yang tinggi selama berada di luar lingkungan hidupnya. Ikan nila yang mengalami fase pingsan ringan, pingsan berat dan roboh memiliki tingkat respirasi dan
metabolisme yang rendah.
4.3.2 Kelulusan hidup ikan nila Oreochromis niloticus setelah penyimpanan
Proses penyimpanan ikan nila dalam kemasan styrofoam dilakukan setelah ikan mengalami pembiusan pada berbagai fase imotil fase pingsan ringan,
pingsan berat dan roboh. Pemingsanan ikan dilakukan dengan metode pembiusan
menggunakan suhu rendah secara langsung, yaitu dilakukan dengan memasukkan ikan dalam media air yang suhunya diatur pada suhu pembiusan ikan nila fase
pingsan ringan, pingsan berat dan roboh. Fase pingsan merupakan fase yang dianjurkan untuk pengangkutan ikan, karena pada fase ini aktivitas ikan relatif
akan berhenti Mc Farland 1959, diacu dalam Achmadi 2005. Ikan yang telah dibius dikemas di dalam kotak styrofoam. Pada bagian
bawah kotak styrofoam diletakkan bongkahan-bongkahan es kecil yang dibungkus plastik seberat ± 0,5 kg kemudian dilapisi dengan kertas koran. Hal ini bertujuan
untuk mempertahankan suhu kemasan sama seperti suhu pembiusan ikan nila. Media pengisi kemasan yang sudah didinginkan sesuai dengan suhu
pembiusan diletakkan di atas kertas koran. Ikan yang telah pingsan dibungkus dengan kertas koran untuk menghindari menempelnya serbuk gergaji dan
mempermudah proses pembugaran, kemudian dilapisi kembali dengan serbuk gergaji dan kemasan ditutup dengan penutup kemasan lalu direkatkan.
Kemasan dibongkar setelah ikan disimpan selama 0 jam, 3 jam, 6 jam dan 9 jam kemudian ikan disadarkan proses pembugaran di dalam akuarium yang
diaerasi secara terus menerus untuk mengetahui tingkat kelulusan hidupnya. Proses pembugaran bertujuan untuk memulihkan kembali kondisi ikan. Ikan yang
dibugarkan secara umum memiliki aktivitas yang sama, yaitu diawali dengan adanya gerakan operkulum yang sangat lambat kemudian sedikit demi sedikit
normal. Kondisi ini dilanjutkan dengan gerakan anggota tubuh yang lain seperti gerakan sirip, kemudian ikan berangsur-angsur dapat berenang normal meskipun
masih dalam kondisi lemah. Hasil pengamatan pada saat proses pembugaran disajikan pada Gambar 5 dan Lampiran 8.
Proses pembugaran ikan membutuhkan waktu 14-30 menit. Durasi waktu selama 30 menit tersebut bertujuan untuk menekankan bahwa ikan benar-benar
tidak dapat hidup kembali setelah proses penyimpanan. Menurut Achmadi 2005 menyatakan bahwa selama proses pembugaran maka ikan yang tidak
menunjukkan adanya tanda-tanda pergerakan anggota tubuh setelah 10 menit dianggap tidak lulus hidup. Pada proses pembugaran udang dan lobster yang
hidup akan berenang, mula-mula udang atau lobster akan limbung tetapi kondisinya akan normal kembali setelah berada dalam air selama 30 menit
Suryaningrum et al. 2004.
Gambar 5. Grafik rata-rata waktu proses pembugaran ikan nila setelah penyimpanan
Hasil pengamatan kelulusan hidup ikan nila setelah penyimpanan selama 0 jam, 3 jam, 6 jam dan 9 jam diperoleh hasil bahwa selama penyimpanan 0 jam
ikan nila hidup semua 5 ekor yang dikemas dalam kondisi pingsan ringan, pingsan berat dan roboh. Ikan-ikan tersebut setelah proses pembugaran selama
15 menit masih dapat bertahan hidup 100 selama 2 jam. Persentase rata-rata tingkat kelulusan hidup ikan nila setelah penyimpanan 0 jam, 3 jam, 6 jam dan
9 jam disajikan pada Tabel 9 dan Lampiran 9.
5 10
15 20
25 30
0 jam 3 jam
6 jam 9 jam
22 15
14 30
30 30
Waktu p
ro ses
p e
m b
u g
ar an
m e
n it
Waktu penyimpanan
Pingsan ringan Pingsan berat
Roboh
Tabel 9. Persentase tingkat kelulusan hidup rata-rata ikan nila setelah penyimpanan
Fase pembiusan Jumlah ikan nila yang hidup
0 jam 3 jam
6 jam 9 jam
Pingsan ringan 100
67 40
Pingsan berat 100
33 Roboh
100
Ikan nila yang dibius pada suhu rendah mencapai fase pingsan ringan, pingsan berat dan fase roboh dalam kemasan kotak styrofoam hanya dapat
bertahan hidup selama 6 jam dengan tingkat kelulusan hidup 40 yaitu ikan nila yang dikemas pada saat pingsan ringan 9-10
o
C Gambar 6. Hal ini diduga karena ikan tersebut selama proses pembiusan masih dapat menyesuaikan diri
dengan suhu pembiusan. Kondisi ini ditandai adanya aktivitas ikan yang masih normal pada saat menit ke-0 dan pada menit ke-5 ikan sudah mulai panik.
Penyimpanan selama 3 jam pada saat ikan pingsan ringan memiliki persentase tingkat kelulusan hidup 67 sedangkan penyimpanan selama 6 jam
akan mengakibatkan ikan yang hidup hanya 40 dan setelah proses pembugaran selama 22 menit dan 30 menit masih dapat bertahan hidup selama 2 jam. Waktu
penyimpanan sangat mempengaruhi tingkat kelulusan hidup ikan. Ikan yang dikemas selama 6 jam jumlah kelulusan hidupnya lebih kecil dibandingkan
dengan ikan yang dikemas selama 3 jam. Rendahnya persentase tingkat kelulusan hidup pada perlakuan lama
penyimpanan selama 6 jam diduga karena ikan lebih cepat sadar kembali ketika masih berada di dalam kemasan. Menurut Utomo 2001, pada saat ikan
dipingsankan dan disimpan dalam kemasan tanpa air, katup insangnya masih mengandung air sehingga oksigen masih dapat diserap walaupun sangat sedikit.
Tetapi hasil dari penelitian ini menunjukkan kematian beberapa ikan yang dikemas pada kondisi pingsan ringan. Hal ini diduga karena cadangan oksigen
yang terdapat pada katup insang dan media pengisi kemasan tidak mencukupi kebutuhan oksigen ikan.
Gambar 6. Grafik persentase rata-rata kelulusan hidup ikan nila pada berbagai tingkat pembiusan
Ikan yang dikemas pada saat pingsan berat hanya mampu bertahan hidup selama 3 jam dengan tingkat kelulusan hidup 33 setelah proses pembugaran
selama 14 menit dan masih dapat bertahan hidup selama 2 jam. Ikan yang dikemas pada saat kondisi roboh tidak ada yang mampu bertahan hidup selama
proses penyimpanan 3 jam, 6 jam dan 9 jam. Berdasarkan hasil penelitian ini maka durasi penyimpanan tidak diperpanjang sampai 12 jam, karena pada
penyimpanan selama 9 jam ikan yang dikemas dalam kondisi pingsan ringan, pingsan berat dan roboh memiliki tingkat kelulusan hidup 0 Tabel 9.
Hal ini disebabkan karena ikan mengalami shock pada saat proses pembiusan. Ikan pada kondisi pingsan berat dibius pada suhu 7-9
o
C dan ikan pada kondisi roboh dibius pada suhu 6-7
o
C dimana ikan langsung mengalami perubahan suhu lingkungan yang sangat berbeda dengan suhu lingkungan hidup
ikan nila 14-38
o
C, hal ini karena ikan sangat sensitif dengan adanya perubahan suhu air Subasinghe 1997.
Pada kondisi shock ikan banyak melakukan gerakan yang berlebihan pada saat proses pembiusan. Kondisi shock tersebut menyebabkan ikan cepat
mengalami kematian karena pada ikan yang stres akan terjadi peningkatan asam laktat dalam darah. Jika asam laktat terakumulasi dalam darah cukup tinggi akan
mempercepat terjadinya proses kematian Afrianto dan Liviawaty 1989, diacu dalam Utomo 2001.
20 40
60 80
100
0 jam 3 jam
6 jam 9 jam
67 40
100
33
Per sen
tase ke
lu lu
san h
id u
p r
ata -
rata ikan
n il
a
Waktu penyimpanan
Pingsan ringan Pingsan berat
Roboh
Suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan dalam transportasi ikan hidup. Media pengisi kemasan mengalami perubahan suhu
sejak dari awal hingga akhir proses penyimpanan. Hasil pengamatan perubahan suhu media pengisi kemasan disajikan pada Tabel 10 dan Lampiran 10.
Tabel 10. Perubahan suhu rata-rata media pengisi kemasan
Waktu penyimpanan
jam Pingsan ringan
o
C Pingsan berat
o
C Roboh
o
C Awal
Akhir Awal
Akhir Awal
Akhir 10
10 9
9 7
7 3
10 14
9 14
7 12
6 10
15 9
14 7
12 9
10 16
9 14
7 13
Pada hasil pengamatan perubahan suhu media pengisi kemasan dapat dilihat bahwa suhu dalam kemasan mengalami perubahan, yaitu berada pada kisaran 10-
16
o
C untuk ikan nila yang dikemas dalam kondisi pingsan ringan, suhu 9-14
o
C untuk ikan nila yang dikemas dalam kondisi pingsan berat dan 7-13
o
C untuk ikan nila yang dikemas dalam kondisi roboh. Peningkatan suhu media pengisi
kemasan diduga akibat mencairnya es selama proses penyimpanan. Penentuan suhu media pengisi disesuaikan dengan suhu imotilisasi ikan nila.
Menurut Suryaningrum dan Utomo 1999, diacu dalam Andasuryani 2003, suhu media untuk transportasi sistem kering berkisar atau sama dengan suhu
imotilisasi. Suhu merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kelulusan hidup ikan yang akan ditransportasi dengan sistem kering, sehingga selama
transportasi suhu harus dipertahankan sebaik mungkin. Menurut Suryaningrum et al. 1994 suhu akhir media ideal untuk transportasi sistem kering sebaiknya
tidak lebih dari 20
o
C. Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa suhu media dan penyimpanan ikut
menentukan ketahanan hidup ikan di dalam media serbuk gergaji dingin. Adanya perubahan suhu yang cukup besar mulai dari awal transportasi sampai akhir
transportasi juga mempengaruhi tingkat kelulusan hidup ikan tersebut. Tingginya suhu ini akan menyebabkan ikan sadar dan aktivitas tinggi. Makin tinggi aktivitas
ikan, baik aktivitas fisik maupun metabolisme, berarti menuntut ketersediaan oksigen yang siap dikonsumsi. Di dalam media kering ketersediaan oksigen
terbatas maka ikan akan mengalami kekurangan oksigen dan berakibat kematian Karnila dan Edison 2001.
Perubahan suhu yang kecil menyebabkan ikan tetap tenang, tidak banyak bergerak, aktivitas metabolisme dan respirasinya berkurang sehingga diharapkan
daya tahan hidup ikan cukup tinggi. Rendahnya metabolisme ikan maka kebutuhan energi untuk aktivitas ikan juga akan rendah. Hal ini menunjukkan
bahwa perombakan ATP menjadi ADP dan AMP untuk menghasilkan energi juga sangat rendah, sehingga oksigen yang digunakan untuk merombak ATP untuk
menghasilkan energi juga sangat rendah. Hal ini menyebabkan kadar oksigen dalam darah ikan tidak turun secara drastis, sehingga ikan mampu hidup lebih
lama Karnila dan Edison 2001. Pada transportasi sistem kering, tingkat kelulusan hidup ikan selain
dipengaruhi oleh suhu, juga dipengaruhi oleh tingkat kesehatan ikan yang akan ditransportasikan. Suryaningrum dan Bagus 1999 menyatakan bahwa semakin
tinggi tingkat kebugaran udang semakin lama udang dapat ditransportasikan dengan kelulusan hidup yang tinggi. Menurut Praseno 1990, diacu dalam
Suryaningrum et al. 2008, kualitas ikan yang diangkut merupakan kriteria yang sangat menentukan dalam keberhasilan proses transportasi ikan hidup.
Menurut Ayres dan Wood 1977, diacu dalam Suryaningrum et al. 2008, salah satu syarat yang sangat menentukan keberhasilan transportasi lobster hidup
adalah kondisi kesehatan dan kebugaran lobster sebelum ditransportasikan. Pada penelitian ini, ikan diambil dari kolam ikan kemudian ditransportasikan dan
diberok di laboratorium sehingga tingkat kesehatan ikan tidak sebaik jika langsung dikemas di kolam ikan.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Tingkat kelulusan hidup ikan nila yang dibius pada suhu 9-10
o
C lebih tinggi dibandingkan dengan ikan nila yang dibius pada suhu 7-9
o
C dan 6-7
o
C. Ikan nila yang dibius dengan suhu 9-10
o
C secara langsung selama 20 menit dan dikemas dalam media serbuk gergaji dingin dapat dipertahankan kelangsungan hidupnya
selama 3 jam sebesar 67 dan selama 6 jam sebesar 40 .
5.2 Saran
Pada penelitian selanjutnya perlu dilakukan cara untuk mempertahankan suhu media pengisi kemasan agar tetap rendah sesuai dengan suhu pembiusan
dan mengamati perubahan suhu media pengisi kemasan setiap interval waktu. Perlu dilakukan penelitian selanjutnya mengenai aplikasi transportasi ikan hidup
yang sebenarnya agar diperoleh hasil yang optimal bagi tingkat kelulusan ikan yang dikemas.