, dan peraturan perundang- undangan negara lain yang mengatur tentang pidana kerja sosial. 2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku teks, jurnal, doktrin yang berkaitan dengan pidana kerja sosial. 3. Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan library research yaitu meneliti bahan-bahan seperti buku-buku, konsep rancangan undang-undang, yuridis, yaitu penelitian terhadap produk-produk hukum. Dalam metode pendekatan perundang- undangan, peneliti perlu memahami hierarki dan asas-asas dalam peraturan perundang-undangan. 46 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2007, hlm. 137, bahwa pendekatan konseptual dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada. Hal ini dilakukan karena belum atau tidak ada aturan hukum untuk masalah yang dihadapi. 47 Ibid, hlm. 133, bahwa pendekatan perbandingan dilakukan dengan mengadakan studi perbandingan hukum.Studi perbandingan hukum merupakan kegiatan untuk membandingkan hukum suatu negara dengan hukum negara lain atau hukum dari suatu waktu tertentu dengan hukum dan waktu yang lain Universitas Sumatera Utara dokumen-dokumen serta sumber teoritis lainnya yang dikumpulkan melalui literatur- literatur yang berhubungan dengan pidana kerja sosial. 4. Analisis Data Keseluruhan data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif. 48 Analisis kualitatif ini akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data. Selanjutnya semua data diseleksi dan diolah, kemudian dianalisis secara deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan, diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.

H. Sistematika Penulisan

Tesis ini disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing- masing bab terdiri atas beberapa subbab untuk lebih memperjelas ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan tata letak masing-masing bab serta pokok pembahasannya adalah sebagai berikut: Bab I yang merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang, permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penulisan, kerangka teori dan konsepsi, metode penelitian dan sistematika penulisan. 48 M. Syamsudin, Operasionalisasi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 133, bahwa pengolahan dan analisis data kualitatif lebih menekankan analisisnya pada proses penyimpulan deduktif dan induktif serta pada dinamika hubungan antara fenomena yang diamati, dengan menggunakan logika ilmiah, berusaha menjawab pertanyaan penelitian melalui cara- cara berpikir formal dan argumentatif. Universitas Sumatera Utara Bab II yang menguraikan dasar filosofis pidana kerja sosial dalam filsafat pemidanaan dan dalam subbabnya menjelaskan latar belakang lahirnya pidana kerja sosial, pidana kerja sosial dilihat dari filsafat pemidanaan, pidana kerja sosial merupakan sanksi pidana bukan sanksi tindakan. Bab III yang menguraikan prospek pidana kerja sosial dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia dan perbandingannya dengan KUHP negara lain dan dalam subbabnya menjelaskan prospek pidana kerja sosial dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia, perbandingan konsep pidana kerja sosial dalam RUU KUHP Indonesia Tahun 2006 dengan pidana kerja sosial dalam KUHP negara lain. Bab IV menguraikan relevansi konsep pidana kerja sosial dengan tujuan pemasyarakatan menurut UU No.12 Tahun 1995 dan dalam sub babnya menjelaskan bahwa pidana kerja sosial dilihat dari kebijakan kriminal, relevansi pidana kerja sosial terhadap tujuan pemasyarakatan menurut UU No.12 Tahun 1995. Bab V menguraikan kesimpulan yang merupakan rangkuman dari hasil penelitian dan analisanya. Begitu juga dengan saran-saran yang merupakan sumbangan pemikiran ilmiah. Universitas Sumatera Utara

