golongan itu. Golongan manusia tersebut mempunyai pula pengurus sendiri dan mempunyai harta benda, milik keduniaan dan ghaib.
Golongan-golongan seperti yang dikemukakan oleh Ter Haar memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
1. Ada kesatuan manusia yang teratur;
2. Menetap disuatu daerah tertentu;
3. Mempunyai penguasa-penguasa;
4. Tidak seorangpun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau
kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-
lamanya. Berdasarkan unsur-unsur di atas, masyarakat hukum adat, bukanlah badan
hukum biasa sebagaimana dikenal dalam hukum barat, melainkan suatu badan hukum yang memiliki kewibawaan dan kekuasaan untuk membentuk,
melaksanakan, membina, dan sekaligus melakukan evaluasi baik terhadap perilaku anggota masyarakat maupun isi hukum.
2.2 Hukum Tanah
2.2.1 Sejarah Hukum Pertanahan Indonesia
1. Masa Kerajaan
a. Masa Kerajaan Nusantara
Sesuai dengan pendapat dari Ong Hok Ham 1984:5 yakni menurut tradisi mutlak, raja adalah satu-satnya pemilik tanah dalam arti secara teoretis ialah yang
berkuasa atasnya. Penguasaan tanah oleh raja ada beberapa jenis tanah pada masa tradisional ini yakni tanah narawita dan tanah lungguhbengkokapanage Wasino,
2005:1-2. Tanah narawita merupakan tanah yang dikuasai secara langsung oleh raja, sedangkan tanah lungguh adalah tanah yang merupakan tanah gaji yang
diberikan raja untuk dikelola oleh bangsawan atau pejabat. Keberadaan tanah narawita dan lungguh terletak di daerah yang disebut dengan Negara Agung
Wasino, 2005: 18. Daerah Negara Agung merupakan daerah luar benteng yang berada di
antara Kuthagara dan Mancanegara. Daerah Negara Agung terdiri atas beberapa daerah yakni daerah Sewu di Kawasan Bagelen, Bumi di daerah Kedu Barat,
Bumija di daerah Kedu Timur, Numbak Anyar di daerah Bagelen timur,Penumping daerah sebelah barat Surakarta, serta Panekar di daerah
Sukawati dan Pajang Wasino, 2005: 18.Tanah narawita terbagi atas beberapa jenis, yakni bumi pamajegan, pangrembe, dan gladag Wasino, 2005: 29;
Suhartono, 1991: 29. Bumi pamajegan merupakan tanah-tanah raja yang menghasilkan pajak
uang. Sementara itu daerah pangrembe merupakan tanah yang ditanami padi atau tanaman lain untuk istana. Sedangkan gladag merupakan tanah yang
penduduknya mendapat tugas transportasi. Tanah lungguh atau apanage adalah tanah raja yang hak gunanya diberikan kepada para pejabat. Pejabat-pejabat
birokrasi tidak mendapat imbalan jasa berupagaji, teapi sebagai pengganti jerih paya dari raja mereka mendapat ganduhan atau peminjaman tanah, sebagai tanah
lungguh.
Hasil bumi tanah tersebut parapejabat dapat membiayai keperluan hidupnya. Hasil dari tanah sebagian diberikan kepada kas kerajaan Pesponegoro
dan Notosusanto, 1984: 20. Jumlah tanah yang diberikan berbeda-beda. Dalam Serat Pustaka Raja Purwara misalnya disebutkan bahwa ibu raja dan istri raja
masing-masing mendapat tanah lungguh 1000 seribu karya, Adipati Anom seluas 8000 delapan ribu karya, Wedana Lebet mendapat tanah seluas 5000
lima ribu karya, dan sebagainya. Ukuran luas yang digunakan pada masa itu adalah karya atau cacah, yakni
jumlah petani penggarap sawahnya. Berkaitan hal tersebut, ukuran apanage adalah jung kira-kira 28.386 dua puluh delapan ribu tiga ratus delapan puluh
enam m
2
yang dikerjakan oleh empat cacahkarya Suhartono, 1991: 30. Berkaitan dengan adanya tanah lungguh ada beberapa istilah yang terkait dengan
pengelolaan tanah lungguh tersebut. Seorang yang diberi hak tanah lungguh disebut patuh. Patuh dalam
pelaksanaannya tidak turun langsung ke daerah Negaragung karena mereka tinggal di Kuthagara untuk memudahkan kontrol raja terhadap para patuh. Patuh
dibantu oleh bekel sebagai pengelola tanah lungguh. Bekel bertugas sebagai penebas pajak yang dibayar secara teratur ataupun okasional Suhartono, 1991:
32. Bekel dalam perkembangannya berkembang menjadi penguasa tunggal di
suatu desa. Dialah yang bertindak sebagai penghubung antara masyarakat petani dan penguasa. Dalam pelaksanaan tugasnya Wasino 2005: 32 menjelaskan
bahwa bekel bertindak pula sebagai kepala desa atau kepala dukuh yang bertanggung jawab pula dalam bidang ketertiban dan keamanan desa.
Sebagai pemimpin masyarakat desa mereka dibantu oleh tua-tua desa, mancapat-mancalima, serta mancakaki desa. Bekel berhak mendapat 15
seperlima bagian dari hasil sawah, sementara itu 25 dua perlima untuk raja dan 25 dua perlima untuk patuh Suhartono, 1991:31. Seperlima bagian inilah
yang menurut Suroyo 2000 berkembang menjadi tanah bengkok. Selain terdapat struktur patuh dan bekel, di kalangan petani muncul pula penggolongan-
penggolongan berkaitan dengan sistem apanage. Golongan
pertama disebut sikep
atau kuli
kenceng. Kuli
kenceng merupakan orang-orang pertama yang memiliki hak untuk mengerjakan serta hak atas tanah yang ditempati bangunan rumahnya. Para petani ini memiliki
hak penuh sebagai penduduk desa, dan sebagai konsekunsinya mereka harus melakukan tugas-tugas yang berat. Selain itu ada pula yang disebut dengan
numpang atau bujang. Para numpang inilah yang nantinya menggarap tanah desa atau tanah
persekutuan tanah lanyah Ong Hok Ham, 1984:7-8. Apabila ditinjau dari perspektif petani ada beberapa penguasaan tanah Ong Hok Ham, 1984:7. Tanah
tersebut adalah tanah pusaka yakni tanah yang digarap secara turun temurun, tanah yasa yakni tanah baru yang dibuka oleh sikep. Tanah yasa inilah yang
kemudian berkembang menjadi tanah milik perorangan. Tanah ketiga adalah tanah lanyah atau tanah desa, yakni tanah yang dikelola secara komunal.
b. Masa Kerajaan Majapahit