Pemidanaan nikah sirri berdasarkan UU no. 22 tahun 1946 jo. UU no. 32 tahun 1954

(1)

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

OLEH:

ENDRA RUKMANA NIM: 107044100354

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

i

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

OLEH:

ENDRA RUKMANA NIM: 107044100354

Di bawah bimbingan:

Dr. Diawahir Hejazziey, SH., MA Nip.195510151979031002

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDIAHWAL AL-ASYAKHSIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

(4)

iii

ميحرلا نمحرلا ها مسب

Alhamdulillah, segala puji dan syukur hanya bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah mengantarkan manusia kepada jalan yang benar, Amin.

Dalam penyusunan skripsi ini tentunya penulis tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Drs. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM, selaku Dekan Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA, selaku Ketua Prodi Ahwal

Asy-Syakhsiyyah.

3. Hj. Rosdiana, MA, selaku Sekertaris Prodi Ahwal Asy-Syakhsiyyah.

4. Dr. Djawahir Hejazziey, SH., MA selaku pembimbing, atas segala bimbingan,

arahan, saran, motivasi dan waktunya kepada penulis dengan penuh kebijaksanaan dan kesabaran.

5. Bapak dan Ibu Dosen Prodi Ahwal Asy-Syakhsiyyah jurusan Peradilan

Agama , yang telah dengan tulus ikhlas mencurahkan ilmu dan mendidik penulis, semoga ilmu yang telah penulis peroleh dapat bermanfaat.


(5)

iv

diperlukan penulis dalam menyusun skripsi.

7. Ayah dan Ibu tercinta, H. Romli, M dan Hj. Eni R, yang telah mencurahkan

segala doa, kasih sayang, dan segala motivasinya dengan dengan penuh keikhlasan kepada penulis, semoga Allah SWT selalu mengasihi dan meridhoinya.

8. Adik tersayang, yang telah banyak memberikan motivasi serta doanya bagi

penulis.

9. Sahabat-sahabat jurusan PA angkatan 2007, yang selalu kompak dan ceria

semoga semua selalu sukses dalam kehidupan, dan

10.Seluruh sahabat-sahabat yang telah banyak membantu dan memberikan

motivasinya kepada penulis.

Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, semoga semoga Allah SWT membalas amal dan jasa mereka diterima oleh Allah SWT dan dibalasnya dengan pahala yang berlipat ganda serta mendapatkan ridho Allah SWT, Amin.

Wassalamu Alaikum Wr. Wb.

Jakarta, Agustus 2011


(6)

v

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbuti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Agustus 2011 Penyusun,

Endra Rukmana NIM : 107044100354


(7)

vi

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... v

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Studi Terdahulu ... 8

E. Metode Penelitian... 8

F. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II KAJIAN TEORITIS A. Pengertian Nikah Sirri ... 12

B. Argumentasi Nikah Sirri ... 15

1. Perspektif Fiqh Kontemporer ... a. Golongan Jumhur Ulama ... 17

b. Golongan Maliki ... 18

2. Perspektif Hukum Positif ... 19 BAB III KONSEP DASAR HUKUM PIDANA


(8)

vii

3. Tujuan Hukum Pidana Positif ... 26

4. Jenis Hukuman ... 27

5. Asas-asas dalam Hukum Pidana Positif ... 33

B. Hukum Pidana Hukum Islam. 1. Pengertian Hukum Pidana Islam ... 38

2. Asas-asas Hukum Islam ... 39

3. Ruang Lingkup Hukum Pidana Islam ... 41

4. Jenis Hukuman ... 44

5. Tujuan Hukum Pidana Islam ... 45

6. Sumber Hukum ... 49

BAB IV ANALISA TERHADAP UU NO.22 TAHUN 1946 jo. UU NO. 32 TAHUN 1954 A. Proses Pidana Pelaku Nikah Sirri dalam UU. 22 Tahun 1946 .... 54

B. Klasifikasi Sanksi Pidana yang Dibebankan Bagi Pelaku Nikah Sirri ... 58

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 65

B. Saran-saran ... 66


(9)

1 A. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk ciptaan Allah swt yang memiliki kedudukan mulia dibanding makhluk lainnya. Manusia memiliki fitrah untuk saling berhubungan antara satu dengan lainnya. Dari hubungan antara sesama manusia tersebut menimbulkan rasa saling membutuhkan, menghormati dan menyayangi antara satu sama lain. Di antara fitrah manusia tersebut adalah rasa saling membutuhkan dan kasih sayang antara laki-laki dan perempuan, yang pada akhirnya akan mengarah kepada terciptanya rumah tangga melalui suatu ikatan perkawinan.

Pada dasarnya perkawinan atau pernikahan merupakan suatu akad yang menyebabkan halalnya hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami-isteri. Dalam ikatan perkawinan ditegaskan hak dan kewajiban antara suami-isteri tersebut, sehingga dapat tercapai kehidupan rumah tangga yang sakinah dan sejahtera.

Perkawinan dalam bahasa Arab disebut dengan al-nikah, yang bermakna

al-wathi‟ dan al-dammu wa-al jam‟u, atau ibarat „an al-wath‟ wa al-„aqd yang

bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad.1 Beranjak dari makna etimologis

inilah para ulama fiqih mendefinisikan perkawinan dalam konteks hubungan biologis.

1

Wahbah al-Zuhaily, al Fiqh al-Islami wa Adilatuhu, Juz VII, (Damaskus : Dar al-Fikr, 1989), h.29.


(10)

Sedangkan dalam UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 seperti yang termuat dalam Pasal 1 perkawinan didefinisikan sebagai :

“Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” 2

Hal ini tegas menyatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian sehingga perkawinan bukan saja

mempunyai unsur lahir/jasmani tetapi juga memiliki unsur batin/rohani.3

Menurut Kompilasi Hukum Islam, seperti yang terdapat pada Pasal 2 dinyatakan bahwa perkawinan dalam hukum Islam adalah :

“Pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalidan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.”4

Kata miitsaqan ghalidhan ini ditarik dari firman Allah SWT yang terdapat

pada Surah an-Nisa‟ ayat 21 yang artinya :

Bagaimana kamu akan mengambil mahar yang telah kamu berikan pada istrimu, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian

yang kuat. (QS. an-Nisa : 21)

2

UU NO. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan UU NO. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Jakarta: Transmedia Pustaka, 2007), h. 2

3

Moh. Idris Ramulyo, Asas-asas Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 1995), h. 38

4

Abdurrahman, SH. MH., Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 2007), h. 114


(11)

Berkenaan dengan tujuan perkawinan tersebut di muat dalam pasal 3 KHI yang berbunyi :

“Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,mawaddah dan rahmah tenteram cinta kasih dan sayang)”

Tujuan ini juga dirumuskan melalui firman Allah SWT yang terdapat didalam Surat ar-Rum ayat 21 yang artinya :

Diantara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran-Nya bagi kaum yang berpikir. (QS. ar-Rum/30:21)

Definisi perkawinan dalam fikih, dilihat dari arti bahasa memberikan kesan bahwa perempuan ditempatkan sebagai objek kenikmatan bagi sang laki- laki. Hal ini menimbulkan kesan bahwa yang dilihat pada diri wanita adalah

aspek biologisnya saja. Ini terlihat dalam penggunaan kata al-wat‟ atau al

-istimta‟ yang semuanya berkonotasi seks.

Sementara definisi perkawinan yang ada pada UU No.1 tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan tidak lagi hanya dilihat sebagai hubungan jasmani saja tetapi juga merupakan hubungan batin. Selain itu, dalam UU No.1 tahun 1974 tujuan perkawinan dieksplisitkan dengan kata bahagia. Hal ini menunjukkan bahwa pada akhirnya perkawinan dimaksudkan agar setiap

manusia baik laki-laki ataupun perempuan dapat memperoleh kebahagiaan.5

5

H. Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan Hukum, Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999), h.45-46


(12)

Dari berbagai pengaturan Hukum Islam yang ada, dapat kita amati bahwa

pengaturan pernikahan yang sesuai dengan syar‟i dan hukum positif yang berlaku

adalah bertujuan untuk memuliakan baik suami maupun istri yang terikat dalam tali pernikahan tersebut. Akan tetapi fenomena pernikahan yang terjadi sekarang

ini agaknya sudah banyak yang menyimpangi aturan syar‟i maupun aturan hukum positif yang berlaku. Beberapa masalah pernikahan yang timbul antara lain seperti: Pernikahan sirri (nikah di bawah tangan/secara diam-diam), talak (cerai dibawah Tangan), serta pembagian harta bersama yang terdapat dalam pernikahan sirri tersebut apabila terjadi perceraian.

Pernikahan sirri pada masa ini khususnya di Indonesia banyak dilakukan karena berbagai alasan. Mulai dari alasan ekonomi, sosial, perbedaan pemahaman serta masih banyak alasan lainnya. Akan tetapi dengan pengaturan dari segi agama Islam dan hukum positif di Indonesia, dapatkah Pernikahan yang dilakukan secara sirri mempertahankan eksistensinya dan menjamin serta melindungi ikatan pernikahan tersebut dan akibat-akibat hukum lain yang mungkin timbul dikemudian hari.

Dewasa ini, statistik kejadian nikah siri meningkat berlalunya waktu. Terutama pasca beredarnya berbagai pemberitaan di seluruh jenis media (audio, visual dan audiovisual) akan nikah siri yang dilakukan tidak hanya 1-2 selebritis namun segelintir orang dengan tingkat pemberitaan tinggi sehingga

menyebabkan proses conditioning terjadi di masyarakat konsumen berita. Proses


(13)

berbagai budaya baru yang terjadi namun akibat pemberitaan yang berulang-ulang budaya tersebut semakin cepat dapat diterima oleh masyarakat dan dijadikan bagian dari budaya masyarakat itu sendiri.

Dalam penafsirannya, masyarakat mendefenisikan nikah siri sebagai berikut:

1. pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia

(siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat.

2. pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga

pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya.

3. pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu;

misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.


(14)

Sehingga kita perlu mengkaji secara spesifik tentang adanya perilaku nikah siri di masyarakat. Ini dilakukan untuk membantu penyelesaian kontroversi tentang pemberlakuan hukum pidana bagi pelaku nikah siri dan perlukah disahkannya RUU HMPA yang sudah masuk ke dalam prolegnas.

Berdasarkan uraian di atas penulis bermaksud mengkaji lebih dalam lagi mengenai permasalahn nikah sirrih, yang dalam hal ini akan megkaji tentang hukuman atau pemberlakuan sanksi bagi para pelaku nikah sirri. Ini dimaksudkan untuk menghilangkan kontroversi yang terjadi dikalangan masayrakat.

Berangkat dari penjelasan-penjelasan di atas, maka penulis membuat skripsi

dengan judul : “ PEMIDANAAN NIKAH SIRRI BERDASARKAN UU

NO.22 TAHUN 1946 jo. UU NO. 32 TAHUN 1954”. Dengan harapan bahwa skripsi ini dapat bermanfaat dan menyumbangkan sedikit keterangan mengenai kontroversi serta perdebatan panjang mengenai hal ini.

B. Perumusan Masalah

Draft Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Materi Pengadilan Agama Bidang Perkawinan (RUU HMPA) setidaknya menjelaskan tentang ketentuan pidana, salah satunya adalah mempidanakan bagi orang yang melangsungkan perkawinan tanpa dicatatkan pada lembaga negara yang berwenang, yaitu Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi non-muslim.

Akan tetapi dalam ketentuan KUH Pidana membedakan antara kejahatan pidana dengan pelanggaran pidana. Selanjutnya kaitannya dengan pencatatan


(15)

perkawinan itu semata-mata adalah pelanggaran pidana bukan kejahatan pidana sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 530 ayat (1) bahwa seorang petugas agama yang melakukan upacara perkawinan, yang hanya dapat dilangsungkan di hadapan pejabat catatan sipil, sebelum dinyatakan kepadanya pelangsungan di hadapan pejabat itu sudah dilakukan, diancam dengan pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Ayat (2) menyatakan bahwa jika pada waktu melakukan pelanggaran belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan paling lama dua tahun.

Dari uraian di atas maka penulis mengkerucutkan pada dua titik pertanyaan, yaitu :

1. Bagaimana Pidana Nikah Sirri Menurut UU NO. 22 Tahun 1946 jo. UU NO.

32 Tahun 1954?

2. Bagaimana Klasifikasi Sanksi Pidana yang di Bebankan kepada Pelaku Nikah

Sirri?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dari permasalahan-permasalahan tersebut maka tujuan penelitian adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana pidana bagi pelaku nikah sirri berdasarkan

kepada UU 22 Tahun 1946.

2. Untuk mengetahui apa rumusan yang tepat bagi sanksi pelaku nikah siri.

Adapun manfaat dari tujuan penelitian ini adalah diharapkan hasil dari penelitian ini sebagai acuan kepada seluruh masyarakat luas, khususnya kepada


(16)

orang atau lembaga yang berkepentingan dalam hal pengaturan tentang pernikahan di Indonesia.

D. Studi Terdahulu

Dari sekian banyak literature skripsi Fakultas Syariah dan Hukum yang ada di perpustakaan dan berbagai wacana yang berkaitan dengan pernikahan di bawah umur. Penulis mengambil beberapa skripsi dan wacana tersebut untuk di jadikan sebagai bahan perbandingan.Diantaranya adalah:

 Itsbat Nikah Bagi Pelaku Nikah Sirri (Study Kasus di PA Karawang- Jawa

Barat)

Oleh: Mu‟min Maulana Sidiq, SJAS 2010 skripsi ini membahas mengenai

permintaan itsbat nikah di PA Karawang.

Perbedaannya Dalam skripsi yang penulis buat lebih memfokuskan kepada perlukah disahkannya RUU HMPA (Hukum Materil Peradilan Agama) yang kiranya menimbulkan polemic dikalangan masyarakat.

E. Metode Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian hukum ini, maka dalam penelitian hukum kita mengenal adanya penelitian secara yuridis. Penelitian yuridis dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder dan juga disebut penelitian kepustakaan, ini dimaksudkan untuk mengkaji tentang perlu

atau tidaknya RUU HMPA itu disahkan.6

6


(17)

1. Metode Pendekatan

Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan metode pendekatan yuridis. Pendekatan yuridis digunakan untuk menganalisa berbagai peraturan perundang-undangan dibidang hukum perkawinan dan hukum kekeluargaan islam.

2. Spesifikasi Penelitian

Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai pada penelitian ini, maka hasil penelitian ini nantinya akan bersifat deskriptif analitis yaitu

memaparkan, menggambarkan atau mengungkapkan sistem hukum

perkawinan dan hukum kekeluargaan islam yang berlaku ataupun peraturan perundangan lain, eksistensinya, dalam kehidupan masyarakat, khususnya dalam pernikahan yang dilakukan tanpa pencatatan nikah (nikah sirri/bawah tangan). Hal ini kemudian dibahas atau dianalisa menurut ilmu dan teori-teori atau pendapat sendiri, dan kemudian terakhir menyimpulkannya.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini disusun dalam lima bab, dimana tipa bab terdiri dari beberapa subbab. Sistematika merupakan uraian ringkas secara global terkait hal-hal pokok yang dibahas, guna mempermudah dalam memahami dan melihat hubungan suatu bab dengan yang lainnya.

Adapun uraian pada setiap bab adalah sebagai berikut :

Bab I berisikan pendahuluan dengan uraian mengungkapkan latar belakang masalah kajian skripsi ini, merumuskan identifikasi permasalahan,


(18)

menunjukkan maksud dan tujuan penelitian, kegunaan penelitian, dan mengungkapkan metodologi yang dipergunakn sebagai kerangka menuju uraian yang sistematis dan terakhir sistematika penulisan.

Bab II berisikan Tinjauan Umum mengenai pernikahan menurut hukum islam, pengertian pernikahan, tujuan pernikahan, sahnya pernikahan, hukum melakukan pernikahan, larangan-larangan perkawinan, pernikahan menurut hukum positif Indonesia, pengertian perkawinan, tujuan perkawinan, sahnya perkawinan, larangan, pencegahan dan pembatalan perkawinan, pencatatan perkawinan, tentang pengertian pernikahan sirri.

Bab III Konsep dasar, dalam bab ini berisi tentang gambaran umum mengenai konsep maslahah dalam memandang pemidanaan pelaku nikah sirrim dalam bab ini juga terdapat pendapat-pendapat ahli menyangkut pemidanaan tersebut..

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan, dalam bab ini penulis akan menguraikan mengenai kasus pernikahan siri dipandang dari segi pelaksanaan UU yang sudah ada. Selanjutnya dalam bab ini juga akan dipaparkan mengenai rencana hukuman yang tepat bagi pelakau nikah siri.


(19)

11

Perkawinan Menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat

kuat atau mitsaqan ghalidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya

merupakan ibadah.1

Pernikahan merupakan pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan suatu ikatan secara hukum agama, negara, dan hukum adat. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan variasi antar bangsa, suku satu dan yang lain pada satu bangsa, agama, budaya maupun kelas social. Penggunaan adat atau aturan tertentu terkadang berkaitan

dengan aturan hukum agama tertentu pula.2

Nikah adalah peristiwa penting dalam kehidupan seseorang. Sesuatu yang haram bagi dia, berubah menjadi halal dengan sarana pernikahan. Implikasi pernikahan sangat besar, luas dan beragam. Pernikahan adaalah sarana awal mewujudkan sebuah tatanan masyarakat, yang dimana jika unit-unit keluarga baik dan berkwalitas maka bisa dipastikan bangunan masayarakat yang diwujudkan akan kokoh dan baik.

Karena sifatnya yang menjangkau kehidupan luas di luar keluarga, pernikahan memiliki makna sangat strategis dalam kehidupan sebuah bangsa. Dalam konteks ini,

1

Abdurrrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:akademika Presindo, 2004), h.114

2

Wikipedia, Pernikahan, Artikel diakses pada 9 Februari 2010 dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, http://id.wikipedia.org/wikil/Pernikahan


(20)

pemerintah jadi berkepentingan dalam mengatur institusi pernikahan, agar tatanan masyarakat yang teratur dan tentram bisa diwujudkan. Hal ini tercermin dari UU NO. 1 tahun 1974 yang merupakan bentuk konkret pengaturan pemerintah soal pernikahan kepada warga negaranya.

Dalam pasal 2 ayat (2) Undanga-Undang tersebut tertulis:

“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku”

Ketentuan ini lebih lanjut diperjelas dalam Bab 11 PP No. 9 Tahun 1975 yang intinya menjelaskan bahwa sebuah pernikahan baru dianggap memiliki kekuatan hukum di hadapan UU jika dilaksanakan menurut aturan agama dan telah dicatatkan oleh pegawai pencatat pernikahan (PPN) yang ditentukan oleh Undang-undang. Aturan inilah yang pada akhirnya menimbulkan istilah yang disebut Nikah Sirri. A. Pengertian Nikah Sirri

Nikah sirri secara bahasa berarti menikah secara sembunyi-sembunyi atau

secara rahasia. Kata sirri dalam bahasa Arab berasal dari kata sirrun yang berarti

rahasia.3 Menurut arti terminologis nikah sirri setidaknya mempunyai dua

pengertian, yaitu:

1. Pengertian yang terdapat dalam kitab-kitab fikih, sebagaimana yang ditulis

oleh Syaikh Mahmud Syaltut, ada dua bentuk nikah sirri yaitu:

a. Akad pernikahan yang dilakukan tanpa saksi, tanpa publikasi dan tanpa

pencatatan. Para ahli fikih bersepakat melarang nikah sirri semacam ini.

3

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan PP Al-Munawwir, 1984), h.667


(21)

b. Akad pernikahan yang dihadiri oleh para saksi, tetapi mereka diharuskan untuk merahasiakan pernikahan tersebut. Para ahli fikih berbeda pendapat mengenai sahnya nikah sirri seperti ini, sebagian ulama seperti Hanafiyah

dan Syafi‟iyah berpendapat bahwa pesan agar saksi merahasiakan terjadinya pernikahan tidak berpengaruh terhadap sahnya akad nikah sebab adanya saksi menjadikan nikah tersebut tidak sirri lagi (menjadi

nikah „alaniyah). Sebagian ulama yang lain seperti Imam Maliki dan

ulama yang sependapat dengannya, berpendapat bahwa adanya pesan untuk merahasiakan pernikahan telah mencabut kesaksian dari ruh dan

tujuan disyariatkannya, yaitu publikasi (I‟lan) oleh karena itu maka

pernikahan tersebut tidak sah. Sedangkan menurut Hanabilah hukum

nikah sirri semacam ini adalah makruh.4

2. Pengetian nikah sirri berkembang di kalangan umat Islam Indonesia pada

umumnya, yaitu pernikahan yang dilaksanakan dengan memenuhi syarat dan rukun pernikahan yang tedapat dalam syariat Islam, tetapi tanpa melalui Pegawai Pencatat Nikah (PPN) sehingga pernikahan tersebut tidak dicatat dalam Akta Perkawinan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4

Muhammad Sahnun bin Said al-Tanukhi, al-Mudawwanah al-Kubra, (Beirut:Dar al Sadr,1322 H), h.192-194


(22)

Menurut A. Zuhdi Muhdlor, nikah sirri adalah pernikahan yang dilangsungkan di luar pengetahuan petugas resmi (PPN/Kepala KUA), sehingga

suami-isteri tersebut tidak mempunyai surat nikah yang sah.5

Menurut Masjfuk Zuhdi perkembangan pengertian dan praktik nikah sirri di kalangan masyarakat Islam Indonesia, paling tidak ada tiga tipe atau bentuk, yaitu:

1. nikah sirri diartikan sebagai nikah yang dilangsungkan menurut ketentuan

Syari‟at Islam (telah terpenuhi rukun dan syaratnya) tetapi masih bersifat

intern keluarga, belum dilakukan pencatatan oleh PPN dan belum dilakukan pula upacara menurut Islam dan adat (walimatul ursy), suami-isteri belum tinggal bersama karena isteri belum dewasa.

