BAB IV Masyarakat Tionghoa Benteng dan SBKRI
IV.1 Keadaan Masyarakat Tionghoa Benteng Selama SBKRI.
Pada era orde baru, di masa kepemimpinan Presiden Suharto, banyak perubahan yang dirasakan oleh semua kalangan masyarakat. Tidak terkecuali
masyarakat etnis Tionghoa, SBKRI yang diberlakukan cukup membuat etnis ini mengalami diskriminasi. Kehidupan yang jauh dikatakan layak, membuat banyak
pemikiran akan komunitas ini yang terbelakang. Bukan dalam hal masyarakat yang ketat dalam menjaga adat istiadatnya, seperti suku Baduy atau suku Anak
Dalam, tapi keterbelakangan ekonomi, yang memaksa komunitas ini untuk hidup sederhana. Pada awal diberlakukannya SBKRI, masyarakat Tionghoa Benteng
banyak yang masih terganjal akan ketiadaan warga negara. Hal ini banyak memicu perdebatan dalam kalangan pemerintah, apakah etnis Tionghoa ini akan
dikembalikan ke Tiongkok atau tetap di Indonesia. Kontroversi tentang warga negara ini banyak disambut dengan negatif
oleh banyak etnis Tionghoa. Belum selesai penderitaan mereka dengan adanya pembantaian melawan kaum komunis, ditambah dengan masalah
kewarganegaraan cukup memprihatinkan mereka. Karena ketiadaan kewarganegaraan, maka banyak sekali timbul perebutan lahan tanah yang dimiliki
oleh etnis Tionghoa Benteng. Banyak pengusaha pribumi maupun penduduk yang mengklaim tanah mereka di atas tanah masyarakat Tionghoa Benteng. Belum lagi
dalam permasalahan birokrasi kependudukan, yang banyak menghambat mereka dalam kehidupan bernegara.
Universitas Sumatera Utara
SBKRI mulai diberlakukan pada masa pemerintahan Suharto.
23
Ketika dikeluarkannya Peraturan Menteri Kehakiman No. JB 3 4 12 Tahun 1978 Jo SK
bersama Menteri Kehakiman dan Menteri Dalam Negeri No. M. 01-UM. 09. 03. 80 dan nomor 42 Tahun 1980 yang merupakan peraturan pelaksana dari
Keputusan Presiden No. 52 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Penduduk. Dalam perkembangannya, biaya yang diperlukan untuk membuat SBKRI seharga 2 juta
rupiah sampai 8 juta rupiah. Bagi masyarakat Tionghoa yang mampu membayar, bukan suatu masalah dengan harga yang begitu mahalnya pada saat itu. Tapi
banyak masyarakat Tionghoa yang tidak mampu membuat surat tersebut, salah satunya masyarakat Tionghoa Benteng. Jika tidak sanggup membayar dengan
biaya yang disebutkan tersebut, maka individu-individu etnis Tionghoa tersebut
tidak memilik kewarganegaraannya Stateless.
24
23
Yayasan Pengkajian Hukum Indonesia, Menggugat SBKRI, Jakarta: Suara Harapan Bangsa. 2010, hal. 82.
Padahal berdasarkan peraturan Menteri Kehakiman No. JB.3412 Tahun 1978, biaya administrasi permohonan
SBKRI hanya sebesar Rp 3.000 Pasal 6 ayat 1. Dalam pembuatan SBKRI ini, banyak sekali terjadi pemerasan yang dilakukan oleh oknum-oknum birokrasi
pemerintahan. Memang banyak percaloan yang dilakukan untuk mempermudah masyarakat Tionghoa dalam mendapatkan SBKRI. Seharusnya oknum-oknum
inilah yang menjadi tersangka dan disalahkan dalam pemerasan terhadap masyarakat Tionghoa yang hendak membuat SBKRI. Selain mahal, kerumitan
dalam proses pembuatan SBKRI juga menyulitkan pemohon untuk mendapatkan surat tersebut.
24
Effendi, Wahyu dan Prasetyadji, Tionghoa Dalam Cengkeraman SBKRI, Jakarta: Visimedia, 2008, hal. 64.
Universitas Sumatera Utara
SBKRI, pada akhirnya banyak membatasi kegiatan masyarakat Tionghoa Benteng pada umumnya. Pada bidang pendidikan pun susah untuk didapatkan
bagi anak-anak masyarakat Tionghoa Benteng. Selain bidang pendidikan, masyarakat Tionghoa Benteng juga mengalami hambatan dalam kebudayaannya.
Pada masa orde baru tepatnya setelah 1978, kebudayaan masyarakat Tionghoa mulai diboikot oleh negara. Perayaan Imlek, kesenian tari Barongsai, dan
pemakaian bahasa Tionghoa dilarang. Hal ini berdampak sangat besar bagi masyarakat Tionghoa Benteng yang sangat memegang teguh adat istiadat
kebudayaan leluhur. Bahkan dalam pelaksanaan Imlek pun, terpaksa mereka lakukan secara sembunyi-sembunyi karena takut akan penangkapan tanpa alasan
yang pasti oleh pihak polisi. Pasar lama yang tadinya menjadi sebuah tempat untuk perayaan Imlek yang cukup sederhana, menjadi sepi bahkan tidak ada terasa
suasana Imlek. Walau pun klenteng Boen Tek Bio di Pasar Lama kerap banyak dikunjungi masyarakat Tionghoa Benteng pada perayaan Imlek, tapi tetap dalam
keadaan yang biasa saja. Selain itu, acara lomba perahu naga yang menjadi sebuah tradisi bagi masyarakat Tionghoa benteng di Tangerang, terpaksa ditiadakan,
karena perihal larangan kebudayaan Tionghoa yang diterapkan. Padahal lomba perahu naga sudah menjadi suatu ikon bagi kota Tangerang.
Tidak hanya dalam kebudayaan, tapi dalam kegiatan agama tradisional Tionghoa juga dianggap terlarang. Padahal pada tahun 1965, telah dikeluarkan
sebuah Penetapan Presiden Penpres No. 1 1965 yang mengakui enam agama di Indonesia yaitu Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha dan Konghucu.
Pada tahun 1979, agama Konghucu dianggap bukan lagi merupakan agama resmi.
Universitas Sumatera Utara
Pada akibatnya agama Konghucu tidak mendapatkan pengakuan dari pemerintah. Walau pun pada prosesnya, klenteng Boen Tek Bio dan Boen San Bio masih tetap
berdiri dan umat Konghucu yang mayoritas masyarakat Tionghoa Benteng masih tetap boleh beribadah di sana. Tapi dalam pelaksanaan ibadah maupun apa yang
terjadi di dalamnya, selalu diawasi oleh militer yang secara khusus ABRI. Ketiadaan pengakuan dari pemerintah, terhadap agama Konghucu menjadi
momok tersendiri bagi masyarakat Tionghoa Benteng yang banyak menganut agama ini. Dalam pengaturan SBKRI, tidak bisa dicantumkan agama Konghucu
karena tidak diakui negara. Hal ini mengakibatkan, sebagian besar masyarakat Tionghoa Benteng yang terpaksa menuliskan agama Buddha yang diakui oleh
negara demi mendapatkan SBKRI. Memang pada masa orde baru berjalan, ada ide untuk mengubah klenteng Boen Tek Bio menjadi sebuah Vihara Buddha dengan
patung-patung Buddha didalamnya. Akan tetapi, masyarakat Tionghoa Benteng, sebagai wujud bakti kepada leluhur, menolak bahkan tidak bisa menerima
berubahnya klenteng menjadi Vihara. Dengan alasan, kebudayaan leluhur terletak pada agama tradisional yang dianut, yaitu Konghucu.
