Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan)

(1)

ANALISIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM DALAM

TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOBA

(STUDI TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI

MEDAN)

TESIS

Oleh

AGUSTINA WATI NAINGGOLAN

077005001/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

S E K

O L A H

P A

S C

A S A R JA

N


(2)

ANALISIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM DALAM

TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOBA

(STUDI TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI

MEDAN)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

AGUSTINA WATI NAINGGOLAN

077005001/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : ANALISIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM DALAM

TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN

NARKOBA (STUDI TERHADAP PUTUSAN

PENGADILAN NEGERI MEDAN) Nama Mahasiswa : Agustina Wati Nainggolan

Nomor Pokok : 077005001

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Chainur Arrasjid, SH) Ketua

(Dr. Sunarmi, SH,. MHum) (Syafruddin S. Hasibuan, SH,. MH., DFM)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B,. MSc)


(4)

Telah diuji pada Tanggal 15 Juli 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Chainur Arrasjid, SH Anggota : 1. Dr. Sunarmi, SH. MHum

2. Syafruddin S. Hasibuan, SH,. MH., DFM 3. Prof. Dr. Suhaidi, SH,. MH


(5)

ABSTRAK

Didasari oleh keprihatinan terhadap penyalahgunaan narkoba di Indonesia yang sudah sampai pada titik yang membahayakan kelangsungan hidup bangsa dan ketahanan nasional karena sasarannya sudah mencapai seluruh lapisan masyarakat sehingga pemerintah menyatakan perang terhadap narkoba, serta menghimbau agar pelakunya dihukum seberat-beratnya. Tetapi dalam kenyataan, pelaku tindak pidana narkoba dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Meningkatnya tindak pidana narkoba tidak terlepas dari ringannya putusan yang dijatuhkan oleh hakim. Dengan latar belakang di atas, maka permasalahan yang diteliti yaitu apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam membuat putusan terhadap tindak pidana narkoba, mengapa putusan hakim tidak membuat efek jera dan apakah putusan hakim telah mencapai tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.

Untuk menjawab permasalahan tersebut dilakukan penelitian hukum normatif dengan mempergunakan bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Teknik yang dipergunakan dalam pengumpulan data berupa studi dokumen dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hakim dalam menjatuhkan pidana didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan dan juga hal-hal yang memberatkan dan meringankan pidana. Hakim dalam menjatuhkn pidana belum menerapkan ketentuan pidana yang terdapat dalam Undang-Undang secara maksimal. Hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa putusan hakim belum memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana narkoba. Hakim dalam menjatuhkan putusan terkesan ringan, karena jarang hakim memidana dengan batas maksimum yang ditentukan undang-undang. Hal ini mengakibatkan pelaku tindak pidana narkoba mengulangi lagi perbuatannya sehingga tujuan pemidanaan yang menimbulkan penjeraan tidak tercapai.

Dari penelitian adanya disparitas penjatuhan pidana. Disparitas pidana ini akan berdampak negatif baik bagi yang dijatuhi hukuman berat maupun yang dijatuhi hukuman ringan. Bagi yang dijatuhi pidana berat akan menjadi korban ketidakadilan hukum sehingga tidak percaya dan tidak menghargai hukum sedangkan bagi yang diputus ringan akan beranggapan bahwa melanggar hukum bukanlah hal yang menakutkan sehingga akan mengulangi lagi perbuatannya lagi. Dengan demikian rasa keadilan akan terabaikan. Adapun hal-hal yang menyebabkan timbulnya disparitas pidana adalah perangkat peraturan perundang-undangan yang menetapkan batas maksimum dan batas minimum pemberian hukuman yang memberi peluang kepada hakim untuk menjatuhkan putusan yang berbeda, kemudian sumber daya aparat penegak hukum baik dari dalam diri hakim maupun dari luar diri hakim, dan yang terakhir keadaan diri terdakwa.

Melalui penelitian ini disarankan agar undang-undang yang mengatur tentang narkoba baik Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 disempurnakan. Kepada hakim diharapkan bekerja secara profesional dan dalam menjatuhkan hukuman harus bersikap objektif.


(6)

Melakukan pengawasan terhadap kinerja hakim agar menindak hakim yang melakukan penyimpangan dan yang lebih penting lagi untuk menghindarkan terjadinya disparitas pidana sebaiknya ditinjau kembali rentang antara batas maksimum dan batas minimum pidana.


(7)

ABSTRACT

Departing on high concern with drug abuse in Indonesia reaching a dangerous point for nation survival and national defense because it’s target has penetrated to each level of community, has force the government to proclaime the fight against drug, and perpetrator should be subject to severe sentence. But in reality, even the number of drug abuser increased overtime. The increase in drug criminal could not be separated from the trivial or mild judgment imposed by the jury. For the reason, the problems under research included what is the rationale of judges in imposing the judgment on drug criminal, why jury judgment does not fuction as deterrent and whether the judgement of jury has achieved the law objectives, justice, law certainity and effectiveness.

To answer the problem above, a normative law research has been conducted by using primary, secondary and tertiary law materials. The technic of data collection was document study and interview. The result of research indicated that the imposition of criminal punishment by Judge was based on considerations. The judge, in imposing the punishment, applied the maximum punishment according to regulations contained in the Law. Also, the result of research indicated that the decision of judge did not result in the deterring effect on drugs abusers. This allowes the perpetrator to do the same activity, in other words the goal of management to produce the deterring effect has failed.

In this research there was disparity in criminal punishment. This disparity of criminals punishment would bring the negative impact on those who were punished heavely or punished mildly. Those who received the heavy punishment would feel law discrimination, thus they did not believe and appreciate the law, and for those who were punished mildly would assume that breaking the law was not a threatening matter, or they would repeat their activity. Therefore, the utilization of the law would be ignored. The cause of criminal disparity included the law enforcers who determined the maximum and minimum limit of punishment have allowed the judge as decision imposer differently and also human power of the law enforcers either internal or external to judge, and finally the personal condition of suspect.

Trough this research, it should be recommended that the law regulating the drug matters either Law No. 5/1997 regarding psychotropic or the Law No. 22/1997 regarding Drug and Narcotics should be improved. It is expected for the Judge to work professionally and must be objective in imposing the punishment. There should be supervision on judge performance by warning the judges who make some distortions, and the most important is to prevent the criminal disparity from occurring, and the time range of maximum and minimum limit of criminal should be reviewed.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkahnya yang memberikan kesehatan dan waktu sehingga penulisan tesis ini diselesaikan dengan baik.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para Komisi Pembimbing yaitu: Bapak Prof. Chainur Arrasyid, SH, Ibu Dr. Sunarmi, SH. MHum dan Bapak Syafruddin, SH,. MH., DFM yang telah bersusah payah memberikan bimbingan, koreksi dan perbaikan demi penyelesaian tesis ini. Demikian juga rasa terima kasih Penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Suhaidi, SH,. MH dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi, SH,. CN., M.Hum selaku Dosen Pembanding yang walaupun sebagai kapasitas Dosen Pembanding namun telah memberikan bimbingan yang sangat berharga kepada Penulis.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada:

1. Bapak Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia yang telah memberi beasiswa buat penulis dalam mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Kepala Kantor Wilayah Sumatera Utara yang telah memberi kesempatan buat Penulis untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Martiningsih, Bc. IP. SH, selaku Mantan Kepala Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas II A Medan yang memberi izin buat penulis untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Etty Nurbaiti, Bc. IP. SH, selaku Kepala Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas II A Medan yang banyak memberi sumbangan pikiran untuk penyelesaian tesis ini.


(9)

5. Bapak Pendastaren Tarigan, SH,. MS dan Bapak Dr. Faisal Akbar, SH, M.Hum yang telah memberi rekomendasi buat Penulis untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, SpA(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis untuk menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

7. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara beserta seluruh staf atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.

8. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum beserta seluruh Bapak/Ibu Dosen pada Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum yang telah memberi ilmunya kepada Penulis semasa perkuliahan.

9. Rekan-rekan mahasiswa kelas Hukum dan HAM yang senasib dan sependeritaan dalam menyelesaikan perkuliahan.

Secara khusus Penulis memohon kepada Tuhan, kiranya almarhum kedua orang tua saya, Niman Nainggolan (ayahanda) dan Tianna Simamora (Ibunda) ditempatkan di sisi kananNya.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada suami tercinta Binsar Sihombing yang telah memberikan semangat dan dukungan selama Penulis melaksanakan pendidikan hingga penyelesaian tesis ini, juga buat anak-anak tersayang Martha Romauli Sihombing dan Yohana Masniora Sihombing yang menjadi sumber inspirasi bagi Penulis. Terlebih anak saya Yohana Masniora Sihombing merupakan limpahan karunia buat penulis, sebab selagi penulis sibuk-sibuknya kuliah, Tuhan mengaruniakannya buat Penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang memberikan dorongan bagi penyelesaian tesis ini yang namanya tidak bisa disebut satu persatu.


(10)

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu Penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan tesis ini.

Akhir kata Penulis mohon ma’af bila ada kata yang tidak berkenan.

Medan, Juni 2009 Penulis,

AGUSTINA WATI NAINGGOLAN, SH 077005001/HK


(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama : AGUSTINA WATI NAINGGOLAN

Tempat/Tgl Lahir : Sidikalang, 26 Agustus 1968 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Kristen Protestan Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil Pendidikan :

 Sekolah Dasar Negeri 173104 Tarutung, lulus tahun 1981.

 Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Tarutung, lulus tahun 1984.

 Sekolah Menengah Atas Negeri Tarutung, lulus tahun 1987.

 Fakultas Hukum Universitas Darma Agung Medan, lulus tahun 1992.

 Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, lulus tahun 2009.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... iii

KATA PENGANTAR...iv

RIWAYAT HIDUP... vii

DAFTAR ISI...viii

DAFTAR TABEL... x

BAB I PENDAHULUAN………... 1

A. Latar Belakang...……….... B. Perumusan Masalah………. C. Tujuan Penelitian……….. D. Manfaat Penelitian……….... 1. Manfaat Teoritis... 2. Manfaat Praktis... E. Keaslian Penelitian………... F. Kerangka Teori dan Konsepsi………..…. 1. Kerangka Teori………... 2. Kerangka Konsepsi………. G. Metode Penelitian………... 1. Jenis Penelitian……….... 2. Bahan-bahan Hukum yang Digunakan………... 3. Teknik Pengumpulan Data……….. 4. Analisis……….... 1 19 20 20 20 21 21 21 21 28 31 31 31 32 33 BAB II DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMBUAT PUTUSAN TERHADAP TINDAK PIDANA PENYALAH-GUNAAN NARKOBA………...34

A. Aturan Hukum Tindak Pidana Narkoba………...

B. Tugas dan Kewajiban Hakim……….... C. Bentuk-bentuk Putusan Hakim………...

1. Putusan Bebas………...

2. Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum……….. 3. Putusan Pemidanaan………...

D. Pertimbangan Yuridis dan Pertimbangan Non Yuridis Serta Hal-hal yang Memberatkan dan Meringankan Penjatuhan Pidana... 1. Pertimbangan yang Bersifat Yuridis………...

34 44 49 50 52 58 60 61


(13)

2. Pertimbangan yang Bersifat Non Yuridis………... 3. Hal-hal yang Memberatkan dan Meringankan Pidana…...

66 68

BAB III DAMPAK PUTUSAN HAKIM TERHADAP PELAKU

TINDAK PIDANA NARKOBA………...72

A. Tujuan Pemidanaan………...

B. Penjatuhan Hukuman terhadap Tindak Pidana Narkoba……... C. Putusan Hakim Tidak Membuat Jera Pelaku Tindak Pidana

Narkoba……….... 72 78 82

BAB IV HAL-HAL YANG MENYEBABKAN TIMBULNYA DISPARITAS DALAM PENJATUHAN PIDANA UNTUK

KASUS NARKOBA………...94

A. Perangkat Peraturan Perundang-undangan………... B. Yang Bersumber pada Diri Hakim………... C. Keadaan-Keadaan Diri Terdakwa………...

94 103 114

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………... 118

A. Kesimpulan………...

B. Saran………... 118 122

DAFTAR PUSTAKA………123


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1 Data Kasus Tindak Pidana Narkoba di Indonesia Tahun 2001 - Tahun 2007………... 1 2 Jumlah Tersangka Pelaku Tindak Pidana Narkoba Tahun 2001 -

Tahun 2007 Berdasarkan Kewarganegaraan.……….… 1 3 Pelaku Tindak Pidana Narkoba Berdasarkan Jenis Kelamin

Tahun 2001 - Tahun 2007………... 2 4 Pelaku Tindak Pidana Narkoba Berdasarkan Usia Tahun 2001 -

Tahun 2007………... 2 5 Data Kasus Narkoba di Poltabes MS Tahun 2004 - Tahun 2008… 2 6 Data Kasus Narkoba di Lembaga Pemasyarakatan Anak

Klas II A Medan Tahun 2004 - Tahun 2008………... 3 7 Data Kasus Narkoba di Lembaga Pemasyarakatan Wanita

Klas II A Medan Tahun 2004 - Tahun 2008………... 3 8 Contoh Kasus Narkoba yang Diputus PN Medan dari

Tahun 2004 sampai 2008………... 18 9 Hal-Hal yang Meringankan Pidana……….……... 71 10 Putusan Hakim Atas Kasus-Kasus Narkoba Menurut

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dan Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1997 di Pengadilan Negeri Medan …………... 83

11 Pengulangan Tindak Pidana………..………... 92 12 Hal-Hal yang Menyebabkan Pengulangan Tindak Pidana……….. 93

13 Disparitas Putusan Pengadilan Negeri Medan……….... 108 14 Putusan Pengadilan Negeri Medan………... 111


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemerintah sedang gencar-gencarnya memerangi penyalahgunaan narkoba. Penyalahgunaan narkoba sudah sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan, mulai dari anak sekolah hingga orang dewasa bahkan pegawai pemerintahan, baik yang miskin maupun yang kaya tidak pandang bulu semuanya korban penyalahgunaan narkoba. Kasus tindak pidana narkoba di Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan. Dapat dilihat pada tabel berikut:75

Tabel 1. Data Kasus Tindak Pidana Narkoba di Indonesia Tahun 2001 - 2007

Tahun

No Kasus

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

Jumlah Total Rata-rata per tahun

1 Narkotika 1.907 2.040 3.929 3.874 8.171 9.422 11.380 40.723 8.145

2 Psikotropika 1.648 1.632 2.590 3.887 6.733 5.658 9.289 31.437 6.287

3 Bahan adiktif 62 79 621 648 1.348 2.275 1.961 6.994 1.399

Jumlah 3.617 3.751 7.140 8.409 16.252 17.355 22.630 79.154 15.831

% Kenaikan . 3,7 90,3 17,8 93,3 6,8 30,4 214 53,5

Sumber: Badan Narkotika Nasional.

Tabel 2. Jumlah Tersangka Pelaku Tindak Pidana Narkoba Tahun 2001 - 2007 Berdasarkan Kewarganegaraan

Tahun

No Warga

Negara 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

Jumlah Total Rata-rata per tahun

1 WNI 4.874 5.228 9.638 11.242 22.695 31.571 36.101 121.349 24.270

2 WNA 50 82 79 81 85 64 68 509 102

Jumlah 4.924 5.310 9.717 11.323 22.760 31.635 36.169 121.858 24.372

% Kenaikan . 3,7 90,3 17,8 93,3 6,8 30,4 214 53,5

Sumber: Badan Narkotika Nasional.


(16)

Tabel 3. Pelaku Tindak Pidana Narkoba Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2001 -2007

Tahun

No Warga

Negara 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

Jumlah Total Rata-rata per tahun

1 Pria 4.561 4.900 8.923 10.263 21.046 29.423 33.134 112.250 22.450

2 Wanita 363 410 794 1.060 1.734 2.212 3.035 9.608 1.922

Jumlah 4.874 5.228 9.638 11.242 22.695 31.571 36.101 121.349 24.270

Sumber: Badan Narkotika Nasional.

Tabel 4. Pelaku Tindak Pidana Narkoba Berdasarkan Usia Tahun 2001 - 2007

Tahun

No Warga

Negara 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

Jumlah Total Rata-rata per tahun

1 <16 thn 25 23 87 71 127 175 110 618 124

2 16 - 19 thn 501 494 500 763 1.668 2.447 2.617 8.990 1.798

3 20 – 24 thn 1.428 1.755 2.457 2.879 5.503 8.383 8.275 30.680 6.136

4 25 – 29 thn 1.366 1.368 2.417 2.888 6.442 8.105 9.278 31.882 6.376

5 >29 thn 1.604 1.652 4.256 4.722 9.040 12.525 15.889 49.688 9.938

Jumlah 4.924 5.310 9.717 11.323 22.780 31.635 36.169 121.858 24.372

Sumber: Badan Narkotika Nasional.

Di wilayah hukum Poltabes Medan juga cenderung mengalami peningkatan antara tahun 2004 sampai dengan tahun 2006 walaupun di tahun 2007 dan 2008 mengalami penurunan. Menurut hasil wawancara permulaan dengan Bripka Pol. Muhammad Fairus Abadi hal ini disebabkan tersangka lebih pintar menyembunyikan diri, sehingga pihak penyidik sulit untuk mencari informasinya76. Dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 5. Data Kasus Narkoba di Poltabes MS Tahun 2004 - 2008 Tahun

No Warga

negara 2004 2005 2006 2007 2008

Total Rata – rata per tahun

1 Pria 448 545 622 492 494 2601 520,2

2 Wanita 22 38 24 41 31 156 31,2

Jumlah 470 583 646 533 525 2757 551,4

Sumber: Sat Narkoba Poltabes MS.


(17)

Walaupun data Sat. Narkoba Poltabes MS menunjukkan penurunan tetapi penempatan kasus narkoba di Lembaga Pemasyarakatan Anak Klas IIA Medan dan Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Medan cenderung mengalami peningkatan disebabkan karena kasus yang ditempatkan di kedua lembaga pemasyarakatan tersebut bukan hanya dari Poltabes MS tetapi juga dari Poldasu dan pindahan dari lembaga pemasyarakatan yang ada di daerah wilayah hukum Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara. Peningkatan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 6. Data Kasus Narkoba di Lembaga Pemasyarakatan Anak Klas IIA Medan Tahun 2004 - 2008

TAHUN

No Penghuni

2004 2005 2006 2007 2008

TOTAL Rata – rata per tahun

1 Tahanan 203 206 840 2270 2223 5754 1148,4

2 Narapidana 2689 2807 2009 1568 2085 11158 2231,6

Jumlah 2892 3013 2849 3838 4308 16900 3380

Sumber: Lembaga Pemasyakatan Anak Klas IIA Medan.

