C. Pidana Kerja Sosial Merupakan Sanksi Pidana Bukan Sanksi Tindakan
Tindakan sering dikatakan berbeda dengan pidana, maka tindakan bertujuan untuk melindungi masyarakat, sedangkan pidana menitikberatkan pada pengenaan
sanksi kepada pelaku. Tetapi secara teori sukar dibedakan dengan cara demikian, karena pidana pun sering bertujuan untuk mengamankan masyarakat dan
memperbaiki terpidana. Tindakan merupakan suatu sanksi juga tetapi tidak ada sifat pembalasan
padanya, sehingga maksud mengadakan tindakan itu untuk menjaga keamanan pada masyarakat terhadap orang-orang atau anak-anak yang sedikit banyaknya berbahaya
dan akan melakukan perbuatan-perbuatan pidana. Namun dalam keadaan tertentu, tindakan ini pada umumnya dirasakan berat juga oleh orang yang dikenainya, dan
kerap sekali dirasakan sebagai pidana, karena berhubungan erat dengan pencabutan atau pembatasan terhadap kemerdekaan seseorang.
102
Pidana tercantum secara limitatif dalam Pasal 10 KUHP. Semua sanksi yang berada di luar KUHP bukanlah pidana. Hukuman administratif misalnya bukanlah
pidana dalam arti hukum pidana, begitu pula tindakan bukanlah pidana walaupun berada di dalam hukum pidana.
103
Perbedaan tindakan dengan pidana agak samar, karena tindakan pun bersifat merampas kemerdekaan, misalnya memasukkan anak di
bawah umur ke pendidikan paksa, memasukkan orang tidak waras ke rumah sakit
102
Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990, hlm.70
103
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, Jakarta:Pradnya Paramita, 1993, hlm. 67
Universitas Sumatera Utara
jiwa dengan perintah atau penetapan hakim, karena orang tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan. Tindakan di dalam KUHP terhadap anak di bawah umur ada
dua kemungkinan: 1.
Mengembalikan kepada orang tua atau yang memelihara. 2.
Menyerahkan kepada pendidikan paksa negara. Bagi yang cacat mental atau sakit jiwa dimasukkan ke rumah sakit jiwa paling lama
satu tahun. Sanksi pidana bersumber pada ide dasar “mengapa diadakan pemidanaan?”.
Sedangkan sanksi tindakan bertolak dari ide dasar “untuk apa diadakan pemidanaan itu?”. Sanksi pidana biasanya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan
sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap perbuatan pelaku terrsebut. Jika fokus sanksi pidana tertuju pada perbuatan salah seorang lewat pengenaan
penderitaan agar yang bersangkutan yang menjadi jera, maka fokus sanksi tindakan terarah pada upaya memberi pertolongan agar dia berubah.
104
Sanksi pidana berfungsi sebagai alat pemaksa agar larangan dalam hukum pidana ditaati, tetapi juga
sebagai alat pemaksa agar semua orang mentaati norma lain yang memuat petunjuk hidup baik yang tertulis maupun tidak tertulis.
105
Tindakan-tindakan itu membawa akibat yang dirasakan oleh yang bersangkutan, terutama oleh karena di dalam
kebanyakan hal, tindakan itu menyebabkan kehilangan kemerdekaan orang. Dilihat
104
M. Sholehhudddin, op cit, hlm.32
105
Mudzakkir, Kajian Terhadap Ketentuan Pemidanaan Dalam Draft RUU KUHP, Makalah disampaikan pada Sosialisasi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang diselenggarakan
Direktorat Jendral Peraturan Perundang-undangan Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta: 29 Juli 2004
Universitas Sumatera Utara
dari sudut akibatnya, secara teoritis tindakan yang membawa hilangnya atau terbatasnya kemerdekaan orang tidak akan ada bedanya dengan hukuman. Jika karena
tindakan itu ada orang yang untuk sementara waktu diambil kemerdekaannya, maka ini bukanlah hukuman di dalam arti undang-undang pidana. Oleh karena tindakan ini
bukan hukuman, maka terhadap tindakan itu tidak dapat diberikan grasi.
106
Sanksi pidana lebih menekankan pada unsur pembalasan pengimbalan. Ia merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan kepada seorang pelanggar.
Sedangkan sanksi tindakan bersumber dari ide dasar perlindungan masyarakat dan pembinaan atau perawatan si pembuat. Menurut J.E.Jonkers, bahwa sanksi pidana
dititikberatkan pada pidana yang diterapkan untuk kejahatan yang dilakukan, sedangkan sanksi tindakan mempunyai tujuan yang bersifat sosial.