BAB II DASAR FILOSOFIS PIDANA KERJA SOSIAL

DALAM FILSAFAT PEMIDANAAN

A. Latar Belakang Lahirnya Pidana Kerja Sosial

Dewasa ini baik di Indonesia maupun di dunia internasional muncul kecenderungan untuk mencari alternatif pidana perampasan kemerdekaan terutama pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek. Upaya untuk mencari alternatif pidana perampasan kemerdekaan bertolak dari kenyataan, bahwa pidana perampasan kemerdekaan semakin tidak disukai baik pertimbangan kemanusiaan, pertimbangan filosofis maupun pertimbangan ekonomis. 49 Atas pertimbangan kemanusiaan, pidana perampasan kemerdekaan semakin tidak disukai oleh karena jenis pidana ini mempunyai dampak negatif yang tidak kecil tidak saja terhadap narapidana, tetapi juga terhadap keluarga serta orang-orang yang kehidupannya tergantung dari narapidana tersebut. Beberapa dampak negatif pidana perampasan kemerdekaan, 50 terhadap narapidana antara lain: 51 1. Loos of personality 49 Tongat, op cit, hlm.4 50 Lihat Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2006, hlm. 71. P.A.F Lamintang mengemukakan bahwa pidana perampasan kemerdekaan berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut. 51 Tongat, Pidana op cit, hlm.5 Universitas Sumatera Utara Seorang narapidana dapat kehilangan kepribadian atau identitas diri, akibat peraturan dan tata cara hidup di Lembaga Pemasyarakatan. 2. Loos of security Selama menjalani pidana, narapidana selalu dalam pengawasan petugas, sehingga ia merasa kurang aman, merasa selalu dicurigai atas tindakannya. 3. Loos of liberty Dengan dikenai pidana jelas kemerdekaan individualnya terampas, hal ini dapat menyebabkan perasaan tertekan, pemurung, mudah marah, sehingga dapat menghambat proses pembinaan. 4. Loos of personal communication Dengan menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan, maka kebebasan untuk berkomunikasi dengan siapapun dibatasi. 5. Loos of good and service Selama di Lembaga Pemasyarakatan, narapidana dapat merasa kehilangan pelayanan yang baik, karena semua harus dikerjakan sendiri. 6. Loos of heterrosexual Dengan pembatasan bergerak dan penempatan narapidana menurut jenis kelamin, jelas narapidana akan merasakan terampasnya naluri seks, kasih sayang dan kerinduan pada keluarga. 7. Loos of practige Universitas Sumatera Utara Selama dalam Lembaga Pemasyarakatan dan munculnya perlakuan yang bermacam-macam baik dari petugas maupun sesama narapidana lainnya, dapat menghilangkan harga dirinya. 8. Loos of belief Akibat dari perampasan kemerdekaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan, narapidana dapat menjadi kehilangan atas rasa percaya diri. 9. Loos of creatifity Narapidana selama menjalani pidananya di dalam Lembaga Pemasyarakatan, karena perasaan tertekan dapat kehilangan daya kreatifitasnya, gagasan- gagasannya dan imajinasinya. Narapidana juga akan kehilangan hak-hak tertentu, seperti di bawah ini: 52 1. Hak untuk memilih dan dipilih Alasannya ialah agar kemurnian pemilihan terjamin, bebas dari unsur-unsur immoral dan perbuatan-perbuatan yang tidak jujur. 2. Hak untuk memangku jabatan publik. Alasannya ialah agar publik bebas dari perlakuan manusia yang tidak baik. 3. Sering pula disyaratkan untuk bekerja pada perusahaan-perusahaan. Dalam hal ini, telah dipraktikkan pengenduran dalam batas-batas tertentu. 4. Hak untuk mendapat perizinan-perizinan tertentu. Misalnya izin usaha, izin praktik seperti dokter, advokat, notaris, dan lain-lain. 52 A.Z. Abidin Farid dan A. Hamzah, op cit, hlm.287-288 Universitas Sumatera Utara 5. Hak untuk mengadakan asuransi hidup. 6. Hak untuk tetap dalam ikatan perkawinan. Pemenjaraan merupakan salah satu alasan untuk minta perceraian menurut hukum perdata. 7. Hak untuk kawin Meski adakalanya seseorang itu kawin pada saat menjalani pidana penjara, itu merupakan keadaan luar biasa dan merupakan formalitas saja. Dalam pertimbangan filosofis, terjadinya transformasi konseptual dalam sistem pidana dan pemidanaan yang terjadi di dunia pada umumnya dari konsepsi retribusi ke arah konsep reformasi, ikut mendorong munculnya semangat untuk mencari alternatif pidana yang lebih manusiawi. Konsep pemidanaan yang hanya berorientasi terhadap pembalasan punishment to punishment telah digantikan dengan konsep pembinaan treatment philosophy. 53 Dalam pertimbangan ekonomis, kecenderungan untuk mencari alternatif pidana perampasan kemerdekaan bertolak pada kenyataan bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk membiayai pelaksanaan pidana perampasan kemerdekaan sangat besar. Besarnya biaya tersebut antara lain biaya hidup narapidana seperti makan, pakaian dan sebagainya yang dari waktu ke waktu menunjukkan angka yang relatif besar. 54 53 Tongat, op cit, hlm.6 54 Ibid Universitas Sumatera Utara Ada beberapa pendapat atau kritik terhadap pidana penjara jangka pendek, adalah sebagai berikut: 1. Menurut Rekomendasi Kongres Kedua Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB mengenai “The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders” tahun 1960 di London yang menyatakan antara lain: 55 a. Kongres mengakui bahwa pidana penjara jangka pendek mungkin berbahaya karena pelanggar dapat terkontaminasi dan sedikit atau tidak memberi kesempatan untuk menjalani pelatihan yang konstruktif, tetapi kongres mengakui bahwa dalam hal-hal tertentu penjatuhan pidana penjara jangka pendek mungkin diperlukan untuk tujuan keadilan. b. Dalam praktek, penghapusan menyeluruh pidana penjara jangka pendek tidaklah mungkin, pemecahan yang realistik hanya dapat dicapai dengan mengurangi jumlah penggunaannya. c. Pengurangan yang berangsur-angsur itu dengan meningkatkan bentuk-bentuk pengganti atau alternatif seperti pidana bersyarat, pengawasan atau probation, denda, pekerjaan di luar lembaga atau pidana kerja sosial dan tindakan- tindakan lain yang tidak mengandung perampasan kemerdekaan. d. Dalam hal pidana penjara jangka pendek tidak dapat dihindarkan, pelaksanaannya harus terpisah atau tersendiri dari narapidana penjara jangka 55 Barda Nawawi Arief, op cit, hlm.34-35 Universitas Sumatera Utara panjang, dan pembinaannya harus bersifat konstruktif, pribadi dan dalam lembaga terbuka open institution. 2. Menurut Wolf Middendorf mengemukakan bahwa: 56 a. Dalam penelitian mengenai efektivitas treatment terhadap juvenile delinquency, pidana penjara jangka pendek dapat menghasilkan residivis sama dengan pidana penjara dalam jangka waktu yang lama untuk semua tipe anak dalam kelompok umur yang sama. b. Pidana jangka pendek misalnya enam bulan ke bawah tidak mempunyai reputasi yang baik, tetapi pada umumnya diyakini lebih baik dan tidak dapat dihindari. c. Di banyak negara kebanyakan dijatuhkan dalam perkara lalu lintas, khususnya drinken driving mengemudi dalam keadaan mabuk. d. Penggunaan pidana penjara jangka pendek seharusnya dikenakan untuk white collar crime dimana pidana denda sering tidak berpengaruh. e. Di beberapa negara misalnya Belanda, pidana penjara jangka pendek dilaksanakan dalam lembaga minimum security dengan keberhasilan yang memadai. f. Narapidana pidana penjara jangka pendek harus dipisah dari narapidana penjara dalam jangka waktu yang lama, dan seharusnya dikirim ke open 56 Ibid, hlm.35-36 Universitas Sumatera Utara camp dimana mereka dipekerjakan untuk keuntungan atau kepentingan masyarakat. 3. Johannes Andenaes 57 a. Walaupun telah menjadi dogma di dalam penologi bahwa pidana penjara jangka pendek merupakan pemecahan yang buruk karena tidak memberikan kesempatan untuk melakukan rehabilitasi, tetapi sedikit bukti bahwa pidana penjara yang lama memberikan hasil yang lebih baik dari pidana penjara jangka pendek there is little evidence that longer prison sentences give better results than short ones. b. Pidana penjara jangka pendek yang tidak memberi kemungkinan untuk merehabilitasi pelanggar tetapi cukup mencap dia dengan stigma penjara dan membuat atau menetapkan kontak-kontak yang tidak menyenangkan. 4. Clemmer Kehidupan penjara harus dilihat sebagai suatu masyarakat di dalam suatu masyarakat. Clemmer melukiskan penjara sebagai suatu sistem sosial yang informal yang disebut sebagai sub kultur narapidana. Subkultur narapidana ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan individual dari masing- masing narapidana, khususnya proses sosialisasi narapidana tersebut ke dalam masyarakat narapidana yang disebut sebagai prisonisasi. 58 Dalam proses 57 Ibid, hlm.36-37 58 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Alumni, 1992, hlm.141-142. Lihat juga Clemmer, Prisonization dalam Crime and Its Treatment. John Barron Mays London: Longman Group Limited,1970 , hlm.108-109. Universitas Sumatera Utara prisonisasi ini, narapidana baru harus membiasakan diri terhadap aturan-aturan yang berlaku di dalam masyarakat narapidana. Ia juga harus mempelajari kepercayaan, perilaku-perilaku dan nilai dari masyarakat tersebut. Di samping faktor-faktor universal ini, maka Clemmer menyebutkan faktor-faktor lain yang menentukan sehingga orang yang menjadi terpenjara, dalam hal ini meliputi lamanya pidana yang harus dijalani, stabilitas kepribadian terpidana, hubungan yang terus menerus dengan orang-orang di luar penjara, penempatannya di dalam kelompok-kelompok kerja, sel dan sebagainya. 59 Makin lama pidana penjara dijalani, maka kecenderungan untuk terpenjara semakin besar. Kemudian seseorang yang menjadi terpenjara cenderung untuk melakukan tindak-tindak pidana lebih lanjut setelah ia keluar dari penjara. 5. Barnes and Teeters 60 Penjara telah tumbuh menjadi tempat pencemaran yang justru oleh penyokong- penyokong penjara dicoba untuk dihindari, sebab di tempat ini penjahat-penjahat kebetulan, pendatang baru di dunia kejahatan dirusak melalui pergaulan dengan penjahat-penjahat kronis. Sekalipun pidana penjara itu berjangka pendek, maka justru akan sangat merugikan sebab di samping kemungkinan terjadinya hubungan-hubungan yang tidak dikehendaki, maka pidana penjara jangka pendek jelas tidak mendukung kemungkinan untuk mengadakan rehabilitasi narapidana 59 Ibid, hlm. 142. Lihat Donald Clemmer, Prisonization dalam The Sociology of Punishment and Correction, Norman Johnston, Leonard Savitz dan Marvin E.Wolfgang New York: John Wiley Sons. 1962, hlm.481 60 Barnes and Teeters dalam buku Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, op cit, hlm.142 Universitas Sumatera Utara di satu pihak, dan di lain pihak bahkan menimbulkan apa yang disebut stigma atau cap jahat. Menurut Hoefnagels, stigma terjadi bilamana identitas seseorang terganggu atau rusak, yang berarti bahwa persesuaian antara apakah seseorang itu dengan pandangan masyarakat terhadap dia terganggu atau rusak. Stigmatisasi ini pada dasarnya menghasilkan segala bentuk sanksi negatif, yang berturut-turut meninggalkan stigma. Karena suatu kejahatan, seseorang dipidana sehingga ia kehilangan pekerjaannya selanjutnya hal tersebut menempatkannya di luar lingkungan teman-temannya, dan kemudian stigmatisasi menyingkirkannya dari lingkungan orang-orang yang benar. Stigma meningkatkan sanksi negatif dan sanksi negatif tersebut memperkuat stigma. Secara psikologis, stigma ini menimbulkan kerugian yang terbesar bagi pelaku tindak pidana, karena dengan demikian publik mengetahui bahwa ia adalah seorang penjahat, dengan segala akibatnya. 61 Pidana penjara jangka pendek seringkali merupakan proses sosial deformation rusaknya hubungan sosial. Hampir seluruh bentuk stimulasi sosial menjadi hilang. Penelitian di Amerika Serikat melaporkan bahwa karena lingkungannya, narapidana yang menjalani pidana penjara dalam waktu yang lama lebih banyak menghadapi masalah daripada yang baru menjalani pidana. Oleh karena itu, 61 Ibid, hlm.144 Universitas Sumatera Utara reaksi negatif terhadap sekitarnya semakin meningkat sejalan dengan lamanya narapidana tinggal dalam lingkungan penjara. 62 Apabila pidana tidak dikehendaki merusak bentuk-bentuk hubungan sosial social deform, perlu ditetapkan metode-metode stimulasi sosial sebagai bagian dari proses reintegrasi. Stimulasi yang dapat dikembangkan meliputi kesempatan untuk memperoleh pelatihan keterampilan atau pekerjaan vocational training,menyediakan program-program pendidikan dan rekreasi. Sebuah penelitian terhadap narapidana wanita yang menjalani life sentence mengungkapkan bahwa para napi tersebut secara perlahan kehilangan kemampuan untuk memelihara hubungan dengan keluarga dan kerabat dekatnya serta tidak berdaya memberikan dukungan jika keluarganya memerlukan. Sebagian besar napi wanita kehilangan kepercayaan dirinya sebelum masuk penjara, dan kehidupan dalam penjara hanya semakin memperburuk dan memperendah statusnya. Ketakutam mereka, terutama menimbulkan kemerosotan psikologis yang terletak pada institusionalisasi, kehilangan identitas dan ketidakmampuan untuk merencanakan atau membayangkan masa depan keluarganya dari penjara. 63 Berdasarkan pendapat beberapa ahli, maka pidana penjara perlu diganti dengan pidana lain, salah satunya adalah pidana kerja sosial. Demikian juga di dalam draft RUU KUHP Tahun 2006, dikembangkan alternatif sanksi pidana lain seperti 62 Yesmil Anwar dan Adang, op cit, hlm.141 63 Ibid, hlm.141-142 Universitas Sumatera Utara pidana pengawasan, pidana kerja sosial, pembayaran ganti kerugian dan pemenuhan kewajiban adat.

B. Pidana Kerja Sosial Dilihat Dari Filsafat Pemidanaan

Dalam filsafat pemidanaan bersemayam ide-ide dasar pemidanaan yang menjernihkan pemahaman tentang hakikat pemidanaan sebagai tanggung jawab subjek hukum terhadap perbuatan pidana dan otoritas publik kepada negara berdasarkan atas hukum untuk melakukan pemidanaan. Pada satu sisi, para ahli filsafat memusatkan diri pada persoalan mengapa kita memidana. Sedangkan pada sisi lain, para ahli hukum dan ahli penologi mengkonsentrasikan diri pada persoalan apakah pemidanaan itu berhasil, efisien, mencegah atau merehabilitasi. 64 Filsafat pemidanaan mempunyai dua fungsi. Pertama, fungsi fundamental yaitu sebagai landasan dan asas normatif atau kaidah yang memberikan pedoman, kriteria atau paradigma terhadap masalah pidana dan pemidanaan. Fungsi ini secara formal dan intrinsik bersifat primer dan terkandung di dalam setiap ajaran sistem filsafat. Setiap asas yang diterapkan sebagai prinsip maupun kaidah itulah yang diakui sebagai kebenaran atau norma yang wajib ditegakkan, dikembangkan dan diaplikasikan. Kedua, dalam hal ini sebagai meta teori. Maksudnya filsafat pemidanaan berfungsi sebagai teori yang mendasari dan melatarbelakangi setiap 64 Rudolph J.Gerber dan Patrick D.McAnany, The Philosophy of Punishment dalam The Sociology of Punishment and Correction, Norman Johnston, Leonard Savitz dan Marvin E.Wolfgang New York: John Wiley Sons. 1962, hlm.360 Universitas Sumatera Utara teori-teori pemidanaan. 65 Melalui filsafat pemidanaan, dapat ditemukan konsepsi filsafati tentang siapa manusia itu, sehingga terhadapnya diizinkan atau tidak diizinkan pengenaan suatu sanksi baik berupa pidana atau tindakan. 66 Menurut teori absolut, pembalasan adalah legitimasi pemidanaan. 67 Negara berhak menjatuhkan pidana karena penjahat telah melakukan penyerangan dan pemerkosaan pada hak dan kepentingan hukum yang telah dilindungi. 68 Tujuan dijatuhkan pemidanaan pada masa ancient regime berlandaskan pada tujuan retributif, yaitu menjadikan pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan seseorang. Tujuan pemidanaan dilepaskan tujuan apapun, sehingga pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan yaitu pembalasan. Pembalasan ini dirasakan adil sebagai tujuan pemidanaan karena kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila di dalam masyarakat sehingga pelaku kejahatan sangat pantas mendapat pembalasan yang setimpal. 69 Pada masa lalu, bentuk hukuman bagi siapa saja yang dinilai melanggar hukum adalah hukuman badan. Artinya, hukuman bagi pelanggar hukum adalah penyiksaan badan. Tiap orang yang dinilai bersalah, kedua kaki dan tangan diikat tali, lalu ditarik dua kuda yang berlawanan arah. Hasilnya, kaki-kaki dan tangan-tangan terpisah dari badan. Hukuman ini dijalankan karena saat itu filosofi hukuman adalah balas dendam dan 65 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hlm.109 66 M. Sholehhudddin, op cit, hlm.243 67 Eddy.O.S Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, Jakarta: Erlangga, 2009, hlm. 10 68 Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta: Grafindo Persada, 2007, hlm.157 69 H.L.A Hart, Law, Liberty and Morality, Jakarta:Genta Publishing, 2009, hlm. 81 Universitas Sumatera Utara fisik yang harus dihukum. Hukuman penyiksaan fisik dititikberatkan pada kemarahan negara yang berlebihan dan tidak rasional, sehingga pelaku kejahatan tidak pernah diharapkan kembali ke masyarakat menjadi orang baik. 70 Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat dengan jelas dalam pendapat Immanuel Kant di dalam bukunya “Philosophy of law” sebagai berikut: “….. Pidana tidak pernah melaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan atau kebaikan lain, baik bagi pelaku sendiri maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan. Bahkan walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menghancurkan dirinya sendiri pembunuh terakhir yang masih berada dalam penjara harus dipidana mati sebagai resolusi atau keputusan pembubaran masyarakat itu dilaksanakan. Hal ini harus dilakukan karena setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari perbuatannya, dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarakat , karena apabila tidak demikian mereka semua dapat dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan umum.” 71 Menurut Sudarto, pidana bersifat retributif dan represif terhadap tindak pidana. Aliran ini berpaham indeterminisme 72 mengenai kebebasan kehendak manusia yang berfokus pada perbuatan pelaku kejahatan sehingga dikehendaki hukum pidana pada perbuatan dan bukan pada pelakunya. 73 Hukuman itu tidak mempunyai arti dalam dirinya sendiri, ia adalah sarana dan tak lebih dari itu. Dalam 70 Hamid Awaludin, Menyoal Hukum Rajam, Kompas,Senin 28 September 2009 71 Mahrus Ali, op cit, hlm 123-124.Lihat juga Immanuel Kant, Philosophy of Law dalam A Reader on Punishment, RA Duff dan David Garland, New York: Oxford University Press, 1994, hlm.78 72 Sudarto dalam Ediwarman, Selayang Pandang tentang Kriminologi, Medan: USU Press, 1994, hlm.14. Indeternisme adalah suatu paham yang menganggap bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki kehendak bebas, mampu mengendalikan diri dan harus bertanggung jawab penuh terhadap perbuatannya. Lihat juga Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2003, hlm.28. Bandingkan dengan determinisme adalah paham yang menganggap bahwa tabiat atau watak seseorang yang melakukan kejahatan, ditentukan oleh kekuatan- kekuatan dari luar dan alasan yang mendorong orang itu yang akhirnya mempunyai kehendak tertentu. Kekuatan-kekuatan itu didorong oleh keadaan dalam masyarakat tempat orang itu hidup. 73 Eddy.O.S Hiariej, op cit, hlm. 10 Universitas Sumatera Utara ajaran pembalasan, orang bertolak dari hal bahwa perbuatan melakukan peristiwa pidana itu dapat dipersalahkan kepada seorang pribadi yang bebas. Dari segi kefilsafatan, hukuman dipandang pada dirinya sebagai model normatif. Di dalam hukuman, penjahat itu dipandang secara serius, kepada ia sendiri dikenakan apa yang sesungguhnya berdasarkan daya jangkau dari tindakannya telah ia inginkan.Ia melakukan ketidakadilan, ia akan mendapatkannya. Itu tidak berarti “mata untuk mata, gigi untuk gigi” pembalasan tidak perlu dilaksanakan secara mekanik kuantitatif, seperti pada pandangan zaman dahulu, tetapi suatu harmoni kualitatif antara perbuatan dan hukuman. 74 Sistem pemidanaan ditetapkan secara pasti definite sentences. Artinya, penetapan sanksi dalam undang-undang tidak dipakai sistem peringanan atau pemberatan yang berhubungan dengan faktor usia, keadaan jiwa si pelaku, kejahatan-kejahatan yang dilakukannya terdahulu maupun keadaan-keadaan khusus dari perbuatan atau kejahatan yang dilakukan. 75 Menurut Sahetapy, teori retributif memandang pidana sebagai pembalasan terhadap pelaku kejahatan. Meskipun kecenderungan untuk membalas ini pada prinsipnya adalah suatu gejala yang normal, akan tetapi pembalasan tersebut harus dilihat sebagai suatu reaksi keras yang bersifat emosional dan karena itu irrasional. 76 Kaum retributivis telah menyumbangkan pemikiran tentang pemidanaan dari 74 B. Arief Sidharta Penerjemah, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, Bandung: Refika Aditama, 2008, hlm. 103 75 Sahetapy dalam Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, op cit, hlm.77 76 J.E Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati terhadap Pembunuhan Berencana, Jakarta: Rajawali, 1982, hlm.198 Universitas Sumatera Utara perspektif filsafat yang menghargai manusia sebagai individu yang matang dan bertanggungjawab sendiri atas perilaku dan tindakan-tindakannya. 77 Adapun ciri-ciri pokok dari teori retributif, adalah sebagai berikut: 1. Tujuan pemidanaan hanya untuk pembalasan. 2. Hanya pembalasan yang menjadi tujuan utama the ultimate aim, dan tidak menjadi sarana untuk mencapai tujuan lainnya, misalnya kesejahteraan masyarakat social welfare 3. Kesalahan moral moral guilt merupakan syarat satu-satunya untuk penjatuhan pidana. 4. Penjatuhan pidana harus sesuai dengan kesalahan moral pelaku. 5. Pemidanaan melihat ke belakang sebagai suatu pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau meresosialisasi pelaku kejahatan. 78 Hukuman itu tidak mempunyai arti dalam dirinya sendiri, ia adalah sarana dan tak lebih dari itu. Dalam ajaran pembalasan, orang bertolak dari hal bahwa perbuatan melakukan peristiwa pidana itu dapat dipersalahkan. Menurut Leo Polak, pemidanaan harus memenuhi tiga syarat ialah: 1. Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tata hukum objektif. 