Perbauran Masyarakat Tionghoa Dengan Masyarakat Pribumi di Jawa.

sekarang masih banyak masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia yang mempertahankan kebudayaan dan keyakinan para leluhur. Pola ini bahkan lebih banyak terjadi di Amerika Serikat, Australia dan Inggris, yang masyarakat keturunan Tionghoanya lebih mempunyai sisi pemikiran barat yang modern dan telah meninggalkan adat-istiadat leluhur.

II.2 Perbauran Masyarakat Tionghoa Dengan Masyarakat Pribumi di Jawa.

Setiap imigran yang datang ke suatu negara, pastinya harus menghadapi persoalan klasik, yaitu adaptasi dan bisa berbaur dengan masyarakat lokal atau pribumi. Hal ini tak terlepas dari masyarakat keturunan Tionghoa. Dalam prosesnya, integrasi antara masyarakat Tionghoa dengan masyarakat peribumi banyak mengalami hambatan. Baik dari segi bahasa, kebudayaan, bahkan pandangan sosial terhadap kedua belah pihak. Dalam kegiatannya di kota Batavia menurut 7 7 Susan Blackburn, op cit., hal. 34. Valentijn pada abad ke-18, orang-orang Tionghoa sangat pintar, sopan, giat dan penurut, serta sangat berjasa bagi Batavia. Mereka tidak hanya berdagang dalam segala macam hal barang kebutuhan tapi juga barang-barang yang membutuhkan ilmu teknik seperti pandai besi, tukang kayu, pembuat kursi. Banyak hal yang mereka lakukan di Batavia baik dari segi jasa bahkan perkebunan, mereka membangun kota tersebut menjadi kota yang sangat pesat perkembangannya. Bahkan Valentijn menyimpulkan “jika tidak ada orang Tionghoa, Batavia akan sangat sepi dan kehilangan banyak kebutuhannya”. VOC pada masa abad ke-18 mulai merangkul masyarakat Universitas Sumatera Utara Tionghoa, dengan memberikan gelar Kapiten dan Letnan kepada para pemimpin masyarakat Tionghoa tersebut. Pemimpin-pemimpin masyarakat Tionghoa yang mendapatkan gelar tersebut, akan membuat perayaan yang sangat meriah. Bagi orang Tionghoa pengangkatan ini berarti menandakan hubungan yang setara dengan orang Belanda, selain itu mereka juga menganggap gelar ini setara dengan mereka jika diangkat sebagai pejabat kekaisaran Tiongkok. Pada tragedi pembantaian masyarakat Tionghoa oleh VOC pada tahun 1740 yang disebabkan represi VOC terhadap harga gula dan mengakibatkan bangkrutnya pabrik gula yang mempunyai banyak buruh orang Tionghoa. Selain itu penetapan harga arak yang ditetapkan dengan sewenang-wenang oleh VOC, mengakibatkan banyak pedagang Tionghoa mendapat kerugian dan mengakibatkan pemberontakan oleh masyarakat Tionghoa. Setelah kejadian tersebut banyak orang Tionghoa mulai beragama Islam untuk meleburkan dirinya dengan masyarakat pribumi. Dikarenakan setelah tragedi tersebut, masyarakat Tionghoa tidak lagi menjadi anak emas bagi VOC, sehingga banyak masyarakat Tionghoa berusaha mencari perlindungan kepada masyarakat pribumi. Salah satu cara perbaurannya dengan pekawinan campuran dan masuk agama Islam, hal ini diyakini dapat membantu mereka untuk mendapatkan perlindungan dari pihak pribumi. Selain itu banyak masyarakat Tionghoa telah Muslim, mengganti namanya dengan nama yang bersifat Indonesia, agar menjadi suatu penanda peleburan mereka terhadap masyarakat pribumi. 