KERANGKA TEORI

3. Masyarakat Osing

Masyarakat dalam istilah bahasa Inggris adalah society yang berasal dari kata Latin socius yang berarti (kawan). Istilah masyarakat berasal dari kata bahasa Arab syaraka yang berarti (ikut serta dan berpartisipasi). Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul, dalam istilah ilmiah adalah saling berinteraksi.

Definisi lain masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa indentitas bersama. Kontinuitas merupakan kesatuan masyarakat yang memiliki keempat ciri yaitu:

a. Interaksi antarwarga-warganya,

b. Adat istiadat,

c. Kontinuitas waktu,

d. Rasa identitas kuat yang mengikat warga (Koentjaraningrat, 2009: 115-118)

Sedangkan menurut Emile Durkheim dalam Soleman, (1984: 11) bahwa masyarakat merupakan suatu kenyataan yang obyektif secara mandiri, bebas dari individu-individu yang merupakan anggota- anggotanya.

Masyarakat sebagai sekumpulan manusia di dalamnya ada beberapa unsur yang mencakup:

a. Masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama,

b. Bercampur untuk waktu yang cukup lama,

c. Mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan,

d. Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama. (Sumber: https://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://eprints .uny.ac.id/8538/3/BAB oleh I Anif diakses pada 23 Desember 2017 pada

17.24 WIB).

Berdasarkan uraian teori di atas, bahwa dapat disimpulkan masyarakat merupakan sekelompok orang yang berkumpul dan berada dalam suatu wilayah dengan kondisi tertentu yang bekerjasama dalam mencapai tujuan bersama dengan berpedoman pada sistem sosial dan budaya setempat

Sedangkan Osing merupakan sebutan bagi penduduk asli Blambangan yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani. Berdasarkan hasil penelitian Depdikbud (1991: 1), Istilah wong Osing diberikan oleh wong kulonan , yaitu penduduk pendatang yang berasal dari Jawa Tengah, Madura, Bali, Bugis, dan Mandar. Asal kata Osing berarti “tidak mau”, yakni tidak mau bekerja sama dengan pemerintah

Belanda (VOC), padahal pemerintah Belanda pada saati itu sedang membutuhkan banyak orang untuk dipekerjakan sebagai buruh di perkebunan-perkebunan Belanda yang dibuka di daerah Blambangan. Perlawanan masyarakat Blambangan yang berakhir pada peristiwa Puputan Bayu yang dipimpin oleh Rampeg dan Sayu Wiwit yakni seluruh kekuatan dikerahkan untuk berperang melawan Belanda, sehingga kondisi saat itu sangat mengerikan dan menimbulkan kerugian yang sangat besar dipihak Belanda sedangkan dipihak Blambangan semua pasukan dan rakyatnya hampir habis (1771). Sisa-sisa dari rakyat Blambangan inilah yang akhirnya berkembang sampai sekarang yang disebut dengan wong Osing .

Menurut Sari dalam Indiarti (2013: 35), Sebagian besar orang Osing di Banyuwangi sekarang ini bermukim di 9 kecamatan dari 24 kecamatan di Banyuwangi. Kecamatan-kecamatan tersebut adalah Banyuwangi (Kota), Giri, Kabat, Rogojampi, Songgon, Singojuruh, Cluring dan Genteng. Selanjutnya, terdapat tradisi dan kearifan lokal yang masih dilestarikan hingga saat ini.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat Osing merupakan kelompok masyarakat yang bertempat tinggal di Banyuwangi, terbentuk karena mempunyai kesamaan ras, sejarah, budaya, bahasa, adat, keturunan yang sama dan menjadi identitas diri. Hal ini selaras dengan istilah etnisitas menurut Frederich Barth

(1998) bahwa etnisitas merujuk pada suatu kelompok tertentu yang terbentuk karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai budaya (Sumber: Rudiansyah pada https://kajianbudayablog.wordpress.com/2016/12/03/pemahaman-ras- etnisitas-dan-multikulturalisme/ diakses pada 27 Desember 2018 pukul

22.03 WIB).

4. Ketahanan Pangan

Jhamtani (2008:16) menyebutkan ketahanan pangan adalah keadaan di mana semua penduduk memiliki akses fisik dan ekonomi terhadap pangan untuk mendapatkan gizi yang cukup bagi kehidupan yang produktif dan sehat.

