Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional

(1)

PIDANA KERJA SOSIAL DALAM

PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA NASIONAL

Oleh

WIDYA AMANDA 077005147

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PIDANA KERJA SOSIAL DALAM PEMBAHARUAN

HUKUM PIDANA NASIONAL

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

Dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

UniversitasSumatera Utara

Oleh

WIDYA AMANDA

077005147/HK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : PIDANA KERJA SOSIAL DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA NASIONAL

Nama Mahasiswa : Widya Amanda

Nomor Pokok : 077005147

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS)

(Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum) (Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM)

Ketua Program Studi Dekan


(4)

Lulus Tanggal : 14 Juni 2010 Telah Diuji Pada

Tanggal 14 Juni 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS

Anggota : 1. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum

2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM 3. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum 4. Dr. Marlina, SH, M.Hum


(5)

ABSTRAK

Pidana kerja sosial merupakan alternatif pidana penjara jangka pendek. Karena adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap pidana penjara dan dianggap sebagai pidana yang kurang efektif. Pidana penjara juga menimbulkan dampak negatif seperti over kapasitas,dehumanisasi, pendidikan kejahatan oleh penjahat. Oleh karena itu, narapidana pidana penjara jangka pendek tidak dapat digabungkan dengan narapidana pidana penjara jangka panjang, maka dicari alternatif pidana penjara jangka pendek, yang salah satunya pidana kerja sosial yang sesuai dengan tujan pemidanaan yang bukan hanya melindungi kepentingan masyarakat tetapi juga melindungi kepentingan individu narapidana Adapun yang menjadi permasalahan dalam tesis ini adalah: Pertama, bagaimana dasar filosofis pidana kerja sosial dalam filsafat pemidanaan. Kedua, bagaimana konsep pidana kerja sosial dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia yang diatur dalam RUU KUHP Tahun 2006. dan perbandingannya dengan pidana kerja sosial dalam KUHP negara lain. Ketiga, apakah konsep pidana kerja sosial dalam RUU KUHP Tahun 2006 sesuai dengan tujuan pemasyarakatan menurut UU No.12 Tahun 1995.

Untuk mengumpulkan data dalam tesis ini dilakukan dengan penelitian yuridis normatif dan bersifat deskriptif analitis. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conseptual approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Pengumpulan data dillakukan dengan studi kepustakaan (library research) dan keseluruhan data dianalisis secara kualitatif. .

Pidana kerja sosial memenuhi unsur pembinaan (treatment) dan memberikan perlindungan kepada masyarakat (social defence). Pidana kerja sosial itu merupakan sanksi pidana, bukan sanksi tindakan. Pidana kerja sosial merupakan alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek. Pidana kerja sosial akan dijatuhkan kepada para pelaku tindak pidana yang tidak terlalu berat. Menurut Pasal 86 Rancangan KUHP Tahun 2006, pidana kerja sosial akan dijatuhkan terhadap pelaku yang divonis pidana yang tidak lebih dari enam bulan atau pidana denda yang tidak lebih dari kategori I. Pidana kerja sosial di negara lain telah menjadi jenis hukuman pokok yang diatur di dalam KUHPnya. Dan ada juga negara lain yang menjadikan pidana kerja sosial hanya sebagai pengganti tetapi tidak dimasukkan ke dalam jenis hukuman pokok atau hukuman tambahan. Sedangkan di Indonesia, masih merupakan konsep di dalam RUU KUHP Tahun 2006. Lamanya pelaksanaan pidana kerja sosial juga berbeda di tiap negara. Tetapi pidana kerja sosial di tiap negara adalah sama yang mana pelaksanaannya tidak diberi upah, dengan melaksanakan pekerjaan yang bermanfaat bagi masyarakat. Pidana kerja sosial sama tujuannya dengan pemasyarakatan menurut UU No.12 Tahun 1995 yang bertujuan untuk membina narapidana dan menjadikan manusia yang baik dan berguna bagi dirinya, sesamanya dan bagi nusa bangsa. Oleh karena itu, pelaksanaan pidana kerja sosial ini hanya akan dapat dilakukan apabila didukung sistem nilai yang ada di masyarakat, maka perlu kebijakan legislatif dan pemerintah. Kepada pemerintah, perlu lebih cermat melihat


(6)

nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat untuk kemudian dimasukkan ke dalam hukum positif di masa akan datang, seperti halnya pidana kerja sosial atau bentuk pidana baru lainnya yang sesuai dengan perasaan keadilan yang terdapat dalam masyarakat. Kepada masyarakat, perlu benar-benar menerima kehadiran narapidana yang bekerja di lingkungan sekitarnya dan tidak menghalangi pelaksanaan pidana kerja sosial.


(7)

ABSTRACT

Community service order is an alternative for a short term punishment. People are dissatisfied with imprisonment since they consider it as ineffective. Prison also has negative effects, such as over capacity, dehumanization, and criminal education by other prisoners. The short term prisoners must not grouped together with the long term prisoners. Therefore, one of the alternatives is to create a short term imprisonment which one of them is community service order. This is in line with the aim of imprisonment, it is not only protect public interest,but also the prisoners themselves. The problems of research are first, what is the philosophical basis of community service order in the criminal laws; secondly, what is the concept of community service order in the reform of Indonesian criminal laws regulated in the Penal Code Bill of 2006 and its comparison with community service order in other countrie’s Penal Code; thirdly, was the concept of community service order in The Penal Code Bill in line with the aim of imprisonment according to Act Number 12,1995.

This research was done by using normative judicial research and descriptive analytic type. The analysis was done with statute approach, conceptual approach, and comparative approach. The data were gathered by using library research and done qualitatively.

Community service order complied with the treatment feature and social defense. That community service order was regarded as a penalty sanction, and not as a disciplinary action. Community service order is an alternative action of short term of deprivation of liberty. This kind of punishment is imposed upon ordinary crime. According to Act Number 86 of Penal Code Bill, 2006, community service order will be imposed upon the criminals who is imprisoned not more than six months or fined not more than category I. Other countries apply community service order based on their own Penal Codes. But some other countries consider community service order as a subtitution and not as a principal punishment or suspended sentences. In Indonesia, it is the concept in the Penal Code Bill of 2006. The duration of community service order is different in different countries. Nut the nature of the punishment is similar: the prisoners do not get rewards, they work voluntarily for the benefit of the people. Community service order is in line with Act Number 12, 1995, that is to educate the prisoners to be good and beneficial for themselves, the community, and the country. Therefore, community service order can be accomplished when it is supported by system of values and the policy of the legislative body and the government. It is recommended that the government should carefully identify legal values in the society in order to include them in the positive law in the future, such as community service order or other newkinds of punishment which are in line with the social justice. It is also recommended that people should be


(8)

ready to receive these prisoners to work in their surrounding and not hamper the implementation of community service order.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas kesehatan dan kesempatan yang diberikan sehingga dapat menyelesaikan tesis ini. Adapun judul penelitian adalah “Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional”. Penyelesaian tesis ini tidak akan rampung tanpa bantuan, saran maupun petunjuk yang diberikan kepada penulis oleh pembimbing maupun penguji baik dari pengajuan judul hingga penyusunan tesis ini.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof.Dr.dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor atas kesempatan menjadi mahasiswa pada Program Studi Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr.Bismar Nasution,SH,MH selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 3. Ibu Prof. Dr.Sunarmi,SH,MHum selaku Sekretaris Program Studi Magister

Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof.Dr.Alvi Syahrin,SH,MS selaku Pembimbing Utama yang telah memberikan bimbingan dalam penyusunan tesis.

5. Bapak Dr.Mahmud Mulyadi,SH,M.Hum selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dalam penyusunan tesis.


(10)

6. Bapak Syafruddin S Hasibuan, SH,MH,DFM selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dalam penyusunan tesis. 7. Bapak Prof.Dr. Syafruddin Kalo,SH,M.Hum selaku Penguji yang telah

banyak memberikan saran kepada penulis

8. Ibu Dr Marlina,SH,M.Hum selaku Penguji yang telah banyak memberikan saran kepada Penulis.

9. Bapak Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Program Studi Magister Ilmu Hukum yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis.

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Keluarga Besar Fakultas Hukum Universitas Sisingamangaraja XII Medan yang telah banyak memberikan dukungan dan waktu untuk mengikuti studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Program Pascasarjana.

Penulis juga berterimakasih kepada orang tua, Omakku sayang, Setiawan Siregar, SH dan saudara-saudaraku, Nugraha,SH dan Triwahyuni, SS. Especially thanks for V.A Sulaiman. Kalian telah banyak memberikan dukungan materiil dan moril untuk menyelesaikan studi ini.

Penulis juga berharap bahwa tesis ini dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi semua pihak yang berkepentingan, namun penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan, untuk itu penulis memohon saran dan masukan kepada kalangan peneliti selanjutnya agar penelitian ini menjadi sempurna dan bermanfaat


(11)

bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya pidana kerja sosial sebagai salah satu bentuk pidana yang ada di dalam pembaharuan hukum pidana nasional.

Hormat penulis,


(12)

` RIWAYAT HIDUP

Nama : Widya Amanda

Tempat/Tgl Lahir : Medan, 7 November 1979 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Instansi : Fak. Hukum Universitas Sisingamangaraja XII Medan Pendidikan : - Sekolah Dasar Negeri 060884 No. 25 Medan

- Sekolah Menengah Pertama Negeri No. 34 Medan - Sekolah Menengah Atas, Kristen Immanuel No. 1

Medan

- S1 Hukum USU Tahun 2002

- Program Studi Magister Ilmu Hukum Fak. Hukum USU Tahun 2010


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... . i

ABSTRACT ... . iii

KATA PENGANTAR ... . v

RIWAYAT HIDUP ... . viii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Keaslian Penelitian ... 12

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 13

1. Kerangka Teori... 13

2. Landasan Konsepsi ... 17

G. Metode Penelitian ... 18

1. Jenis Penelitian ... 18

2. Sumber Data Penelitian ... 19

3. Teknik Pengumpulan Data ... 20

4. Analisis Data ... 20

H. Sistematika Penulisan ... 20

BAB II : DASAR FILOSOFIS PIDANA KERJA SOSIAL DALAM FILSAFAT PEMIDANAAN ... 22

A. Latar Belakang Lahirnya Pidana Kerja Sosial ... 22

B. Pidana Kerja Sosial Dilihat Dari Filsafat Pemidanaan ... 32

C. Pidana Kerja Sosial Merupakan Sanksi Pidana Bukan Sanksi Tindakan ... 47

BAB III : PROSPEK PIDANA KERJA SOSIAL DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA DAN PERBANDINGANYA DENGAN KUHP NEGARA LAIN ... 52

A. Prospek Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia ... 52

B. Perbandingan Konsep Pidana Kerja Sosial Dalam RUU KUHP Indonesia Dengan KUHP Negara Lain ... 60


(14)

BAB IV : RELEVANSI KONSEP PIDANA KERJA SOSIAL DENGAN TUJUAN PEMASYARAKATAN MENURUT

UU NO. 12 TAHUN 1995 ... 126

A. Pidana Kerja Sosial Dilihat Dari Kebijakan Kriminal ... 126

B. Relevansi Konsep Pidana Kerja Sosial Dengan Tujuan Pemasyarakatan Menurut UU No. 12 Tahun 1995 ... 130

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... .. 149

A. Kesimpulan ... .. 149

B. Saran ... .. 151


(15)

ABSTRAK

Pidana kerja sosial merupakan alternatif pidana penjara jangka pendek. Karena adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap pidana penjara dan dianggap sebagai pidana yang kurang efektif. Pidana penjara juga menimbulkan dampak negatif seperti over kapasitas,dehumanisasi, pendidikan kejahatan oleh penjahat. Oleh karena itu, narapidana pidana penjara jangka pendek tidak dapat digabungkan dengan narapidana pidana penjara jangka panjang, maka dicari alternatif pidana penjara jangka pendek, yang salah satunya pidana kerja sosial yang sesuai dengan tujan pemidanaan yang bukan hanya melindungi kepentingan masyarakat tetapi juga melindungi kepentingan individu narapidana Adapun yang menjadi permasalahan dalam tesis ini adalah: Pertama, bagaimana dasar filosofis pidana kerja sosial dalam filsafat pemidanaan. Kedua, bagaimana konsep pidana kerja sosial dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia yang diatur dalam RUU KUHP Tahun 2006. dan perbandingannya dengan pidana kerja sosial dalam KUHP negara lain. Ketiga, apakah konsep pidana kerja sosial dalam RUU KUHP Tahun 2006 sesuai dengan tujuan pemasyarakatan menurut UU No.12 Tahun 1995.

Untuk mengumpulkan data dalam tesis ini dilakukan dengan penelitian yuridis normatif dan bersifat deskriptif analitis. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conseptual approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Pengumpulan data dillakukan dengan studi kepustakaan (library research) dan keseluruhan data dianalisis secara kualitatif. .

Pidana kerja sosial memenuhi unsur pembinaan (treatment) dan memberikan perlindungan kepada masyarakat (social defence). Pidana kerja sosial itu merupakan sanksi pidana, bukan sanksi tindakan. Pidana kerja sosial merupakan alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek. Pidana kerja sosial akan dijatuhkan kepada para pelaku tindak pidana yang tidak terlalu berat. Menurut Pasal 86 Rancangan KUHP Tahun 2006, pidana kerja sosial akan dijatuhkan terhadap pelaku yang divonis pidana yang tidak lebih dari enam bulan atau pidana denda yang tidak lebih dari kategori I. Pidana kerja sosial di negara lain telah menjadi jenis hukuman pokok yang diatur di dalam KUHPnya. Dan ada juga negara lain yang menjadikan pidana kerja sosial hanya sebagai pengganti tetapi tidak dimasukkan ke dalam jenis hukuman pokok atau hukuman tambahan. Sedangkan di Indonesia, masih merupakan konsep di dalam RUU KUHP Tahun 2006. Lamanya pelaksanaan pidana kerja sosial juga berbeda di tiap negara. Tetapi pidana kerja sosial di tiap negara adalah sama yang mana pelaksanaannya tidak diberi upah, dengan melaksanakan pekerjaan yang bermanfaat bagi masyarakat. Pidana kerja sosial sama tujuannya dengan pemasyarakatan menurut UU No.12 Tahun 1995 yang bertujuan untuk membina narapidana dan menjadikan manusia yang baik dan berguna bagi dirinya, sesamanya dan bagi nusa bangsa. Oleh karena itu, pelaksanaan pidana kerja sosial ini hanya akan dapat dilakukan apabila didukung sistem nilai yang ada di masyarakat, maka perlu kebijakan legislatif dan pemerintah. Kepada pemerintah, perlu lebih cermat melihat


(16)

nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat untuk kemudian dimasukkan ke dalam hukum positif di masa akan datang, seperti halnya pidana kerja sosial atau bentuk pidana baru lainnya yang sesuai dengan perasaan keadilan yang terdapat dalam masyarakat. Kepada masyarakat, perlu benar-benar menerima kehadiran narapidana yang bekerja di lingkungan sekitarnya dan tidak menghalangi pelaksanaan pidana kerja sosial.


(17)

ABSTRACT

Community service order is an alternative for a short term punishment. People are dissatisfied with imprisonment since they consider it as ineffective. Prison also has negative effects, such as over capacity, dehumanization, and criminal education by other prisoners. The short term prisoners must not grouped together with the long term prisoners. Therefore, one of the alternatives is to create a short term imprisonment which one of them is community service order. This is in line with the aim of imprisonment, it is not only protect public interest,but also the prisoners themselves. The problems of research are first, what is the philosophical basis of community service order in the criminal laws; secondly, what is the concept of community service order in the reform of Indonesian criminal laws regulated in the Penal Code Bill of 2006 and its comparison with community service order in other countrie’s Penal Code; thirdly, was the concept of community service order in The Penal Code Bill in line with the aim of imprisonment according to Act Number 12,1995.

This research was done by using normative judicial research and descriptive analytic type. The analysis was done with statute approach, conceptual approach, and comparative approach. The data were gathered by using library research and done qualitatively.

Community service order complied with the treatment feature and social defense. That community service order was regarded as a penalty sanction, and not as a disciplinary action. Community service order is an alternative action of short term of deprivation of liberty. This kind of punishment is imposed upon ordinary crime. According to Act Number 86 of Penal Code Bill, 2006, community service order will be imposed upon the criminals who is imprisoned not more than six months or fined not more than category I. Other countries apply community service order based on their own Penal Codes. But some other countries consider community service order as a subtitution and not as a principal punishment or suspended sentences. In Indonesia, it is the concept in the Penal Code Bill of 2006. The duration of community service order is different in different countries. Nut the nature of the punishment is similar: the prisoners do not get rewards, they work voluntarily for the benefit of the people. Community service order is in line with Act Number 12, 1995, that is to educate the prisoners to be good and beneficial for themselves, the community, and the country. Therefore, community service order can be accomplished when it is supported by system of values and the policy of the legislative body and the government. It is recommended that the government should carefully identify legal values in the society in order to include them in the positive law in the future, such as community service order or other newkinds of punishment which are in line with the social justice. It is also recommended that people should be


(18)

ready to receive these prisoners to work in their surrounding and not hamper the implementation of community service order.


(19)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di Indonesia sekarang ini sedang berlangsung proses pembaharuan hukum pidana. Pembaharuan hukum pidana meliputi pembaharuan terhadap hukum pidana formal, hukum pidana materiil dan hukum pelaksanaan pidana. Ketiga bidang hukum tersebut bersama-sama atau secara integral diperbaiki agar tidak terdapat kendala dalam pelaksanaannya.1Salah satu bagian dari pembaharuan hukum pidana materiil adalah pembaharuan terhadap KUHP. Ada tiga materi yang disusun dalam konsep2 yaitu:

a. masalah tindak pidana

b. masalah kesalahan atau pertanggungjawaban pidana c. masalah pidana dan pemidanaan3

Masalah tindak pidana, konsep bertolak pada asas legalitas, tetapi juga memperluasnya secara materiil bahwa ketentuan asas legalitas tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup di dalam masyarakat terhadap perbuatan yang secara

1 Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi dan Viktimologi, (Jakarta: Djambatan, 2007), hlm. 38

2 Yesmil Anwar dan Adang, Pembaruan Hukum Pidana, (Jakarta: Grasindo, 2008), hlm.31-32.Naskah RUU KUHP ini disusun oleh dua tim yang bekerjasama yaitu tim pengkaji dan tim perancangan, yang kemudian dileburkan dalam satu tim. Berturut-turut yang menjadi tim ini adalah Prof. Sudarto, Prof. Mardjono Reksodiputro. Dari tim inilah berhasil memformulasikan dalam bentuk RUU pada tanggal 13 Maret 1993. Konsep ini dikenal dengan dengan “konsep 1991/1992”


(20)

materiil merupakan perbuatan melawan hukum. Dalam menentukan tindak pidana tidak lagi mengenal pembedaan antara pelanggaran dan kejahatan. 4

Masalah kesalahan atau pertanggungjawaban pidana, dalam konsep prinsipnya bertolak dari pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan (liability based on fault), namun dalam hal-hal tertentu konsep juga memberikan kemungkinan adanya pertanggungjawaban yang sangat ketat (strict liability)5 dan pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability).6 Dalam konsep RUU KUHP, pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, hanya dibatasi untuk perbuatan yang dilakukan dengan sengaja (dolus), sedangkan jika terjadi kealpaan (culpa) pertanggungjawabannya merupakan pengecualian.7

Masalah pidana dan pemidanaan, menurut konsep, tujuan pemidanaan adalah untuk perlindungan masyarakat, dan perlindungan individu pelaku tindak pidana. Konsep bertolak pada pemikiran keseimbangan (monodualistik) antara kepentingan masyarakat dan kepentingan individu. Pokok pemikiran yang menitikberatkan pada perlindungan masyarakat, dapat dilihat dari dipertahankannya pidana mati walaupun tidak dimasukkan ke dalam pidana pokok tetapi ditempatkan tersendiri sebagai

4 Ibid

5 Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Press, 2007), hlm. 78. Menurut ajaran strict liability, pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana yang bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) pada pelakunya.