2. Pidana hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Pidana tidak boleh memperhatikan apa yang mungkin akan atau dapat terjadi. Pidana tidak boleh dijatuhkan dengan suatu maksud prevensi. Umpamanya pidana dijatuhkan dengan maksud prevensi, maka kemungkinan besar penjahat diberi suatu penderitaan yang beratnya lebih daripada maksimum yang menurut ukuran- ukuran objektif boleh diberi kepada penjahat. Menurut ukuran-ukuran objektif berarti sesuai dengan beratnya delik yang dilakukan penjahat. 77 M. Sholehhudddin, op cit, hlm.28 78 H.M Hamdan, Pembaharuan Hukum Tentang Alasan Penghapusan Pidana, Medan: USU Press, 2008,hlm. 14 Universitas Sumatera Utara 3. Berat pidana harus seimbang dengan beratnya delik. Beratnya pidana tidak boleh melebihi beratnya delik. Hal ini perlu supaya penjahat tidak dipidana secara tidak adil. 79 Menurut Jeremy Bentham ada tiga kemanfaatan dari pemidanaan. Pertama, pemidanaan akan sangat bermanfaat jika hal itu dapat meningkatkan perbaikan diri pada si pelaku kejahatan. Kedua, pemidanaan harus menghilangkan kemampuan si pelaku kejahatan untuk melakukan kejahatan. Ketiga, pemidanaan harus memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan. 80 Bentham menyatakan bahwa pidana sama sekali tidak memiliki nilai pembenaran apapun bila pidana itu semata-mata dijatuhkan sekedar untuk menambah lebih banyak penderitaan atau kerugian pada masyarakat. Beranjak dari pemikiran Bentham inilah dimaklumi bahwa pemidanaan dalam sistem peradilan pidana dewasa ini melibatkan korban dan pelaku dalam pengambilan putusan, sehingga sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku juga memperhatikan kehidupannya di masa yang akan datang. 81 Dalam teori manfaat hukuman menurut John Andenaes dapat diketahui bahwa, hukuman itu dijatuhkan agar dapat bermanfaat untuk mencegah orang melakukan kejahatan perbuatan pidana. Pencegahan disini termasuk pencegahan yang umum general preventif maupun pencegahan yang khusus bagi pelaku kejahatan tersebut special preventif. Pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh adanya hukuman yaitu, dengan mempengaruhi tingkah laku orang yang dijatuhi 79 Leo Polak dalam Djoko Prakoso dan Nurwachid, Studi tentang Pendapat-pendapat Mengenai Efektifitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985, hlm 20 80 Jeremy Bentham dalam Eddy.O.S Hiariej, op cit, hlm. 11 81 Ibid hlm. 12 Universitas Sumatera Utara hukuman terpidana untuk tidak melakukan kejahatan lagi. Di samping pencegahan yang ingin dicapai dengan adanya hukuman, dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat secara umum untuk tidak melakukan kejahatan. 82 Pengaruh pencegahan secara umum general prevention ini diharapkan “it may have a detterent effect, it may strengthen moral inhibition a moralizing effect, and it may stimulate habitual law abiding conduct”. 83 Ketiga pengaruh pencegahan pengaruh atau efek dari pencegahan; pengaruh untuk memperkuat larangan-larangan moral dan pengaruh untuk mendorong masyarakat berprilaku patuh pada hukum inilah yang diharapkan dari adanya penjatuhan pidana tersebut. Tujuan menakuti atau detterence dalam pemidanaan tidak lain agar timbul rasa takut untuk melakukan kejahatan. Tujuan ini dibedakan dalam tiga bagian yaitu tujuan yang bersifat individual, publik dan yang bersifat jangka panjang. Tujuan detterence yang bersifat individual dimaksudkan agar pelaku merasa jera untuk melakukan kembali kejahatan. Tujuan detterence yang bersifat publik, agar anggota masyarakat lain merasa takut untuk untuk melakukan kejahatan. Sedangkan tujuan detterence yang bersifat jangka panjang atau long term detterence adalah agar dapat memelihara keajegan sikap masyarakat terhadap pidana. 84 Pemidanaan dilakukan untuk memudahkan pembinaan. Pembinaan itu ditujukan untuk merehabilitasikan terpidana sehingga ia dapat merubah 82 Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta: Aksara Baru, 1987, hlm.36. 83 John Andenaes, Some Further Reflections on General Prevention dalam Detterence, The Legal Threat In Crime Control, Franklin E Zimring dan Gordon J.Hawkins Chicago and London: The University of Chicago Press, 1973, hlm. 84 84 Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Bandung, Mandar Maju, 1995, hlm.84 Universitas Sumatera Utara kepribadiannya, agar dapat menjadi orang baik yang taat pada hukum untuk waktu- waktu selanjutnya. Teori rehabilitasi ini lebih berorientasi kepada pelanggarnya offender daripada kepada pelanggarannya offense. Pentingnya sifat pelanggaran itu hanya dalam rangka menentukan apa yang diperlukan dalam rangka merehabilitasikan terpidana. 85 Seperti dikatakan oleh Herbert L. Packer, “If the rehabilitation is the goal, the nature of offense is relevant only for what it tells us about what is needed to rehabilitate the offender.” Jika rehabilitasi adalah tujuan, pelanggaran hanya relevan untuk dibicarakan jika kita membicarakan apa keperluan rehabilitasi pelanggar. 86 Menurut John Kaplan, “……The rehabilitative ideal teaches us that we must treat each offender as an individual whose special neeeds and problems must be known as fully as possible in order to enable us to deal effectively with him”. Rehabilitasi mengajarkan kita kepada tiap-tiap pelanggar sebagai seorang individu dengan mengetahui sebanyak mungkin apa keperluan dan masalah mereka sehingga kita dapat melakukan tindakan secara efektif terhadap mereka. 87 Menurut Robert D. Pursley, tujuan rehabilitasi berkaitan dengan perilaku kejahatan yang tidak normal atau beberapa bentuk dalam kekurangan dalam kejahatan. Perilaku manusia adalah hasil akibat dari sebab sehingga dalam hubungan efektivitas dengan beberapa perilaku menyimpang, berbagai sebab ini harus 85 Mohammad Taufik Makarao, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005, hlm. 63 86 Herbert L. Packer, The Limits of Criminal Sanction, California: Stanford University Press, 1968, hlm. 54 87 John Kaplan dalam Mohammad Taufik Makarao, op cit, hlm.64 Universitas Sumatera Utara diidentifikasi dengan fisik mereka, moral, mental, sosial, kejujuran atau pendidikan. Masalah-masalah narapidana didiagnosa dan diklasifikasikan untuk perawatan, dan diperbaiki melalui terapi psikologi, konseling, pendidikan atau latihan kejujuran. 88 Menurut Gramatica, hukum pidana harus diganti dengan sistem tindakan- tindakan perlindungan masyarakat. Istilah penjahat delinquent, kejahatan dan pidana harus dibuang jauh-jauh. Tercelanya perbuatan tertentu harus diukur dengan berbahayanya si pembuat terhadap masyarakat dengan melihat perbuatannya. Dan ini ditanggulangi dengan sistem tindakan, yang semata-mata bersifat prevensi spesial yang sesuai dengan kepribadian si pembuat dan bertujuan untuk sedapat mungkin mengintegrasikan orang yang telah mengabaikan masyarakat,kembali ke dalam masyarakat. 89 Pemidanaan dalam aliran ini, setelah diadili dan dipidana masih harus diberi kekuatan agar dapat “mengekang diri sendiri” dan memupuk perasaan tanggung jawab antar sesama manusia. Aliran ini juga mengembangkan model pertanggungjawaban pelaku. Berdasarkan hal tersebut, Sudarto menyatakan dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan an objective breach of a penal provision, namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk menjatuhkan pidana.Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat bahwa 88 Ibid 89 F.Gramatica dalam Ac. Sanusi Has, Penologi,Medan: Monora, 1976, hlm.47 Universitas Sumatera Utara orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah subjective guilt. 90 Sedangkan menurut Marc Ancel, yang menamakan gerakannya dengan defence sociale nouvollo, ia tidak bermaksud untuk menghapuskan istilah-istilah pidana, kejahatan dan penjahat, dan tidak ingin pula melenyapkan hukum pidana dengan menggantikannya dengan sistem tindakan perlindungan masyarakat. 91 Terhadap pembuat tindak pidana, gerakan ini menghendaki individualisasi dari pidana dan resosialisasi atau pemasyarakatan tertentu. Pemidanaan diarahkan ke pembinaan dan pembinaan itu sendiri merupakan suatu bentuk umum untuk perlindungan masyarakat dan merupakan unsur yang fundamental dalam menanggulangi kejahatan. 