Pada bidang pendidikan masyarakat Tionghoa, banyak sekali mengalami hambatan setelah diberlakukannya SBKRI. Masyarakat Tionghoa Benteng sendiri
banyak yang tidak bisa menyekolahkan anak-anaknya di sekolah Indonesia. Terkendalanya karena pembuatan akta lahir bagi pemegang SBKRI dipersulit, apa
lagi yang tidak memegang SBKRI atau dianggap Stateless. Kehidupan ekonomi yang rendah, membuat masyarakat Tionghoa Benteng hanya mampu
menyekolahkan anaknya di Sekolah Negeri. Banyak dari mereka yang tidak
Universitas Sumatera Utara
mampu dalam menjalankan pendidikan di sekolah swasta karena mahalnya biaya yang diperlukan jika bersekolah di tingkat swasta. Hal ini berdampak pada
kebingungan masyarakat Tionghoa Benteng untuk meraih pendidikan bagi anak- anaknya. Jika ada yang sanggup menyekolahkan di swasta, maka rata-rata
masyarakat Tionghoa Benteng hanya mampu mensekolahkan anak-anaknya sampai tingkat Sekolah Menengah Atas SMA.
Dalam pembuatan SBKRI, setiap masyarakat etnis Tionghoa yang menginginkan pembuatan SBKRI, harus mengganti nama Tionghoanya dengan
nama Indonesia. Peraturan pergantian nama ini sudah lama diterapkan sejak tahun 1966, tapi mulai dipertegas sejak 1978. Tapi masyarakat Tionghoa Benteng,
merupakan masyarakat Tionghoa yang kebanyakan menolak mengganti nama mereka menjadi nama Indonesia. Mereka menganggap kebudayaan leluhur harus
dijunjung tinggi, dan keterikatan dalam budaya Tionghoa yang diserap mereka cukup dalam. Sehingga mempunyai nama Tionghoa menjadi kebanggaan
tersendiri bagi mereka. Banyak Masyarakat Tionghoa mengganti nama mereka agar memperoleh kemudahan dalam birokrasi.
25
Masyarakat Tionghoa Benteng sendiri, juga ikut mengapresiasikan diri mereka terhadap Republik Indonesia. Tapi dengan tidak meninggalkan
kebudayaan mereka, ini merupakan suatu nilai positif dimana Bhinneka Tunggal Karena ganti nama merupakan
sebuah simbolik. Semacam deklarasi masyarakat etnis Tionghoa bahwa mereka setia kepada pemerintah Indonesia, atau mengidentitaskan diri dengan bangsa
Indonesia dan kebudayaan bangsa Indonesia.
25
Leo Suryadinata, 2002, op cit., hal. 87.
Universitas Sumatera Utara
Ika mampu mereka jalankan. Memang tidak semua masyarakat Tionghoa Benteng, ada juga yang ikut mengganti namanya. Tapi biasanya pada masa itu,
penggantian nama bagi masyarakat Tionghoa akan selalu ada kaitan yang mencerminkan Tionghoa di nama barunya.
26
Dalam keadaan ekonomi yang sederhana dan terkesan kurang, masyarakat Tionghoa Benteng tetap menunjukkan semangat hidup. Kebudayaan leluhur yang
mengikrarkan untuk bergotong royong dan punya kemauan keas untuk berusaha, membangkitkan semangat mereka dari keterpurukan. Akan tetapi usaha itu
dihalangi oleh sebuah perencanaan legalitas terhadap diri mereka. Sejak munculnya penerapan SBKRI, banyak kesusahan yang didapat masyarakat
Tionghoa Benteng. Selain pendidikan, kebudayaan, agama dan jaminan kewarganegaraan mereka tercoreng. Dalam tingkat sosial pun, mereka menjadi
sebuah masyarakat yang terbelakang. Dalam pembentukan karakter masyarakat Tionghoa Benteng yang tradisional, menjadi kendala hanya karena sebuah
kesulitan untuk mendapatkan legalitas. Seperti contoh Halim dari
mengambil kata Lim, Wijaya atau Wibisono mengambil dari kata Oey, Tano atau Tanzil mengambil dari Tan, Chandra dari kata Chan, Kusuma mengambil kata
dari Khoe, dan Surya mengambil kata dari Yao. Memang selain Tionghoa Benteng, ada juga masyarakat Tionghoa lainnya yang tidak mengganti nama
Tionghoanya seperti Liem Swie King pemain bulu tangkis nasional dan Soe Hok Gie aktivis sosial.