6 Mahrus Ali, Kejahatan Korporasi, Kajian Relevansi Sanksi Tindakan Bagi Penanggulangan Kejahatan Korporasi, (Yogyakarta: Arti Bumi Intaran, 2008), hlm. 63. Vicarious liability adalah pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan orang lain. Kedua orang tersebut harus mempunyai hubungan atasan dan bawahan atau hubungan majikan dan buruh atau hubungan pekerjaan. Perbuatan yang dilakukan oleh pekerja harus dalam ruang lingkup pekerjaannya. 7Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta: Kencana Prenada, 2006), hlm. 34


(21)

pidana yang bersifat khusus. Sedangkan yang berorientasi kepada perlindungan individu, dapat dilihat dari ide individualisasi pemidanaan.8

Menurut Arief, makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana dapat dilihat dari:9

1. Sudut pendekatan kebijakan

a. sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai atau menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya).

b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan).

c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya bagian dari upaya pembaharuan substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum. 2. Sudut pendekatan nilai

Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali nilai-nilai sosiopolitik, sosio-filosofis dan

8 Yesmil Anwar dan Adang, op cit, hlm. 36-37

9 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta: Kencana Prenada, 2008), hlm. 26


(22)

sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan.

Masalah pidana dan pemidanaan dalam sejarahnya selalu mengalami perubahan. Dari abad ke abad, keberadaannya banyak diperdebatkan oleh para ahli. Bila dilihat dari perkembangan masyarakat manusia, perubahan itu adalah hal yang wajar, karena manusia akan selalu berupaya untuk memperbaharui tentang suatu hal demi meningkatkan kesejahteraannya dengan mendasarkan diri pada pengalamannya di masa lampau10 Sanksi pidana harus merupakan pernyataan secara konkret tentang penilaian terhadap masyarakat terhadap perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Sanksi pidana harus merupakan peringatan agar orang menjauhi perbuatan yang dapat membawa akibat pengenaan pidana itu. Pengenaan pidana itu harus diarahkan untuk mendorong terpidana agar mengaktualisasikan nilai-nilai kemanusiaannya sehingga akan mampu mengendalikan kecenderungan-kecenderungan yang negatif.11

Sanksi pidana bertujuan memberikan penderitaan istimewa (bijzonder leed) kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya. Selain ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap pelaku, sanksi pidana juga merupakan bentuk pernyataan pencelaan terhadap perbuatan pelaku.12 Menurut Alf Ross, untuk dapat dikategorikan sebagai sanksi pidana (punishment), suatu sanksi harus memenuhi dua syarat atau tujuan. Pertama, pidana ditujukan kepada pengenaan penderitaan terhadap

10 M. Sholehhudddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm.1

11 Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, (Jakarta: Kompas, 2009), hlm.236-237

12 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1992), hlm. 5


(23)

orang yang bersangkutan. Kedua, pidana itu merupakan suatu pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku.13

Fungsi sanksi dalam hukum pidana, tidaklah semata-mata menakut-nakuti atau mengancam para pelanggar, akan tetapi lebih dari itu, keberadaan sanksi tersebut juga harus dapat mendidik dan memperbaiki si pelaku.14 Pidana itu pada hakikatnya merupakan nestapa, namun pemidanaan tidak dimaksud untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.15 Landasan pemikiran pembaharuan terhadap pidana dan pemidanaan bukan hanya menitikberatkan terhadap kepentingan masyarakat tetapi juga perlindungan individu dari pelaku tindak pidana.

Dengan mengetahui efek dari berbagai sanksi pidana, maka hakim dapat mempertimbangkan jenis pidana apa yang paling sesuai untuk kasus tertentu. Untuk pemidanaan yang sesuai, masih perlu diketahui lebih banyak mengenai si pembuat. Ini memerlukan informasi yang cukup tidak hanya tentang pribadi si pembuat, tetapi juga tentang keadaan-keadaan yang menyertai perbuatan yang dituduhkan. Digunakannya pidana sebagai sarana untuk mempengaruhi tindak laku seseorang tidak akan begitu saja berhasil, apabila sama sekali tidak diketahui tentang orang yang menjadi objeknya. Hal yang paling diinginkan dari pidana tersebut adalah mencegah si pembuat untuk mengulangi perbuatannya.16 Berkembangnya konsep

13 Ibid

14 M. Sholehhudddin, opcit hlm.162

15 Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana Dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996),hlm.3


(24)

untuk mencari alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan (alternative to imprisonment) dalam bentuknya sebagai sanksi alternatif (alternative sanction)17

Pidana kerja sosial (community service order) merupakan salah satu jenis pidana yang berdasarkan kajian baik teoritis maupun praktis yang dilakukan oleh negara-negara Eropa dapat menjadi alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan.18 Pidana kerja sosial dimaksudkan agar terpidana dapat dibebaskan dari rasa bersalah, dan masyarakat dapat berperan serta secara aktif untuk memasyarakatkan terpidana dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat.19 Karena adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap pidana perampasan kemerdekaan, yang telah terbukti sangat merugikan baik terhadap individu yang dikenai pidana, maupun terhadap masyarakat.20 Selama ini pidana penjara dianggap sebagai pidana yang kurang efektif untuk mencapai tujuan pemidanaan, meskipun mempunyai efek pencegahan (detterence effect) cukup andal.21

17 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Universitas Diponegoro, 1995), hlm.132

18 Tongat, Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta:Djambatan, 2001), hlm.1

19 Penjelasan Pasal 65 RKUHP Tahun 2006 menyatakan bahwa ketentuan dalam pasal ini memuat jenis-jenis pidana yang dapat dijatuhkan oleh hakim. Ancaman pidana terhadap tindak pidana yang dirumuskan dalam Buku Kedua hanya meliputi jenis pidana penjara, pidana denda dan atau pidana mati. Pidana tutupan dan pidana pengawasan pada dasarnya merupakan suatu cara pelaksanaan pidana sebagai alternatif dari pidana penjara. Sedangkan pidana kerja sosial, merupakan jenis pidana baru yang di berbagai negara sudah dilaksanakan secara luas. Pencantuman jenis pidana ini merupakan konsekuensi diterimanya hukum pidana yang bersifat daad daderstrafrecht yang sejauh mungkin berusaha untuk mengembangkan alternatif pidana perampasan kemerdekaan. Melalui penjatuhan jenis pidana ini, terpidana dapat dibebaskan dari rasa bersalah, dan masyarakat dapat berperan serta secara aktif untuk memasyarakatkan terpidana dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat

20 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: Alumni, 1992), hlm.5

21 Widodo, Ancaman Pidana Kerja Sosial Terhadap Pelaku Cybercrime di Indonesia, http://fh.wisnuwardhana.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=19&Item id=3, diakses tanggal 10 Februari 2009. Lihat dalam Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan,(Medan:


(25)

Setelah Perang Dunia II, dirasakan bahwa manfaat pidana penjara bagi perbaikan atau rehabilitasi penjahat menjadi manusia yang lebih berguna sesudah keluar dari penjara ternyata tidak ada sama sekali. Pidana penjara dan pelaksanaannya telah banyak ditemukan berbagai dampak yang negatif, oleh karena itu perlu diadakan modifikasi bentuk, batasan waktu pidana, tempat penyelenggaraan pidana, dan stelsel pengaturan atau penerapan pidana.22 Pidana penjara yang singkat akan menyebabkan narapidana itu berguru tentang kejahatan pada penjahat kakap. Akhirnya, sesudah Perang Dunia II, dicari alternatif lain selain pidana penjara yang singkat karena pidana penjara yang singkat seperti satu sampai enam bulan akan menjadi too short for rehabilitation, too long for corruption, padahal sejak seratus tahun yang lalu, von Liszt sudah berjuang agar dihapus pidana penjara yang singkat itu.23

Menurut Wolf Middendorf, penggunaan pidana penjara jangka pendek seharusnya dikenakan untuk “white collar crime” dimana pidana denda tidak mempunyai pengaruh. Dan narapidana bagi pidana penjara jangka pendek harus dipisah dari narapidana penjara jangka panjang. Narapidana penjara jangka pendek ini seharusnya dikirim ke “open camp” dimana mereka dipekerjakan untuk Pustaka Bangsa Press, 2008), hlm. 74. Detterence effect ini dapat dibagi menjadi pencegahan umum (general detterence) dan pencegahan khusus (individual or special detterence).Tujuan pemidanaan untuk prevensi umum diharapkan memberi peringatan kepada masyarakat supaya tidak melakukan kejahatan. Prevensi umum ini menurut van Veen, mempunyai tiga fungsi yaitu menegakkan wibawa pemerintah, menegakkan norma dan membentuk norma. Sedangkan prevensi khusus dimaksudkan dengan pidana yang dijatuhkan kepada pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya kembali.

22 Bambang Poernomo, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Yogyakarta:Liberty, 1988), hlm. 21 23 A.Z. Abidin Farid dan A. Hamzah, Bentuk-bentuk Khusus Perwujudan Delik (Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Delik) dan Hukum Penitensier, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm.4


(26)

keuntungan atau kepentingan masyarakat.24 Pidana penjara jangka pendek akan sangat merugikan sebab disamping kemungkinan terjadinya hubungan-hubungan yang tidak dikehendaki, maka pidana penjara jangka pendek tidak mendukung kemungkinan untuk mengadakan rehabilitasi narapidana di satu pihak, dan di lain pihak bahkan menimbulkan apa yang disebut stigma atau cap jahat.25

Over capasity atau kelebihan tingkat hunian merupakan permasalahan utama yang dihadapi lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) terutama di Pulau Jawa. Tingkat hunian yang sudah melebihi daya tampung ini sangat menyulitkan baik dalam segi pembinaan, pengawasan maupun pemeliharaan sanitasi para warga binaan itu sendiri. Oleh karena itu perlu dipikirkan langkah-langkah untuk mengatasi tingkat kepadatan tersebut.26 Adapun perbandingan antara warga binaan pemasyarakatan dengan kapasitas dari Lembaga Pemasyarakatan dan Rutan di Indonesia adalah sebagai berikut:27

Tabel 1. Perbandingan antara jumlah warga binaan pemasyarakatan dengan kapasitas LP dan Rutan di Indonesia.

24 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hlm.36

25 Wolf Middendorf dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, op cit hlm. 80, bahwa stigma terjadi bilamana identitas seseorang terganggu atau rusak, yang berarti bahwa persesuaian antara apakah seseorang itu dengan pandangan masyarakat terhadap dia, terganggu atau rusak.

26 Solusi Atas Over Capasity Lembaga Pemasyarakatan, http://majalah.depkumham.go.id/node/122, diakses pada 5 Mei 2009

27 Direktorat Jendral Pemasyarakatan, Departemen Hukum dan HAM RI, Visi, Misi dan Strategi Kegiatan Bulan Tertib Pemasyarakatan, Disampaikan dalam Seminar Pencegahan Penyiksaan dan Mekanisme Nasional Untuk Pencegahan Penyiksaan di Indonesia, Jakarta 2008.


(27)

Tahun Jumlah

2004 2005 2006 2007 Juni 2008

Tahanan Napi

31.306 55.144

40.764 56.907

47.496 69.192

54.307 76.525

54.494 82.650

Total 86.450 97.671 116.688 130.832 137.144

Kapasitas 66.891 68.141 70.241 81.384 81.384 Sumber: Directorate of Registration and Statistic-DGC

Dari tabel di atas dapat dilihat kelebihan kapasitas dari LP dan Rutan. Pada tahun 2004, kelebihan kapasitas sebanyak 19.559 orang, tahun 2005 kelebihan kapasitas sebanyak 29.530 orang, tahun 2006 kelebihan kapasitas sebanyak 46.477 orang, tahun 2007 kelebihan kapasitas sebanyak 49.448 orang dan sampai Juni 2008 kelebihan kapasitas sebanyak 55.760 orang.

Pidana penjara juga membawa “pendidikan kejahatan oleh penjahat”. Lembaga Pemasyarakatan seringkali berfungsi sebagai “tempat kuliahnya para penjahat” yang akan melahirkan penjahat yang lebih profesional. Dengan lahirnya penjahat profesional ini, pada gilirannya juga akan menambah beban kepada masyarakat karena timbulnya ancaman yang lebih besar.28

Pidana penjara juga memberikan efek negatif berupa dehumanisasi dimana terpidana mendapat proses pengasingan dari masyarakat selama kehilangan kemerdekaan bergerak. Oleh karenanya terpidana membutuhkan proses adaptasi

28 Tongat, op cit, hlm. 49


(28)

sosial yang rumit atau sosialisasi dengan masyarakat untuk kembali menjadi anggota masyarakat yang baik.29

Ada tiga alternatif pidana yang dapat menggantikan pidana penjara,yaitu kontrak atau perjanjian untuk pembinaan (contract treatment), pencabutan dan pembatasan-pembatasan terhadap hak-hak tertentu (deprivation and interdicts concerning rights or licencies), pidana kerja sosial (community service order).30

Dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia, kajian yang dilakukan tersebut merupakan sumbangan yang sangat berharga. Dalam konsep pembaharuan hukum pidana Indonesia, dilihat dari telah diadopsinya pidana kerja sosial dalam Rancangan KUHP.31

Berdasar uraian di atas maka tertarik untuk mengkaji tentang pidana kerja sosial yang menjadi salah satu bentuk pidana yang ada dalam pembaharuan hukum pidana nasional.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian tersebut, beberapa permasalahan pokok yang akan diteliti antara lain sebagai berikut:

1. Bagaimana dasar filosofis pidana kerja sosial dalam filsafat pemidanaan?

29 Ibid

30 Andi Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, (Jakarta:Akademi Persindo, 1984), hlm. 24

31 Pasal 65 ayat 1 RUU KUHP. Pidana pokok terdiri atas: a).pidana penjara; b). pidana tutupan; c). pidana pengawasan; d). pidana denda; e). pidana kerja sosial


(29)

2. Bagaimana konsep pidana kerja sosial dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia yang diatur dalam RUU KUHP Tahun 2006 dan perbandingannya dengan pidana kerja sosial dalam KUHP negara lain?

3. Apakah konsep pidana kerja sosial dalam RUU KUHP Tahun 2006 sesuai dengan tujuan pemasyarakatan menurut UU No.12 Tahun 1995?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. untuk mengetahui dasar filosofis pidana kerja sosial dalam filsafat pemidanaan. 2. untuk mengetahui konsep pidana kerja sosial dalam pembaharuan hukum pidana

Indonesia yang diatur dalam RUU KUHP Tahun 2006 dan perbandingannya dengan pidana kerja sosial dalam KUHP negara lain.

3. untuk mengetahui sesuai atau tidaknya konsep pidana kerja sosial dengan tujuan pemasyarakatan menurut UU No.12 Tahun 1995.

D. Manfaat Penelitian

Adapun hasil penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis. Kedua manfaat tersebut antara lain sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan dalam pengembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum pidana mengenai


(30)

suatu pemikiran tentang pidana kerja sosial yang berguna bagi penyusunan perundang-undangan yang berkaitan dengan pidana tersebut. Dengan bahan hukum yang terkumpul, diharapkan dapat digunakan sebagai bahan perbandingan bagi studi yang lebih mendalam tentang pidana kerja sosial sebagai salah satu bentuk pidana yang ada dalam RUU KUHP Tahun 2006.

2. Manfaat Praktis

Penelitian diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan acuan oleh semua pihak dalam pemahaman terhadap pemikiran tentang pidana kerja sosial sebagai salah satu bentuk pidana.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan berdasarkan data yang yang ada di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Program Studi Magister Ilmu Hukum, diketahui bahwa penelitian tentang pidana kerja sosial dalam pembaharuan hukum pidana nasional belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama. Penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka. Penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan permasalahan.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori


(31)

Pemidanaan mempunyai beberapa tujuan yang bisa diklasifikasikan berdasarkan teori-teori tentang pemidanaan. Pembabakan tentang tujuan pemidanaan ini dapat diuraikan berdasarkan tujuan retributif, detterence, treatment, social defence dan restorative justice.

a. Teori retributif

Teori ini melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan seseorang. Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila di masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan harus dibalas dengan menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun, sehingga pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan yaitu pembalasan.32

b. Teori Detterence

Teori detterence dapat dibagi menjadi teori special detterence dan teori general detterence. Dalam special detterence theory (pencegahan khusus), efek pencegahan dari pidana yang dijatuhkan diharapkan terjadi setelah pemidanaan dilakukan (after the fact inhibition), sehingga terpidana tidak akan lagi melakukan kejahatan serupa di masa datang. Menurut teori ini, pemidanaan merupakan sarana untuk mengintimidasi mental si terpidana. Teori ini disebut juga dengan teori penjeraan yang bermaksud agar pelanggar menjadi jera. Dan oleh H.L Packer disebut dengan intimidation theory. 33

32 Mahmud Mulyadi, op cit, hlm. 68-69

33 H.L Packer dalam Jimmly Asshiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1996),hlm. 170


(32)

Sedangkan dalam general detterence (pencegahan umum), efek pencegahan dari pidana yang dijatuhkan diharapkan terjadi sebelum pemidanaan dilakukan (before the fact inhibition). Pencegahan umum ini dilakukan melalui pemidanaan yang dijatuhkan secara terbuka atau diketahui umum sehingga orang lain dapat dicegah dari kemungkinan melakukan kejahatan yang sama.34

c. Teori Treatment

Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan pada pelaku kejahatan, bukan pada perbuatannya. Pemidanaan yang dimaksudkan pada aliran ini adalah untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman.Pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation).35

d. Teori Social Defence

Menurut F. Gramatika, hukum perlindungan masyarakat (law of social defence) harus menggantikan hukum pidana yang ada. Tujuan utama hukum perlindungan masyarakat adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Hukum perlindungan masyarakat

34 Ibid


(33)

mensyaratkan penghapusan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) dan digantikan tempatnya oleh pandangan tentang perbuatan anti sosial. 36

Menurut Marc Ancel, yang menamakan gerakannya dengan New Social Defence, atau perlindungan masyarakat baru ingin mengintegrasikan ide-ide atau konsepsi-konsepsi perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi baru hukum pidana. Konsepsi atau pemikiran yang dikemukakan oleh gerakan perlindungan masyarakat baru ini adalah:

1. Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat mengenai hukum pidana, karena itu sistem hukum, tindak pidana, penilaian hakim terhadap pelaku serta pidana merupakan institusi yang harus tetap dipertahankan, namun tidak digunakan dengan fiksi-fiksi dan teknik-teknik yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial.

2. Kejahatan merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial (a human and social problem) yang tidak dapat begitu saja dipaksakan dimasukkan dalam perundang-undangan.

3. Kebijakan pidana bertolak pada konsepsi pertanggungjawaban yang bersifat pribadi (individual responsibility) yang menjadi kekuatan penggerak utama dan proses penyesuaian sosial. Pertanggungjawaban pribadi ini menekankan pada kewajiban moral ke arah timbulnya moralitas sosial.37

e. Teori Restorative Justice

Adapun teori restorative justice menurut Muladi yaitu:

1. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seseorang terhadap orang lain, dan diakui sebagai konflik.

2. Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan kewajiban pada masa depan.

3. Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi

36 F. Gramatika dalam Tongat, Pidana Seumur Hidup Dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia, (Malang: UMM Press, 2004), hlm.65


(34)

4. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi seebagai tujuan utama.

5. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas dasar hasil. 6. Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial.

7. Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif.

8. Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak pidana didorong untuk bertanggungjawab.

9. Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik.

10. Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial dan ekonomis. 11. Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif.38

Pidana kerja sosial sangat sesuai dengan teori sosial defence karena pidana ini mengintegrasikan terpidana ke dalam tertib sosial. Dari segi aspek perlindungan masyarakat, pidana kerja sosial yang merupakan alternatif dari pidana penjara jangka pendek dimaksudkan untuk menghindari efek negatif dari penerapan pidana penjara jangka pendek. Terpidana dapat terhindar dari stigmatisasi, kehilangan rasa percaya diri yang sangat diperlukan dalam pembinaan narapidana. Dengan pidana kerja sosial,terpidana dapat menjalani kehidupannya secara normal sebagaimana orang yang tidak sedang menjalani pidana. Adanya kebebasan ini akan memberikan kesempatan kepada terpidana untuk menjalankan kewajibannya kepada keluarga dan masyarakat. Berhasilnya pembinaan individu terpidana akan memberikan perlindungan terhadap individu untuk tidak mengulangi perbuatannya, dan akan memberikan perlindungan kepada masyarakat dengan berkurangnya ancaman sebagai korban kejahatan.

