Peran Mekanisme Pengambilan Keputusan Lokal Masyarakat Osing Dalam Membangun Ketahanan Pangan Melalui Pertanian Organik
5. Peran Mekanisme Pengambilan Keputusan Lokal Masyarakat Osing Dalam Membangun Ketahanan Pangan Melalui Pertanian Organik
Jim Ife (2002) berpendapat bahwa menurut ahli adat dan budaya sebenarnya setiap masyarakat itu memiliki pemerintahan lokal sendiri atau disebut pemerintahan kesukuan. Suku merupakan kesatuan hukum yang memerintah warganya untuk bertindak sebagai warga masyarakat. Masing-masing masyarakat mempunyai mekanisme pengambilan keputusan yang berbeda-beda.
Sehingga dalam penelitian ini, peneliti melihat peran mekanisme dalam pengambilan keputusan masyarakat Osing dalam membangun ketahanan pangan melalui pertanian organik dari aturan adat yang berlaku, penghormatan terhadap pemangku jabatan, dan kebijakan yang disepakati bersama.
Pada masyarakat Osing, tidak terdapat kepala suku tetapi terdapat pemangku adat atau biasa disebut tokoh adat. Seperti Pada masyarakat Osing, tidak terdapat kepala suku tetapi terdapat pemangku adat atau biasa disebut tokoh adat. Seperti
“ Kalau di sini itu masih ada musyawarah gitu, mbak.. kayak milih jaga tirta itu, itu kan ada calon
kandidat to.. nah itu biasanya Mbah Gin dikasih tahu sama Mbah Wadung, nah nanti ada rapat, kumpul buat bahas apa.. terus dikumpulin di balai, nanti warga kumpul semua, tapi di tiap-tiap dusun itu sudah ada calonnya gitu, mbak... jadi tinggal daftar terus dipilih. Keputusannya nanti ya dimusyawarahkan lagi. ” (Wawancara, 18/03/18)
Pernyataan Diah tersebut menunjukkan bahwa masyarakat di Desa Aliyan dalam mengambil keputusan dilakukan dengan musyawarah, tetapi Diah mengatakan pula ada campur tangan dari pemangku adat yang dipercaya masyarakat sebagai jembatan antara leluhur dan masyarakat, sehingga keputusan yang diambil juga berdasarkan pertimbangan tersebut. Hal serupa dinyatakan oleh Pak Giyono selaku Tokoh Adat di Desa Aliyan berikut ini:
“ Kalau keputusan itu.. kalau tentang pertanian ya.. mau pakai sistem apa, pupuk apa gitu kan terserah sama yang
punya lahan, wes.. keputusannya mau nanem apa, pakai pupuk apa, bibitnya gimana ya itu keputusan petani sama buruh.. Kalau.. untuk adat keboan nah itu kan hubungannya manusia sama leluhur jadi ya nanti ada petunjuk, kayak misalnya pas mau nunjuk Dewi Sri, wes itu nanti ada yang kesurupan terus istilahnya datang ke rumah nembung ke orang tuanya si anak.. „wes anakmu tak suwon dadi Dewi Sri‟ (Anakmu saya minta untuk jadi
Dewi Sri). Gituuu, nduk. Itu keputusannya ya dari adat. Kan nanti ada ritualnya itu, nduuk.. ya sajian hasil bumi,
yaak.. hubungannya yaakk.. sama pertanian itu.. gitu..” (Wawancara, 18/03/18)
Pernyataan Pak Giyono yang menceritakan bahwa keterkaitan antara leluhur, pertanian, manusia, dan adat sangat erat dengan keadaan pertanian yang ada di Desa. Beberapa masyarakat Pernyataan Pak Giyono yang menceritakan bahwa keterkaitan antara leluhur, pertanian, manusia, dan adat sangat erat dengan keadaan pertanian yang ada di Desa. Beberapa masyarakat
Hal tersebut juga didukung oleh pernyataan dari Pak Taufik yang ditemui peneliti saat menanyakan lokasi sebaran masyarakat Osing dan kebiasaan masyarakat Osing. Beliau menyatakan bahwa:
“...kalau di Aliyan itu masih kuat rasa dinamika demokratisnya. Nanti kalau urusan adat, ya yang
menaungi lembaga adatnya atau tokoh adatnya.. nah, kalau yang lain itu ya ada musyawarahnya. Itu pasti.. karena untuk membangun desa, mensejahterakan masyarakat kan itu tujuan utamanya..” (Wawancara, 16/03/18)
Senada dengan pernyataan tersebut, Imam Santoso yang ditemui di “P4S” Sirtanio. Peneliti menetapkan beliau sebagai informan pendukung karena dari hasil percakapan saat bertemu di kantor “P4S” Sirtanio, ada ungkapan dari beliau yang mendukung penelitian ini terkait dengan pengambilan keputusan lokal, beliau mengatakan:
“.... iya betul, Mbak. Jadi, sebenarnya kami tidak bekerja pada profit oriented. Tapi kami hadir di masyarakat untuk
membantu, membina, memberi ruang bagi kelompok masyarakat untuk lebih berkembang.. win win solution.. nah, yang saya suka dari Banyuwangi ini adalah, kekuatan terbesar mereka ada pada kelompok masyarakat petani dan buruh tani yang asli penduduk pribumi itu mereka mempunyai mekanisme dalam mengambil keputusan.. Nah, itu berperan penting dalam mendukung dinamika pangan yang dikelola oleh masyarakat tersebut. Saat inflasi naik nih kan harga gabah naik atau sebaliknya, mereka sudah mempunyai cara sendiri untuk
mengatasi itu..” (Wawancara, 19/03/18)
Berdasarkan pernyataan Imam, bahwa masyarakat dalam mengambil keputusan dilakukan secara bersama oleh kelompok masyarakat tersebut dan saat terjadi inflasi harga gabah maka masyarakat sudah mempunyai strategi sendiri dalam menghadapi hal tersebut. Sedangkan Eko seorang pemuda yang bekerja sebagai buruh di Gudang Gabah yang biasa disebut oleh masyarakat sebagai Selepan. Beliau mengatakan:
“Kalau harga sebenarnya sini s elisih seratus rupiah saja sama pabrik. Kalau gabah naik, pernah itu.. kemarin
kemarin.. lima ribu lima ratus, ya sini beli dari petani ya lima ribu empat ratus. Kalau sekarang ini ya empat tujuh, itu ditentukan dari pabrik.. ” (Wawancara, 18/03/18).
Berdasarkan informasi dari informan tersebut, diketahui bahwa mekanisme pengambilan keputusan lokal ini berperan dalam membangun ketahanan pangan dalam suatu kelompok masyarakat. Hal ini dapat menunjukkan pula hubungan lain yang terbentuk dalam kelompok seperti adanya kesepakatan bersama yang disepakati. Tetapi pada penentuan harga gabah, keputusan lokal ini tidak dapat digunakan karena masyarakat tidak bisa digunakan untuk menentukan harga jual gabah sesuai dengan keinginannya. Sehingga peran mekanisme pengambilan keputusan lokal ini sebatas pada pengambilan keputusan di lingkup budaya yang ada dan pengambilan keputusan dari petani terhadap lahan yang dimilikinya mau diolah seperti apa dan bagaimana lahan tersebut diolah.