PENATAAN SEKTOR INFORMAL. IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II SURAKARTA NOMOR 8 TAHUN 1995 TENTANG PENATAAN DAN PEMBINAAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA SURAKARTA

36 bisa berwujud sumber daya manusia, yakni kompetensi implementor dan sumber daya finansial atau sarana prasarana Ketersedian sumber daya finansial atau sarana prasarana yang mencukupi akan mendukung suatu keberhasilan kebijakan dan juga ketersediaan sumber daya manusia yang memadai dan dapat diandalkan akan sangat menentukan keberhasilan program. Hal ini terjadi karena sumber daya manusia merupakan unsur pelaksana dari kebijakan baik berupa, perencanaan, pelaksanaan, pengarahan, pengendalian maupun penegakkan terhadap kebijakan penataan dan pembinaan PKL di Surakarta. Sumber daya manusia dapat diukur dari julah personil, tingkat pendidikan yang dimiliki oleh pihak yang diserahi tugas dalam pelaksanaan kebijakan.

H. PENATAAN SEKTOR INFORMAL.

Sebelum membahas mengenai kebijakan sektor informal, akan lebih baik jika mengetahui tentang definisi dan karakteristik sektor informal. a. Konsep dan karakteristik sektor informal Sektor informal oleh Biro Pusat Statistik Subarsono,1998:82 didefinisikan sebagai berikut : Unit usaha berskala kecil yang menghasilkan dan mendistribusikan barang dan jasa dengan tujuan utama menciptakan kesempatan kerja dan penghasilan bagi dirinya sendiri. Di dalam berbagai literatur, konsep sektor informal digunakan silih berganti dengan konsep aktivitas informal informal activity, kesempatan kerja yang diciptakan sendiri self-employment, ekonomi di bawah tanah 37 underground economy, ekonomi pasar gelap black market ekonomi, ekonomi bayangan shadow economy dan kerja sampingan casual work. Tabel 4. Karakteristik Sektor Informal dan Formal No. Sektor Informal No. Sektor Formal 1. Mudah dimasuki 1. Sulit dimasuki 2. Tergantung pada sumberdaya lokal 2. Tergantung pada sumberdaya luar 3. Sistem pemilikan keluarga 3. Sistem pemilikan perusahaan 4. Beroperasi dalam skala kecil 4. Beroperasi dalam skala besar 5. Padat tenaga kerja dan teknologi bersifat adaptif 5. Padat tenaga kerja dan teknologi bersifat import 6. Ketrampilan dapat diperoleh di luar sistem sekolah informal 6. Memerlukan ketrampilan yang berasal dari sekolah 7. Tidak teratur dan pasar bersifat kompetitif 7. Teratur dan pasar terproteksi melalui kuota, ijin perdagangan Sumber : ILO dalam Subarsono, JKAP, 1998:83 Kemudian Hidayat D.Priyo Sudibyo ,2001:19 mengatakan sebelas ciri pokok karakteristik sektor informal sebagai berikut : 1. Kegiatan usaha tidak terorganisir secara baik karena timbulnya unit usaha tidak mempergunakan fasilitaskelembagaan yang tersedia di sektor informal. 2. Pada umumnya unit usaha tidak mempunyai izin usaha. 3. Pola kegiatan usaha tidak teratur baik dalam arti lokasi maupun jam kerja. 4. Pada umumnya kebijakan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai ke sektor ini. 5. Unit usaha mudah keluar masuk dari sub sektor ke sub sektor lainnya. 6. Teknologi yang digunakan bersifat primitif. 38 7. Berpenghasilan rendah dan kadang-kadang juga berpenghasilan menengah. 8. Pendidikan yang diperlukan untuk menjalankan usaha tidak memerlukan pendidikan formal karena pendidikan yang diperlukan diperoleh dari pengalaman bekerja. 9. Pada umumnya unit usaha termasuk golongan “one man enterprise“ dan kalau mengerjakan buruh dari keluarga. 10. Sumber dana modal usaha pada umumnya berasal dari tabungan sendiri atau dari lembaga keuangan yang tidak resmi. 11. Hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsi untuk golongan masyarakat kotaldesa berpenghasilan rendah dan kadang-kadang juga berpenghasilan menengah. a. Kebijakan pada sektor informal. Pemerintah menilai keberadaan PKL hanya menimbulkan berbagai persoalan sosial seperti ketertiban, keamanan, serta kebersihan kota. Menarik untuk dikaji bila keberadaan PKL tidak hanya digusur atau diminimalkan, akan tetapi dikelola dengan baik dan menjadi bagian dalam pertumbuhan ekonomi negara. Paling tidak, mereka ikut berperan mengurangi jumlah pengangguran yang semakin meningkat di perkotaan. Sementara itu, penempatan PKL dalam pasar tradisional yang menjadi pasar pusat perbelanjaan bisa menjadi bagian kegiatan dari pemerintah untuk mengurangi munculnya PKL yang berjualan di jalan-jalan secara ilegal. Untuk menarik minat para PKL, cara yang dilakukan adalah dengan pemberian 39 insentif kepada para pedagang bila memiliki izin berjualan secara legal dan bersedia menempati lokasi pasar tradisional yang telah disediakan. Pemerintah seyogiayanya tak hanya menempatkan para PKL dalam lokasi pasar, tetapi juga memperbaiki infrastruktur pasar tradisional yang semula kumuh dan kotor menjadi lebih bersih. Di samping itu, juga mengawasi makanan atau barang yang dijual para pedagang sesuai dengan standar kesehatan. Perencanaan relokasi bagi PKL sebaiknya melibatkan juga PKL, karena jika mereka tidak dilibatkan dalam perencanaan lokasi maka fasilitas yang dibangun menjadi tidak efektif, padahal anggaran yang digunakan tidaklah sedikit. bagi mereka, lokasi yang jauh dari konsumen membuat usaha mereka berisiko bangkrut. Untuk itu, pemerintah pusat dapat mengupayakan perbaikan peran fasilitasi dalam pengembangan pasar tradisional. Selain meningkatkan dana stimulasi untuk pembangunan pasar, penyaluran dana, juga memperhitungkan indikator kinerja pemerintah daerah dalam pengembangan pasar itu sendiri. Pemerintah pusat telah banyak melakukan penataan dan pembinaan usaha di sektor informal diantaranya dengan memberikan kredit dengan bunga yang relatif ringan kepada pengusaha yaitu Usaha Kecil dan Menengah UKM Pada akhirnya, keberadaan PKL harus mendapat perhatian serius dari pemerintah dan bukan hanya menjadikan PKL sebagai kaum marginal. Penataan PKL yang baik dan terorganisasi dalam rangka pengembangan 40 entrepreneur diharapkan mampu memberi sumbangan bagi pertumbuhan ekonomi ke arah yang lebih baik. Kebijakan Pemerintah kota Surakarta yang sangat ramah terhadap kegiatan usaha sangat membuka peluang ekonomi baru bagi warganya sendiri maupun bagi investor. Hal itu membuat Surakarta menjadi kota yang sangat terbuka terhadap dunia usaha, khususnya dalam perdagangan mulai yang berskala besar berupa mal dan pasar swalayan yang mendatangkan investor ke kota ini, sampai berskala kecil yang bersifat informal seperti pasar tradisional yang direhabilitasi dan pemindahan pasar klithikan Banjarsari ke wilayah Semanggi. Sesuai dengan semangat reformasi, tentu hal ini merupakan keputusan dan tindakan yang terpuji, karena memanusiakan para pengusaha dan pedagang informal supaya lebih bermartabat dengan menatanya dan menempatkannya secara khusus dan layak. Pemerintah kota Surakarta menganggap PKL sebagai potensi yang perlu dikembangkan dan ditata keberadaannya. Dalam rangka menata PKL, pemerintah menggunakan pendekatan budaya dan dialogis. Setelah para PKL masuk ke pasar tradisional, maka yang tadinya mereka sebagi pedagang informal maka berubah statusnya menjadi pedagang formal dan pemerintah akan memberikan SIUP secara cuma-Cuma. Dengan berubahnya status mereka menjadi pedagang formal maka bisa mendapatkan bantuan pinjaman modal melalui kredit bank. 41 Berbagai upaya telah dilakukan dalam pembinaan dan penataan PKL di kota Surakarta diantaranya dalam penataan konsep PKL yaitu selain strategi relokasi, Pemkot Surakarta juga melakukan shelterisasi, tendanisasi knock downlbongkar pasang, dan grobakisasi. Dalam upayanya ini, kantor pengelolaan PKL bekerja sama dengan dinas-dinas terkait seperti Dinas PU Pekerjaan Umum dan Koperasi. Selain daripada itu pula pemerintah kota Surakarta pada tanggal 13 April 2008 melalui Menteri Perdagangan Maria Elka Pengestu telah meresmikan PKL Wisata kuliner yang bertempat di Gladak, Surakarta. PKL yang berjualan di pasar wisata kuliner adalah para PKL yang berada di wilayah kota Surakarta. Dengan demikian masyarakat ataupun para wisatawan yang berkunjung ke kota Surakarta akan lebih mudah dapat mencicipi masakan khas kota Surakarta hanya dengan berkunjung di tempat wisata kuliner tersebut. Dengan demikian langkah melokalisir secara bermartabat dan layak PKL klithikan Tugu Banjarsari ke Semanggi adalah langkah tepat. Sedangkan penataan PKL yang berada di trotoar jalan-jalan utama kota Surakarta, terutama di pusat perdagangan yang ternyata sudah mengganggu ruang sirkulasi pergerakan pejalan kaki, perlu pendekatan yang senada walaupun dengan cara yang berbeda. Namun tetap mengutamakan dialog, dan cara yang layak dan bermartabat. PKL adalah denyut nadi perekonomian sektor informal yang bisa dijadikan tolok ukur berbagai hal, seperti tolok ukur tingkat perekonomian sampai tingkat kegigihan mencari nafkah warga suatu bangsa. Bahkan PKL 42 adalah penanda yang menjadi ciri khas kota yang satu dengan yang lain. Dalam era sekarang ini, sektor informal terbukti paling bisa bertahan dari krisis, karena kemandiriannya, walaupun skalanya kecil. Sekarang yang perlu kita lakukan adalah menatanya dan memasukkannya sebagai salah satu elemen pembentuk kualitas ruang kota dan salah satu aktivitas yang perlu juga diwadahi. Berbagai strategi ini akan sulit diterapkan, jika jumlah pasti PKL tidak diketahui. Terkait dengan hal ini, kantor pengelolaan PKL bekerja sama dengan perguruan tinggi, melakukan pendataan berkala mengenai jumlah PKL di kota Surakarta melalui metode pencatatan dan dokumentasi foto. Dengan demikian, pemerintah bisa dengan mudah mendeteksi kehadiran PKL baru. Sedangkan masalah pengawasan jumlah PKL, pemkot menyerahkan tanggung jawab kepada setiap kecamatan dan kelurahan tempat para PKL berada. Secara historis dapat dilihat bahwa sektor informal selalu hadir di kota- kota di negara-negara dunia ke tiga. Sektor informal juga memberikan sumbangan bagi penciptaan kesempatan kerja, ini berarti mengurangi problema ekonomi dan sosial di kota. Melalui lapangan pekerjaan yang mereka ciptakan sendiri, ini berarti akan menambah pendapatan mereka dan akan mengurangi tingkat kemiskinan di kota. Dengan keberadaannya sektor informal di perkotaan juga memberikan pelayanan produksi dan ditribusi barang dan jasa yang relatif lebih murah, apabila jika dibandingkan dengan pelayanan yang diberikan oleh sektor 43 formal. Dengan demikian ini berarti membantu masyarakat dilapisan bawah dalam memenuhi kebutuhannya. Selain daripada itu dalam hubungannya dengan negara, sektor informal ternyata mampu memberikan sumbangan yang tidak sedikit bagi sumber pendapatan keuangan pemerintah daerah. Dari berbagai argumentasi tersebut di atas kiranya tidak tepat bagi pemegang otoritas di negara-negara dunia ke tiga untuk menghapuskan sektor informal. Kebijakan pemerintah yang melarang beroperasinya sektor informal yang ada di perkotaan, justru akan menimbulkan kerawanan sosial dan ekonomi, dan yang pada akhirnya akan berpotensi lahirnya kerawanan di bidang politik. Menurut McGee dan Yeung Subarsono,1998:91 menyajikan tiga model kebijakan pemerintah untuk mengatasi sektor informal, yaitu kebijakan relokasi, struktural, edukatif. Kebijakan relokasi didesain untuk mengatur pola lingkungan yang pantas bagi beroperasinya sektor informal di perkotaan. Contoh kebijakan ini adalah sektor informal dilarang beroperasi disuatu tempat tertentu atau dipindahkan sektor informal dari lokasi yang satu ke lokasi yang lain. Kebijakan struktural bertujuan untuk mengontrol aktivitas sektor informal melalui infrastruktur legal dan administratif. Contoh, pemerintah memberikan sanksi denda bagi partisipan sektor informal yang melanggar peraturan atau mengharuskan mereka memiliki ijin usaha disuatu tempat tertentu. 44 Sedangkan kebijakan edukatif dimaksudkan untuk merubah sikap para partisipan sektor informal menjadi semakin baik. Sebagai contoh, usaha-usaha untuk mendidik para partisipan di sektor informal misalnya pedagang makanan untuk memperhatikan aspek-aspek kesehatan atau memberikan latihan-latihan manajemen keuangan dan pemasaran.

D. Kerangka Berfikir.

Dokumen yang terkait

DAMPAK RELOKASI PEDAGANG KAKI LIMA BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN PEDAGANG KAKI LIMA TERHADAP USAHA PEDAGANG KAKI LIMA DI SURAKARTA

1 10 127

Efektivitas kantor pengelolaan pedagang kaki lima dalam pelaksanaan peraturan daerah kotamadya daerah tingkat ii surakarta nomor 8 tahun 1995 tentang penataan dan pembinaan pedagang kaki lima

0 3 84

PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA

0 2 112

PENDAHULUAN Implementasi Ketentuan Permohonan Ijin Penempatan Pedagang Kaki Lima Di Jalan Slamet Riyadi Surakarta Tahun 2015 (Tinjauan Yuridis Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima).

0 5 7

SOSIALISASI PERATURAN DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG PENATAAN DAN PEMBINAAN PEDAGANG KAKI LIMA OLEH PEMERINTAH KOTA BANDUNG.

0 0 2

KEDUDUKAN HUKUM PEDAGANG DENGAN MEDIA MOBIL TOKO SEBAGAI PEDAGANG KAKI LIMA DIKAITKAN DENGAN PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG PENATAAN DAN PEMBINAAN PEDAGANG KAKI LIMA.

0 0 1

ANALISIS TERHADAP PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA BERIZIN BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NOMOR 04 TAHUN 2011 TENTANG PENATAAN DAN PEMBINAAN PEDAGANG KAKI LIMA DIHUBUNGKAN DENGAN ASAS KEMANFAAT.

0 0 1

IZIN USAHA FOOD TRUCK DALAM PERSPEKTIF PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NOMOR : 04 TAHUN 2011 TENTANG PENATAAN DAN PEMBINAAN PEDAGANG KAKI LIMA.

0 0 2

IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA SERANG

1 5 158

Implementasi Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima Di Kota Serang Tahun 2015 - FISIP Untirta Repository

0 0 257