2. Landasan Konsepsi


(35)

Landasan konsepsional akan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang digunakan oleh peneliti dalam penulisan ini. Konsep merupakan bagian yang penting dari rumusan teori. Pengertian konsep sendiri diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dalam hal-hal yang khusus yang lazim disebut definisi operasional. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian penafsiran mendua dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu juga dipergunakan untuk memberikan arah pada proses penelitian ini. Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yaitu pidana kerja sosial dan pembaharuan hukum pidana. Dari dua variabel tersebut akan dijelaskan pengertian masing-masing sebagai berikut:

a. Pidana adalah reaksi atas delik, yang berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.39

b. Pemidanaan diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana.40

c. Pidana kerja sosial adalah suatu bentuk pidana dimana pidana yang dijalani oleh terpidana dengan melakukan pekerjaan sosial yang ditentukan. Pelaksanaan pidana ini tidak bersifat komersial.41

d. Pembaharuan hukum pidana adalah suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosial politik, sosial filosofis, dan sosial kultural masyarakat Indonesia yang melandasi

39 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 9 40 M.Sholehuddin, op cit, hlm. 42


(36)

kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.42

e. Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pembinaan dalam tata peradilan pidana43

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian hukum yang dilakukan adalah yuridis normatif.44 Penelitian ini melakukan terhadap pidana kerja sosial yang ada di dalam RUU KUHP Tahun 2006 dalam rangka pembaharuan hukum pidana nasional. Sifat penelitiannya adalah deskriptif analitis yaitu memaparkan dan menguraikan berbagai permasalahan dan menganalisis permasalahan tersebut yang berkenaan dengan pidana kerja sosial terutama dasar filosofisnya dalam filsafat pemidanaan, prospeknya dalam pembaruan hukum pidana nasional dan perbandingannya dengan pidana kerja sosial yang diatur dalam KUHP negara asing.

Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach)45 yang mengatur jenis-jenis pidana dalam KUHP dan pidana kerja

42 Yesmil Anwar dan Adang, op cit, hlm.20-21

43 Pasal 1 ayat 1 UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

44 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia, 2007), hlm. 295, bahwa yuridis normatif adalah penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.

45 Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2008), hlm. 92, bahwa pendekatan undang-undang yang sebagian ilmuwan menyebutnya sebagai pendekatan


(37)

sosial yang diatur dalam KUHP negara lain yang akan dijadikan sebagai perbandingan. Pendekatan konseptual (conseptual approach)46 dilakukan untuk memahami konsep-konsep yang berhubungan dengan pidana kerja sosial. Pendekatan perbandingan (comparative approach)47 dilakukan untuk melihat bagaimana negara lain mengatur dan menerapkan pidana kerja sosial.

2. Sumber Data Penelitian

Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari: 1. Bahan hukum primer yakni KUHP, RUU KUHP Tahun 2006, dan peraturan

perundang- undangan negara lain yang mengatur tentang pidana kerja sosial. 2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku teks,

jurnal, doktrin yang berkaitan dengan pidana kerja sosial.

3. Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan (library research) yaitu meneliti bahan-bahan seperti buku-buku, konsep rancangan undang-undang,

yuridis, yaitu penelitian terhadap produk-produk hukum. Dalam metode pendekatan perundang-undangan, peneliti perlu memahami hierarki dan asas-asas dalam peraturan perundang-undangan. 46 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 137, bahwa pendekatan konseptual dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada. Hal ini dilakukan karena belum atau tidak ada aturan hukum untuk masalah yang dihadapi.

47 Ibid, hlm. 133, bahwa pendekatan perbandingan dilakukan dengan mengadakan studi perbandingan hukum.Studi perbandingan hukum merupakan kegiatan untuk membandingkan hukum suatu negara dengan hukum negara lain atau hukum dari suatu waktu tertentu dengan hukum dan waktu yang lain


(38)

dokumen-dokumen serta sumber teoritis lainnya yang dikumpulkan melalui literatur-literatur yang berhubungan dengan pidana kerja sosial.

4. Analisis Data

Keseluruhan data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif.48 Analisis kualitatif ini akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data. Selanjutnya semua data diseleksi dan diolah, kemudian dianalisis secara deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan, diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.

H. Sistematika Penulisan

Tesis ini disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri atas beberapa subbab untuk lebih memperjelas ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan tata letak masing-masing bab serta pokok pembahasannya adalah sebagai berikut:

Bab I yang merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang, permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penulisan, kerangka teori dan konsepsi, metode penelitian dan sistematika penulisan.

48 M. Syamsudin, Operasionalisasi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 133, bahwa pengolahan dan analisis data kualitatif lebih menekankan analisisnya pada proses penyimpulan deduktif dan induktif serta pada dinamika hubungan antara fenomena yang diamati, dengan menggunakan logika ilmiah, berusaha menjawab pertanyaan penelitian melalui cara-cara berpikir formal dan argumentatif.


(39)

Bab II yang menguraikan dasar filosofis pidana kerja sosial dalam filsafat pemidanaan dan dalam subbabnya menjelaskan latar belakang lahirnya pidana kerja sosial, pidana kerja sosial dilihat dari filsafat pemidanaan, pidana kerja sosial merupakan sanksi pidana bukan sanksi tindakan.

Bab III yang menguraikan prospek pidana kerja sosial dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia dan perbandingannya dengan KUHP negara lain dan dalam subbabnya menjelaskan prospek pidana kerja sosial dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia, perbandingan konsep pidana kerja sosial dalam RUU KUHP Indonesia Tahun 2006 dengan pidana kerja sosial dalam KUHP negara lain.

Bab IV menguraikan relevansi konsep pidana kerja sosial dengan tujuan pemasyarakatan menurut UU No.12 Tahun 1995 dan dalam sub babnya menjelaskan bahwa pidana kerja sosial dilihat dari kebijakan kriminal, relevansi pidana kerja sosial terhadap tujuan pemasyarakatan menurut UU No.12 Tahun 1995.

Bab V menguraikan kesimpulan yang merupakan rangkuman dari hasil penelitian dan analisanya. Begitu juga dengan saran-saran yang merupakan sumbangan pemikiran ilmiah.


(40)

BAB II

DASAR FILOSOFIS PIDANA KERJA SOSIAL DALAM FILSAFAT PEMIDANAAN

A. Latar Belakang Lahirnya Pidana Kerja Sosial

Dewasa ini baik di Indonesia maupun di dunia internasional muncul kecenderungan untuk mencari alternatif pidana perampasan kemerdekaan terutama pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek. Upaya untuk mencari alternatif pidana perampasan kemerdekaan bertolak dari kenyataan, bahwa pidana perampasan kemerdekaan semakin tidak disukai baik pertimbangan kemanusiaan, pertimbangan filosofis maupun pertimbangan ekonomis.49

Atas pertimbangan kemanusiaan, pidana perampasan kemerdekaan semakin tidak disukai oleh karena jenis pidana ini mempunyai dampak negatif yang tidak kecil tidak saja terhadap narapidana, tetapi juga terhadap keluarga serta orang-orang yang kehidupannya tergantung dari narapidana tersebut. Beberapa dampak negatif pidana perampasan kemerdekaan,50 terhadap narapidana antara lain:51

1. Loos of personality

49 Tongat, op cit, hlm.4

50 Lihat Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2006), hlm. 71. P.A.F Lamintang mengemukakan bahwa pidana perampasan kemerdekaan berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut. 51 Tongat, Pidana op cit, hlm.5


(41)

Seorang narapidana dapat kehilangan kepribadian atau identitas diri, akibat peraturan dan tata cara hidup di Lembaga Pemasyarakatan.

2. Loos of security

Selama menjalani pidana, narapidana selalu dalam pengawasan petugas, sehingga ia merasa kurang aman, merasa selalu dicurigai atas tindakannya.

3. Loos of liberty

Dengan dikenai pidana jelas kemerdekaan individualnya terampas, hal ini dapat menyebabkan perasaan tertekan, pemurung, mudah marah, sehingga dapat menghambat proses pembinaan.

4. Loos of personal communication

Dengan menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan, maka kebebasan untuk berkomunikasi dengan siapapun dibatasi.

5. Loos of good and service

Selama di Lembaga Pemasyarakatan, narapidana dapat merasa kehilangan pelayanan yang baik, karena semua harus dikerjakan sendiri.

6. Loos of heterrosexual

Dengan pembatasan bergerak dan penempatan narapidana menurut jenis kelamin, jelas narapidana akan merasakan terampasnya naluri seks, kasih sayang dan kerinduan pada keluarga.


(42)

Selama dalam Lembaga Pemasyarakatan dan munculnya perlakuan yang bermacam-macam baik dari petugas maupun sesama narapidana lainnya, dapat menghilangkan harga dirinya.

8. Loos of belief

Akibat dari perampasan kemerdekaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan, narapidana dapat menjadi kehilangan atas rasa percaya diri.

9. Loos of creatifity

Narapidana selama menjalani pidananya di dalam Lembaga Pemasyarakatan, karena perasaan tertekan dapat kehilangan daya kreatifitasnya, gagasan-gagasannya dan imajinasinya.

Narapidana juga akan kehilangan hak-hak tertentu, seperti di bawah ini:52 1. Hak untuk memilih dan dipilih

Alasannya ialah agar kemurnian pemilihan terjamin, bebas dari unsur-unsur immoral dan perbuatan-perbuatan yang tidak jujur.

2. Hak untuk memangku jabatan publik.

Alasannya ialah agar publik bebas dari perlakuan manusia yang tidak baik.

3. Sering pula disyaratkan untuk bekerja pada perusahaan-perusahaan. Dalam hal ini, telah dipraktikkan pengenduran dalam batas-batas tertentu.