92 Sistem pemidanaan yang bertolak dari ide individualisasi pidana 93 ini merupakan hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan pendekatan humanistik dalam penggunaan sanksi pidana untuk tujuan perlindungan masyarakat social 90 Sudarto dalam Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, op cit, hlm.81 91 Marc Ancel dalam Djoko Prakoso dan Nurwachid, op cit, hlm. 26 92 Djoko Prakoso,Masalah Pemberian, Pidana dalam Teori dan Praktek Peradilan. Jakarta: Ghalia Indonesia.1984, hlm. 37 93 Lihat Barda Nawawi Arief, op cit, hlm.36. Individualisasi pemidanaan ini mengandung beberapa karakteristik yaitu pertanggungjawaban pidana bersifat pribadi atau perorangan asas personal, pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah asas culpabilitas, pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku; ini berarti harus ada kelonggaran atau fleksibilitas bagi hakim dalam memilih sanksi pidana dan harus ada kemungkinan modifikasi pidana dalam pelaksanaannya asas fleksibilitas dan asas modifikasi pidana. Sistem pemidanaan yang bertolak dari individualisasi pidana tidak berarti memberi kebebasan sepenuhnya kepada hakim dan aparat-aparat lainnya tanpa pedoman atau kendali. Perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan dimaksudkan sebagai fungsi pengendali atau kontrol dan sekaligus memberikan dasar filosofis, dasar rasionalitas dan motivasi pemidanaan yang jelas dan terarah. Universitas Sumatera Utara defence. Hal ini tersurat dalam tujuan umum kebijakan kriminal yaitu perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat social welfare. 94 Ide menyangkut konsepsi social defence tersebut ternyata telah diterima oleh ahli hukum pidana di Indonesia terbukti dalam: 95 1. Kesimpulan Seminar Kriminologi ke-3 tahun 1976 yang menyatakan bahwa: “Hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk social defence dalam arti melindungi masyarakat terhadap kejahatan dengan memperbaiki atau memulihkan kembali rehabilitate si pembuat tanpa mengurangi keseimbangan kepentingan perorangan pembuat dan masyarakat.” 2. Salah satu laporan dari Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional Tahun 1980 yang menyatakan bahwa : - Sesuai dengan politik hukum pidana, maka tujuan pemidanaan harus diarahkan kepada perlindungan masyarakat dari kesejahteraan serta keseimbangan dan keselarasan hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan kepentingan masyarakat atau negara, korban dan pelaku. - Atas dasar tujuan tersebut, maka pemidanaan harus mengandung unsur-unsur yang bersifat : 1. Kemanusiaan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut menjunjung tinggi harkat dan martabat seseorang. 2. Edukatif, dalam arti bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang sadar 94 M. Sholehhudddin, op cit, hlm.58 95 Ibid, hlm.58-59 Universitas Sumatera Utara sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan ia mempunyai sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi usaha penanggulangan kejahatan. 3. Keadilan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil baik oleh terhukum maupun oleh korban ataupun oleh masyarakat. Van Ness menyatakan bahwa landasan restorative justice theory dapat diringkaskan dalam beberapa karakteristik: 1. crime is primarily conflict between individuals resulting in injuries to victims, communities and the offenders themselves; only secondary is it lawbreaking. 2. the overarching aim of the criminal justice process should be to reconcile parties while repairing the injuries caused by crimes. 3. the criminal justice process should facilitate active participation by victims, offenders and their communities. It should not be dominated by government to the exclusion of others. 96 Secara lebih rinci Muladi menyatakan bahwa restorative justice model mempunyai beberapa karakteristik yaitu: 97 1. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang lain dan diakui sebagai konflik; 2. Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan kewajiban masa depan; 3. Sifat normatif dibangun atas dialog dan negosiasi; 4. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan utama; 5. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas dasar hasil; 6. Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial; 7. Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif; 96 Van Ness dalam Elsam, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP 2005, Position Paper Advokasi RKUHP Seri3, hlm.12-13 97 Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Semarang: Universitas Diponegoro, 1995, hlm. 127-129 Universitas Sumatera Utara 8. Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak pidana didorong untuk bertanggungjawab; 9. Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik; 10. Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial dan ekonomis; 11. Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif. Restorative Justice Model diajukan oleh kaum abolisionis yang melakukan penolakan terhadap sarana koersif yang berupa sarana penal dan diganti dengan sarana reparatif. 98 Paham abolisionis menganggap sistem peradilan pidana mengandung masalah atau cacat struktural sehingga realistis harus dirubah dasar- dasar struktur dari sistem tersebut. Dalam konteks sistem sanksi pidana, nilai-nilai yang melandasi paham abolisionis masih masuk akal untuk mencari alternatif sanksi yang lebih layak dan efektif daripada lembaga seperti penjara. 99 Restorative Justice menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam keterlibatan langsung dari pihak. Korban mampu untuk mengembalikan unsur kontrol, sementara pelaku didorong untuk memikul tanggung jawab sebagai sebuah langkah dalam memperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak kejahatan dan dalam membangun sistem nilai sosialnya. Keterlibatan komunitas aktif memperkuat komunitas itu sendiri dan mengikat komunitas akan nilai-nilai untuk menghormati dan rasa saling mengasihi antara sesama. Peranan pemerintah secara substansial berkurang dalam memonopoli proses peradilan sekarang ini. Restorative justice 98 Ibid, hlm. 125 99 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Ekstensialisme dan Abolisionisme, Bandung:Binacipta, 1996, hlm.101 Universitas Sumatera Utara membutuhkan usaha-usaha yang kooperatif dari komunitas dan pemerintah untuk menciptakan sebuah kondisi dimana korban dan pelaku dapat merekonsiliasikan konflik mereka dan memperbaiki luka-lukan mereka. 100 Restorative justice mengembalikan konflik kepada pihak-pihak yang paling terkena pengaruh seperti korban, pelaku dan kepentingan komunitas mereka dan memberikan keutamaan pada kepentingan-kepentingan mereka. Restorative justice juga menekankan pada hak asasi manusia dan kebutuhan untuk mengenali dampak dari ketidakadilan sosial dan dalam cara-cara yang sederhana untuk mengembalikan mereka daripada secara sederhana memberikan pelaku keadilan formal atau hukum dan korban tidak mendapatkan keadilan apapun. Kemudian restorative justice juga mengupayakan untuk merestore keamanan korban, penghormatan pribadi, martabat dan yang lebih penting adalah sense of control. 101 Sedangkan pidana kerja sosial yang akan dijatuhkan memenuhi unsur pembinaan dan memberikan perlindungan kepada masyarakat. Unsur pembinaan yang berorientasi pada individu pelaku tindak pidana. Dengan pidana kerja sosial, maka terpidana terhindar dari dampak negatif pidana perampasan kemerdekaan seperti stigmatisasi, kehilangan rasa percaya diri sehingga terpidana tetap mempunyai kepercayaan diri yang sangat diperlukan dalam pembinaan narapidana. Terpidana dapat menjalankan kehidupannya secara normal sebagaimana orang yang tidak menjalani pidana. Adanya kebebasan ini memberi kesempatan kepada terpidana 100 Elsam, op cit, hlm.13 101 Ibid, hlm.14 Universitas Sumatera Utara untuk tetap menjalankan kewajibannya kepada keluarga dan masyarakat. Terpidana dapat menghindari dehumanisasi pengasingan diri dari masyarakat, maka secara otomatis terpidana dapat melakukan sosialisasi dengan masyarakat. Pidana kerja sosial mengandung unsur perlindungan masyarakat karena sudah ada tindakan pemidanaan yang nyata dari pemerintah, sesuai dengan nilai budaya bangsa Indonesia yaitu melakukan perbuatan yang bernilai sosial karena dilakukan di masyarakat yang tidak mengutamakan perolehan keuntungan. Dalam pidana kerja sosial terkandung unsur rehabilitasi, reedukasi dan resosialisasi. Selama menjalankan pidana, narapidana akan dibina dan dibimbing dari sisi pembentukan sikap dan tingkah lakunya. Perkembangan pekerjaan dan kepribadian terpidana selalu diawasi dan dipantau oleh petugas kemasyarakatan. Narapidana akan dibimbing untuk dapat berprilaku baik dan aktif berpartisipasi dalam pembangunan. Melalui pidana kerja sosial, terpidana tidak akan berusaha untuk mengulangi kejahatan sebagaimana yang pernah dilakukan karena jika melakukan tindak pidana lagi, maka pengadilan kemungkinan besar akan menjatuhkan pidana penjara dan atau denda dan tidak lagi menjatuhkan pidana kerja sosial untuk kedua kalinya. Pidana kerja sosial juga sesuai dengan individualisasi pemidanaan karena dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana yang bersalah, dan jenis pidana tersebut dapat diubah oleh hakim berdasarkan permohonan pihak terpidana. Universitas Sumatera Utara

C. Pidana Kerja Sosial Merupakan Sanksi Pidana Bukan Sanksi Tindakan

Tindakan sering dikatakan berbeda dengan pidana, maka tindakan bertujuan untuk melindungi masyarakat, sedangkan pidana menitikberatkan pada pengenaan sanksi kepada pelaku. Tetapi secara teori sukar dibedakan dengan cara demikian, karena pidana pun sering bertujuan untuk mengamankan masyarakat dan memperbaiki terpidana. Tindakan merupakan suatu sanksi juga tetapi tidak ada sifat pembalasan padanya, sehingga maksud mengadakan tindakan itu untuk menjaga keamanan pada masyarakat terhadap orang-orang atau anak-anak yang sedikit banyaknya berbahaya dan akan melakukan perbuatan-perbuatan pidana. Namun dalam keadaan tertentu, tindakan ini pada umumnya dirasakan berat juga oleh orang yang dikenainya, dan kerap sekali dirasakan sebagai pidana, karena berhubungan erat dengan pencabutan atau pembatasan terhadap kemerdekaan seseorang. 102 Pidana tercantum secara limitatif dalam Pasal 10 KUHP. Semua sanksi yang berada di luar KUHP bukanlah pidana. Hukuman administratif misalnya bukanlah pidana dalam arti hukum pidana, begitu pula tindakan bukanlah pidana walaupun berada di dalam hukum pidana. 103 Perbedaan tindakan dengan pidana agak samar, karena tindakan pun bersifat merampas kemerdekaan, misalnya memasukkan anak di bawah umur ke pendidikan paksa, memasukkan orang tidak waras ke rumah sakit 102 Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990, hlm.70 103 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, Jakarta:Pradnya Paramita, 1993, hlm. 67 Universitas Sumatera Utara jiwa dengan perintah atau penetapan hakim, karena orang tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan. Tindakan di dalam KUHP terhadap anak di bawah umur ada dua kemungkinan: 1. Mengembalikan kepada orang tua atau yang memelihara. 2. Menyerahkan kepada pendidikan paksa negara. Bagi yang cacat mental atau sakit jiwa dimasukkan ke rumah sakit jiwa paling lama satu tahun. Sanksi pidana bersumber pada ide dasar “mengapa diadakan pemidanaan?”. Sedangkan sanksi tindakan bertolak dari ide dasar “untuk apa diadakan pemidanaan itu?”. Sanksi pidana biasanya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap perbuatan pelaku terrsebut. Jika fokus sanksi pidana tertuju pada perbuatan salah seorang lewat pengenaan penderitaan agar yang bersangkutan yang menjadi jera, maka fokus sanksi tindakan terarah pada upaya memberi pertolongan agar dia berubah. 104 Sanksi pidana berfungsi sebagai alat pemaksa agar larangan dalam hukum pidana ditaati, tetapi juga sebagai alat pemaksa agar semua orang mentaati norma lain yang memuat petunjuk hidup baik yang tertulis maupun tidak tertulis. 105 Tindakan-tindakan itu membawa akibat yang dirasakan oleh yang bersangkutan, terutama oleh karena di dalam kebanyakan hal, tindakan itu menyebabkan kehilangan kemerdekaan orang. Dilihat 104 M. Sholehhudddin, op cit, hlm.32 105 Mudzakkir, Kajian Terhadap Ketentuan Pemidanaan Dalam Draft RUU KUHP, Makalah disampaikan pada Sosialisasi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang diselenggarakan Direktorat Jendral Peraturan Perundang-undangan Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta: 29 Juli 2004 Universitas Sumatera Utara dari sudut akibatnya, secara teoritis tindakan yang membawa hilangnya atau terbatasnya kemerdekaan orang tidak akan ada bedanya dengan hukuman. Jika karena tindakan itu ada orang yang untuk sementara waktu diambil kemerdekaannya, maka ini bukanlah hukuman di dalam arti undang-undang pidana. Oleh karena tindakan ini bukan hukuman, maka terhadap tindakan itu tidak dapat diberikan grasi. 106 Sanksi pidana lebih menekankan pada unsur pembalasan pengimbalan. Ia merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan kepada seorang pelanggar. Sedangkan sanksi tindakan bersumber dari ide dasar perlindungan masyarakat dan pembinaan atau perawatan si pembuat. Menurut J.E.Jonkers, bahwa sanksi pidana dititikberatkan pada pidana yang diterapkan untuk kejahatan yang dilakukan, sedangkan sanksi tindakan mempunyai tujuan yang bersifat sosial. 107 Tindakan memasukkan orang ke rumah sakit jiwa merupakan suatu tindakan yang bersifat semata-mata perdata. 108 Menurut H.L Packer, tujuan utama dari tindakan adalah untuk memberikan keuntungan atau untuk memperbaiki orang yang bersangkutan. Fokusnya bukan kepada perbuatannya yang telah lalu dan yang akan datang, tetapi pada tujuan untuk memberikan pertolongan kepadanya. 109 Sedangkan pidana, pembenarannya didasarkan pada satu atau dua tujuan sebagai berikut: 110 106 R. Tresna, Azaz-Azaz Hukum Pidana, Jakarta: Tiara, 1959, hlm. 131 107 M. Sholehhudddin, op cit, hlm.32 108 J.E Jonkers dalam Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana,, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, hlm. 199 109 H.L Packer dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief. op cit, hlm.5. Lihat Herbert L Packer, op cit, hlm.25 110 Herbert L Packer, op cit, hlm.26 Universitas Sumatera Utara 1. untuk mencegah terjadinya kejahatan atau perbuatan yang tidak dikehendaki atau perbuatan yang salah the prevention of crime or undersired conduct or offending conduct; 2. untuk mengenakan penderitaan atau pembalasan yang layak kepada si pelanggar the deserved infliction of suffering on evildoers or retribution for perceived wrong doing Sanksi pidana bertujuan memberikan penderitaan yang istimewa bijzonder leed kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya. Selain ditujukan kepada pengenaan penderitaan terhadap pelaku, sanksi pidana juga merupakan bentuk pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku. 111 Salah satu perkembangan dalam Rancangan KUHP berkaitan dengan penetapan tindakan sebagai bagian dari sistem pemidanaan. Tindakan adalah perlakuan treatment yang dikenakan oleh pelaku yang memenuhi beberapa ketentuan dalam Pasal 40 dan Pasal 41 RKUHP 112 atau tindakan yang dikenakan kepada seorang pelaku bersama-sama dengan pidana pokoknya. Jenis-jenis tindakan yang dikenakan kepada pelaku yang memenuhi ketentuan Pasal 40 dan Pasal 41 berupa: a. perawatan di rumah sakit jiwa; b. penyerahan kepada pemerintah; c. penyerahan kepada seseorang. 111 M. Sholehhudddin, op cit, hlm.32 112 Pasal 40 dan Pasal 41 adalah ketentuan mengenai kemampuan bertanggung jawab. Dalam Pasal 40 dinyatakan bahwa setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa atau retardasi mental, tidak dapat dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenakan tindakan. Pasal 41 menyatakan bahwa setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana kurang dapat dipertanggungjawabkan karena menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa, atau retardasi mental, pidananya dapat dikurangi atau dikenakan tindakan. Universitas Sumatera Utara Tindakan yang dapat dikenakan bersama-sama dengan pidana pokok terdiri atas: a. pencabutan surat izin mengemudi; b. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; c. perbaikan akibat tindak pidana; d. latihan kerja; e. rehabilitasi; danatau f. perawatan di lembaga. 113 Pidana kerja sosial merupakan sanksi pidana. Hal ini dapat dilihat dari adanya penderitaan yang dialami terpidana. Hal ini dimulai dari putusan hakim yang diumumkan bahwa pelaku sebagai narapidana yang telah dijatuhi pidana kerja sosial sehingga masyarakat mengetahuinya. Setelah itu melakukan pekerjaan untuk kepentingan pihak lain berpuluh-puluh jam lamanya dengan tidak mendapatkan upah juga merupakan penderitaan. Terpidana berbaur dengan kelompok non kriminal di tempat pidana kerja sosial, karena sebagian besar orang yang ada di tempat kerja tersebut mengetahui tentang status dan keberadaan narapidana. 113 Pasal 101 Rancangan KUHP Tahun 2006 dan Penjelasan Pasal 101 RKUHP Tahun 2006 menyatakan bahwa pengenaan tindakan ini bukan didasarkan atas ancaman yang terdapat dalam tindak pidananya, karena memang dalam tidak ada tindak pidana yang diancamkan dengan pengenaan tindakan, tetapi didasarkan pada kondisi pelaku. Terdapat dua kelompok pelaku yang dapat dikenai tindakan, yaitu bagi orang yang tidak mampu bertanggungjawab atau kurang mampu bertanggung jawab dan orang yang mampu bertanggung jawab dimaksudkan untuk memberi perlindungan kepada masyarakat. Universitas Sumatera Utara