Tabel 7. Data Kasus Narkoba di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Medan Tahun 2004 - 2008

TAHUN

No Penghuni

2004 2005 2006 2007 2008

TOTAL Rata – rata per tahun

1 Tahanan 288 320 352 387 425

2 Narapidana 2727 2496 2435 2403 2390

Jumlah 3015 2816 2787 2790 2815 14223 2844,6

Sumber: Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Medan.

Narkoba sebenarnya merupakan obat yang sangat diperlukan dalam bidang pengobatan dan ilmu pengetahuan, sehingga ketersediaannya perlu dijamin, melalui kegiatan produksi dan impor. Namun sebaliknya, narkoba dapat juga menimbulkan bahaya yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau dipergunakan tanpa


(18)

pembatasan dan pengawasan yang seksama. Penyalahgunaan narkoba dapat menyebabkan kematian, ketagihan dan terkena berbagai penyakit, meningkatnya kekerasan dan kriminalitas serta hancurnya sebuah masyarakat atau hilangnya generasi (lost genearation) sehingga kalau masyarakat sudah ketagihan dan terkena berbagai penyakit dapat mengancam ketahanan nasional. Apalagi dengan kemajuan teknologi yang semakin pesat mengakibatkan peredaran gelap narkoba semakin meluas dan berdimensi internasional.

Untuk mengantisipasi semakin luasnya penyalahgunaan narkoba dan pemberantasan peredaran gelap narkoba, maka pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang-Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika yang mengatur:

a. Cara penyediaan dan penggunaan narkoba untuk keperluan pengobatan dan ilmu pengetahuan (Pasal 4 Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 dan Pasal 4 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997.

b. Mencegah dan menanggulangi bahaya–bahaya yang dapat ditimbulkan oleh akibat sampingan dari penggunaan dan penyalahgunaan narkoba (Pasal 46 Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 dan Pasal 52 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997).

c. Rehabilitasi terhadap pecandu narkoba (Pasal 38 Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 dan Pasal 48 - 50 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997).

d. Pembinaan, pengawasan dan pemusnahan (Pasal 45, 50, 53 Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 dan Pasal 52, 55, 60 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997.


(19)

e. Peran serta masyarakat, penyidikan dan ketentuan pidana (Pasal 54, 55-58, 59-72 Undang No. 5 Tahun 1997 dan Pasal 57-59, 63-69, 78-100 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997.

Penyalahgunaan narkoba mendorong adanya peredaran gelap, sedangkan peredaran gelap narkoba menyebabkan meningkatnya penyalahgunaan yang makin luas dan berdimensi internasional. Oleh karena itu, diperlukan upaya pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkoba dan upaya pemberantasan peredaran gelap narkoba.

Penyelenggaraan konferensi tentang narkotika/psikotropika pertama kali dilaksanakan oleh The United Nations Conference for the Adaption of Protocol on

Psychotropic Substances mulai tanggal 11 Januari - 21 Februari 1971 di Wina,

Austria telah menghasilkan Convention Psycotropic Substances 197177. Materi muatan konvensi tersebut didasarkan pada revolusi The United Nations Economic

and Sosial Council Nomor 1474 (XLVIII) tanggal 24 Maret 1970 merupakan

aturan-aturan untuk disepakati menjadi kebiasaan internasional sehingga harus dipatuhi oleh semua negara, bagi kepentingan pergaulan bangsa-bangsa yang beradab. Konvensi tersebut mengatur kerjasama internasional dalam pengendalian dan pengawasan produksi, peredaran dan penggunaan psikotropika, serta mencegah, pemberantasan penyalahgunaannya dengan membatasi penggunaan hanya bagi pengobatan dan ilmu pengetahuan.

77 Siswanto Sunarso, Penegakan Hukum Psikotropika dalam Kajian Sosiologi Hukum,


(20)

Selanjutnya diadakan konvensi Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika pada tahun 1988 (Convention Againts Illicit Traffic in Narcotic

Drugs and Psychotropic Substances 1988)78. Konvensi ini membuka kesempatan bagi negara-negara yang mengakui dan meratifikasinya untuk melakukan kerjasama dalam penanggulangan penyalahgunaan dan pemberantasan peredaran gelap narkoba, baik secara bilateral maupun multilateral.

undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika mengatur ketentuan pidana. Tindak pidana di bidang psikotropika sebagaimana diatur dalam undang-undang ini adalah kejahatan79.

Penyalahgunaan narkoba serta peredaran dan perdagangan gelap dapat digolongkan ke dalam kejahatan internasional. Kejahatan internasional ini membuktikan adanya peningkatan kuantitas dan kualitas kejahatan ke arah organisasi kejahatan transnasional, melewati batas-batas negara dan menunjukkan kerjasama yang bersifat regional maupun internasional80. Konferensi tingkat menteri sedunia yang diselenggarakan di Napoli pada November 1994, telah membahas tentang kejahatan transnasional terorganisasi (organized transnational crime).

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Convention of Psychotropic

Substance 1971 berdasarkan UU No. 8 Tahun 1996. Ratifikasi terhadap konvensi

tentang substansi psikotropika tersebut memberikan konsekuensi hukum. Oleh karena

78 Ibid, hal. 2.

79 Lihat Pasal 68 UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. 80 Siswantio Sunarso, Op.Cit, hal 3.


(21)

itu, pemerintah Indonesia berkewajiban untuk menanggulangi pemberantasan kejahatan penyalahgunaan narkoba tersebut.

Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkoba, telah banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum dan telah mendapat putusan hakim di sidang pengadilan. Penegakan hukum ini diharapkan mampu sebagai faktor penangkal terhadap merebaknya peredaran dan penyalahgunaan narkoba, tapi dalam kenyataannya justru semakin intensif dilakukan penegakan hukum semakin meningkat pula peredaran narkoba tersebut.

Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1977 tentang Psikotropika dan UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana narkoba cukup berat, di samping dikenakan hukuman badan, juga dikenakan hukuman denda, tetapi pada kenyataannya hukuman tersebut tidaklah membuat jera pelakunya malah semakin meningkat dan berulang-ulang sebab sesudah selesai menjalani hukuman atau pidananya tidak berapa lama meghirup udara bebas sudah berbuat lagi. Hal ini disebabkan oleh faktor penjatuhan pidana tidak memberikan dampak atau different

effect terhadap para pelakunya81.

Berdasarkan pengamatan terhadap kinerja pengadilan dalam memproses pelaku kejahatan di sidang pengadilan, diketahui bahwa vonis hakim terhadap tindak pidana narkoba belum seberat ketentuan dalam undang-undang di dalam penjatuhan pidananya. Aturan hukum menetapkan hukuman maksimal, tetapi sebagian hakim lainnya tidak pernah menerapkan hukuman maksimal tersebut. Padahal


(22)

Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dengan tegas mengatur sanksi pidana termasuk pidana mati82. Pidana mati adalah suatu upaya yang radikal untuk meniadakan orang-orang yang tak dapat diperbaiki lagi, dan dengan adanya pidana mati ini maka hilanglah pula kewajiban untuk memelihara mereka dalam penjara-penjara yang demikian besarnya.83

Akan tetapi, jika ditinjau melalui pendekatan filosofis kemanusiaan bahwa hukuman dengan pidana mati sangat pantas dijatuhkan kepada para penyalah guna narkoba tersebut, terutama terhadap jaringan dan para pengedarnya. Oleh karena akibat dari perbuatan tersebut sangat berat bobot kejahatannya, yang pada akhirnya dapat menghancurkan hampir kebanyakan generasi muda dari sebuah bangsa.84

Tindak pidana narkoba merupakan tindak pidana khusus. Sebagaimana tindak pidana khusus, hakim diperbolehkan untuk menghukum dua pidana pokok sekaligus,

82 Lihat, Pasal 59 Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika yang mengatur

pidana mati sebagai berikut: (1) Barangsiapa: a. menggunakan psikotropika golongan I selain dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) ; atau b. memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika golongan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; atau c. mengedarkan psikotropika golongan I tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3); atau d. Mengimpor psikotropika golongan I selain untuk kepentingan ilmu pengetahuan; atau e. secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika golongan I dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun, paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah ), dan paling banyak Rp. 750.000.000 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). (2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 750,000,000.00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). (3) Jika tindak pidana dalam Pasal ini dilakukan oleh korporasi, maka di samping dipidananya pelaku tindak pidana, kepada korporasi dikenakan pidana denda sebesar Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Hukuman mati pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika diatur dalam Pasal 80, 81 dan 82.

83

Andi Hamzah, dkk, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan di Masa Depan. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hal. 27.

84 Moh. Taufik Makaro dkk, Tindak Pidana Narkotika, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005), hal.


(23)

pada umumnya hukuman badan dan pidana denda. Hukuman badan berupa pidana mati, pidana seumur hidup, atau pidana penjara. Tujuannya agar pemidanaan itu memberatkan pelakunya supaya kejahatan dapat ditanggulangi di masyarakat, karena tindak pidana narkoba sangat membahayakan kepentingan bangsa dan negara.85

Sanksi pidana yang dijatuhkan oleh para hakim terhadap para pelaku kejahatan masih dinilai belum memberikan rasa takut dan dipengaruhi oleh norma-norma di luar norma-norma hukum, tampaknya masih melekat dan menjadi kendala terhadap penegakan hukum secara konsekuen86. Juga otoritas hakim yang begitu besar dalam memutuskan perkara yang mengakibatkan banyak terjadi disparitas putusan dalam perkara yang sejenis. Hal ini ditandai dengan adanya perbedaan secara substansial yang tajam antara putusan hakim Pengadilan Negeri yang satu dengan yang lain atau hakim Pengadilan Tinggi dan hakim Mahkamah Agung mengenai perkara yang sama, padahal semuanya mengacu pada peraturan yang sama87

Disparitas putusan hakim dalam kasus narkoba dapat terjadi terhadap pemakai yang satu dengan yang lain atau antara pengedar yang satu dengan pengedar yang lain atau hukuman untuk pengedar lebih ringan hukumannya daripada pemakai.

Hakim dalam kedudukannya yang bebas diharuskan untuk tidak memihak (impartial judge). Sebagai hakim yang tidak memihak dalam menjalankan profesi, mengandung makna, hakim harus selalu menjamin pemenuhan perlakuan sesuai

85

Gatot Supramono, Hukum Narkoba Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2004), hal. 93.

86 Siswanto Sunarso, Op.Cit, hal. 9.

87 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan


(24)

hak asasi manusia khususnya bagi tersangka atau terdakwa. Hal demikian telah menjadi kewajiban hakim untuk mewujudkan persamaan kedudukan di depan hukum bagi setiap warga negara (equally before the law)88.

Penegakan hukum sebagai salah satu proses, pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi (Wayne La Favre 1964) dengan mengutip pendapat Roscoe Pound, maka La Favre menyatakan bahwa pada hakikatnya diskresi berada di antara hukum dan moral (etika dalam arti sempit)89.

UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika menetapkan pengguna psikotropika yang menderita sindrom ketergantungan berkewajiban untuk ikut serta dalam pengobatan dan/atau perawatan. Pengobatan dan/atau perawatan dilakukan pada fasilitas rehabilitasi90.

Demikian juga Pasal 45 UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika menyebutkan: “Pecandu narkotika wajib menjalani pengobatan dan/atau perawatan”.

Pasal 47 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika menyatakan:

88 Andy Hamzah dan Bambang Waluyo, Delik-Delik terhadap Penyelenggaraan Peradilan

(Conterm of Court), (Jakarta: Sinar Grafika, 1988).

89 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 7.


(25)

(1) Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat:

a. memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika atau

b. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, apabila pacandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika

(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman 91.

Baik Undang-Undang tentang Psikotropika No. 5 Tahun 1997 maupun Undang-Undang tentang Narkotika No. 22 Tahun 1997 memberi kewenangan kepada hakim untuk memutus di pusat rehabilitasi ketergantungan narkoba apabila pelaku tindak pidana hanyalah sebagai pecandu atau yang menderita sindrom ketergantungan. Rehabilitasi dimaksudkan untuk memulihkan dan/atau mengembangkan kemampuan fisik, mental dan sosialnya. Tetapi kenyataan jarang hakim mempergunakan kewenangannya ini. Tidak jarang hakim memutus perkara tindak pidana narkoba yang merupakan pecandu dan yang menderita sindrom ketergantungan dengan hukuman penjara/pidana penjara ditambah lagi dengan denda yang apabila denda tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan pengganti denda.

Dalam penjelasan Pasal 47 UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika disebutkan:

Penggunaan kata memutuskan bagi pecandu narkotika yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika mengandung pengertian bahwa putusan hakim tersebut merupakan vonis (hukuman) bagi pecandu narkotika yang bersangkutan.


(26)

Sedangkan penggunaan kata menetapkan bagi pecandu narkotika yang tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika mengandung pengertian bahwa penetapan hakim tersebut bukan merupakan vonis (hukuman) bagi pecandu narkotika yang bersangkutan. Penetapan tersebut dimaksudkan untuk memberikan suatu penekanan bahwa pecandu narkotika tersebut walaupun tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika, tetapi tetap wajib menjalani pengobatan dan perawatan.

Biaya pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkotika yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika sepenuhnya menjadi beban dan tanggung jawab negara, karena pengobatan dan perawatan tersebut merupakan bagian dari masa menjalani hukuman. Sedangkan bagi pecandu narkotika yang tidak terbukti bersalah biaya pengobatan dan/atau perawatan selama dalam status tahanan tetap menjadi beban Negara, kecuali tahanan rumah dan tahanan kota.92

Masalah pokok penegakan hukum termasuk di bidang tindak pidana narkoba terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut.

Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut93: 1 Faktor hukumnya sendiri.

2 Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

3 Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegak hukum.

4 Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

5 Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

92 Lihat penjelasan Pasal 47 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. 93 Ibid hal 8.


(27)

Penegakan hukum terhadap kejahatan di Indonesia, khususnya dalam hal pemidanaan, seharusnya merujuk pada pendekatan norma hukum yang bersifat menghukum pelaku kejahatan sehingga dapat memberikan efek jera. Dalam sistem pemasyarakatan fungsi pemidanaan tidak lagi sekedar memberi efek jera, tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegerasi sosial Warga Binaan Pemasyarakatan.94 Pemidanaan berarti upaya negara untuk memelihara kebutuhan dan kepentingan para warga negara secara bersama-sama atau sendiri-sendiri yang tidak seluruhnya dapat dilakukan oleh warga negara itu sendiri. Jadi jika seorang warga negara dirugikan oleh orang lain dan ia sendiri tidak boleh melakukan pembalasan, maka kebutuhan dan kepentingan tadi diwakili atau dijalankan oleh negara.95 Hal ini memberi wacana kepada para pelaku kejahatan agar mampu menangkap aspirasi keadilan masyarakat. Kenyataan empiris di bidang pemidanaan secara umum masih menganut memperbaiki terpidana di Lembaga Pemasyarakatan sehingga memberikan gambaran bahwa kejahatan tersebut hanya terhenti sesaat dan akan muncul kembali dalam lingkungan kehidupan sosial masyarakat.

Secara sosisologis maka penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role)96. Kedudukan (status) merupakan posisi tertentu di dalam struktur kemasyarakatan yang mungkin tinggi, sedang atau rendah. Kedudukan tersebut merupakan suatu wadah yang isinya adalah suatu hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban tadi merupakan peranan atau role. Oleh

94 Lihat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

95 Harsono H.S, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, (Jakarta: Djambatan, 1995), hal 45. 96 Soerjono Soekanto, Op.Cit, hal 19.


(28)

karena itu, seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya dinamakan pemegang peranan (role occupant)

Dalam tulisan ini penegak hukum dibatasi pada hakim saja. Seorang penegak hukum, sebagaimana halnya dengan warga masyarakat lainnya, lazimya mempunyai beberapa kedudukan dan peranan sekaligus. Dengan demikian tidaklah mustahil, bahwa antara pelbagai kedudukan dan peranan timbul konflik (status conflict and

conflict of roles)97.

Masalah peranan dianggap penting, oleh karena pembahasan mengenai penegak hukum sebenarnya lebih banyak tertuju pada diskresi. Peranan yang seharusnya dari kalangan penegak hukum tertentu, telah dirumuskan di dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman98.

Peranan yang ideal dapat dilihat dalan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 yang isinya adalah: “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.

Di samping peranan yang ideal, lembaga pengadilan mempunyai peranan yang seharusnya. Peranan itu dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 sebagai berikut:

97 Ibid. hal 21. 98 Ibid. hal 23.


(29)

1. Pasal 2 ayat (1) yang isinya: “Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 diserahkan kepada badan-badan peradilan dan ditetapkan dengan undang-undang, dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya”.

2. Pasal 4 ayat (2) yang isinya adalah: “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat

dan biaya ringan”.

3. Pasal 5 yang isinya adalah sebagai berikut:

a. Pengadilan mengadili menurut hukum dan tidak membeda-bedakan orang. b. Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala

hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan

4. Pasal 16 ayat (1): “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili

dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. 5. Pasal 25 (1): “Segala putusan pengadilan selain memuat alasan dan dasar putusan

tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum yang tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”.

6. Pasal 28 ayat (1): “Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.


(30)

Faktor fasilitas sarana pendukung untuk penegakan hukum sangat diperlukan. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dll.99

Sarana dan fasilitas untuk rehabilitasi ketergantungan narkoba, banyak yang kurang memadai, padahal setiap hari banyak korban yang berjatuhan tanpa ada upaya perawatan.100

Peran serta masyarakat sesuai kewajibannya dituntut untuk ikut bersama-sama pemerintah melakukan pencegahan penyalahgunaan narkoba. Misalnya memberi laporan kepada penegak hukum bila mengetahui penyalahgunaan narkoba. Peran serta masyarakat sangat diperlukan untuk mengungkapkan kasus tindak pidana narkoba. Tetapi dalam kenyataan masyarakat kurang memberi laporan karena masalah keamanan dirinya dan kurangnya jaminan untuk si pelapor.101 Apalagi pelaku-pelaku kejahatan di bidang narkoba mempunyai jaringan yang amat rapi dan sering menggunakan kekerasan.

Di samping peran serta masyarakat, aparat penegak hukum yang termasuk dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) yaitu: kepolisian, kejaksaan, lembaga peradilan sampai pada lembaga pemasyarakatan termasuk pengacara harus

99

Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 81.

100 Siswanto Sunarso, loc.ci. 101 Ibid. hal. 158.


(31)

benar-benar bekerja secara jujur dan profesional demi tegaknya hukum. Khusus dalam tulisan ini penulis ingin menyoroti kinerja hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkoba. Hakim sebagai bagian dari lembaga peradilan berperan sangat penting demi tegaknya supremasi hukum. Bukan itu saja, hakim juga dianggap sebagai wakil Tuhan di dunia bagi orang-orang yang ingin mencari kebenaran dan keadilan.

Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan kebebasan hakim dalam melaksanakan wewenang judicialnya tidaklah mutlak sifatnya. Karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan dan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang menjadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan.

Tetapi kenyataan, putusan-putusan yang dibuat oleh hakim sering mengundang kontroversial. Tidak jarang terjadi terhadap pelaku tindak pidana yang satu dijatuhkan pidana berat sedangkan terhadap pelaku tindak pidana lainnya dijatuhi hukuman ringan atau bahkan dibebaskan, padahal pasal yang dilanggar adalah sama.

Menurut KUHAP hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Hakim dalam proses persidangan berkedudukan sebagai pemimpin. Kedudukan ini memberi hak untuk mengatur jalannya persidangan dan mengambil tindakan ketika terjadi ketidaktertiban di dalam sidang. Guna keperluan keputusan hakim berhak dan harus menghimpun


(32)

keterangan-keterangan dari semua pihak terutama dari saksi dan terdakwa termasuk penasehat hukumnya. Hakim yang berkedudukan sebagai pimpinan dalam proses persidangan dalam usaha penerapan hukum demi keadilan harus menyadari tanggung jawabnya sehingga bila ia berbuat dan bertindak tidaklah sekedar menjatuhkan putusan, melainkan juga bahwa dari keseluruhan perbuatannya itu senantiasa diarahkan guna mewujudkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Inilah yang harus diwujudkan hakim dalam sidang pengadilan yang sekaligus sebagai realisasi dari tanggung jawabnya.

Meningkatnya penyalahgunaan narkoba dari tahun ke tahun tidak terlepas dari ringannya putusan yang dijatuhkan oleh hakim. Sehubungan dengan itu, ada baiknya penulis menggambarkan 10 contoh kasus narkoba yang diputus oleh Pengadilan Negeri yang menjadi bahan penelitian penulis.

Tabel 8. Contoh Kasus Narkoba yang Diputus PN Medan dari Tahun 2004 sampai 2008

Pidana

No No. Perkara Pasal yang Dilanggar

Penjara Denda

1 2.498/Pid.B/2004/PN.Medan 59(1) huruf a UU No. 5/1997 4 Tahun Rp.15.000.000 Subsidair 3 bulan

2 1.500/Pid.B/2004/PN.Medan 82(1) huruf a UU No. 22/1997 12 Tahun Rp.10.000.000 Subsidair 5 bulan

3 2.200/Pid.B/2005/PN.Medan 59(1) huruf a UU No. 5/1997 4 Tahun Rp.15.000.000 Subsidair 3 bulan 4 1.920/Pid.B/2005/PN.Medan 82(1) huruf a UU No. 22/1997 7 Tahun Rp.1.000.000

Subsidair 3 bulan

5 2.234/Pid.B/2006/PN.Medan 60(4) huruf a UU No. 5/1997 2 Tahun Rp.2.000.000 Subsidair 2 bulan

6 5.089/Pid.B/2006/PN.Medan 85 huruf a UU No. 22/1997 3 Bulan -

7 2.637/Pid.B/2007/PN.Medan 59(1) huruf c UU RS No. 5/1997 4 Tahun Rp.150.000.000 Subsidair 2 bulan 8 3.916/Pid.B/2007/PN.Medan 82(1) huruf a UU RI No.22/1997 6 Tahun Rp.3.000.000


(33)

Lanjutan Tabel 8

9 1.570/Pid.B/2008/PN.Medan 62 UU RI No. 5/1997 1 Tahun Rp.1.000.000

Subsidair 1 bulan

10 4.200/Pid.B/2008/PN.Medan 71(1) huruf a UU RI No.22/1997 8 Tahun Rp.1.000.000 Subsidair 8 bulan

Sumber: Pengadilan Negeri Medan.

Dari tabel contoh kasus di atas, terlihat adanya perbedaan penjatuhan putusan oleh hakim dan putusan yang dijatuhkan terkesan ringan bila dibandingkan dengan ketentuan undang-undang yang mengatur pidana dalam undang-undang narkoba. Padahal, seperti diutarakan di atas, seharusnya hakim dalam menjatuhkan putusan harus memperhatikan 3 (tiga) unsur yang penting yaitu: keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan maka penulis tertarik untuk meneliti tentang putusan hakim yang diberi judul Analisis terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam membuat putusan tentang tindak pidana penyalahgunaan narkoba di Pengadilan Negeri Medan?

2. Mengapa putusan hakim tidak membuat efek jera terhadap pelaku tindak pidana narkoba?


(34)

3. Apakah putusan hakim dalam tindak pidana narkoba telah mencapai tujuan hukum yaitu memberi rasa keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan?

C. Tujuan Penelitian

Pada dasarnya tujuan penelitian adalah untuk mencari pemahaman tentang masalah-masalah yang telah dirumuskan.

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui dan menganalisis dasar pertimbangan hakim dalam membuat putusan terhadap pelaku tindak pidana narkoba di Pengadilan Negeri Medan. b. Untuk mengetahui dan menganalisis mengapa putusan hakim tidak membuat efek

jera terhadap pelaku tindak pidana narkoba.

c. Untuk mengetahui dan menganalisis putusan hakim dalam tindak pidana narkoba apa telah mencapai tujuan hukum yaitu memberi rasa keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis sebagai berikut: a. Memberi masukan dan sumbangan pemikiran dalam rangka penyusunan

perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana narkoba.

b. Memberi sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan hukum khususnya hukum pidana.


(35)

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan memberi manfaat untuk kepentingan penegakan hukum, sehingga dapat dijadikan masukan dalam cara berpikir dan cara bertindak hakim dalam mengambil keputusan guna mewujudkan tujuan hukum.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian ini berdasarkan pemikiran dari penulis sendiri dan belum pernah diteliti oleh orang lain sebelumnya baik judul dan permasalahan yang sama, sehingga penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian baru dan keasliannya dapat dipertanggungjawabkan secara akademis dan ilmiah sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan obyektif dalam menemukan kebenaran.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945 mempunyai konsekuensi untuk menegakkan hukum, yang artinya setiap tindakan yang dilaksanakan oleh siapapun di negara ini serta akibat yang harus ditanggungnya harus didasarkan kepada hukum dan diselesaikan menurut hukum juga. Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat diterapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit.

Menurut Lawrence M. Friedman sebagai suatu sistem atau subsistem dari sistem kemasyarakatan maka hukum mencakup struktur hukum (structure), substansi


(36)

hukum (substance) dan budaya hukum (legal culture).102 Struktur mencakup wadah ataupun bentuk dari sistem tersebut yang umpamanya mencakup tatanan lembaga-lembaga hukum formal, hubungan antara lembaga-lembaga-lembaga-lembaga tersebut, hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dan seterusnya.

Substansi mencakup isi norma-norma hukum beserta perumusannya maupun cara menegakkannya yang berlaku bagi pelaksanaan hukum maupun pencari keadilan. Budaya hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dituruti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari).103

Max Weber104 dalam teori paksaan (dwang theory) mengemukakan bahwa penguasa mempunyai monopoli terhadap sarana-sarana paksaan secara fisik yang merupakan dasar bagi tujuan hukum untuk mencapai tata tertib dan ketertiban. Paksaan dimaksudkan hanya dapat dilakukan oleh kelompok orang-orang yang mempunyai wewenang untuk berbuat demikian (dalam hal ini seperti kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan).

Dalam penjelasan Pasal 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 disebutkan kebebasan dalam melaksanakan wewenang judisial bersifat tidak mutlak karena tugas

102 Lawrence Friedman, America Law An Introduction, sebagaimana diterjemahkan oleh

Wisnu Basuki, (Jakarta: PT Tatanusa, 1984), hal. 24.

103 Soerjono Soekanto, Op.Cit. hal. 60.

104 Sudjono Dirjosiswono, Pengantar tentang Psikologi Hukum, (Bandung: Alumni, 1983)


(37)

hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.105

Tugas hakim adalah menjatuhkan putusan yang mempunyai akibat hukum bagi pihak lain. Hakim tidak dapat menolak menjatuhkan putusan apabila perkaranya sudah mulai diperiksa. Bahkan perkara yang telah diajukan kepadanya tetapi belum mulai diperiksa tidak mungkin ia menolaknya106.

Untuk menemukan hukum ada beberapa aliran yaitu107:

1. Aliran legisme yang berpendapat bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undang, sedangkan peradilan berarti semata mata penerapan undang-undang pada peristiwa yang konkrit. Hukum dan undang-undang-undang-undang adalah identik. Yang dipentingkan di sini adalah kepastian hukum.

2. Aliran Begriffsjurisprudenz yang berpendapat undang-undang sekalipun tidak lengkap tetap mempunyai peran penting, tetapi hakim mempunyai peran yang lebih aktif. Di samping undang-undang masih ada sumber hukum lain antara lain kebiasaan.

3. Aliran yang berlaku sekarang yang berpendapat bahwa sumber hukum tidak hanya undang-undang atau peradilan saja. Di samping undang-undang dan peradilan masih terdapat hukum yang tumbuh di dalam masyarakat, yaitu hukum kebiasaan. Pekerjaan hakim kecuali bersifat praktis dan rutin juga ilmiah, sikap

105 Lihat penjelasan umum Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman.

106 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, (Bandung: PT.

Citra Aditya Bakti, 1993) hal. 40.


(38)

pembawaan tugasnya menyebabkan ia harus selalu mendalami ilmu pengetahuan hukum untuk memantapkan pertimbangan-pertimbangan sebagai dasar dari putusannya.

Salah satu tujuan hukum adalah memberi kemanfaatan bagi orang lain. Hal ini didasarkan pada konsep pemikiran Utilities. Penganut aliran Utilities menganggap bahwa tujuan hukum adalah semata-mata memberikan pemanfaatan atau kebahagiannya yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya warga masyarakat (the greatest happiness for the greatest number).

Jeremy Bentham berpendapat adanya negara dan hukum semata-mata hanya demi manfaat sejati, yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat.108

Menurut Max Weber Guru Besar Universitas Kekaisaran Jerman pada sistem hukum rasional yang memberikan panduan adalah hukum itu sendiri. Kaidah hukum ada yang berwujud sebagai peraturan-peraturan tertulis, keputusan-keputusan pengadilan maupun keputusan-keputusan lembaga-lembaga pemasyarakatan109. Penerapan suatu sistem rasional dalam sistem peradilan dituangkan dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Putusan hakim yang memberi efek jera kepada si pelaku tindak pidana narkoba akan dapat menurunkan tingkat kriminal. Untuk itulah peranan hukum diperlukan sebagai a tool

of social engineering seperti yang dikemukakan oleh Roscoe Pound. Untuk dapat

108

Hari Land, Modern Jurisprodensi, (Kuala Lumpur: International Law Book Service, 1994), hal. 67-69.

109 Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,


(39)

memahami lebih dalam mengenai bagaimana hukum berfungsi dalam masyarakat perlu diperhatikan pendapat Rudolf Von Jhering yang menyatakan: “Law were only way to achive the end namely social control.”110

Kategori kepentingan dalam masyarakat menurut Roscoe Pound ada 3 yaitu: 1. Publik Interest

a. Kepentingan negara untuk menjaga eksistensi dan hakikat negara. b. Kepentingan negara untuk mengawasi kepentingan sosial.

2. Individual Interest

a. Kepentingan dalam hubungan rumah tangga (interest in domestic relations). b. Kepentingan mengenai harta benda (interest of substance).

3. Interest of Personality

a. Kepentingan perlindungan integritas badaniah (pyssical intergrity). b. Kehendak bebas (freedom of will).

c. Reputasi (reputation).

d. Keadaan pribadi perorangan (privacy).

e. Kebebasan untuk memilih agama dan mengeluarkan pendapat (freedom of

believe and opinion)111.

Romli Atmasasmita menggunakan istilah “ tindak pidana “ dibanding dengan

penggunaan istilah “perbuatan pidana” untuk pelaku kejahatan Narkoba. Hal ini

110

Ronny H. Soemitro, Masalah-masalah Sosiologi Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hal. 60.

111 Bismar Nasution dan Mahmul Siregar, Bahan Kuliah Teori Hukum, Program Studi Ilmu


(40)

dilatarbelakangi oleh suatu alasan bahwa istilah “tindak pidana” terkait unsur pertanggungjawaban pidana serta pertimbangan lain112, yakni bahwa peristilahan tersebut sudah baku dan telah dipergunakan oleh tim penerjemah KUHP pada Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN).

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tindak pidana dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu kejahatan dan pelanggaran yang memuat perincian berbagai jenis tindak pidana yang terdapat dalam buku II dan buku III KUHP. Tujuannya adalah guna melindungi kepentingan hukum yang dilanggar. Kepentingan hukum pada dasarnya dapat dirinci dalam 3 (tiga) jenis yaitu113:

1. Kepentingan hukum perorangan. 2. Kepentingan hukum masyarakat. 3. Kepentingan hukum negara.

Tindak pidana narkoba merupakan kejahatan dan pelanggaran.114 Sanksi hukum berupa pidana, diancamkan kepada pelaku tindak pidana kejahatan dan pelanggaran (punishment). Sanksi pidana umumnya adalah alat pemaksa agar seseorang mentaati norma-norma yang berlaku, dimana tiap-tiap norma mempunyai sanksi sendiri-sendiri dan pada tujuan akhir yang diharapkan adalah upaya pembinaan (treatment)115

112 Romli Atmasasmita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem Hukum

Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 26.

113

Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 9.

114 Moh. Taufik Makaro, dkk, Op.Cit, hal. 43. 115 Ibid, hal. 46.


(41)

Lembaga Pengadilan memberikan tempat bahkan membantu kepada mereka yang dirampas hak-haknya dan memaksa kepada pihak-pihak agar bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan yang merugikan pihak lainnya Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa kehadiran lembaga itu merupakan operasionalisasi dari ide rumusan konsep-konsep hukum yang notabene bersifat abstrak. Melalui lembaga dan bekerjanya lembaga-lembaga itulah hal-hal yang bersifat abstrak tersebut dapat diwujudkan ke dalam kenyataan116.

Kehadiran hukum dalam pergaulan hidup di negara Pancasila ini tidak sekedar menunjukkan pada dunia luar bahwa negara ini berdasarkan atas hukum, melainkan adanya kesadaran akan fungsi-fungsi yang dimiliki oleh hukum itu sendiri. Sejalan dengan itu Baharuddin Lopa memberikan gambaran berbagai fungsi hukum tersebut yaitu:117

1. Hukum sebagai alat perubahan sosial (as a tool of social engineering). Jadi hukum adalah kekuatan untuk mengubah masyarakat (change agent).

2. Hukum juga berfungsi sebagai alat untuk mengecek benar tidaknya sesuatu tingkah laku (as a tool of justification).

3. Hukum berfungsi pula sebagai as a tool of social control yaitu mengontrol pemikiran dan langkah-langkah kita agar kita selalu terpelihara tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum.

116

Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 4.

117 Baharuddin Lopa, Permasalahan Pembinaan dan Penegakan Hukum di Indonesia,


(42)

Apabila diperhatikan fungsi ketiga hukum itu dapat diperoleh gambaran bahwa peraturan hukum yang beroperasi di lembaga peradilan, selain input

instrument memberi pula legitimasi pengadilan untuk melaksanakan peradilan.

Pengadilan diberi wewenang untuk membuat norma hukum substantif yang dianggapnya memuaskan, patut atau adil bagi kasus konkrit. Oleh sebab itu, pengadilan berfungsi sebagai organ pembuat undang-undang. Dalam menjatuhkan sanksi, pengadilan selalu bertindak sebagai organ pembuat undang-undang karena pengadilan melahirkan hukum.118

2. Kerangka Konsepsi

Konsep adalah definisi operasional dari berbagai istilah yang dipergunakan dalam tulisan ini. Sebagaimana yang dikemukakan M. Solly Lubis, bahwa kerangka konsep adalah merupakan konstruksi konsep secara internal pada pembaca yang mendapat stimulasi dan dorongan konseptual dari bacaan tinjauan pustaka.119

Dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia, analisa maksudnya adalah: Proses pemecahan masalah yang dimulai dengan dugaan akan kebenarannya; telaah terhadap suatu masalah.120

Putusan Pengadilan merupakan output suatu proses peradilan di sidang pengadilan yang meliputi proses pemeriksaan saksi-saksi, pemeriksaan terdakwa,

118 . Hans Kelsen, Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-dasar Ilmu Normatif sebagai ilmu

hukum Deskriftif Empirik, Alih bahasa : H. Sumardi, (Jakarta : Media Indonesia, 2007), hal 181.

119

M. Solly Lubis, disampaikan pada waktu kuliah Politik Hukum Kelas Hukum dan HAM Sekolah Pascasarjana USU, Medan.

120 H. Nur Azman, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Bandung: Penabur Ilmu, 2001), hal.


(43)

pemeriksaan barang bukti, ketika proses pembuktian dinyatakan selesai oleh hakim, tiba saatnya hakim mengambil keputusan.121

Menurut KUHAP Pasal 1 butir 11 putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP.

Berdasarkan Pasal 191 KUHAP putusan pengadilan dapat digolongkan dalam 3 macam yaitu:

1. Putusan bebas dari segala tuduhan hukum. 2. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum. 3. Putusan yang mengandung pemidanaan.

Menurut Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 penyalahguna adalah orang menggunakan narkotika tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter.

Narkoba (narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya) yakni zat-zat kimiawi yang dimasukkan dalam tubuh manusia (baik secara oral, dihirup maupun intravena, suntik) dapat mengubah pikiran, suasana hati atau perasaan dan perilaku seseorang.122 Narkoba yang populer di kalangan masyarakat terdiri dari 3 (tiga) golongan yakni, narkotika, psikotropika, obat/zat berbahaya lainnya. Ketiga golongan narkoba ini ditetapkan dalam undang-undang.

121 Rusli Muhammad, Op.Cit. hal. 115.

122 Muchlis Catio, Pencegahan dan Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba di


(44)

Tindak pidana adalah perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman pidana. Tindak pidana di bidang narkoba antara lain berupa perbuatan-perbuatan seperti memproduksi, atau mengedarkan secara gelap, maupun penyalahgunaan narkoba, merupakan perbuatan yang merugikan masyarakat dan negara.123

Menurut Moh. Taufik Makaro, tindak pidana narkoba dapat diartikan dengan suatu perbutan yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum narkoba, dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dan ketentuan-ketentuan lain yang termasuk dan atau tidak bertentangan dengan undang-undang tersebut.124

Menurut Soerjono Soekanto Kepastian Hukum adalah kepastian oleh karena hukum dan kepastian dalam hukum itu sendiri. Kepastian hukum mengharuskan diciptakannya peraturan-peraturan umum atau kaedah-kaedah hukum yang berlaku umum. Agar tercipta suasana yang aman dan tenteram di dalam masyarakat, maka kaedah termaksud harus ditegakkan dan dilaksanakan dengan tegas.125

Keadilan merupakan keadaan serasi yang membawa ketenteraman di dalam hati orang, yang apabila diganggu akan menimbulkan kegoncangan126

Manfaat Hukum adalah untuk menghindarkan kegoncangan dalam masyarakat, maka hukum menciptakan pelbagai hubungan tertentu di dalam masyarakat. Hubungan ini bermacam-macam wujudnya.127

123 Gatot Supramono, Hukum Narkoba Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2004), hal. 64-65. 124

Moh. Taufik Makaro, Op.Cit. hal. 41.

125 Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, (Jakarta: Alumni,

1981), hal. 38-39.


(45)

G. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan dalam menjawab permasalahan yang timbul dalam tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang dilaksanakan dalam tesis ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian terhadap masalah dengan melihat dari segi peraturan-peraturan yang berlaku.

2. Bahan-bahan Hukum yang Digunakan

Dalam penelitian hukum normatif data yang dipergunakan adalah data sekunder. Untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogianya, diperlukan sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder.128

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Norma atau kaidah dasar yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. 2. Undang-Undang Dasar 1945.

3. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

4. Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. 5. Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

127

Wirjono Prodjodikoro sebagaimana dikutip oleh R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hal. 57.

128 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group, 2005), hal.


(46)

6. Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

7. Putusan-Putusan Pengadilan yang berkaitan dengan tindak pidana narkoba. 8. Peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Buku-buku hukum.

2. Bahan-bahan kuliah penemuan hukum. 3. Artikel di jurnal hukum.

4. Komentar-komentar atas putusan pengadilan. 5. Tesis, disertasi hukum.

6. Karya dari kalangan hukum yang ada hubungannya dengan penelitian ini. c. Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang pada penelitian ini adalah: 1. Kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia.

2. Majalah-majalah yang ada hubungannya dengan penelitian ini.

3. Koran yang memuat tentang kasus narkoba dan putusan pengadilan tentang tindak Pidana Narkoba.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik secara studi kepustakaan berupa studi dokumen dan teknik pendukung lainnya yaitu wawancara terhadap informan yaitu Hakim Pengadilan Negeri Medan, Petugas Lembaga Pemasyarakatan, Kepolisian, Terpidana, dan Keluarga.


(47)

4. Analisis

Pada penelitian hukum normatif, pengolahan bahan hakikatnya kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam analisis bahan dalam penelitian ini adalah:

a. Memilih pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang narkoba dan penegakan hukum.

b. Membuat sistematik dari Pasal-Pasal tersebut sehingga menghasilkan klasifikasi tertentu (yang selaras dengan penegakan hukum terhadap penyalahgunaan narkoba).

c. Bahan yang berupa peraturan perundang-undangan ini dianalisis secara kualitatif, dengan menggunakan logika berfikir dalam menarik kesimpulan secara metode deduktif, yaitu kerangka pemikiran diarahkan kepada aspek-aspek normatif yang terkandung dalam hukum positif. Sehingga hasil dari analisis ini diharapkan dapat menjawab permasalahan yang dikemukakan dalam tulisan ini.


(48)

BAB II

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMBUAT PUTUSAN TERHADAP TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOBA

A. Aturan Hukum Tindak Pidana Narkoba

Tindak Pidana Narkoba diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.

Sebelum membahas aturan hukum tindak pidana narkotika terlebih dahulu perlu dijelaskan penggolongan narkotika. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Narkotika digolongkan menjadi 3 (tiga) golongan yaitu:129

4. Narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

5. Narkotika golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mengakibatkan potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.

6. Narkotika golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.


(49)

Narkotika golongan I hanya dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan dilarang digunakan untuk kepentingan lainnya.130

Yang termasuk narkotika golongan I adalah:

3. Tanaman papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kecuali bijinya.

4. Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman Papaver Somniferum L yang hanya mengalami pengolahan sekedar untuk pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan kadar morfinnya.

5. Opium masak terdiri dari:

a. candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan pengolahan khususnya dengan pelarutan, pemanasan dan peragian dengan atau penambahan bahan-bahan lain, dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan.

b. jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain.

c. jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.

4. Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaccac termasuk buah dan bijinya.

5. Daun koka daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaccac yang menghasilkan kokain secara langsung atau melalui perubahan kimia.

6. Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan kokain.

7. Kokaina, metil ester-1-bensoil ekgonina.

8. Tanaman ganja, semua tanaman genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis.

9. Tetrahydrocannabinol, dan semua isomer serta semua bentuk stereo kimianya. 10. Delta 9 tetrahydrocannabinol dan semua bentuk stereo kimianya.

11. Asetorfina: 3-0-acetiltetrahidro-7a-(1-hidroksi- 1-metilbutil)-6, 14-endoeteno-oripavina.

12. Acetil-alfa-metilfentanil: N-[1-(a-metilfenetil)-4- piperidil] asetanilida 13. Alfa-metilfentanil: N-[1(a-metilfenetil)-4- piperidil] propionanilida

14. Alfa-metiltiofentanil: N-[1-]1-metil-2-(2-tienil) etil]-4-piperidil] propionanilida 15. Beta-hidroksifentanil: N-[1-(betahidroksientil)-4-4 piperidil] propionanilida


(50)

16. Beta-hidroksi-3-metilfentanil: -[1[(beta-hidroksifenetil)-3-metil-4-fentanil piperidil] propionanilida

17. Desomorfina: dihidrodeoksimorfina

18. 18. Etorfina:tetrahidro-7a-(1-hidroksi-1- metilbutil)-6, 14-endoeteno-oripavina 19. Heroina: diacetilmorfina

20. Ketobemidona: 4-metahidroksifenil-1-metil-4 propionilpiperidina 21. 3-metilfentanil: N-(3-metil-1-fenetil-4- piperidil)propionanilida

22. 3-metiltiofentanil: N-[3-metil-1-[2-(2-tienil) etil]-4-piperidil] propionanilida 23. MPPP: 1-metil-4-fenil-4-piperidinol propianat (ester)

24. Para-fluorofentanil: 4-fluoru-N-(-1-fenetil-4- piperidil) propionanilid 25. PEPAP: 1-fenetil-4-fenil-4-piperidinol asetat (ester0

26. Tiofentanil: N-[1-[2-(2-tienil)etil]-4-piperidil] propionanilida.

Yang termasuk Narkotika golongan II yaitu:

1. Alfasetilmetadol; Alfa -3-asetoksi-6-dimetil amino- 4,4-difenilheptana 2. Alfameprodina; Alfa-3-etil-1-metil-4-fenil-4- propionoksipiperidina 3. Alfametadol; Alfa-6-dimetilamino-4,4-difenil-3- heptanol

4. Alfaprodina; Alfa-1,3-dimetil-4-fenil-4- propionoksipiperidina

5. Alfentanil; N-[1-[2-(4-etil-4,5-dihidro-5-okso-1H- tetrazol-1-il)etil]-4(metolsimetil)-4-piperinidil)-N-fenilpropanamida

6. 6. Allipronida: 3-allil-1-metil-4-fenil-4propionoksipiperinida

7. Anileridina: asam-1-para-aminofenetil-4-fenilpi peridina)-4-karboksilat etil ester 8. Asetilmetadol: 3-asetiksi-6dimetilamino-4-4-defenilheptana

9. Benzetidin: Asam 1-2-benzilosietil-4-fenilpoperidina-4-karboksilat etil ester. 10. Benzilmorfina: 3-benzilmorfina

11. Betameprodina : beta-3-etil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipiperidina 12. Betametadol : beta-6-dimetilamino-4-4-definil-3-heptanol

13. Betaprodina : beta-1, 3-metil-4-fenil-4-propionoksipepiridina

14. Betasetilmetadol : beta-3-asetoksi-6dimentilamino-4, 4-dipenilheptana

15. Beziltramida ; 1-(3-siano-3, 3-defenilpropil)-4-(2-okso-3-propionil-1-benzimida zolinil)-piperidina

16. Dekstromoramida : (+)-4-[2-metil-4-okso-3, 3-defenil-4-(1-piolidina) butyl-morfolina

17. Diampromida : N-[2-(metilfenetilamino)-propil] propionanilida 18. dietiltiambutena : 3-dietilamino-1, 1-di-92-tienil)-1-1-butena

19. difenosilat ; asam-1-(3-siano-3, 3-difenilpropil)-4-penilpiperidina-4-karboksilat etil ester

20. Difenoksin : asam-1-(3-siano-3, 3difenilpropil)-4-fenilisopekotik 21. Dihidroprifina

22. Dimefeptanol ; 6-dimetilamino-4, 4-definil-3-heptanol


(51)

24. Dimetiltiambutena ; 3-dimetilamino-1, 1-di-(2-teinil)-1-butena 25. Dioksafetil butirat ; etil-4-morfolino-2, 2-definilbutirat

26. Dipipanona ; 4-, 4-difenil-6-piperdina-3-heptanona 27. Drotebanol : 3, 4-dimetiksi-17-metilmorfina-6b, 14-diol

28. Eksgonina, termasuk ester dan deviratnya yang setara dengan ekgonina dan kokaina.

29. Erilmetiltiambutena : 3-etilmetilamino-1, 1-di-92-tienil)-1-butena.

30. Etokseridina : asam 1-[2[92-hidrosietoksi0-etil]-4-fenipiperidina-4-karboksilateil ester

31. Etinitazena ; 1-dietilaminoetil-2-para-etoksibenzil-5-niteobenzimedazol

32. Furetidina : asam 1-(-2-tetrahidrifurfurit loksietil)-4-penilpiperidina-4-karboksilat etil ester)

33. Hidrokodona : dihidrokodeinona

34. Hidroksipetidina : asam-4-meta-hidroksifenil-1-1 metilpiperidina-4-karboksilat etil ester

35. Hidromorfinol : 14-hidroksidihidromorfina 36. Hidromorfona : dihidromorfinona

37. Isometadona : 6-dimetilamino-5-metil-4, 4-difeni-3-heksanona 38. Fenadoksona : 6-morfolino-4, 4-definul-3-heptanona

39. Fenampromida : N-(1-metil-2-piperidinoetil)-propionanilida 40. Fenozosina : 2-hidroksi-5, 9-metil-2-finetil-6, 6-benzomorfan 41. Fenomorfan : 3-hidroksi-N-fenetilmorfina

42. Fenoperidina : asam-1-(3-hidroksi-3-fenilpropil)-4-fenipiperidina-4-karboksilat etil ester

43. Fentanil ; 1-fenetil-4-N-propionilpiperidina

44. Klonitazena : 2-para-klobenzil-1-dietilaminoetil-5-nitrobenzimidazol 45. Kodoksima : dihidrokodeinona-6-karboksimetiloksima

46. Levofenasilmorfan : (1),-hidroksi-N-fensilmorfinan

47. Levomoramida : (-)-4-[2-metil-4-okso-3, 3-difenil-4(1-pirolidinil) butyl merfolina

48. Levometorfan : (-)-3-hidroksi-N-metilorfinan 49. Levorfanol : (-)-3-hidroksi-N-metiforfinan

50. Metadona : 6-dimetilamino-4, 4-defenil-3-heptanona 51. Merdona intermediat : 4-siano-2-dimetilamino-4, 4-difenil butane 52. Metazosina : 2-hidroksi-2, 5, 9-trimetil-6, 7-benzomorfan 53. Metildesorfina : 6-metil-delta-6-deoksimorfina

54. Metilhidromorfina : 6-metildihidromorfinona 55. Metopon : 5-metildihidromorfinona 56. Mirofina : mutristilbenzilmorfina

57. Moramida intermediat : asam (2-metil-3-morfolina-1, 1-difenipropana karboksilat 58. Morferidina : asam 1-(2-morfolionetil)-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil

ester


(1)

3. Hal-hal yang menyebabkan timbulnya disparitas dalam penjatuhan pidana untuk kasus narkoba adalah:

a. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang tentang narkoba baik Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika maupun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika memberi peluang untuk terjadinya disparitas pidana. b. Bersumber pada diri hakim

Terjadinya disparitas pidana bisa disebabkan oleh karena hakim salah menerapkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang narkoba. Banyak faktor yang mempengaruhi kemandirian hakim dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal berkaitan dengan kualitas sumber daya hakim sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang datangnya dari luar diri hakim, terutama yang berkaitan dengan sistem peradilan.

c. Keadaan-keadaan diri terdakwa

Faktor-faktor seseorang melakukan kejahatan ada yang datangnya dari dalam diri pelaku dan dari luar diri pelaku. Terjadinya disparitas terhadap pelaku tindak pidana narkoba tidak terlepas dari keadaan-keadaan yang terdapat dalam diri pelaku.

Dengan adanya disparitas pidana ini menyebabkan belum tercapainya rasa keadilan dalam masyarakat. Tujuan hukum yang memberi kemanfaatan juga belum


(2)

Kalau untuk kepastian hukum dengan dipidananya pelaku tindak pidana narkoba sudah memberi kepastian hukum bagi masyarakat, bahwa pelaku kejahatan harus mendapat hukuman.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dikemukakan saran-saran sebagai berikut:

1. Diperlukan penyempurnaan undang-undang tentang narkoba baik Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika maupun Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika terutama yang mengatur sanksi pidana agar barang bukti diperhitungkan juga untuk berat ringannya hukuman. 2. Diharapkan kepada hakim dalam menjalankan tugas judicialnya dilaksanakan secara profesional dan objektif sehingga dalam menjatuhkan putusannya benar-benar demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

3. Diperlukan pengawasan yang lebih ketat terhadap kinerja hakim, dan apabila ditemukan indikasi penyimpangan agar diberi sanksi yang tegas juga dalam merekrut hakim benar-benar bebas KKN agar ditemukan hakim yang berkualitas.

4. Untuk menghindari disparitas pidana sebaiknya perlu ditinjau kembali rentang dan batas maksimum dan batas minimumnya pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang yang mengatur sanksi pidana terhadap penyalahgunaan


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Amin, SM, Hukum Acara Pengadilan Negeri, Jakarta: Pradnya Paramita.

Arief, Nawawi, Barda, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Jakarta: Prenada Media Group, 2007. Atmasasmita, Romli, Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem Hukum

Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1977.

Catio, Muchlis, Pencegahan dan Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba di Lingkungan Pendidikan, Badan Narkotika Nasional, 2006.

Dirdjosisworo, Soedjono, Ilmu Jiwa Kejahatan, Bandung: PT. Karya Nusantara, 1977.

Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1994.

________, dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan di Masa Depan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984.

HS. Harsono, CI Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Jakarta.: Djambatan, 1995. Kaligis, OC dan Soedjono Dirdjosisworo, Narkotika dan Peradilan di Indonesia,

Bandung: PT Alumni, 2002.

Kelsen, Hans, Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik, ahli bahasa Somardi, Jakarta: BEE Media Indonesia.

Land, Hari, Modern Jurisprodensi (Kuala Lumpur International Law Book Service), 1997.

Lopa, Baharuddin, Permasalahan Pembinaan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1987.

Makaroh, Taufik, Suhasril dan Moh. Jakki A.S, Tindak Pidana Narkotika, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005.


(4)

Marzuki, Mahmud Peter, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2006.

Merto, Kusumo Sudikno, Metode Penemuan Hukum, Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, Jogyakarta: UU Press, 2007.

________, dan Pittlo, A, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993.

Muhammad, Rusli, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.

Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Alumni, 1992.

________, dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1998.

Mulyadi Lilik, Hukum Acara Pida Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya, Bandung: Alumni, 2007.

Prodjohamidjojo, Martiman, Putusan Pengadilan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983. Reinhart, Anton, Masalah Hukum (Dari Katologi Sampai Kwitansi), Jakarta: Aksara

Persada, 1985.

Saleh, Roeslan, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta: Aksara Baru, 1978.

Sasongko, Hari, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana untuk Mahasiswa dan Praktisi serta Penyuluh Masalah Narkoba, Bandung: Mandar Maju, 2003.

Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track Sistem dan Implementasinya, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

Soedjono, Kejahatan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Jakarta: Reneka Cipta, 1995.

Soedarjo, Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana, Jakarta: Akademi Pressindo, 1985. Soekanto Soerjono, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada, 2004.


(5)

_________, Kegunaan Sosiologi Hukum bagi Kalangan Hukum, Jakarta: Alumni, 1981.

Soeroso, R, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2001.

Sunarso, Siswanto, Penegakan Hukum Psikotropika, dalam Kajian Sosiologi Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998.

Supramono, Gatot, Hukum Narkoba Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2004.

Sutiyoso, Bambang, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, Yogyakarta: 2007.

Tongat, Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2001.

B. MAKALAH, DIKTAT DAN MAJALAH

Manan, Bagir, Mahkamah Agung dalam Era Reformasi, Makalah disampaikan pada Seminar Prospek Mahkamah Agung di Universitas Hasanuddin Tahun 2001. Nasution, Bismar dan Mahmud Siregar, Bahan Kuliah Teori Hukum, Program Studi

Ilmu Hukum SpS-USU, 2007.

Sunarmi, Bahan Ajar Penemuan Hukum, Kelas Khusus Departemen Hukum dan HAM, SPs USU, Medan, 2008.

Syahrin, Alvi, Bahan Ajar Penemuan Hukum, Program Studi Magister Ilmu Hukum SPs USU, Medan, 2007.

Majalah Tempo Edisi 19-25 Nopember 2007. Majalah Tempo Edisi 7-13 Juli 2008.


(6)

C. PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.