4. Hak untuk mendapat perizinan-perizinan tertentu.

Misalnya izin usaha, izin praktik (seperti dokter, advokat, notaris, dan lain-lain).


(43)

5. Hak untuk mengadakan asuransi hidup. 6. Hak untuk tetap dalam ikatan perkawinan.

Pemenjaraan merupakan salah satu alasan untuk minta perceraian menurut hukum perdata.

7. Hak untuk kawin

Meski adakalanya seseorang itu kawin pada saat menjalani pidana penjara, itu merupakan keadaan luar biasa dan merupakan formalitas saja.

Dalam pertimbangan filosofis, terjadinya transformasi konseptual dalam sistem pidana dan pemidanaan yang terjadi di dunia pada umumnya dari konsepsi retribusi ke arah konsep reformasi, ikut mendorong munculnya semangat untuk mencari alternatif pidana yang lebih manusiawi. Konsep pemidanaan yang hanya berorientasi terhadap pembalasan (punishment to punishment) telah digantikan dengan konsep pembinaan (treatment philosophy).53

Dalam pertimbangan ekonomis, kecenderungan untuk mencari alternatif pidana perampasan kemerdekaan bertolak pada kenyataan bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk membiayai pelaksanaan pidana perampasan kemerdekaan sangat besar. Besarnya biaya tersebut antara lain biaya hidup narapidana seperti makan, pakaian dan sebagainya yang dari waktu ke waktu menunjukkan angka yang relatif besar.54

53Tongat, op cit, hlm.6 54 Ibid


(44)

Ada beberapa pendapat atau kritik terhadap pidana penjara jangka pendek, adalah sebagai berikut:

1. Menurut Rekomendasi Kongres Kedua Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai “The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders” tahun 1960 di London yang menyatakan antara lain:55

a. Kongres mengakui bahwa pidana penjara jangka pendek mungkin berbahaya karena pelanggar dapat terkontaminasi dan sedikit atau tidak memberi kesempatan untuk menjalani pelatihan yang konstruktif, tetapi kongres mengakui bahwa dalam hal-hal tertentu penjatuhan pidana penjara jangka pendek mungkin diperlukan untuk tujuan keadilan.

b. Dalam praktek, penghapusan menyeluruh pidana penjara jangka pendek tidaklah mungkin, pemecahan yang realistik hanya dapat dicapai dengan mengurangi jumlah penggunaannya.

c. Pengurangan yang berangsur-angsur itu dengan meningkatkan bentuk-bentuk pengganti atau alternatif seperti pidana bersyarat, pengawasan atau probation, denda, pekerjaan di luar lembaga atau pidana kerja sosial dan tindakan-tindakan lain yang tidak mengandung perampasan kemerdekaan.

d. Dalam hal pidana penjara jangka pendek tidak dapat dihindarkan, pelaksanaannya harus terpisah atau tersendiri dari narapidana penjara jangka


(45)

panjang, dan pembinaannya harus bersifat konstruktif, pribadi dan dalam lembaga terbuka (open institution).

2. Menurut Wolf Middendorf mengemukakan bahwa:56

a. Dalam penelitian mengenai efektivitas treatment terhadap juvenile delinquency, pidana penjara jangka pendek dapat menghasilkan residivis sama dengan pidana penjara dalam jangka waktu yang lama untuk semua tipe anak dalam kelompok umur yang sama.

b. Pidana jangka pendek misalnya enam bulan ke bawah tidak mempunyai reputasi yang baik, tetapi pada umumnya diyakini lebih baik dan tidak dapat dihindari.

c. Di banyak negara kebanyakan dijatuhkan dalam perkara lalu lintas, khususnya drinken driving (mengemudi dalam keadaan mabuk).

d. Penggunaan pidana penjara jangka pendek seharusnya dikenakan untuk white collar crime dimana pidana denda sering tidak berpengaruh.

e. Di beberapa negara misalnya Belanda, pidana penjara jangka pendek dilaksanakan dalam lembaga minimum security dengan keberhasilan yang memadai.

f. Narapidana pidana penjara jangka pendek harus dipisah dari narapidana penjara dalam jangka waktu yang lama, dan seharusnya dikirim ke open

56 Ibid, hlm.35-36


(46)

camp dimana mereka dipekerjakan untuk keuntungan atau kepentingan masyarakat.

3. Johannes Andenaes57

a. Walaupun telah menjadi dogma di dalam penologi bahwa pidana penjara jangka pendek merupakan pemecahan yang buruk karena tidak memberikan kesempatan untuk melakukan rehabilitasi, tetapi sedikit bukti bahwa pidana penjara yang lama memberikan hasil yang lebih baik dari pidana penjara jangka pendek (there is little evidence that longer prison sentences give better results than short ones).

b. Pidana penjara jangka pendek yang tidak memberi kemungkinan untuk merehabilitasi pelanggar tetapi cukup mencap dia dengan stigma penjara dan membuat atau menetapkan kontak-kontak yang tidak menyenangkan.

4. Clemmer

Kehidupan penjara harus dilihat sebagai suatu masyarakat di dalam suatu masyarakat. Clemmer melukiskan penjara sebagai suatu sistem sosial yang informal yang disebut sebagai sub kultur narapidana. Subkultur narapidana ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan individual dari masing-masing narapidana, khususnya proses sosialisasi narapidana tersebut ke dalam masyarakat narapidana yang disebut sebagai prisonisasi.58 Dalam proses

57 Ibid, hlm.36-37

58 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: Alumni, 1992), hlm.141-142. Lihat juga Clemmer, Prisonization dalam Crime and Its Treatment. John Barron Mays London: Longman Group Limited,1970, hlm.108-109.


(47)

prisonisasi ini, narapidana baru harus membiasakan diri terhadap aturan-aturan yang berlaku di dalam masyarakat narapidana. Ia juga harus mempelajari kepercayaan, perilaku-perilaku dan nilai dari masyarakat tersebut. Di samping faktor-faktor universal ini, maka Clemmer menyebutkan faktor-faktor lain yang menentukan sehingga orang yang menjadi terpenjara, dalam hal ini meliputi lamanya pidana yang harus dijalani, stabilitas kepribadian terpidana, hubungan yang terus menerus dengan orang-orang di luar penjara, penempatannya di dalam kelompok-kelompok kerja, sel dan sebagainya.59 Makin lama pidana penjara dijalani, maka kecenderungan untuk terpenjara semakin besar. Kemudian seseorang yang menjadi terpenjara cenderung untuk melakukan tindak-tindak pidana lebih lanjut setelah ia keluar dari penjara.

5. Barnes and Teeters60

Penjara telah tumbuh menjadi tempat pencemaran yang justru oleh penyokong-penyokong penjara dicoba untuk dihindari, sebab di tempat ini penjahat-penjahat kebetulan, pendatang baru di dunia kejahatan dirusak melalui pergaulan dengan penjahat-penjahat kronis. Sekalipun pidana penjara itu berjangka pendek, maka justru akan sangat merugikan sebab di samping kemungkinan terjadinya hubungan-hubungan yang tidak dikehendaki, maka pidana penjara jangka pendek jelas tidak mendukung kemungkinan untuk mengadakan rehabilitasi narapidana

59 Ibid, hlm. 142. Lihat Donald Clemmer, Prisonization dalam The Sociology of Punishment and Correction, Norman Johnston, Leonard Savitz dan Marvin E.Wolfgang (New York: John Wiley & Sons. 1962), hlm.481


(48)

di satu pihak, dan di lain pihak bahkan menimbulkan apa yang disebut stigma atau cap jahat.

Menurut Hoefnagels, stigma terjadi bilamana identitas seseorang terganggu atau rusak, yang berarti bahwa persesuaian antara apakah seseorang itu dengan pandangan masyarakat terhadap dia terganggu atau rusak. Stigmatisasi ini pada dasarnya menghasilkan segala bentuk sanksi negatif, yang berturut-turut meninggalkan stigma. Karena suatu kejahatan, seseorang dipidana sehingga ia kehilangan pekerjaannya selanjutnya hal tersebut menempatkannya di luar lingkungan teman-temannya, dan kemudian stigmatisasi menyingkirkannya dari lingkungan orang-orang yang benar. Stigma meningkatkan sanksi negatif dan sanksi negatif tersebut memperkuat stigma. Secara psikologis, stigma ini menimbulkan kerugian yang terbesar bagi pelaku tindak pidana, karena dengan demikian publik mengetahui bahwa ia adalah seorang penjahat, dengan segala akibatnya.61

Pidana penjara jangka pendek seringkali merupakan proses sosial deformation (rusaknya hubungan sosial). Hampir seluruh bentuk stimulasi sosial menjadi hilang. Penelitian di Amerika Serikat melaporkan bahwa karena lingkungannya, narapidana yang menjalani pidana penjara dalam waktu yang lama lebih banyak menghadapi masalah daripada yang baru menjalani pidana. Oleh karena itu,

61 Ibid, hlm.144


(49)

reaksi negatif terhadap sekitarnya semakin meningkat sejalan dengan lamanya narapidana tinggal dalam lingkungan penjara.62

Apabila pidana tidak dikehendaki merusak bentuk-bentuk hubungan sosial (social deform), perlu ditetapkan metode-metode stimulasi sosial sebagai bagian dari proses reintegrasi. Stimulasi yang dapat dikembangkan meliputi kesempatan untuk memperoleh pelatihan keterampilan atau pekerjaan (vocational training),menyediakan program-program pendidikan dan rekreasi. Sebuah penelitian terhadap narapidana wanita yang menjalani life sentence mengungkapkan bahwa para napi tersebut secara perlahan kehilangan kemampuan untuk memelihara hubungan dengan keluarga dan kerabat dekatnya serta tidak berdaya memberikan dukungan jika keluarganya memerlukan. Sebagian besar napi wanita kehilangan kepercayaan dirinya sebelum masuk penjara, dan kehidupan dalam penjara hanya semakin memperburuk dan memperendah statusnya. Ketakutam mereka, terutama menimbulkan kemerosotan psikologis yang terletak pada institusionalisasi, kehilangan identitas dan ketidakmampuan untuk merencanakan atau membayangkan masa depan keluarganya dari penjara.63

Berdasarkan pendapat beberapa ahli, maka pidana penjara perlu diganti dengan pidana lain, salah satunya adalah pidana kerja sosial. Demikian juga di dalam draft RUU KUHP Tahun 2006, dikembangkan alternatif sanksi pidana lain seperti

62 Yesmil Anwar dan Adang, op cit, hlm.141 63 Ibid, hlm.141-142


(50)

pidana pengawasan, pidana kerja sosial, pembayaran ganti kerugian dan pemenuhan kewajiban adat.