BAB III PROSPEK PIDANA KERJA SOSIAL DALAM

PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA DAN PERBANDINGANNYA DENGAN KUHP NEGARA LAIN

A. Prospek Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia

Alternatif kerja sosial yang diusulkan pemerintah sebagai alternatif hukuman bagi terpidana dengan vonis di bawah satu tahun dinilai beberapa pengamat hukum sebagai titik awal yang baik bagi perkembangan hukum di Indonesia. Menurut Andrianus, pelaksanaaannya membutuhkan kesiapan matang dalam berbagai segi seperti anggaran, perubahan pada penghukuman dan kesiapan sosial seperti mengubah opini masyarakat bahwa yang bersalah harus dipenjara. Apabila selama ini lembaga pemasyarakatan disibukkan dengan kaburnya narapidana, ke depan yang muncul justru praktik kolusi terpidana dan pengawas kerja sosial. Juga dikhawatirkan hukuman seperti itu tidak menimbulkan efek jera. 114 Menurut Luhut M Pangaribuan, mengemukaakan teorinya yang menyebutkan bahwa kejahatan harus membayar biayanya sendiri. Selama ini, setiap narapidana menjadi beban APBN Anggaran Pendapatan Belanja Negara artinya negara harus membiayai dan mereka menjadi 114 Kerja Sosial Narapidana Gagasan Sulit, Perlu Kesiapan Matang, www. kompas.com, diakses pada 10 Februari 2009 Universitas Sumatera Utara tanggungan negara. Dengan adanya pidana kerja sosial, maka beban negara dapat diringankan. 115 Dalam membuat keputusan mengenai tindakan non custodial, pejabat peradilan: a. dapat mengambil manfaat dari laporan penelitian sosial social inquiry reports; 116 b. harus mempertimbangkan: 117 1. kebutuhan rehabilitasi bagi pelaku the rehabilitative needs of the offender; ty,dan 3. emidana sentencing authorities dapat ksi lisan seperti admonitionteguran dalam arti positif, lam arti negati, memberi cercaan, gan dengan status; at bilalihan ation perintah kompensasi; da; 2. perlindungan masyarakat the protection of socie kepentingan korban the interests of the victim. Pejabat yang berwenang m menentukan hal-hal sebagai berikut: 118 a. verbal sanction sanksi-san memberi nasihat, reprimand teguran keras da dan warning peringatan; b. conditional discharges pelepasan berrsyarat; c. status penalties pidana yang berhubun d. economic sanction sanksi ekonomi dan monetary sanction pidana yang bersif uang seperti denda dan denda harian; e. confiscation perampasan atau expropriation order perintah pengam f. restitution ganti rugi kepada korban atau compens g. suspended atau referred sentences pidana bersyarat atau tertun h. probation and judicial supervision pengawasan; 115 Ibid 116 Rule 7.1 Standard Minimum Rules for Non Custodial Measures, The Tokyo Rules, Resolusi PBB 45110 tertanggal 14 Desember 1990 117 Rule 8.1 Standard Minimum Rules for Non Custodial Measures The Tokyo Rules, Resolusi PBB 45110 tertanggal 14 Desember 1990 118 Rule 8.2 Standard Minimum Rules for Non Custodial Measures The Tokyo Rules, Resolusi PBB 45110 tertanggal 14 Desember 1990 Universitas Sumatera Utara i. a community service order pidana atau perintah kerja sosial; l. non institutional treatment perawatan non institusional lainnya; m. kombinasi tindakan-tindakan di atas. a yaitu tentang jangka tional Covenant on Civil and Political j. referral to an attendance centre penyerahan ke pusat kehadiran; k. house arrest penahanan rumah; Pengertian pidana kerja sosial tidak dijelaskan dalam Pasal 86 Rancangan KUHP. Pengertian pidana kerja sosial adalah jenis pidana yang berupa pelaksanaan pekerjaan tertentu oleh masyarakat tanpa mendapatkan upah, berdasarkan persyaratan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Putusan pengadilan tersebut dianggap sebagai perintah terhadap terpidan waktu pelaksanaan pidana dan tempat pelaksanaan pidana. 119 Pidana kerja sosial dapat diterapkan sebagai alternatif pidana penjara jangka pendek dan denda yang ringan. Persetujuan terpidana terhadap pidana ini diperlukan agar tidak bertentangan dengan Forced Labour Convention Geneve Convention 1930, The Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms Treaty of Rome 1950, The Abolition of Forced Labour Convention The Geneve Convention 1957, dan The Interna Rights The New York Convention 1966. 120 Pidana kerja sosial selaras dengan sila kelima Pancasila yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, yang terdapat di dalamnya terkandung nilai bekerja keras dalam menjalani pemidanaan. Kerja keras adalah salah satu sarana utama untuk 119 Widodo, Ancaman Pidana Kerja Sosial Terhadap Pelaku Cybercrime di Indonesia,http:fh.wisnuwardhana.ac.idindex.php?option=com_contenttask=viewid=19Item id=3, diakses tanggal 10 Februari 2009 120 Penjelasan Pasal 86 RUU KUHP Tahun 2006 Universitas Sumatera Utara menuju keadilan sosial. Pidana kerja sosial juga sesuai dengan nilai-nilai sila kedua, yaitu Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab. Dalam sila kedua tersebut terkandung nilai-nilai pengakuan terhadap martabat manusia, karena manusia Indonesia adalah bagian dari warga masyarakat dunia yang berharkat dan bermartabat sama sebagai hamba Tuhan. Manusia dituntut berlaku adil dan menghormati hak asasi lainnya, dan memandang nilai penghormatan terhadap hak dan kewajiban manusia. Kesesuaian ini tampak pada proses pelaksanaan pidana, yaitu terpidana ditempatkan di tempat kerja yang sesuai dengan ketrampilan dan bakat narapidana, tidak merampas kemerdekaan narapidana, diintegrasikan dengan kelompok non kriminal, dibimbing ke jalan yang benar oleh petugas yang berwenang. Dalam pidana kerja sosial juga terkandung nilai pengayoman yaitu mengayomi narapidana dari pergaulan kelompok kriminal lain yang dapat mengakibatkan narapidana bertambah jahat, mengayomi narapidana agar dapat hidup layak di kemudian hari, dan mengayomi narapidana dari balas dendam masyarakat atau korban kejahatan. Nilai-nilai Pancasila tersebut harus dilihat dari suatu kebulatan, karena meskipun nilai-nilai tersebut dapat dibedakan tetapi pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan. Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar dari semua nilai, termasuk nilai keadilan. 121 Pidana kerja sosial merupakan budaya asli bangsa Indonesia, karena dalam hukum adat Indonesia tidak dikenal pidana perampasan kemerdekaan, yaitu pidana penjara dan pidana kurungan. 122 Masyarakat 121 Ibid 122 Widodo dan Wiwiek Utami, Pidana Kerja Sosial Dan Pidana Pengawasan Sebagai Alternatif Pengganti Pidana Penjara Bagi Pelaku Tindak Pidana Cybercrime, Jurnal Hukum Dan Dinamika Masyarakat UNTAG Semarang, Edisi Oktober 2008 Universitas Sumatera Utara Indonesia terbiasa dengan kerja sosial,terutama di masyarakat pedesaan, baik dalam bentuk gotong royong maupun kerja bakti. Pidana kerja sosial sebagai pidana yang positif untuk menjalin kembali hubungan antara pelanggar dengan masyarakat. Masyarakat yang memperoleh layanan dari pidana kerja sosial ini sebaiknya masyarakat yang menderita akibat adanya kejahatan atau masyarakat di tempat mana rja sosial mempunyai tujuan yaitu: 124 1. i kebebasan pelaku dan membutuhkannya untuk meminta mereka. 2. an pelaku untuk memperbaiki kesalahan dengan embangun. 3. dalam bentuk ganti rugi secara simbolik ketika korbannya kat. 4. Rehabilitation kejahatan terjadi sebagai bagian dari proses islah. 123 Pidana ke Punishment Pidana kerja sosial merupakan tindakan hukum untuk masa percobaan. Pidana kerja sosial membatas waktu luang Reparation Pidana kerja sosial mengijink cara yang m Restitution Pidana kerja sosial dipandang sebagai pengganti untuk ganti rugi uang untuk korban individu atau adalah masyara 123 Mudzakkir, Kajian Terhadap Ketentuan Pemidanaan Dalam Draft RUU KUHP, Makalah Disampaikan pada Sosialisasi Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta:29 Juli 2004 124 Community Service, httpwww.uscourts.govfedprobsupervisecommunity.html, diakses 20 Oktober 2009 Universitas Sumatera Utara Pidana kerja sosial menanamkan rasa tanggung jawab pelaku dengan mengijinkan mereka memperbaiki citranya melalui kerja di masyarakat. Pidana kerja sosial juga menanamkan budaya kerja dan membantu pelaku untuk mengembangkan minat dan keahliannya. Pidana kerja sosial dapat digunakan sebagai sarana pencapaian tujuan pemidanaan sebagaimana direncanakan dalam RUU KUHP Tahun 2006. Tujuan pemidanaan yaitu sebagai berikut: 125 a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan benar. c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Menurut Romli Atmasasmita, penerapan pidana kerja sosial disesuaikan dengan riwayat dan pengalaman kerja terpidana. Penerapannya harus memperhatikan faktor kesehatan terpidana, keyakinan dan lokasi kerja sosial. Selain itu, harus ada jaminan perlindungan keselamatan kerja bagi terpidana yang menjalin hukuman kerja sosial. 126 Riwayat sosial terdakwa diperlukan untuk menilai latar belakang terdakwa serta kesiapan yang bersangkutan baik secara fisik maupun mental dalam menjalani pidana kerja sosial. Pelaksanaan pidana kerja sosial dapat dilakukan di rumah sakit, 125 Pasal 54 RUU KUHP Tahun 2006 126 Hukuman Kerja Sosial Jadi Alternatif Pidana Penjara Dan Denda, http:cms.sip.co.idhukumonlinedetail.asp?id=19996cl=Berita, diakses pada 10 Februari 2009 Universitas Sumatera Utara panti asuhan, panti lansia, sekolah atau lembaga-lembaga sosial lainnya dengan sebanyak mungkin disesuaikan dengan profesi terpidana. 127 Emerson Yuntho dari Badan Pekerja ICW mengusulkan pidana kerja sosial bagi koruptor, seperti pengerjaan proyek Banjir Kanal Timur di Jakarta dan penanganan bencana alam. Selain itu, koruptor juga bisa diperbantukan di Dinas Kebersihan Umum dan pembukaan daerah tertinggal. 128 Supriyadi Widodo Edyono dari Aliansi Reformasi KUHP mengatakan, secara empiris keunggulan pidana kerja sosial dibandingkan dengan jenis pidana yang lain adalah dapat mencegah stigmatisasi dan prisonisasi terpidana. Narapidana juga dapat memperbaiki perilaku dengan fasilitas yang ada di masyarakat. 129 Ada beberapa manfaat dari pidana kerja sosial baik bagi pelaku, lembaga atau institusi yang ikut berpartisipasi menyediakan tempat untuk pidana kerja sosial dan bagi masyarakat luas. Manfaat pidana kerja sosial bagi pelaku adalah dengan adanya pidana kerja sosial, dapat meberikan pelaku kesempatan untuk menyumbang kepada masyarakat dengan bekerja untuk masyarakat dan memberikan mereka kesempatan untuk mengembangkan sikap positif, keahlian dan kepercayaan diri. Manfaat pidana kerja sosial bagi lembaga atau institusi yang berperan serta menyediakan tempat untuk melakukan pidana kerja sosial adalah dengan memberikan mereka kesempatan untuk 127 Penjelasan Pasal 86 RUU KUHP Tahun 2006 128 Perlu Pidana Kerja Sosial Untuk Pelaku Pidana Korupsi, Surara Pembaruan, Kamis,28 Agustus 2008 129 Ibid Universitas Sumatera Utara ikut ke dalam program- program masyarakat dan mempelajarinya, tersedianya sukarelawan untuk membantu di tempat kerja. Sedangkan manfaat pidana kerja sosial untuk masyarakat luas adalah pidana kerja sosial lebih ringan biayanya dengan mempekerjakan pelaku di dalam masyarakat daripada memasukkannya ke penjara. 130 Sedangkan menurut Muladi, pidana kerja sosial dapat memberikan manfaat bagi pelaku, yaitu dapat memberikan pelaku kesempatan yang baik untuk merehabilitasi dirinya dalam masyarakat, dapat mengijinkan pelaku untuk melanjutkan hidupnya seperti bekerja, bertemu keluarga, berekreasi dan hobi yang menghubungkannya dengan masyarakat. Hukuman penjara dapat menghentikan semua yang bernilai ini dan membuatnya dua kali lebih sulit bagi pelaku untuk memulai kembali setelah hukuman dijalankan, pidana kerja sosial dapat mencegah stigma dari pidana penjara. Rasa malu sehubungan dengan pidana penjara terlihat nyata, dan seringkali anggota keluarga yang tidak bersalah mengalaminya lebih besar dari pelaku. Dan pidana kerja sosial dapat mencegah proses pemenjaraan, Manfaatnya bagi masyarakat, diasumsikan bahwa masyarakat memiliki perhatian atas seseorang yang menyesuaikan diri yang melanjutkan hidupnya dengan rencana hidup yang bersifat membangun. Hal ini termasuk partisipasi dalam pekerjaan yang berguna dari segi ekonomi yang berupa sumbangan bagi kehidupan masyarakat merupakan sesuatu yang berharga sebagai pengganti dari pertanggungjawaban. Dan dari segi ekonomi, sanksi alternatif pidana kerja sosial ini tidak mahal dibandingkan dengan 130 Benefits of community service order, http:www.jhs-niagara.cacso.htm, diakses 10 Februari 2009 Universitas Sumatera Utara lembaga perawatan. Manfaatnya bagi pemerintah, petugas pemerintahan dapat memberikan fasilitas untuk digunakan rehabilitasi. 131 B. Perbandingan Konsep Pidana Kerja Sosial Dalam RUU KUHP Indonesia Tahun 2006 Dengan Pidana Kerja Sosial Dalam KUHP Negara Lain

