Pidana Kerja Sosial Dilihat Dari Kebijakan Kriminal

BAB IV RELEVANSI KONSEP PIDANA KERJA SOSIAL

DENGAN TUJUAN PEMASYARAKATAN MENURUT UU NO.12 TAHUN 1995

A. Pidana Kerja Sosial Dilihat Dari Kebijakan Kriminal

Menurut Hamdan, politik kriminal adalah usaha rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Usaha ini meliputi aktivitas dari pembentuk undang- undang, kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan aparat eksekusi pemidanaan. Aktivitas badan-badan tersebut tidak berdiri sendiri melainkan berkaitan satu sama lain sesuai fungsinya masing-masing. 270 Menurut Sudarto ada tiga pengertian politik kriminal yaitu: 271 1. Dalam pengertian yang sempit, politik kriminal itu digambarkan sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana. 2. Dalam arti yang lebih luas, politik kriminal merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi. 3. Dalam arti yang paling luas, politik kriminal merupakan keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui peraturan perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. Tujuan akhir dari kebijakan kriminil ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai tujuan utama yang sering disebut dengan berbagai istilah misalnya kebahagiaan 270 M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali Press, 1997, hlm.23 271 Sudarto dalam Arief Amrullah, Politik Hukum Pidana Dalam Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi Di Bidang Perbankan, Malang: Bayumedia Publishing, 2007, hlm 20 Universitas Sumatera Utara warga masyarakat atau penduduk happiness of the citizens, kehidupan kultural yang sehat dan menyegarkan a wholesome and cultural living, kesejahteraan masyarakat social welfare atau untuk mencapai keseimbangan equality. 272 Marc Ancel mengemukakan politik kriminal sebagai the rational organization of the control of crime by society. Pendapat yang sama dengan Peter Hoefnagels yang menyatakan criminal policy is the rational organization of the social reaction to crime. 273 Hal ini berarti, politik kriminal dapat dirumuskan sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana. Menurut Peter Hoefnagels bahwa kebijakan kriminal criminal policy dapat ditempuh melalui tiga cara yaitu: 274 1. criminal law application 2. prevention without punishment 3. influencing views of society on crime and punishment Dalam hal penanggulangan kejahatan, digunakan pula dua kebijakan, yaitu dengan menggunakan penal dengan menggunakan sanksi pidana dan dengan kebijakan non penal 275 . 272 Muladi dan Barda Nawawi Arief, opcit, hlm. 158 273 Peter Hoefnagels dalam Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, hlm.13 274 Ibid, hlm.17 275 Ibid. Kebijakan non penal lebih bersifat sebagai tindakan pencegahan terjadinya suatu tindakan pidana. Sasaran utama kebijakan non penal adalah menangani dan menghapuskan faktor- faktor kondusif yang menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana.. Lihat M. Hamdan, op cit, hlm.29. Usaha-usaha non penal ini misalnya penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan tanggung jawab sosial warga masyarakat, penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama dan sebagainya,peningkatan usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja, kegiatan karang taruna, pramuka, kegiatan pesantren kilat selama anak-anak libur sekolah, kegiatan patroli dan pengawasan lainnya secara kontinyu oleh polisi dan aparat keamanan lainnya dan sebagainya. Universitas Sumatera Utara Menurut Marc Ancel penal policy merupakan ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik. Peraturan hukum positif disini diartikan sebagai peraturan perundang-undangan hukum pidana. Usaha dan kebijakan membuat peraturan hukum pidana yang baik,pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. 276 Menurut Wisnubroto, kebijakan hukum pidana merupakan tindakan yang berhubungan dalam hal-hal: 277 1. bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatan dengan hukum pidana. 2. bagaimana merumuskan hukum pidana agar sesuai dengan kondisi masyarakat. 3. bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan hukum pidana. 