2. nikah yang dilangsungkan menurut Syari‟at Islam (memenuhi rukun dan syarat nikah), dihadapan PPN dan telah memperoleh salinan akta nikah, namun masih bersifat intern keluarga da belum diadakan resepsi pernikahan serta suami-isteripun belum tinggal bersama.

3. nikah yang hanya dilangsungkan menurut ketentuan Syari‟at Islam saja, namun karena terbentur PP No. 10/1983 jo. PP No. 45/1990 pernikahan tersebut dilangsungkan secara diam-diam dan dirahasiakan untuk menghindari hukuman disiplin.

5

A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Pernikahan(NTC&R), (Bandung: Al-bayan, 1994), Cet.1, h.22


(23)

Dari ketiga bentuk atau type nikah di atas, menurut Masjfuk Zuhdi yang

mengandung pengertian nikah sirri adalah type yang ketiga.6

Senada dengan pendapat di atas, Moh. Daud Ali mengemukakan bahwa nikah sirri adalah pernikahan yang sengaja disembunyikan supaya tidak diketahui orang lain. Perkawinan di bawah tangan (nikah sirri) adalah perkawinan yang dilakukan tanpa adanya pencatatan perkawinan dicatatan sipil bagi non muslim, sedangkan bagi orang muslim perkawinannya tidak dicatatat di Kantor Urusan Agama (KUA). Perkawinan dibawah tangan adalah perkawinan yang dilaksanakan hanya berdasarkan ketentuan agama saja tanpa adanya pencatatan

oleh Pegawai Pencatan Nikah (PPN).7

B. Argumentasi Nikah Sirri

1. Perspektif Fikih Konvensional

Dalam perjalanan Hukum Islam, Nikah Sirri bukanlah masalah yang baru karena di dalam kitab Al-Muwattha karya Imam Malik telah tercatat bahwa istilah nikah sirri berasal dari perkataan Umar Ibnu al-Khattab r.a:

8

6

A. Ghani Abdullah, Tinjauan Hukum Terhadap Perkawinan di Bawah Tangan Mimbar Hukum No.23 Thn. VI 1995 November-Desember, (Jakarta:Al-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam). h.25

7

Ibid. h.25

8

Abi Abdillah Malik bin Anas Al-Asbahi, Muwattha Imam Malik, (Kairo Maktabah Al-Islamiyah, 1967), juz 2, h.179


(24)

Artinya: “Bahwasanya Umar dihadapkan kepadanya seorang laki-laki yang menikah tanpa ada saksi, kecuali seorang laki-laki dan seorang perempuan. Lalu Umar berkata: Ini nikah sirri, Aku tidak membolehkannya, seandainya kamu

melakukannya pasti aku rajam.”

Pengertian nikah sirri dalam perspektif Umar tersebut adalah bahwa syarat jumlah saksi belum terpenuhi, kalau jumlah saksi belum lengkap meskipun sudah ada yang datang, maka nikah semacam ini memakai kreteria Umar

dipandang sebagai nikah sirri.9

Dilihat dari keterangan nikah sirri tersebut dapat ditarik suatu pengertian bahwa nikah sirri itu bersangkut-paut dengan kedudukan saksi dan syarat-syarat pada saksi itu sendiri.

Mengenai perihal saksi, para Imam Mazhab (Abu Hanifah, Syafi‟i dan

Maliki) telah sepakat bahwa saksi merupakan syarat dalam pernikahan, bahkan

Syafi‟i berpendapat bahwa saksi sebagai rukun nikah.10

Sehingga tidak sah suatu pernikahan tanpa dihadiri saksi. Berdasarkan dalil:

Artinya: “tidak sah nikah kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil dan wali yang cukup”.

9

Maful M. dan Herry Mohammad, Fenomena Nikah Sirri, (Jakarta: IKAPI, 1996), Cet. 1, h.31.

10

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam (Suatu study perbandingan dalam kalangan Ahlu-Sunnah dan Negara-negara Islam), (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1994), Cet.2, h.153.

11


(25)

Nikah sirri merupakan salah satu bentuk nikah yang masih diperdebatkan sah atau tidaknya oleh para Ulama. Berkaitan dengan hal ini terdapat 2 (dua) golongan Ulama. Golongan pertama menyatakan bahwa nikah sirri adalah sah, sedangkan golongan yang kedua menyatakan tidak sah.

a. Golongan Jumhur Ulama

Mereka menyatakan bahwa jika para saksi yang hadir dipesan oleh pihak yang mengadakan akad nikah agar merahasiakan dan tidak menyebarluaskan berita pernikahannya kepada khalayak ramai, maka perkawinannya tetap sah. Sebaliknya meskipun pernikahannya itu diumumkan atau disebarluaskan kepada khalayak ramai, tetapi ketika akad nikah berlangsung tidak ada satupun saksi yang menyaksikan, maka perkawinan

tersebut tidak sah.12

Lebih lanjut dikatakan oleh Imam Syafi‟I, Abu Hanifah, Ibnu Mundzir,

Umar, Urwah, Sya‟bi dan Nafi‟, bahwa apabila terjadi akad nikah tetapi

dirahasiakan dan mereka pesan kepada yang hadir agar merahasiakannya pula, maka perkawinannya sah, tetapi makruh karena menyalahi adanya perintah untuk mengumumkan pernikahan. Sabda Nabi SAW dari Aisyah:

13

Artinya: “Umumkanlah akad nikah ini dan laksanakanlah di Masjid serta ramaikanlah dengan memukul rebana.” (HR at-Tirmidzi).

12

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 6, (Bandung: PT Al-ma‟arif, 1990), penerjemah

Drs.Muhammad Thalib, Cet. Ke-7, h.186

13


(26)

Senada dengan pendapat di atas, Mazhab Hanbali menyatakan nikah

yang telah dilangsungkan menurut syari‟at Islam adalah sah, meskipun

dirahasiakan oleh kedua mempelai, wali dan para saksinya, hanya saja

hukumnya makruh.14

b. Golongan Maliki

Mereka menyatakan bahwa saksi dalam pernikahan tidak wajib dan cukup diumumkan saja sebelum terjadi persenggamaan. Tetapi jika sebelum akad nikah diumumkan kepada khalayak ramai sudah terjadi persenggamaan,

maka pernikahannya batal, meskipun saat akad dihadiri oleh para saksi.15

Pendapat ini bertumpu pada pemikiran ketika memperbandingkan mengenai ketentuan bahwa akad nikah yang persaksiannya tidak disebut

secara tegas dalam al-Qur‟an dibanding dengan ketentuan mengenai akad jual

beli mu‟ajjal atau utang piutang yang disebut dalam surat al-Baqarah: 282. Kalau yang disebut yakni saksi akad jual beli saja ditemukan dalil menyatakan tidak wajib, maka untuk yang tidak disebut-sebut dalam hal ini

yaitu saksi akad nikah, tentulah tidak wajib juga.16

Ibnu Wahab meriwayatkan dari Imam Malik tentang seorang laki-laki yang mengawini seorang perempuan dengan disaksikan oleh dua orang laki-laki tetapi dipesan agar mereka merahasiakannya; lalu jawabnya: Keduanya

14

Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), h.187

15

Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. Ke-1, h.48.

16


(27)

harus diceraikan dengan satu talak, tidak boleh menggaulinya, tetapi isterinya berhak atas maharnya yang diterimanya, sedang kedua orang saksinya tidak

dihukum.17

2. Perspektif Hukum Positif

Menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia, suatu perkawinan akan diakui dan mendapatkan legalitas dari Negara apabila memenuhi dua syarat berikut:

a. Telah memenuhi ketentuan hukum materil, sebagaimana perintah UUP No. 1

Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat (1), yaiut pernikahan telah dilangsungkan menurut aturan-aturan yang ditentukan oleh hukum agama masing-masing. Maka bagi orang Islam, pernikahan itu sah apabila telah

memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun yang telah ditetapkan oleh syari‟at

Islam.

b. Telah memenuhi ketentuan hukum formil, sebagaimana yang tercantum dalam

UUP No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat (2), yaitu pernikahan tersebut telah dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang berwenang dan telah memperoleh bukti otentik berupa akta nikah.

Moh. Idris Ramulyo mengertikan nikah di bawah tangan sebagai suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang Islam Indonesia maupun pihak

17


(28)

diluar mereka, yang telah memenuhi baik rukun maupun syarat-syarat

perkawinan, akan tetapi tidak didaftarkan pada Pegawai Pencatat Nikah (PPN).18

Berdasarkan dari pengertian yang telah diuraikan di atas, jelaslah bahwa perkawinan di bawah tangan telah sah menurut hukum Islam, asalkan dalam perkawinan tersebut sudah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat yang telah

ditetapkan syari‟at. Dengan kata lain bahwa akad denga cara ini benar dan sah

adanya, akan tetapi perkawinan tersebut tidak diakui dan tidak mendapat legalitas dari Negara.

Adapun pengakuan resmi (penulisan akad) dengan arti tercatat resmi di Kantor Urusan Agama (KUA) adalah perkara yang diwajibkan oleh undang-undang, yang difungsikan untuk menjaga akad ini dari pengingkaran dan penipuan setelah dilaksanakannya, baik itu dari pihak suami-isteri maupun dari pihak di luar mereka berdua.