1. Konsep Pidana Kerja Sosial Dalam RUU KUHP Indonesia Tahun 2006

Dalam Pasal 65 ayat 1 Rancangan KUHP Tahun 2006 , pidana pokok terdiri atas: a. pidana penjara; b. pidana tutupan; c. pidana pengawasan; d. pidana denda; dan e. pidana kerja sosial. Jika pidana penjara yang akan dijatuhkan tidak lebih dari 6 enambulan atau pidana denda tidak lebih dari pidana denda Kategori I 132 , maka pidana penjara atau pidana denda tersebut dapat diganti dengan pidana kerja sosial 133 yang sifatnya komersial tidak diberi upah. 134 131 Muladi, The Prospect Alternative Sanctions In Indonesia, Universitas Diponegoro, Semarang Indonesia, hlm.54 132 Lihat Pasal 80 RUU KUHP Tahun 2006, pidana denda yang merupakan sejumlah uang yang wajib dibayar oleh terpidana berdasarkan putusan pengadilan.Pidana denda kategori I sebesar Rp.1.500.000,00 satu juta lima ratus ribu rupiah. 133 Pasal 86 ayat 1 RUU KUHP Tahun 2006 134 Pasal 86 ayat 3 RUU KUHP Tahun 2006 Universitas Sumatera Utara Dalam hal pidana kerja sosial dijatuhkan, hakim harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: 135 a. pengakuan terdakwa terhadap tindak pidana yang dilakukan; b. usia layak kerja terdakwa menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. persetujuan terdakwa sesudah dijelaskan mengenai tujuan dan segala hal yang berhubungan dengan pidana kerja sosial; d. riwayat sosial terdakwa; e. perlindungan keselamatan kerja terdakwa; f. keyakinan agama dan politik terdakwa; dan g. kemampuan terdakwa membayar pidana denda. Pidana kerja sosial dijatuhkan paling lama dua ratus empat puluh jam bagi terdakwa yang telah berusia 18 delapan belas tahun ke atas, dan seratus dua puluh jam bagi terdakwa yang berusia 18 delapan belas tahun dan paling singkat 7 tujuh jam. 136 Pelaksanaan pidana kerja sosial dapat diangsur dalam waktu paling lama 12 dua belas bulan dengan memperhatikan kegiatan terpidana dalam menjalankan mata pencahariannya dan atau kegiatan lain yang bermanfaat. 137 Pelaksanaan pidana kerja sosial dapat dilakukan di rumah sakit, panti asuhan, panti lansia, sekolah atau lembaga-lembaga sosial lainnya, dengan sebanyak mungkin disesuaikan dengan profesi terpidana. 138 135 Pasal 86 ayat 2 RUU KUHP Tahun 2006 136 Pasal 86 ayat 4 RUU KUHP Tahun 2006 137 Pasal 86 ayat 6 RUU KUHP Tahun 2006 138 Penjelasan Pasal 86 RUU KUHP Tahun 2006 Universitas Sumatera Utara Pidana kerja sosial sebagai pengganti dari pidana penjara yang dijatuhkan hakim tidak melebihi dari enam bulan dan pidana denda tidak melebihi dari kategori I. Hal ini terjadi jika terdakwa melakukan tindak pidana misalnya seperti: a. masuk dan memaksa ke dalam rumah, ruangan, atau pekarangan tertutup yang dipergunakan oleh orang lain atau yang sudah berada di dalamnya, tidak segera pergi meninggalkan tempat tersebut atas permintaan orang yang berhak atau suruhannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan pidana denda paling banyak kategori II. 139 b. Dengan alat bantu teknis mendengar pembicaraan yang berlangsung di dalam atau diluar rumah, ruangan atau halaman tertutup, yang berlangsung melalui telepon padahal bukan menjadi peserta pembicaraan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak kategori II. 140 c. Memaksa masuk ke dalam kantor pemerintah yang melayani kepentingan umum atau yang berada di dalamnya atas permintaan pejabat yang berwenang tidak segera pergi meninggalkan tempat tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan denda paling banyak kategori II. 141 139 Pasal 299 RUU KUHP Tahun 2006 140 Pasal 300 RUU KUHP Tahun 2006 141 Pasal 304 RUU KUHP Tahun 2006 Universitas Sumatera Utara d. Mengganggu ketentraman lingkungan dengan teriakan-teriakan palsu atau dengan tanda-tanda bahaya palsu dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II. 142 e. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan merintangi atau membubarkan rapat umum yang sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak kategori II. 143 f. Merintangi, menghalangi atau mengganggu jalan masuk ke pemakaman atau pengangkutan jenazah ke pemakaman, atau upacara penguburan jenazah, dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak kategori II. 144 g. Tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I. 145 h. Tanpa wewenang membiarkan ternaknya berjalan di kebun, tanah rerumputan, tanah yang ditaburi benih atau penanaman, tanah yang disiapkan untuk ditaburi benih, ditanami atau hasilnya belum diangkut, milik orang lain atau yang oleh pemiliknya dengan secara jelas dinyatakan dilarang atau dimasuki, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I. 146 142 Pasal 309 RUU KUHP Tahun 2006 143 Pasal 310 RUU KUHP Tahun 2006 144 Pasal 312 RUU KUHP Tahun 2006 145 Pasal 318 RUU KUHP Tahun 2006 146 Pasal 324 RUU KUHP Tahun 2006 Universitas Sumatera Utara i. Tanpa izin pejabat yang berwenang membakar benda milik sendiri yang dapat mengakibatkan bahaya umum, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II. 147 j. Mabuk di tempat umum merintangi lalu lintas, mengganggu ketertiban, mengancam keselamatan orang lain, atau pada waktu mabuk melakukan pekerjaan yang harus dijalankan dengan sangat hati-hati untuk tidak menimbulkan bahaya bagi nyawa atau kesehatan orang lain, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I. 148 k. Di tempat umum melakukan kenakalan terhadap orang atau barang yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian atau kesusahan, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I. 149 l. Tidak terjaga secukupnya binatang buas yang berbahaya yang ada dalam penjagaannya supaya tidak menimbulkan kerugian atau bahaya, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I. 150 m. Membuat gaduh dalam siding pengadilan atau di tempat pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah di muka umum dan tidak pergi sesudah diperintahkan sampai tiga kali oleh atau atas nama petugas yang berwenang, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II. 151 147 Pasal 355 RUU KUHP Tahun 2006 148 Pasal 357 RUU KUHP Tahun 2006 149 Pasal 372 RUU KUHP Tahun 2006 150 Pasal 380 ayat 3 RUU KUHP Tahun 2006 151 Pasal 413 ayat 1 RUU KUHP Tahun 2006 Universitas Sumatera Utara n. Dipanggil di muka hakim untuk didengar karena sebagai keluarga sedarah atau keluarga semenda, suami atau istri, wali atau wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas dalam perkara orang yang akan ditaruh di bawah pengampunan atau dalam perkara orang yang akan dimasukkan atau sudah dimasukkan di rumah sakit jiwa, dipidana dengan pidana penjara paling banyak kategori I. 152 o. Melaporkan atau mengadukan kepada pejabat berwenang bahwa telah terjadi suatu tindak pidana, padahal diketahui bahwa tindak pidana tersebut tidak terjadi, dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak kategori II. 153 Semua pelaku tindak pidana yang disebutkan di atas dapat dikenakan pidana kerja sosial jika vonis hakim berupa pidana penjara tidak lebih dari enam bulan atau pidana denda yang tidak melebihi kategori I, dengan persetujuan terdakwa dapat digantikan dengan pidana kerja sosial. Jika hakim memvonis lebih dari itu, maka pidana kerja sosial tidak dapat dikenakan pada terdakwa. Apabila terpidana tidak memenuhi seluruh atau sebagian kewajiban menjalankan pidana kerja sosial tanpa alasan yang sah, maka terpidana diperintahkan untuk: 154 a. mengulangi seluruh atau sebagian pidana kerja sosial tersebut; 152 Pasal 418 RUU KUHP Tahun 2006 153 Pasal 422 RUU KUHP Tahun 2006 154 Pasal 86 ayat 7 RUU KUHP Tahun 2006 Universitas Sumatera Utara b. menjalani seluruh atau sebagian pidana penjara yang diganti dengan pidana kerja sosial tersebut; c. membayar seluruh atau sebagian pidana denda yang diganti dengan pidana kerja sosial atau menjalani pidana penjara sebagai pengganti denda yang tidak dibayar. Jika korporasi melakukan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dapat dikenakan kepada korporasi dan atau pengurusnya. 155 Di dalam Rancangan KUHP Tahun 2006, korporasi tidak bias dikenakan pidana kerja sosial, walaupun korporasi itu merupakan subjek tindak pidana. 156 Pidana kerja sosial digunakan untuk menggantikan pidana penjara, sedangkan pidana penjara hanya dikenakan kepada manusia. Pidana kerja sosial juga digunakan untuk menggantikan pidana denda kategori I. Sedangkan pidana denda paling sedikit untuk korporasi adalah pidana denda kategori IV. 157 Jika pidana denda tersebut tidak dapat dibayar, maka dapat diambil dari kekayaan atau pendapatan terpidana. 158 Dan jika hal itu tidak dapat dilakukan, maka pidana pengganti denda untuk korporasi berupa pencabutan izin usaha atau pembubaran korporasi. 159 Tetapi kalau dalam tindak pidana yang dilakukan korporasi, pengurus yang bertanggung jawab, maka pengurus dapat dikenakan pidana kerja sosial jika vonis hakim yang dijatuhkan tidak melebihi enam bulan penjara dan tidak melebihi pidana denda kategori I. 155 Pasal 49 RUU KUHP Tahun 2006 156 Pasal 47 RUU KUHP Tahun 2006 157 Pasal 80 ayat 6 RUU KUHP Tahun 2006 158 Pasal 82 ayat 2 RUU KUHP Tahun 2006 159 Pasal 85 RUU KUHP Tahun 2006 Universitas Sumatera Utara 2. Pidana Kerja Sosial Dalam KUHP Beberapa Negara 2.1. Pidana Kerja Sosial Dalam KUHP Belanda