Keadaan Masyarakat Tionghoa Benteng Sebelum SBKRI

BAB III Keadaan Masyarakat Tionghoa Benteng Sebelum SBKRI

III.1 Keadaan Ekonomi Masyarakat Tionghoa Benteng. Keadaan ekonomi masyarakat Tionghoa di Indonesia pada umumnya bisa dikatakan menengah ke atas. Hal ini banyak kita lihat dari banyaknya usaha dagang atau perusahaan yang telah dikelola oleh masyarakat Tionghoa. Selain memang ekonominya yang maju, masyarakat Tionghoa juga mempunyai ikatan persaudaraan yang kuat, sehingga saling membantu dalam bisnis dengan sesama mereka bukanlah suatu masalah. Akibat kuatnya relasi bisnis dan keahlian mereka dalam berdagang, sebagian besar pangsa ekonomi Indonesia hampir mereka yang memegang. Hal seperti ini sudah bisa terlihat sejak masa Pemerintahan Kolonial Belanda. Setelah tragedi pemberontakan masyarakat Tionghoa pada VOC pada tahun 1740, masyarakat Tionghoa tetap masih mampu bertahan dalam perekonomiannya. Bidang perdagangan sudah menjadi sebuah usaha yang mendarah daging bagi mereka, ini dapat terlihat dari catatan-catatan sejarah masa lalu. Masyarakat Tionghoa, yang meliputi kurang lebih 3 dari keseluruhan penduduk Indonesia, memang merupakan salah satu tulang punggung ekonomi Indonesia yang kuat. Selain perdagangan, banyak orang Tionghoa yang mempunyai keahlian dalam bidang keuangan dan industri, sehingga inilah yang menyebabkan mengapa banyak orang Tionghoa yang memegang kendali ekonomi Indonesia. Universitas Sumatera Utara Perekonomian masyarakat Tionghoa Benteng cukup sederhana, ini terlihat dari materi dan pekerjaan yang mereka geluti. Masyarakat Tionghoa Benteng banyak melakukan pekerjaan seperti bertani, menjadi nelayan, beternak atau pedagang makanan. Disamping itu ada juga yang bekerja sebagai tukang becak dan buruh. Hidup dengan penuh kekurangan memang menjadi hal yang biasa dalam masyarakat Tionghoa Benteng, walau kekurangan tapi itu tidak terlalu terlihat. Masyarakat Tionghoa Benteng masih memegang teguh adat istiadat Tionghoa, salah satu sifatnya adalah gotong royong dengan sesama. Bidang ekonomi merupakan bidang yang mereka yakini, untuk dapat saling bergotong royong. Pasar Lama Tangerang merupakan Pasar yang banyak memasarkan hasil bumi atau produksi dari masyarakat Tionghoa Benteng, bahkan sampai sekarang pasar ini masih tetap ramai dikunjungi oleh warga Tangerang. Pada era setelah kemerdekaan, 14 Sebagai petani mereka mengerjakan ladang mau pun persawahan, dengan banyak menanam sayuran untuk kebutuhan sehari-hari dan untuk dijual di pasar. Masyarakat Tionghoa Benteng yang bekerja sebagai petani, rata-rata memiliki lahan yang lebih dua hektar. Tidak ada penguasaan lahan skala besar di satu tangan seperti lazim ditemui di wilayah pesisir Tangerang. Mereka juga tidak mengenal pembagian harta peninggalan. Seperti contoh masyarakat Tionghoa Benteng di kecamatan Panongan di Tangerang, dimana tanah-tanah yang mereka miliki telah terbagi sejak dari nenek moyang mereka. 14 Teguh Setiawan, op cit., hal. 72. Universitas Sumatera Utara Selain itu mereka menanam pada dalam kondisi curah hujan normal, padi sudah bisa dipanen dua kali dalam setahun. 