26
Ibid., hal. 87.
Universitas Sumatera Utara
Keputusan Kementerian Kehakiman pada tahun 1978 dalam menetapkan SBKRI bagi warga masyarakat Tionghoa di Indonesia, menyebabkan
banyak sekali kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat Tionghoa, termasuk masyarakat Tionghoa Benteng. Permasalahan kewarganegaraan yang dialami oleh
masyarakat Tionghoa, menjadi sebuah masalah sejak dari zaman Kolonial Belanda. Masyarakat Tionghoa Benteng merupakan salah satu etnis Tionghoa
yang mengalami diskriminasi karena SBKRI. Keadaan ini membawa masyarakat Tionghoa Benteng menjadi masyarakat terasing di Tangerang. Susahnya dalam
mengurus surat-surat kepada pemerintah, selalu mengalami hambatan dalam proses pengurusan. Jika mempunyai SBKRI, bisa dikatakan lebih mudah
mengurus daripada yang tidak punya SBKRI. Bahkan yang mempunyai SBKRI pun, terkadang juga sulit dalam melakukan pengurusan surat-surat di birokrasi
pemerintah. SBKRI dalam pelaksananya sejak tahun 1978, banyak mengalami
tindakan-tindakan yang menentang. Banyak tokoh-tokoh masyarakat Tionghoa pada waktu itu mempertanyakan akan gunanya SBKRI yang mendetail. Serta juga
mempertanyakan, tentang unsur diskriminasi dalam SBKRI tersebut. Sebelum dibentuknya SBKRI, pemerintah telah melakukan solusi pembauran bagi etnis
Tionghoa di Indonesia.
27
27
Hesti Armiwulan Sochmawardiah, op cit., hal. 134.
Dengan dikeluarkannya resolusi MPRS No IIIMPRS1966, asimilasi telah ditetapkan dan dipastikan menjadi satu-satunya
cara peleburan masyarakat etnis Tionghoa yang dipakai oleh pemerintah maupun etnis Tionghoa itu sendiri untuk melebur ke dalam negara kesatuan Republik
Universitas Sumatera Utara
Indonesia. Resolusi ini mulai mempertegas kedudukan masyarakat Tionghoa yang berada di Indonesia. Pembatasan kebudayaan dan agama menjadi salah satu
sarana bagi pemerintah untuk memotong jalur identitas Tionghoa bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia.
Perlawanan terhadap diskriminasi tersebut, tidak banyak dilakukan oleh masyarakat Tionghoa. Bahkan rakyat pribumi juga banyak yang ikut membangun
dinding pembeda warga negara. Hal ini cukup ironis mengingat dinding yang mereka bangun untuk menghadang sesama masyarakat Indonesia. Pada masa orde
baru, sedikit sekali yang menentang kebijakan pemerintah. Salah satunya SBKRI, teror sering menghantui masyarakat Tionghoa Benteng. Pada masa orde baru
merupakan masa dimana semua bungkam akan kebijakan pemerintah, teror akan hilangnya orang yang mengkritik pemerintah menjadi suatu indikasi masyarakat
bahkan kaum intelektual untuk diam. Tindakan yang dilakukan masyarakat Tionghoa Benteng, tidak
memunculkan penolakan yang berani. Teror yang dilakukan terhadap masyarakat kritis ,cukup menjadi contoh bagi masyarakat Tionghoa, terutama masyarakat
Tionghoa Benteng. Bagi masyarakat Tionghoa Benteng, hal ini sudah dianggap peraturan yang mau tidak mau harus dituruti. Masyarakat Tionghoa Benteng juga
mengalami introgasi, yang dilakukan oleh kejaksaan untuk mencari tahu asal muasal pendapatan dari masyarakat Tionghoa Benteng. Surat pemanggilan dari
kejaksaan, diberikan secara acak terhadap seluruh masyarakat Tionghoa Benteng. Beberapa masyarakat Tionghoa Benteng yang dekat terhadap orang-orang
birokrasi, cukup mendapatkan kemudahan dalam pengurusan SBKRI. Tidak
Universitas Sumatera Utara
mengalami yang namanya diperas atau dipersulit usahanya dalam mendapatkan SBKRI. Bahkan, tidak perlu sampai mengeluarkan dana untuk mendapat SBKRI
tersebut. Apabila yang bersangkutan cukup dekat, atau mempunyai orang dalam di jaringan birokrasi Sipil.
28
28
Yayasan Pengkajian Hukum Indonesia, op cit., hal. 91.
Pada 10 Juli 1992, menteri kehakiman mengeluarkan SK No. M.02- HL.04. 10 yang mengatur bahwa setiap anak keturunan yang orang tuanya
memegang SBKRI, tidak perlu lagi membuat SBKRI. Mereka dapat membuktikan kewarganegaraanya, melalui akta kelahiran dan Kartu Tanda Penduduk KTP. Ini
menjadi salah satu langkah, dalam usaha penghapusan penerapan SBKRI bagi masyarakat keturunan, terutama masyarakat etnis Tionghoa. Walau pun begitu,
SK tahun 1992 tersebut mempunyai sifat yuridis yang tidak tetap bagi masyarakat Tionghoa. Hal ini disebabkan KTP yang dikeluarkan oleh camat, hanya
menunjukan kependudukan individu bukan bukti kewarganegaraanya. Pemerintah RRT sendiri pada tahun 1980, telah menetapkan undang-undang kewarganegaraan
RRT yang baru. Dalam UU tersebut mengatakan, setiap orang Tionghoa yang menetap di luar negeri dan telah menjadi warga negara di negara yang
ditempatinya baik melalui pewarganegaraan atau atas kehendak sendiri, secara otomatis akan kehilangan kewarganegaraan RRT yang dimiliki sebelumnya, dan
pemerintah RRT tidak ikut campur lagi dalam masalah hukum si individu. Hal ini memberikan angin segar, bagi masyarakat Tiongkok yang tinggal di Indonesia
untuk lebih berani membuktikan kewarganegaraanya. Masyarakat Tionghoa di Indonesia, dapat lebih berpartisipasi dalam kehidupan bernegara.
Universitas Sumatera Utara
Akibat keputusan UU RRT tahun 1980, ini juga yang menyebabkan dikeluarkan SK 1992 tentang kewarganegaraan Indonesia. Hal ini juga menjadi
harapan bagi masyarakat Tionghoa Benteng, untuk memperbarui kehidupan bernegara mereka. Walaupun penerapan SBKRI masih diberlakukan, bagi
masyarakat etnis Tionghoa yang sudah terlanjur mempunyai SBKRI. Meski SK kewarganegaraan tahun 1992 telah dikeluarkan Menteri Kehakiman, tapi bagi
masyarakat Tionghoa Benteng yang belum mempunyai SBKRI masih tetap mengalami kesulitan dalam kehidupan bernegara.
Pada tahun 1996, setelah banyak pertimbangan yang menganggap SBKRI merupakan salah satu bentuk diskriminasi ras. Maka di tahun tersebut, SBKRI
resmi telah dihapuskan melalui Keppres No. 56 Tahun 1996. Menteri Dalam Negeri Mendagri, juga mengeluarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 25
Tahun 1996. Mendagri memerintahkan kepada seluruh aparat daerah, untuk menghapuskan semua produk hukum yang mewajibkan anak dan istri untuk
melampirkan SBKRI dalam keperluan tertentu.
29
29
Ibid., hal. 93.