8 8 Ong Hok Ham, Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa, Jakarta: Komunitas Bambu, 2005, hal. 7. Orang Belanda banyak menjuluki orang Tionghoa Muslim ini dengan istilah Geschoren Chinees Universitas Sumatera Utara atau yang berarti orang Tionghoa yang dicukur, karena salah satu penanda orang Tionghoa itu telah menjadi Muslim adalah dengan mencukur kuncirnya yang menjadi salah satu ciri khas laki-laki Tionghoa pada masa itu. Pada 1766, Jumlah masyarakat Tionghoa yang beragama Islam semakin lebih banyak, sehingga kepemimpinan pribumi terhadap kaum ini mulai susah dipantau. Maka diangkatlah seorang kapitein Tionghoa Muslim, yang bertugas memimpin masyarakat ini. 9 Kapitein Tionghoa Muslim yang terakhir adalah Kapitein Mohammad Japar yang meninggal pada tahun 1827. Selain itu hal ini juga untuk memudahkan mereka mendekati para bangsawan pribumi. Dengan masuk Islam dan membuat jasa-jasa bagi kaum bangsawan, yang pada akhirnya mereka akan diangkat kedalam golongan ningrat. 10 Masyarakat Tionghoa di Indonesia bukan merupakan masyarakat homogen. Dilihat dari segi kebudayaan, orang-orang Tionghoa terbagi atas peranakan dan totok. Peranakan adalah orang Tionghoa yang sudah lama tinggal di Indonesia dan sudah berbaur dengan masyarakat pribumi. Mereka mampu secara fasih berbahasa Indonesia sebagai bahasa keseharian. Sedangkan totok adalah pendatang atau imigran baru yang datang dari Tiongkok, umumnya masih sangat fasih berbahasa Tiongkok. Akan tetapi seiring waktu, imigran yang datang mulai menurun bahkan sudah berhenti. Tionghoa peranakan sudah banyak Seperti contoh Kapitein Tionghoa beragama Islam di Yogyakarta, Kapitein Tan Djien Sing yang diangkat sebagai Raden Toemenggoeng Setjodiningrat dan diangkat menjadi bangsawan keraton Yogyakarta. 9 Ibid., hal. 7. 10 Ibid., hal. 8. Universitas Sumatera Utara mengalami perbauran dengan masyarakat pribumi dan keturunan totok pun sudah menjadi peranakan. Karena itu, generasi muda Tionghoa di Indonesia sebetulnya sudah menjadi peranakan. Dalam hal adat-istiadat, Masyarakat Tionghoa totok lebih kuat memegang tradisi nenek moyangnya dari pada masyarakat Tionghoa peranakan. Sedangkan masyarakat Tionghoa peranakan, nilai tradisi dari nenek moyangnya telah meluntur akibat dari proses asimilasi kepada masyarakat pribumi Indonesia. Namun disaat tertentu kekhasannya sebagai orang Tionghoa akan muncul juga. Biasanya terjadi pada acara-acara yang memang mengikuti pola kebudayaan atau penanggalan Tiongkok seperti kelahiran, pernikahan, kematian. Sedangkan pada masa penanggalan Tiongkok seperti Tahun baru Tiongkok atau Imlek. Proses asimilasi Masyarakat Tionghoa di Indonesia dengan masyarakat pribumi, sering menemui penghalang-penghalang yang telah diciptakan orang Tionghoa secara sadar atau tidak sadar. Keunggulan masyarakat Tionghoa pada selama masa penjajahan, baik dari segi hukum maupun pangsa ekonomi telah membuat kenyataan yang menyakitkan bagi sebagian masyarakat pribumi di Indonesia. Selain itu masyarakat pribumi juga sering menganggap masyarakat Tionghoa itu sebagai bangsa lain, bukan merupakan suku. Masyarakat Tionghoa cenderung hidup berkelompok dan tetap berpegang teguh terhadap kebudayaan negeri leluhur mereka. Sisi eksklusif diri inilah yang membuat adanya kesenjangan sosial antara masyarakat pribumi dengan masyarakat Tionghoa. Setelah diberi kedudukan oleh Belanda, masyarakat Tionghoa mendominasi perekonomian di Hindia Belanda. Tidak jarang pejabat-pejabat dari kalangan Universitas Sumatera Utara masyarakat Tionghoa melakukan penindasan terhadap masyarakat pribumi dan menghalang-halangi golongan pengusaha nasional atau pribumi. Pada awal abad ke-20, terjadilah perpecahan di kalangan masyarakat Tionghoa. Sebagian orang Tionghoa peranakan merasa nyaman dengan konsesi yang mereka dapatkan dari Pemerintahan Kolonial Belanda, kebanyakan dari mereka tidak menyukai gerakan nasionalis