15 Sulitnya ekonomi ini semakin diperparah dengan diberlakukannya Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia SBKRI bagi masyarakat Tionghoa pada tahun 1978. Sulitnya mendapatkan legalitas sebagai warga negara, membuat masyarakat Tionghoa Benteng cukup sulit untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah Negara, sedangkan untuk masuk sekolah swasta biaya yang dibutuhkan cukup besar dan banyak dari masyarakat Tionghoa Benteng tidak sanggup untuk membayar uang sekolah di sana. Minimnya pendidikan membuat banyak dari keturunan masyarakat Tionghoa Benteng sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Kesulitan ini terus berlangsung sampai sekarang. Jenis padi yang ditanam rata-rata varietas IR 22 sampai 64 yang tahan hama wereng, dengan produksi gabah antara empat sampai 5 ton per hektar. Hampir 60 mata pencaharian masyarakat Tionghoa Benteng merupakan petani, ada juga yang bekerja sebagai buruh serabutan atau kuli. Para buruh Tionghoa Benteng ini banyak tersebar pada pabrik-pabrik di Kota Tangerang, dan paling banyak berada di daerah Industri Tangerang daerah Jatake.Selain buruh pabrik, banyak juga masyarakat Tionghoa Benteng yang menjadi buruh tani dan menerima upah harian dari tuan tanah, upah yang di dapat pun masih dikategorikan kurang mencukupi untuk kebutuhan hidup. Sulitnya untuk mendapatkan pengakuan sebagai warga negara, tidak sedikit pula masyarakat Tionghoa Benteng yang tidak mempunyai surat tanah dari Negara, sehingga banyak dari mereka yang mengalami ancaman penggusuran atau 15 Ibid., hal. 73. Universitas Sumatera Utara pengambil alihan lahan oleh Negara. Hal ini pun bisa banyak berdampak fatal terhadap sektor perekonomian Tionghoa Benteng yang semakin merosot. III.2 Kesejahteraan Sosial Masyarakat Tionghoa Benteng. Di Tangerang pada 3 Juni tahun 1946, terjadi kerusuhan anti Tionghoa. Banyak sumber yang mengatakan peristiwa tersebut, menggambarkan seolah Tangerang sudah merupakan bukan tempat yang aman lagi bagi masyarakat Tionghoa pada waktu itu. Ini disebabkan adanya dugaan pemberontakan masyarakat Tionghoa terhadap Pemerintah Republik Indonesia, juga mendukung sekutu dan Nederlandsch Indie Civil Administratie NICA. 16 Diwaktoe pergolakan politiek di Indonesia sedang hebatnja sekarang, kita pendoedoek Tionghoa haroes berlakoe hati-hati Terdapat sebuah isu yang cukup mengejutkan pada masa itu, yaitu seorang keturunan Tionghoa yang merupakan anggota dari NICA, menurunkan bendera merah putih dan mengibarkan bendera Belanda di kantor Kabupaten. Menurut beberapa saksi pada saat itu, termasuk Kepala Staf Umum Tentara Belanda Buurman van Vreeden, mengatakan bahwa yang melakukan aksi tersebut adalah seorang Tentara Belanda pribumi yang mirip dengan orang Tionghoa. Hal ini menimbulkan kemarahan pemuda-pemuda di Tangerang dan pecah kerusuhan. Bahkan ada beberapa orang keturunan Tionghoa yang dibunuh, hanya karena dugaan merupakan mata-mata Belanda. Keadaan yang cukup mencekam ini, makin panas setelah terbitnya surat terbuka dari Chung Hwa Hui yang pro Belanda di harian-harian Jakarta. Isi dari surat terbuka tersebut adalah: 16 Shinta Agustin, “Kerusuhan Anti Cina Di Tangerang Tahun 1946” dalam Skripsi, Bandung: Universitas Padjadjaran, 2011, hal. 55. Universitas Sumatera Utara dalam segala tindakan, pertboetan dan omongan, djangan sampe menimboelkan perasaan antipathie dari lain-lain fihak yang bisa berakibat membahajakan djiwa dan harta bendanja orang-orang Tionghoa di segala tempat. Kita orang djangan tjoema tahoe akan keselamatan kita jang berdiam di Djakarta, tapi kita haroes pikir djoega akan keselamatannja orang-orang Tionghoa jang tinggal ditempat-tempat ketjil sebelah dalam negeri. 