Tinjauan Psikologi Kriminal Penyimpangan Perilaku Seksual Terhadap Tindak Pidana Mutilasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Depok Nomor 1036/PID.B/2009/PN.DEPOK)

(1)

TINJAUAN PSIKOLOGI KRIMINAL PENYIMPANGAN PERILAKU SEKSUAL TERHADAP TINDAK PIDANA MUTILASI

( STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI DEPOK NO : 1036/PID.B/2009/PN.DEPOK )

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

MUHAMMAD YUSUF SIHITE 060200163

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

TINJAUAN PSIKOLOGI KRIMINAL PENYIMPANGAN PERILAKU SEKSUAL TERHADAP TINDAK PIDANA MUTILASI

(STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI DEPOK NOMOR 1036/PID.B/2009/PN.DEPOK)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

MUHAMMAD YUSUF SIHITE 060200163

Disetujui Oleh :

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Chainur Arrasjid,SH

NIP. 131778652 NIP. 131657239 Liza Erwina,SH.M.Hum

Diketahui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

NIP. 131842854 Abul Khair,SH.M.Hum


(3)

Kata Pengantar

Puja dan Puji syukur hendaknya kita panjatkan setiap saat dalam hidup kita kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala sang Rabbul Izzati yang senantiasa mencurahkan rahmat dan hidayahnya kepada ummat manusia di muka bumi ini.

Shalawat beriring salam seraya terhaturkan ke haribaan Nabi besar tauladan setiap insan Muhammad Sallahu Alaihi Wassalam, oleh karena atas bimbingannya lah maka kita dapat berada pada zaman terang benderang dan penuh khasanah keilmuan yang memperkaya eksistensi manusia sebagai khalifah di muka bumi.

Ucapan Alhamdullilah senantiasa mengiringi aktifitas penulis dalam menyelesaikan tugas akhir skripsi yang di beri judul “Tinjauan Psikologi Kriminal Penyimpangan Perilaku Seksual Terhadap Tindak Pidana Mutilasi (Studi Kasus Pengadilan Negeri Depok nomor 1036/Pid.B/2009/PN. Depok).

Masalah psikologi merupakan masalah yang sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari oleh karena memilki keterkaitan erat dalam aktifitas manusia. Ilmu psikologi kriminal sebagai ilmu terapan berusaha untuk mempelajari dan mengidentifikasikan setiap bentuk factor-faktor pendorong dalam jiwa individu untuk melakukan kejahatan sehingga dapat dicarikan suatu mekanisme pemecahan masalah berupa solusi dalam rangka mengurangi tingkat atau laju angka kriminalitas dalam masyarakat.

Persoalan tindak pidana mutilasi yang kian marak sebagai modus kejahatan merupakan bahan kajian psikologi kriminal dalam mengidentifikasikan


(4)

permasalahan tersebut, sehingga aspek hukum positif di Indonesia dapat berjalan sebagaimana mestinya guna mencari kebenaran materil dari suatu delik atau kasus tertentu.

Dalam skripsi ini, penulis berusaha mendeskripsikan mengenai adanya hubungan antara penyimpangan perilaku seksual dengan terjadinya tindak pidana mutilasi yang berpijak dari sebuah studi kasus dengan dilandasi suatu tinjauan berdasarkan ranah keilmuan psikologi kriminal yang dikaitkan dengan ketentuan hukum positif di Indonesia.

Dalam penulisan ini, penulis hendak mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada para pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun penulisan skripsi ini hingga selesai, yaitu :

a. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, semoga dalam kepemimpinan beliau Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dapat lebih unggul baik dalam segi kuantitas maupun kualitas sehingga visi USU sebagai

University For Industry dapat tercapai.

b. Bapak Abul Khair, SH.M.Hum, selaku Ketua Departeman Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Ibu Nurmalawati,SH.M.Hum, selaku sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera utara.

c. Bapak Prof. Chainur Arrasjid, SH, selaku dosen pembimbing I penulis yang telah banyak memberikan arahan, saran, petunjuk dan bimbingan dalam penyelesaian skripsi ini.


(5)

d. Ibu Liza Erwina,SH.M.Hum, selaku dosen pembimbing II penulis yang telah banyak memberikan arahan, saran, petunjuk dan bimbingan dalam penyelesaian skripsi ini.

e. Seluruh staf pengajar dan pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, terimakasih atas setiap bantuannya dan kerjasamanya selama ini.

f. Ayahanda, Muhammad Ali Sihite dan Ibunda, Rosnadewi Nasution, sujud ananda senantiasa kepada ayahanda dan ibunda yang senantiasa mendidik ananda sedari kecil hingga sekarang dan mengajari tentang pentingnya makna kehidupan. Sungguh bersyukur ananda mendapatkan orangtua yang begitu perhatian dan mencurahkan segenap kasih sayangnya dengan tulus ikhlas semoga Allah senantiasa melindungi ayahanda dan ibunda tercinta, ananda sadar begitu banyak dosa dan kesalahan ananda terhadap ayah dan ibu, semoga dari wisuda ananda ini dapat menjadi setitik kecil hadiah bagi ayahanda dan ibunda tercinta.

g. Kepada saudara-saudara penulis, Kartika Ilham Safitri Sihite, Nita Slavia Sihite, dan Arif Sanjaya Sihite, semoga kalian senantiasa menjadi kebanggaan orangtua, agama dan bangsa.

h. Team MCC (Moot court competition) FH USU untuk piala Abdul Kahar Muzakar III FH UII 2009, Tere, Gading, Witra, Maria, Inggrid, Wina, Jeffri, Rahmat, Anov, Heru, Brando, Satra, Boin, Kukuh, Randy, Ifa.


(6)

i. Team Debat Konstitusi Mahkamah Konstitusi 2009, Anov, Witra dan Wina, atas kebersamaan kita dalam memperjuangkan prestasi gemilang bagi almamater kita.

j. Mahasiswa Grup C FH USU yang tidak mungkin di sebut satu persatu, terimakasih untuk persahabatan kita semoga ini tidak akan berakhir k. Untuk sahabat sekaligus saudariku Anggi dan Beby, hidupku lebih

berwarna bersama kalian, walaupun bertemu di saat akhir perkuliahan semoga bukan akhir dari persahabatan kita melainkan sebuah awal persaudaraan kita kedepannya.

l. Presidium HMI Komisariat FH USU Periode 2009-2010 baik sebelum maupun sesudah ressufle, semoga makna proses dapat kita dapatkan sebagai buah dari perjalanan kepengurusan kita, juga kepada Bidang PA HMI Komisariat FH USU Periode 2009-2010, (panca dan andha), terimakasih penulis ucapakan atas kerjasamanya selama ini.

m. Adinda Akbar, Dippo, Maya, Avry, Alief, Tika, Frans, Taufik, Hendrawan.

Semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak terutama dalam menambah khasanah keilmuan.

Medan, Februari 2009


(7)

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan

Kata pengantar i

Daftar isi v

Abstraksi viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Perumusan Masalah 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 7

D. Keaslian Penulisan 8

E. Tinjauan Kepustakaan 9

1. Pengertian Ilmu Psikologi 9

2. Pengertian Ilmu Psikologi Kriminal 12 3. Pengertian Penyimpangan Perilaku Seksual 14

4. Pengertian Mutilasi 18

F. Metode Penulisan 22

G. Sistematika Penulisan 24

BAB II TINJAUAN PERILAKU SEKSUAL MENYIMPANG

DALAM SUDUT PANDANG PSIKOLOGI KRIMINAL


(8)

B. Teori Psikologi Kriminal Terhadap Kejahatan 32 C. Ragam Bentuk Penyimpangan Perilaku Seksual 37 D. Tinjauan Psikologi Kriminal Perilaku Homoseksual 42

BAB III TINJAUAN PSIKOLOGI KRIMINAL TERHADAP TINDAK PIDANA MUTILASI

A. Tinjauan Hukum Pidana Terkait Mutilasi Sebagai Kejahatan

Terhadap Jiwa Dan Tubuh 48

B. Kaitan Penyimpangan Perilaku Homoseksual Dengan Tindak

Pidana Mutilasi 55

C. Kajian Psikologi Kriminal Terhadap Aspek Kejiwaan Pelaku

Tindak Pidana Mutilasi 63

BAB IV PERANAN PSIKOLOGI KRIMINAL DALAM PROSES

PEMBUKTIAN PERKARA TINDAK PIDANA MUTILASI DI MUKA PENGADILAN

A. Kaitan Teori Dan Tujuan Pemidanaan Terhadap Kejahatan

Mutilasi 70

B. Kaitan Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Kondisi Kejiwaan Pelaku Tindak Pidana Mutilasi 80

C. Pembuktian Tindak Pidana Mutilasi di Muka Pengadilan Dalam Segi Psikologis Terdakwa Dan Segi Alat Bukti 89


(9)

1. Kronologis Kasus Dan Analisa Surat Dakwaan 98

2. Analisa Nota Keberatan Terdakwa 107

3. Analisa Proses Pembuktian di Persidangan 111 4. Analisa Surat Tuntutan Penuntut Umum 124

5. Analisa Nota Pembelaan Terdakwa 130

6. Analisa Putusan dan Kaitan Terhadap Pemidanaan 135

7. Analisa Psikologi Kriminal 143

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan 149

B. Saran 152


(10)

Abstraksi

Oleh :

Prof. Chainur Arrasjid,SH1 Liza Erwina,SH.M.Hum2 Muhammad Yusuf Sihite3

1

Dosen Pembimbing I

2

Dosen Pembimbing II

3

Mahasiswa Fakultas Hukum USU Departemen Hukum Pidana

Kejahatan mutilasi merupakan suatu jenis tindak pidana yang digolongkan ke dalam bentuk kejahatan yang tergolong sadis (rare crime) oleh karena objek kejahatan tersebut adalah manusia baik dalam kondisi hidup maupun telah meninggal. Intensitas tindak pidana mutilasi mengalami peningkatan baik dalam bentuk latar belakang, motif maupun bentuk, yang keseluruhannya bertujuan untuk menghilangkan jejak pelaku terhadap terjadinya suatu peristiwa pidana pembunuhan.

Maraknya ragam bentuk kejahatan mutilasi, mendorong suatu penelitian intensif terhadap kondisi objektif dari latar belakang psikologis pelaku. Berdasarkan pemahaman yang di peroleh dari ilmu psikologi perkembangan, mengenai penjahat dan kejahatan dipengaruhi oleh adanya gangguan terhadap

structure personality dari pelaku kejahatan selama proses perkembangan kejiwaan

individu. Motif lain yang turut mengambil andil atau bagian penting yaitu permasalahan sosial yang terjadi di dalam masyarakat dalam bentuk adanya suatu kesenjangan sosial yang begitu jauh.

Faktor-faktor psikologi sangat erat kaitannya dengan bagaimana cara untuk mengidentifikasikan suatu jenis kejahatan dari segi psikologis pelaku, hal ini dilakukan dalam rangka usaha baik dalam bentuk tindakan atau refresif terhadap pelaku baik dalam bentuk pemidanaan maupun usaha untuk memperbaiki kondisi psikologi pelaku yang tergolong disasosiatif, maupun dalam bentuk preventif yaitu berupa pencegahan terhadap meluasnya suatu bentuk kejahatan dalam masyarakat.

Penulisan skripsi yang di beri judul Tinjauan Psikologi Kriminal Penyimpangan Perilaku Seksual Terhadap Tindak Pidana Mutilasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Depok Nomor. 1036/Pid.B/2009/PN.Depok), di susun dengan menggunakan metode komperatif antara metode studi pustaka atau library research dengan metode penelitian lapangan atau observasi terhadap kasus yang menjadi obbjek permasalahan. Permasalahan yang ada di analisa baik dari segi psikologi, psikologi kriminal maupun segi ketentuan hukum materil berupa koridor pidana positif, untuk kemudian memperoleh kesimpulan mengenai adanya hubungan antara penyimpangan perilaku seksual dengan terjadinya tindak pidana mutilasi pada kasus dengan terdakwa very idham henyansyah.


(11)

Abstraksi

Oleh :

Prof. Chainur Arrasjid,SH1 Liza Erwina,SH.M.Hum2 Muhammad Yusuf Sihite3

1

Dosen Pembimbing I

2

Dosen Pembimbing II

3

Mahasiswa Fakultas Hukum USU Departemen Hukum Pidana

Kejahatan mutilasi merupakan suatu jenis tindak pidana yang digolongkan ke dalam bentuk kejahatan yang tergolong sadis (rare crime) oleh karena objek kejahatan tersebut adalah manusia baik dalam kondisi hidup maupun telah meninggal. Intensitas tindak pidana mutilasi mengalami peningkatan baik dalam bentuk latar belakang, motif maupun bentuk, yang keseluruhannya bertujuan untuk menghilangkan jejak pelaku terhadap terjadinya suatu peristiwa pidana pembunuhan.

Maraknya ragam bentuk kejahatan mutilasi, mendorong suatu penelitian intensif terhadap kondisi objektif dari latar belakang psikologis pelaku. Berdasarkan pemahaman yang di peroleh dari ilmu psikologi perkembangan, mengenai penjahat dan kejahatan dipengaruhi oleh adanya gangguan terhadap

structure personality dari pelaku kejahatan selama proses perkembangan kejiwaan

individu. Motif lain yang turut mengambil andil atau bagian penting yaitu permasalahan sosial yang terjadi di dalam masyarakat dalam bentuk adanya suatu kesenjangan sosial yang begitu jauh.

Faktor-faktor psikologi sangat erat kaitannya dengan bagaimana cara untuk mengidentifikasikan suatu jenis kejahatan dari segi psikologis pelaku, hal ini dilakukan dalam rangka usaha baik dalam bentuk tindakan atau refresif terhadap pelaku baik dalam bentuk pemidanaan maupun usaha untuk memperbaiki kondisi psikologi pelaku yang tergolong disasosiatif, maupun dalam bentuk preventif yaitu berupa pencegahan terhadap meluasnya suatu bentuk kejahatan dalam masyarakat.

Penulisan skripsi yang di beri judul Tinjauan Psikologi Kriminal Penyimpangan Perilaku Seksual Terhadap Tindak Pidana Mutilasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Depok Nomor. 1036/Pid.B/2009/PN.Depok), di susun dengan menggunakan metode komperatif antara metode studi pustaka atau library research dengan metode penelitian lapangan atau observasi terhadap kasus yang menjadi obbjek permasalahan. Permasalahan yang ada di analisa baik dari segi psikologi, psikologi kriminal maupun segi ketentuan hukum materil berupa koridor pidana positif, untuk kemudian memperoleh kesimpulan mengenai adanya hubungan antara penyimpangan perilaku seksual dengan terjadinya tindak pidana mutilasi pada kasus dengan terdakwa very idham henyansyah.


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Terdapat tiga tradisi besar orientasi teori psikologi dalam menjelaskan dan memprediksi perilaku manusia. Pertama, perilaku disebabkan dari alam

(deternimistik). Kedua, faktor disebabkan oleh pengaruh lingkungan atau proses

belajar. Ketiga, faktor disebabkan interaksi manusia dan lingkungan. Berdasarkan teori-teori psikologi tersebut dapat dilihat bahwa dalam proses perkembangan kehidupan manusia di pengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berkaitan satu sama lain menjadi suatu sintesa yang membentuk karakter watak secara psikologis tiap-tiap individu.4

Teori yang berorientasi lingkungan dalam psikologi lebih banyak dikaji oleh behavioristik, perilaku terbentuk karena adanya pengaruh umpan balik

Teori-teori yang berorientasi deternimistik lebih banyak digunkan untuk menjelaskan fenomena kognisi lingkungan, dalam hal ini teori yang di pergunakan adalah teori Gestalt. Menurut teori Gestalt, proses persepsi dan kognisi manusia lebih penting daripada mempelajari perilaku tampaknya (overtbehaviour). Dari teori ini dapat dilihat bahwa aspek pandangan dan kemampuan individu dalam proses pembelajaran afektif, kognitif dan psikomotorik sangat berperan dalam membentuk karakter individu, dalam proses perkembangannya sebagai individu dalam masyarakat.

4

Kim Patricia, Introducional Psychology Science (Boston : South Carolina University, 2004) hlm. 14


(13)

sehingga dalam hal ini dapat diambil pemahaman bahwa karakter manusia terbentuk karena adanya kontak antara pengaruh positif dan negatif.

Kedua orientasi tersebut bertentangan dalam menjelaskan perilaku manusia. Orientasi ketiga merupakan sintesa terhadap teori pertama dan kedua. Premis dasar dari teori ini menyatakan bahwa perilaku manusia selain disebabkan faktor lingkungan juga disebabkan faktor internal. Artinya manusia dapat dipengaruhi oleh lingkungan dan lingkungan juga dapat dipengaruhi manusia.

Psikologi kriminal merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari psikologi (kondisi perilaku atau kejiwaan) si penjahat serta semua atau yang berhubungan baik langsung maupun tak langsung dengan perbuatan yang dilakukan dan keseluruhan-keseluruaan akibatnya.berdasarkan pengertian tersebut maka dapat di tarik pemahaman bahwa ilmu psikologi kriminal merupakan suatu metode yang di pergunakan guna mengidentifikasi penyebab terjadinya kejahatan yang diakibatkan oleh kelainan perilaku atau faktor kejiwaan si pelaku tindak pidana.

Psikologi kriminal dalam hal ini juga mempelajari tingkah laku individu itu khususnya dan juga mengapa muncul tingkah laku asosial maupun bersifat kriminal. Tingkah laku individu atau manusia yang asosial itu ataupun yang bersifat kriminal tidaklah dapat dipisahkan dari manusia lain, karena manusia yang satu dengan lainnya adalah merupakan suatu jaringan dan mempunyai dasar yang sama.

Menurut ahli-ahli ilmu jiwa dalam bahwa kejahatan merupakan salah satu tingkah laku manusia yang melanggar hukum ditentukan oleh instansi yang


(14)

terdapat pada diri manusia itu sendiri. Hal ini tidak lain disebabkan bahwa tingkah laku manusia yang sadar tidak mungkin dapat dipahami tanpa mempelajari kehidupan bawah sadar dan tidak sadar yang berpengaruh kepada kesadaran manusia.

Oleh karena itu para ahli ilmu jiwa dalam ini mencoba untuk menganalisa tingkah laku manusia umumnya dengan cara membahas unsur-unsur intern dari hidup pada jiwa manusia itu, hal ini lah yang dinamakan dengan structure of

personality.

Dalam penulisan skripsi ini juga ditelusuri mengenai keterkaitan antara kejahatan mutilasi dengan penyimpangan seksual yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan psikologis. Faktor lingkungan yaitu faktor dari luar diri pelaku (faktor ekstern) dimana pelaku berasal dari lingkungan pergaulan yang yang terdiri atas orang-orang yang memiliki kelainan seksual. Faktor psikologis yang berasal dari dalam jiwa atau keadaan pelaku (faktor intern). Misalnya yang diakibatkan perlakuan penyimpangan seksual yang pernah dialami oleh individu di masa lalu.

Menurut Sigmun Freud, mengenai gejala-gejala seksual dalam diri individu terdapat dua fase yaitu :5

a. Pan Seksualitas, yaitu dorongan seksual adalah satu-satunya dorongan

dasar dalam individu yang bersifat primair. Dorongan ini sangat kuat, sehingga kemungkinan kita tidak dapat menguasainya, sehingga dapat mengakibatkan kehilangan keseimbangan. Dorongan seksual ini sudah

5


(15)

ada sejak masa kanak-kanak, suatu catatan bahwa pengertian seksual disini bukanlah berarti hanya alat-alat kelamin (genital) saja, tetapi ia terpencar pada seluruh daerah jasmaniah manusia itu yang disebut daerah erogeen (eros)

b. Libido vitalitas, hal ini berkaitan erat dengan dorongan untuk

melakukan pemenuhan terhadap kebutuhan seksual secara individu. Dari berbagai bentuk penyimpangan perilaku seksual, psikologi kriminal berusaha mengkaji dan menghubungkannya terhadap adanya faktor-faktor penyebab atau yang melatarbelakangi terjadinya suatu kejahatan atau tindak pidana tertentu.

Kejahatan merupakan suatu istilah yang tidak asing lagi dalam kehidupan bermasyarakat, pada dasarnya istilah kejahatan itu diberikan kepada suatu jenis perbuatan atau tingkah laku manusia tertentu yang dapat dinilai sebagai perbuatan jahat. Perbuatan atau tingkah laku yang yang dinilai serta mendapat reaksi yang yang bersifat tidak disukai oleh masyarakat itu, merupakan suatu tindakan yang tidak dibenarkan untuk muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat begitu juga dengan kejahatan mutilasi.

Tindak pidana mutilasi (human cutting body) merupakan tindak pidana yang tergolong kejahatan terhadap tubuh dalam bentuk pemotongan bagian-bagian tubuh tertentu dari korban. Apabila ditinjau dari segi gramatikal, kata mutilasi itu sendiri berarti pemisahan, penghilangan, pemutusan, pemotongan bagian tubuh tertentu. Dalam hal lain mutilasi itu sendiri diperkenankan dalam


(16)

etika dunia kedokteran yang dinamakan dengan istilah amputasi yaitu, pemotongan bagian tubuh tertentu dalam hal kepentingan medis.

Berdasarkan tinjauan sejarah, mutilasi merupakan sebuah budaya yang pada dasarnya telah terjadi selama ratusan tahun bahkan ribuan tahun, banyak suku-suku di dunia yang telah melakukan budaya mutilasi diamana perbuatan tersebut merupakan suatu identitas mereka terhadap dunia, seperti suku aborigin, suku-suku brazil, amerika, meksiko, peru dan suku conibos. Pada umumnya mutilasi ini dilakukan terhadap kaum perempuan dimana tujuannya adalah untuk menjaga keperawanan mereka, yang sering disebut dengan female genital

mutilation (FGM), merupakan prosedur termasuk pengangkatan sebagian atau

seluruh bagian dari organ genital perempuan yang paling sensitif.

Pada kenyataannya, belakangan ini mutilasi tidak hanya digunakan dalam suatu kebudayaan dimana terdapat unsur-unsur dan nilai-nilai estetika dan nilai filosofis, tetapi mutilasi sudah termasuk kedalam suatu modus operandi kejahatan dimana para pelaku kejahatan menggunakan metode ini dengan tujuan untuk mengelabui para petugas, menyamarkan identitas korban sehingga sulit untuk dicari petunjuk mengenai identitas korban, serta meghilangkan jejak dari para korban seperti memotong bagian-bagian tubuh korban menjadi beberapa bagian, seperti kepala, tubuh dan bagian-bagian lain tubuh, yang kemudian bagian-bagian tubuh tersebut dibuang secara terpisah.

Maraknya modus mutilasi ini digunakan oleh para pelaku kejahatan terjadi karena berbagai faktor di samping untuk menghilangkan jejak, baik itu karena kondisi psikis dari seseorang dimana terjadi ganguan terhadap kejiwaan dari


(17)

seseorang sehingga dapat melakukan tindakan yang dapat digolongkan sebagai tindakan yang tidak manusiawi tersebut, karena faktor dari sosial, karena faktor ekonomi, atau karena keadaan rumah tangga dari pelaku.

Tindak pidana mutilasi yang menjadi bahan kajian dalam skripsi ini adalah mengenai putusan pengadilan negeri depok nomor register perkara 224/Pid.B/2009/PN.Depok dengan terdakwa Very Idham Henyansyah alias Ryan, melatar belakangi penulis untuk membahas lebih jauh mengenai motif tindak pidana mutilasi dari segi penyimpangan perilaku seksual apakah antara satu sama lain memiliki keterkaitan yang erat, dan bagaimana tinjauan psikologi kriminal dalam meneliti aspek-aspek kejiwaan pelaku serta faktor-faktor lain yang mempengaruhi pelaku, serta bagaimana peranan pemeriksaan psikologis sebagai pembuktian unsur bersalah sehingga hakim dapat menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa.

B. Perumusan Masalah

Perlunya identifikasi terhadap permasalahan yang hendak diangkat menjadi sebuah bahan kajian topik merupakan hal terpenting dalam menyusun suatu karya ilmiah dalam bentuk apapun guna mempermudah bagi penulis untuk menganilisis suatu isu hukum yang hendak dikembangkan, Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

a. Bagaimanakah kedudukan ilmu psikologi dan psikologi kriminal terhadap bentuk perilaku seksual menyimpang ?


(18)

b. Bagaimanakah tinjauan psikologi kriminal terhadap tindak pidana mutilasi ?

c. Bagaimanakah peranan psikologi kriminal dalam proses pembuktian perkara tindak pidana mutilasi di muka pengadilan ?

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan

Di dalam penulisan skripsi ini terdapat beberapa tujuan yang menjadi landasan bagi penulis dalam mengidentifikasi dan menganilisis rumusan masalah yang ada, adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

a. Guna mengetahui sudut pandang kajian ilmu psikologi dan psikologi kriminal terhadap bentuk-bentuk perilaku seksual menyimpang, dan bagaimana kedudukan kedua cabang keilmuan tersebut dalam aplikatif atau penerapan dalam masyarakat.

b. Mengetahui kedudukan ilmu psikologi kriminal sebagai ilmu terapan dalam meneliti dan mempelajari aspek-aspek kejiwaan yang mendorong seseorang untuk melakukan tindak pidana yang tergolong kategori kejahatan terhadap tubuh seperti tindak pidana mutilasi atau

(human cutting body).

c. Mengetahui peranan ilmu psikologi kriminal dalam mempelajari kondisi karakteristik kejiwaan pelaku tindak pidana mutilasi sebagai alat bukti yang memiliki kedudukan kuat yang dapat dijadikan


(19)

pedoman pembuktian guna mencari kebenaran materil di muka pengadilan.

Penulisan ini dapat bermanfaat secara teoritis dan praktis, secara praktis penulisan ini bermanfaat bagi :

a. Masyarakat secara umum guna memberikan pemahaman secara jauh terhadap tindak pidana mutilasi dan dampaknya secara meluas dalam bentuk pengaruhnya sehingga masyarakat dapat melakukan upaya pencegahan refresif terhadap tindak pidana tersebut.

b. Aparat penegak hukum dan pemerintah, yang bertujuan untuk menegakkan sendi-sendi hukum pidana dalam mencari kebenaran materil dari peristiwa pidana mutilasi tersebut.

Secara teoritis penulisan ini diharapkan bermanfaat bagi pakar hukum, psikolog, dan civitas akademika serta para ilmuwan lainnya dalam memberikan sumbangsih literatur dan referensi berkaitan dengan tindak pidana mutilasi.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi yang diberi judul “Tinjauan Psikologi Kriminal Penyimpangan Perilaku Seksual Terhadap Tindak Pidana Mutilasi (studi kasus putusan pengadilan negeri Depok No: 224/Pid.B/2009/PN. Depok)” ini merupakan penulisan asli yang belum pernah terdapat dalam berbagai literatur manapun. Dalam penulisan skripsi ini didasarkan kepada penalaahan berbagai referensi dan riset lapangan terhadap objek yang menjadi topik permasalahan


(20)

yang memiliki keterkaitan dengan penulisan skripsi secara sistematis menjadi rujukan bahan dalam penulisan.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Ilmu Psikologi

Menurut asal katanya, psikologi berasal dari bahasa yunani kuno yaitu dari kata-kata:6

a. psyche, yang berarti Jiwa ; dan

b. logos (ology), yang berarti Ilmu Pengetahuan

Jadi secara etimologis, psikologi berarti ilmu jiwa yaitu ilmu yang mempelajari tentang jiwa baik mengenai macam-macam gejalanya, prosesnya maupun latar belakangnya.

Namun ada beberapa ahli yang kurang sependapat bahwa pengertian psikologi itu benar-benar sama dengan ilmu jiwa, walaupun ditinjau dari arti kata kedua istilah itu sama. perbedaannya terletak pada7

a. Ilmu jiwa :

:

- Merupakan istilah bahasa Indonesia sehari-hari dan dikenal setiap orang ;

- Meliputi segala pemikiran, pengetahuan, tanggapan, khayalan dan spekulasi mengenai jiwa ;

6

Chainur Arrasjid, Pengantar Psikologi Kriminal, (Medan : Yani Corporation,1988), hlm. 1

7

Djoko Prakoso, Peranan Psikologi Dalam Pemeriksaan Tersangka Pada Tahapan Penyidikan, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983 ), hlm. 113-114


(21)

- Istilah lmu jiwa menunjukkan kepada ilmu jiwa pada umumnya ; b. Psikologi :

- Merupakan istilah ilmu pengetahuan atau scientific yang dipakai untuk menunjukkan kepada pengetahuan ilmu jiwa yang bercorak ilmiah ;

- Meliputi ilmu pengetahuan mengenai jiwa yang diperoleh secara sistematis dengan metode-metode ilmiah yang memenuhi syarat-syaratnya seperti yang dimufakati sarjana-sarjana psikologi pada zaman sekarang ini ;

- Istilah psikologi menunjukkan ilmu jiwa yang ilmiah menurut norma-norma ilmiah modern.

Secara umum psikologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia atau ilmu yang mempelajari gejala-gejala jiwa manusia. Namun jelas bahwa yang disebut dengan ilmu jiwa belum tentu termasuk psikologi. Akan tetapi, setiap berbicara tentang psikologi termasuk dalam ilmu jiwa. Dengan demikian terdapat perbedaan jelas mengenai ilmu psikologi dan ilmu jiwa termasuk dalam lingkup objek penelitian dari masing-masing bidang keilmuan tersebut.

Psikologi merupakan suatu jenis ilmu pengetahuan yang menjadi pertanyaan mengenai kedudukan, dan peranannya jika dibandingkan dengan psikiatri, beberapa pakar mengemukakan definisi tentang psikologi itu sebagai berikut :8

8


(22)

a. Woodworth

Psikologi adalah penasihat profesional dengan menggunakan peralatan ilmiah, member tes dan Konseling pada individu dalam berbagai area penyesuaian diri atau adjustment pada persoalan yang penting

b. Americal Psycological Association clinical section

Psikologi adalah penentuan kapasistas dan karakteristik tingkah laku individu dengan menggunakan metode-metode pengukuran assessment, analisa dan observasi dalam membantu penyesuaian diri individu secara tepat

Banyak orang yang mengartikan psikologi dalam berbagai pengertian, Psikologi itu sendiri mengandung pengertian yang berbeda-beda sesuai dengan perkembangan dari ilmu itu sendiri, pengertian psikologi menurut para ahli adalah sebagaimana dikemukakan sebagai berikut :

a. TH. F.Hoult9

Psikologi adalah suatu disiplin yang secara sistematis mempelajari perkembangan dan berfungsinya factor-faktor mental dan emosional dari jiwa manusia

b. Robert J. Wicks10

Psikologi adalah suatu ilmu tentang perikelakuan c. Edwin G. Boring dan Herbert S Langelfeld11

9

Soerjono Soekanto, Beberapa Catatan Tentang Psikologi Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1989), hlm. 13

10

Soerjono Soekanto, Ibid, hlm. 14

11


(23)

Psikologi adalah studi tentang hakikat manusia d. Clifford T Morgan12

“Psycology is the science of human and animal behavior” . artinya adalah ilmu yang mempelajari tentang tingkah laku manusia dan hewan.

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, disusunlah suatu definisi atau pengertian umum oleh Sarlito Wirawan Sarwono yang merupakan rangkuman dari beberapa pengertian, yaitu:13

2. Pengertian Psikologi Kriminal

“Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan lingkungannya”.

Terdapat empat alur penelitian psikologis yang berbeda telah menguji hubungan antara kepribadian dengan kejahatan. Pertama, melihat kepada perbedaan-perbedaan antara struktur kepribadian dari penjahat dan bukan penjahat. Kedua, memprediksi tingkah laku. Ketiga, menguji tingkatan dimana dinamika-dinamika kepribadian normal beroperasi dalam diri penjahat, dan keempat, mencoba menghitung perbedaan-perbedaan individual antara tipe-tipe dan kelompok-kelompok pelaku kejahatan.14

Psikologi kriminal merupakan cabang ilmu psikologi terapan yang dipergunakan untuk mengidentifikasi suatu hubungan kausalitas antara kondisi

12

Morgan,King,Robinson, Introduction To Psycology, Sixth Edition (New York : Mcgrows Hill Book Company Inc, 1979)

13

George Boeree, Personality Theori, (Jakarta : Prismha Sophie,2008), hlm. 4

14


(24)

karakteristik dan deternimistik jiwa pelaku tindak pidana terhadap sebab-sebab terjadinya kejahatan. Mengenai definisi dari Psikologi Kriminal itu sendiri, para sarjana memberikan pendapatnya sebagai berikut :

a. Sigmund Freud15

Psikologi kriminal dengan menggunakan teori psikoanalisa menghubungkan antara delinquent (kejahatan) dan perilaku kriminal dengan suatu conscience (hati nurani) yang baik dia begitu menguasai sehingga menimbulkan perasaan bersalah atau ia begitu lemah sehingga tidak dapat mengontrol dorongan-dorongan individu

b. W.A Bonger16

Sehubungan dengan psikologi kriminal, memiliki definisi yang meliputi dalam arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti sempit meliputi pelajaran jiwa si penjahat secara perorangan. Dalam arti luas, meliputi arti sempit serta jiwa penjahat pengolongan, terlibatnya seseorang atau golongan baik langsung maupun tidak langsung serta akibat-akibatnya.

c. Lundin,R.W17

Theories and system of criminal psychology, yaitu melihat pada proses

bawah sadar dari jiwa individu terhadap adanya probablitas individu melakukan kejahatan.

Walaupun para sarjana diatas adalah dari kalangan psikiatri (merupakan bagian ilmu kedokteran), tetapi mereka membuka jalan terhadap pemikiran

15

Topo Santoso,dkk. Ibid, hlm. 51

16

Chainur Arrasjid, Log.Cit, hlm. 2

17


(25)

psikologi kriminal, demi untuk mendapatkan kebenaran dan keadilan dalam rangka menegakkan hak-hak asasi manusia.18

3. Pengertian Penyimpangan Perilaku Seksual

Secara tradisional, psikologi cenderung mengabaikan masyarakat yang mengalami penyimpangan perilaku seksual semisal lesbian dan gay atau menganggap mereka sebagai orang abnormal. Bahkan, sampai tahun 1974,

diagnostic and statistical manual of mental disorder (sistem untuk menjelaskan

dan mendiagnosa gangguan mental) memasukkan penyimpangan seksual sebagai gangguan mental. 19

British psychological society membuka bagian gay dan lesbian pada tahun

1999 dengan tujuan untuk memperbaiki pemahaman psikologi masyarakat dan menggunakan psikologi untuk meningkatkan kehidupan masyarakat. Pada tataran praktis, ahli psikologi juga bisa memberikan sumbangan dalam menjelaskan dan Meskipun demikian, banyak penelitian telah diteruskan seputar penjelasan mengapa ada orang tertentu mengalami kondisi penyimpangan perilaku seksual. Keadaan ini tetap mengidentifikasikan bahwa penyimpangan perilaku seksual masih perlu diperjelas alasannya secara kebetulan, istilah “penyimpangan perilaku seksual” itu sendiri problematis, diasosiasikan dengan stereotip negatif dan gagasan bahwa individu yang mengalami penyimpangan perilaku seksual sudah menjadi istilah internasional untuk studi psikologi yang membicarakan permasalahan penyimpangan orientasi seksual.

18

Chainur Arrasjid, Ibid, hlm. 4

19


(26)

mengatasi permasalahan penyimpangan perilaku seksual sampai permasalahan kecenderungan untuk bereaksi negatif terhadap individu yang mengalami penyimpangan perilaku seksual.

Sebelum sampai kedalam tahapan definisi Penyimpangan perilaku seksual itu sendiri, terlebih dahulu dikemukakan mengenai indentifikasi yang bersifat komperatif antara kondisi jiwa normal dan kondisi jiwa yang dikategorikan abnormal dimana penyimpangan perilaku seksual termasuk kedalam kategori abnormal. Adapun mengenai kondisi kejiwaan normal dapat didefinisikan sebagai berikut :

a. Winkel20

Sehat atau normal adalah suatu keadaan berupa kesejahteraan fisik, mental, dan social secara penuh dan bukan semata-mata berupa absennya atau keadaan lemah tertentu ;

b. Karl Menninger21

Kesehatan mental adalah penyesuaian manusia terhadap dunia dan satu sama lain dengan keefektifan dan kebahagiaan yang maksimum. Ia bukan hanya berupa efisiensi atau hanya perasaan puas atau keluwesan dalam mematuhi aturan permainan dengan riang hati. Kesehatan mental mencakup itu semua. Kesehatan mental meliputi kemampuan menahan diri, menunjukkan kecerdesan, berprilaku dengan menenggang perasaan orang lain dan sikap hidup yang bahagia ;

20

Tristiadi Ardhi Ardani,dkk. Log.Cit, hlm. 16

21

Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-Teori Psikologi Sosial (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002),hlm.56


(27)

c. H.B. English 22

Kesehatan Mental adalah keadaan yang relatif tetap dimana sang pribadi menunjukkan penyesuaian atau mengalami aktualisasi diri atau realisasi diri. Kesehatan mental merupakan keadaan Positif bukan sekedar absennya gangguan mental ;

d. W. W.Boehm23

Kesehatan mental meliputi suatu keadaan dan taraf keterlibatan sosial yang diterima oleh orang lain dan memberikan kepuasan bagi orang yang bersangkutan.

Sebaliknya, ada beberapa kriteria baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dapat dipakai atau untuk menentukan atau mengukur kategori abnormalitas kejiwaan individu yaitu sebagai berikut :24

a. Penyimpangan dari norma-norma statistik

Kriteria ini berkaitan dengan sifat kepribadian tertentu seperti agresif, dimana makin jauh dari nilai rata-rata baik kearah kiri maupun kanan kita temukan orang-orang dengan tingkat agresifitas ekstrim yang saling berkonotasi negarif.

b. Penyimpangan dari norma-norma sosial

Menurut kriteria ini, abnormal diartikan sebagai non konformitas yaitu sifat yang tidak patuh atau sejalan dengan norma sosial. Inilah yang disebut relativisme budaya bahwa apa saja yang umum atau lazim

22

Tristiadi Ardhi Ardani, Op.Cit, hlm. 42

23

George Boerry, Log.Cit, hlm. 37

24


(28)

adalah normal, sedangkan perbuatan yang tidak sesuai dikategorikan sebagai penyimpangan.

c. Gejala salah suai (maladjusment)

Abnormalitas dipandang sebagai ketidakefektifan individu dalam menghadapi, menanggapi, menangani, atau laksanakan tuntutan-tuntutan dari lingkungan fisik dan sosialnya maupun yang bersumber dari kebutuhannya sendiri.

d. Tekanan Batin

Abnormalitas dipandang sebagai perasaan-perasaan cemas, depresi, atau sedih atau bahkan perasaan bersalah.

e. Ketidakmatangan

Seseorang dikatakan abnormal bila perilakunya tidak sesuai dengan tingkat usianya, tidak selaras dengan situasinya.

Berdasarkan pengertian secara dikotomis terhadap kondisi kejiwaan individu tersebut maka diperoleh pemahaman atau kesimpulan berkaitan dengan pengertian penyimpangan perilaku seksual sebagaimana dikemukakan oleh Anna Freud adalah sebagai berikut, penyimpangan seksual adalah aktivitas seksual yang ditempuh seseorang untuk mendapatkan kenikmatan seksual dengan tidak sewajarnya. Biasanya, cara yang digunakan oleh orang tersebut adalah menggunakan obyek seks yang tidak wajar. Penyebab terjadinya kelainan ini bersifat psikologis atau kejiwaan, seperti pengalaman sewaktu kecil, dari lingkungan pergaulan, dan faktor genetik.”25

25


(29)

Berdasarkan definisi tersebut maka dapat diketahui mengenai keterkaitan atau hubungan kausalitas antara kondisi kejiwaan dengan pengalaman secara psikologis yang mengakibatkan berubahnya orientasi seksual seseorang.

4. Pengertian Mutilasi

Dalam membahas mengenai terminologi kata atau istilah mutilasi hal ini memiliki pengertian atau penafsiran makna dengan kata amputasi sebagaimana yang sering dipergunakan dalam istilah medis kedokteran. Menurut beberapa sarjana peristilahan kata mutilasi dapat diartikan dalam terminologi sebagai berikut :

a. Zax Specter26

Mutilasi adalah aksi yang menyebabkan satu atau beberapa bagian tubuh manusia tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya

b. Ruth Winfred27

Mutilasi atau amputasi atau disebut juga dengan flagelasi adalah pembedahan dengan membuang bagian tubuh

c. Definisi Black Law Dictionary28

memberikan definisi mengenai mutilasi atau (mutilation) sebagai “the

act of cutting off maliciously a person’s body, esp. to impair or destroy the vistim’s capacity for self-defense

26

Gilin Grosth, Pengantar Ilmu Bedah Anestesi, (Yogyakarta : Prima Aksara,2004), hlm. 73

27

Supardi Ramlan, Patofisiologi Umum, (Bandung : Rineka Cipta, 1998), hlm. 35

28


(30)

Berdasarkan beberapa definisi diatas maka dapat dipahami bahwa mutilasi atau amputasi adalah suatu keadaan, kegiatan yang secara sengaja memisahkan, memotong, membedah atau membuang satu atau beberapa bagian dari tubuh yang menyebabkan berkurang atau tidak berfungsinya organ tubuh.

Definisi terhadap mutilasi atau amputasi itu sendiri memiliki perbedaan dengan kategori tindak pidana mutilasi, selain dikarenakan kepentingan medis terhadap keselamatan jiwa individu juga terdapat beberapa ciri atau karakteristik mendasar yang membedakannya dengan tindak pidana mutilasi yaitu adanya indikasi bedah amputasi berupa :29

a. Iskemia karena penyakit rekularisasi perifer, biasanya pada orang tua seperti orang yang terkena artheroklerosis dan diabetes mellitus

b. Trauma amputasi, bisa diakibatkan karena perang, kecelakaan, thermal injury seperti terbakar, tumor, infeksi, gangguan metabolisme seperti

pagets disease dan kelainan congenital.

Disamping itu didalam bedah mutilasi itu sendiri memperguanakan metode secara tersistematis sehingga berbeda dengan tindak pidana mutilasi, yaitu sebagai berikut :30

a. Metode terbuka (guillotine amputasi)

Metode ini digunakan pada klien dengan infeksi yang mengembang. Bentuknya benar-benar terbuka dan dipasang drainage agar luka bersih, dan luka dapat ditutup setelah tidak terinfeksi

b. Metode tertutup (flap amputasi)

29

Supardi Ramlan, Op.Cit, hlm. 41

30


(31)

Pada metode ini, kulit tepi ditarik pada atas ujung tulang dan dijahit pada daerah yang diamputasi.

Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat ditarik suatu pemahaman jelas mengenai definisi mutilasi dalam kepentingan medis.

Dalam sejarah peradaban manusia, sebenarnya terdapat tindakan mutilasi yang secara budaya dapat diterima atau dibenarkan. Atas dasar ini mutilasi tidak hanya terbatas pada tindakan memotong-motong tubuh manusia yang satu oleh manusia yang lain, tetapi juga mencakup tindakan yang menyebabkan luka tubuh, dan biasanya tidak menyebabkan kematian.31

Uraian terdahulu menggambarkan bahwa mutilasi memiliki beberapa dimensi, seperti dimensi perencanaan (direncanakan-tidak direncanakan), dimensi pelaku (individu-kolektif), dan dimensi ritual atau inisiasi, serta dimensi kesehatan atau medis. Dengan demikian, perbuatan memutilasi tidak dapat dipukul rata sebagai tindakan kriminal yang dapat dikenakan sanksi pidana. Dari

Mutilasi dalam perspektif budaya telah diketengahkan terdahulu, yakni berkenaan dengan memutilasi baik anak laki-laki dalam hal memotong kaki dan tangan maupun anak perempuan membakar payudara kanan di kalangan suku Amazon. Selain ini terdapat praktik FGM (female genital mutilation) di Afrika Barat. Di Indonesia sebenarnya terdapat juga praktik mutilasi, yakni memenggal kepala orang atau kepala musuh pada saat terjadi perang di kalangan suku dayak dengan tujuan untuk mengambil kekuatan dari korban (mengayau), dan menunjukkan eksistensi dewasa pada masyarakat.

31


(32)

berbagai macam jenis mutilasi, secara umum setidaknya tindak pidana mutilasi dibagi menjadi dua bagian yaitu :32

a. Mutilasi defensif (defensive mutilation), atau disebut juga sebagai pemotongan atau pemisahan anggota badan dengan tujuan untuk menghilangkan jejak setelah pembunuhan terjadi. Motif rasional dari pelaku adalah untuk menghilangkan tubuh korban sebagai barang bukti atau untuk menghalangi diidentifikasikannya potongan tubuh korban. b. Mutilasi ofensif (offensive mutilation), adalah suatu tindakan irasional

yang dilakukan dalam keadaan mengamuk, “frenzied state of mind”. Mutilasi kadang dilakukan sebelum membunuh korban.

Untuk dapat mengkategorikan mutilasi sebagai tindak pidana dipergunakan kategori bahwa sebuah tindakan haruslah memenuhi beberapa persyaratan, yaitu tindakan telah tersebut didalam ketentuan hukum sebagai tindakan yang terlarang baik secara formil atau materil. pembagian tindakan yang terlarang secara formil atau materil ini sebenarnya mengikut i KUHP sebagai buku induk dari semua ketentuan hukum pidana nasional yang belaku. KUHP membedakan tindak pidana dalam dua bentuk, kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). sebuah tindakan dapat disebut sebagai kejahatan jika memang didapatkan unsur jahat dan tercela seperti yang di tentukan dalam undang-undang.

Sampai saat ini belum ada satu pun ketentuan hukum pidana yang mengatur tindak pidana mutilasi ini secara jelas dan tegas. namun tidak berarti

32


(33)

pelaku dapat dengan bebas melakukan perbuatannnya tanpa ada hukuman. tindak mutilasi pada hakekatnya merupakan tindakan yang sadis dengan maksud untuk menghilangkan jiwa, meniadakan identitas korban atau penyiksaan terhadapnya. oleh karena itu sangatlah jelas dan benar jika tindak mutilasi ini dikelompokan sebagai tindak pidana bentuk kejahatan.

Mengenai ketentuan hukum pidana yang mengatur, KUHP sebenarnya memberikan pengaturan yang bersifat dasar, misalnya mutilasi sebagai salah satu bentuk penganiayaan, penganiayaan berat atau tindak pembunuhan. Hanya saja memang sangat diakui dalam kasus yang terjadi, sangatlah jarang pelaku melakukan mutilasi bermotifkan penganiayaan. tindakan mutilasi seringkali terjadi sebagai rangkaian tindakan lanjutan dari tindakan pembunuhan dengan tujuan agar bukti mayat tidak diketahui identitasnya.

F. Metode Penulisan

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum yaitu dengan pengumpulan data yang berkaitan dengan permasalahan yang kemudian mengadakan analisa terhadap masalah yang dihadapi tersebut.

1. Lokasi penelitian

Penelitian dilakukan di Pengadilan Negeri Depok, Lembaga Pemasyarakatan Pondok Rajeg, dan yayasan konsultasi dan bimbingan psikologi (YACOBI) jakarta.


(34)

Penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif-empiris,33

a. Bahan hukum primer. Berupa hasil wawancara dengan psikolog pada yayasan dan konsultasi dan bimbingan psikologi (YACOBI) jakarta dan wawancara dengan terdakwa Very idham henyansyah pada lembaga pemasyarakatan Pondok Rajeg.

dalam penelitian empiris dilakukan untuk memperoleh data primer, yaitu dengan melakukan wawancara dengan psikolog pada yayasan konsultasi dan bimbingan psikologi (YACOBI) jakarta dan wawancara terhadap terdakwa Very idham henyansyah, sedangkan penelitian hukum normatif, dilakukan melalui kajian terhadap peraturan perundang-undangan, putusan perkara pidana register 1036/Pid.B/2009/PN.Depok, dan bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan skripsi.

Data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :

b. Bahan hukum sekunder, bahan hukum yang menunjang bahan hukum primer seperti putusan perkara Pengadilan Negeri Depok register 1036/Pid.B/2009/PN.Depok.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti buku dan kamus.

3. Teknik pengumpulan data

a. Library research (studi kepustakaan) yaitu mempelajari dan

menganalisa secara sistematika buku-buku, peraturan

33


(35)

undangan, putusan perkara register 1036/Pid.B/2009/PN.Depok dan sumber lainnya yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.

b. Field research (studi lapangan) yaitu penelitian yang dilakukan secara

langsung ke lapangan, perolehan data ini dilakukan dengan cara wawancara langsung kepada psikolog pada yayasan konsultasi dan bimbingan psikologi (YACOBI) jakarta, dan wawancara langsung terhadap terdakwa Very idham henyansyah di Lembaga Pemasyarakatan Pondok Rajeg Bogor.

4. Analisis data

Analisa data dalam penulisan ini di gunakan data kualitatif, yaitu suatu analisis data secara jelas serta diuraikan dalam bentuk kalimat sehingga diperoleh gambaran yang jelas yang berhubungan dengan skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi yang diberi judul “Tinjauan psikologi kriminal penyimpangan perilaku seksual terhadap tindak pidana mutilasi (studi kasus putusan pengadilan negeri depok nomor : 1036/Pid.B/2009/PN.Depok), dibagi kedalam lima bagian bab yang diderifasikan menjadi sub bab, adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut :

Bab I: Pendahuluan

Terdiri dari tujuh sub bab yang mana memuat hal-hal umum mengenai latar belakang penulisan yaitu apa yang menjadi dasar bagi penulisan


(36)

skripsi ini, didalamnya juga mengidentifikasikan rumusan masalah yang menjadi sudut pandang atau kajian yang hendak dibahas secara tersistematis yang diarahkan pada tujuan dan manfaat dari penulisan. Pada bab satu juga dibahas mengenai tinjauan kepustakaan yang secara garis besar menjadi landasan terminologi dan yuridis dalam melakukan penulisan dengan menggunakan metode observasi yang dikomperasikan dengan metode telaah pustaka (library research) guna menganalisis data kuantitatif dan kualitatif sehingga dapat dijadikan bahan referensi penulisan.

Bab II: Perilaku Seksual Menyimpang Dalam Sudut Pandang Psikologi Kriminal Terdiri dari empat sub bab yang meliputi penelaahan teori psikologi dan teori psikologi kriminal terhadap kondisi kejiwaan individu. Dalam bab ini juga dibahas mengenai ragam atau jenis-jensi perilaku seksual yang dikategorikan menyimpang serta bagaimana ilmu psikologi kriminal memandangnya.

Bab III: Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Tindak Pidana Mutilasi

Terdiri dari tiga sub bab dimana secara sistematis terdapat pengkalsifikasian bentuk kejahatan terhadap tubuh, kaitan penyimpangan perilaku seksual terhadap tindak pidana mutilasi serta bagaimana kajian psikologi kriminal terhadap aspek kejiwaan pelaku tindak pidana mutilasi. Bab IV: Peranan Psikologi Kriminal Dalam Proses Pembuktian Tindak Pidana


(37)

Terdiri dari empat sub bab yang berkaitan dengan kedudukan ilmu psikologi kriminal itu sendiri dalam merumuskan suatu pembuktian terhadap unsur sifat jahat (mens rea) yang terdapat dalam diri pelaku tindak pidana mutilasi, juga bagaimana hubungan teori pemidanaan dan pertanggungjawaban pidana berkaitan dengan kondisi pemeriksaan kejiwaan pelaku tindak pidana mutilasi beserta analisa kasus terhadap putusan pengadilan negeri Depok nomor : 1036/Pid.B/2009/PN.Depok dengan terdakwa Very Idham Henyansyah.

Bab V: Penutup

Terdiri dari 2 (dua) sub bab yang merupakan kesimpulan atau intisari dari penulisan skripsi ini beserta rekomendasi saran.


(38)

BAB II

TINJAUAN PERILAKU SEKSUAL MENYIMPANG DALAM SUDUT PANDANG PSIKOLOGI KRIMINAL

A. Teori Psikologi Terhadap Karakter Kejiwaan Individu

Sebagaimana ilmu-ilmu yang lain, psikologi bertujuan untuk mengerti suatu gejala atau fenomena. Untuk itu, psikologi memerlukan teori. Dalam menyusun teori diperlukan data atau fakta dari pengalaman, namun tidak semua data dapat digunakan untuk penyusunan teori, melainkan hanya data yang memenuhi syarat yang diperoleh dari suatu eksperimen atau dengan kata lain dari suatu pengamatan dalam suatu situasi dimana faktor-faktor yang berpengaruh dikendalikan oleh peneliti.

Definisi dari teori itu sendiri adalah, serangkaian hipotesis atau proposisi yang saling berhubungan tentang suatu gejala atau sejumlah gejala.34 Definisi ini menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan teori. Dalam ilmu psikologi dikenal adanya dua bagian besar teori mengenai kejiwaan yaitu :35

a. Teori Molar, yaitu teori tentang individu sebagai keseluruhan, misalnya teori tentang tingkah laku individu dalam proses kelompok; b. Teori Molekular, yaitu teori tentang fungsi-fungsi syaraf dalam tubuh

suatu organisme.

Berkaitan dengan dua aliran besar teori dalam ilmu psikologi tersebut, memerlukan penderivasian teori oleh karena itu para sarjana psikologi menyusun

34

Sarlito Wirawan Sarwono, Log.Cit, hlm. 5

35


(39)

berbagai teori pendukung dengan objek kajian kejiwaan individu, yaitu sebagai berikut :36

a. Stimulus Response Theory;

Teori ini mendasarkan pada pernyataan bahwa tingkah laku manusia berkembang berdasarkan rangsang dan tingkah laku balas yaitu konsep-konsep dasar untuk menerangkan gejala tingkah laku yang dapat diukur dan didefinisikan secara nyata

b. Teori Belajar Sosial dan Tiruan;

Menurut teori ini perkembangan kondisi jiwa individu dipengaruhi oleh empat prinsip dalam belajar yaitu, dorongan (drive), isyarat (cue), tingkah laku balas (response), dan ganjaran (reward), yang mana saling memiliki hubungan kausalitas

c. Teori Proses Pengganti;

Menyatakan bahwa tingkah laku manusia yang bersifat tiruan merupakan suatu bentuk asosiasi suatu rangsang dengan rangsang lainnya, yang memperkuat tingkah laku balas tetapi bukan syarat yang penting dalam proses belajar individu, sehingga dikategorikan sebagai proses pengganti.

Berdasarkan teori-teori diatas maka dapat dipahami bahwa perkembangan jiwa individu dipengaruhi oleh faktor interaksi belajar secara sosial dari lingkungan sekitarnya dimana efek internal individu memiliki kecenderungan untuk mengalami perubahan.

36

Daryl Beum, Reinforcement Theory of Psychology, (Jakarta : Prima Cipta Jaya, 1998), hlm. 20


(40)

Selanjutnya beberapa proses psikologi diterangkan oleh beberapa teori-teori yang mendasari tahapan perkembangan kejiwaan individu dalam suatu kelompok masyarakat, sebagai berikut : 37

a. Teori Kognitif, umumnya menyatakan bahwa perkembangan jiwa individu dipengaruhi oleh persepsi yang merupakan refresentasi fenomenal tentang objek distal sebagai hasil pengorganisasian objek

distal itu sendiri;

b. Teori Disonansi Kognitif, menyatkan bahwa dalam perkembangan jiwa individu dimungkinkan terjadi hubungan yang tidak koheren yang menimbulkan kejanggalan yang mendorong perubahan tingkah laku individu.

Dalam perkembangan kondisi kejiwaan manusia melalui dua proses belajar, yaitu proses belajar secara fisik dan belajar secara psikis, dimana seseorang mempelajari perannya dan peran orang lain dalam kontak sosial. Selanjutnya, individu tersebut akan menyesuaikan tingkah lakunya sesuai dengan peran sosial yang dipelajarinya itu. Perkembangan kejiwaan individu erat dengan adanya proses tingkah laku tiruan (imitation) melaui tiga mekanisme yaitu :38

a. Tingkah laku sama

Terjadi apabila dua orang bertingkah laku balas sama terhadap isyarat yang sama sehingga tidak ditemukan suatu faktor pembeda yang menjadi ciri khas di antara keduanya;

b. Tingkah laku tergantung

37

Daryl Beum, Ibid, hlm. 27

38


(41)

Tingkah laku tergantung timbul dalam hubungan antara dua pihak diamana salah satu pihak memilki kelebihan dari pihak yang satu c. Tingkah laku salinan

Tingkah laku salinan dipengaruhi oleh ganjaran dan hukuman terhadap kuat atau lemahnya tingkah laku tiruan

Dalam proses peniruan tingkah laku terdapat hubungan timbal balik antara satu pihak yang berfungsi sebagai superior atau yang menjadi model percontohan dan satu pihak sebagai inferior yang melakukan proses imitasi.

Menurut Erik Erikson di dalam bukunya childhood and society, menjelaskan tahapan perkembangan karakter kejiwaan setiap individu berdasarkan prinsip epigenetik yang menyatakan bahwa kepribadian kita berkembang melalui delapan tahap. Satu tahap ditentukan oleh keberhasilan atau ketidakberhasilan tahap sebelumnya. Setiap tahapan memiliki tugas-tugas perkembangan sendiri-sendiri yang pada hakikatnya bersifat psikososial, yang berpengaruh terhadap individu dan masyarakat.39

Selanjutnya mengenai fase-fase perkembangan jiwa manusia oleh Alfred Adler dengan memperluas pendapat Erik Erikson dibagi kedalam delapan tahapan yaitu:40

a. Tahap pertama oral sensory stage, terjadi pada usia nol sampai dengan satu tahun. Tugas yang harus dijalani pada tahap ini adalah mengembangkan kepercayaan tanpa harus menekan kemampuan untuk tidak dipercaya;

39

George Boeroee, Log.Cit, hlm. 74

40


(42)

b. Tahap kedua anal muscular stage, masa balita yang berlangsung mulai dari usia delapan belas bulan sampai usia tiga atau empat tahun, tugas yang harus diselesaikan pada tahap ini adalah kemandirian sekaligus memperkecil perasaan malu dan ragu-ragu;

c. Tahap ketiga genital locomotor stage, disebut juga tahap bermain, berlangsung antara usia tiga sampai dengan enam tahun, pada tahap ini seorang individu belajar mempunyai gagasan tanpa banyak melakukan kesalahan;

d. Tahap keempat latency stage, yang terjadi pada usia sekolah dasar antara umur enam sampai dengan dua belas tahun, kondisi jiwa pada masa ini adalah individu berusaha mengembangkan kemampuan kerja keras dan menghindari perasaan rendah diri;

e. Tahap kelima teenagers stage, yang dimulai pada saat masa puber dan berakhir pada usia delapan belas tahun, kondisi jiwa individu pada tahap ini adalah adanya pencapaian identitas pribadi (ego identity) dan menghindari peran ganda (role confusion);

f. Tahap keenam young adulthood, yaitu usia antara delapan belas sampai tiga puluh tahun. Usia di tahap dewasa ini lebih cair dibandingkan tahap kanak-kanak, dan setiap orang berbeda satu sama lain. Kondisi kejiwaan pada tahap ini adalah adanya kedekatan dengan orang lain (intimacy);

g. Tahap ketujuh middle adulthood, dalam tahap ini tercakup periode dimana individu terlibat langsung dengan kehadiran anak-anak.


(43)

Kondisi jiwa dalam tahap ini adalah adanya pemikiran mengabdikan diri untuk keseimbangan antara sifat melahirkan sesuatu (generativity) dengan tidak berbuat apa-apa (stagnation);

h. Tahap kedelapan late adulthood, berkisar pada usia diatas enam puluh tahun, kondisi pada tahap terakhir ini adalah adanya integritas ego dan berupaya menghilangkan putus asa dan kekecewaan;

Setiap tahapan harus dilalui sebagaimana mestinya guna memperoleh daya tahan psikososial dalam kehidupan interaksi sosial didalam masyarakat guna menghindari keterhambatan perkembangan jiwa (malignansi) yang bersifat negatif.

Menurut psikologi perkembangan, bahwa selama masa kehidupan manusia mengalami tiga kali gelombang masa kehidupan, yaitu :41

a. Masa Progresif

Adalah masa pertumbuhan dan perkembangan yang sebenarnya baik fisik maupun phisikis. Secara fisik maksudnya adalah sejak kelahiran manusia hingga menjadi manusia yang beranjak dewasa. Begitu juga psikisnya atau hidup kejiwaanya berkembang dari fungsi yang paling sederhana mengarah ke fungsi yang paling kompleks yang menggambarkan tingkat kematangan individu;

b. Masa stabil

Disebut sebagai masa stabil adalah karena pada masa ini tidak terdapat perubahan-perubahan yang besar baik secara fisik maupun phsikis,

41


(44)

oleh karena masa ini merupakan masa pengukuhan fungsi-fungsi yang sudah dimilikinya pada masa sebelumnya;

c. Masa Regresif

Merupakan masa dimana individu mengalami kemunduran baik berupa fisik maupun phsikis;

Berdasarkan penjelasan teori psikologi perkembangan tersebut, dapat dilihat pola-pola psikodinamika yang memiliki ciri atau karakteristik yang berbeda antara satu dengan lainnya oleh karena tingkat perkembangan kehidupan manusia yang senantiasa berkembang setiap saat dalam mencapai kematangan sosial.

Proses perkembangan kepribadian dan kejiwaan dari diri seorang individu merupakan salah satu syarat mutlak untuk menunjukkan eksistensinya dalam masyarakat, sebagaimana makhluk sosial baik secara internal maupun secara eksternal.

B. Teori Psikologi Kriminal Terhadap Kejahatan

Menurut ahli-ahli ilmu jiwa dalam bahwa kejahatan merupakan salah satu tingkah laku manusia yang melanggar hukum di tentukan oleh instansi-instansi yang terdapat pada diri manusia itu sendiri. Maksudnya tingkah laku manusia pada dasarnya di sadari oleh basic needs yang menentukan aktivitas manusia itu.42

Dalam mengidentifikasi permasalahan mengenai adanya kecenderungan individu untuk berprilaku kriminal adalah dengan menggunakan teori-teori psikologi yang berpangkal pada pendekatan transorientasional mencakup proses

42


(45)

penilaian sosial (social judgement), proses pemberian sifat (atribution), proses kelompok (group process) serta teori peran.43

a. Teori perbandingan sosial

Adapun mengenai teori-teori tersebut adalah sebagai berikut :

44

Pada dasarnya teori ini berpendapat bahwa proses saling mempengaruhi dan Perilaku saling bersaing dalam interaksi sosial ditimbulkan oleh adanya kebutuhan untuk menilai diri sendiri (self

evaluation) dan kebutuhan ini dapat dipenuhi dengan membandingkan

diri dengan orang lain; b. Teori inferensi45

Teori ini pada dasarnya mencoba untuk menerangkan kesimpulan pengamatan terhadap perilaku tertentu dari orang lain atau niat (jahat) dari orang lain tersebut;

Berdasarkan penelaahan kedua teori diatas diketahui bahwa pemahaman akan orientasi permasalahan psikologi kriminal adalah terhadap terjadinya persaingan dalam proses interaksi sosial dimana dilakukan dengan pengamatan yang diorientasikan terhadap adanya identifikasi unsur sikap jahat atau mens rea dari individu.

Tinjauan psikologi dalam dapat dikategorikan sebagai pisau analisis dalam memahami tingkah laku individu yang memilki kerentanan untuk berprilaku jahat,

43

Sarlito Wirawan Sarwono, Log.Cit, hal 169

44

Festinger, Comparative Social Phsychology Theorie, (Jakarta : Gramedia, 2001), hlm. 170

45


(46)

berdasarkan hal tersebut Sigmund Freud mengungkapkan teori mengenai

structure personality sebagai berikut :46

a. Das Es atau Id, merupakan sumber gejala sesuatu yang terlupa dan

unsur-unsur kejiwaan yang dibawa bersama lahir adalah merupakan kekuatan-kekuatan hidup seperti nafsu, dan instink yang terlupa.

b. Das Ich atau Ego, merupakan pusat seluruh perawakan jiwa dan

khususnya inti daripada alam sadar.

c. Das uber ich atau superego, merupakan instansi puncak jika

dibandingkan dengan instansi yang lain (das es dan das ich), segala norma-norma dan tata kehidupan yang pernah mempengaruhi das ich membekas dan berada pada das uber ich

Ketiga unsur personality diatas meruapakan unsur yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lain.

Setelah mempelajari mengenai unsur personality diatas diketahui bahwa seseorang yang melakukan perilaku terlarang karena hati nurani, atau superego begitu lemah atau tidak sempurna sehingga ego nya (yang berperan sebagai suatu penengah antara superego dan id) tidak mampu mengontrol dorongan-dorongan dari id (bagian dari kepribadian yang mengandung keinginan dan dorongan yang kuat untuk dipuaskan dan dipenuhi).

Berkaitan dengan studi mengapa individu memiliki kecenderungan untuk berprilaku disasosiatif terhadap kondisi di lingkungannya dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang di identifikasikan sebagai perbuatan jahat, para tokoh

46


(47)

psikologi mempertimbangkan suatu variasi dan kemungkinan cacat dalam kesadaran, ketidak matangan emosi, sosialisasi yang tidak memadai di masa kecil, kehilangan hubungan dengan lingkungan, perkembangan moral yang lemah.47

Kejahatan memiliki keterkaitan dengan kondisi individu penjahat, terdapat teori-teori yang mengemukakan variabel mengapa individu berperilaku jahat yaitu sebagai berikut :

Para sarjana psikologi tersebut mengkaji bagaimana agresi di pelajari, situasi apa yang mendorong kekerasan atau reaksi delinquent, bagaimana kejahatan berhubungan dengan faktor-faktor kepribadian, serta asosiasi antara beberapa kerusakan mental dan kejahatan.

48

a. Teori psikis, berdasarkan teori ini dijelaskan bahwa sebab-sebab kejahatan dihubungkan dengan kondisi kejiwaan seseorang

b. Teori psikopati, berbeda dengan teori-teori yang menekankan pada intelegensia ataupun kekuatan mental pelaku, teori psikopati mencari sebab-sebab kejahatan dari kondisi jiwa yang abnormal. Seorang penjahat di sini terkadang tidak memilki kesadaran atas kejahatan yang telah diperbuatnya sebagai akibat gangguan jiwanya.

c. Teori kejahatan sebagai gangguan kepribadian digunakan untuk menjelaskan perilaku yang dikategorikan sebagai crime without victim (kejahatan tanpa korban)

Sementara itu berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh ajaran klasik yang didasarkan pada orientasi hedonistic psychology, menurut ajaran ini manusia

47

Topo Santoso,dkk, Log.Cit, hlm. 36

48


(48)

mengatur tingkah lakunya atas dasar pertimbangan suka dan duka. Suka yang diperoleh dari tindakan tertentu dibandingkan dengan duka yang diperoleh dari tindakan yang sama. Si petindak diperkirakan berkehendak bebas dan menentukan pilihannya berdasarkan perhitungan hedonistis saja. Hal ini dianggap penjelasan final dan komplit dari sebab musabab terjadinya perbuatan menyimpang yang dikategorikan sebagai kejahatan.49

Berdasarkan alur penelitian psikologis yang berbeda telah menguji hubungan antara kepribadian dengan kejahatan. Pertama, melihat pada perbedaan-perbedaan antara struktur kepribadian (structure personality) dari penjahat dan bukan penjahat. Kedua, memprediksi tingkah laku. Ketiga, menguji tingkatan diamana dinamika-dinamika kepribadian moral beroperasi dalam diri penjahat dan keempat, mencoba menghitung perbedaan-perbedaan individual antara tipe-tipe dan kelompok-kelompok pelaku kejahatan.50

Pendekatan psychoanalitic masih tetap menonjol dalam menjelaskan baik fungsi normal maupun fungsi asosial, tiga prinsip dasar dari pendekatan ini menarik kalangan psikologis yang mempelajari kejahatan, yaitu tindakan dan tingkah laku orang dewasa dapat dipahami dengan melihat pada perkembangan masa anak-anak mereka, tingkah laku dan motif-motif bawah sadar adalah jalinan dan interaksi itu mesti diuraikan bila kita ingin mengerti kejahatan, kejahatan pada dasarnya merupakan representasi dari konflik psikologis dalam diri individu yang tidak dapat dikendalikan atau di kontrol.51

49

Topo Santoso, dkk, Ibid, hlm. 28

50

George Boeree, Log.Cit, hlm. 93

51


(49)

C. Ragam Bentuk Penyimpangan Perilaku Seksual

Manusia itu diciptakan Tuhan sebagai makhkluk sempurna, sehingga mampu mencintai dirinya (autoerotik), mencintai orang lain beda jenis

(heteroseksual) namun juga yang sejenis (homoseksual) bahkan dapat jatuh cinta

makhluk lain ataupun benda, sehingga kemungkinan terjadi perilaku menyimpang dalam perilaku seksual amat banyak.

Penyimpangan seksual adalah aktivitas seksual yang ditempuh seseorang untuk mendapatkan kenikmatan seksual dengan tidak sewajarnya. Biasanya, cara yang digunakan oleh orang tersebut adalah menggunakan obyek seks yang tidak wajar. Penyebab terjadinya kelainan ini bersifat psikologis atau kejiwaan, yang di peroleh dari pengalaman sewaktu kecil, maupun dari lingkungan pergaulan, dan faktor genetik.52

a. Homoseksual

Berdasarkan definisi dari penyimpangan perilaku seksual yang dikemukakan di atas maka dapat di identifikasikan bentuk-bentuk penyimpangan seksual yang dikategorikan tidak wajar yaitu sebagai berikut :

53

Homoseksual merupakan kelainan seksual berupa disorientasi pasangan seksualnya. Disebut gay bila penderitanya laki-laki dan lesbian untuk penderita perempuan. Pada kasus homoseksual, individu atau penderita yang mengalami disorientasi seksual tersebut mendapatkan kenikmatan fantasi seksual secara melalui pasangan sesama jenis.

52

Kelly Brook, Education Of Sexuality For Teenager, (North Carolina : Charm press, 2001), hlm. 89

53


(50)

Orientasi seksual ini dapat terjadi akibat bawaan genetik kromosom dalam tubuh atau akibat pengaruh lingkungan seperti trauma seksual yang didapatkan dalam proses perkembangan hidup individu, maupun dalam bentuk interaksi dengan kondisi lingkungan yang memungkinkan individu memiliki kecenderungan terhadapnya;

b. Sadomasokisme54

Sadisme seksual termasuk kelainan seksual. Dalam hal ini kepuasan

seksual dapat diperoleh bila mereka melakukan hubungan seksual dengan terlebih dahulu menyakiti atau menyiksa pasangannya. Sedangkan masokisme seksual merupakan kebalikan dari sadisme seksual. Seseorang dengan sengaja membiarkan dirinya disakiti atau disiksa untuk memperoleh kepuasan seksual, bentuk penyimpangan seksual ini umumnya terjadi karena adanya disfungsi kepuasan seksual;

c. Eksibisionishme55

Penderita ekshibisionisme akan memperoleh kepuasan seksualnya dengan memperlihatkan alat kelamin mereka kepada orang lain yang sesuai dengan kehendaknya. Bila korban terkejut, jijik dan menjerit ketakutan, ia akan semakin terangsang. Kondisi seperti ini biasanya diderita pria, dengan memperlihatkan alat kelaminnya yang dilanjutkan dengan masturbasi hingga ejakulasi, pada kasus penyimpangan seksual terdapat pula penderita tanpa rasa malu menunjukkan alat

54

Festinger, Log.Cit, hlm. 116

55


(51)

genitalnya kepada orang lain sekedar untuk menunjukkannya dengan rasa bangga;

d. Voyeurisme56

Istilah voyeurisme disebut juga (scoptophilia) berasal dari bahasa prancis yakni vayeur yang artinya mengintip. Penderita kelainan ini akan memperoleh kepuasan seksual dengan cara mengintip atau melihat orang lain yang sedang telanjang, mandi atau bahkan berhubungan seksual. Setelah melakukan kegiatan mengintipnya, penderita tidak melakukan tindakan lebih lanjut terhadap korban yang diintip. Pelaku hanya mengintip atau melihat, tidak lebih. Ejakuasinya dilakukan dengan cara bermasturbasi setelah atau selama mengintip atau melihat korbannya. Dengan kata lain, kegiatan mengintip atau melihat tadi merupakan rangsangan seksual bagi penderita untuk memperoleh kepuasan seksual;

e. Fetishisme57

Fatishi berarti sesuatu yang dipuja. Jadi pada penderita fetishisme,

aktivitas seksualnya disalurkan melalui bermasturbasi dengan BH (breast holder), celana dalam, kaos kaki, atau benda lain yang dapat meningkatkan hasrat atau dorongan seksual. Sehingga, orang tersebut mengalami ejakulasi dan mendapatkan kepuasan. Namun, ada juga penderita yang meminta pasangannya untuk mengenakan benda-benda favoritnya, kemudian melakukan hubungan seksual yang sebenarnya

56

Kelly Brook, Ibid, hlm. 103

57


(52)

dengan pasangannya tersebut dalam hal ini orientasi seksual diarahkan pada objek kebendaan di sekitar si penderita;

f. Pedophilia58

Yaitu kelainan seksual dimana individu yang telah dewasa memiliki orientasi pencapaian kepuasan seksual melalui cara hubungan fisik atau hubungan seks yang bersifat merangsang dengan anak-anak di bawah umur

g. Bestially59

Bestially adalah bentuk penyimpangan orientasi seksual individu dimana terdapat kejanggalan untuk mencapai kepuasan hubungan seksual dengan menggunakan hewan sebagai media penyalur dorongan atau rangsangan seksual. Pada kasus semacam ini penderita tidak memilki orientasi seksual terhadap manusia;

h. Incest60

Adalah hubungan seks dengan sesama anggota keluarga sendiri non suami istri seperti antara ayah dan anak perempuan, ibu dengan anak laki-laki, saudara laki-laki dengan saudara perempuan sekandung, kategori incest sendiri sebenarnya cukup luas, di beberapa kebudayaan tertentu hubungan seksual yang dilakukan antara paman dan keponakan atau sepupu atau bahkan galur seketurunan (family) dapat dikategorikan sebagai perbuatan incest;

58

Deena Joones, Talking About Sex, (Orlando press,1999), hlm. 47

59

Deena Joones, Ibid, hlm. 52

60


(53)

i. Necrophilia61

Bentuk kelainan seksual dimana individu penderita nechrophilia memiki orientasi kepuasan seksual melalui kontak fisik yang bersifat merangsang atau hubungan seksual dengan media partner jenasah atau orang yang telah wafat;

j. Sodomi62

Sodomi adalah penyimpangan seksual yang dialami oleh pria yang suka berhubungan seksual melalui organ anal atau dubur pasangan seksual baik pasangan sesama jenis (homo) maupun dengan pasangan perempuan;

k. Frotteurisme63

Yaitu suatu bentuk kelainan sexual di mana seorang individu laki-laki mendapatkan kepuasan seksual dengan cara menggesekkan atau menggosokkan alat kelaminnya ke tubuh perempuan di tempat publik atau umum;

l. Zoophilia64

Zoofilia adalah salah satu bentuk penyimpangan perilaku seksual dimana terdapat orang atau individu yang terangsang melihat hewan melakukan hubungan seks dengan hewan;

m. Geronthophilia65

61

Deena Joones, Ibid, hlm. 78

62

Jurnal Psikologi Perkembangan, (Jakarta : Yacobi,2004), hlm. 5

63

Ibid, hlm. 7

64


(54)

adalah suatu perilaku penyimpangan seksual dimana sang pelaku jatuh cinta dan mencari kepuasan seksual kepada orang yang sudah berusia lanjut kasus Gerontopilia mungkin jarang terdapat dalam masyarakat karena umumnya si penderita malu untuk berkonsultasi kepada pakar seksual, dan tidak jarang mereka adalah anggota masyarakat biasa yang juga memiliki keluarga serta dapat menjalankan tugas-tugas hidupnya secara normal;

Penyimpangan perilaku seksual pada dasarnya adalah terjadinya perbuatan disasosiatif dalam diri individu yang diakibatkan karena pengaruh internal maupun ekseternal luar lingkungan sekitar individu.

Berdasarkan pemaparan mengenai ragam bentuk perilaku seksual menyimpang tersebut, di dalam penulisan skripsi ini lebih disoroti pada penyimpangan seksual dalam konteks homoseksual antara pria dengan pria (gay). Dimana hal ini didasarkan pada adanya suatu bentuk penyimpangan secara trans seksual bukan dalam bentuk trans gender.

D. Tinjauan Psikologi Kriminal Terhadap Perilaku Homoseksualitas

Menurut Sigmund Freud, aparat-aparat psikis dapat digolongkan kedalam tiga golongan yaitu libido, struktur kejiwaan dan struktur kepribadian.66

65

Kelly Brook, Log.Cit, hlm. 119

66

Sarlito Wirawan Sarwono, Log.Cit, hlm. 122

Berkaitan dengan unsur seksual sangat dipengaruhi oleh adanya suatu energi vital yang dinamakan libido. Pengertian libido itu sendiri adalah energi vital yang sepenuhnya bersifat kejiwaan dan tidak bisa dicampurkan dengan energy-energi


(55)

fisik yang bersumber pada kebutuhan-kebutuhan biologis, libido bersumber pada seks.67

Freud mengemukakan bahwa manusia terlahir dengan sejumlah insting (naluri). Insting-insting itu dapat digolongkan dalam dua jenis, yaitu insting hidup (life instinct) dan insting mati (death instinct). Insting hidup adalah naluri untuk mempertahankan hidup dan keturunan, sedangkan insting mati adalah naluri yang menyatakan bahwa pada suatu saat seseorang itu akan mati. Mengenai insting hidup jelas dinyatakan sebagai insting seksual dan energi-energi yang berasal dari insting seksual inilah yang disebutnya sebagai libido atau dapat diartikan sebagai insting seksual.68

Insting-insting seksual mula-mula memang berkaitan erat dengan bagian-bagian tubuh tertentu, yaitu bagian-bagian-bagian-bagian tubuh yang dapat menimbulkan kepuasan seksual. Bagian-bagian tubuh itu disebut daerah-daerah erogen (erogenous zones), yaitu mulut, anus (pelepasan), dan alat kelamin. Namun, dengan berkembangnya sistem kejiwaan manusia, rasa puas atau ketegangan-ketegangan (tension) yang berasal dari daerah-daerah erogen ini lama-kelamaan terlepas dari kaitannya dengan tubuh dan menjadi dorongan-dorongan yang berdiri sendiri sendiri.69

67

Sarlito Wirawan Sarwono, Ibid, hlm. 123

68

Sarlito Wirawan Sarwono, Ibid, hlm. 125

69

Jurnal Psikologi, Op.Cit, hlm. 9

Sifat, kekuatan, dan cara penyaluran dari libido pada masa anak-anak sangat menentukan kehidupan kejiwaan dan kepribadian orang yang bersangkutan, oleh karena itu masa anak-anak dipandang sebagai masa kritis yang penting sekali artinya.


(56)

Dalam tahapan perkembangan psikoseksual individu sendiri dibagi ke dalam dua alur besar, dimana alur besar yang pertama disebut tingkat pragenital yang terdiri dari tingkat oral, anal dan falik. Sedangkan alur besar yang kedua terbagi kedalam tingkat laten dan tingkat genital. Selanjutnya akan dijelaskan sebagai berikut : 70

a. Tingkat Oral, pada tahapan ini berlangsung pada usia bayi satu hari hingga satu tahun. Dalam fase ini pusat kenikmatan bersumber pada daerah tubuh sekitar mulut;

b. Tingkat Anal, terjadi pada usia satu tahun hingga empat tahun, perkembangan psikoseksual pada masa ini dibagi menjadi dua tahap yaitu, tahap anal eksklusif, di mana anak mendapatkan kepuasan seksual dari proses buang air besar, sedangkan tahap selanjutnya disebut tahap anal alternatif di mana anak mendapatkan kepuasan seksual dengan menahan tinja dalam perut;

c. Tingkat Falik, terjadi pada usia empat sampai dengan enam tahun inti dari perkembangan psikoseksual pada masa ini adalah kompleks

oedipoes. Kompleks oedipoes berarti cinta seorang anak laki-laki

kepada ibunya atau cinta seorang anak perempuan kepada ayahnya. Disamping itu, tanda-tanda pada periode ini antara lain, meningkatnya kegiatan masturbasi, meningkatnya keinginan untuk bersentuhan tubuh dengan anggota keluarga yang berlawanan jenis, dan meningkatnya kecenderungan ekshibionis;

70


(57)

d. Tingkat laten, adalah masa konsolidasi dalam perkembangan psikoseksual. Tidak ada perkembangan atau pertumbuhan baru. Mekanisme-mekanisme pertahanan seksual yang suadah ada dimanfaatkan untuk penyesuaian diri terhadap lingkungan, tetapi tidak ada mekanisme-mekanisme baru yang dibentuk;

e. Tingkat genital, adalah penghubung antara masa anak-anak dan dewasa. Ada tiga tahapan pada tahap ini yaitu, tahap prapuber ditandai dengan meningkatnya kembali dorongan libido, tahap puber yaitu ditandai dengan pertumbuhan fisik, khususnya tanda-tanda seksual sekunder dan kemampuan organik (ereksi), selanjutnya adalah tahap adaptasi di mana remaja bersangkutan menyesuaikan diri terhadap dorongan-dorongan seksual dan perubahan-perubahan kondisi fisik yang tiba-tiba mengarah pada bentuk kematangan fisik ke arah tahap individu dewasa;

Disamping adanya faktor genetik yang menyebabkan terjadinya penyimpangan orientasi seksual, juga dapat terjadi pada fase perkembangan psikoseksual manusia yang memungkinkan terjadinya tindakan disasosiatif dalam perkembangannya seperi orientasi seksual dalam bentuk homoseksualitas gay atau

lesbian.71

Permasalahan homoseksualitas dikategorikan sebagai perilaku abnormal. Istilah ini di pakai dengan menunjuk kepada aspek batiniah kepribadian, aspek perilaku sepesifik tertentu yang bisa diamati. Secara terjemahan umum dapat

71

Matt Jarviss, Teori-Teori Psikologi Pendekatan Modern Untuk Memahami Perilaku, Perasaan Dan Pikiran Manusia, (Bandung : Nusa Media, 2009), hlm. 197


(58)

diartikan sebagai gangguan mental dan dalam konteks yang lebih luas sama artinya dengan perilaku maladatif.72

Keadaan homoseksualitas dapat didefinisikan pula sebagai adanya keinginan individu untuk berhubungan seksual dengan orang-orang yang sejenis saja.

73

Secara tradisional, psikologi cenderung mengabaikan permasalahan homoseksualitas gay dan lesbian atau menganggap orang dengan penyimpangan perilaku seksual itu sebagai orang abnormal.74

British psychlogical society, mempelajari permasalahan homoseksualitas

seperti gay dan lesbian dengan tujuan memperbaiki pemahaman psikologi masyarakat dan menggunakan psikologi untuk meningkatkan kehidupan kaum

gay dan lesbian.

Meskipun demikian, banyak penelitian telah diteruskan seputar penjelasan mengapa ada individu menjadi homoseksual, keadaan ini tetap mengidentifikasikan bahwa homoseksual masih perlu di perjelas alasannya. Secara kebutuhan, istilah homoseksual itu problematis diasosiasikan dengan stereotif negatif dan gagasan bahwa kaum gay dan lesbian sudah menjadi istilah internasional untuk studi psikologi yang membicarakan permasalahan gay dan lesbian.

75

72

Tristiadi Ardhi Wardani, Log. Cit, hlm. 21

73

Tristiadi ardhi Wardhani, Log. Cit, hlm. 22

74

Matt Jarvis, Ibid, hlm. 200

75

Matt Jarvis, Ibid, hlm. 202

Pada tataran praktis, ahli psikologi berusaha untuk menjelaskan dan mengatasi permasalahan homoseksualitas dengan cara mengatasi homophobia yaitu, kecenderungan untuk bereaksi negatif terhadap kaum gay dan lesbian.


(59)

Secara tersistematis psikologi memberikan perspektif terhadap penyebab mengapa individu diakibatkan faktor lingkungan mengalami kecenderungan untuk berprilaku seksual menyimpang sebagai berikut :76

a. Pengaruh lingkungan di sekitar individu menimbulkan situasi sosial yang sangat berpengaruh terhadap orientasi kejiwaan individu;

b. Pengalaman seksual menyimpang yang didapatkan oleh individu dalam masa pertumbuhannya, seperti penganiayaan skunder berupa pemerkosaan sejenis;

c. Pengaruh homophobia dalam bentuk interaksi dengan faktor-faktor yang berkaitan dengan lingkup homoseksualitas seperti dalam bentuk video porno homoseksual;

d. Kondisi kehidupan individu yang terpisah dari lawan jenis seksualnya; e. Kondisi genetik individu;

Psikologi gay dan lesbian sudah berjalan cukup lama sejak homoseksualitas masih dianggap sebagai gangguan mental. Salah satu alasan mengapa pergeseran ini terjadi karena psikologi lebih menekankan pada faktor-faktor sosial daripada faktor-faktor-faktor-faktor individual sehingga terbuka peluang untuk meneliti sebuah bidang tanpa memberikan stigma pada individu-individu terkait.

76

George Boeree, Persoanlity Theories Melacak Kepribadian, (Sleman : Prismashopie), hal 178


(60)

BAB III

TINJAUAN PSIKOLOGI KRIMINAL TERHADAP TINDAK PIDANA MUTILASI

A. Tinjauan Hukum Pidana Terkait Mutilasi Sebagai Kejahatan Terhadap Jiwa Dan Tubuh Manusia

Berbicara mengenai kejahatan, maka harus dibedakan terlebih dahulu mengenai kejahatan dalam arti yuridis (perbuatan yang termasuk tindak pidana) dan kejahatan dalam arti sosiologis (perbuatan yang patut di pidana). 77

Perbuatan yang termasuk tindak pidana adalah setiap tindakan dalam arti melanggar undang-undang dan perbuatan yang patut di pidana adalah perbuatan yang melanggar norma atau kesusilaan yang ada di dalam masyarakat tetapi tidak di atur dalam perundang-undangan.78

Kejahatan menurut hukum pidana adalah setiap tindakan yang dilakukan dengan melanggar rumusan kaidah hukum pidana, dalam arti memenuhi unsur-unsur delik, sehingga perbuatan tersebut dapat di hukum.79 Adapun unsur-unsur delik itu terdiri atas unsur subjektif dan unsur objektif, yang di maksud unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku, sedangkan unsur objektif merupakan unsur dari luar diri pelaku yang terdiri atas :80

a. Perbuatan manusia

77

Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2009), hlm. 86

78

Rena Yulia, Ibid, hlm. 86

79

Leden Marpaung, Asas Teori Dan Praktik Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika,2000), hlm. 9

80


(1)

pelaksanaan eksekusi mati juga perlu untuk dibenahi oleh karena pada umumnya sebelum penjatuhan pidana mati, terpidana terlebih dahulu menjalankan pidana penjara hal ini tentu saja merupakan penerapan dua stelsel pemidanaan sekaligus terhadap terdakwa yang tentunya bertentangan dengan prinsip keadilan bagi umum.

Demikian hal-hal yang dapat dipaparkan oleh penulis dalam menyikapi permasalahan mengenai maraknya motif tindak pidana mutilasi yang tergolong sebagai kejahatan sadis terhadap harkat dan martabat manusia (rare crime), sehingga dapat menambah pemahaman mengenai pentingnya suatu pola control hukum dalam rangka menciptakan kesadaran hukum dalam masyarakat.


(2)

Daftar Pustaka

Abdussalam, 2006, Forensik, Jakarta : Restu Agung. Buku-Buku

Abdussalam,dkk, 2007, Sistem Peradilan Pidana, Jakarta : Restu Agung. Ahmadi,Abu, 2003, Psikologi Umum, Jakarta : Rineka Cipta.

Ardhani, Triasti Ardhi, 2007, Psikologi Klinis, Yogyakarta : Graha Ilmu. Arifin, 1991, Teoritikal Kriminology, Jakarta : Ghalia Indah.

Arrasjid,Chainur, 1988, Psikologi Kriminil, Medan : Yani Corporation.

Asoshfa,Burhan, 2007, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Jakarta : Rineka Cipta.

Beum,Daryl, 1998, Reinforcement Theory of Psychology, Jakarta : Prima Cipta. Boeree,George, 2008, Personality Theories, Jogyakarta : Prismasophie.

Brinkman, 1993, The Art of Culture And Society, Jakarta : Pustaka Bangsa.

Brook,Kelly, 2001, Education of Sexuality for Teenager, North Carolina : Charm Press.

Dirdjosisworo, 2002, Respon Terhadap Kejahatan, Bandung : STHB Press. Festinger, 2001, Comparative Social Psychology Theorie, Jakarta : Gramedia. Fuady,Munir, 2006, Teori Hukum Pembuktian, Bandung : Citra Aditya Bakti. Garner,Bryan, 1999, Black Law Dictionary, New York : Oxford University Press. Grosth,Gilin, 2004, Pengantar Ilmu Bedah Anestesi, Yogyakarta : Prima Aksara. Hamid,AT, 1988, Praktek Peradilan Perkara Pidana, Surabaya : CV. Al-Ikhsan. Hamzah, Andi, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta.


(3)

Hamzah,Andi, 1993, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Jakarta : Arikha Cipta. Hamzah,Andi, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta.

Hamzah,Andi, 2009, Delik-Delik Tertentu di Dalam KUHP, Jakarta : Sinar Grafika.

Husein,Harun Muhammad, 1994, Surat Dakwaan Teknik Penyusunan Fungsi dan Permasalahannya, Jakarta : Rineka Cipta.

Jarviss,Matt, 2009, Teori-Teori Psikologi, Bandung : Nusa Media. Joones,Deena, 1999, Talking About Sex, Orlando : Orlando Press

Karjadi,Muhammad, 1997, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Bogor : Politeia.

Laksono,Untung, 2006, Peranan Psikologi Forensik dalam Persidangan, Jakarta : Ghalia Indah.

Marpaung,Leden, 2000, Asas Teori dan Praktek Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika.

Moeljatno, 1999, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Bina Aksara.

Morgan,King Robinson, 1979, Introduction To Psychology, New York : Mcgrows Hill Book Company Inc.

Muladi, 1995, Kapita Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia, Semarang : Undip Press.

Nitibraska,Ronny Rahman, 2009, Perangkap Penyimpangan dan Kejahatan, Jakarta : Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.

Patricia,Kim, 2004, Introducional Psychology Science, Boston : South Carolina University Press.


(4)

Prakoso,Djoko, 1983, Peranan Psikologi Dalam Pemeriksaan Tersangka Pada Tahapan Penyidikan, Jakarta : Ghalia Indonesia.

Projodikoro,Wirjono, 1989, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung : Eresco.

Ramlan,Supardi, 1998, Patofisiologi Umum, Bandung : Rineka Cipta.

Rand,Karger, 1994, The Act of Mutilation, Ohio : Bloomington University Press. Reiner,Robert, 1995, The Oxford Handbook of Criminology, New York : Oxford

University Press.

Rowan,James, 1990,Transpersonal Psychology, London : Routledge. Samidjo, 2002, Ilmu Negara, Bandung : Armico.

Santoso,Topo, 2001, Kriminologi, Jakarta : Rajawali Press.

Sarwono,Sarlito Wirawan, 2008, Teori-Teori Psikologi Sosial, Jakarta : Rineka Cipta.

Sastrowidjodjo,Sofjan, 1995, Hukum Pidana Asas Hukum Pidana Sampai Dengan Alasan Peniadaan Pidana, Bandung : Armico.

Sholehuddin, 2004, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Berupa Ide-Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Sianturi,SR, 1996, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta : Alumni. Sianturi,SR, 1996, Hukum Penitensia di Indonesia, Jakarta : Alumni Ahaem

Petehaem.

Soekanto,Soerjono, 1989, Beberapa Catatan Tentang Psikologi Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti.


(5)

Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bogor : Politeia. Utrecht, 1986, Hukum Pidana I, Surabaya : Pustaka Tinta Mas.

Waluyo,Bambang, 2004, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta : Sinar Grafika.

Wishnubroto,Aloysius, 2009, Teknis Persidangan Pidana, Yogyakarta : UAJY Press.

Yulia,Rena, 2009, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Yogyakarta : Graha Ilmu.

Jurnal Psikologi Perkembangan Edisi IV, 2004, Jakarta : Yacobi. Jurnal

Jurnal Psikologi Perkembangan Edisi XXVI, 2009, Kedudukan Psikologi Dalam Pemeriksaan di Pengadilan, Jakarta : Yacobi.

Jurnal Psikologi Klinis Edisi IX, 2006, Jakarta : Yacobi.

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Berkas Putusan Perkara Nomor Register 1036/Pid.B/2009/PN.Depok, dengan terdakwa very idham henyansyah.


(6)

Website

20.12 WIB.


Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridi Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak Yang Menyebabkan Kematian (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No.791/Pid.B/2011/PN.SIM)

5 130 108

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 64 103

Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Beberapa Putusan Pengadilan Negeri di Indonesia)

1 74 133

Tinjauan Kriminologi Dan Hukum Pidana Tentang Tindak Pidana Penganiayaan Yang Dilakukan Terhadap Anak Kandungnya (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tulungagung Nomor : 179/Pid.Sus/2012/PN.Ta)

5 134 138

Tinjauan Psikologi Kriminal Penyimpangan Perilaku Seksual Terhadap Tindak Pidana Mutilasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Depok Nomor 1036/PID.B/2009/PN.DEPOK)

18 111 171

Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan)

3 130 140

Penegakan Hukum Terhadap Oknum Polri Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 479/Pid.B/2011/Pn.Mdn)

1 50 102

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

3 82 103

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 0 9

Tinjauan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penganiayaan Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Medan)

0 11 90