Kehidupan Masyarakat Tionghoa Benteng Setelah SBKRI.

IV.2 Kehidupan Masyarakat Tionghoa Benteng Setelah SBKRI.

SBKRI yang diterapkan oleh pemerintah rezim Orde Baru, banyak membawa dampak yang mempengaruhi kehidupan masyarakat Tionghoa Benteng. Dalam kaitannya dengan kehidupan yang dijalani masyarakat Tionghoa Benteng, SBKRI menjadi suatu dampak kehidupan bagi masyarakat Tionghoa Benteng. Setelah SK Tahun 1992, memang anak-anak Tionghoa Benteng yang belum mempunyai SBKRI dari waktu ditetapkan pemerintah, tidak memerlukan lagi SBKRI dalam identitas kewarganegaraannya. Hanya saja, bagi masyarakat Tionghoa Benteng yang terlanjur sudah punya, harus menunggu sampai tahun 1996. Dicabutnya SBKRI pada tahun 1996, menjadi pertanda berakhirnya masa diskriminasi terhadap masyarakat Tionghoa di Indonesia. Bagi masyarakat Tionghoa Benteng ini menjadi makna, kebebasan yang mereka rasakan bukanlah sebuah mimpi yang mereka rasakan pada Orde Baru. Masyarakat Tionghoa Benteng mampu melakukan berbagai bidang dalam kehidupan mereka, baik dalam bidang, Kesejahteraan sosial, ekonomi, kebudayaan, agama, dan pendidikan. Bahkan pada bulan Agustus tahun 2006, ditetapkan UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia untuk menggantikan UU No. 62 Tahun 1958. UU yang baru ini menjadi lompatan bagi bangsa Indonesia, dalam menghindari diskriminasi rasial, serta menjadi acuan ketetapan kewarganegaraan yang lebih revolusioner Masyarakat Tionghoa Benteng setelah masa SBKRI, memiliki kesejahteraan sosial yang cukup lebih baik dibanding masa Orde Baru. Sektor kesejahteraan sosial mulai meningkat, seiring diperbolehkannya masyarakat etnis Universitas Sumatera Utara Tionghoa dalam memasuki beberapa bidang dunia kerja. Walaupun memang pada masa kini, masih banyak masyarakat Tionghoa Benteng yang hidup sederhana. Tapi kehidupan yang lebih baik telah mereka rasakan setelah SBKRI dicabut. Setelah SBKRI tidak diberlakukan lagi, banyak dari masyarakat Tionghoa Benteng yang berbondong-bondong membuat KTP dan akta kelahiran. Karena sudah tidak dipersulit lagi, bahkan dipermudah oleh orang birokrasi apabila ada masyarakat Tionghoa Benteng yang mengurus surat-surat tertentu. Masyarakat Tionghoa Benteng juga tidak perlu takut lagi akan kerusuhan yang terjadi, sekarang mereka memiliki hak yang sama dengan WNI yang lainnya. Selain itu, banyaknya Lembaga Swadaya Masyarakat LSM yang mendukung mereka, menjadi penunjang keamanan mereka dalam kehidupan bernegara. Dalam pembuatan surat tanah pun menjadi lebih mudah bagi masyarakat Tionghoa Benteng, sehingga seminimal mungkin terjadi sengketa tanah. Dalam hal keagamaan, masyarakat Tionghoa Benteng yang kebanyakan beragama Konghucu dapat beribadah kembali dengan tenang. Warga negara yang penganut agama Konghucu sudah diperbolehkan untuk beribadah. Selain itu, diberlakukannya tanggal Imlek menjadi hari libur nasional, menjadi suatu pertanda penting bagi pemeluk agama Konghucu. Dengan demikian, secara perlahan tapi pasti agama Konghucu mulai diperbolehkan kembali dan mulai diakui oleh negara. Bagi masyarakat Tionghoa Benteng, tidak perlu lagi khawatir apabila mereka menunjukkan kebudayaannya yang memang banyak menganut dari ajaran Konghucu. Bahkan acara lomba perahu naga yang diadakan setiap perayaan Imlek, diadakan kembali seiring diperbolehkannya kembali identitas Universitas Sumatera Utara kebudayaan Tionghoa di Indonesia. Lomba perahu naga yang menjadi lomba paling ditunggu pada saat Imlek pada masa sebelum SBKRI, menjadi primadona kembali dan menjadi salah satu festival wisata Kota Tangerang. Bahkan lomba perahu naga, menjadi salah satu cabang olah raga yang diakui oleh Komite Olah Raga Nasional Indonesia KONI. Walau pun sudah diakui oleh negara, tapi masih ada beberapa masyarakat Tionghoa Benteng yang mencantumkan agama yang dianutnya dengan agama yang lain. Hal ini karena sebagian dari masyarakat Tionghoa Benteng, masih belum betul-betul berani dalam mengakui agamanya. Mereka banyak yang beralasan masih takut akan dipersulit pengurusan surat-surat penting nantinya jika memperlihatkan agama mereka Konghucu. Dalam bidang pendidikan, anak-anak masyarakat Tionghoa mulai diperbolehkan untuk bersekolah di sekolah negeri tanpa harus dipersulit dalam bersekolahnya. Walau pun begitu, masih banyak masyarakat etnis Tionghoa yang menyekolahkan anak-anaknya di sekolah swasta. Selain masih belum mempercayai adanya kebebasan dalam pendidikan, banyak juga masyarakat etnis Tionghoa yang masih takut akan adanya diskriminasi terhadap anak-anak mereka jika bersekolah di negeri. Bagi masyarakat Tionghoa Benteng, pendidikan merupakan suatu hal yang sangat berharga bagi mereka. Ini dapat terlihat dari pengertian 3 Klenteng yang mempunyai 3 titik lurus yaitu Boen Hay Bio, Boen Tek Bio, dan Boen San Bio. 3 Klenteng lurus ini memiliki pengertian, 31 31 wawancara dengan Tjin Eng pengurus dari Kelenteng Boen Tek Bio, Klenteng Boen Tek Bio, 27 Desember 2013. “carilah kebajikan setinggi langit dan seluas samudera ” berdasarkan wawancara dengan bapak Tjin Eng, salah satu pengurus Klenteng Boen Tek Bio. Ini mempunyai arti Universitas Sumatera Utara yang dalam tentang pengajaran Konfusius, bahwa jangan pernah berhenti belajar dalam mencari jalan untuk menjadi orang yang bijak pintar. Setelah SBKRI, masyarakat Tionghoa Benteng mempunyai kesempatan yang luas, untuk menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah negeri.Ada juga yang menyekolahkan anak-anaknya di sekolah swasta, tapi sebagian besar menyekolahkan anak- anaknya di sekolah negeri. Memang selain lebih murah, menyekolahkan anak- anaknya di sekolah negeri juga menjadi wujud dukungan mereka terhadap pemerintah Indonesia, yang sudah memberikan legalitas kewarganegaraan mereka. Hanya saja dampak pembatasan pendidikan bagi masyarakat etnis Tionghoa Benteng pada masa SBKRI, sangat terasa pada generasi tua masa kini. Pendidikan yang mereka enyam pada masa SBKRI dulu hanya sangat terbatas, bahkan tidak sedikit anak-anak Tionghoa Benteng yang tidak bersekolah karena sulitnya mereka mendapatkan pendidikan pada masa itu. Sulitnya ekonomi juga merupakan alasan, mengapa masyarakat Tionghoa Benteng dulu tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah swasta. Salah satu dampak pembatasan pendidikan yang dialami masyarakat Tionghoa Benteng pada waktu itu adalah, bidang ekonomi yang masih dikatakan sederhana. Dalam bidang ekonomi sendiri, masyarakat etnis Tionghoa mempunyai cukup kemudahan dalam mengurus perijinan usaha. Masyarakat etnis Tionghoa yang pada masa SBKRI sulit untuk mendapatkan pekerjaan dalam instansi negara, mulai mendirikan sektor usaha swasta. Kemandirian mereka dalam membangun usaha, menjadi sebuah buah kerja keras mereka dengan menguatkan perekonomian mereka di Indonesia. Banyak pengusaha etnis Tionghoa yang Universitas Sumatera Utara memegang perkonomian yang kuat di Indonesia dari sektor swasta, ini menjadi sebuah jalan unjuk diri bagi masyarakat etnis Tionghoa bahwa mereka mampu menjalankan roda perekonomian mereka di Indonesia. Banyak perusahaan besar Indonesia, yang merupakan perusahaan didirikan oleh pengusaha keturunan Tionghoa. Seperti contoh, Bank Central Asia BCA yang didirikan Sudono Salim Liem Sioe Liong yang merupakan Tionghoa totok, Lippo Grup yang sahamnya dimiliki oleh Mochtar Riady Li Wenzheng, Ciputra Group yang dipimpin oleh Ciputra Tjie Tjie Hwan seorang peranakan etnis Tionghoa, perusahaan rokok Sampoerna , dan perusahaan media MNC group. Tapi banyak juga masyarakat etnis Tionghoa yang masih mengalami kesulitan ekonomi, salah satunya masyarakat Tionghoa Benteng. Memang setelah SBKRI, kehidupan ekonomi mereka mulai merangkak naik. Tapi pendidikan menjadi salah satu sebab, sulitnya masyarakat Tionghoa Benteng untuk mendapatkan pekerjaan. Pendidikan yang rendah, menjadi salah satu dampak sulitnya masyarakat Tionghoa Benteng dalam membangun perekonomiannya sendiri. Dampak ini masih terasa sampai sekarang, yang dialami oleh sebagian generasi tua masyarakat Tionghoa Benteng. Tapi setelah SBKRI dicabut, perekonomian mereka sedikit demi sedikit mulai naik. Bahkan banyak dari masyarakat Tionghoa Benteng yang mulai membangun usaha, khususnya usaha dagang. Seperti menjual makanan khas Tionghoa, alat keperluan beribadah Konghucu, bahkan dalam usaha minimarket. Bidang kebudayaan juga menjadi salah satu aspek masyarakat etnis Tionghoa untuk memperkenalkan kebudayaan leluhur mereka. Tulisan-tulisan Tionghoa diperbolehkan kembali. Bahasa Tionghoa juga mulai boleh digunakan, Universitas Sumatera Utara bahkan dibeberapa sekolah bahasa Tionghoa menjadi salah satu mata pelajaran sekolah. Bahkan sudah banyak toko-toko atau tulisan dikoran, yang mengandung banyak tulisan Tionghoa. Tarian Barongsai juga sudah diperbolehkan tampil kembali pada saat Imlek. Bahkan pada masa kini, banyak sekali sanggar-sanggar tari Barongsai di Indonesia. Hal ini menunjukkan mulai berkurangnya diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Universitas Sumatera Utara

BAB V Masyarakat Tionghoa Benteng dan Tragedi Kerusuhan