Ketahanan pangan menurut definisi dari Undang-undang nomor 7 tahun 1996 tentang pangan disebutkan sebagai kondisi terpenuhinya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.

FAO (Food and Agriculture Organization) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai situasi dimana segala waktu memiliki kecukupan jumlah atas pangan yang aman dan bergizi demi kehidupan yang sehat dan aktif. Secara umum ketahanan pangan adalah adanya jaminan bahwa kebutuhan pangan dan gizi setiap penduduk adalah FAO (Food and Agriculture Organization) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai situasi dimana segala waktu memiliki kecukupan jumlah atas pangan yang aman dan bergizi demi kehidupan yang sehat dan aktif. Secara umum ketahanan pangan adalah adanya jaminan bahwa kebutuhan pangan dan gizi setiap penduduk adalah

Kemudian, Badan Ketahanan Pangan dan World Food Programme (WFP) menyebutkan terdapat tiga indikator rawan pangan yang dipakai, yaitu: ketersediaan pangan, akses ketersediaan pangan, akses kesehatan dan gizi. Ketiga indikator tersebut menjadi sebuah sistem yang saling berkaitan dan mempengaruhi stabilitas kehidupan masyarakat. Hal tersebut selaras dengan amanat dari Undang-undang nomor 18 tahun 2012 tentang pangan yang mengamanatkan bahwa penyelenggaraan pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan berkelanjutan berdasarkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan nasional.

Berkaca pada hal tersebut, Simatupang (1999) menyatakan bahwa ketahanan pangan tingkat global, nasional, regional, komunitas lokal, rumah tangga, dan inidvidu merupakan suatu rangkaian sistem hierarkis. Dalam hal ini ketahanan pangan rumah tangga tidak cukup menjamin ketahanan pangan individu. Kaitan antara ketahanan individu dan rumah tangga ditentukan oleh alokasi dan pengolahan pangan dalam rumah tangga, kondisi kesehatan anggota rumah tangga, status kesehatan anggota rumah tangga, dan kebersihan lingkungan setempat. Selain itu, faktor tingkat pendidikan suami-istri, budaya dan infrastruktur setempat juga sangat menentukan ketahanan pangan individu atau rumah tangga.

Selanjutnya, Simatupang mengajukan suatu konsep paradigma baru untuk mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan. Ketahanan pangan yang berkelanjutan perlu dibangun dengan memperhatikan tiga perspektif, yaitu:

a) Prinsip utama program ketahanan pangan harus didasarkan bahwa pangan merupakan hak asasi dan kebutuhan mendasar bagi manusia, oleh karena tujuan utamanya adalah melindungi, mempertahankan, dan menjamin semua orang untuk memperoleh pangan secara memadai.

b) Ketahanan pangan harus diperlakukan sebagai suatu sistem hierarki mulai dari tingkat global sampai ketahanan pangan tingkat rumah tangga atau individu. Sistem ketahanan pangan perlu memperhatikan tiga elemen, yaitu: sistem monitoring dan kewaspadaan dini, sistem keamanan sosial, dan sistem jaring pengaman sosial.

c) Komponen pendukung dari sistem ketahanan pangan yang berkelanjutan adalah perlunya peranan strategis dari pemerintah yang bersih dan bertanggungjawab, presure group dan adanya kebebasan pers.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi di mana masyarakat mau dan mampu Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi di mana masyarakat mau dan mampu

5. Pertanian Organik Sebagai Sistem Pertanian Berkelanjutan

Menurut Sugito, dkk (1995) dalam Salikin (2003:54) Sistem Pertanian organik merupakan suatu sistem produksi pertanian di mana bahan organik, baik makhluk hidup yang sudah mati, menjadi faktor penting dalam proses produksi usaha tani tanaman, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan. Penggunaan pupuk organik (alami atau buatan) dan pupuk hayati serta pemberantasan hama, penyakit, dan gulma secara biologis adalah contoh-contoh aplikasi sistem pertanian organik.