107
Tindakan memasukkan orang ke rumah sakit jiwa merupakan suatu tindakan yang bersifat
semata-mata perdata.
108
Menurut H.L Packer, tujuan utama dari tindakan adalah untuk memberikan keuntungan atau untuk memperbaiki orang yang bersangkutan. Fokusnya bukan
kepada perbuatannya yang telah lalu dan yang akan datang, tetapi pada tujuan untuk memberikan pertolongan kepadanya.
109
Sedangkan pidana, pembenarannya didasarkan pada satu atau dua tujuan sebagai berikut:
110
106
R. Tresna, Azaz-Azaz Hukum Pidana, Jakarta: Tiara, 1959, hlm. 131
107
M. Sholehhudddin, op cit, hlm.32
108
J.E Jonkers dalam Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana,, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, hlm. 199
109
H.L Packer dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief. op cit, hlm.5. Lihat Herbert L Packer, op cit, hlm.25
110
Herbert L Packer, op cit, hlm.26
Universitas Sumatera Utara
1. untuk mencegah terjadinya kejahatan atau perbuatan yang tidak dikehendaki
atau perbuatan yang salah the prevention of crime or undersired conduct or offending conduct;
2. untuk mengenakan penderitaan atau pembalasan yang layak kepada si
pelanggar the deserved infliction of suffering on evildoers or retribution for perceived wrong doing
Sanksi pidana bertujuan memberikan penderitaan yang istimewa bijzonder leed kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya. Selain ditujukan
kepada pengenaan penderitaan terhadap pelaku, sanksi pidana juga merupakan bentuk pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku.
111
Salah satu perkembangan dalam Rancangan KUHP berkaitan dengan penetapan tindakan sebagai bagian dari sistem pemidanaan. Tindakan adalah
perlakuan treatment yang dikenakan oleh pelaku yang memenuhi beberapa ketentuan dalam Pasal 40 dan Pasal 41 RKUHP
112
atau tindakan yang dikenakan kepada seorang pelaku bersama-sama dengan pidana pokoknya. Jenis-jenis tindakan
yang dikenakan kepada pelaku yang memenuhi ketentuan Pasal 40 dan Pasal 41 berupa:
a. perawatan di rumah sakit jiwa; b. penyerahan kepada pemerintah;
c. penyerahan kepada seseorang.
111
M. Sholehhudddin, op cit, hlm.32
112
Pasal 40 dan Pasal 41 adalah ketentuan mengenai kemampuan bertanggung jawab. Dalam Pasal 40 dinyatakan bahwa setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menderita
gangguan jiwa, penyakit jiwa atau retardasi mental, tidak dapat dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenakan tindakan. Pasal 41 menyatakan bahwa setiap orang yang pada waktu
melakukan tindak pidana kurang dapat dipertanggungjawabkan karena menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa, atau retardasi mental, pidananya dapat dikurangi atau dikenakan tindakan.
Universitas Sumatera Utara
Tindakan yang dapat dikenakan bersama-sama dengan pidana pokok terdiri atas: a. pencabutan surat izin mengemudi;
b. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; c. perbaikan akibat tindak pidana;
d. latihan kerja; e. rehabilitasi; danatau
f. perawatan di lembaga.
113
Pidana kerja sosial merupakan sanksi pidana. Hal ini dapat dilihat dari adanya penderitaan yang dialami terpidana. Hal ini dimulai dari putusan hakim yang
diumumkan bahwa pelaku sebagai narapidana yang telah dijatuhi pidana kerja sosial sehingga masyarakat mengetahuinya. Setelah itu melakukan pekerjaan untuk
kepentingan pihak lain berpuluh-puluh jam lamanya dengan tidak mendapatkan upah juga merupakan penderitaan. Terpidana berbaur dengan kelompok non kriminal di
tempat pidana kerja sosial, karena sebagian besar orang yang ada di tempat kerja tersebut mengetahui tentang status dan keberadaan narapidana.
113
Pasal 101 Rancangan KUHP Tahun 2006 dan Penjelasan Pasal 101 RKUHP Tahun 2006 menyatakan bahwa pengenaan tindakan ini bukan didasarkan atas ancaman yang terdapat dalam tindak
pidananya, karena memang dalam tidak ada tindak pidana yang diancamkan dengan pengenaan tindakan, tetapi didasarkan pada kondisi pelaku. Terdapat dua kelompok pelaku yang dapat dikenai
tindakan, yaitu bagi orang yang tidak mampu bertanggungjawab atau kurang mampu bertanggung jawab dan orang yang mampu bertanggung jawab dimaksudkan untuk memberi perlindungan kepada
masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
BAB III PROSPEK PIDANA KERJA SOSIAL DALAM