Dilihat dari teori hukum yang menyatakan bahwa bahwa perbuatan hukum adalah tindakan seseorang yang dilakukan berdasarkan suatu ketentuan hukum, sehingga dapat menimbulkan akibat hukum. Sebaliknya suatu tindakan yang dilakukan tidak menurut aturan aturan hukum, maka tindakan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum, sekalipun tindakan itu belum tentu melawan hukum dan sama sekali belum mempunyai akibat yang diakui dan

dilindungi oleh hukum.19

18

Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), cet. Ke-1, h.40-41

19

Soedjono Dirojosworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 1994), cet. Ke-4, h.126


(29)

Dengan demikian suatu perkawinan baru dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum (menurut hukum) apabila dilakukan menurut ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia (hukum positif). Ketentuan hukum yang mengatur mengenai tata cara perkawinan yang dibenarkan oleh hukum adalah seperti yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan dengan tata cara demikianlah yang mempunyai akibat hukum, yakni yang mendapat pengakuan dan perlindungan hukum atas perkawinan itu sendiri, sehingga dengan demikian eksistensi perkawinan secara yuridis formil diakui.

Sejalan dengan kerangka teoritik di atas, maka suatu akad nikah dapat dilakukan dalam dua bentuk: Pertama, akad nikah semata-mata hanya menurut aturan pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan; Kedua, akad nikah dilakukan menurut aturan pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan secara simultan.

Dalam hal ini, pernikahan sirri termasuk dalam kategori pertama, karenanya perkawinan tersebut sah menurut ajaran agama sesuai dengan yang tertera pada pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, namun perbuatan ini belum termasuk kategori perbuatan hukum sehingga belum mendapat pengakuan secara hukum. Perbuatan perkawinan baru dikatakan perbuatan hukum apabila memenuhi unsur tata cara agama dan tata cara pencatatan perkawinan. Kedua unsur tersebut berfungsi secara kumulatif dan bukan alternatif. Unsur pertama


(30)

berfungsi sebagai pertanda keabsahan dan unsur kedua sebagai pertanda hal

tersebut merupakan perbuatan hukum, sehingga berakibat hukum.20

Pasal 26 Undang-undang Hukum Perdata menjelaskan bahwa, UU hanya

memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.21

Dengan kata lain, pasal tersebut menjelaskan perkawinan yang sah yaitu yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), sehingga syarat-syarat dan peraturan agama dikesampingkan.

20

A. Ghani Abdullah, Tinjauan Hukum Terhadap Perkawinan di Bawah Tangan, Mimbar Hukum No. 23 Tahun VI/1995 November-Desember, (Jakarta:al-hikmah dan DITBINBAPERA Islam), h. 48

21

Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Acara Pidana & Perdata (KUHP, KUHAP & KUHPdt), (Jakarta;Visimedia), h.226


(31)

23 A. Hukum Pidana Positif

1. Pengertian Hukum Pidana

Sebelum melangkah lebih jauh dalam berbicara hukum pidana, umumnya kita mempertanyakan mengenai apa defenisi dari apa yang hendak kita bahas dan uraikan. Khusus dalam masalah hukum pidana, tentunya kita akan bertanya, apakah hukum pidana itu ?

Untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan tersebut, tentunya kita akan menyandarkannya pada pendapat para ahli dalam bidang ini. Terdapat berbagai macam pendapat dan defenisi yang mereka berikan, berikut merupakan beberapa pendapat ahli mengenai pengertian hukum pidana:

a. Moeljatno mengatakan bahwa Hukum Pidana adalah bagian daripada

keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Untuk menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhkan pidana sebagaimana yang telah diancamkan. Dan untuk menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat


(32)

dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.1

b. Selanjutnya Satochid Kartanegara mengatakan, bahwa Hukum Pidana

dapat dipandang dari beberapa sudut, yaitu: Hukum Pidana dalam arti objektif, yaitu sejumlah peraturan yang mengandung larangan-larangan atau keharusan-keharusan terhadap pelanggarannya diancam dengan

hukuman. Dan, Hukum Pidana dalam arti subjektif, yaitu sejumlah

peraturan yang mengatur hak negara untuk menghukum seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang.

c. Bambang Poernomo dalam bukunya, menyatakan bahwa Hukum Pidana

adalah hukum sanksi. Defenisi itu diberikan berdasarka ciri hukum pidana yang membedakan dengan lapangan hukum lainnya, yaitu bahwa hukum pidana sebenarnya tidak mengadaklan norma sendiri melaikan sudah terletak pada lapangan hukum yang lain dan sanksi pidana diadakan untuk menguatkan ditaatinya norma-norma di luar hukum pidana. Secara tradisional defenisi hukum pidana dianggap benar sebelum hukum pidana

itu berkembang dengan pesat.2

Berdasarkan berbagai macam pendapat dari para tokoh atau pakar dalam bidang ini , maka penulis dapat menarik sebuah kesimpulan dan menyatakan

1

Moeljatno, Hukum pidana: delik-delik percobaan, delik-delik penyertaan, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1985), h. 19-22

2

Bambang Purnomo, Hukum pidana: kumpulan karangan ilmiah, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1982), h. 25


(33)

bahwa Hukum Pidana itu adalah sekumpulan aturan atau peraturan hukum yang dibuat oleh negara untuk kepentingan masyarakat yang isinya berbentuk larangan dan keharusan sehingga yang melakukan pelanggaran dari isi aturan tersebut akan dikenai sanksi yang dapat dipaksakan oleh negara.

2. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia

Sistem peradilan Indonesia berdasarkan sistem-sistem, undang-undang dan lembaga-lembaga yang diwarisi dari negara Belanda yang pernah menjajah bangsa Indonesia selama kurang lebih tiga ratus tahun.

Seperti dikatakan oleh Andi Hamzah:

Misalnya Indonesia dan Malaysia dua bangsa serumpun, tetapi dipisahkan dalam sistem hukumnya oleh masing-masing penjajah, yaitu Belanda dan Inggris. Akibatnya, meskipun kita telah mempunyai KUHAP hasil ciptaan bangsa Indonesia sendiri, namun sistem dan asasnya tetap bertumpu pada sistem Eropa Kontinental (Belanda), sedangkan Malaysia, Brunei, Singapura bertumpu kepada sistem Anglo Saxon.3

Walaupun bertumpu pada sistem Belanda, hukum pidana Indonesia

modern dapat dipisahkan dalam dua kategori, yaitu hukum pidana acara dan

hukum pidana materiil. Hukum pidana acara dapat disebut dalam Bahasa Inggris

sebagai “procedural law” dan hukum pidana materiil sebagai “substantive law”.

Kedua kategori tersebut dapat kita temui dalam Kitab masing-masing yaitu,

3

Prof. Dr. Andi Hamzah Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Kedua Sinar Grafika, Jakarta 2008), h. 33


(34)

KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) berturut-turut.

3. Tujuan Hukum Pidana Positif

Untuk dapat mengetahui apakah tujuan daripada penerapan hukum pidana tersebut maka , ada baiknya jika kita kembali melihat pendapat dari beberapa tokoh atau pakar yang telah disebutkan pada sub bab sebelumnya. Pada intinya bahwa hukum pidana itu berisikan larangan dan keharusan yang disertai dengan sanksi pidana. Maka, kita dapat memberikan suatu gambaran tentang tujuan sebenarnya dari penerapan hukum pidana itu.

Secara maknawi bahwa tujuan hukum pidana itu sebenrnya adalah untuk mencegah timbulnya gejala-gejala social yang dianggap kurang sehat atau menyimpang dalam kehidupan bermasyarakat disamping sebagai pengobatan bagi mereka yang telah melakukan penyimpangan atau pelanggaran terhadap aturan-aturan pidana yang berlaku.

Ketika berbicara tentang tujuan dari penerapan hukum pidana itu, dikenal dua macam aliran, yaitu:

a. Aliran Klasik beranggapan bahwa hukum pidana itu bertujuan untuk

menakut-nakuti setiap orang agar supaya menjauhi perbuatan-perbuatan yang tidak baik. Yang pada intinya, untuk melindungi individu atau warga dari kekuasan pemerintah atau negara.

b. Aliran Moderen mengatakan bahwa tujuan hukum pidana itu adalah untuk


(35)

tidak baik agar menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan

bermasyarakat dan lingkungannya.4

Namun demikian, adapula beberapa tokoh yang memandang perlunya ada aliran ketiga, yang merupakan perpaduan antara aliran klasik dan aliran modern.

Di dalam KUHP Pasal 51 disebutkan bahwa tujuan dari pemidanaan adalah:5

a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum

demi pengayoman masyarakat.

b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga

menjadi orangyang lebih baik dan berguna.

c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan

keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarkat.

d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

4. Jenis Hukuman dalam Hukum Pidana Positif

Sanksi dalam hukum pidana telah ditentukan dalam pasal 10 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:

Pidana terdiri atas:

a. Pidana Pokok:

1. Pidana Mati

2. Pidana penjara

3. Kurungan

4

Yesmil Anwar dan Adang, Pembaruan hukum pidana: reformasi hukum, (Jakarta, Grasindo Utama, 2008), h. 36

5


(36)

4. Denda

b. Pidana Tambahan

1. Pencabutan hak-hak tertentu

2. Perampasan barang-barang tertentu

3. Pengumuman putusan hakim.

Dengan demikian, hakim tidak diperbolehkan menjatuhkan hukuman selain yang dirumuskan dalam Pasal 10 KUHP.

Berikut merupakan penjabaran mengenai pidana pokok dan pidana tambahan:

a. Pidana Pokok

1. Pidana Mati

Pidana ini adalah yang terberat dari semua pidana yang dicantumkan terhadap berbagai kejahatan yang sangat berat, misalnya pembunuhan berencana (Pasal340 KUHP), pencuruan dengan kekerasan (Pasal 365 ayat(4), pemberontakan yang diatur dalam pasal 124 KUHP.

2. Pidana Penjara

Pidana ini membatasi kemerdekaan atau kebebasan seseorang, yaitu berupa hukuman penjara dan kurungan. Hukuman penjara lebih berat dari kurungan karena diancamkan terhadap berbagai kejahatan. Adapun kurungan lebih ringan karena diancamkan terhadap pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan karena kelalaian. Hukuman penjara minimum satu hari dan maksimum seumur hidup. Hal ini diatur dalam pasal 12 KUHP yang berbunyi:


(37)

a) Pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu.

b) Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu

hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut.

c) Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua

puluh tahun berturut-turutdalam hal yang pidananya Hakim boleh memilih antara Pidana Mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu atau antar pidana penjara selama waktu tertentu; begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dapat

dilampaui karena pembarengan (concursus), pengulangan

(residive) atau Karena yang telah ditentukan dalam pasal 52.

d) Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh lebih

dari dua puluh tahun.