Indonesia. Mereka takut derajat kewarganegaraan mereka akan turun, jika Pemerintahan Republik Indonesia terbentuk menggantikan Pemerintahan Kolonial Belanda. Salah satu orang Tionghoa yang sangat mendukung kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda adalah 11 11 Leo Suryadinata, Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002, Jakarta: LP3ES Indonesia, 2005, hal. 5. H.H. Kan, seorang tuan tanah yang sangat kaya. Ia belajar di sekolah Belanda di Batavia. Selain itu dia H.H. Kan juga merupakan pendiri dan ketua Chung Hwa Hui CHH, sebuah partai Tionghoa yang mendukung gerakan barat dalam dewan perwakilan atau sering disebut Volksraad . Kan dan partai Chung Hwa Hui cukup berpengaruh di dalam Volksraad. Lobi yang dilakukannya cukup kuat untuk mendirikan lebih banyak lagi sekolah-sekolah Belanda-Tionghoa. Dimana bahasa Belanda menjadi bahasa pengantar dan banyak anak-anak Tionghoa yang dimasukkan ke dalam sekolah- sekolah anak Eropa. Selain itu, penghapusan hukum-hukum diskriminatif dan memperluas hak-hak politik bagi orang Tionghoa, juga merupakan hasil kerja lobi partai Chung Hwa Hui terhadap Pemerintahan Kolonial Belanda. Pada tahun 1918, Kan memasukkan laporan yang mendukung status quo. Sampai tahun 1941, Kan masih mendukung pemerintahan Belanda, Kan menyatakan dengan jelas untuk menentang setiap perubahan kebijakan yang menentang Belanda. Kan juga Universitas Sumatera Utara banyak mengkritik partai-partai yang menentang Belanda dan yang mendukung kemerdekaan Indonesia. 12 Bahkan kan mengatakan dengan sangat jelas “Ini adalah perkara hidup mati rakyat di sini. Kita harus berjuang bersama Belanda dan pemerintahan Belanda harus ditegakkan di negara ini”.Di samping ada orang Tionghoa yang berpihak pada Belanda, ada juga yang berlandaskan nasionalisme Tiongkok. Gerakan aliran ini terlihat jelas pada surat kabar 13 12 Leo Suryadinata, Negara Dan Etnis Tionghoa: Kasus Indonesia, Jakarta: LP3ES Indonesia. 2002, hal. 34. Sin Po yang didirikan pada tahun 1910. Aliran orientasi nasionalisme Tiongkok ini menyerukan anti kolonialisme, hampir sama seperti gerakan nasionalisme Indonesia. Walau pun bisa dikatakan antikolonialisme di Indonesia, namun mereka tidak memiliki kesamaan dengan nasionalisme Indonesia karena menganggap bahwa Tiongkok adalah tanah air mereka. Bagi para pendukung aliran Sin Po, negara Tiongkok adalah pelindung mereka dan semua masyarakat Tionghoa perantauan. Bagi mereka, masyarakat Tionghoa peranakan akan selalu dapat hidup kalau mereka mempunyai ikatan dengan Negeri Tiongkok. Kaum ini menganjurkan persatuan antara kaum peranakan Tionghoa dengan kaum Tionghoa totok, selain itu menuntut status hukum sama dengan orang Eropa bagi kaum masyarakat Tionghoa lokal serta pendidikan adat dan tradisional Tionghoa terhadap anak-anak kaum peranakan Tionghoa. Padahal tidak semua masyarakat Tionghoa yang seperti itu, bahkan ada yang sangat mendukung nasionalisme bangsa seperti Partai Tionghoa Indonesia PTI. Sekelompok orang Tionghoa yang pro-Indonesia juga ada, mereka merupakan kalangan masyarakat Tionghoa yang menganggap bahwa masyarakat Tionghoa di Indonesia harus menjadi 13 Leo Suryadinata, 2005, op cit., hal. 4. Universitas Sumatera Utara Indonesia. Pada tahun 1932, seorang jurnalis Tionghoa peranakan Liem Koen Hian dan pengacara yang juga Tionghoa peranakan Ko Kwat Tiong, mendirikan Partai Tionghoa Indonesia PTI. Aliran partai ini menganut nasionalisme kebangsaan Indonesia, Indonesia bagi Liem Koen Hian yang menjadi presiden pertama