B. Pidana Kerja Sosial Dilihat Dari Filsafat Pemidanaan

Dalam filsafat pemidanaan bersemayam ide-ide dasar pemidanaan yang menjernihkan pemahaman tentang hakikat pemidanaan sebagai tanggung jawab subjek hukum terhadap perbuatan pidana dan otoritas publik kepada negara berdasarkan atas hukum untuk melakukan pemidanaan.

Pada satu sisi, para ahli filsafat memusatkan diri pada persoalan mengapa kita memidana. Sedangkan pada sisi lain, para ahli hukum dan ahli penologi mengkonsentrasikan diri pada persoalan apakah pemidanaan itu berhasil, efisien, mencegah atau merehabilitasi.64

Filsafat pemidanaan mempunyai dua fungsi. Pertama, fungsi fundamental yaitu sebagai landasan dan asas normatif atau kaidah yang memberikan pedoman, kriteria atau paradigma terhadap masalah pidana dan pemidanaan. Fungsi ini secara formal dan intrinsik bersifat primer dan terkandung di dalam setiap ajaran sistem filsafat. Setiap asas yang diterapkan sebagai prinsip maupun kaidah itulah yang diakui sebagai kebenaran atau norma yang wajib ditegakkan, dikembangkan dan diaplikasikan. Kedua, dalam hal ini sebagai meta teori. Maksudnya filsafat pemidanaan berfungsi sebagai teori yang mendasari dan melatarbelakangi setiap

64 Rudolph J.Gerber dan Patrick D.McAnany, The Philosophy of Punishment dalam The Sociology of Punishment and Correction, Norman Johnston, Leonard Savitz dan Marvin E.Wolfgang (New York: John Wiley & Sons. 1962), hlm.360


(51)

teori-teori pemidanaan.65 Melalui filsafat pemidanaan, dapat ditemukan konsepsi filsafati tentang siapa manusia itu, sehingga terhadapnya diizinkan atau tidak diizinkan pengenaan suatu sanksi baik berupa pidana atau tindakan.66

Menurut teori absolut, pembalasan adalah legitimasi pemidanaan.67 Negara berhak menjatuhkan pidana karena penjahat telah melakukan penyerangan dan pemerkosaan pada hak dan kepentingan hukum yang telah dilindungi.68 Tujuan dijatuhkan pemidanaan pada masa ancient regime berlandaskan pada tujuan retributif, yaitu menjadikan pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan seseorang. Tujuan pemidanaan dilepaskan tujuan apapun, sehingga pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan yaitu pembalasan. Pembalasan ini dirasakan adil sebagai tujuan pemidanaan karena kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila di dalam masyarakat sehingga pelaku kejahatan sangat pantas mendapat pembalasan yang setimpal.69 Pada masa lalu, bentuk hukuman bagi siapa saja yang dinilai melanggar hukum adalah hukuman badan. Artinya, hukuman bagi pelanggar hukum adalah penyiksaan badan. Tiap orang yang dinilai bersalah, kedua kaki dan tangan diikat tali, lalu ditarik dua kuda yang berlawanan arah. Hasilnya, kaki-kaki dan tangan-tangan terpisah dari badan. Hukuman ini dijalankan karena saat itu filosofi hukuman adalah balas dendam dan

65 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm.109

66 M. Sholehhudddin, op cit, hlm.243

67 Eddy.O.S Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Erlangga, 2009), hlm. 10

68 Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta: Grafindo Persada, 2007), hlm.157


(52)

fisik yang harus dihukum. Hukuman penyiksaan fisik dititikberatkan pada kemarahan negara yang berlebihan dan tidak rasional, sehingga pelaku kejahatan tidak pernah diharapkan kembali ke masyarakat menjadi orang baik.70 Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat dengan jelas dalam pendapat Immanuel Kant di dalam bukunya “Philosophy of law” sebagai berikut:

“….. Pidana tidak pernah melaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan atau kebaikan lain, baik bagi pelaku sendiri maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan. Bahkan walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menghancurkan dirinya sendiri pembunuh terakhir yang masih berada dalam penjara harus dipidana mati sebagai resolusi atau keputusan pembubaran masyarakat itu dilaksanakan. Hal ini harus dilakukan karena setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari perbuatannya, dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarakat , karena apabila tidak demikian mereka semua dapat dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan umum.”71

Menurut Sudarto, pidana bersifat retributif dan represif terhadap tindak pidana. Aliran ini berpaham indeterminisme72 mengenai kebebasan kehendak manusia yang berfokus pada perbuatan pelaku kejahatan sehingga dikehendaki hukum pidana pada perbuatan dan bukan pada pelakunya.73 Hukuman itu tidak mempunyai arti dalam dirinya sendiri, ia adalah sarana dan tak lebih dari itu. Dalam

70 Hamid Awaludin, Menyoal Hukum Rajam, Kompas,Senin 28 September 2009

71 Mahrus Ali, op cit, hlm 123-124.Lihat juga Immanuel Kant, Philosophy of Law dalam A Reader on Punishment, RA Duff dan David Garland, (New York: Oxford University Press, 1994), hlm.78

72 Sudarto dalam Ediwarman, Selayang Pandang tentang Kriminologi, (Medan: USU Press, 1994), hlm.14. Indeternisme adalah suatu paham yang menganggap bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki kehendak bebas, mampu mengendalikan diri dan harus bertanggung jawab penuh terhadap perbuatannya. Lihat juga Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2003), hlm.28. Bandingkan dengan determinisme adalah paham yang menganggap bahwa tabiat atau watak seseorang yang melakukan kejahatan, ditentukan oleh kekuatan-kekuatan dari luar dan alasan yang mendorong orang itu yang akhirnya mempunyai kehendak tertentu. Kekuatan-kekuatan itu didorong oleh keadaan dalam masyarakat tempat orang itu hidup.


(53)

ajaran pembalasan, orang bertolak dari hal bahwa perbuatan melakukan peristiwa pidana itu dapat dipersalahkan kepada seorang pribadi yang bebas. Dari segi kefilsafatan, hukuman dipandang pada dirinya sebagai model normatif. Di dalam hukuman, penjahat itu dipandang secara serius, kepada ia sendiri dikenakan apa yang sesungguhnya (berdasarkan daya jangkau dari tindakannya) telah ia inginkan.Ia melakukan ketidakadilan, ia akan mendapatkannya. Itu tidak berarti “mata untuk mata, gigi untuk gigi” (pembalasan tidak perlu dilaksanakan secara mekanik kuantitatif, seperti pada pandangan zaman dahulu), tetapi suatu harmoni kualitatif antara perbuatan dan hukuman.74 Sistem pemidanaan ditetapkan secara pasti (definite sentences). Artinya, penetapan sanksi dalam undang-undang tidak dipakai sistem peringanan atau pemberatan yang berhubungan dengan faktor usia, keadaan jiwa si pelaku, kejahatan-kejahatan yang dilakukannya terdahulu maupun keadaan-keadaan khusus dari perbuatan atau kejahatan yang dilakukan. 75

Menurut Sahetapy, teori retributif memandang pidana sebagai pembalasan terhadap pelaku kejahatan. Meskipun kecenderungan untuk membalas ini pada prinsipnya adalah suatu gejala yang normal, akan tetapi pembalasan tersebut harus dilihat sebagai suatu reaksi keras yang bersifat emosional dan karena itu irrasional.76 Kaum retributivis telah menyumbangkan pemikiran tentang pemidanaan dari

74 B. Arief Sidharta (Penerjemah), Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hlm. 103

75 Sahetapy dalam Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, op cit, hlm.77

76 J.E Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati terhadap Pembunuhan Berencana, (Jakarta: Rajawali, 1982), hlm.198


(54)

perspektif filsafat yang menghargai manusia sebagai individu yang matang dan bertanggungjawab sendiri atas perilaku dan tindakan-tindakannya.77

Adapun ciri-ciri pokok dari teori retributif, adalah sebagai berikut: 1. Tujuan pemidanaan hanya untuk pembalasan.

2. Hanya pembalasan yang menjadi tujuan utama (the ultimate aim), dan tidak menjadi sarana untuk mencapai tujuan lainnya, misalnya kesejahteraan masyarakat (social welfare)

3. Kesalahan moral (moral guilt) merupakan syarat satu-satunya untuk penjatuhan pidana.

4. Penjatuhan pidana harus sesuai dengan kesalahan moral pelaku.

5. Pemidanaan melihat ke belakang sebagai suatu pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau meresosialisasi pelaku kejahatan.78

Hukuman itu tidak mempunyai arti dalam dirinya sendiri, ia adalah sarana dan tak lebih dari itu. Dalam ajaran pembalasan, orang bertolak dari hal bahwa perbuatan melakukan peristiwa pidana itu dapat dipersalahkan.

Menurut Leo Polak, pemidanaan harus memenuhi tiga syarat ialah:

1. Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tata hukum objektif.

2. Pidana hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Pidana tidak boleh memperhatikan apa yang mungkin akan atau dapat terjadi. Pidana tidak boleh dijatuhkan dengan suatu maksud prevensi. Umpamanya pidana dijatuhkan dengan maksud prevensi, maka kemungkinan besar penjahat diberi suatu penderitaan yang beratnya lebih daripada maksimum yang menurut ukuran-ukuran objektif boleh diberi kepada penjahat. Menurut ukuran-ukuran-ukuran-ukuran objektif berarti sesuai dengan beratnya delik yang dilakukan penjahat.