Sedangkan Berkaca pada hal tersebut, Seymour dalam Salikin, dkk (2003: 54-55) menjelaskan kriteria standar Sistem Pertanian Organik yang diberikan oleh IFOAM (International Federation of Organic Agriculture Movement) setidaknya harus memenuhi enam (6) prinsip standar, yaitu:

a) Lokalita (localism). Pertanian organik berupaya mendayagunakan potensi lokalita yang ada sebagai suatu agroekosistem yang tertutup dengan memanfaatkan bahan-bahan baku atau input dari sekitarnya.

b) Perbaikan tanah (soil improvement). Pertanian organik berupaya menjaga, merawat, dan memperbaiki kualitas kesuburan tanah melalui tindakan pemupukan organik, pergiliran tanaman, konservasi lahan, dan sebagainya.

c) Meredam polusi (pollution abatement). Pertanian organik dapat meredam terjadinya polusi air dan udara dengan menghindari pembuangan limbah dan pembakaran sisa-sisa tanaman secara sembarangan serta menghindari penggunaan bahan sintetik yang dapat menjadi sumber polusi.

d) Kualitas produk (quality of product). Pertanian organik menghasilkan produk-produk pertanian berkualitas yang memenuhi standar mutu gizi dan aman bagi lingkungan serta kesehatan.

e) Pemanfaatan energi (energy use). Pengelolaan pertanian organik menghindari sejauh mungkin penggunaan energi dari luar yang berasal dari bahan bakar fosil yang berupa pupuk kimia, pestisida, dan bahan bakar minyak (solar, bensin, dan sebagainya).

f) Kesempatan kerja (employment). Dalam mengelola usaha tani organiknya para petani organik memperoleh kepuasan dan mampu menghargai pekerja lainnya dengan upah yang layak.

Sistem Petanian Organik merupakan salah satu model Sistem Pertanian Berkelanjutan yang memiliki keunggulan dan keterkaitan antara sosial, ekonomi dan lingkungan, karena tidak menimbulkan Sistem Petanian Organik merupakan salah satu model Sistem Pertanian Berkelanjutan yang memiliki keunggulan dan keterkaitan antara sosial, ekonomi dan lingkungan, karena tidak menimbulkan

Secara konsepsional, pendekatan kebijakan pembangunan berkelanjutan dapat dilihat dari tiga sudut pandang, sebagaimana yang digambarkan oleh Munasinghe dan Cruz (1995) op. cit. Herdaker (1997) dalam Salikin (2003: 90) ditunjukkan dalam gambar berikut:

Ekonomi

Efisiensi

Pemerataan antargenerasi

Pertumbuhan

Tujuan jangka

Stabilitas

panjang/Kesempatan Kerja

Internalisasi nilai-nilai

Kemiskinan

Biodiversifitas/

Konsultasi/Pember

Polusi SDA

Sosial

dayaan Budaya

Lingkungan

Gambar I.1 Konsep Pembangunan Berkelanjutan ditinjau dari aspek ekonomi, sosial,

dan lingkungan

Selaras dengan hal tersebut, pemberdayaan menjadi tujuan dalam pembangunan berkelanjutan dengan memandirikan masyarakat dan menuju kesejahteraan seperti yang cita-cita bangsa yang tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Menurut Martin Rein, (1976: 210-248), ada dua macam perspektif yang relevan untuk persoalan Selaras dengan hal tersebut, pemberdayaan menjadi tujuan dalam pembangunan berkelanjutan dengan memandirikan masyarakat dan menuju kesejahteraan seperti yang cita-cita bangsa yang tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Menurut Martin Rein, (1976: 210-248), ada dua macam perspektif yang relevan untuk persoalan

Dari pemaparan teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa Sistem Pertanian Organik merupakan salah satu model pertanian yang berorientasi pada keseimbangan ekonomi, sosial, dan ekologi (lingkungan) dalam hal ini selaras dengan tujuan pembangunan berkelanjutan yang mengoptimalkan sumberdaya yang ada untuk keberlangsungan kehidupan sekarang dan masa yang akan datang. Selain untuk menyeimbangkan ekosistem, hal ini juga menjadi potensi karena dapat meningkatkan produktivitas yang berkualitas dan aman sehingga dapat menambah pendapatan untuk petani, daerah hingga nasional dari kegiatan jual-beli ke konsumen.