4. bagaimana menggunakan hukum pidana untuk mengatur masyarakat dalam rangka mencapai tujuan yang lebih besar. Sistem pemidanaan yang bertolak dari individualisasi pidana ini merupakan hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan pendekatan humanistik dalam penggunaan sanksi pidana untuk tujuan perlindungan masyarakat social defence. Hal ini tersurat dalam tujuan umum kebijakan kriminal yaitu perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat social welfare. Ide menyangkut konsepsi social defence tersebut ternyata diterima oleh ahli hukum pidana di Indonesia, terbukti dalam: 278 276 Marc Ancel dalam Lilik Mulyadi, op cit, hlm.390 277 Ibid, hlm.391 278 Sholehuddin, op cit, hlm. 58-59 Universitas Sumatera Utara 1. Kesimpulan seminar kriminologi ke-3 tahun 1976 yang menyatakan bahwa hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk social defence dalam arti melindungi masyarakat terhadap kejahatan dengan memperbaiki atau memulihkan kembali rehabilitate si pembuat tanpa mengurangi keseimbangan kepentingan perorangan pembuat dan masyarakat. 2. Salah satu laporan dari simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional tahun 1980 yang menyatakan bahwa: - sesuai dengan politik hukum pidana, maka tujuan pemidanaan harus diarahkan kepada perlindunganmasyarakat dari kesejahteraan dan keselarasan hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan kepentingan masyarakat atau negara, korban dan pelaku. - Atas dasar tujuan tersebut, maka pemidanaan harus mengandung unsur-unsur yang bersifat: a. Kemanusiaan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut menjunjung tinggi harkat dan martabat seseorang. b. Edukatif, dalam arti bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang sadar sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan ia mempunyai sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi usaha penanggulangan kejahatan. c. Keadilan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil baik oleh terhukum maupun oleh korban ataupun oleh masyarakat Universitas Sumatera Utara Pidana kerja sosial dilihat dari kebijakan kriminal, merupakan suatu sanksi pidana yang dapat menanggulangi kejahatan. Pidana kerja sosial menjadi alternatif sanksi pidana dan telah banyak diterapkan dalam berbagai kebijakan kriminal di dunia sehingga pidana kerja sosial menjadi kecenderungan internasional. Pembaharuan hukum pidana yang memuat upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi terhadap sanksi pidana harus merupakan upaya penanggulangan kejahatan yang bersifat terpadu. Alasan pentingnya pembaharuan hukum pidana di Indonesia adalah agar hukum pidana dapat memenuhi tuntutan keberlakuan baik yuridis, sosiologis maupun filosofis sebagai suatu norma hukum yang efektif. Tuntutan keberlakuan itu dimaksudkan agar hukum pidana dapat memerankan fungsinya sebagai salah satu alat kontrol sosial terutama dalam menanggulangi kejahatan. Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana pada akhirnya akan bermuara pada pilihan terhadap sanksi apa yang akan dapat digunakan secara efektif. Dan pidana kerja sosial adalah salah satu sanksi yang dapat menanggulangi kejahatan. B. Relevansi Konsep Pidana Kerja Sosial Terhadap Tujuan Pemasyarakatan Menurut UU No. 12 Tahun 1995 Dari kajian yang telah dilakukan oleh para ahli hukum, dapat dikatakan bahwa perkembangan teori pemidanaan cenderung beranjak dari prinsip menghukum yang berorientasi ke belakang backward looking ke arah gagasan atau ide membina yang Universitas Sumatera Utara berorientasi ke depan forward looking. Menurut Roeslan Saleh, 279 pergeseran orientasi pemidanaan disebabkan oleh karena hukum pidana berfungsi dalam masyarakat. Hukum pidana mencerminkan gambaran masanya dan bergantung pada pikiran-pikiran yang hidup dalam masyarakat. Ada beberapa aliran yang mendukung pergeseran orientasi pemidanaan tersebut. 1. Aliran klasik Aliran ini menghendaki hukum pidana yang tersusun secara sistematis dan menitikberatkan pada perbuatan dantidak kepada orang yang melakukan tindak pidana 280 Aliran ini menghendaki pidana yang dijatuhkan seimbang dengan perbuatan tersebut. Dan aliran ini dalam pemberian pidananya lebih melihat ke belakang. 281 Dalam hal pidana dan pemidanaan, aliran ini sangat membatasi kebebasan hakim untuk menetapkan jenis dan ukuran pemidanaan. Pidana yang dijatuhkan sesuai dengan yang ada di undang-undang tanpa perlu melihat pribadi pelaku tindak pidana. 282 2. Aliran Modern Aliran ini berorientasi pada pelaku tindak pidana dan menghendaki adanya individualisme dari pidana, artinya dalam pemidanaan harus diperhatikan sifat- sifat dan keadaan pelaku tindak pidana. 283 Aliran ini disebut juga sebagai aliran positif karena dalam mencari sebab kejahatan menggunakan metode ilmu alam 279 Roeslan Saleh, op cit, hlm.2 280 Muladi, op cit, hlm.29 281 Sudarto, op cit, hlm. 80 282 Djoko Prakoso, Hukum Penitensier Di Indonesia, Yogyakarta: Liberty,1988, hlm.54 283 Sudarto, op cit hlm. 80 Universitas Sumatera Utara dan bermaksud untuk langsung mendekati dan mempengaruhi penjahat secara positif atau mempengaruhi pelaku tindak pidana ke arah yang lebih baik, sejauh ia masih dapat diperbaiki. Dengan orientasi demikian maka aliran modern dikatakan mempunyai orientasi ke depan. 