3. Pidana kurungan

Pidana kurungan lebih ringan dari pidana penjara. Lebih ringan antara lain, dalam hal melakukan pekerjaan yang diwajibkan dan kebolehan membawa peralatan yang dibutuhkan terhukum sehari-hari, misalnya: tempat tidur, selimut, dll. Lamanya pidana kurungan ini ditentukan dalam pasal 18 KUHP yang berbunyi :

a) Lamanya pidana kurungan sekurang-kurangnya satu hari dan

paling lama satu tahun.

b) Hukuman tersebut dapat dijatuhkan untuk paling lama satu tahun


(38)

gabungan kejahatan atau pengulangan, atau ketentuan pada pasal 52 dan 52 a.

4. Hukuman Denda.

Hukuman denda selain diancamkan pada pelaku pelanggaran juga diancamkan terhadap kejahatan yang adakalanya sebagai alternative atau kumulatif. Jumlah yang dapat dikenakan pada hukuman denda ditentukan minimum dua puluh sen, sedang jumlah maksimim, tidak ada ketentuan. Mengenai hukuman denda diatur dalam pasal 30 KUHP,yang berbunyi:

a) Jumlah hukuman denda sekurang-kurangnya dua puluh lima sen.

b) Jika dijatuhkan hukuman denda dan denda itu tidak dibayar

maka diganti dengan hukuman kurungan.

c) Lamanya hukuman kurungan pengganti hukuman denda

sekurang-kurangnya satu hari dan selama-lamanya enam bulan.

d) Dalam putusan hakim, lamanya itu ditetapkan begitu rupa,

bahwa harga setengah rupiah atau kurang, diganti dengan satu hari, buat harga lebih tinggi bagi tiap-tiap setengah rupiah gantinya tidak lebih dari satu hari, akhirnya sisanya yang tak cukup, gantinya setengah rupiah juga.

e) Hukuman kurungan itu boleh dijatuhkan selama-lamanya


(39)

karena ada gabungan kejahatan, karena mengulangi kejahatan atau karena ketentuan pasal 52 dan 52a.

f) Hukuman kurungan tidak boleh sekali-kali lebih dari delapan

bulan.

Pidana denda tersebut dapat dibayar siapa saja. Artinya, baik keluarga atau kenalan dapat melunasinya.

b. Pidana Tambahan.

1. Pencabutan hak-hak tertentu.

Hal ini diatur dalam pasal 35 KUHP yang berbunyi:

Ayat (1) Hak si bersalah, yang boleh dicabut dalam putusan hakim dalam hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini atau dalam undang-undang umum lainnya, ialah:

a. Menjabat segala jabatan atau jabatan tertentu;

b. Masuk balai tentara;

c. Memilih dan boleh dipilih pada pemilihan yang dilakukan karena

undang-undang umum;

d. Menjadi penasehat atau wali, atau wali pengawas atau pengampu

atau pengampu pengawas atas orang lain yang bukan ankanya sendiri;

e. Kekuasaan bapak, perwalian, dan pengampuan atas anaknya

sendiri;


(40)

Ayat (2) Hakim berkuasa memecat seorang pegawai negeri dari jabatannya apabila dalam undang-undang umum ada ditunjuk pembesar lain yang semata-mata berkuasa melakukan pemecatan itu.

2. Perampasan Barang Tertentu.

Karena suatu putusan perkara mengenai diri terpidana, maka barang yang dirampas itu adalah barang hasil kejahatan atau barang milik terpidana yang dirampas itu adalah barang hasil kejahatan atau barang milik terpidana yang digunakan untuk melaksanakan kejahatannya. Hal ini diatur dalam pasal 39 KUHP yang berbunyi:

a) Barang kepunyaan si terhukum yang diperolehnya dengan

kejahatan atau dengan sengaja telah dipakainya untuk melakukan kejahatan, boleh dirampas.

b) Dalam hal menjatuhkan hukuman karena melakukan kejahatan

tidak dengan sengaja atau karena melakujkan pelanggran dapat juga dijatuhkan perampasan, tetapi dalam hal-hal yang telah ditentukan oleh undang-undang.

c) Hukuman perampasan itu dapat juga dijatuhkan atsa orang yang

bersalah yang oleh hakim diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanyalah atas barang yang telah disita.


(41)

3. Pengumuman Putusan Hakim

Hukuman tambahan ini dimaksudkan untuk mengumuman kepada khalayak ramai (umum) agar dengan demikian masyarakat umum lebih berhati-hati terhadap si terhukum. Biasanya ditentukan oleh hakim dalam surat kabar yang mana, atau berapa kali, yang semuanya atas biaya si terhuku. Jadi cara-cara menjalankan pengumuman putusan hakim dimuat dalam putusan (Pasal 43 KUHP).

5. Asas-asas Dalam Hukum Pidana

Dalam hukum pidana dikenal berbagai macam asas yang berlaku untuk keseluruhan perundang-undangan pidana yang ada, kecuali dalam hal-hal khusus

yang telah diatur secara terpisah dalam undang-undang tertentu (lex spesialis)

seperti yang telah disebut pada Paasal 103 KUHP. Meskipun demikian, terdapat asas yang sangat penting dan sebaiknya tidak boleh diingkari, karena asa tersebut dapat dikatakan sebagai pondasi atau tiang penyangga hukum pidana. Asas-asas tersebut dapat kita simpulkan dari pasal-pasal awal Buku I KUHP, ada beberapa

asas yang akan dijelaskan di bawah ini:6

a. Asas Legalitas

Asas legalitas dapat dikatakan sebagai tiang penyangga dari hukum pidana. Asas ini tersirat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yaitu:

“tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana

dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.”

6


(42)

Berdasarkan rumusan tersebut, secara tegas ditunjuk perbuatan mana yang dapat berakibat pidana, dalam artian bahwa bukan perbuatannya yang dipidanakan akan tetapi orang yang melakukan perbuatan tersebut. Dengan catatan bahwa perbuatan itu harus ditentukan oleh perundang-undangan pidana sebagai perbuatan yang pelakunya dapat dijatuhi pidana dan serta perundang-undangan itu harus telah ada sebelum perbuatan itu terjadi.

Adapun makna yang terkandung dalam asas legalitas tersebut adalah bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau perbuatan itu terlebih dahulu belum diatur dalam UU, bahwa untuk menentukan adanya tindak pidana tidak boleh digunakan analogi, dan bahwa undang-undang hukum pidana itu tidak berlaku surut/mundur.

b. Asas Hukum Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege

Telah disebutkan bahwa dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana adalah norma yang tidak tertulis. Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.

Dasar ini adalah mengenai dipertanggungjawabkannya seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya. Akan tetapi sebelum itu, mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan, yaitu mengenai perbuatan pidananya sendiri, mengenal criminal act, juga ada dasar yang pokok, yaitu asas legalitas, asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Biasanya ini dikenal dengan istilah Latinnya


(43)

Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege. (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu).

c. Asas Teritorial

Menurut asas territorial ini, berlakunya undang-undang pidana suatu negara semata-mata digantungkan pada tempat dimana tindak pidana atau perbuatan pidana itu dilakukan. Tempat terjadinya itu harus dalam wilayah atau teritori negara yang bersangkutan.

Pasal 2 KUHP merumuskan aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di Indonesia. Perkataan setiap orang mengandung arti baik warga negara Indonesia. Dalam hal ini, melakukan perbuatan, terdapat kemungkinan bahwa perbuatannya sendiri tidak di Indonesia, tetapi akibatnya terjadi di Indonesia. Misalnya,seseorang yang dari luar negeri mengirimkan paket berisi bom dan kemudian meledak serta membunuh orang ketika dibuka di Indonesia.

d. Asas Perlindungan (Asas Nasional Pasif)

Berdasarkan asas perlindungan ini, peraturan hukum pidana Indonesia berfungsi untuk melindungi keamanan kepentingan hukum terhadap gangguan dari setiap orang di luar Indonesia terhadap kepentingan hukum Indonesia. Hal ini telah diatur dalam Pasal 3 KUHP.

Dengan demikian tidak semua kepentingan hukum dilindungi, kecuali hanya kepentingan yang vital dan berhubungan dengan kepentingan umum, yaitu sebagaimana telah diatur dalam Pasal 4 KUHP. Disini , kepentingan


(44)

yang dilindungi adalah kepentingan yang bersifat umum dan luas, dan bukan kepentingan pribadi atau golongan. Dapat kita simpulkan jika ternyata di luar negeri sebenarnya kepentingan pribadi Warga Negara Indonesia kurang terlindungi.

e. Asas Personal (Asas Nasional Aktif)

Menurut asas personal ini, ketentuan hukum pidana berlaku bagi setiap Warga Negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar wilayah Indonesia. Bagi mereka yang melakukannya dalam wilayah Indonesia telah diliputi oleh asas territorial pada Pasal 2 KUHP.

Sebagaimana yang telah tercantum dalam Pasal 5 KUHP,akan tetapi dengan pembatasan tertentu yang dirumuskan pada bagian ke 1 dan 2 dari pasal tersebut. Ketentuan tersebut khususnya pada butir ke 2 disebabksan oleh kenyataan bahwa tidak semua negara mengadakan pembagian antara kejahatan dan pelanggaran sebagaimana halnya Indonesia sehingga ukurannya adalah yang di Indonesia termasuk sebagi kejahatan.

f. Asas Universal

Sebagaimana amanah pada pembukaan UUD 1945 yang merumuskan agar negara ini ikut serta dalam memelihara ketertiban dunia, KUHP Indonesia juga mengatur tentang dapat dipidananya perbuatan-perbuatan seperti pembajakan di laut, meskipun berada di luar wilayah Indonesia tetapi masih dalam kendaran air, yakni wilayah laut bebas (mare liberum). Kejahatan demikiam lazimnya dikenal orang sebagai kejahatn pelayaran.


(45)

Asas itu disebut sebagai asas universal karena bersifat global, mendunia dan tidak membeda-bedakan warga negara apapun, yang penting adalah terjaminnya ketertiban dan keselamatan dunia.

Dalam Pasal 9 KUHP dirumuskan bahwa belakunya Pasal 2-7 dan 8 KUHP dibatasi oleh pengecualian yang diakui dalam hukum internasional. Misalnya bahwa hukum internasioanal mengakui adanya kekebalan atau imunitas diplomatic dan hak eksteritorial yang dimiliki oleh kepala negara asing, duta besar dan para diplomat serta personel angkatan perang negara asing yang berada di Indonesia atas izin Pemerintah Indonesia.

Apabila sesuatu hal terjadi yang dilakukan oleh mereka yang memiliki hak imun tersebut yang dapat dipidana menurut KUHP, maka jalan penyelesaiannya melalui jalur diplomatic dan hukum internasional. Misalnya dengan cara menyatakan yang bersangkutan sebagai persona non grata dan dengan cara meminta negara tempat asalnya untuk menarik kembali orang tersebut. Secara hukum internasional juga dikenal adanya perjanjian ekstradisi, tetapi di dalam ekstradisi itu terdapat asas bahwa suatu negara tidak akan menyerahkan warga negaranya sendiri untuk diadili oleh negara lain sekiranya warganya melakukan kejahatan di negara lain. Demikian pula tidak akan diserahkan mereka yang melakukan kejahatan politik dan orang yang meminta suaka politik.


(46)

B. Hukum Pidana Islam

1. Pengertian Hukum Pidana Islam

Hukum pidana Islam merupakan terjemahan dari kata fiqh jinayah. Fiqh jinayah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil

hukum yang terperinci dan Alquran dan hadis.7 Tindakan kriminal dimaksud,

adalah tindakan-tindakan kejahatan yang mengganggu ketenteraman umum serta tindakan melawan peraturan perundang-undangan yang bersumber dari Alquran dan hadis.

Hukum Pidana Islam merupakan syariat Allah yang mengandung kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun akhirat. Syariat Islam dimaksud, secara materiil mengandung kewajiban asasi bagi setiap manusia untuk melaksanakannya. Konsep kewajiban asasi syariat, yaitu. menempatkan Allah sebagai pemegang segala hak, baik yang ada pada diri sendiri maupun yang ada pada orang lain. Setiap orang hanya pelaksana yang berkewajiban memenuhi perintah Allah. Perintah Allah dimaksud, harus ditunaikan untuk kemaslahatan dirinya dan orang lain.

Alquran merupakan penjelasan Allah tentang syariat, sehingga disebut al-Bayan (penjelasan). Penjelasan dimaksud secara garis besar mempunyai

7

Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, 1992), h. 86


(47)

empat cara dan salah satu di antaranya adalah Allah memberikan penjelasan dalam bentuk nash (tekstual) tentang syariat sesuatu, misalnya orang yang membunuh tanpa hak, sanksi hukum bagi pembunuh tersebut adalah harus dibunuh oleh keluarga korban atas adanya putusan dari pengadilan. Orang berzina harus dicambuk 100 kali bagi pelaku yang berstatus pemuda dan pemudi. Namun bagi pelaku yang berstatus janda atau duda dan/atau sudah menikah hukumannya adalah rajam.

2. Asas-Asas Hukum Pidana.8

Asas-asas hukum pidana Islam adalah asas-asas hukum yang mendasari pelaksanaan hukum pidana Islam, di antaranya:

a. Asas Legalitas

Asas legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang mengaturnya. Asas ini berdasarkan Alquran Surah Al-Israa' (17) ayat 15 dan Surah Al-An'aam (6 ) ayat 19. Hal itu diungkapkan sebagai berikut.

(

ارـس إأ

/

١٧

:

١

)

Barang siapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa

8


(48)

orang lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul. (QS. Al-Isra/17:15)9

(

ماعـن أا

/

:١٩

)

Katakanlah: "Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?" Katakanlah: "Allah. Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan Alquran ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Alquran (kepadanya). Apakah sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan yang lain di samping Allah?" Katakanlah: "Aku tidak mengakui". Katakanlah: "Sesungguhnya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah (QS.

Al-An‟am/6:19) ".10

Kedua ayat yang diungkapkan di atas, mengandung makna bahwa Alquran diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad supaya menjadi peringatan (dalam bentuk aturan dan ancaman hukuman) kepadamu. Asas legalitas ini telah ada dalam hukum Islam sejak Alquran diturunkan oleh Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw.

b. Asas Larangan Memindahkan Kesalahan Kepada Orang Lain

Asas ini adalah asas yang menyatakan bahwa setiap perbuatan manusia, baik perbuatan yang baik maupun perbuatan yang jahat akan mendapatkan imbalan yang setimpal. Asas ini terdapat di dalam berbagai

9

Yayasan Penyelenggaran Penterjemah, Dep. Agama RI, Al-Qur‟an dan Tejermahnya,

(Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur‟an, 1985), h. 426

10


(49)

surah dan ayat di dalam Alquran: Surah An'aam ayat 165. Surah Faathir ayat 18 Surah Az-Zumar ayat 7, Surah An-Najm ayat 38, Surah Al-Muddatstsir ayat 38. Sebagai contoh pada ayat 38 Surah Al-Al-Muddatstsir Allah menyatakan bahwa setiap orang terikat kepada apa yang dia kerjakan, dan setiap orang tidak akan memikul dosa atau kesalahan yang dibuat oleh orang lain.

c. Asas Praduga Tak Bersalah

Asas praduga tak bersalah adalah asas yang mendasari bahwa seseorang yang dituduh melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak bersalah sebelum hakim dengan bukti-bukti yang meyakinkan menyatakan dengan tegas kesalahannya itu. Asas ini diambil dari ayat-ayat Alquran yang menjadi sumber asas legalitas dan asas larangan memindahkan kesalahan pada orang lain yang telah disebutkan.

3. Ruang Lingkup Hukum Pidana Islam

Ruang lingkup hukum pidana Islam meliputi pencurian, perzinaan (termasuk homoseksual dan lesbian), menuduh orang yang baik-baik berbuat zina (alqadzaf), meminum minuman memabukkan (khamar), membunuh dan/atau melukai seseorang, pencurian, merusak harta seseorang, melakukan gerakan-gerakan kekacauan dan semacamnya berkaitan dengan hukum kepidanaan.

Hukum kepidanaan dimaksud disebut jarimah. Jarimah terbagi dua, yaitu (1) jarimah hudud dan jarimah ta'zir. Kata Hudud (berasal dari bahasa Arab) adalah jamak dari kata had. Had secara harfiah ada beberapa kemungkinan arti


(50)

antara lain batasan atau definisi, siksaan, ketentuan atau hukum. Had dalam pembahasan fikih (hukum Islam) adalah ketentuan tentang sanksi terhadap pelaku kejahatan, berupa siksaan fisik atau moral; sedangkan menurut syariat Islam, yaitu ketetapan Allah yang terdapat di dalam Alquran, dan/atau kenyataan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Tindak kejahatan dimaksud, baik dilakukan oleh seseorang atau kelompok, sengaja atau tidak sengaja, dalam istilah fikih disebut dengan jarirnah. Jarimah hudud adalah tindak kejahatan yang dilakukan oleh

seseorang atau lebih seorang yang menjadikan pelakunya dikenakan sanksi had.11

Jenis-jenis had yang terdapat di dalam syariat Islam, yaitu rajam, jilid atau dera, potong tangan, penjara/kurungan seumur hidup, eksekusi bunuh, pengasingan/deportasi, dan salib. Adapun jarimah, yaitu delik pidana yang pelakunya diancam sanksi had, yaitu zina (pelecehan seksual); qadzaf (tuduhan zina); sariqah (pencurian), harabah (penodongan, perampokan, teroris); Khamar (minuman dan obat-obat terlarang); bughah (pemberontakan atau subversi); dan riddah/murtad (beralih atau pindah agama). Selain jarimah hudud dalam hukum pidana Islam, ada juga jarimah ta'zir. Jarimah ta'zir secara harfiah bermakna memuliakan atau menolong. Namun, ta 'zir dalam pengertian istilah hukum Islam adalah hukuman yang bersifat mendidik yang tidak mengharuskan pelakunya dikenai had dan tidak pula harus membayar kaffarah atau diat. Tindak pidana yang dikelompokkan atau yang menjadi objek pembahasan ta 'zir adalah tindak pidana ringan seperti pelanggaran seksual yang tidak termasuk zina, tuduhan

11


(51)

berbuat kejahatan selain zina, pencurian yang nilainya tidak sampai satu nisab

harta.12

Jenis hukuman yang termasuk jarimah ta 'zir antara lain hukuman penjara, skorsing atau pemecatan, ganti rugi, pukulan, teguran dengan kata-kata, dan jenis hukuman lain yang dipandang sesuai dengan pelanggaran dan pelakunya. Dalam hukum Islam jenis hukuman yang berkaitan dengan hukuman ta'zir diserahkan sepenuhnya kepada kesepakatan manusia. Menurut Imam Abu Hanifah, pelanggaran ringan yang dilakukan oleh seseorang berulang kali dapat dilakukan atau dapat dijatuhi oleh hakim hukuman mati. Misalnya pencuri yang dimasukkan lembaga pemasyarakatan, lalu masih mengulangi untuk mencuri ketika ia sudah dikenai sanksi hukuman penjara, hakim berwenang menjatuhkan hukuman mati kepadanya.

Keputusan mengenai sanksi hukum dan pihak yang diberi kewenangan untuk menetapkan jenis hukuman dan pelaksanaan ta 'zir adalah pihak pemerintah kecuali guru dalam rangka mendidik muridnya-muridnya, orang tua dalam rangka mendidik anak-anaknya, suami dalam rangka mendidik istrinya. Ketentuan dimaksud, perbuatan yang dilakukan oleh guru, orang tua, suami, hakim, sebatas sesuai dengan kepatutan dan bersifat upaya mendidik, bukan sengaja untuk menyakiti atau mencederai.

Selain itu, perlu diungkapkan bahwa dalam hukum pidana Islam dikenal delik pidana qishash. Secara harfiah qishash artinya memotong atau membalas.

12


(52)

Qishash yang dimaksud dalam hukum pidana Islam adalah pembalasan setimpal yang dikenakan kepada pelaku pidana sebagai sanksi atas perbuatannya. Lain halnya diat. Diat berarti denda dalam bentuk benda atau harta berdasarkan ketentuan yang harus dibayar oleh pelaku pidana kepada pihak korban sebagai sanksi atas pelanggaran yang dilakukannya.

Sanksi hukum bagi orang yang membunuh diserahkan kepada manusia, dalam arti manusia sebagai subjek hukum diberikan kewenangan untuk memilih sanksi hukum dan dua alternatif, yaitu (a) pembunuh itu diberikan hukurnan yang setimpal, yaitu dibunuh bagi pembunuhan yang disengaja, dan (b) pembunuh membayar diat kepada keluarga korban bagi pembunuhan yang tidak disengaja. Oleh karena itu, Ibnu Rusyd seperti yang dikutip oleh Arif Furgan menge-lompokkan qishash menjadi dua, yaitu qishash an-nafs (pembunuhan) dan qishash ghair an-nafs (bukan pembunuhan). Qishash an-nafs, yakni qishash yang membuat korbannya meninggal. Qishash ghairu an-nafs yaitu qishash yang berkaitan dengan pidana pencederaan atau melukai, namun korbannya tidak sampai meninggal. Kelompok pertama disebut al-qatlu (pembunuhan) dan

kelompok kedua disebut al-jarhu (pencederaan).13

4. Jenis Hukuman

Jenis hukuman yang menyangkut tindak pidana kriminal dalam hukum pidana Islam terbagi atas dua bagian, yaitu (a) ketentuan hukuman yang pasti

13

H. Arif furqon, dkk., Islam untuk Disiplin Ilmu Hukum, (Jakarta: Departemen Agama RI, Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2002), h. 340


(53)

mengenai berat ringannya hukuman termasuk qishash dan diat yang tercantum di dalam Alquran dan hadis. Hal dimaksud disebut hudud, (b) ketentuan hukuman yang dibuat oleh hakim melalui putusannya yang disebut hukuman ta 'zir. Hukum publik dalam ajaran Islam adalah jinayah yang memuat aturan mengenai perbuatan yang diancam dengan hukuman, baik dalam jarimah hudud maupun dalam jarimah ta 'zir. Jarimah adalah perbuatan tindak pidana. Jarimah hudud adalah perbuatan pidana yang mempunyai bentuk dan batas hukumannya di dalam Alquran dan sunnah Nabi Muhammad saw. Lain halnya jarimah ta 'zir. Jarimah ta'zir adalah perbuatan pidana yang bentuk dan ancaman hukumannya ditentukan oleh penguasa (hakim) sebagai pelajaran kepada pelakunya

5. Tujuan Hukum Islam

Tujuan hukum pada umumnya adalah menegakkan keadilan berdasarkan kemauan Pencipta manusia sehingga terwujud ketertiban dan ketenteraman masyarakat. Oleh karena itu, putusan hakim harus mengandung rasa keadilan agar dipatuhi oleh masyarakat. Masyarakat yang patuh terhadap hukum berarti mencintai keadilan. Hal ini, berdasarkan dalil hukum yang bersumber dan Alquran Surah An-Nisaa' ayat 65:

(

ء اسـنلا

/

:

)

Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya(QS. Al-Isra/17:15).14

14


(54)

Dalil hukum dan ayat Alquran di atas, dapat diketahui dan dipahami bahwa Allah menjelaskan walaupun ada orang-orang yang mengaku beriman, tetapi pada hakikatnya tidaklah beriman selama mereka tidak mau mematuhi putusan hakim yang adil, seperti putusan Nabi Muhammad saw. sebagai Rasul yang pemah menetapkan penyelesaian perselisihan di antara umatnya. Sebagai contoh suatu peristiwa yang diceritakan oleh Bukhari Muslim, yaitu Zubair bin Awwam mengadukan seorang laki-laki kaum Anshar kepada Nabi Muhammad saw. dalam suatu perselisihan tentang air untuk kebun kurma. Nabi Muhammad saw. memberi putusan seraya berkata kepada Zubair: "Airilah kebunmu itu lebih dahulu kemudian airkanlah air itu kepada kebun tetanggamu." Maka laki-laki itu berkata: "Apakah karena dia anak bibimu hai Rasulullah." Maka berubahlah muka Muhammad Rasulullah karena ia mendengar tuduhan dimaksud. Namun, Nabi Muhammad berkata lagi (untuk menguatkan putusannya) "Hai Zubair airilah kebunmu itu sehingga air itu meratainya, kemudian alirkanlah kepada kebun tetanggamu."15)

Hikmah peristiwa di atas adalah hukum itu harus dipatuhi dan setiap putusan harus mengandung rasa keadilan agar dengan ikhlas dipatuhi oleh anggota masyarakat. Kasus mengairi kebun kurma yang langsung ditangani oleh Nabi Muhammad itu, mengandung rasa keadilan. Sebab, kedua belah pihak memperoleh aliran air yang memungkinkan tumbuhnya pohon-pohon kurma

15

H. Baharuddin Lopa, Al-Qur‟an dan Hak-Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta, Dana Bhakti Prima Yasa, 1996), h. 126


(55)

menjadi sumber kehidupan mereka berdua. Dari kasus ini juga jelas bahwa Nabi Muhammad mencela perbuatan monopoli dalam sesuatu usaha.

Selain hal di atas, dapat juga dipahami bahwa pemanfaatan hak milik berupa tanah sebagai salah satu sumber kehidupan manusia yang paling vital, hendaklah menggunakan asas keseimbangan. Sebagai contoh dapat diungkapkan bahwa setiap orang berhak menggunakan hak miliknya menurut kehendaknya, tetapi ia pun berkewajiban dalam menggunakan haknya dimaksud, tidak mengganggu hak orang lain. Misalnya, bebas menggunakan tanahnya sesuai dengan kehendaknya, tetapi ia berkewajiban pula menjamin pemenuhan kepentingan umum seperti menjamin lancarnya pengairan yang berdekatan dengan tanahnya yang mengairi sawah petani. Oleh karena itu, ia tidak boleh mengelola tanah tersebut yang mengakibatkan dapat menghambat tersalurnya air ke persawahan para petani. Sebaliknya, seseorang tidak dapat dengan menggunakan dalih untuk kepentingan umum, sehingga tidak memberi ganti kerugian yang wajar terhadap tanah seseorang yang diambil untuk kepentingan

umum.16

Namun, bila tujuan hukum Islam itu dilihat dari ketetapan hukum yang dibuat oleh Allah dan Nabi Muhammad saw., baik yang termuat di dalam Alquran maupun yang terdapat di dalam Alhadis, yaitu untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil segala yang bermanfaat dan mencegah serta menolak segala yang tidak berguna kepada kehidupan

16


(56)

manusia. Dengan kata lain tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan hidup manusia baik jasmani maupun rohani, individu dan masyarakat. Kemaslahatan dimaksud, dirumuskan oleh Abu Ishak Asy-Syathibiy dan disepakati oleh ahli hukum Islam lainnya seperti yang dikutip oleh H. Hamka Haq, yaitu memelihara

agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.17 Oleh karena itu, tujuan hukum Islam

dimaksud, dapat dilihat dan dua aspek, yaitu 1) Aspek pembuat hukum Islam adalah Allah dan Nabi Muhammad, 2) Aspek manusia sebagai pelaku dan pelaksana hukum Islam itu. Hal ini akan diuraikan sebagai berikut.

a. Pembuat hukum Islam (Allah swt. dan Nabi Muhammad saw.). Tujuan hukum

Islam adalah untuk memenuhi keperluan hidup manusia yang bersifat primer, sekunder, dan tersier (istilah fikih disebut daruriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat). Selain itu, adalah untuk ditaati dan dilaksanakan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari serta meningkatkan kemampuan manusia untuk memahami hukum Islam melalui metodologi pembentukannya (ushul al-fiqh).

b. Pelaku hukum (manusia). Tujuan hukum Islam adalah untuk mencapai

kehidupan manusia yang bahagia. Caranya adalah mengambil yang bermanfaat dan menolak yang tidak berguna bagi kehidupan. Singkat kata adalah untuk mencapai keridaan Allah dalam kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat.

Kepentingan hidup manusia yang bersifat primer, sekunder, dan tersier yang telah disebut dalam istilah daruriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat, adalah

17


(57)

kebutuhan hidup manusia dalam melaksanakan eksistensinya sebagai khalifah di bumi. Karena itu, perlu dijelaskan kebutuhan-kebutuhan dimaksud,

a. kebutuhan primer adalah kebutuhan utama yang harus dilindungi atau

dipelihara (agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan) sebaik-baiknya oleh hukum Islam agar kemaslahatan hidup manusia benar-benar terwujud;

b. kebutuhan sekunder adalah kebutuhan yang diperlukan oleh manusia untuk

mencapai kebutuhan primer seperti pelaksanaan hak asasi manusia;

c. kebutuhan tertsier adalah kebutuhan hidup manusia yang menunjang

kebutuhan primer dan sekunder.

Berdasarkan tujuan hukum Islam di atas, dapat dirumuskan bahwa tujuan hukum pidana Islam adalah memelihara jiwa, akal, harta masyarakat secara umum, dan keturunan. Oleh karena itu, kedudukan hukum pidana Islam amat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Sebab, empat dari lima tujuan syariat yang disebutkan di atas, hanya dapat dicapai dengan menaati ketentuan hukum pidana Islam, dan dua di antaranya bertautan dengan ketentuan hukum perdata Islam, yaitu harta dan keturunan, sementara akal dan jiwa semata-mata dipelihara

oleh ketentuan hukum pidana Islam.18

6. Sumber Hukum Pidana Islam

Membicarakan sumber hukum pidana Islam bertujuan untuk memahami sumber nilai ajaran agama Islam yang dijadikan petunjuk kehidupan manusia yang harus ditaatinya. Tujuan dimaksud, akan diungkapkan: (1) sistematika dan

18


(58)

hubungan sumber-sumber ajaran agama dan kedudukan Alquran sebagai pedoman dan kerangka kegiatan umat Islam, (2) mempelajari arti dan fungsi As-Sunnah sebagai penjelasan autentik Alquran dan perannya sebagai petunjuk bagi kehidupan manusia muslim, dan (3) membahas kedudukan akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk melaksanakan ijtihad. Selain itu, diungkapkan peran ijtihad sebagai sumber pengembangan nilai ajaran Islam dan unsur-unsur Hukum Pidana Islam.

Sistematika sumber ajaran Islam terdiri atas: (1) Alquran, (2) As-Sunnah,

dan (3) Ar-Ra'yu. Sistematika dimaksud diuraikan sebagai berikut:19

a. Alquran

Alquran adalah sumber ajaran Islam yang pertama, memuat kumpulan wahyu-wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. Di antara kandungan isinya ialah peraturan-peraturan hidup untuk mengatur kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Allah. hubungannya dengan perkembangan dirinya. hubungannya dengan sesama manusia, dan hubungannya dengan alam beserta makhluk lainnya. Alquran memuat ajaran Islam di antaranya:

1) Prinsip-prinsip keimanan kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasa Hari akhir,

Qadha dan Qadhar dan sebagainya.

2) Prinsip-prinsip syariah mengenai ibadah khas (shalat, puasa, zakat, dan

haji) dan ibadah umum (perekonomian, pernikahan, pemerintahan, hukum

19


(59)

pidana, hukum perdata, dan sebagainya).

3) Janji kepada orang yang berbuat baik dan ancaman kepada orang yang

berbuat jahat (dosa).

4) Sejarah Nabi-Nabi yang terdahulu, masyarakat, dan bangsa terdahulu.

5) Ilmu pengetahuan mengenai ilmu ketauhidan, agama, hal-hal yang

menyangkut manusia, masyarakat, dan yang berhubungan dengan alam.

b. Sunnah

Sunnah Nabi Muhammad saw. merupakan sumber ajaran Islam yang kedua. Karena, hal-hal yang diungkapkan oleh Alquran yang bersifat umum atau memerlukan penjelasan, maka Nabi Muhammad saw. menjelaskan melalui sunnah. Sunnah adalah perbuatan, perkataan, dan perizinan Nabi Muhammad saw. (Af'alu, Aqwalu, dan Taqriru). Pengertian sunnah yang demikian mempunyai kesamaan pengertian hadis. Hal ini akan diuraikan pada pengertian sunnah.

c. Ar-Ra'yu

Ar-Ra'yu atau penalaran adalah sumber ajaran Islam yang ketiga. Penggunaan akal (penalaran) manusia dalam menginterpretasi ayat-ayat Alquran dan sunnah yang bersifat umum. Hal itu dilakukan oleh ahli hukum Islam karena memerlukan penalaran manusia. Oleh karena itu, Ar-Ra'yu mengandung beberapa pengertian di antaranya:


(1)

67

1. Penulis merasa bahwa harus ada kajian ulang oleh pemerintah, dalam hal ini untuk melihat konten aturan pidana dalam UU NO.22 Tahun 1946 jo. UU NO. 32 Tahun 1954, serta harus dilihat perkembangan berjalannya UU tersebut.

2. Sebagian masyarakat sudah terbiasa melakukan pernikahan siri selama puluhan tahun. Pernikahan siri atau nikah di bawah tangan yang selama ini dipahami oleh masyarakat adalah pernikahan yang telah memenuhi syarat dan rukun yang telah ditentukan oleh dalil-dalil agama, hanya saja tidak tercatat di lembaga pencatat pernikahan yakni KUA (Kantor Urusan Agama). Ini berarti kedua belah pihak yang menikah telah sepakat menanggung konsekuensi dan resiko yang akan muncul kemudian berdasarkan akad syar'i yang telah mereka yakini. Ketika praktik yang telah diyakini keabsahannya oleh banyak kalangan ini diperkarakan secara pidana, maka menurut sudut pandang penulis hal ini kurang efektif dan efisien. Upaya yang katanya dimaksudkan untuk melindungi pihak-pihak tertentu khususnya perempuan, malah menimbulkan potensi konflik tak terkecuali dari kaum perempuan sendiri yang telah rela menikah di bawah tangan.

3. Beberapa motif di balik praktik nikah siri tidak bisa dipandang sebelah mata. Salah satu diantaranya adalah alasan takut terjerumus dalam perzinaan, aktivitas yang dianggap sangat berat konsekuensinya oleh masyarakat Islam pada umumnya, sementara ada beberapa kendala yang merintangi untuk mencatatkan pernikahannya misalnya alasan administratif. Contohnya bagi


(2)

Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang karena beberapa kondisi akhirnya berkeinginan kuat untuk menikah untuk yang kedua kalinya, mereka dibatasi oleh PP No.45/1990 yang berisi larangan poligami untuk PNS, akhirnya jalan yang ditempuh adalah nikah siri. Pihak perempuan beserta keluarga perempuan yang dinikah secara siri pun menerima kondisi itu dengan pertimbangan percaya pada pribadi calon suami yang pada kenyataannya memang telah beristri itu. Permasalahan nafkah dan warisan telah disepakati bersama sesuai dengan hukum-hukum agama yang dipahami. Selain motif tersebut, alasan ekonomi masih menjadi kendala bagi beberapa kalangan masyarakat untuk mencatatkan pernikahannya ke KUA. Untuk kasus ini, tentu tidak adil kalau mereka harus menjadi terpidana. Jika ingin menekan angka nikah siri, upaya menggratiskan biaya pencatatan pernikahan bisa ditempuh oleh pemerintah terutama ditujukan untuk kalangan ekonomi menengah ke bawah.

4. Ranah istinbath al-hukm (penggalian hukum Islam) memandang, pencatatan pernikahan merupakan perkara administratif yang mubah (boleh) bahkan sangat penting untuk dilakukan. Hal ini berdasarkan kaidah fiqh (kaidah-kaidah yang menjadi nalar hukum dalam Islam) salah satunya "tasharruf al-imam 'ala ar-ra'iyyah manuthun bi al-mashlahah" yang bermakna bahwa kebijakan pemerintah atas rakyatnya bergantung pada kemaslahatan. Selama kemaslahatan itu tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang qath'i (sudah


(3)

69

jelas), maka pertimbangan kemaslahatan dalam menyusun sebuah kebijakan bisa dibenarkan.

Hanya saja, ketika saat ini diwacanakan adanya upaya pemidanaan bagi orang-orang yang menikah tetapi tidak mencatatkan pernikahannya maka harus dilihat lagi aspek kemaslahatannya. Diberlakukannya sanksi pidana bagi pelaku praktik nikah siri berpotensi meningkatkan angka seks bebas yang dampak sosialnya jelas lebih luas. Bagi umat Islam, seks bebas atau zina merupakan salah satu bentuk dosa besar sehingga upaya menutup segala pintu perzinaan sangat diharapkan demi kemaslahatan bersama.

Bangsa ini sudah terlalu banyak didera berbagai permasalahan serius akibat dipinggirkannya prinsip-prinsip agama (sekulerisme) dan gencarnya upaya liberalisasi budaya. Oleh karena itu, jangan sampai pengaturan masalah pernikahan ini semakin membuka pintu liberalisasi dalam segala bidang termasuk dalam tatanan keluarga, karena bangsa yang kuat dan bermartabat sangat dipengaruhi tatanan keluarga yang kuat pula.


(4)

70

Abdullah, A. Ghani. Tinjauan Hukum Terhadap Perkawinan di Bawah Tangan Mimbar Hukum No.23 Thn. VI 1995 November-Desember. (Jakarta:Al-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam).

Abdurrrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta:akademika Presindo, 2004)

Ali, Zainuddin. Hukum Pidana Islam. (Jakarta: Sinar Grafika, 2007)

Al-Asbahi, Abi Abdillah Malik bin Anas. Muwattha Imam Malik. (Kairo Al-Maktabah Al-Islamiyah, 1967)

Al-Tanukhi, Muhammad Sahnun bin Said. al-Mudawwanah al-Kubra. (Beirut:Dar al Sadr, 1322 H)

Al-Zuhaily, Wahbah. al Fiqh al-Islami wa Adilatuhu. (Damaskus : Dar al-Fikr, 1989). Juz VII

Anwar, Yesmil dan Adang. Pembaruan hukum pidana: reformasi hukum. (Jakarta, Grasindo Utama, 2008)

As-Syafi‟I, Abi Abdillah Muhammad Idris. Al-Umm. juz 5

Daly, Peunoh. Hukum Perkawinan Islam (Suatu study perbandingan dalam kalangan Ahlu-Sunnah dan Negara-negara Islam). (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1994), Cet.2

Dirojosworo, Soedjono. Pengantar Ilmu Hukum. (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 1994), cet. Ke-4

Djubaedah, Neng. Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat; Menurut Hukum Tertulis di Insonesia dan Hukum Islam. (Jakarta; Sinar Grafika, 2010).

Furqon, Arif. dkk. Islam untuk Disiplin Ilmu Hukum. (Jakarta: Departemen Agama RI, Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2002)

Hanitijo S, Ronny. Metodologi Penelitian dan Jurimetri. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999)


(5)

71

Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. (Edisi Kedua Sinar Grafika, Jakarta 2008)

Haq, Hamka. Filsafat Ushul Fiqh. (Makassar: Yayasan al-Ahkam, 1998)

Kuzari, Ahmad. Nikah Sebagai Perikatan. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. Ke-1

Lopa, Baharuddin. Al-Qur‟an dan Hak-Hak Asasi Manusia. (Yogyakarta, Dana Bhakti Prima Yasa, 1996)

Moeljatno. Hukum pidana: delik-delik percobaan, delik-delik penyertaan. (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1985)

Nuruddin, Amir dan Tarigan, Azhari Akmal. Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI. (Jakarta: (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999)

M, Maful dan Mohammad, Herry. Fenomena Nikah Sirri. (Jakarta: IKAPI, 1996), Cet. 1,

Muhdlor, A. Zuhdi. Memahami Hukum Pernikahan(NTC&R). (Bandung: Al-bayan, 1994), Cet.1

Purnomo, Bambang. Hukum pidana: kumpulan karangan ilmiah. (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1982)

Rafiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000)

Ramulyo, Moh. Idris. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam. (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), cet. Ke-1

---. Asas-asas Hukum Islam. (Jakarta : Sinar Grafika, 1995)

Rosyada, Dede. Hukum Islam dan Pranata Sosial. (Jakarta: Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, 1992)

Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah 6. (Bandung: PT Al-ma‟arif, 1990), penerjemah Drs.Muhammad Thalib, Cet. Ke-7

Sarbana, Baban. Blogger Ngomong Politi:Catatan Hati Mantan Aktivis 1998. (PT. Elex Media Komputindo: Jakarta, 2010)


(6)

Thalib, Sajuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia, Berlaku Bagi Umat Islam. (Jakarta; UI Press, 1986).

Warson Munawwir, Ahmad. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. (Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan PP Al-Munawwir, 1984) Yayasan Penyelenggaran Penterjemah, Dep. Agama RI, Al-Qur‟an dan

Tejermahnya, (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur‟an, 1985), hal. 426

B. Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Acara Pidana & Perdata (KUHP, KUHAP & KUHPdt), (Jakarta;Visimedia)

SEMA No.04/Sip/1970, tanggal 02 Maret 1970

Undang No. 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia tanggal 21 November 1946 No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk di Seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura.

UU NO. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan UU NO. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Jakarta: Transmedia Pustaka, 2007)

UU. NO 22 Tahun 1946 (Diakses dari

http://dpr.go.id/uu/uu1946/UU_1946_22.pdf pada tanggal 09 juni 2011

C. Website

Muchsin. Aspek Hukum Pelanggaran Pidana dalam RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan. (Diakses dari http://e-syariah.badilag.net Tanggal 06 Juni 2011)

Wikipedia, Pernikahan, Artikel diakses pada 9 Februari 2010 dari Wikipedia

bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas,