Kehidupan masyarakat etnis Tionghoa yang hidup berkelompok pada masa itu,
telah memberikan cikal bakal adanya Chinatown di Indonesia, seperti yang terjadi
di Amerika Serikat. Pada perbaurannya, mulai terbentuk komunitas-komunitas masyarakat Tionghoa itu sendiri. Setiap komunitas masyarakat Tionghoa, mulai
terbentuk. Seperti contoh dengan Masyarakat Tionghoa Benteng di Kota Tangerang, yang sudah menjadi suatu ikon hasil proses asimiliasi yang cukup
lama.
II.3 Terbentuknya Masyarakat Tionghoa Benteng.
Masyarakat Tionghoa pada awalnya tinggal di pesisir pantai Batavia, atau lebih tepatnya Jakarta Utara pada masa kini. Pelabuhan Sunda Kelapa yang
menjadi salah satu pelabuhan ternama di kawasan Batavia, dan menjadi salah satu saingan pelabuhan Banten, menjadikan kawasan utara Batavia ini cukup ramai
untuk ditinggali oleh masyarakat pada umumnya, tidak terkecuali masyarakat Tionghoa. Pada awal pembangunan Batavia. Banyak sekali masyarakat Tionghoa
yang tinggal di daerah ini. Kedatangan orang Tionghoa untuk pertama kali ke Tangerang terjadi pada tahun 1407, tepatnya berada di muara sungai Cisadane
yang sekarang bernama Teluk Naga. Kejadian ini telah tercatat dalam kitab sejarah Sunda yaitu Tina layang Parahyangan. Pemimpin daerah tersebut pada
waktu itu adalah Sanghyang Anggalarang dari Kerajaan Parahyangan yang pusat pemerintahannya berada disekitar Kota Tangerang. Tangerang sendiri berasal dari
kata Tangren dalam bahasa mandarin yang berarti orang dari dinasti Tang. Inilah
yang merupakan gelombang pertama kedatangan masyarakat Tionghoa ke Tangerang.
Universitas Sumatera Utara
Gelombang kedua diperkirakan berawal dari pemberontakan Tionghoa pada VOC tahun 1740 di Batavia. Pemberontakan yang dipimpin Kapitein Nie
Hoe Kong, direspon dengan sangat keji oleh Gubernur Jenderal VOC Adrian Valkenier. Kurang lebih 10 ribu orang tewas, sementara ratusan lainnya terluka.
Nie Ho Kong yang merupakan kapitein Tionghoa memimpin pelarian ke Jawa Tengah dan sampai Solo. Kapitein Tionghoa yang lain yaitu Ma Uk memimpin
rombongan pelarian menyusuri pantai utara Tangerang dan berhenti di wilayah yang sekarang dinamai seperti nama sang kapitein, yaitu Mauk. Sedangkan
rombongan yang lainnya menyusuri sungai Cisadane, sebagian berhenti di Sewan, Neglasari, dan wilayah-wilayah sekitar. Mereka yang belum aman di Sewan dan
Neglasari, melanjutkan perjalanan lebih ke pedalaman Tangerang, hingga mencapai tanah yang tidak ditinggali yaitu Karawaci. Nama Benteng pada
Tionghoa Benteng sendiri berasal dari benteng Belanda yang berada di Tangerang, dibuat untuk mengantisipasi pemberontakan Masyarakat Tionghoa
dan serangan Kesultanan Banten. Perjanjian Damai 10 Juli 1659 antara Kesultanan Banten dan VOC,
menyebutkan bahwa tapal batas Kesultanan Banten dan VOC adalah sungai Cisadane. Sebelah timur sungai Cisadane masuk wilayah VOC dan sisi barat
sungai merupakan wilayah kekuasaan Kesultanan Banten. Hal ini jugalah membuat para pelarian Tionghoa yang telah sampai di Karawaci, untuk
menyeberangi sungai Cisadane dan menetap di sisi barat sungai yang menjadi kekuasaan Kesultanan Banten. Itulah yang dilakukan oleh leluhur dari masyarakat
Tionghoa Benteng yang ada di daerah Tangerang seperti, Panongan, Tigaraksa,
Universitas Sumatera Utara
Curug, Legok, Balaraja, dan lainnya. Para pelarian Tionghoa yang telah menyeberang ke daerah kekuasaan Kesultanan Banten, dilindungi oleh Sultan
Abul Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin. Bermukim di wilayah tanpa penduduk dan diberi kebebasan membangun
pemukiman, mengolah lahan, dan membangun persawahan. Hampir tidak ada gangguan atau intervensi dari anggota keamanan Kesultanan. Mereka yang telah
tiba di sisi barat sungai, mendapat perlindungan penuh dari prajurit Kesultanan Banten yang Memang biasa berpatroli ke wilayah itu untuk melakukan
pengintaian. Dari sisi barat sungai Cisadane terutama di daerah Panongan, prajurit Banten bisa mengontrol garis dan zona demarkasi, juga untuk melihat pergerakan