77 M. Sholehhudddin, op cit, hlm.28

78 H.M Hamdan, Pembaharuan Hukum Tentang Alasan Penghapusan Pidana, (Medan: USU Press, 2008),hlm. 14


(55)

3. Berat pidana harus seimbang dengan beratnya delik. Beratnya pidana tidak boleh melebihi beratnya delik. Hal ini perlu supaya penjahat tidak dipidana secara tidak adil.79

Menurut Jeremy Bentham ada tiga kemanfaatan dari pemidanaan. Pertama, pemidanaan akan sangat bermanfaat jika hal itu dapat meningkatkan perbaikan diri pada si pelaku kejahatan. Kedua, pemidanaan harus menghilangkan kemampuan si pelaku kejahatan untuk melakukan kejahatan. Ketiga, pemidanaan harus memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan.80 Bentham menyatakan bahwa pidana sama sekali tidak memiliki nilai pembenaran apapun bila pidana itu semata-mata dijatuhkan sekedar untuk menambah lebih banyak penderitaan atau kerugian pada masyarakat. Beranjak dari pemikiran Bentham inilah dimaklumi bahwa pemidanaan dalam sistem peradilan pidana dewasa ini melibatkan korban dan pelaku dalam pengambilan putusan, sehingga sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku juga memperhatikan kehidupannya di masa yang akan datang.81

Dalam teori manfaat hukuman menurut John Andenaes dapat diketahui bahwa, hukuman itu dijatuhkan agar dapat bermanfaat untuk mencegah orang melakukan kejahatan (perbuatan pidana). Pencegahan disini termasuk pencegahan yang umum (general preventif) maupun pencegahan yang khusus bagi pelaku kejahatan tersebut (special preventif). Pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh adanya hukuman yaitu, dengan mempengaruhi tingkah laku orang yang dijatuhi

79 Leo Polak dalam Djoko Prakoso dan Nurwachid, Studi tentang Pendapat-pendapat Mengenai Efektifitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, ( Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hlm 20 80 Jeremy Bentham dalam Eddy.O.S Hiariej, op cit, hlm. 11


(1)

Sjahdeini, Sutan Remy. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Jakarta: Grafiti Press. 2007.

Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Alumni. 2006

Suparni, Niniek. Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika. 1996.

Syamsudin,M. Operasionalisasi Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2007.

Tongat. Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Djambatan. 2001.

---. Pidana Seumur Hidup Dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia. Malang: UMM Press. 2004.

Tresna.R. Azaz-azaz Hukum Pidana. Jakarta: Tiara. 1959.

Utrecht, E. Hukum Pidana I. Surabaya: Pustaka TInta Mas. 1994.

Waluyo, Bambang. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika. 2004. B. Peraturan Perundang-undangan

Rancangan Undang-undang tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tahun 2006.

Penjelasan Rancangan Undang-undang tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tahun 2006.

UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Standard Minimum Rules for Non Custodial Measures, The Tokyo Rules. Resolusi PBB 45/110 tertanggal 14 Desember 1990.

Criminal Code of French (Act of 9 March 2004 No. 204) Netherlands Penal Code

Criminal Code of Greek


(2)

Criminal Code of Russian Federation (Act of 13 Juni 1996 No.64 FZ) Criminal Code of Finnish (Act of 2001 No.520)

Criminal Code of Norway (Act of 22 May 1902 No.10 dengan amandemen Act of 21 Desember 2005 No.131)

Criminal Code of India (Act of 1860 No.45) Criminal Code of Portuguesse

Criminal Code of Republic of Montenegro (Act of 2003 No.70 diamandemen dengan Act of 2004 No.13)

Criminal Code of Serbia (Act of 2003 No.39) Criminal Code of Republic Armenia

Criminal Code of Republic Azerbaijan

Criminal Code of Hungary (Act of 1978 No.4)

Criminal Code Kazakhstan (Act of 16 July 1997 No.167 diamandemen dengan Act of 9 Desember 2004 No.10.

Criminal Code of Republic Latvia

Criminal Code of Republiic Moldova (Act of 18 April 2002 No.985-XV) Criminal Code of Ukraina Act of 5 April 2001 No.2341-III)

Criminal Code of Macedonia (Act of 13 September 2005 No.1078) Criminal Code of Bosnia and Herzegovina (Act of 2003 No.36) Criminal Code of Kroasia (Act of 15 July 2003 No.111)

Criminal Code of Mongolia Criminal Code of Estonia


(3)

Criminal Code of Scotland

C. Jurnal, Makalah, Koran dan Situs Internet

Direktorat Jendral Pemasyarakatan, Departemen Hukum dan HAM RI, Visi, Misi dan Strategi Kegiatan Bulan Tertib Pemasyarakatan, Disampaikan dalam Seminar Pencegahan Penyiksaan dan Mekanisme Nasional Untuk Pencegahan Penyiksaan di Indonesia, Jakarta 2008.

Mudzakkir, Kajian Terhadap Ketentuan Pemidanaan Dalam Draft RUU KUHP, Makalah disampaikan pada Sosialisasi Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Peraturan

Perundang-undangan Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta: 29 Juli 2004.

Muladi, The Prospect Alternative Sanctions in Indonesia, Universitas Diponegoro, Semarang Indonesia.

Widodo dan Wiwiek Utami, Pidana Kerja Sosial dan Pidana Pengawasan Sebagai Alternatif Pengganti Pidana Penjara Bagi Pelaku Tindak Pidana

Cybercrime, Jurnal Hukum dan Dinamika Masyarakat UNTAG Semarang, Edisi Oktober 2008.

Perlu Pidana Kerja Sosial Untuk Pelaku Pidana Korupsi, Suara Pembaruan, Kamis 28 Agustus 2008.

Hamid Awaludin, Menyoal Hukum Rajam, Kompas, 28 September 2009.

Widodo, Ancaman Pidana Kerja Sosial Terhadap Pelaku Cybercrime di Indonesia, http://fh.wisnuwardhana.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=19&It em id=3, diakses pada10 februari 2009.

Solusi Atas Over Capasity Lembaga Pemasyarakatan,

http://majalah.depkumham.go.id/node/122, diakses pada 5 Mei 2009.

Kerja Sosial Narapidana Gagasan Sulit, Perlu Kesiapan Matang, www.kompas.com, diakses pada 10 Februari 2009.

Community Service, http://www.uscourts.gov/fedprob/supervise/community.html, diakses pada 20 Oktober 2009.


(4)

Hukuman Kerja Sosial Jadi Alternatif Pidana Penjara dan Denda, http://cms.sip.co.id/hukumonline/detail.asp?id=1999&cl=Berita, diakses pada 10 Februari 2009.

Benefits of community service order, http://www.jhs-niagara.ca/cso.htm, diakses 10 Februari 2009.

E.C Spaans, Community Service In The Netherlands: Its Effect on Recidivism and Net Widening, http://www.icj.sagepub.com/cgi/content/abstract/8/1/1, diakses pada 22 September 2009.

Tri.D.Pamenan, Koruptor Bisa Dikenakan Sanksi Kerja Sosial,

http://www.web.bisnis.com/umum/hukum/lid75854.html diakses pada 10 Februari 2009.

Alexander Velikanof, Community Service May Replace Jail Terms,

http://www.cdi.org/russia/Johnson/2009-139-6.cfm, diakses pada 22 September 2009.

Community Service Order in Scotland,

http://www.weslothian.gov.uk/social_health/criminaljusticesocialwork/583, diakses pada 10 Februari 2009.

What is community Service Order, http://www.justice.tas.gov.au/communitycorrections/community_service_orders/what

_is_a_cso, diakses pada 10 Februari 2009.

Community Service Order Suitability Assessment, http://www.justice.tas.gov.au/communitycorrections/community_service_orders/what

_is_a_cso, diakses pada 10 Februari 2009.

What If A Condition Of A Community Service Order Is Broken?, http://www.justice.tas.gov.au/communitycorrections/community_service_orders/what _is_a_cso, diakses pada 10 Februari 2009.

Community Service,

http://www.californiaduihelp.com/sentencing_alternatives.community_service.asp, diakses 20 Oktober 2009.

French Penal Code,

http://www.legifrance.gouvfr/html/codes_traduits/code_penal_textan.htm


(5)

The Criminal Code of The Russian Federation, http://www.russian-criminal- code.com/Partl/SectionIII/Chapter9.html

Finnish Penal Code (Act 550 of 1999), www.finlex.fi/pdf/saadkaan/E8890039.pdf Criminal Code of Norway (Act of 22 May 1902 No.10 dengan amandemen Act of 21 Desember 2005 No.131),

http://www.legislationline.org/documents/section/criminal_codes Criminal Code of Indian (Act of 1860 No.45),

http://www.vakilno1.com/bareacts/IndianPenalCode/553.htm

Portuguese Penal Code, www.verbojuridico.com/download/portuguesepenalcode.pdf Criminal Code of Republic Montenegro (Act of 2003 No.70 diamandemen dengan Act of 2004 No.13),

http://www.legislationline.org/documents/section/criminal_codes Criminal Code of Serbia (Act of 2003 No.39),

http://www.legislationline.org/documents/section/criminal_codes Criminal Code of Republic Armenia,

http://www.legislationline.org/documents/section/criminal_codes Criminal Code of Republic Azerbaijan,

http://www.legislationline.org/documents/section/criminal_codes Criminal Code of Hungary (Act of 1978 No.4),

http://www.legislationline.org/documents/section/criminal_codes

Criminal Code of Republic Kazakhstan ( Act of 16 July 1997 No.167 diamandemen dengan Act of 9 Desember 2004 No.10),

http://www.legislationline.org/documents/section/criminal_codes Criminal Code of Latvia,

http://www.legislationline.org/documents/section/criminal_codes

Criminal Code of Republic Maldova (Act of 18 April 2002 No.985-XV), http://www.legislationline.org/documents/section/criminal_codes

Criminal Code of Ukraina (Act of 5 April 2001 No.2341-III), http://www.legislationline.org/documents/section/criminal_codes


(6)

Criminal Code of Republic Macedonia (Act of 13 September 2005 No.1078), http://www.legislationline.org/documents/section/criminal_codes

Criminal Code of Bosnia and Herzegovina (Act of 2003 No.36), http://www.legislationline.org/documents/section/criminal_codes Criminal Code of Kroasia (Act of 15 July 2003 No.111),

http://www.lexadin.n/wlg/legis/nofr/eur/exwecro.htm

Criminal Code of Mongolia, www. ecoi.net/file-upload/432tmpphpqd46LN.pdf Criminal Code of Estonia,