19
harus diceraikan dengan satu talak, tidak boleh menggaulinya, tetapi isterinya berhak atas maharnya yang diterimanya, sedang kedua orang saksinya tidak
dihukum.
17
2. Perspektif Hukum Positif
Menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia, suatu perkawinan akan diakui dan mendapatkan legalitas dari Negara apabila memenuhi dua syarat
berikut: a.
Telah memenuhi ketentuan hukum materil, sebagaimana perintah UUP No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat 1, yaiut pernikahan telah
dilangsungkan menurut aturan-aturan yang ditentukan oleh hukum agama masing-masing. Maka bagi orang Islam, pernikahan itu sah apabila telah
memenuhi syarat-syarat dan rukun- rukun yang telah ditetapkan oleh syari‟at
Islam. b.
Telah memenuhi ketentuan hukum formil, sebagaimana yang tercantum dalam UUP No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat 2, yaitu pernikahan
tersebut telah dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah PPN yang berwenang dan telah memperoleh bukti otentik berupa akta nikah.
Moh. Idris Ramulyo mengertikan nikah di bawah tangan sebagai suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang Islam Indonesia maupun pihak
17
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 6, h.184
20
diluar mereka, yang telah memenuhi baik rukun maupun syarat-syarat perkawinan, akan tetapi tidak didaftarkan pada Pegawai Pencatat Nikah PPN.
18
Berdasarkan dari pengertian yang telah diuraikan di atas, jelaslah bahwa perkawinan di bawah tangan telah sah menurut hukum Islam, asalkan dalam
perkawinan tersebut sudah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat yang telah ditetapkan syari‟at. Dengan kata lain bahwa akad denga cara ini benar dan sah
adanya, akan tetapi perkawinan tersebut tidak diakui dan tidak mendapat legalitas dari Negara.
Adapun pengakuan resmi penulisan akad dengan arti tercatat resmi di Kantor Urusan Agama KUA adalah perkara yang diwajibkan oleh undang-
undang, yang difungsikan untuk menjaga akad ini dari pengingkaran dan penipuan setelah dilaksanakannya, baik itu dari pihak suami-isteri maupun dari
pihak di luar mereka berdua. Dilihat dari teori hukum yang menyatakan bahwa bahwa perbuatan
hukum adalah tindakan seseorang yang dilakukan berdasarkan suatu ketentuan hukum, sehingga dapat menimbulkan akibat hukum. Sebaliknya suatu tindakan
yang dilakukan tidak menurut aturan aturan hukum, maka tindakan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum, sekalipun tindakan itu belum tentu
melawan hukum dan sama sekali belum mempunyai akibat yang diakui dan dilindungi oleh hukum.
19
18
Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1995, cet. Ke-1, h.40-41
19
Soedjono Dirojosworo, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta; Raja Grafindo Persada, 1994, cet. Ke-4, h.126
21
Dengan demikian suatu perkawinan baru dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum menurut hukum apabila dilakukan menurut ketentuan hukum
yang berlaku di Indonesia hukum positif. Ketentuan hukum yang mengatur mengenai tata cara perkawinan yang dibenarkan oleh hukum adalah seperti yang
diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan dengan tata cara demikianlah yang mempunyai akibat hukum, yakni yang mendapat
pengakuan dan perlindungan hukum atas perkawinan itu sendiri, sehingga dengan demikian eksistensi perkawinan secara yuridis formil diakui.
Sejalan dengan kerangka teoritik di atas, maka suatu akad nikah dapat dilakukan dalam dua bentuk: Pertama, akad nikah semata-mata hanya menurut
aturan pasal 2 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan; Kedua, akad nikah dilakukan menurut aturan pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan secara simultan. Dalam hal ini, pernikahan sirri termasuk dalam kategori pertama,
karenanya perkawinan tersebut sah menurut ajaran agama sesuai dengan yang tertera pada pasal 2 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974, namun perbuatan ini belum
termasuk kategori perbuatan hukum sehingga belum mendapat pengakuan secara hukum. Perbuatan perkawinan baru dikatakan perbuatan hukum apabila
memenuhi unsur tata cara agama dan tata cara pencatatan perkawinan. Kedua unsur tersebut berfungsi secara kumulatif dan bukan alternatif. Unsur pertama
22
berfungsi sebagai pertanda keabsahan dan unsur kedua sebagai pertanda hal tersebut merupakan perbuatan hukum, sehingga berakibat hukum.
20
Pasal 26 Undang-undang Hukum Perdata menjelaskan bahwa, UU hanya memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.
21
Dengan kata lain, pasal tersebut menjelaskan perkawinan yang sah yaitu yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata KUHPer, sehingga syarat-syarat dan peraturan agama dikesampingkan.
20
A. Ghani Abdullah, Tinjauan Hukum Terhadap Perkawinan di Bawah Tangan, Mimbar Hukum No. 23 Tahun VI1995 November-Desember, Jakarta:al-hikmah dan DITBINBAPERA Islam,
h. 48
21
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Acara Pidana Perdata KUHP, KUHAP KUHPdt, Jakarta;Visimedia, h.226
23
BAB III KONSEP DASAR HUKUM PIDANA
A. Hukum Pidana Positif
1. Pengertian Hukum Pidana
Sebelum melangkah lebih jauh dalam berbicara hukum pidana, umumnya kita mempertanyakan mengenai apa defenisi dari apa yang hendak
kita bahas dan uraikan. Khusus dalam masalah hukum pidana, tentunya kita akan bertanya, apakah hukum pidana itu ?
Untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan tersebut, tentunya kita akan menyandarkannya pada pendapat para ahli dalam bidang ini. Terdapat
berbagai macam pendapat dan defenisi yang mereka berikan, berikut merupakan beberapa pendapat ahli mengenai pengertian hukum pidana:
a. Moeljatno mengatakan bahwa Hukum Pidana adalah bagian daripada
keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk menentukan perbuatan mana yang tidak
boleh dilakukan, yang dilarang, yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan
tersebut. Untuk menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau
dijatuhkan pidana sebagaimana yang telah diancamkan. Dan untuk menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat