Kaitan Teori Dan Tujuan Pemidanaan Terhadap Kejahatan Mutilasi

BAB IV PERANAN PSIKOLOGI KRIMINAL DALAM PROSES PEMBUKTIAN

PERKARA TINDAK PIDANA MUTILASI DI MUKA PENGADILAN

A. Kaitan Teori Dan Tujuan Pemidanaan Terhadap Kejahatan Mutilasi

Terlebih dahulu sebelum membahas mengenai teori-teori pemidanaan dan keterkaitannya terhadap kejahatan mutilasi, perlu diketahui terlebih dahulu mengenai definisi dari hukum pidana itu sendiri agar dapat mengetahui adanya suatu hubungan kausalitas atau sebab akibat antara konsep hukum pidana itu dengan penerapan teori pemidanaan, yaitu sebagai berikut : a. Simons 129 Bahwa hukum pidana tersebut terdiri dari dua hal yaitu dalam arti materil mengandung petunjuk-petunjuk dan uraian tentang delik, peraturan tentang syarat-syarat hal dapat dipidananya seseorang strafbaarheid, penunjukkan orang yang dapat di pidana dan ketentuan tentang pidananya, ia menetapkan siapa dan bagaimana orang tersebut dapat di pidana. Sedangkan dalam arti formil hukum pidana mengatur tentang tata cara negara dengan perantaraan para pejabatnya menggunakan haknya untuk memidana b. Pompee 130 Hukum pidana adalah keseluruhan peraturan-peraturan hukum, yang menunjukkan perbuatan-perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana dan dimana pidana itu seharusnya 129 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta, 1994, hlm. 3 130 Andi Hamzah, Ibid, hlm. 4 Universitas Sumatera Utara c. Hazewinkel-Suringa 131 Menyatakan bahwa hukum pidana materil ius poenale adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarnya di ancam dengan pidana sanksi hukum bagi pembuatnya d. Moeljatno 132 Hukum pidana adalah sebagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk : - Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang di larang, dengan disertai ancaman atau sangsi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut ; - Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang diancamkan ; - Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang di sangka telah melanggar larangan tersebut ; Berdasarkan beberapa definisi mengenai hukum pidana tersebut, maka dapat diketahui bahwa hukum pidana merupakan ranah hukum publik yang mengatur mengenai tata cara bagaimana negara dapat melaksanakan fungsi-fungsi 131 Andi Hamzah, Ibid, hlm. 4 132 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Gramedia, 1998, hlm. 1 Universitas Sumatera Utara perlindungan terhadap hak-hak warga negaranya guna mewujudkan suatu ketertiban umum serta bagaimana negara dapat melakukan pembinaan dan pengayoman terhadap warga negaranya dan pelaku atau pembuat tindak pidana agar dapat di terima kembali dalam kehidupan masyarakat. Dalam mewujudkan ketertiban umum dari negara itu sendiri, pidana dipandang sebagai suatu nestapa yang dikenakan kepada pembuat karena melakukan suatu delik. Hal ini bukan merupakan tujuan terakhir tetapi tujuan terdekat. Oleh sebab itu hal inilah yang menjadi perbedaan antara pidana dengan nestapa, karena tindakan dapat berupa nestapa tetapi bukan tujuan dari pemidanaan itu sendiri. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa tujuan dari adanya pemidanaan itu sendiri adalah untuk memperbaiki pelaku atau pembuat tindak pidana. 133 Oleh sebab itu, untuk mewujudkan tujuan dari hukum pidana itu sendiri di bentuklah suatu stelsel atau sistem pemidanaan dalam suatu mekanisme ketentuan hukum positif, di Indonesia sendiri hal tersebut sebagaimana terdapat dalam pasal 10 kitab undang-undang hukum pidana KUHP, yaitu : Dengan demikian dapat tercipta suatu upaya represif yang kuat berupa tindakan-tindakan pengamanan. 134 a. Hukuman pokok, terdiri dari : - Huku man mati ; - Hukuman penjara ; - Hukuman kurungan ; - Hukuman denda. 133 Andi Hamzah, Ibid, hlm. 27 134 R.Soesilo, Log.Cit, hlm. 34 Universitas Sumatera Utara b. Huku man tambahan, terdiri dari : - Pencabutan beberapa hak tertentu ; - Perampasan barang tertentu ; - Pengumuman keputusan hakim. Dengan adanya stelsel pemidanaan tersebut, diharapkan terciptanya kesadaran hukum masyarakat sehingga dapat melakukan pencegahan terhadap terjadinya suatu peristiwa atau tindakan pidana dan dapat menimbulkan efek penjeraan terhadap pelaku atau pembuat tindak pidana, sedangkan berdasarkan suatu tinjauan secara khusus, tujuan dari pemidanaan itu sendiri adalah sebagai berikut : 135 a. Reformation Yaitu memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat. Masyarakat akan memperoleh keuntungan dan tiada seorang pun yang merugi jika penjahat menjadi baik b. Restraint Adalah mengasingkan pelanggar hukum dari masyarakat sehingga masyarakat menjadi lebih aman c. Retribution Yaitu hukum pidana menghendaki adanya suatu pembalasan terhadap pelanggar karena telah melakukan kejahatan secara setimpal sesuai dengan bentuk atau jenis kejahatan yang dilakukannya itu 135 Andi Hamzah, Op.Cit, hlm. 28 Universitas Sumatera Utara d. Deterrence Berarti membuat jera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual maupun orang lain yang berpotensi menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan kejahatan dengan melihat kejahatan yang di jatuhkan kepada terdakwa. Berdasarkan tujuan dari penjatuhan pidana itu sendiri, maka berkembanglah sejumlah teori-teori yang membenarkan penjatuhan pidana atau di sebut juga dengan teori pemidanaan. Teori-teori pemidanaan ini ada hubungannya dengan pengertian subjectief strafrecht ius puniendi sebagai hak atau wewenang untuk menentukan dan menjatuhkan pidana, terhadap pengertian objecktief strafrecht ius poenali sebagai peraturan hukum positif yang merupakan hukum pidana. 136 Adapun teori- teori penjatuhan pidana atau pemidanaan tersebut adalah sebagai berikut : 137 a. Teori absolut atau mutlak Teori pemidanaan membenarkan pemidanaan karena seseorang telah melakukan suatu tindak pidana. Terhadap pelaku tindak pidana mutlak harus diadakan pembalasan berupa pidana. Dalam hal ini tidak dipersoalkan akibat pemidanaan bagi terpidana. Bahan pertimbangan untuk pemidanaan hanyalah masa lampau, maksudnya masa terjadinya tindak pidana itu, masa yang akan datang yang bermaksud untuk 136 Wirjono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung : Eresco, 1989, hlm. 20 137 Rena Yulia, Log.Cit, hlm. 140 Universitas Sumatera Utara memperbaiki pelaku tidak dipersoalkan. Lebih jauh teori pembalasan terbagi kedalam lima bagian, yaitu: 138 - Pembalasan berdasarkan tuntutan mutlak dari ethica moraalphilosophie ; - Pembalasan bersambut dialektis ; - Pembalasan demi keindahan atau kepuasan aesthetisch ; - Pembalasan sesuai dengan ajaran Tuhan agama ; - Pembalasan sebagai kehendak manusia ; b. Teori relatif atau tujuan Teori tujuan membenarkan pemidanaan berdasarkan tujuan pemidanaan yaitu untuk perlindungan masyarakat atau pencegahan terjadinya kejahatan. Diancamkannya suatu pidana dan dijatuhkannya suatu pidana, dimaksudkan untuk memberikan rasa takut terhadap calon penjahat atau penjahat yang bersangkutan, untuk memperbaiki penjahat, untuk menyingkirkan penjahat, menjamin ketertiban hukum atau prevensi umum. Teori tujuan mempersoalkan akibat-akibat dari pemidanaan kepada penjahat atau kepada kepentingan masyarakat dan untuk masa mendatang. c. Teori gabungan Teori ini mendasarkan pemidanaan kepada perpaduan teori pembalasan dengan teori tujuan. Oleh karena itu tidak saja hanya mempertimbangkan masa lalu seperti yang terdapat dalam teori 138 Rena Yulia, Ibid, hlm. 142 Universitas Sumatera Utara pembalasan, tetapi juga harus bersamaan mempertimbangkan masa datang seperti yang dimaksudkan pada teori tujuan. Dengan demikian penjatuhan suatu pidana harus memberikan rasa kepuasan baik bagi hakim maupun kepada penjahat itu sendiri disamping kepada masyarakat. Jadi harus ada keseimbangan antara pidana yang dijatuhkan dengan kejahatan yang telah dilakukan. Dengan demikian terdapat dengan jelas unsur perbedaan antara teori-teori pemidanaan tersebut dalam memandang tujuan penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana atau kejahatan. Lebih jauh, Leo Polak memberikan perincian terhadap teori pembalasan terhadap penjatuhan pidana yang terdapat dalam suatu stelsel pemidanaan dalam suatu negara yaitu sebagai berikut : 139 a. Teori pertahanan kekuasaan hukum atau pertahanan kekuasaan pemerintah negara rechtsmacht op gezagshandhaving, teori ini menggambarkan suatu paksaan belaka. Akibat teori ini yaitu siapa saja yang secara sukarela menerima putusan hakim pidana dengan sendirinya tidak merasa bahwa putusan tersebut tidak sebagai penderitaan ; b. Teori kompensasi keuntungan voordeelscompensatie, menurut teori ini penjatuhan pidana harus seimbang atau setimpal dengan penderitaan korban untuk menghindari perasaan tidak puas dalam masyarakat ; 139 Andi Hamzah, Op.Cit, hlm. 32 Universitas Sumatera Utara c. Teori penghinaan atau reprobasi onrechtsfustering en blaam, teori ini bertujuan untuk melenyapkan segala sesuatu yang bertentangan dengan hukum dan penghinaan ; d. Teori pembalasan dalam menyelenggarakan persamaan hukum talioniserende handving van rechtsgelijkheids, menurut teori ini asas persamaan hukum yang berlaku bagi semua anggota masyarakat menuntut suatu perlakuan menurut hukum yang sama terhadap setiap anggota masyarakat ; e. Teori untuk melawan kecenderungan untuk memuaskan keinginan berbuat yang bertentangan dengan kesusilaan kering van onzedelijke neigingsbevedining ; f. Teori mengobyektifkan objectiverinstheorie, menurut teori ini tiada seorang pun boleh mendapat keuntungan karena suatu perbuatan kejahatan yang telah dilakukannya ; Variasi dari teori-teori pembalasan di atas berorientasi pada satu kehendak yaitu adanya pembalasan setimpal atau nestapa yang dijatuhkan oleh pemerintah terhadap individu atau pelaku suatu kejahatan dengan akibat dari perbuatan si pelaku terhadap diri korban sebagai bentuk perwujudan perilaku adil dalam masyarakat. Berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai oleh pemidanaan berdasarkan teori tujuan maka Van Hamel menunjukkan suatu prevensi khusus suatu pidana yaitu: 140 140 Andi Hamzah, Ibid, hlm. 35 Universitas Sumatera Utara a. Pidana harus memuat suatu unsur menakutkan guna mencegah penjahat yang mempunyai kesempatan untuk tidak melaksanakan niat buruknya ; b. Pidana harus mempunyai unsur memperbaiki terpidana ; c. Pidana harus membinasakan penjahat yang tidak mungkin diperbaiki ; d. Tujuan pemidanaan yang paling pokok yaitu guna mempertahankan tertib hukum. Dengan demikian dipahami bahwa berdasarkan prevensi teori tujuan pemidanaan itu berupaya sebagai sarana preventif atau pencegahan terjadinya suatu perbuatan pidana dalam masyarakat sehingga tercapai suatu ketertiban dan keteraturan hukum. Disamping itu apabila dikaitkan dengan tindak pidana mutilasi, teori tujuan juga berupaya memperbaiki kondisi kejiwaan pelaku kejahatan mutilasi agar tidak mengulangi perbuatannya yang serupa dan apabila kejahatan mutilasi tersebut terbukti secara jelas berdasarkan suatu perencanaan sebagaimana yang dikategorikan dalam pasal 340 KUHP sebagai pembunuhan berencana yang diancam dengan hukuman mati maka kategori prevensi membinasakan terpidana yang tidak mungkin diperbaiki menjadi pilihan yang dikedepankan oleh teori tujuan. Penjatuhan pidana mana bertujuan untuk melindungi kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya berkaitan dengan teori gabungan dari pemidanaan, Grotius menitikberatkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi masyarakat. 141 141 Andi Hamzah, Ibid, hlm. 36 Dengan demikian dapat dipahami bahwa makna dari Universitas Sumatera Utara pidana adalah pembalasan tetapi maksud dari pidana itu sendiri adalah melindungi tata hukum dan rasa hormat terhadap hukum dan pemerintah. Oleh sebab itu penjatuhan pidana terhadap pelaku kejahatan mutilasi disamping memberikan pembalasan berupa efek penjeraan atau bahkan pembinasaan berupa hukuman mati, teori ini juga bertujuan agar sendi-sendi hukum tersebut di hormati oleh setiap individu. Berdasarkan tinjauan teori pemidanaan terhadap tindak pidana mutilasi yang digolongkan sebagai bentuk kejahatan terhadap jiwa dan tubuh manusia seperti penganiayaan berat yang menimbulkan disfungsi organ tubuh atau bahkan mengakibatkan kematian seseorang sehingga tidak dapat di identifikasikan dengan mudah, dipandang telah memenuhi unsur dari kejahatan atau delik yaitu : 142 a. Perbuatan yang di larang oleh undang-undang secara jelas yang tidak boleh di langgar dan memilki sanksi tertentu ; b. Akibat dari perbuatan itu yang menjadi dasar alasan kenapa perbuatan itu di larang ; c. Sifat melanggar hukum dalam rangkaian kausalitas dari kejahatan itu sendiri; Berdasarkan unsur-unsur delik tersebut diperoleh suatu pemahaman bahwa tindak pidana mutilasi tergolong perbuatan yang membahayakan keselamatan jiwa manusia sehingga tindak pidana mutilasi itu sendiri di larang secara tegas dalam ketentuan substantif dalam undang-undang. Di lain hal, tindak pidana mutilasi berakibat tidak berfungsinya bagian atau organ tubuh tertentu atau bahkan secara 142 Wirjono Projodikoro, Op.Cit, hlm. 60 Universitas Sumatera Utara fatal menimbulkan kematian oleh karena itu hal tersebut telah memenuhi sifat melanggar hukum. Unsur-unsur delik atau kejahatan mana telah memenuhi kriteria pemidanaan yaitu dengan adanya ketentuan pidana yang dijatuhkan oleh undang- undang terhadap tindak pidana mutilasi hal ini berkaitan erat dengan teori dari pemidanaan terhadap individu yang telah melakukan kejahatan. Dengan demikian terhadap kejahatan mutilasi yang memilki dampak yang cukup membahayakan seperti kasus terdakwa Very idham henyansyah, penjatuhan pidana mati dipandang sebagai bentuk penerapan teori tujuan dalam arti pemidanaan tersebut bertujuan untuk membinasakan pelaku kejahatan mutilasi yang di nilai cukup meresahkan karena perbuatan mutilasi mana dilakukan secara terencana dan ditujukan terhadap sejumlah korban. Disamping itu penjatuhan pidana mati tersebut juga di pandang sebagai upaya preventif atau pencegahan agar kejahatan tersebut tidak terulang lagi di kemudian hari oleh pelaku yang berbeda, atau dengan kata lain menciptakan keteraturan hukum dan ketertiban umum dalam masyarakat.

B. Kaitan Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Kondisi Kejiwaan

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridi Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak Yang Menyebabkan Kematian (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No.791/Pid.B/2011/PN.SIM)

5 130 108

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 64 103

Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Beberapa Putusan Pengadilan Negeri di Indonesia)

1 74 133

Tinjauan Kriminologi Dan Hukum Pidana Tentang Tindak Pidana Penganiayaan Yang Dilakukan Terhadap Anak Kandungnya (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tulungagung Nomor : 179/Pid.Sus/2012/PN.Ta)

5 134 138

Tinjauan Psikologi Kriminal Penyimpangan Perilaku Seksual Terhadap Tindak Pidana Mutilasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Depok Nomor 1036/PID.B/2009/PN.DEPOK)

18 111 171

Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan)

3 130 140

Penegakan Hukum Terhadap Oknum Polri Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 479/Pid.B/2011/Pn.Mdn)

1 50 102

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

3 82 103

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 0 9

Tinjauan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penganiayaan Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Medan)

0 11 90