284 3. Aliran Neo Klasik Aliran ini merumuskan pidana minimum dan maksimum dan mengakui apa yang dinamakan asas-asas tentang keadaan yang meringankan principle of extenuating circumtances. Dalam aliran ini mulai mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan individual pelaku tindak pidana. 285 Berbagai tujuan pemidanaan di masa lalu hingga kini berkembang ke arah yang rasional. Salah satunya ialah teori absolut, yaitu bertujuan untuk memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat itu sendiri maupun pihak yang dirugikan atau menjadi korban. Menurut Andi Hamzah, teori ini masih bersifat primitif, tetapi kadang-kadang masih terasa pengaruhnya di zaman modern ini. 286 Sedangkan teori relatif atau teori tujuan mengajarkan bahwa penjatuhan pidana dan pelaksanaannya, setidaknya harus berorientasi pada upaya mencegah terpidana dari kemungkinan mengulangi kejahatan lagi di masa mendatang, serta mencegah masyarakat luas pada umumnya dari kemungkinan melakukan kejahatan baik seperti kejahatan yang telah dilakukan terpidanan maupun lainnya. 287 Tujuan pemidanaan pada teori relatif adalah 284 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, op cit, hlm.29 285 Ibid, hlm.41 286 Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, op cit, hlm.123 287 E.Utrecht, Hukum Pidana I, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1994, hlm.127 Universitas Sumatera Utara memberikan efek penjeraan dan penangkalan. Penjeraan sebagai efek pemidanaan, menjauhkan terpidana dari kemungkinan mengulangi kejahatan yang sama, sedangkan tujuan sebagai penangkal, pemidanaan berfungsi sebagai contoh yang mengingatkan dan menakutkan bagi penjahat-penjahat potensial dalam masyarakat. Wesley Cragg menilai bahwa fungsi penjeraan dari efek pemidanaan sepatutnya lebih dianggap sebagai suatu bentuk kontrol sosial. Asumsi dasarnya ialah setiap orang pada hakikatnya berkepentingan untuk menjauhkan diri dari sakit dan penderitaan. 288 Dua teori inilah yang menjadi pijakan bagi para ahli untuk merumuskan tujuan pemidanaan yang lain. Dalam kepustakaan maupun peraturan perundang-undangan ditemui beberapa tujuan pemidanaan selain pembalasan dan pencegahan, namun pada hakikatnya tetap berpangkal tolak dari dua teori ini. Roeslan Saleh 289 mengemukakan bahwa pada hakikatnya ada dua poros yang menentukan garis-garis hukum pidana yaitu: 1. segi prevensi, yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi, suatu upaaya untuk dapat mempertahankan kelestarian hidup bersama dengan melakukan pencegahan kejahatan. 2. segi pembalasan, yaitu bahwa hukum pidana sekaligus merupakan pula penentuan hukum, merupakan koreksi dari dan reaksi atas sesuatu yang bersifat tidak hukum. Pada hakikatnya pidana selalu merupakan perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan atas perbuatan tindak hukum. Pidana juga diharapkan sebagai sesuatu 288 M. Solehuddin, op cit, hlm. 44. Lihat Wesley Cragg, The Practice of Punishment: Thowards A Theory of Restorative J ustice. London: Routledge.1992, hlm. 46 289 Roeslan Saleh dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, op cit, hlm. 20-21 Universitas Sumatera Utara yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat. Menurut Roger Hood, sasaran pidana di samping untuk mencegah terpidana atau pembuat potensiil melakukan tindak pidana, juga untuk memperkuat kembali nilai-nilai sosial, menentramkan rasa takut masyarakat terhadap kejahatan. 290 J.E Sahetapy mengemukakan pemidanaan bertujuan pembebasan. Pidana harus dapat membebaskan si pelaku dari cara atau jalan yang keliru yang telah ditempuhnya. Makna pembebasan tidak identik dengan pengertian rehabilitasi dan reformasi. Makna membebaskan menghendaki agar si pelaku bukan saja harus dibebaskan dari alam pikiran yang jahat, yang keliru, melainkan ia harus pula dibebaskan dari kenyataan sosial dimana ia terbelenggu. Dalam pidana tersimpul unsur penderitaan. Tetapi penderitaan dalam tujuan membebaskan bukanlah semata- mata untuk penderitaan agar si pelaku menjadi takut atau merasa menderita akibat suatu pembalasan dendam melainkan derita itu harus dilihat sebagai obat atau sebagai kunci jalan keluar yang membebaskan dan yang memberi kemungkinan bertobat dengan penuh keyakinan. 291 Menurut Niger Walker, pemidanaaan juga bertujuan untuk mengoreksi pembuat dan perbuatannya. Tujuan pemidanaan yang bersifat koreksi adalah to 290 Ibid, hlm. 21 291 J.E Sahetapy, op cit, hlm.279 Universitas Sumatera Utara reduce the frequency of the types of behaviour prohibited by the criminal law. 292 Teori reduktif ini melihat pemidanaan dimaksudkan untuk mengubah atau mengurangi keinginan pembuat dan masyarakat untuk mengulangi atau melakukan tindak pidana. Penetapan sanksi dalam hukum pidana, apapun jenis dan bentuk sanksinya harus didasarkan dan diorientasikan pada tujuan pemidanaan. Setelah tujuan pemidanaan ditetapkan, barulah jenis dan bentuk sanksi apa yang paling tepat bagi pelaku kejahatan ditentukan. Penetapan sanksi pada tahap kebijakan legislasi harus merupakan tahap perencanaan strategis di bidang pemidanaan yang diharapkan dapat memberi arah pada tahap-tahap berikutnya, yaitu tahap penerapan pidana dan tahap pelaksanaan pidana. Dalam konsep Rancangan KUHP Tahun 2006, telah sepakat bahwa tujuan pemidanaan adalah: 293 1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat. 2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna. 3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. 292 Niger Walker dalam Herbert L. Packer, op cit hlm.11. Lihat juga Chairul Huda, op cit, hlm.138. Pidana yang bersifat koreksi diarahkan kepada manusia yang pada dasarnya mempunyai rasa penuh tanggung jawab, dan dalam kejadian tertentu melakukan kesalahan. Pembuat demikian sebenarnya tidak menyukai kenyataan bahwa kemudian hukum memandangnya tercela karena melakukan suatu tindak pidana. Dalam hal ini, pidana menjadi reaksi terhadap pelanggaran- pelanggaran atau kejahatan yang kurang berat. 293 Pasal 54 ayat 1 RUU KUHP Tahun 2006 Universitas Sumatera Utara 4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. 294 Ketentuan dalam pasal ini memuat tujuan ganda yang hendak dicapai melalui pemidanaan. Dalam tujuan pertama terdapat pandangan perlindungan masyarakat. Tujuan kedua mengandung maksud bukan saja untuk merehabilitasi, tetapi juga meresosialisasi 295 terpidana dengan mengintegrasikan yang bersangkutan ke dalam masyarakat. Tujuan ketiga sejalan dengan pandangan hukum adat dalam arti reaksi adat itu dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan magis yang terganggu oleh perbuatan yang berlawanan dengan hukum adat. Pidana yang dijatuhkan diharapkan dapat menyelesaikan konflik atau pertentangan dan juga mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Tujuan yang keempat bersifat spiritual dicerminkan dalam Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia. 296 294 Lihat J.E Sahetapy, op cit, hlm.284. Dalam konteks tujuan pemidanaan, Sahetapy melontarkan teori pidana pembebasan, yang menurutnya bersumber pada Pancasila. Pemidanaan pembebasan melihat terpidana sebagai suatu makhluk sosial yang tetap masih mempunyai hak dan kewajiban. Aspek kewajibannya adalah terpidana tetap wajib menjalani suatu masa nestapa yang tidak mengurangi dan merendahkan martabatnya sebagai manusia. Terpidana mempunyai hak untuk diperlakukan sebagai layaknya seoran manusia, meskipun adanya kesalahan.Aspek pemidanaan pembebasan menekankan bahwa pemerintah dan rakyat perlu merasa ikut bertanggungjawab untuk membebaskan orang yang dipidana dari kemelut dan kekejaman kenyataan sosial bila yang bersangkutan dibebaskan pada waktunya. Bandingkan dengan Romli Atmasasmita, op cit, hlm.93. Menurut Romli, tujuan pemidanaan ini disebut dengan tujuan yang bersifat spiritual. Tanggung jawab pemidanaan tidak dapat dibebankan secara serta merta kepada si pelaku kejahatan karena pada dasarnya kejahatan itu sendiri tidak dapat dilepaskan dari realitas kehidupan suatu masyarakat. Atas dasar itu tujuan pemidanaan di Indonesia harus berorientasi kepada dua kepentingan, yakni kepentingan individu atau pelaku kejahatan, dan kepentingan masyarakat, termasuk korban kejahatan. 295 Lihat Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum Dalam Konteks Penegakan Hukum Di Indonesia, Bandung: Alumni, 1982, hlm. 35 dan 41. Resosialisasi ialah suatu proses interaksi antara narapidana, petugas lembaga pemasyarakatan dan masyarakat, dan ke dalam proses interaksi mana termasuk mengubah sistem nilai-nilai daripada narapidana, sehingga ia akan dapat dengan baik dan efektif mereadaptasi norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Tujuan daripada resosialisasi ialah mengembalikan dan mengembangkan pengetahuan, kemampuan dan motivasi seseorang narapidana sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna. 296 Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Bandung:Refika Aditama, 2006, hlm. 29 Universitas Sumatera Utara Menurut Barda Nawawi Arief, bahwa perumusan tujuan pemidanaan di dalam konsep RUU KUHP bertolak dari pokok-pokok pemikiran, antara lain: 297 1. Pada hakikatnya undang-undang merupakan sistem hukum yang bertujuan sehingga dirumuskannya pidana dan aturan pemidanaan dalam undang-undang, pada hakikatnya hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan. 2. Dilihat secara fungsional operasional, pemidanaan merupakan suatu rangkaian proses dan kebijakan yang konkretisasinya sengaja direncanakan melalui tiga tahap. Agar ada keterjalinan dan keterpaduan antara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan, maka diperlukan perumusan tujuan pemidanaan. 