17 17 Ibid., hal. 61. Sejak awal Maret 1946, penguasa Belanda telah merekrut orang-orang Tionghoa untuk dijadikan polisi militer dan tentara cadangan. Pada 3 Juni 1946, terjadi pembantaian terhadap orang-orang dari etnis Tionghoa di Tangerang. Pembantaian ini terjadi di sebelah barat sungai Cisadane, banyak masyarakat Tionghoa Benteng yang dibantai ditempat tersebut. Mayat-mayat mereka ditumpuk begitu saja, harta benda mereka dijarah. Daerah-daerah yang banyak mengalami pembantaian tersebut adalah Desa Panggang Cilogok, Mauk, Serpong, Krawang, Rawa Cina, Bayur, Sepatan, Karawaci, Kampung Karet, dan Cihuni. Menurut laporan yang beredar, ada 28 kali pembakaran rumah-rumah orang Tionghoa termasuk penghuninya di daerah Tangerang. Menurut laporan yang diterima oleh Palang Merah Jang Seng Ie Palang Merah bentukan etnis Tionghoa Indonesia, 653 masyarakat Tionghoa Benteng di daerah Tangerang telah dibunuh, laporan ini sudah termasuk 136 perempuan dan 36 anak-anak. Sebanyak 1.268 rumah etnis Tionghoa dibakar habis dan 236 lainnya dirusak. Diperkirakan 25.000 orang mengungsi. Pada tanggal 11 Juni 1946, banyak etnis Tionghoa mengumumkan sebagai hari Duka Cita. Dikemudian hari, muncul dugaan ini semua sudah direncanakan Belanda, untuk mengadu domba masyarakat etnis Tionghoa dengan masyarakat pribumi Indonesia. Tragedi ini Universitas Sumatera Utara menyebabkan banyak masyarakat Tionghoa Benteng yang lari dan mengungsi ke Jakarta. 18 Keempat wilayah tersebut mempunyai alasan tersendiri, terhindar dari kerusuhan sosial. Panongan, Cengkong, dan Kosambi telah menyewa para jawara untuk membarikade diri dari serangan luar. Hal ini sudah lama berlangsung lama dari nenek moyang mereka. Sedangkan daerah Neglasari rasa aman didapatkan dari masyarakat pribumi yang berada di wilayah tersebut. Perbauran antara masyarakat pribumi dan masyarakat keturunan Tionghoa di wilayah ini cukup baik. Sehingga daerah Neglasari menjadi simbol kerukunan etnis Tionghoa dan pribumi dari masa pemerintahan kolonial Belanda. Menurut Arie Novrie Purnama, seorang pengamat Tionghoa Benteng dan mantan camat di Panongan mengungkapkan masih banyak desa yang di huni masyarakat Tionghoa Benteng yang terlindung saat itu dari pengaruh buruk kerusuhan yang termasuk kerusuhan sosial itu. Walau pun sebagian besar masyarakat Tionghoa Benteng pasca kerusuhan mengalami kemerosotan dalam pemenuhan kesejahteraan sosialnya akibat trauma. Ada sekitar 4 kecamatan berisi sebagian besar masyarakat Tionghoa Benteng yang tidak mendapat pengaruh buruk sosial dalam kerusuhan yaitu Panongan, Cengkong, Kosambi, dan Neglasari. Masyarakat Tionghoa Benteng yang berasal dari Mauk atau pantai utara Tangerang, banyak yang melarikan diri ke 4 kecamatan tersebut. Masyarakat Tionghoa Benteng pada masa pasca kerusuhan, banyak mendirikan rumah di tanah pengungsiannya. Rumah yang dibangun kebanyakan 18 Teguh Setiawan, op cit., hal. 21. Universitas Sumatera Utara bersifat 19 PAT merupakan sayap militer bentukan CHH , yang juga merupakan bentukan tuan tanah Tionghoa yang membentuk tentara sendiri. Baik PAT dan para tuan tanah tersebut mempunyai tujuan yang sama yaitu, membentuk negara Knock Down . Mereka yang