6. Kearifan Lokal dalam Membangun Ketahanan Pangan

Kearifan Lokal lahir dan berkembang dari generasi ke generasi seolah-olah bertahan dan berkembang dengan sendirinya. Kelihatannya tidak ada ilmu atau teknologi yang mendasarinya. Kearifan lokal meniscayakan adanya muatan budaya masa lalu dan berfungsi untuk membangun kerinduan pada kehidupan nenek moyang yang menjadi tonggak kehidupan masa seakrang. Kearifan lokal dapat dijadikan Kearifan Lokal lahir dan berkembang dari generasi ke generasi seolah-olah bertahan dan berkembang dengan sendirinya. Kelihatannya tidak ada ilmu atau teknologi yang mendasarinya. Kearifan lokal meniscayakan adanya muatan budaya masa lalu dan berfungsi untuk membangun kerinduan pada kehidupan nenek moyang yang menjadi tonggak kehidupan masa seakrang. Kearifan lokal dapat dijadikan

Selanjutnya, Hira (2008: 128) menyatakan bahwa semua khasanah sistem tradisional lokal itu sesungguhnya dapat dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai bagian dari program ketahanan pangan baik pada tingkat lokal, daerah, maupun nasional. Untuk itu, diperlukan serangkaian kebijakan, perangkat kelembagaan, serta insentif yang tepat guna. Tetapi, yang paling mendasar sebenarnya adalah pada perubahan cara pandang (paradigma) pembangunan itu sendiri secara keseluruhan, termasuk cara pandang yang selama ini selalu „memandang sebelah mata’ terhadap sistem-sistem tradisional lokal.

Sementara, UU No.7 tahun 1996 tentang pangan, Pasal 1 Ayat 17 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga (RT) yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.

Berbicara mengenai kearifan lokal dalam membangun ketahanan pangan, maka tak dapat dipungkiri bahwa terdapat hubungan yang tidak dapat terpisahkan antara kearifan lokal dan ketahanan pangan. Sehingga untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional harus tetap mempertahankan dan menguatkan kearifan lokal sesuai dengan kondisi Berbicara mengenai kearifan lokal dalam membangun ketahanan pangan, maka tak dapat dipungkiri bahwa terdapat hubungan yang tidak dapat terpisahkan antara kearifan lokal dan ketahanan pangan. Sehingga untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional harus tetap mempertahankan dan menguatkan kearifan lokal sesuai dengan kondisi

Dari pernyataan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal dalam membangun ketahanan pangan artinya masyarakat dapat mengoptimalkan sumberdaya yang ada untuk bertahan hidup, memproduksi, mencukupi kebutuhan dan meningkatkan taraf hidupnya dengan cara, tradisi, budaya, pengetahuan yang menjadi identitas lokalnya.

Dokumen yang terkait

EFEKTIVITAS PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN (P3K) TERHADAP SIKAP MASYARAKAT DALAM PENANGANAN KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS (Studi Di Wilayah RT 05 RW 04 Kelurahan Sukun Kota Malang)

45 393 31

PENGARUH TERPAAN LIRIK LAGU IWAN FALS TERHADAP PENILAIAN MAHASISWA TENTANG KEPEDULIAN PEMERINTAH TERHADAP MASYARAKAT MISKIN(Study Pada Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang Pada Lagu Siang Seberang Istana)

2 56 3

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

MANAJEMEN STRATEGI RADIO LOKAL SEBAGAI MEDIA HIBURAN (Studi Komparatif pada Acara Musik Puterin Doong (PD) di Romansa FM dan Six To Nine di Gress FM di Ponorogo)

0 61 21

IMPLEMENTASI PROGRAM PENYEDIAAN AIR MINUM BERBASIS MASYARAKAT (Studi Deskriptif di Desa Tiris Kecamatan Tiris Kabupaten Probolinggo)

21 177 22

PERAN PT. FREEPORT INDONESIA SEBAGAI FOREIGN DIRECT INVESTMENT (FDI) DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA

12 85 1

PENGARUH KONFLIK PEREBUTAN LAHAN TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT DESA NIPAH KUNING KECAMATAN MESUJI KABUPATEN MESUJI LAMPUNG TAHUN 2012

9 59 54

SIKAP MASYARAKAT KOTA PALEMBANG TERHADAP PEMINDAHAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) PASAR 16 ILIR PALEMBANG KE PASAR RETAIL JAKABARING

4 84 128

THE EFFECTIVENESS OF THE LEADERSHIP'S ROLE AND FUNCTION OF MUHAMMADIYAH ELEMENTARY SCHOOL PRINCIPAL OF METRO EFEKTIVITAS PERAN DAN FUNGSI KEPALA SEKOLAH DASAR MUHAMMADIYAH METRO

3 69 100