3. Perumusan tujuan pemidanaan dimaksudkan sebagai fungsi pengendali dan sekaligus memberikan dasar filosofis, dasar rasionalitas dan motivasi pemidanaan yang jelas dan terarah. Menurut Romli Atmasasmita, yang menegaskan bahwa perumusan empat tujuan pemidanaan dalam RUU KUHP terdapat pandangan social defence, pandangan rehabilitasi dan resosialisasi terpidana, pandangan hukum adat dan tujuan yang bersifat spiritual berdasarkan Pancasila. 298 Harkristuti Harkrisnuwo mengatakan bahwa tujuan pemidanaan dalam konsep RUU KUHP, nampak lebih cenderung ke pandangan konsekuensialis 299 , falsafah utilitarian 300 sangat menonjol, walaupun dalam batas-batas tertentu aspek pembalasan sebagai salah satu tujuan pemidanaan masih dipertahankan. 297 Barda Nawawi Arief, op cit, hlm. 152-153 298 Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, op cit, hlm. 90 299 Harkristuti Harkrisnuwo dalam Mahrus Ali, op cit, hlm. 145. Menurut pandangan konsekuensialis benar tidaknya sesuatu tergantung semata-mata pada konsekuensi secara menyeluruh. Jika konsekuensinya baik, maka tindakan tersebut adalah benar, namun apabila konsekuensinya buruk, maka tindakan itu salah.Oleh karenanya untuk mencari pembenaran bagi pemidanaan, maka harus dibuktikan bahwa pidana itu membawa kebaikan atau pidana itu mencegah kejadian yang lebih buruk dan tidak ada alternatif lain yang dapat memberikan hasil yang setara baiknya. 300 Lihat Muladi dan Barda Nawawi Arief, op cit,, hlm. 16. Menurut falsafah utilitarian, suatu pemidanaan bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada yang telah melakukan suatu tindak pidana, akan tetapi harus mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang Universitas Sumatera Utara Menurut Bassiouni, tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pidana umumnya terwujud dalam kepentingan-kepentingan sosial yang mengandung nilai-nilai tertentu yang perlu dilindungi. Kepentingan-kepentingan sosial tersebut menurut Bassiouni adalah: 301 1. pemeliharaan tertib masyarakat 2. perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya-bahaya yang tidak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain 3. memasyarakatkan kembali resosialisasi para pelanggar hukum 4. memelihara dan mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan individu. Menurut Muladi, ada suatu catatan khusus yang harus dipandang tercakup di dalam perangkat pemidanaan tersebut, yaitu: 302 1. Perangkat tujuan pemidanaan tersebut harus sedikit banyak menampung aspirasi masyarakat yang menuntut pembalasan, sekalipun dalam hal ini vergelden harus diartikan bukannya membalas dendam tetapi pengimbalan atau pengimbangan atas dasar tingkat kesalahan pelaku. 2. Di dalam perangkat tujuan pemidanaan tersebut harus mencakup pula tujuan pemidanaan berupa memelihara solidaritas masyarakat. Pemidanaan harus diarahkan untuk memelihara dan mempertahankan kesatuan. Pemidanaan merupakan salah satu senjata untuk melawan keinginan-keinginan yang oleh masyarakat tidak diperkenankan untuk diwujudkan. Pemidanaan oleh pelaku tindak pidana tidak hanya membebaskan kita dari dosa, tetapi juga membuat kita berjiwa luhur. Peradilan pidana merupakan pernyataan masyarakat bahwa, masyarakat mengurangi hasrat agresif menurut cara yang dapat diterima oleh masyarakat. Pembersihan kesalahan secara kolektif collective cleaning of guilt ditujukan untuk memperkuat moral masyarakat dan mengikat erat para anggotanya untuk bersama-sama berjuang melawan para pelanggar hukum. mencerminkan aspek utilitas atau kemanfaatan baik bagi korban kejahatan secara individual atau sosial maupun bagi terpidana itu sendiri. 301 Bassiouni dalam M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, op cit, hlm.37 302 Muladi dalam Dwidja Priyatno, op cit, hlm. 30 Universitas Sumatera Utara Pidana kerja sosial merupakan alternatif pidana yang ditawarkan terutama untuk pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek. Alternatif tersebut dimaksudkan untuk menghindari efek negatif dari penerapan pidana perampasan jangka pendek. Sebagai alternatif pidana perampasan jangka pendek, pidana kerja sosial memiliki berbagai keunggulan seperti menghilangkan stigmatisasi bagi narapidana, meniadakan efek negatif bagi narapidana yang dapat melahirkan penjahat profesional setelah keluar dari penjara yang dapat membahayakan masyarakat, pidana kerja sosial lebih murah biaya yang dikeluarkan daripada pidana perampasan kemerdekaan. Dilihat dari aspek perlindungan masyarakat maka pidana kerja sosial telah memenuhi tujuan pemidanaan. Dilihat dari aspek perlindungan individu, pidana kerja sosial dapat memberi keunggulan seperti narapidana terhindar dari stigmatisasi, narapidana dapat menjalankan kehidupannya secara normal sebagaimana orang yang tidak menjalani pidana seperti dapat berkumpul bersama keluarga dan dapat memenuhi kewajibannya dalam masyarakat melalui pidana kerja sosial, narapidana terhindar dari proses dehumanisasi atau pengasingan dari masyarakat, sehingga narapidana tidak mengalami kesulitan beradaptasi setelah melakukan tindak pidana di masyarakat. Oleh karena itu pidana kerja sosial dapat memberikan perlindungan terhadap individu dan masyarakat sehingga tujuan pemidanaan dalam konsep RUU KUHP dapat tercapai. Pidana penjara pada awalnya sebagai salah satu sarana untuk membalas dendam bagi seorang pelaku kejahatan, tanpa memperhitungkan setimpal atau Universitas Sumatera Utara tidaknya sanksi pidana itu untuk kejahatan yang dilakukannya. Tujuannya adalah untuk membuat pelaku kejahatan menjadi jera dan masyarakat takut untuk berbuat kejahatan. 303 Tujuan perlakuan terhadap narapidana di Indonesia mulai sejak tahun 1964, setelah Dr. Sahardjo,SH mengemukakan Konfrensi Kepenjaraan di Lembang Bandung bahwa tujuan pemidanaan adalah pemasyarakatan. Mereka yang menjadi narapidana bukan lagi dibuat jera, tetapi dibina untuk kemudian dimasyarakatkan. Saharjo mengemukakan sepuluh prinsip pokok, yaitu: 304 1. orang tersesat diayomi; 2. menjatuhi pidana bukan tindakan balas dendam; 3. tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan melainkan dengan bimbingan; 4. negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk; 5. kepada narapidana harus dikenalkan dengan masyarakat; 6. pekerjaan tidak boleh sekedar mengisi waktu; 7. bimbingan harus berdasarkan Pancasila; 8. tiap orang harus diperlakukan sebagai manusia; 9. narapidana hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan; 10. perlu didirikan Lembaga Pemasyarakatan baru. Sistem pemasyarakatan selain merupakan pidana punishment tetapi juga memperbaiki treatment yang menjurus ke berbagai pilihan untuk pencegahan, pembinaan, pendidikan dan latihan kerja dan lain-lain tindakan yang kesemuanya itu berkaitan dengan kemanfaatan pencegahan kejahatan di masa depan. 305 Dalam sistem pemasyarakatan, tujuan pemidanaan adalah pembinaan dan bimbingan, dengan tahap- 303 Petrus Irwan Panjaitan dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995, hlm.9 304 Ibid, hlm.37 305 Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Yogyakarta: Liberty, 1986, hlm.77 Universitas Sumatera Utara tahap admisi atau orientasi, pembinaan dan asimilasi.Tahap admisi atau orientasi dimaksudkan agar narapidana mengenal cara hidup, peraturan dan tujuan dari pembinaan atas dirinya. Di dalam tahap pembinaan, narapidana dibina, dibimbing agar tidak melakukan lagi tindak pidana, di kemudian hari setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan. Narapidana diberikan pendidikan agama, keterampilan dan berbagai kegiatan pembinaan lainnya. Sedangkan pada tahap asimilasi merupakan upaya penyesuaian diri agar narapidana tidak menjadi canggung bila keluar dari Lembaga Pemasyarakatan, apabila telah habis pidananya atau bila mendapat pelepasan bersyarat, cuti menjelang lepas atau pembebas karena mendapat remisi. 306 Hakekat pembinaan mempunyai makna bukan semata-mata kegiatan reaksi melainkan terarah pada sistem aksi yang terkait dengan politik kriminal dan kebijakan perlindungan sosial sebagai bagian integral dengan kebijakan kesejahteraan sosial. 307 Tujuan pembinaan adalah pemasyarakatan, dapat dibagi dalam tiga hal yaitu: 308 1. setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan tidak lagi melakukan tindak pidana. 2. menjadi manusia yang berguna, berperan aktif dan kreatif dalam membangun bangsa dan negaranya. 3. mampu mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mendapatkan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. 306 C.I Harsono Hs, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Jakarta: Djambatan, 1995, hlm.10 307 Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan,op cit, hlm.180 308 C.I Harsono Hs, op cit, hlm.47 Universitas Sumatera Utara Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. 