Keputusan Presiden ini dikeluarkan setelah pada tahun 1995 Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan
Bangsa Bakom PKB dan sejumlah kalangan menengah atas mendorong rezim Orde Baru untuk menuntaskan proses naturalisasi bagi warga etnis Tionghoa yang
tidak memiliki kewarganegaraan. Hasil yang didapat dari dorongan tersebut, di setiap ibu kota provinsi banyak digelar kegiatan yang dinamakan Proses
naturalisasi satu atap. Proses ini memberlakukan percepatan pengwarganegaraan bagi masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Namun dalam pelaksanaanya, SBKRI masih diberlakukan di beberapa tempat. Selain itu, terlambatnya sosialisasi yang dilakukan pemerintah telah
membuat terhambat secara sementara dalam pengurusan kewarganegaraan di beberapa tempat di Indonesia. Hal tersebut membuat Presiden Habibie yang
menggantikan Suharto, mengeluarkan Inpres No. 4 Tahun 1999 yang kembali mempertegaskan pelaksanaan Keppres No. 56 Tahun 1996 bahwa semua
peraturan perundang-undangan yang mensyaratkan SBKRI untuk kepentingan tertentu dihapuskan dan tidak diberlakukan lagi. Maka dengan resmi pada tahun
1996 SBKRI telah dihapuskan, dan tahun 1999 pelaksanaannya dipertegas kembali. Dalam bidang politik sendiri setelah reformasi, Presiden Habibie
memberikan kebebasan dalam mengeluarkan pendapat dan berorganisasi. Maka etnis Tionghoa mulai membentuk organisasi-organisasi politik, untuk
memperbaiki posisi minoritas etnis Tionghoa di Indonesia. Selain itu, mulai muncul nama-nama tokoh etnis Tionghoa di kancah politik Nasional. Masyarakat
Tionghoa Benteng pun ikut berpartisipasi dalam kebebasan yang mereka terima. Seperti contoh mulai meningkatkan lagi ikatan masyarakat Tionghoa di Klenteng
Boen Tek Bio. Bahkan setelah hari Imlek ditetapkan menjadi hari raya di Indonesia, lomba perahu Naga yang menjadi kegiatan tahunan masyarakat
Tionghoa Benteng di Tangerang diadakan kembali. Sebagian masyarakat Tionghoa Benteng juga mulai mengikuti organisasi-organisasi di luar ikatan
masyarakat Tionghoa Benteng itu sendiri. Seperti contoh Paguyuban Marga Sosial
Tionghoa Indonesia PMSTI, Yinhua Baijiaxing Shiehui dan Perhimpunan
Keturunan Tionghoa Indonesia PKTI. Selain itu ada juga yang bergabung
Universitas Sumatera Utara
dengan organisasi etnis Tionghoa maupun multietnis yang mengarah pada tindakan antisipasi diskriminatif dan persaudaraan sesama Warga Negara
Indonesia, seperti contoh Solidaritas Pemuda Pemudi untuk Keadilan SIMPATIK, Gerakan Perjuangan Anti-Diskriminasi Gandi, dan Solidaritas
Nusa Bangsa. Mereka banyak bergabung, untuk memberikan wawasan yang luas terhadap masyarakat, agar tidak terjadi diskriminasi rasial atau agama. Selain itu
juga untuk memperkuat kesatuan mereka, untuk menolak apa bila suatu saat nanti akan ada tindakan diskriminasi yang dilakukan oleh kalangan-kalangan oknum
tertentu.
30
Menteri Kehakiman pada saat itu, Muladi juga berjanji menghapuskan diskriminasi bagis masyarakat etnis Tionghoa. Seperti contoh kode di KTP akan
dihapus, masyarakat Tionghoa diperbolehkan memasuki bidang-bidang pekerjaan yang dulu tertutup bagi mereka, seperti contoh Pegawai Negeri Sipil PNS.
Bahkan Menteri Urusan Agama saat itu, Malik Fadjar mengatakan bahwa agama Konghucu akan diakui kembali. Bahkan bahasa Tionghoa sebagai bahasa asing
akan diperbolehkan diajarkan di sekolah bahkan di sekolah-sekolah negeri. Semua ini menunjukan keruntuhan Orde Baru banyak membawa dampak positif
bagi masyarakat etnis Tionghoa. Bagi masyarakat Tionghoa Benteng sendiri, hal ini menjadi pendukung mereka dalam melaksanakan kehidupan berbangsa dan
bernegara tanpa harus memikul beratnya legalitas mereka di negara sendiri.
30
Leo Suryadinata, 2002, op cit., hal. 96.
Universitas Sumatera Utara
IV.2 Kehidupan Masyarakat Tionghoa Benteng Setelah SBKRI.