partai, merupakan Tanah Air dan negeri bagi setiap insan yang telah lama tinggal di Indonesia dari generasi ke generasi. PTI giat menganjurkan akan identitas politik Indonesia, kepada setiap masyarakat Tionghoa di Jawa. Akan tetapi kegiatan ini hanya dijalani oleh sebagian kecil dari masyarakat Tionghoa itu sendiri, Sebagian besar masih memperkuat identitas Tiongkoknya. Orang Tionghoa banyak memberikan kontribusi yang berbeda-beda terhadap kehidupan di Jawa pada masa awal abad ke-20. Keuntungan yang diberikan Belanda terhadap Masyarakat Tionghoa telah banyak disalah gunakan. Oportunisme semacam ini adalah ciri khas dari orang yang hanya mementingkan uang, perdagangan, dan bisnis. Bagi sebagian besar masyarakat Tionghoa yang pro Tiongkok atau pun pro Belanda, gerakan nasionalis Indonesia seakan-akan tidak pernah ada. Mereka juga berpikir tidak ada alasan untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi kemerdekaan Indonesia. Penjajahan Belanda di Indonesia telah banyak menimbulkan perbedaan ras. Akibat perbedaan dan sisi eksklusif yang didapatkan masyarakat Tionghoa pada masa Belanda, maka tidak heran banyak warga Tionghoa hidup menyendiri, terpisah dari pribumi lainnya. Adat-istiadat, rumah sekolah Tionghoa sendiri dan perkumpulan sosial dan olah raga sendiri atas pengaruh ekonomi yang lebih baik. Universitas Sumatera Utara Banyak rakyat Indonesia asli berpendapat, bahwa merekalah yang berjuang dan berkorban untuk mencapai Indonesia merdeka. Masyarakat Indonesia asli umumnya tidak dapat membedakan Masyarakat Tionghoa totok dengan masyarakat Tionghoa peranakan yang telah menjadi warga negara Indonesia. Bagi kebanyakan rakyat asli Indonesia, masyarakat Tionghoa baik totok maupun yang peranakan adalah sama saja, karena bagi masyarakat Indonesia, masyarakat Tionghoa merupakan sosok penguasa lapangan ekonomi di Indonesia. Oleh sebab itu banyak individu-individu di Indonesia meminta kepada pemerintah Indonesia memperlindungi ekonomi nasional dan memberi kesempatan bagi pengusaha nasional memperoleh kedudukan yang layak dalam perekonomian masyarakat. Akan tetapi tidak selamanya perbauran masyarakat Tionghoa di Jawa mengalami hambatan. Nilai-nilai kebudayaan antara masyarakat Indonesia di Jawa dengan masyarakat Tionghoa peranakan di Jawa, bukan yang dari luar Jawa, karena pada batas-batas tertentu ada perbedaan situasi dan kondisi di tiap daerah. Banyak nilai-nilai sosial budaya yang sama di kalangan masyarakat Jawa dan masyarakat Tionghoa, seperti misalnya pandangan tentang hakekat hidup. Tempat tinggal masyarakat Tionghoa di Jawa kebanyakan mempunyai wilayah tempat tinggal bersama, atau bisa dikatakan masyarakat Tionghoa lebih banyak memilih hidup berkelompok dengan etnisnya. Bagi Masyarakat keturunan Tionghoa hal ini sudah biasa, karena etnis asing yang lain pun seperti itu seperti contoh etnis India dan Arab. Setelah tahun 1930, pola hidup berkelompok ini bukan lagi menjadi suatu hal yang asing, tapi sudah menjadi hal yang lumrah. Universitas Sumatera Utara Kehidupan masyarakat etnis Tionghoa yang hidup berkelompok pada masa itu, telah memberikan cikal bakal adanya Chinatown di Indonesia, seperti yang terjadi di Amerika Serikat. Pada perbaurannya, mulai terbentuk komunitas-komunitas masyarakat Tionghoa itu sendiri. Setiap komunitas masyarakat Tionghoa, mulai terbentuk. Seperti contoh dengan Masyarakat Tionghoa Benteng di Kota Tangerang, yang sudah menjadi suatu ikon hasil proses asimiliasi yang cukup lama.

II.3 Terbentuknya Masyarakat Tionghoa Benteng.