309 Sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan atas asas: 310 1. pengayoman 2. persamaan perlakuan dan pelayanan 3. pendidikan 4. pembimbingan 5. penghormatan harkat dan martabat manusia 6. kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan 7. terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu. Sistem pemasyarakatan dengan inti pembinaan 311 , dapat dibagi dua yaitu: 312 309 Pasal 1 ayat 2 UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan 310 Pasal 5 UU No.12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan 311 Lihat Pasal 2 UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya,menyadari kesalahan memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab. 312 Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, op cit, hlm.187-188 Universitas Sumatera Utara 1. pemasyarakatan yang bersifat praktis pragmatis Pembinaan narapidana mempunyai arti memperlakukan seseorang yang berstatus narapidana untuk dibangun agar bangkit menjadi seseorang yang baik. Atas dasar pengertian pembinaan yang demikianitu, sasaran yang perlu dibina adalah pribadi dan budi pekerti narapidana, yang didorong untuk membangkitkan rasa harga diri pada diri sendiri dan pada orang lain, serta mengembangkan rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tenteram dan sejahtera dalam masyarakat, dan selanjutnya berpotensi untuk menjadi manusia yang berkepribadian luhur dan bermoral tinggi. Pembinaan terhadap pribadi dan budi pekerti yang dimaksudkan tidaklah tanpa batas, akan tetapi selama waktu tertentu memberi saran dasar agar narapidana di kemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi dan taat terhadap hukum yang berlaku di dalam masyarakat. Namun pembinaan narapidana masih tergantung hubungannya terhadap masyarakat luar, yang menerima narapidana menjadi anggotanya. Arah pembinaan tertuju pada membina pribadi narapidana agar tidak mengulangi kejahatan dan mentaati peraturan, dan membina hubungan antara narapidana dengan masyarakat luar, agar dapat berdiri sendiri dan diterima menjadi anggotanya. 2. pemasyarakatan yang bersifat teoritis idealitis pembinaan narapidana yang mempunyai kesanggupan dan kemampuan untuk turut serta dalam pembangunan masyarakat yang adil dan makmur dan dapat hidup secara wajar dan bertanggung jawab. Universitas Sumatera Utara Sistem pemasyarakatan tidak dapat dipisahkan dari latar belakang pemikiran doktrin La Defence Sociale yang dipelopori oleh Adolphe Prins dalam tahun 1910. Gagasan A. Prins tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Marc Ancel yang menyusun buah pikirannya di dalam buku berjudul La Nouvelle Defence Sociale pada tahun 1954. Pandangan baru dari Marc Ancel berkembang pesat di Eropa melalui kongres-kongres the international society for social defence dan mendapatkan kesempatan berkembang lebih lanjut menjadi konsep kebijaksanaan perlakuan baru terhadap narapidana melalui kongres di Perserikatan Bangsa-Bangsa. 313 Kebijaksanaan berupa perlakuan terhadap narapidana dengan dasar pemikiran melalui La Nouvelle Defence Sociale menjadi kebijakan pemidanaan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 314 1. melindungi masyarakat terhadap kejahatan; 2. mempunyai efek untuk membuat seseorang tidak melakukan kejahatan lagi dengan cara memperbaiki atau mendidiknya; 3. berusaha mencegah dan menye\mbuhkan pelanggar hukum dengan menekankan sistem resosialisasi; 4. melindungi hak asasi manusia termasuk si pelaku kejahatan; 5. pandangan hukum untuk menghadapi kejahatan dan penjahat ditempuh berdasarkan falsafah yang mengakui manusia sebagai makhluk individu dan sosial. Narapidana adalah seorang manusia anggota masyarakat yang dipisahkan dari induknya dan selama waktu tertentu itu diproses dalam lingkungan tempat tertentu dengan tujuan, metode dan sistem pemasyarakatan. Pada suatu saat narapidana itu 313 Ibid, hlm.177 314 Ibid Universitas Sumatera Utara akan kembali menjadi manusia anggota masyarakat yang baik dan taat kepada hukum. 315 Kepolisian sebagai instansi pertama diharapkan dapat menjalankan tugas dengan menjunjung hak asasi manusia, menyelenggarakan koleksi data pribadi pelanggar hukum pidana, dan pada suatu saat diperlukan untuk memberikan bantuan penyajian data pribadi dan pengamanan dalam rangka pembinaan integrasi narapidana. Instansi kejaksaan sebagai eksekutor merupakan kunci penghubung antar tingkat penegakan hukum dan tingkat pelaksanaan pidana dapat menjalankan tugas awal untuk mencerminkan pemidanaan berdasarkan kemanusiaan. 316 Pengadilan harus memahami putusan pidana dan menghayati perkembangan tujuan pemidanaan yang cenderung berdasarkan teori terpadu agar mampu menetapkan satu pilihan pidana. 317 Pejabat pemerintah daerah dilibatkan dalam sistem pemasyarakatan pada posisi sebagai sumber informasi terhadap narapidana selaku penduduk atau warga daerah, terutama pejabat pamongpraja pada tingkat kecamatan dan kelurahan. Begitu juga dengan petugas lembaga pemasyarakatan harus memiliki pengetahuan yang 315 Ibid, hlm.180 316 Ibid, hlm.181-182 317 Lihat Sudarto, op cit, hlm.100.Hakim dalam penghukuman berupa penjatuhan pidana harus menyadari apa makna pemidanaan itu, harus menyadari apa yang hendak dicapai dengan yang ia kenakan kepada sesama manusia yang telah melanggar ketentuan undang-undang. Dalam menetapkan hukum, hakim tidak semata-mata hanya menegakkan hukum demi hukum itu sendiri, melainkan harus mengejar kemanfaatan sosial. Teori pidana yang dianut akan menunjukkan hasil putusannya. Apabila ia memandang pidana sebagai pembalasan atau pengimbalan dari kesalahan terdakwa atau untuk mengembalikan keseimbangan masyarakat yang terganggu karena kejahatan atau perwujudan dari supremasi hukum, maka pidana yang dijatuhkan akan berbeda. Universitas Sumatera Utara mendalam tentang seluk beluk sistem pemasyarakatan dan terus menerus meningkatkan kemampuannya. 318 Perlakuan cara baru terhadap narapidana dalam pemasyarakatan melibatkan peran serta masyarakat, hal ini disebabkan timbul salah satu doktrin bahwa narapidana tidak dapat diasingkan lagi hidupnya dari masyarakat. 319 Karena narapidana bukan saja obyek melainkan subyek yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan yang dapat dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas. Yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang dapat dikenakan pidana. Pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan narapidana agar menyesali perbuatannya, dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai- nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat aman, tertib, dan damai. 320 Pidana kerja sosial dengan pemasyarakatan jika dilihat secara sepintas, tidak akan mempunyai korelasi yang positif. Pemasyarakatan seolah-olah hanya diperuntukkan pada jenis pidana dalam lembaga, sementara pidana kerja sosial justru terletak di luar lembaga. Jika dilihat secara mendalam, antara pemasyarakatan dengan pidana kerja sosial sangat relevan. Hal ini dapat dilihat dalam hal sebagai berikut: 321 318 Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, op cit, hlm.181-182 319 Ibid, hlm.186 320 Penjelasan UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. 321 Tongat, Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, op cit, hlm.58-60 Universitas Sumatera Utara 1. Pemasyarakatan mempunyai tujuan untuk membina kembali seorang yang sudah tersesat, dengan harapan agar ia sanggup menjadi manusia yang baik dan berguna bagi dirinya, bagi sesamanya dan bagi nusa dan bangsa. Pemasyarakatan melakukan pembinaan narapidana secara manusiawi dengan tetap menjunjung tinggi harkat dan martabatnya. Di sisi lain, pidana kerja sosial juga mempunyai tujuan yang sama. Pidana kerja sosial tetap memanusiakan terpidana sebagai manusia yang utuh. Karenanya hak-hak sebagai manusia tetap dihormati dan kebebasan bergeraknya juga dihormati. 2. Pemasyarakatan adalah melaksanakan pidana penjara dengan tetap menjunjung tinggi harkat dan martabatnya sebagai manusia. Perlakuan itu dimaksudkan untuk tetap memposisikan narapidana yang tidak hanya sekedar objek tetapi sebagai subjek di dalam proses pembinaan dengan sasaran akhir mengembalikan terpidana ke tengah-tengah masyarakat sebagai orang baik dan berguna. Pidana kerja sosial juga mempunyai sasaran yang sama, dengan menempatkan terpidana dalam kerangka kerja sosial juga dimaksudkan agar terpidana tetap dalam bersosialisasi dengan masyarakat sekitarnya. 3. Pemasyarakatan menuntut dilakukannya perlakuan terhadap narapidana yang lebih manusiawi. Tuntutan ini dilakukan antara lain dengan menempatkan terpidana sesuai dengan beratnya tindak pidana yang dilakukan. Upaya ini dilakukan atas pertimbangan untuk memperkecil kemungkinan komunikasi antara penjahat kelas kakap dengan para penjahat pemula. Dengan demikian dapat menghindarkan narapidana dari pengaruh buruk serta nilai-nilai negatif yang Universitas Sumatera Utara hidup di penjara yang dapat mengganggu sasaran dan tujuan pembinaan itu sendiri, karena pemasyarakatan juga menghendaki terhindarnya narapidana dari kemungkinan prisonisasi. Pidana kerja sosial sebagai jenis pidana di luar lembaga juga akan menghindarkan terpidana dari kemungkinan prisonisasi. Dengan pelaksanaan di luar lembaga jelas akan membuka kemungkinan dapat dihindari risiko munculnya residivis. Universitas Sumatera Utara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN