BAB II DASAR FILOSOFIS PIDANA KERJA SOSIAL
DALAM FILSAFAT PEMIDANAAN
A. Latar Belakang Lahirnya Pidana Kerja Sosial
Dewasa ini baik di Indonesia maupun di dunia internasional muncul kecenderungan untuk mencari alternatif pidana perampasan kemerdekaan terutama
pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek. Upaya untuk mencari alternatif pidana perampasan kemerdekaan bertolak dari kenyataan, bahwa pidana perampasan
kemerdekaan semakin tidak disukai baik pertimbangan kemanusiaan, pertimbangan filosofis maupun pertimbangan ekonomis.
49
Atas pertimbangan kemanusiaan, pidana perampasan kemerdekaan semakin tidak disukai oleh karena jenis pidana ini mempunyai dampak negatif yang tidak kecil
tidak saja terhadap narapidana, tetapi juga terhadap keluarga serta orang-orang yang kehidupannya tergantung dari narapidana tersebut. Beberapa dampak negatif pidana
perampasan kemerdekaan,
50
terhadap narapidana antara lain:
51
1. Loos of personality
49
Tongat, op cit, hlm.4
50
Lihat Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2006, hlm. 71. P.A.F Lamintang mengemukakan bahwa pidana perampasan
kemerdekaan berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu
untuk mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.
51
Tongat, Pidana op cit, hlm.5
Universitas Sumatera Utara
Seorang narapidana dapat kehilangan kepribadian atau identitas diri, akibat peraturan dan tata cara hidup di Lembaga Pemasyarakatan.
2. Loos of security
Selama menjalani pidana, narapidana selalu dalam pengawasan petugas, sehingga ia merasa kurang aman, merasa selalu dicurigai atas tindakannya.
3. Loos of liberty
Dengan dikenai pidana jelas kemerdekaan individualnya terampas, hal ini dapat menyebabkan perasaan tertekan, pemurung, mudah marah, sehingga dapat
menghambat proses pembinaan. 4.
Loos of personal communication Dengan menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan, maka kebebasan untuk
berkomunikasi dengan siapapun dibatasi. 5.
Loos of good and service Selama di Lembaga Pemasyarakatan, narapidana dapat merasa kehilangan
pelayanan yang baik, karena semua harus dikerjakan sendiri. 6.
Loos of heterrosexual Dengan pembatasan bergerak dan penempatan narapidana menurut jenis kelamin,
jelas narapidana akan merasakan terampasnya naluri seks, kasih sayang dan kerinduan pada keluarga.
7. Loos of practige
Universitas Sumatera Utara
Selama dalam Lembaga Pemasyarakatan dan munculnya perlakuan yang bermacam-macam baik dari petugas maupun sesama narapidana lainnya, dapat
menghilangkan harga dirinya. 8.
Loos of belief Akibat dari perampasan kemerdekaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan,
narapidana dapat menjadi kehilangan atas rasa percaya diri. 9.
Loos of creatifity Narapidana selama menjalani pidananya di dalam Lembaga Pemasyarakatan,
karena perasaan tertekan dapat kehilangan daya kreatifitasnya, gagasan- gagasannya dan imajinasinya.
Narapidana juga akan kehilangan hak-hak tertentu, seperti di bawah ini:
52
1. Hak untuk memilih dan dipilih
Alasannya ialah agar kemurnian pemilihan terjamin, bebas dari unsur-unsur immoral dan perbuatan-perbuatan yang tidak jujur.
2. Hak untuk memangku jabatan publik.
Alasannya ialah agar publik bebas dari perlakuan manusia yang tidak baik. 3.
Sering pula disyaratkan untuk bekerja pada perusahaan-perusahaan. Dalam hal ini, telah dipraktikkan pengenduran dalam batas-batas tertentu.
4. Hak untuk mendapat perizinan-perizinan tertentu.
Misalnya izin usaha, izin praktik seperti dokter, advokat, notaris, dan lain-lain.
52
A.Z. Abidin Farid dan A. Hamzah, op cit, hlm.287-288
Universitas Sumatera Utara
5. Hak untuk mengadakan asuransi hidup.
6. Hak untuk tetap dalam ikatan perkawinan.
Pemenjaraan merupakan salah satu alasan untuk minta perceraian menurut hukum perdata.
7. Hak untuk kawin
Meski adakalanya seseorang itu kawin pada saat menjalani pidana penjara, itu merupakan keadaan luar biasa dan merupakan formalitas saja.
Dalam pertimbangan filosofis, terjadinya transformasi konseptual dalam sistem pidana dan pemidanaan yang terjadi di dunia pada umumnya dari konsepsi
retribusi ke arah konsep reformasi, ikut mendorong munculnya semangat untuk mencari alternatif pidana yang lebih manusiawi. Konsep pemidanaan yang hanya
berorientasi terhadap pembalasan punishment to punishment telah digantikan dengan konsep pembinaan treatment philosophy.
53
Dalam pertimbangan ekonomis, kecenderungan untuk mencari alternatif pidana perampasan kemerdekaan bertolak pada kenyataan bahwa biaya yang harus
dikeluarkan untuk membiayai pelaksanaan pidana perampasan kemerdekaan sangat besar. Besarnya biaya tersebut antara lain biaya hidup narapidana seperti makan,
pakaian dan sebagainya yang dari waktu ke waktu menunjukkan angka yang relatif besar.
54
53
Tongat, op cit, hlm.6
54
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Ada beberapa pendapat atau kritik terhadap pidana penjara jangka pendek, adalah sebagai berikut:
1. Menurut Rekomendasi Kongres Kedua Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB
mengenai “The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders” tahun 1960 di London yang menyatakan antara lain:
55
a. Kongres mengakui bahwa pidana penjara jangka pendek mungkin berbahaya
karena pelanggar dapat terkontaminasi dan sedikit atau tidak memberi kesempatan untuk menjalani pelatihan yang konstruktif, tetapi kongres
mengakui bahwa dalam hal-hal tertentu penjatuhan pidana penjara jangka pendek mungkin diperlukan untuk tujuan keadilan.
b. Dalam praktek, penghapusan menyeluruh pidana penjara jangka pendek
tidaklah mungkin, pemecahan yang realistik hanya dapat dicapai dengan mengurangi jumlah penggunaannya.
c. Pengurangan yang berangsur-angsur itu dengan meningkatkan bentuk-bentuk
pengganti atau alternatif seperti pidana bersyarat, pengawasan atau probation, denda, pekerjaan di luar lembaga atau pidana kerja sosial dan tindakan-
tindakan lain yang tidak mengandung perampasan kemerdekaan. d.
Dalam hal pidana penjara jangka pendek tidak dapat dihindarkan, pelaksanaannya harus terpisah atau tersendiri dari narapidana penjara jangka
55
Barda Nawawi Arief, op cit, hlm.34-35
Universitas Sumatera Utara
panjang, dan pembinaannya harus bersifat konstruktif, pribadi dan dalam lembaga terbuka open institution.
2. Menurut Wolf Middendorf mengemukakan bahwa:
56
a. Dalam penelitian mengenai efektivitas treatment terhadap juvenile
delinquency, pidana penjara jangka pendek dapat menghasilkan residivis sama dengan pidana penjara dalam jangka waktu yang lama untuk semua tipe
anak dalam kelompok umur yang sama. b.
Pidana jangka pendek misalnya enam bulan ke bawah tidak mempunyai reputasi yang baik, tetapi pada umumnya diyakini lebih baik dan tidak dapat
dihindari. c.
Di banyak negara kebanyakan dijatuhkan dalam perkara lalu lintas, khususnya drinken driving mengemudi dalam keadaan mabuk.
d. Penggunaan pidana penjara jangka pendek seharusnya dikenakan untuk white
collar crime dimana pidana denda sering tidak berpengaruh. e.
Di beberapa negara misalnya Belanda, pidana penjara jangka pendek dilaksanakan dalam lembaga minimum security dengan keberhasilan yang
memadai. f.
Narapidana pidana penjara jangka pendek harus dipisah dari narapidana penjara dalam jangka waktu yang lama, dan seharusnya dikirim ke open
56
Ibid, hlm.35-36
Universitas Sumatera Utara
camp dimana mereka dipekerjakan untuk keuntungan atau kepentingan masyarakat.
3. Johannes Andenaes
57
a. Walaupun telah menjadi dogma di dalam penologi bahwa pidana penjara
jangka pendek merupakan pemecahan yang buruk karena tidak memberikan kesempatan untuk melakukan rehabilitasi, tetapi sedikit bukti bahwa pidana
penjara yang lama memberikan hasil yang lebih baik dari pidana penjara jangka pendek there is little evidence that longer prison sentences give
better results than short ones. b.
Pidana penjara jangka pendek yang tidak memberi kemungkinan untuk merehabilitasi pelanggar tetapi cukup mencap dia dengan stigma penjara dan
membuat atau menetapkan kontak-kontak yang tidak menyenangkan. 4.
Clemmer Kehidupan penjara harus dilihat sebagai suatu masyarakat di dalam suatu
masyarakat. Clemmer melukiskan penjara sebagai suatu sistem sosial yang informal yang disebut sebagai sub kultur narapidana. Subkultur narapidana ini
mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan individual dari masing- masing narapidana, khususnya proses sosialisasi narapidana tersebut ke dalam
masyarakat narapidana yang disebut sebagai prisonisasi.
58
Dalam proses
57
Ibid, hlm.36-37
58
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Alumni, 1992, hlm.141-142. Lihat juga Clemmer, Prisonization dalam Crime and Its Treatment. John Barron Mays London: Longman Group
Limited,1970
,
hlm.108-109.
Universitas Sumatera Utara
prisonisasi ini, narapidana baru harus membiasakan diri terhadap aturan-aturan yang berlaku di dalam masyarakat narapidana. Ia juga harus mempelajari
kepercayaan, perilaku-perilaku dan nilai dari masyarakat tersebut. Di samping faktor-faktor universal ini, maka Clemmer menyebutkan faktor-faktor lain yang
menentukan sehingga orang yang menjadi terpenjara, dalam hal ini meliputi lamanya pidana yang harus dijalani, stabilitas kepribadian terpidana, hubungan
yang terus menerus dengan orang-orang di luar penjara, penempatannya di dalam kelompok-kelompok kerja, sel dan sebagainya.
59
Makin lama pidana penjara dijalani, maka kecenderungan untuk terpenjara semakin besar. Kemudian
seseorang yang menjadi terpenjara cenderung untuk melakukan tindak-tindak pidana lebih lanjut setelah ia keluar dari penjara.
5. Barnes and Teeters
60
Penjara telah tumbuh menjadi tempat pencemaran yang justru oleh penyokong- penyokong penjara dicoba untuk dihindari, sebab di tempat ini penjahat-penjahat
kebetulan, pendatang baru di dunia kejahatan dirusak melalui pergaulan dengan penjahat-penjahat kronis. Sekalipun pidana penjara itu berjangka pendek, maka
justru akan sangat merugikan sebab di samping kemungkinan terjadinya hubungan-hubungan yang tidak dikehendaki, maka pidana penjara jangka pendek
jelas tidak mendukung kemungkinan untuk mengadakan rehabilitasi narapidana
59
Ibid, hlm. 142. Lihat Donald Clemmer, Prisonization dalam The Sociology of Punishment and Correction, Norman Johnston, Leonard Savitz dan Marvin E.Wolfgang New York: John Wiley
Sons. 1962, hlm.481
60
Barnes and Teeters dalam buku Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, op cit, hlm.142
Universitas Sumatera Utara
di satu pihak, dan di lain pihak bahkan menimbulkan apa yang disebut stigma atau cap jahat.
Menurut Hoefnagels, stigma terjadi bilamana identitas seseorang terganggu atau rusak, yang berarti bahwa persesuaian antara apakah seseorang itu dengan
pandangan masyarakat terhadap dia terganggu atau rusak. Stigmatisasi ini pada dasarnya menghasilkan segala bentuk sanksi negatif, yang berturut-turut
meninggalkan stigma. Karena suatu kejahatan, seseorang dipidana sehingga ia kehilangan pekerjaannya selanjutnya hal tersebut menempatkannya di luar
lingkungan teman-temannya, dan kemudian stigmatisasi menyingkirkannya dari lingkungan orang-orang yang benar. Stigma meningkatkan sanksi negatif dan
sanksi negatif tersebut memperkuat stigma. Secara psikologis, stigma ini menimbulkan kerugian yang terbesar bagi pelaku tindak pidana, karena dengan
demikian publik mengetahui bahwa ia adalah seorang penjahat, dengan segala akibatnya.
61
Pidana penjara jangka pendek seringkali merupakan proses sosial deformation rusaknya hubungan sosial. Hampir seluruh bentuk stimulasi sosial menjadi
hilang. Penelitian di Amerika Serikat melaporkan bahwa karena lingkungannya, narapidana yang menjalani pidana penjara dalam waktu yang lama lebih banyak
menghadapi masalah daripada yang baru menjalani pidana. Oleh karena itu,
61
Ibid, hlm.144
Universitas Sumatera Utara
reaksi negatif terhadap sekitarnya semakin meningkat sejalan dengan lamanya narapidana tinggal dalam lingkungan penjara.
62
Apabila pidana tidak dikehendaki merusak bentuk-bentuk hubungan sosial social deform, perlu ditetapkan metode-metode stimulasi sosial sebagai bagian
dari proses reintegrasi. Stimulasi yang dapat dikembangkan meliputi kesempatan untuk memperoleh pelatihan keterampilan atau pekerjaan vocational
training,menyediakan program-program pendidikan dan rekreasi. Sebuah penelitian terhadap narapidana wanita yang menjalani life sentence
mengungkapkan bahwa para napi tersebut secara perlahan kehilangan kemampuan untuk memelihara hubungan dengan keluarga dan kerabat dekatnya
serta tidak berdaya memberikan dukungan jika keluarganya memerlukan. Sebagian besar napi wanita kehilangan kepercayaan dirinya sebelum masuk
penjara, dan kehidupan dalam penjara hanya semakin memperburuk dan memperendah statusnya. Ketakutam mereka, terutama menimbulkan
kemerosotan psikologis yang terletak pada institusionalisasi, kehilangan identitas dan ketidakmampuan untuk merencanakan atau membayangkan masa depan
keluarganya dari penjara.
63
Berdasarkan pendapat beberapa ahli, maka pidana penjara perlu diganti dengan pidana lain, salah satunya adalah pidana kerja sosial. Demikian juga di dalam
draft RUU KUHP Tahun 2006, dikembangkan alternatif sanksi pidana lain seperti
62
Yesmil Anwar dan Adang, op cit, hlm.141
63
Ibid, hlm.141-142
Universitas Sumatera Utara
pidana pengawasan, pidana kerja sosial, pembayaran ganti kerugian dan pemenuhan kewajiban adat.
B. Pidana Kerja Sosial Dilihat Dari Filsafat Pemidanaan