mengungsi masih merasa khawatir, dan juga belum merasa aman membangun rumah di tanah pengungsian. Pembangunan rumah yang dilakukan knock down ini, dengan harapan bisa dipindahkan ke tanah asal mereka jika keadaan telah aman. Jika kondisi sudah dirasa aman bagi masyarakat Tionghoa Benteng yang mengungsi, maka mereka akan membongkar rumahnya dan memindahkannya ke daerah mereka tinggal. Semua sampai sekarang ini, rumah kebaya sistem knock down bisa disaksikan hampir di setiap kampung di Panongan, Cikupa, Rajeg, dan desa-desa yang berisi masyarakat Tionghoa Benteng yang lainnya. Setelah kerusuhan tersebut pada 28 Agustus

1947, Chung Hua Hwi CHH membentuk Pao An Tui PAT dibantu oleh

Belanda. 20 19 Knock Down merupakan sistem pembangunan rumah bongkar pasang. Bisa di analogikan seperti lego yang bisa disusun berdasarkan bentuk sketsa rumah, dan juga bisa dibongkar sekaligus dipindahkan. Capitanate of Tangerang yang didukung oleh pihak Belanda. Sumber ini pun sampai sekarang masih menjadi sebuah misteri. Informasi yang beredar lagi mengatakan bahwa Laskar Hitam, milisi Islam keturunan Arab yang berusaha melawan Belanda, mengobarkan perang suci terhadap Belanda dan pendukungnya. Jika PAT Tangerang bertujuan membentuk Capitanate of Tangerang, maka Laskar Hitam bertujuan membentuk negara Islam Indonesia. Laskar Hitam inilah yang akan menjadi cikal bakal dari DITII. Sekitar 600 orang 20 Teguh Setiawan, op cit., hal. 195. Universitas Sumatera Utara terbantai di Tangerang, sedangkan lainnya mengungsi ke gedung Sin Ming Hui di Jl. Gajah Mada, Tangerang. Selain di Tangerang, banyak juga terjadi pembantaian etnis Tionghoa karena pemberontakan PAT di seluruh Indonesia. Bagi kejadian pembantaian di Tangerang, salah satu tokoh Tionghoa sekaligus pendiri Partai Tionghoa Indonesia PTI, Liem Koen Hian menolak untuk menyalahkan Republik. Pada dasarnya PAT dibentuk untuk melindungi masyarakat etnis Tionghoa , pasca kerusuhan yang terjadi pada tahun 1946. Tapi bantuan Belanda pada sayap militer ini membuat PAT tidak mampu lagi bersifat netral, bahkan cenderung memihak Belanda. Selain itu PAT banyak juga beranggotakan orang-orang etnis Tionghoa yang sanak saudaranya terbantai dalam pembantaian etnis Tionghoa tahun 1946. Ini menyebabkan banyak dari anggota PAT yang dendam terhadap orang-orang pribumi Indonesia. Masyarakat Tionghoa Benteng pada pasca kemerdekaan mempunyai tingkat kelayakan hidup yang sederhana pada masa itu. Terutama di daerah Tangerang, yang notabene merupakan daerah pinggiran Ibu Kota dan merupakan salah satu penopang perekonomian Ibu Kota. Pada masa itu, masyarakat Tionghoa Benteng masih leluasa dalam kegiatannya. Belum ada aturan yang membatasi mereka dalam pergerakan kesejahteraan sosialnya. Status Dwi kewarganegaraan yang disandang juga banyak menjamin kehidupan masyarakat Tionghoa di Indonesia atau di Republik Rakyat Tiongkok RRT. Hal ini mulai berdampak dan membangun sistem sosial yang mulai majemuk dalam kehidupan masyarakat Tangerang. Hak pendidikan yang didapat cukup mampu untuk masyarakat Universitas Sumatera Utara Tionghoa Benteng menyekolahkan anak-anaknya walau pun hanya sekadar sekolah rakyat. Tragedi percobaan pemberontakan yang dilakukan PKI pada tahun 1965, membawa perubahan yang cukup berarti bagi masyarakat Tionghoa, terutama masyarakat Tionghoa Benteng. Perjanjian Dwi Kewarganegaraan yang dilakukan oleh Indonesia dengan Tiongkok dibatalkan pada tahun 1969, karena pemberontakan komunis telah membuat hubungan bilateral Indonesia dengan Tiongkok menjadi dingin. Hal ini berdampak pada seluruh masyarakat Tionghoa di Indonesia tak terkecuali masyarakat Tionghoa Benteng. Masyarakat Tionghoa yang memegang surat Dwi Kewarganegaraan menjadi tidak mempunyai kewarganegaraan, sehingga berdampak pada tingkat sosial mereka dalam lingkungan masyarakat. Hal ini berdampak pada susahnya mendapatkan pendidikan dan beratnya masyarakat Tionghoa dalam hal mengurus administrasi pada bagian birokrasi. Selain itu diskriminasi rasial juga membuat masyarakat Tionghoa merasa terancam. Masyarakat Tionghoa Benteng juga tidak terkecuali mendapatkan hal yang sama. Kegiatan ekonomi yang bisa dikatakan kurang dan susahnya dalam urusan administrasi di berbagai aspek pasca pemberontakan PKI, membuat masyarakat Tionghoa Benteng semakin terpuruk. Pada rentang waktu 1965 sampai 1966 terjadi banyak perburuan terhadap para anggota PKI dan simpatisannya, semua golongan dan elemen masyarakat dicurigai bahkan tidak terkecuali etnis Tionghoa di Indonesia. Etnis Tionghoa banyak dicurigai karena ada dugaan kuat mereka telah mengikuti ideologi yang dianut oleh tanah leluhur mereka di Tiongkok, yaitu Universitas Sumatera Utara komunis. Masyarakat Tionghoa Benteng juga merupakan komunitas masyarakat Tionghoa yang dicurigai, banyak dugaan bahwa masyarakat Tionghoa Benteng mempunyai banyak anggota yang masuk ke dalam PKI. Dampaknya banyak dari masyarakat Tionghoa Benteng itu yang ditangkap karena dugaan sebagai anggota atau pun simpatisan PKI. Bahkan para anggota Partai Nasional Indonesia PNI, yang berasal dari masyarakat Tionghoa Benteng juga ditangkap karena diduga sebagai anggota PNI aliran kiri. Ketakutan dan rasa terancam masyarakat Tionghoa Benteng tidak hanya disitu, dicabutnya kewarganegaraan semakin menyulitkan mereka dalam menjalankan pemenuhan kebutuhan hidup. Sulitnya mendapatkan pendidikan bahkan untuk akta kelahiran, menjadi beban yang harus dipikul masyarakat Tionghoa Benteng. Bahkan dalam hal pengurusan hak milik tanah, tidak sedikit dari mereka yang merasa pengurusan tanahnya diperlambat. Hal ini membuat banyak tanah punya masyarakat Tionghoa Benteng menjadi tanah sengketa. Kesejahteraan yang tadinya dimiliki oleh komunitas ini, secara perlahan mulai menghilang. III.3 Kegiatan Politik Masyarakat Tionghoa Benteng. Kegiatan perpolitikan modern di Indonesia mendapatkan titik kebangkitan pada tahun 1908. Tepatnya setelah muncul organisasi nasional pertama, yaitu Budi Utomo yang didirikan oleh Dr. Sutomo dan Dr. Cipto Mangunkusumo. Bagi Masyarakat Tionghoa, sifat politis sudah mereka lakukan pada zaman pemerintahan kolonial Belanda. Ini dapat terlihat dari pemberontakan masyarakat Tionghoa di Batavia pada tahun 1740, dan pembentukan negara kecil di Universitas Sumatera Utara Kalimantan Barat pada tahun 1777 yang bernama Republik Lanfang Lanfang Gongheguo . Pemikiran politik modern masyarakat Tionghoa di Indonesia, muncul ketika sebuah organisasi politik bernama Tiong Hoa Hew Koan THHK didirikan pada tahun 1900. Organisasi politik ini banyak menjadi panutan masyarakat Tionghoa kebanyakan, bahkan menjadi salah satu induk organisasi dari Sin Po. Sin Po sendiri merupakan organisasi bentukan THHK, yang mencanangkan kehidupan dalam nilai dan budaya asli Tiongkok. Sin Po sendiri merupakan koran surat kabar berbahasa Tionghoa, dan pertama kali terbit pada tahun 1910. Gerakan Nasionalis Tiongkok yang dikobarkan oleh Sin Po, sejalan dengan apa yang terjadi di Tiongkok. Pembentukan Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1912, membawa angin nasionalisme Tiongkok ke seluruh elemen masyarakat Tionghoa di Dunia. Pada tahun 1917, para tokoh masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda melakukan konferensi di Semarang. Hasil dari konferensi tersebut, seluruh tokoh masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda tidak ingin terlibat dengan politik lokal, karena mereka mengklaim diri mereka tetap menjadi warga negara Tiongkok. Kelompok Sin Po, yang dipimpin oleh Kwee Kek Beng, Kwee Hing Tjiat, dan Tjoe Bou San mendukung nasionalisme Tiongkok. Mereka mendesak setiap elemen masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda, untuk menjaga kelestarian kebudayaan Tionghoa dan meninggalkan peradaban barat. Desakan ini juga membuat banyak berdirinya sekolah-sekolah Tionghoa di Hindia Belanda. Universitas Sumatera Utara Politik dalam masyarakat Tionghoa Benteng bisa dikatakan tidak terlalu menunjukan kegiatan politik pada umumnya. Kecenderungan akan hidup berdampingan tanpa ada konflik, merupakan jalan utama yang diharapkan oleh masyarakat Tionghoa Benteng. Tantangan akan kehidupan yang dialami mereka, menjadi suatu motivasi untuk dapat hidup rukun bersama dan saling bergotong royong. Tidak hanya terhadap sesama masyarakat Tionghoa Benteng tetapi juga terhadap pribumi. Dengan kehidupan ekonomi yang cukup sederhana dan pendidikan yang di dapat sebagian besar masyarakat Tionghoa Benteng terbatas, maka tidak heran kurangnya pendidikan politik di dalam masyarakat Tionghoa Benteng menjadi salah satu penyebab tidak adanya ketertarikan masyarakat Tionghoa Benteng pada masalah politik di Indonesia. Setelah kemerdekaan Indonesia, pemerintahan Sukarno menerapkan politik Benteng. Politik Benteng ini bertujuan untuk melakukan perluasan dan pengembangan usaha kaum pribumi. Politik Benteng ini banyak dinilai sebagai suatu politik diskriminatif terhadap masyarakat Tionghoa, dalam menjalankan atau mengembangkan usaha perekonomiannya. Larangan-larangan berjualan tingkat eceran dan grosir mulai diberlakukan. Banyak usaha dagang yang dimiliki masyarakat Tionghoa Benteng, sempat mengalami kemunduran akibat dari politik benteng ini. Akibatnya, banyak masyarakat Tionghoa Benteng yang beralih kembali menjadi petani atau peternak. Pada periode orde lama, PNI dan PKI merupakan dua partai yang sangat banyak menyedot pengkaderan. Pada masa tersebut, PNI dan PKI merupakan dua partai non-agama terbesar di Indonesia. Banyak elemen Universitas Sumatera Utara masyarakat yang menjadi anggota dari dua partai tersebut, tidak terkecuali masyarakat Tionghoa. Tetapi pada proses yang berjalan, lebih banyak masyarakat Tionghoa ikut dan berpartisipasi dalam kegiatan PKI, tidak terkecuali masyarakat Tionghoa Benteng. Selain itu banyak juga dari masyarakat Tionghoa Benteng itu yang menjadi anggota dalam PNI, bahkan lebih banyak lagi Tionghoa Benteng yang tidak terlalu mengikuti kegiatan politik di Indonesia. Akibat kurangnya pendidikan maka mereka lebih memilih untuk memenuhi kebutuhan hidup, menjadi salah satu penyebab kurang aktifnya masyarakat Tionghoa Benteng di dalam perpolitikan Indonesia. Pihak militer juga mulai melakukan pemisahan dan menjaga jarak antara pihak etnis Tionghoa dengan kaum pribumi. Hal ini sering terjadi pada awal tahun 1960 sampai 1963. 21 21 Hesti Armiwulan Sochmawardiah, Diskriminasi Rasial Dalam Hukum HAM: Studi Tentang Diskriminasi Terhadap Etnis Tionghoa , Yogyakarta: Genta Publishing, 2013, hal. 131. Praktik pemisahan inilah yang melahirkan istilah kabir Kapitalis-Birokrasi, istilah yang merujuk pada penyelewengan kekuasaan oleh pejabat sipil atau militer untuk memperoleh akses ke dunia usaha. Hanya masyarakat Tionghoa Benteng yang ada di daerah kisamaun dan pasar lama yang masih bisa bertahan dalam menjalankan usaha dagangnya. Keinginan untuk bisa berdagang secara wajar dan sejajar sama seperti pribumi, membuat banyak masyarakat Tionghoa beralih kepada aliran kiri. Banyak dari mereka juga mengikuti kegiatan PKI, bahkan banyak dari mereka yang menjadi anggota tinggi PKI seperti Siauw Giok Tjhan, Go Gien Tjwan dan Ang Yan Goan. Bahkan organisasi massa seperti Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia Baperki, menjadi salah satu organisasi yang banyak melakukan aliansi dengan Universitas Sumatera Utara PKI. Baperki merupakan organisasi massa bentukan dari tokoh-tokoh masyarakat Tionghoa di Indonesia. Tujuan didirikannya Baperki adalah, menggalang persatuan kekuatan etnis Tionghoa di seluruh Indonesia. 22 Sebagian pemuda Tionghoa Benteng pada masa itu, mengikuti kegiatan Baperki. Kegiatan yang dilakukan banyak yang bersifat sosial. Usaha pemberontakan yang dilakukan PKI pada tahun 1965, makin menambah runyam kondisi konflik etnis Tionghoa dengan etnis pribumi. Tuduhan akan adanya campur tangan RRT dan Komintern Komunis Internasional, dan dekatnya Baperki dengan PKI membuat kebencian yang mendalam terhadap kaum etnis Tionghoa di Indonesia. Selain itu, kesenjangan sosial yang dirasakan dalam sulitnya ekonomi pada masa itu, menjadi salah satu sumbu meledaknya amarah pribumi terhadap etnis Tionghoa. Banyak pembantaian-pembantaian yang dilakukan oleh rakyat atau militer terhadap etnis Tionghoa yang ikut dalam Baperki atau aliran kiri. Banyak masyarakat Tionghoa Benteng yang mengalami hal serupa. Pembantaian, penculikan dan salah tuduh merupakan ancaman- ancaman yang bisa menghancurkan mereka kapan saja. Para jawara yang disewa masyarakat Tionghoa benteng tersebut, bahkan balik ikut membantu militer untuk menangkapi masyarakat Tionghoa Benteng yang melakukan kegiatan bersama Baperki berpendapat bahwa orang Tionghoa merupakan satu bagian dari suku bangsa Indonesia. Dengan kata lain, orang Tionghoa kedudukannya sama dengan suku bangsa yang lain, dan orang Tionghoa tidak perlu meleburkan diri ke dalam masyarakat pribumi. 22 Leo Suryadinata, 2002, op cit., hal. 81. Universitas Sumatera Utara PKI. Bahkan tidak hanya yang berkegiatan dengan PKI, masyarakat Tionghoa Benteng yang merupakan anggota PNI tapi beraliran kiri juga ditangkap. Jadi yang dipandang bukan lagi dari mana partai asal, tapi apa ideologi seseorang. Siapa pun yang dicurigai sebagai aliran kiri, akan ditangkap dan sedikit yang hidup. Universitas Sumatera Utara

BAB IV Masyarakat Tionghoa Benteng dan SBKRI