tentara VOC yang di sisi timur sungai Cisadane. Pemukiman awal di daerah sisi barat sungai Cisadane, banyak melakukan kegiatan bercocok tanam dan beternak
untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Hampir seluruh hasil panen, padi dan sayuran juga ternak dikonsumsi oleh mereka. Ada juga yang disisihkan untuk dibawa
keluar daerah, bisa ditukar dengan garam atau gula. Selain itu, dengan dibangunnya benteng Belanda disebelah timur Cisadane, mulai banyak
penyebutan terhadap masyarakat Tionghoa yang mayoritas bermukim disekitar Cisadane dengan sebutan Tionghoa Benteng. Sebutan ini akibat dari banyaknya
masyarakat Tionghoa yang bermukim dekat dengan Benteng Belanda tersebut. Kesultanan Banten pada akhirnya terus melemah, dan akhirnya berhasil
dikalahkan oleh VOC dengan di tandai dihancurkannya Istana Surosan. Sultan Banten yang memerintah pada saat itu, Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq
Zainul Mutaqin diasingkan dan dibuang ke Batavia. Pada 22 November 1808,
Universitas Sumatera Utara
Gubernur Jenderal Hindia Belanda yaitu Herman Willem Daendels mengumumkan dari markasnya di Serang bahwa wilayah Kesultanan Banten telah
diserap ke dalam wilayah Hindia Belanda. Jatuhnya Kesultanan Banten membuat Masyarakat Tionghoa Benteng
merasa terancam dan hidup tanpa perlindungan. Ancaman pencurian, perampokan, pemerkosaan dan pembunuhan menghantui mayoritas masyarakat
Tionghoa Benteng. Apalagi kalau mereka membawa hasil bumi ke luar kampung. VOC yang telah memberlakukan sistem mata uang, untuk menarik semua elemen
masyarakat ke dalam ekonomi pasar. Dalam perjalanan ke luar kampung pun bukan tanpa bahaya, ancaman perampokan di tengah jalan juga menghantui
mereka. Maka ditemukan solusi untuk menjamin keamanan mereka, dengan menyewa jawara sebagai pengaman. Yang dimaksud jawara adalah individu yang
mempunyai kekuasaan untuk melakukan pengamanan. Jawara menjamin keselamatan pemukiman mereka dan mengawal mereka apa bila akan melakukan
perjalanan ke luar kampung untuk menjual hasil bumi. Daerah yang menjadi perhatian penjualan mereka adalah pasar Curug dan Cikupa.
Adanya jawara ini bukan tidak serta merta munculnya perdamaian di Pemukiman masyarakat Tionghoa Benteng.Terkadang para jawara ini pun
melakukan intimidasi terhadap masyarakat Tionghoa Benteng dengan memerintahkan anak buahnya untuk meneror mereka. Masyarakat Tionghoa
Benteng pun melakukan banyak upaya untuk mengamankan diri sendiri, karena merasa dirugikan oleh para jawara tersebut. Tapi usaha itu selalu digagalkan oleh
para jawara tersebut, karena takut tidak akan mendapatkan uang keamanan dari
Universitas Sumatera Utara
pemukiman masyarakat ini. Banyak daerah di Tangerang yang masyarakat Tionghoa Benteng mengalami hal ini, seperti Panongan, Cengklong dan Kosambi.
Lambat laun para jawara ini juga bukan merupakan solusi yang tepat bagi keamanan masyarakat Tionghoa. Di saat penjagaan longgar, orang dari luar
kampung akan masuk, dan kemudian mereka akan mencuri atau merampok, bahkan hanya sekadar buat mencari masalah. Cerita perampokan dan diselingi
pemerkosaan, juga kerap menghantui masyarakat ini. Setelah kejatuhan Kesultanan Banten, Belanda mendirikan pemukiman
Tionghoa di Tegal Pasir atau yang sekarang bernama Kali Pasir. Pemukiman ini cukup dekat dengan pusat Kota Tangerang, Belanda menamakan perkampungan
Tionghoa itu dengan nama Petak Sembilan. Perkampungan ini dengan seiring waktu cukup berkembang dan menjadi pusat perdagangan di Kota Tangerang.
Masyarakat Tionghoa Benteng, merupakan hasil bentukan perpaduan kebudayaan Tiongkok dengan pribumi. Ciri-ciri fisik masyarakat Tionghoa Benteng sendiri,
tidak seperti masyarakat Tionghoa pada umumnya. Suku Tionghoa di Indonesia pada umumnya berkulit putih, tapi masyarakat Tionghoa Benteng mempunyai
kulit yang hitam gelap, mereka pun tidak memiliki mata yang sipit. Maka hal ini sangat sulit membedakan dengan pribumi apa bila dilihat secara sepintas saja.
Universitas Sumatera Utara
BAB III Keadaan Masyarakat Tionghoa Benteng Sebelum SBKRI